Resources - Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) Indonesia Implementation - ACCCRN Network ACCCRN Case Study

(1)

Adaptasi Perubahan Iklim dan Pemerintahan:

Studi Kasus pada Implementasi

Asian Cities

Climate Change

Resilience Network

di Indonesia

Climate Change Adaptation and Governance:

A Case Study of the

Asian Cities Climate Change Resilience Network

Indonesia Implementation


(2)

DAFTAR ISI

Table of Contents

I. Pendahuluan, Tujuan dan Metodologi /

Introduction, Objective and Methodology

II. Gambaran Umum Masalah /Overview Issues

III. Pemilihan Kota /City Selection

• Narasi / Narrative

• Perubahan persepsi dan sikap terhadap perubahan iklim / Evolution of climate change perception

• Tantangan / Challenges/pitfalls

• Pencapaian/dampak / Successes/impact • Rekomendasi / Recommendations

IV. Pembentukan Tim Kota /Establishment of City Teams

• Narasi / Narrative

• Perubahan persepsi dan sikap terhadap perubahan iklim / Evolution of climate change perception

• Tantangan / Challenges/pitfalls

• Pencapaian/dampak / Successes/impact • Rekomendasi / Recommendations V. Shared Learning Dialogues (SLDs) /

• Narasi / Narrative

• Perubahan persepsi dan sikap terhadap perubahan iklim / Evolution of climate change perception

• Tantangan / Challenges/pitfalls

• Pencapaian/dampak / Successes/impact • Rekomendasi / Recommendations VI. Kajian Kerentanan dan Adaptasi (VAA) /

Vulnerability and Adaptation Assessment (VAA)

• Narasi / Narrative

• Perubahan persepsi dan sikap terhadap perubahan iklim / Evolution of climate change perception

• Tantangan / Challenges/pitfalls

• Pencapaian/dampak / Successes/impact • Rekomendasi / Recommendations

VII. Proyek Percontohan dan Studi Sektoral /

Pilot projects and Sector Studies

• Narasi / Narrative

• Perubahan persepsi dan sikap terhadap perubahan iklim / Evolution of climate change perception

• Tantangan / Challenges/pitfalls

• Pencapaian/dampak / Successes/impact • Rekomendasi / Recommendations

VIII. Dokumen Strategi Ketahanan Kota (CRS) /

City Resilience Strategy Document (CRS)

• Narasi / Narrative

• Perubahan persepsi dan sikap terhadap perubahan iklim / Evolution of climate change perception

• Tantangan / Challenges/pitfalls

• Pencapaian/dampak / Successes/impact • Rekomendasi / Recommendations IX. Monitoring dan Evaluasi / M&E

• Narasi / Narrative

• Tantangan / Challenges/pitfalls

• Pencapaian/dampak / Successes/impact • Rekomendasi / Recommendations

Program Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) yang diimplementasikan di Indonesia, tepatnya di Kota Semarang dan Bandar Lampung, oleh Mercy Corps mengambil pendekatan berbasis multi-stakeholder untuk membangun ketahanan kedua kota tersebut terhadap perubahan iklim. Melalui pembentukan Tim Kota yang beranggotakan perwakilan dari pemerintah kota, LSM, universitas serta pihak swasta; ACCCRN berupaya untuk membangun hubungan dengan pemangku kepentingan di kota. Tim kota ini memiliki peranan dalam menjalin hubungan dengan pemangku kepentingan kota lainnya, terutama dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan isu adaptasi terhadap perubahan iklim serta mendorong mereka untuk mengimplementasikan keputusan tersebut.

Pendekatan dari sisi struktur organisasi serta metode implementasi yang digunakan oleh ACCCRN di kedua kota tersebut tidak selalu menghasilkan pencapaian positif, tetapi juga menghadapi berbagai tantangan dalam pelaksanaannya. Kedua kondisi ini dapat menjadi pelajaran yang berharga; baik bagi pelaksanaan kegiatan adaptasi perubahan iklim lainnya, maupun dalam pelaksanan program/kegiatan lainnya yang memiliki komponen terkait pemerintahan. Studi kasus yang dipaparkan pada dokumen ini bertujuan untuk menganalisa keluaran positif dan negatif dari pendekatan yang diterapkan oleh ACCCRN, sehingga dapat digunakan sebagai modal untuk mengoptimalkan kegiatan replikasi.

Studi kasus ini disusun berdasarkan wawancara dengan aktor kunci dan kunjungan lapangan ke lokasi proyek yang dilaksanakan pada kurun waktu 26 April-5 Mei 2011 di Kota Jakarta, Semarang dan Bandar Lampung; serta juga tinjauan terhadap dokumen eksisting. Mengingat luasnya cakupan dokumentasi yang telah disusun dari berbagai proyek di ketiga kota tersebut, maka dokumen ini akan berupaya untuk meminimalisasi repetisi dan memfokuskan isinya kepada informasi dan analisa yang berkaitan dengan tujuan dari studi kasus yang dilakukan.

The Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) Program, as implemented in Indonesia by Mercy Corps, takes a multi-stakeholder approach to building climate change resilience in the cities of Semarang and Bandar Lampung. In establishing and working through a City Team composed of local government, NGOs, universities, and private sector, ACCCRN has undertaken an ambitious attempt to engage city stakeholders in the dificult decisions around climate change adaptation and empower them to implement those decisions.

The structure and implementation of this approach have resulted in some successes and struggled with some challenges, and in both cases can serve as a model for other climate change adaptation projects in particular, as well as for governance components of a broader range of programs. This case study is intended to analyze the positive and negative outcomes of the ACCCRN approach in order to optimize future replication.

This case study is based on key informant interviews and visits to project sites carried out from 26 April to 5 May 2011 in Jakarta, Semarang, and Bandar Lampung, as well as a review of existing documentation. Given the extensive nature of that documentation, this document will minimize repetition and focus on information and analysis relevant to the objective of the case study.

I. Pendahuluan, Tujuan dan Metodologi

Introduction, Objective and Methodology


(3)

Kemauan politik dan komitmen pribadi

Kemauan politik dan komitmen merupakan salah satu tema yang muncul secara konsisten di beberapa wawancara yang dilakukan. Hal ini dapat terlihat di berbagai bagian di dalam studi kasus ini mengingat keterkaitan tema ini dengan setiap tahapan di dalam kegiatan adaptasi perubahan iklim. Terlepas dari pembahasan mengenai kemauan politik dan komitmen pribadi di setiap bagian, tentunya tema ini merupakan salah satu isu yang cukup penting untuk diangkat sebagai salah satu rekomendasi utama bagi program secara keseluruhan.

Ketertarikan dan permintaan akan program ini diperlukan di seluruh tahapan proses. Tingkat kepentingan kedua hal tersebut tergambar pada tahapan pelaksanaan proses di Kota Semarang dan Bandar Lampung. Pada awal proses, Kota Bandar Lampung berada di posisi yang lebih depan, terutama dikarenakan dukungan yang cukup tinggi dari Walikota saat itu. Sementara proses di Semarang berjalan dengan lebih lambat dikarenakan kurangnya antusiasme Walikota terhadap proses yang berjalan, walaupun ia memberikan dukungan terhadap pelaksanaan proses tersebut. Pergantian Walikota Semarang ternyata memberikan pengaruh positif bagi pelaksanaan proses. Walikota yang baru merupakan sosok yang memiliki perhatian dan ketertarikan tinggi terhadap isu-isu lingkungan, ia juga telah memulai pelaksanaan kegiatan-kegiatan mitigasi perubahan iklim. Akibatnya, proses di Semarang pun berjalan dengan lebih baik.

Dalam kurun waktu setahun berikutnya, program-program adaptasi perubahan iklim yang dilaksanakan di Semarang dinilai lebih maju. Kemajuan pesat ini dinilai berkat peranan penting dari Tim Kota yang sangat aktif dalam melaksanakan tugasnya serta dalam menjalin hubungan dengan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi Tim Kota di Bandar Lampung yang dinilai memiliki dedikasi yang lebih rendah.

Korupsi

Setidaknya 1 staf ACCCRN meyakini bahwa telah terjadi tindak korupsi di setidaknya salah satu kota mitra ACCCRN di Indonesia; dan dipercaya bahwa kondisi ini merupakan hal yang tidak dapat dihindari, dimana cara terbaik untuk mengatasinya adalah dengan mencoba melakukan kontrol untuk mencegah terjadinya korupsi. Mengingat bahwa korupsi adalah isu yang tidak asing lagi terjadi di berbagai belahan dunia, maka merupakan hal yang utama bagi suatu organisasi untuk menyusun dan mengkomunikasikan kebijakan mengenai hal-hal yang dapat dan tidak dapat ditoleransi.

II. Gambaran Umum Masalah

Overview Issues

Political will and personal commitment

One of the most consistent themes throughout the interviews was the need

for political will and personal commitment. This is relected in the different

sections as it relates to each step in the process, but it is important enough to be a key recommendation for the program as a whole as well.

The need for interest in and demand for the program spans all levels of the process. The overall arcs of the two city programs illustrate the importance of this. At the beginning of the process, Bandar Lampung was seen as ahead in the program, in large part due to the strong support of the mayor, while Semarang was moving more slowly, with a sense that the mayor was, though approving, not enthusiastic about the program. When an election replaced the Semarang mayor with one who has a strong interest in environmental issues and has instituted mitigation measures, the project started to gain momentum.

A year later, the Semarang program is considered more advanced, with most of the difference attributed to the active, engaged City Team, as opposed to the interested but less dedicated City Team in Bandar Lampung.

Corruption

At least one member of ACCCRN staff was convinced that there is corruption in at least one of the cities, and believed that this was unavoidable and that the best option was to try to contain it. Given that corruption is a potential issue anywhere in the world, it is important for organizations to determine and communicate a clear policy for what is acceptable and what is not.

III. Pemilihan Kota

City Selection

Tantangan

Proses pemilihan kota untuk program ACCCRN merupakan bagian dari kerangka kerja proyek skala regional, melibatkan tiga negara lain dan berbagai organisasi pelaksana; dimana proses ini juga cukup dipengaruhi oleh pilihan dari donor. Kondisi-kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan proses pemilihan kota ini menjadi contoh yang tidak mudah untuk direplikasi. 1. Kurangnya kejelasan mengenai kriteria dan prioritas diantara berbagai

lapisan pemangku kepentingan: donor, peneliti, dan pelaksana. Memiliki pemahaman yang cukup memadai mengenai kriteria yang digunakan – bahkan apabila kriteria tersebut bersifat acak atau berkaitan dengan prioritas strategis yang berada di luar lingkup proyek – akan membantu dalam mengarahkan proses dan memperjelas pemahaman diantara mitra ACCCRN.

2. Potensi perubahan yang dapat terjadi di tataran pemerintahan dari waktu ke waktu merupakan suatu hambatan yang dapat diidentiikasi di awal pada studi kasus ini. Pada saat proses pemilihan kota ACCCRN sedang berlangsung, tanggal pemilihan walikota merupakan salah satu hal yang menjadi bahan pertimbangan untuk menilai kemauan dan ketertarikan pemerintah kota untuk menjadi bagian di dalam program ACCCRN; apabila masa jabatan seorang walikota yang dinilai positif akan berakhir dalam kurun waktu enam bulan atau setahun ke depan, maka pengaruh walikota tersebut terhadap program ini akan berkurang.

Challenges/Pitfalls

The city selection for ACCCRN was conducted within the framework of a regional project including three other countries and multiple implementing organizations, and was to a large extent driven by donor preferences, all of which complicates it as an example for replication.

1. Lack of clarity in criteria and priorities among the different layers of stakeholders: the donors, the research partners, and the implementing partners. Having a clear understanding of the criteria – even if they are arbitrary or related to strategic priorities beyond the scope of the

speciic project – will streamline the process and reduce confusion

among partners.

2. The potential for change in a city government over time is a pitfall which

was identiied early in this case. During the ACCCRN selection process,

mayoral election dates were taking into consideration in weighing the eagerness of a municipal government for inclusion in the program: if a very positive mayor was likely to be voted out within six months or a year,

his impact on the project would be signiicantly lessened.

Keputusan mengenai kota yang terpilih didasarkan pada studi yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh ICLEI Local Governments for Sustainability, serta berdasarkan hasil konsultasi dengan Rockefeller Foundation dan Institute for Social and Environmental Transformation (ISET). Suatu daftar yang berisikan tiga puluh delapan calon kota ACCCRN kemudian disaring untuk menjadi daftar singkat berisikan lima calon kota; dari daftar singkat inilah kemudian akhirnya terpilih Kota Semarang di Pulau Jawa dan Kota Bandar Lampung di Pulau Sumatra untuk menjadi dua kota partisipan.

The decision was informed by a previous study conducted by ICLEI Local Governments for Sustainability, as well as by consultation with the Rockefeller

Foundation and the Institute for Social and Environmental Transformation (ISET). A thirty-eight city long-list was pared down to a short-list of ive, and from


(4)

Pencapaian

Dalam lingkup ACCCRN, proses pemilihan kota telah berhasil mencapai beberapa target yang penting.

1. Kedua kota yang terpilih mampu untuk menjalankan proyek ini dan dinilai memiliki tingkat pemahaman dan keterlibatan yang lebih tinggi dengan isu perubahan iklim jika dibandingkan dengan kondisi sebelum masuknya proyek ini ke kota.

2. Kedua kota memenuhi parameter persyaratan yang diminta oleh donor, sehingga kondisinya dapat dibandingkan dengan kota-kota ACCCRN lain di skala regional.

3. Mercy Corps telah membangun hubungan dan reputasi di kedua kota ACCCRN, dimana sebelumnya Mercy Corps tidak pernah (Semarang) atau hanya sedikit (Bandar Lampung) melakukan kegiatan lain di kedua kota tersebut sebelum dilaksanakannya proyek ini.

Rekomendasi

1. Identiikasi parameter yang jelas berdasarkan konteks dan pertimbangan strategis. Dalam kaitannya dengan proyek ini, ada berbagai parameter yang dapat dianggap ideal, bergantung kepada strategi dan konteks dari program tersebut. Sebagian program akan lebih memilih untuk melaksanakan program-program yang sedang berjalan di kota-kota lain; yang lain akan memilih untuk mempergunakan isu perubahan iklim sebagai pengenalan terhadap sektor-sektor yang baru. Pada beberapa kasus, strategi yang dipilih akan mengarah kepada pelaksanaan kegiatan di kota megapolitan; sementara pada kasus lain di kota-kota sekunder. Penentuan ukuran dan kondisi kota yang sesuai, disertai dengan informasi karakteristik yang sedetail mungkin akan membantu dalam menyusun daftar singkat kota-kota yang potensial sebagai partisipan dengan lebih cepat dan lebih mudah.

2. Prioritasisasi kemauan politik. Kemauan politik atau “pemerintah kota yang responsif”, seperti yang disampaikan oleh salah satu interviewee, merupakan faktor terpenting dalam mempercepat tercapainya tujuan proyek. Dengan demikian kemauan politik harus mendapat bobot yang cukup tinggi dalam proses pemilihan kota. Program ACCCRN menggunakan salah satu teknik yang paling eisien untuk memastikan hal ini dengan mensyaratkan kota untuk mendaftar untuk dapat berpartisipasi di dalam program ini, sehingga komitmen mereka dapat dilihat.

3. Pentingnya keberadaan champion. Terlepas dari pentingnya kemauan politik terhadap kesuksesan suatu program, namun keberadaan satu atau dua orang yang dapat bertindak sebagai seorang champion akan dapat lebih mendorong keberlangsungan suatu program; terutama apabila program yang akan dilaksanakan melibatkan berbagai individu dari berbagai dinas, departemen serta organisasi (Hal ini sangat penting, mengingat untuk kasus ACCCRN, staf program yang utama berlokasi di luar lokasi proyek). Walaupun keberadaan dan pengaruh seorang champion tidak selalu jelas terlihat dalam proses pemilihan kota, potensi yang terlihat harus dicatat dan dilibatkan sedini mungkin. 4. Memahami dan bekerja di dalam struktur organisasi yang telah ada. Proses

ACCCRN mengambil keuntungan dari adanya Asosiasi Walikota Nasional (APEKSI) untuk mencari dan menjalin kontak dengan sejumlah kota. 5. Pergunakan kontak pribadi. Walaupun hal ini tidak bisa menjadi kriteria

di dalam pemilihan kota, keberadaan kontak pribadi antara staf proyek dengan kota mitra dapat bermanfaat dalam menentukan kemauan politik dan mengidentiikasi champion di kota tersebut.Lebih lanjut, hubungan personal dapat membantu meyakinkan pemerintah kota akan keabsahan dan pentingnya program ini; partisipasi mereka di dalam proram ini tidak akan sia-sia.

6. Sadar akan potensi perubahan yang mungkin terjadi selama kurun waktu berjalannya proyek. Selama berlangsungnya proses pemilihan kota, perlu untuk disadari akan potensi perubahan di sistem ataupun aktor politik yang mungkin terjadi selama kurun waktu pelaksanaan proyek. Sebagai contoh, proses pemilihan walikota di Kota Semarang memberikan pengaruh yang signiikan (dalam kasus ini perubahan bersifat positif) dalam pelaksanaan proyek.

Success/Impact

In the case of ACCCRN, the city selection accomplished several important objectives.

1. The two cities identiied have been able to run the project and seem to have a greater level of engagement with climate change issues than before the project started.

2. Both meet the parameter requirements of the donor, allowing for comparison with other cities participating in ACCCRN regionally. 3. Mercy Corps has now forged relationships and a reputation in cities

where it had no (Semarang) or minimal (Bandar Lampung) presence before beginning the project.

Recommendations

1. Identify clear parameters based on context and strategic considerations. The ideal parameters for the project will vary based on program strategy and context. Some programs will want to build on existing projects in

speciic cities; others will want to use climate change as an introduction

to new areas. In some cases the strategy will point towards working in

megacities; in others, in secondary cities. Determining the appropriate city size and condition with as much speciicity as possible will help to

reach a short list relatively quickly and easily.

2. Prioritize political will. Political will, or “responsive local government”, as one interviewee termed it, is the most important factor in getting swift traction for a successful project, so political will should be given

signiicant weight in the selection of cities. The ACCCRN program used one of the most eficient techniques for ensuring this by requiring cities

to apply for participation in order to gauge their commitment.

3. The importance of a champion. While political will in general is important, a complex program that requires individuals from multiple agencies, departments, and organizations to add to their list of responsibilities

also beneits greatly from having one or two people who act as its

champions, driving the process forward (this is particularly important if, as in the case with ACCCRN, the primary project staff are off-site). While

the existence and inluence of a champion may not always be apparent

during the selection process, potentials should be noted and engaged as early as possible.

4. Understand and work within existing structures. The ACCCRN process took advantage of the existence of the national Association of Mayors (APEKSI) to reach and contact a number of municipalities.

5. Make use of personal contacts. While it should not be a criteria for selection of a city, the existence of some personal contact between project staff and city counterparts can be helpful in determining political will and identifying champions. In addition, a personal connection can help to convince the city government that this is a legitimate opportunity that is worth their time to participate in.

6. Be aware of potential changes during the duration of the project. During the city selection process it is important to be aware of changes in the political system or players that may occur during the project period. For

example, in Semarang, a mayoral election made a signiicant (and in


(5)

Bandar Lampung

Pada awal pembentukannya, Tim Kota Bandar Lampung beranggotakan hampir tiga puluh orang; namun berdasarkan informasi yang diperoleh, saat ini anggota Tim Kota yang aktif hanya kurang lebih sepuluh orang. Tim ini diketahui tidak melakukan pertemuan secara rutin, namun baru-baru ini telah diajukan suatu proposal untuk pelaksanaan pertemuan bulanan. Tim Kota di Bandar Lampung dipimpin oleh Bappeda yang selama ini ditengarai sebagai aktor yang aktif dalam mendorong pelaksanaan program ACCCRN. Ketua dari Tim Kota, yaitu Desti, lebih memilih untuk menargetkan tercapainya kuorum (lebih dari separuh) di setiap pertemuan dibandingkan dengan mencoba meyakinkan setiap anggota untuk hadir di setiap pertemuan; dimana opsi yang terakhir dianggap Desti sebagai kondisi yang sulit tercapai karena kesibukan setiap anggota tim. Terlepas dari keberhasilannya dalam memastikan kehadiran anggota tim dalam jumlah yang cukup di setiap pertemuan, sehingga memungkinkan dilaksanakannya diskusi dan pengambilan keputusan; namun Desti mengakui bahwa berubah-ubahnya peserta pertemuan, terutama di awal-awal program, merupakan suatu masalah bagi pelaksanaan program ACCCRN.

Semarang

Perubahan juga dialami oleh Tim Kota di Semarang dari waktu ke waktu. Pada awalnya tim ini dibawah kendali dan dipimpin langsung oleh Kantor Lingkungan Hidup, dan melibatkan sekitar tiga puluh partisipan yang berasal dari berbagai dinas terkait, LSM, dan universitas. Setelah berakhirnya satu tahun pertama, tim ini melakukan proses evaluasi. Evaluasi pertama dilakukan dengan difasilitasi oleh Mercy Corps di Jakarta; namun karena pada evaluasi pertama tersebut tidak dicapai suatu kesimpulan, maka tim kembali melakukan evaluasi, kali ini secara internal.

Berdasarkan hasil evaluasi, disepakati bahwa Tim Kota akan berada di bawah kendali Bappeda yang notabene memiliki kapasitas lebih untuk mengorganisir dinas-dinas lain di kota. Secara keanggotaan juga dilakukan perubahan, dimana pada awalnya partisipan Tim Kota lebih difokuskan pada kehadiran perwakilan setiap dinas/organisasi (memperbolehkan perbedaan perwakilan di setiap pertemuan), kemudian diubah menjadi difokuskan pada individu tertentu; partisipan yang didaftarkan harus sebagai individu, bukan sebagai perwakilan dinas/organisasi tertentu. Hal ini dilakukan untuk mengatasi isu ketidak konsistenan anggota Tim Kota di setiap pertemuan. Dari sisi struktural, perubahan yang dilakukan adalah membentuk dua tingkat keanggotaan; dimana anggota-anggota kunci, tujuh sampai delapan orang yang memiliki tingkat keaktifan tinggi, membentuk suatu tim inti; sementara anggota lain yang memiliki tingkatan lebih tinggi di pemerintahan serta aktor-aktor politik akan tetap terlibat di dalam program ini lnamun lebih memegang peranan sebagai tim penasihat. Hal ini telah terbukti efektif di dalam pelaksanaan proses pengambilan keputusan dan menarik partisipasi tanpa mengacuhkan pemangku kepentingan utama.

Perubahan Persepsi dan Sikap terhadap Perubahan Iklim

Terlepas dari masih perlu diyakinkannya sebagian kecil pemangku kepentingan, baik di Semarang ataupun Bandar Lampung, mengenai perubahan pola iklim selama beberapa dekade terakhir ataupun mengenai dampak lingkungan negatif yang berpotensi mengancam penduduk rentan di kedua kota tersebut; pembentukan Tim Kota terbukti telah dapat meningkatkan kesadaran di kedua kota mengenai latar belakang ilmiah dari perubahan iklim dan dampak lingkungan terkait, serta mengenai tindakan adaptasi sebagai suatu strategi. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebagian besar orang lebih mengaitkan perubahan iklim dengan mitigasi dibandingkan adaptasi.

Bandar Lampung

The City Team in Bandar Lampung originally consisted of almost thirty members, although now informants agree the number of active participants is closer to ten. It does not meet regularly, although a proposal has been recently put forward for monthly meetings. The City Team is led by the Bappeda, which has been an active force in the project.

The leader of the team, Desti, aims to have at least a quorum (more than half)

at every meeting, rather than trying to convince everyone to attend every time, which she believes is unrealistic, “since everyone is busy.” Although she has been largely successful in managing to get enough people in meetings for discussions and decisions, she admits that the frequent switching of participants, especially at the beginning, was a problem.

Semarang

The City Team in Semarang has also evolved over time. It was originally seated in and led by the Ministry of the Environment, and included around thirty participants culled from relevant ministries, NGOs, and universities.

After one year the team conducted an evaluation, irst with Mercy Corps

facilitation in Jakarta, and then, when no conclusion was reached there, internally.

The evaluation resulted in the City Team moving to Bappeda, which has more power to convening other ministries. It also shifted from requesting participants from each ministry or organization to requesting participants by name, in order to reduce inconsistency in the team members. The City Team also developed a dual-tier structure, in which key dedicated members form a “core team” of around seven or eight who meet regularly, while

higher level and more inluential political players continue to be involved

on a less intensive basis as an “advisor team.” This has proved effective in facilitating decision-making and informed participation without alienating important stakeholders.

Changing Attitudes To Climate Change

While few if any stakeholders in either Semarang or Bandar Lampung need convincing that there had been changes in climate patterns over the past decade, or that the cities face serious environmental hazards that threaten their most vulnerable residents, the formation of the City Team has helped

raise awareness both about the scientiic background for these changes and

hazards, and about adaptation as a strategy. According to interviews, most people relate climate change to mitigation rather than adaptation.

IV. Tim Kota

City Team

Tim Kota, dengan segala kelebihan maupun kekurangannya, merupakan inti dari program ACCCRN. Menarik keterlibatan organisasi dan partisipan yang tepat sebagai bagian dari Tim Kota merupakan suatu sistem kerjasama yang efektif antara pemerintah kota dengan program; selain juga tentunya menjadi kunci di dalam keberlanjutan program tersebut. Namun di balik kelebihan ini, terdapat juga kemungkinan bahwa Tim Kota menyimpan sendiri ilmu dan kapasitas yang mereka dapat, tanpa menyebarluaskan ilmu tersebut kepada pihak-pihak lain di luar anggota Tim Kota.

The City Team is the heart of the ACCCRN program, and as such encapsulates its strengths and its limitations. Reaching the right structure and participants on the City Team makes it a potent fulcrum between the program and the municipality, as well as a key player in the sustainability of the efforts. However, the City Team can also concentrate knowledge and capacity, without doing enough to disseminate learnings outside of its members.


(6)

Tantangan

Tim Kota, sebagai struktur inti dari program ACCCRN, menghadapi berbagai tantangan dan hambatan baik dalam proses internalnya – bagaimana agar dapat berjalan dan berfungsi secara efektif sebagai suatu tim – maupun dalam mencapai tujuan yang lebih luas – bagaimana cara untuk meningkatkan posisi dan tingkat kepentingan kebijakan dan rencana terkait perubahan iklim di pemerintahan kota.

Kedua tantangan ini merupakan hal yang sangat bermanfaat, tidak hanya bagi proyek terkait perubahan iklim di masa yang akan datang, tetapi juga untuk program/kegiatan lain yang mencoba untuk meintegrasikan pihak luar (dari sisi keahlian dan pendanaan) ke dalam sistem pemerintahan kota (dari sisi perencanaan dan pendanaan ).

Dalam kaitannya dengan proses, Tim Kota menghadapi tantangan yang sama selayaknya program/kegiatan lain yang memberikan beban lebih kepada staf pemerintahan untuk melaksanakan program/kegiatan tersebut tanpa adanya gaji tambahan.

1. Tingginya tingkat perubahan anggota tim. Adanya agenda pekerjaan yang lain serta perbedaan tingkat kepentingan mengakibatkan pertemuan rutin Tim Kota acapkali dihadiri oleh peserta yang berbeda-beda. Akibatnya, sulit untuk membangun tingkat pengetahuan yang setara di antara anggota tim kota; seringkali waktu terbuang untuk memberikan penjelasan kepada peserta baru.

Walaupun kedua Tim sama-sama menyadari isu ini, namun mereka memiliki solusi yang berbeda. Pada kedua kasus, di dalam Tim Kota sendiri akhirnya muncul suatu grup kecil berisikan partisipan yang memiliki ketertarikan tinggi pada isu perubahan iklim. Di Bandar Lampung, kondisi ini diterima dan grup kecil ini secara tersirat dianggap sebagai representasi dari Tim Kota. Sementara di Semarang, Tim Kota dibagi lagi menjadi 2 grup, dimana salah satunya – grup kecil – memiliki tingkat pertemuan yang lebih tinggi. Kedua grup ini sama-sama meminta partisipan didaftarkan sebagai individu, dan bukan meminta perwakilan dari dinas.

2. Tingginya tingkat perubahan dinas yang menjadi anggota Tim Kota. Seperti halnya negara lain di dunia, staf pemerintah kota di Indonesia mengalami rotasi/mutasi pekerjaan secara rutin. Hal ini mengakibatkan perubahan keanggotaan; baik dari sisi individu maupun dari sisi keberadaan perwakilan suatu dinas; di dalam Tim Kota. Sebagai contoh, sepanjang keterlibatanya di dalam Tim Kota, seorang staf pemerintahan di Bandar Lampung pernah berdinas di Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perikanan serta Dinas Kesehatan. Terlepas dari partisipasi aktif individu tersebut di dalam program, namun sebagai akibat dari mutasi ini, Dinas Pekerjaan Umum tidak lagi memiliki perwakilan di dalam Tim Kota.

Kedua kota sampai saat ini belum mendapatkan solusi yang tepat untuk menghadapi tantangan ini, walaupun keduanya menyadari akan pentingnya transfer ilmu dari anggota tim kepada staf-staf lain di lingkungan dinas/ instansi mereka sehingga dapat membantu proses perpindahan tanggung jawab.

3. Kurangnya keberagaman anggota Tim Kota. Kedua Tim Kota diketahui tidak memiliki perwakilan yang cukup dari sektor swasta, dan keduanya juga tidak melibatkan pemimpin masyarakat. Walaupun kedua pihak tersebut dilibatkan di dalam aktivitas Shared Learning Dialogues, namun partisipasi mereka di dalam Tim Kota juga akan memberikan efek positif.

4. Konlik eksisting di antara anggota tim. Pada beberapa kasus, isu saling curiga antara LSM dengan pemerintah ditengarai sebagai sesuatu hal yang masih dapat diatasi, namun tentunya membutuhkan waktu. Fasilitator harus dapat menyadari ketegangan antar pihak dan mencari cara untuk meredam konlik yang dapat terjadi.

Challenges/Pitfalls

The City Team, as the core structure of the project, faces challenges both in its own processes – how to be a functioning and effective group – and in achieving its broader goals – how to raise the level of climate change policy and planning in the municipality.

Both of these sets of challenges are instructive not only for future climate change projects, but also for almost any initiative that seeks to integrate outside expertise and funding with local government planning and budgets.

In terms of process, the City Teams faced the same challenges faced by any initiative which asks government employees to take on additional responsibilities without additional pay or prestige.

1. High turnover among members. With competing schedules and varying levels of interest, ministries would often be represented by different

individuals in successive meetings. This made it dificult to build a standard

knowledge base across members and resulted in wasted time bringing new people up to speed.

While both City Teams recognized this issue realistically, they have taken slightly different approaches to dealing with it. In both cases, a smaller group of participants with a strong interest in the issues emerged organically within the City Team. In Bandar Lampung, this is accepted and used as a proxy for the City Team implicitly. Semarang has explicitly created two separate teams within the City Team, one of which meets more frequently. Both teams also request participants by name, rather than requesting one person from a given ministry.

2. High turnover among participating agencies. As in many countries,

Indonesia local government oficials are rotated among ministries on a regular

basis. This can result in further turnover in the City Team – or, alternatively, for members remaining on the City Team while ministries are no longer

represented. For example, one oficial in Bandar Lampung has worked for

the Ministries of Public Works, Fisheries, and Health during his tenure on the City Team. While his consistent participation on the team as an individual has been positive, Public Works is no longer represented by anyone.

Neither city has found a satisfactory solution to this challenge, although both mentioned the need to promote greater transmission of learnings from City Team members to others in their ministries, which would facilitate more productive handovers.

3. Not enough diversity in the City Team. Both City Teams were short on private sector actors, and neither included community leaders. Although

those groups were invited to the Shared Learning Dialogues, the City Team would also beneit from their participation.

4. Pre-existing friction among members. In some cases, suspicion between NGOs and the government was mentioned as something which could be overcome, but which took some time to work out. Facilitators should try to

be aware of tensions among participants and ind ways to work through or


(7)

5. Rendahnya tingkat partisipasi anggota. Dikarenakan sifat pekerjaan ACCCRN yang sukarela (tanpa dibayar) dan dengan tingkat prestis yang kurang tinggi, maka tidaklah mengherankan jika program kesulitan dalam mendapat tingkat partisipasi penuh dari anggota Tim Kota.

Strategi yang dirasa paling efektif untuk mengatasi masalah partisipasi ini adalah dengan mengidentiikasi orang-orang yang benar-benar tertarik dan berdedikasi terhadap isu perubahan iklim serta, jika mungkin, orang-orang yang senang bekerja sama. Di Semarang, ‘tim inti’ di dalam Tim Kota bertemu secara informal setiap dua minggu sekali; seringkali di rumah makan ataupun di rumah seorang anggota tim. Di Bandar Lampung, ketua Tim Kota memberikan undangan pertmeuan formal disertai dengan sms sebagai pengingat; mereka juga mempertimbangkan untuk mengadakan pertemuan rutin, sebagai pengganti pertemuan ad-hoc¬.

Di luar berbagai tantangan yang dihadapi Tim Kota agar dapat berfungsi, ada satu tantangan lain yang perlu diatasi, yaitu keefektifan tim ini sebagai suatu kesatuan yang dapat mendorong peningkatan kesadaran terhadap perubahan iklim serta mendorong perencaan langkah adaptasi.

6. Kurangnya kapasitas dan lemahnya peningkatan kapasitas. Keinginan untuk belajar lebih banyak lagi, khususnya mengenai topik ilmiah, merupakan hal yang dikemukakan oleh anggota Tim Kota di kedua kota. Secara umum, mereka berpendapat bahwa proses peningkatan kapasitas yang diberikan oleh program ini kurang mencukupi untuk menjalankan tugas-tugas yang harus mereka lakukan; misalnya memilih proyek percontohan yang sesuai berdasarkan dampak perubahan iklim dan menyampaikan informasi kepada pemangku kepentingan yang lain. Kurangnya kapasitas juga bisa dilihat dari desain proyek serta persiapan proposal proyek di Bandar Lampung, yang kemudian berdampak negatif pada pelaksanaan ACCCRN di kota tersebut manakala proposal yang diajukan tidak didanai oleh Rockefeller Foundation. Perlu tersirat di dalam pendanaan dan perencanaan, bahwasanya peningkatan kapasitas memerlukan lebih dari sekali presentasi atau lokakarya, terutama apabila berkaitan dengan tema yang di luar bidang kerja peserta (misal tema analisa ilmiah untuk orang-orang yang tidak berkecimpung di bidang tersebut).

7. Kurangnya penyebaran informasi dan partisipasi, di luar Tim Kota. Selain dari Shared Learning Dialogues (akan didiskusikan di bagian selanjutnya),

ACCCRN tidak memiliki suatu struktur formal untuk menyebarkan pengetahuan atau mendorong partisipasi di luar Tim Kota; baik untuk instansi pemerintah, LSM atau universitas atau bahkan untuk masyarakat umum. Walaupun tingginya kekompakan di dalam internal Tim Kota, seperti yang terjadi di Semarang, berujung kepada proses pengambilan keputusan yang lebih efektif serta peningkatan komitmen di dalam tim; di lain pihak hal ini juga berdampak pada terkonstrasinya pengetahuan dan partisipasi di dalam tim tersebut. Proyek yang dilakukan menjadi lebih terfokus pada membangun momentum dan ketertarikan akan isu perubahan iklim di dalam Tim Kota, hampir melupakan inti dari program itu sendiri yaitu memberikan manfaat bagi masyarakat yang terkena risiko.

Sekurang-kurangnya, harus ada suatu mekanisme untuk mempublikasikan keputusan dan hasil yang diperoleh kepada masyarakat penerima manfaat dan kota secara luas; diperlukan juga suatu struktur (seperti misalnya agenda untuk melakukan training/pertemuan saat makan siang atau jumlah presentasi yang harus dilakukan) yang dapat mendorong anggota Tim Kota untuk membagi informasi yang mereka peroleh kepada dinas/instansi/ organisasi asal mereka. Selain daripada itu, aktivitas monitoring dan evaluasi ketat dengan indikator yang jelas yang dilakukan di lingkungan penerima manfaat dapat membantu dalam memfokuskan kegiatan pada kelompok rentan, serta pada pencapaian penting dalam hal tingkat keterlibatan dan keterkaitan para pemangku kepentingan.

Pencapaian

Pembentukan Tim Kota telah berhasil mencapai satu tujuan utama program ACCCRN. Di Semarang, dan dengan lingkup yang lebih kecil di Bandar Lampung, sekarang telah terbentuk suatu koalisi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang bertujuan untuk mendorong dan menggiatkan adaptasi perubahan iklim serta memiliki kesadaran akan potensi pendanaan untuk proyek adaptasi perubahan iklim. Walaupun pada awalnya sebagian anggota tim telah bekerja di bidang perubahan iklim atau telah mendorong aksi adaptasi,

5. Low participation by members. With ACCCRN requiring unpaid, not

particularly prestigious extra work, it is less surprising that it is dificult to get

full participation than that participation is as high as it is.

The most effective strategies to ensuring participation seem to be identifying people who are already interested and invested in the issues discussed and, if possible, people who enjoy working together. In Semarang, the “core team” within the City Team meets informally every two weeks, often at a restaurant or at the house of a team member. In Bandar Lampung, the City Team leader

has attempted to reinforce letters of invitation to meetings with sms reminders;

they are also considering instituting regular, instead of ad hoc, meetings.

Beyond the challenges in getting the City Team to function are the challenges in its effectiveness as an entity promoting climate change awareness and adaptation planning.

6. Lack of capacity and insuficient capacity building. A desire to learn more and particularly to have more scientiic capacity was expressed by

many City Team members in both cities. Almost universally, they feel that

the capacity building supported by the program is insuficient for the tasks

they are supposed to take on, such as selecting pilot projects based on climate change adaptation impact and informing additional stakeholders. A lack of capacity was also noted in project design and preparation of project proposals in Bandar Lampung, which adversely affected the implementation of ACCCRN when proposals were not funded by the Rockefeller Foundation.

There needs to be a recognition in budgets and planning that capacity building will require more than one-off presentations or workshops, particularly when

it is on a subject out of the participants’ normal scope of work (e.g., scientiic

analysis for non-scientists).

7. Lack of dissemination of information and participation beyond the City

Team. Other than the Shared Learning Dialogues (discussed below),

ACCCRN has no formal structure or provisions for disseminating knowledge or encouraging participation beyond the City Team, either within government ministries, NGOs, or universities, or to the general public. While greater cohesiveness within the City Team, as in the case of Semarang, leads to a more effective decision-making process and more commitment to the project, it also tends to concentrate the knowledge and participation within that group. The project became focused on creating momentum and excitement around climate change adaptation within the City Team to the point of losing

sight of the at-risk communities that are supposed to be the beneiciaries.

At a minimum, there should be some mechanism for publicizing decisions and

results to beneiciaries and the city at large; there should also be a structure

(such as a calendar for brown-bags or required number of presentations) that encourages City Team members to share information from their meetings with their respective ministries or organizations. Beyond that, more stringent

M&E with clear indicators around beneiciary populations can help to keep

the focus on vulnerable groups, as well as on the important and admirable accomplishment of levels of engagement among stakeholders.

Success/Impact

The establishment of the City Team has succeeded in one of the key (if not explicitly stated) objectives of the ACCCRN program. In Semarang, and to a lesser extent in Bandar Lampung, there is now a moderately diverse coalition of stakeholders dedicated to promoting climate change adaptation and aware of potential funding availability for CCA projects. While some of the members already worked on climate change issues or promoted adaptation, the collaboration and the funding orientation are both results of this project.


(8)

namun adanya program ACCCRN ini telah membantu memfasilitasi kolaborasi berbagai pihak serta memberikan orientasi mengenai pendanaan.

Rekomendasi

1. 1. Undang pihak-pihak yang ingin berpartisipasi. Seperti halnya

pemilihan kota, mencari individu yang ingin menjadi bagian dari proyek ini adalah kunci untuk membentuk suatu Tim Kota yang aktif dan memiliki tingkat keterlibatan tinggi. Satu strategi yang sukses diimplementasikan oleh ACCCRN adalah mengidentiikasi seorang champion, seseorang yang memang sudah memiliki ketertarikan pada isu perubahan iklim dan berkomitmen untuk memajukan proyek; serta strategi mereka dalam menggunakan kontak personal untuk mengidentiikasi calon partisipan, walaupun strategi ini selaiknya diiringi dengan metode perekrutan yang lain untuk memastikan partisipan berasal dari kalangan yang lebih luas, tidak hanya bergantung kepada jaringan sosial seseorang saja. Harus diupayakan bahwa perwakilan dari suatu dinas tidak berubah-ubah di setiap pertemuan, baik dengan cara mengundang individu tertentu ataupun meminta dinas untuk mengirimkan satu orang perwakilan tetap.

2. Berupaya melibatkan berbagai jenis organisasi dan aktor ke dalam Tim Kota. Satu poin utama dari Semarang dan

Bandara Lampung adalah kurangnya perwailan dari sektor swasta di dalam Tim Kota. Terlepas dari kesulitan yang diperoleh dalam menarik komitmen partisipan, namun perlu diupayakan secara terus-menerus untuk menarik ketertarikan dan keterlibatan partisipan dari kalangan yang lebih luas.

3. Identiikasi dinas yang dirasa paling efektif untuk memimpin Tim Kota.

Selain daripada perlunya seorang champion individu untuk mendorong implementasi proyek, diperlukan juga suatu organisasi dengan posisi yang kuat yang dapat menarik isu ini ke dalam pemerintahan kota . Salah satu alasan keberhasilan Tim Kota ACCCRN dalam mengintegrasikan prioritas mereka ke dalam proses perencanaan kota adalah karena Tim Kota berada di bawah tanggung jawab Bappeda, dinas utama untuk bidang koordinasi dan perencanaan, memberikan mereka legitimasi dan akses langsung ke proses perencanaan, dan hingga tataran tertentu, kewenangan di atas dinas-dinas lain. Pentingnya hal ini disampaikan berulang kali oleh interviewee dengan memberikan contoh kasus yang

terjadi di Semarang, dimana memindahkan tanggung jawab atas Tim Kota dari BLH ke Bappeda berdampak pada peningkatan tingkat partisipasi dan efektivitas tim.

Susunan yang paling sesuai dan efektif untuk suatu Tim Kota akan berbeda-beda tergantung kepada struktur dari pemerintah kota itu sendiri, sehingga diperlukan suatu analisa terhadap pemangku kepentingan sebagai metode identiikasi.

4. Identiikasi metode/alat dalam sistem birokrasi yang dapat digunakan untuk membentuk Tim Kota secara formal. Di Indonesia, ditandatanganinya surat keputusan penugasan oleh walikota merupakan faktor utama yang mendorong staf pemerintahan untuk melakukan pekerjaan tambahan terkait program ACCCRN. Tergantung kepada konteksnya, penyusunan perjanjian formal dengan institusi lain, seperti universitas, juga dapat dipertimbangkan. Pengakuan secara formal mengenai eksistensi Tim Kota dan komitmen untuk mendukung tim ini dapat membantu mendorong ketertarikan dan keterlibatan institusi anggota tim dalam isu perubahan iklim.

5. Menyusun suatu struktur yang leksibel agar dapat melakukan pengambilan keputusan dan penyertaan. Satu contoh struktur yang dianggap sukses adalah yang terbentuk di Semarang; dimana di dalam Tim Kota terdapat suatu tim inti yang bertugas sebagai implementor utama yang bekerja dengan didukung oleh tim penasihat yang melibatkan pejabat dengan tingkatan lebih tinggi serta pihak lain yang ditengarai sesuai sebagai anggota tim namun tidak memiliki waktu yang cukup ataupun tingkat ketertarikan untuk memajukan program ini. Namun tentunya masih ada bentuk-bentuk struktur yang lain, selain daripada contoh dari Semarang ini.

6. Mendorong pelaksanaan pertemuan informal, sebagai tambahan dari SLD. Hal ini terjadi setidaknya di Semarang, dimana adanya pertemuan informal ditengarai telah membantu meningkatkan efektivitas pekerjaan tim inti dari Tim Kota.

7. Mengidentiikasi dan menumbuhkan pemimpin. Champion ataupun individu yang proaktif dan antusias dalam memajukan program dapat

Recommendations

1. Invite those who want to participate. As with the city selection, inding the people who want to be a part of the project is key to establishing an engaged, active City Team. One strategy successfully used by ACCCRN is to identify a champion, someone who is already interested in climate change issues and is committed to moving the project forward, and using their contacts to identify participants, although that should be combined with other methods of recruitment to ensure representation broader than one person’s social network. Efforts should be made for ministries to be represented by the same person at every meeting,

whether by inviting people by name or through speciic requests to the

ministry to designate a single, non-interchangeable participant.

2. Work to engage a diverse range of organizations and actors on the City Team. One point from both Semarang and

Bandar Lampung was the insuficient representation of the private sector on the City Team. While it may be dificult to get

commitments for participation, continuing efforts should be made to attract a broad spectrum of participants.

3. dentify the most effective ministry to take the lead on the city team. In addition to having an individual champion to push forward implementation, in order for the program to gain traction within municipal government it needs to have a strong position within the system. Part of the reason the ACCCRN City Teams were effective at embedding their priorities in city planning processes was because the City Team

was based in the BAPPEDA, the key coordination and planning ministry,

giving it legitimacy, direct access to planning processes, and some degree of convening authority over other ministries. The importance of this was mentioned again and again by interviewees, and demonstrated in the case of Semarang, where moving the City Team from the Ministry

of the Environment to BAPPEDA led to greater participation and

effectiveness.

The most appropriate and effective setting for the City Team will vary depending on the structure of local government, so a stakeholder analysis should be used to identify it.

4. Identify the bureaucratic necessary tools to formally establish the City Team. In Indonesia, having the mayors sign a letter establishing the City Team was a key factor in authorizing city employees to spend

their working time on it. Depending on the context, formal agreements

with other institutions, such as universities, could also be considered. The formal recognition of the City Team and commitment to support it can also promote greater interest and investment in climate change by participating institutions.

5. Set out a structure lexible enough to allow for decision-making and inclusion. The Semarang model of having a core

group that does most of the actual work along with an advisor

group that includes higher-ranking oficials and others who are

desirable as members but do not necessarily have the time or interest to drive the process forward is one successful example, but there are other possibilities.

6. Promote informal meetings in addition to the SLDs. At least in Semarang, informal meetings helped the core group of the City Team to work more effectively.

7. Identify and cultivate leaders. Champions or proactive, enthusiastic individuals who drive the project forward can make the difference


(1)

5. Penjadwalan kegiatan. Dalam kasus ACCCRN, jadwal yang padat menyebabkan proyek percontohan ditentukan sebelum selesainya VAA. Walaupun hal ini mengurangi masalah dalam hal menentukan area prioritas, apakah area yang diidentiikasi sebagai daerah rentan oleh VAA yang didasarkan atas informasi yang tidak ter-update¬ atau area yang menurut anggota Tim Kota pada kenyataannya memang berisiko. Hal ini juga mengeliminasi sebagian pembenaran mengenai VAA dan kegunaannya. Penjadwalan yang lebih realistis akan memberikan kesempatan bagi pelaksanan untuk mengumpulan dan menganalisa data sebelum pengambilan keputusan.

Pencapaian

Terlepas dari kelemahan CCROM dalam melakukan VAA, Tim Kota tetap dapat menggunakan hasil dari kajian tersebut secara langsung ataupun adaptasinya sebagai dasar untuk proyek percontohan tahap kedua serta pemilihan studi sektoral. Data dari VAA juga dapat digunakan untuk mempromosikan proyek percontohan serta program ACCCRN sendiri. Proyeksi akan dampak di masa yang akan datang, pada khususnya, cukup mempengaruhi para pemangku kepentingan dan memberikan kesempatan untuk dilakukannya perencanaan jangka panjang yang lebih matang. Rekomendasi

1. Menggunakan kearifan lokal dan mengumpulkan data konkrit di lapangan. Berdasarkan pengalaman dari program ACCCRN, diketahui bahwa penggunaan data nasional tanpa melakukan veriikasi di lapangan dapat menyebabkan adanya perbedaan antara hasil kajian dengan realita yang ada, serta menurunkan rasa kepemilikan dan ketertarikan yang dimiliki pemangku kepentingan lokal terhadap dokumen VAA. Walaupun pada dasarnya VAA harus bermanfaat dalam meningkatkan kapasitas sumber daya lokal, tetapi proses penyusunannya juga harus mempertimbangkan kearifan lokal; baik melalui praktik di lapangan, maupun dengan melibatkan pemangku kepentingan lokal utama ke dalam suatu tim yang dipimpin oleh tenaga ahli yang kuat.

2. Cara penyampaian informasi yang mudah dipahami. Hasil VAA haruslah mudah dipahami oleh pemangku kepentingan lokal; setiap bagiannya perlu dicermati. Isi dokumen mungkin tidak hanya semata diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, tetapi juga ke dalam bentuk bahasa yang dapat dimengerti oleh orang awam; mungkin perlu disertai dengan diagram/ gambar atau pembuatan video atau membuat suatu ringkasan dokumen selain daripada dokumen asli yang lebih komprehensif. Memahami kebutuhan masyarakat dan menerjemahkan hasil ilmiah ke dalam bahasa masyarakat awam harus menjadi bagian dari lingkup kerja kegiatan penyusunan VAA.

3. Mengintegrasi berbagai komponen program. Apabila VAA harus dilakukan oleh beberapa organisasi, maka proses pengintegrasian VAA ke dalam rangkaian program harus dilakukan dengan cermat, termasuk dalam hal mekanisme pengawasan dan akuntabilitas.

4. Penyebaran informasi mengenai program. Dokumen VAA merupakan alat penggerak dan advokasi yang berharga, sehingga mekanisme penyebaran informasi yang sesuai dengan konteks ini harus direncanakan dan menjadi bagian dari dokumen VAA.

5. Timing. In the case of ACCCRN, a compressed timeframe meant that the pilot projects were selected before the VAA was completed. While this removed the problematic decision over whether to prioritize the areas identiied as vulnerable based on the outdated information in the VAA or the areas which City Team members felt were visibly more at risk, it also removed some of the justiication for and usefulness of the VAA. Realistic timeframes should allow for data to be collected and analyzed before decisions are made.

Success/Impact

Despite the weaknesses in CCROM’s implementation of the VAAs, the City Teams were able to use the results, or their adaptation of the results, for the second round of pilot projects, as well as the selection of sector studies. The VAAs also provide useful data for promoting the pilot projects and the program itself. The projections of future impacts, in particular, made an impression on stakeholders and allowed for more concrete long-term planning.

Recommendations

1. Include local knowledge and on-the-ground data collection. The experience of the ACCCRN program shows that using national data without ield validation is likely to result in disparities between assessment results and reality, as well as reducing the sense of ownership and investment that local stakeholders feel in the report. While the VAA must add value beyond what local resources are capable of, it must also take into account the value of local knowledge, either through extensive ieldwork or, ideally, by including key local stakeholders on a team with strong expert leadership.

2. Present information in an accessible way. In each context, care should be taken so that the results of the VAA are understandable for local stakeholders. This may mean not only translation into local language, but into simple local language; it may require including diagrams, or creating a video, or providing a concise summary in addition to more extensive material. Understanding the needs and translating the scientiic results into layman’s terms should be part of the scope of work for the VAA.

3. Integrate program components. If the VAA must be done by a separate organization, care should be taken to integrate it with the rest of the program, including monitoring and accountability structures.

4. Disseminate program information. The VAA report is a valuable mobilization and advocacy tool, and dissemination methods appropriate for the context should be planned for the report.


(2)

Program ACCCRN memberikan peluang pendanaan untuk beberapa proyek percontohan, namun mensyaratkan agar proyek-proyek yang diusulkan dari berbagai kota di tingkat regional berkompetisi untuk mendapatkan dana tersebut. Walaupun kota partner di Indonesia berhasil mendapat pendanaan untuk beberapa proyek percontohan di tahap pertama; namun pada tahap kedua tidak ada usulan proyek yang disetujui; dan saat penulisan dokumen ini dilakukan, kedua kota di Indonesia sedang mengajukan proposal proyek percontohan untuk tahap ketiga. Proyek yang telah dilaksanakan di Indonesia adalah:

Bandar Lampung:

1. Program Participatory Design Adaptasi Ketahanan Masyarakat Kelurahan Kangkung Dan Kota Karang Kota Bandar Lampung terhadap Perubahan Iklim: peningkatan kesadaran dan pelatihan daur ulang serta penyediaan air bersih;

2. Peningkatan Kapasitas Masyarakat di Kelurahan Panjang Selatan terhadap Dampak Perubahan Iklim: peningkatan kesadaran, rehabilitasi lahan dan penyediaan air bersih;

Semarang:

1. Proyek Rintisan Kredit Sanitasi Pemukiman Berbasis Komunitas Untuk Mengantisipasi Perubahan Iklim Pada Tingkat Perkotaan Di Kelurahan Kemijen Kecamatan Semarang Timur Kota Semarang: pinjaman untuk meningkatkan fasilitas sanitasi di permukiman yang rawan terhadap tanah longsor.

2. Model Penataan Lahan untuk Meminimalisasi Bencana di Kelurahan Sukorejo Kecamatan Gunungpati Semarang: Terasering, biopori dan sumur resapan;

3. Upaya Adaptasi oleh Masyarakat di Kawasan Pesisir Tapak Tugurejo sebagai Bentuk Ketahanan Masyarakat dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim: penahan gelombang dan konservasi tanaman bakau 4. Adaptasi terhadap Dampak Perubahan Iklim (Tanah Longsor dan Puting

Beliung) di Kelurahan Tandang, Kota Semarang: penanaman untuk mencegah tanah longsor.

Proyek percontohan di atas memiliki tingkat pencapaian yang bervariasi. Perubahan Persepsi dan Sikap terhadap Perubahan Iklim Sebagian besar masyarakat yang diwawancara hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan proyek percontohan dan tidak mengikuti SLD, sehingga program ini tidak terlalu banyak memberikan informasi baru mengenai perubahan iklim kepada mereka. Proyek percontohan yang dilakukan dirasa bermanfaat dalam memberikan solusi untuk isu aktual di lingkungan sekitar mereka, seperti misalnya banjir dan tanah longsor, dan keterlibatan mereka di dalam proyek ini tidak perlu didorong oleh suatu bukti ilmiah. Walaupun informasi baru yang mereka dapatkan sangat minimal, namun proyek-proyek tersebut ditengarai telah mampu meningkatkan kesadaran masyarakan akan pentingnya dan peluang pelaksanaan aksi adaptasi, dibandingkan mitigasi; menunjukkan keterkaitan konsep perubahan iklim dengan aksi-aksi yang praktis dan rendah biaya untuk mengatasi dampaknya.

Studi sektoral memiliki peranan yang sama dengan VAA atau SLD; dimana ketiganya tidak memiliki strategi atau mekanisme yang jelas untuk penyebaran informasi di luar lingkup Tim Kota.

Tantangan

1. Mengusulkan proyek yang aplikatif dan dapat diterima oleh donor. Memperoleh persetujuan pendanaan dari Rockefeller Foundation untuk proyek percontohan merupakan salah satu tantangan utama bagi Tim Kota Semarang dan Bandar Lampung, terutama pada tahap kedua dan ketiga. Hal ini tidak hanya menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas Tim Kota serta perlunya dokumen VAA yang lebih informatif, namun juga mengindikasikan perlunya kriteria yang jelas untuk pendanaan proyek percontohan serta dukungan untuk hal ini. Berdasarkan hasil monitoring terhadap keseluruhan proses ACCCRN yang dilakukan oleh konsultan yang dikontrak oleh Rockefeller Foundation, salah satu kekurangan yang dapat terlihat adalah tidak semua proyek percontohan yang dilaksanakan memenuhi deinisi adaptasi perubahan iklim menurut pendapat donor.

VII. Proyek Percontohan dan Studi Sektoral

Vulnerability and Adaptation Assessment

Di Bandar Lampung, Studi Sektoral dilakukan untuk sektor drainase dan limbah padat; sementara di Semarang untuk sektor drainase, erosi dan dampak ekonomi dari banjir.

In Bandar Lampung, Sector Studies were done on drainage and solid waste; in Semarang on drainage, erosion, and the economic impact of looding.

The ACCCRN program included some funding for pilot projects, but required that additional projects compete for a pot of funds available to all participating cities across the region. Although the Indonesian cities were able to implement several pilot projects in the irst round of proposals, they had none approved for the second, and were submitting proposals for the third at the time of this study. The projects that had been undertaken included:

Bandar Lampung:

1. Society Endurance Adaptation Design Participatory Program in Kangkung and Kota Karang District Bandar Lampung City towards Climate Change: Awareness raising and training on recycling and clean water provision;

2. Capacity Building for Panjang Selatan Sub-district Community towards Climate Change Impact: Awareness raising, land rehabilitation and clean water provision;

Semarang:

1. Pilot Project Community Based Revolving Fund for Improving Sanitation to Anticipate Climate Change at Urban level in Kelurahan Kemijen, Semarang: Loans for improved sanitation facilities in houses prone to subsidence;

2. Land Arrangement Models to Minimize Disaster in Kelurahan Sukorejo Kecamatan Gunungpati Semarang: Terracing, biopores and recharge wells;

3. Coastal Community Adaptation in Tapak Tugurejo as a Resilience Community Coping Climate Change: Breakwater and mangrove conservation;

4. Adaptation to Climate Change Impacts (Landslide and Cyclone) in Sub District of Tandang, City of Semarang: Landslide prevention planting. The success of the pilot projects varied considerably.

Changing Attitudes To Climate Change

Most of the community members who were interviewed had only participated in the pilot projects and not in the SLDs, and so they had received very little new information about climate change issues through the program. The pilot projects directly addressed immediate issues that they faced in their neighborhoods, such as looding and landslides, and scientiic justiication was not necessary for their participation. However, the projects did raise the proile and the possibility of adaptation as opposed to mitigation, connecting the concept of climate change with low-cost, practical measures to address its impacts.

The sector studies played a similar role to the VAA or the SLDs; like these, they lacked a strategy or mechanism for dissemination beyond the City Team.

Challenges/Pitfalls

1. Proposing viable projects acceptable to the donors. Getting pilot projects approved by the Rockefeller Foundation proved a signiicant challenge for the City Teams in Semarang and Bandar Lampung, particularly in the second and third rounds. While this relates to the need for capacity building in the City Teams and for more accessible VAA reports, it also highlights the importance of clear criteria for pilot project funding and direct support in this area of the program. In particular, monitoring by the consultant contracted by the Rockefeller Foundation for the overall ACCCRN program suggested that not all of the pilot projects it the deinition of climate change adaptation according to the donors.


(3)

2. Membuat suatu keterkaitan antara adaptasi perubahan iklim dengan proyek percontohan. Beberapa responden berpendapat bahwa tidaklah mudah bagi anggota Tim Kota – terutama yang tidak terlalu aktif sebelum pelaksanaan proyek percontohan – untuk mencari dan menarik keterkaitan antara isu-isu ilmiah yang dibahas pada saat SLD dengan kegiatan-kegiatan di dalam proyek percontohan. Hal ini menjadi suatu hambatan di dalam proses pemilihan proposal dan pengawasannya. 3. Pengawasan dan Evaluasi. Ada suatu ketidakjelasan dalam hal

tanggung jawab pelaksanaan aktivitas pengawasan untuk proyek percontohan; walaupun pada dasarnya aktivitas ini diharapkan menjadi tanggung jawab Tim Kota, namun pada kenyataannya tim ini tidak memiliki kapasitas serta sumber daya yang cukup untuk melakukannya, selain itu ada juga risiko konlik kepentingan. Di lain pihak, walaupun aktivitas pengawasan sekunder yang dilakukan oleh Mercy Corps sangat terbatas, namun hal tersebut menurunkan insentif bagi Tim Kota untuk melakukan pendekatan yang lebih aktif dan cermat. Banyak sekali isu-isu kecil dan besar yang menyelimuti pelaksanaan proyek percontohan yang sebenarnya dapat diselesaikan segera dengan melakukan pengawasan yang lebih ketat.

4. Penyebaran informasi. Seperti halnya SLD dan VAA, studi sektoral memiliki kekurangan di dalam hal penyebar luasan informasi dan hasil. 5. Tindak lanjut. Lemahnya rencana dan aktivitas tindak lanjut merupakan

keluhan yang diutarakan oleh sebagian besar responden mengenai implementasi proyek percontohan. Mereka merasa bahwa momentum yang dibangun oleh proyek ini menjadi sia-sia saat keberlanjutan dan potensi perluasannya tidak dipersiapkan. Walaupun kondisi ini tentunya dipengaruhi oleh isu eksternal dalam hal ketersediaan dana dan waktu, hal ini tetap harus menjadi salah satu pertimbangan di dalam proses perencanaan proyek percontohan, agar proses transisi kegiatan ke skala yang lebih besar nantinya dapat berjalan dengan

lebih lancar.

6. Sistem skala besar vs skala kecil. Walaupun di satu pihak suatu proyek percontohan yang berskala kecil dapat mengatasi dampak perubahan iklim; namun di lain pihak, proyek ini tidak dapat mengatasi, atau mungkin justru memperparah, isu sosial dalam skala besar yang menentukan kelompok masyarakat mana yang lebih rentan. Sebagai contoh, proyek percontohan yang dilakukan di Semarang bertujuan untuk meningkatkan kondisi masyarakat miskin yang terkena banjir secara rutin serta tanah longsor melalui pelaksanaan penanaman pohon dan pembuatan biopori. Sebelumnya masyarakat ini tinggal di area yang tidak dapat dihuni lagi karena terkena intrusi air laut, kemudian mereka direlokasi ke area rawan banjir dan tanah longsor. Struktur politis yang mendasari proses relokasi inilah yang tidak dipertimbangkan oleh proyek ini; masyarakat direlokasi dari satu area rentan ke area rentan lainnya. Meskipun isu-isu tersebut hingga tataran tertentu tidak masuk dalam cakupan program ini, namun perlu dipahami bahwa dalam jangka panjang proyek-proyek ini dapat mendorong kelanjutan dari situasi kehidupan yang tidak berkesinambungan, alih-alih memaksa pemerintah kota untuk mengambil pilihan yang berbiaya tinggi. Namun tentunya hal ini hanya berlaku untuk kasus-kasus tertentu.

Pencapaian

Walaupun beberapa proyek percontohan (contohnya, proyek air minum di Bandar Lampung) menghadapi hambatan operasional yang signiikan, namun dapat diidentiikasi juga pencapaian/keberhasilan dari proyek-proyek tersebut. Responden di Semarang memberikan respon yang sangat antusias saat berbicara mengenai proyek penanaman pohon dan biopori, mereka juga memperlihatkan kesediaan untuk berkontribusi dan melakukan pemeliharaan yang tentunya akan membuat iri program-program partisipasi masyarakat lainnya. Proyek ini telah berhasil meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat serta meningkatkan niat baik organisasi pelaksana dan ketertarikan mereka terhadap aktivitas adaptasi lainnya. 2. Making the connection between climate change adaptation and pilot

projects. Some interviewees reported that it was not always simple for City Team members – particularly those who had been less active up to that point – to make the connection between the scientiic issues that had been discussed in the SLDs and the activities of the pilot projects. This created dificulties in effective proposal selection and monitoring. 3. Monitoring and Evaluation. The responsibility for monitoring of the pilot

projects was somewhat unclear; while in principle the City Teams were expected to take this on, they lacked the training and resources to do so, and had the risk of potential conlicts of interest. While Mercy Corps’ secondary monitoring was very limited, it lessened the incentive for the City Teams to take a more active or rigorous approach. Many minor and major issues in pilot project implementation could have been addressed early with closer monitoring.

4. Dissemination of information. The sector studies suffered from the same lack of dissemination of results as the SLDs and VAAs.

5. Follow-up. The most frequent complaint about the pilot projects was the lack of follow-up or any plan for follow-up. Many respondents felt that the projects generated a momentum which was squandered when possibilities for expansion or continuation were not readily apparent. While this relates to external issues of funding availability and timeframes, these should be considered during the design phase of the pilot projects, to allow as much opportunity as possible for smooth transitions into larger-scale interventions.

6. Macro versus micro systems. While small-scale pilot projects can address the impacts of climate change, they do not address, and may even perpetuate, the macro-level social issues that determine which communities are more vulnerable. For example, the project in Semarang attempted to improve the situation of poor communities that suffered from frequent looding and landslides through tree planting and biopores. What it did not address was the political structure that had relocated those communities to areas vulnerable to these hazards when their previous living areas became uninhabitable due to sea-level encroachment. While such issues are to a certain extent beyond the scope of this program, it is worth noting that in the long term these projects may promote the extension of an essentially unsustainable living situation, rather than forcing municipalities to make costly choices. This is not, however, true for every case.

Success/Impact

Although some of the pilot projects (for example, the potable water project in Bandar Lampung) had signiicant operational dificulties, there were also notable successes. Interviewees in Semarang were enthusiastic about tree planting and biopore projects, and demonstrated willingness for both contribution and maintenance that would be the envy of many community mobilization programs. These projects improved the lives of communities and generated signiicant good will for the implementing organizations, as well as interest in further adaptation activities.


(4)

Rekomendasi

1. Dukungan tinggi atau kerja sama dalam proses desain, pelaksanaan dan pengawasan proyek percontohan. Kebanyakan Tim Kota tidak memiliki sumber daya maupun pengalaman yang mumpuni untuk mendesain atau melaksanakan proyek pada tingkatan yang diharapkan oleh donor internasional, dan membutuhkan dukungan serta kerja sama aktif dengan organisasi pelaksana program. Adanya kerja sama ini tidak hanya dapat meningkatkan pelaksanaan dan pencapaian proyek percontohan, namun juga menjadi salah satu media bagi anggota Tim Kota untuk meningkatkan kemampuan mereka di bidang manajemen proyek. 2. Merencanakan suatu mekanisme penyebaran informasi mengenai

hasil studi sektoral. Seperti halnya SLD dan VAA, laporan studi sektoral mengandung informasi yang dapat digunakan untuk mendorong pergerakan masyarakat dan proses advokasi isu ini, serta juga untuk merencanakan aksi intervensi di waktu yang akan datang. Penyebaran informasi ini ke kalangan di luar Tim Kota akan membantu dalam mencapai tujuan program.

3. Menggunakan studi sektoral untuk mengaitkan proyek percontohan dengan isu perubahan iklim. Beberapa responden melihat bahwa terlepas dari kepuasan masyarakat terhadap hasil dari proyek percontohan, mereka memiliki kesulitan dalam menarik keterkaitan proyek tersebut dengan studi sektoral yang berbasis ilmiah. Beberapa anggota masyarakat sebelumnya telah dilibatkan di dalam SLD ataupun kegiatan ACCCRN lainnya. Pendekatan yang digunakan sebagai kerangka kerja proyek percontohan di dalam keseluruhan struktur program harus dipertimbangkan lebih dalam.

4. Pengawasan yang proaktif. Sebagian proyek percontohan yang diimplementasikan ditengarai berhasil meraih kesuksesan, namun proyek percontohan lainnya mengalami hambatan di aspek operasional yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan melakukan pengawasan yang ketat.

5. Merencanakan tindak lanjut berdasarkan pencapaian proyek percontohan. Proyek percontohan yang sukses, seperti di Semarang, dapat menciptakan momentum dan ketertarikan masyarakat rentan terhadap isu adaptasi perubahan iklim; suatu peluang yang memang ingin diciptakan dan didorong oleh program ini. Perencanaan dan penggalangan dana untuk proyek ini sebaiknya dilakukan dari awal sehingga dapat mengambil keuntungan dari peluang yang ada tersebut.

Dalam penyusunan CRS, masing-masing Tim Kota memilih sektor-sektor proritas dan kemudian melakukan analisa biaya-manfaat untuk memilih intervensi yang akan menjadi bagian dari CRS. Walaupun CRS milik Semarang telah diintegrasikan sebagian ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota; namun sampai saat studi ini dilakukan, dampak dari CRS tersebut masih terlalu dini untuk dievaluasi.

Perubahan Persepsi dan Sikap terhadap Perubahan Iklim

CRS mengintegrasikan segala hal yang telah dilakukan di dalam program sampai saat penyusunan dokumen CRS, dan terutama melibatkan partisipan yang telah terlibat sebelumnya di dalam program; hanya menyisakan sedikit ruang untuk pembelajaran lebih lanjut. Namun, CRS telah membantu dalam mengubah sikap masyarakat terhadap arti penting isu perubahan iklim sebagai salah satu alat penggalangan dana untuk memenuhi kebutuhan kota.

Tantangan

1. Mengintegrasikan CRS ke dalam proses perencanaan kota. Salah satu kekuatan utama CRS adalah strukturnya yang memudahkan proses pengintegrasian materi dan kegiatan terkait adaptasi perubahan iklim yang berasal dari program ACCCRN ke dalam proses standar perencanaan kota. Di dalam program ACCCRN, proses pengintegrasian ini sangat terfasilitasi oleh penempatan Tim Kota di BAPPEDA, dinas yang memiliki tanggung jawab di bidang perencanaan kota.

2. Mencari donor. CRS seharusnya memberikan peluang pendanaan bagi kota untuk mengimplementasikan adaptasi perubahan iklim.

VIII. Dokumen Strategi Ketahanan Kota

City Resilience Strategy Document

Walaupun pada dasarnya Strategi Ketahanan Kota (CRS) seharusnya menjadi salah satu keluaran program ACCCRN yang dapat mendorong pelaksanaan aktivitas adaptasi perubahan iklim lainnya, namun responden memiliki persepsi yang beragam mengenai hal ini. Beberapa partisipan hampir tidak menyadari nilai dari CRS atau tidak menganggap CRS sebagai suatu hal yang penting; di lain pihak, 1 responden di Semarang menyatakan bahwa ia tidak mengerti arti penting dari program ACCCRN sampai akhirnya CRS disusun. Tim Kota harus menekankan nilai dari CRS sebagai media untuk mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan kota serta sebagai pengungkit untuk mencari pendanaan.

While the City Resilience Strategy (CRS) should be one of the results of the program that is in itself a catalyst for further climate change adaptation work, interviewees had mixed perceptions of it. Some participants were almost unaware of it or didn’t consider it important; on the other hand, one respondent in Semarang stated that he did not understand the importance of the ACCCRN program until the CRS. The value of the CRS as a tool for incorporating climate change adaptation into municipal planning, and for leveraging more funding for it, should be highlighted to the City Teams.

Recommendations

1. Signiicant support or collaboration in the design, implementing, and monitoring of the pilot projects. Most City Teams have neither the resources nor the experience to design or implement a project at the level expected by international donors, and will require either support or proactive collaboration from the organization implementing the program. In addition to improving pilot project performance, this can also provide much needed mentoring for City Team members to improve their project management skills.

2. Plan mechanisms to disseminate the results of the sector studies. As with the SLDs and VAAs, the sector study reports contain information that is useful for mobilization and advocacy, as well as for planning future interventions. Dissemination of this information beyond the City Team will help to achieve the goals of the program.

3. Use the sector studies to help connect pilot projects to climate change issues. Some interviewees noted that even when communities were very happy with the results of the pilot projects, they had dificulty connecting them to the scientiically-written sector studies. Few community members had been involved in the SLDs or other parts of the program. Approaches that frame the pilot projects within the overall structure of the program should be given more consideration.

4. Proactive monitoring. While many of the pilot projects were successful, others were plagued by minor operational issues that could be easily resolved with a closer monitoring process.

5. Plan for follow-up that builds on the success of pilot projects. Successful pilot projects, like those in Semarang, can create a momentum and interest in climate change adaptation among vulnerable communities, offering exactly the opportunity that this program is designed to catalyze. Planning and fundraising for continuations of the projects from the start will help to take full advantage of such opportunities.

To develop the CRS, each City Team selected priority sectors and then conducted cost-beneit analysis to select interventions to be included in the CRS. While the Semarang CRS has already been partially incorporated into the city’s Medium-Term Development Plan, at the time this study was conducted it was still early to evaluate the full impact of the CRS.

Changing Attitudes To Climate Change

The CRS consolidated what had been done up to that point in the program, and engaged primarily participants who were already involved, leaving little space for further learning. However, the CRS did help to shift attitudes towards the usefulness of climate change as a fundraising tool for the needs of the cities.

Challenges/Pitfalls

1. Integrating the CRS into municipal planning processes. One of the main strengths of the CRS is that it packages the climate change adaptation learning and initiatives from the program in a way that is easy for the city to adopt into its standard planning process. In the ACCCRN program, this was signiicantly facilitated by locating the City Team in BAPPEDA, the department with planning authority.

2 . F i n d i n g d o n o r s . T h e C R S i s s u p p o s e d t o e n a b l e f u r t h e r f u n d i n g f o r c l i m a t e c h a n g e a d a p t a t i o n i n t h e c i t i e s .


(5)

Namun kebanyakan anggota Tim Kota tidak memiliki kemampuan untuk mencari, mengidentiikasi atau melakukan pendekatan kepada donor-donor potensial.

Pencapaian/Dampak

Pada kondisi yang sesuai – contohnya di Semarang, yang memiliki Tim Kota dengan tim inti yang dekat dan kompak, kemauan politik yang tinggi untuk isu perubahan iklim, dan dukungan dari dinas yang menaungi urusan perencanaan – CRS membantu dalam menguatkan tim inti dan mengintegrasikan aksi adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan dan pendanaan kota secara formal. Dampak jangka panjang dari CRS masih belum dapat terlihat.

Rekomendasi

1. Menekankan pentingnya CRS sebagai alat untuk menggalang dana. CRS telah membantu Tim Kota di Semarang melihat arti penting perubahan iklim dalam mencari dana untuk mengimplementasikan aksi-aksi yang dapat membantu masyarakat rentan di kota mereka, suatu pemahaman yang mendorong mereka untuk menyusun suatu dokumen yang berharga dan bermanfaat. Di Bandar Lampung, dengan pemahaman yang lebih rendah akan nilai CRS, proses pengerjaan CRS berjalan dengan lebih lambat.

2. Mendesain CRS sedemikian sehingga rekomendasi yang diusulkan dapat diintegrasikan dengan mudah ke dalam proses perencanaan kota. Semakin mudah proses pengadopsian kegiatan di dalam CRS ke dalam proses dan format standar kota, semakin tinggi kemungkinan kegiatan tersebut untuk dimasukkan ke dalam perencanaan kota.

Tantangan

1. Adanya berbagai macam struktur dan rencana. Seperti halnya komponen-komponen lain di dalam program ACCCRN, berlapisnya proses pengawasan dan evaluasi berdampak pada timbulnya kebingungan dan konlik; pengawasan pada tingkat donor dilakukan dengan cara serta indikator yang berbeda dengan yang dilakukan pada tingkatan organisasi pelaksana, dimana sistem (yang kurang jelas) yang digunakan pun berbeda. Hal ini kemudian mengakibatkan kurangnya kejelasan, serta pada kasus-kasus tertentu, kurangnya pemberdayaan dan tanggung jawab.

2. Kesulitan dalam melaksanakan pengawasan off-site. Staf M&E yang berlokasi di Jakarta melakukan beberapa kali kunjungan lapangan yang umumnya diorganisir oleh pemangku kepentingan kota; sehingga akan sulit untuk melihat hal-hal yang tidak sesuai.

3. Kurangnya sumber daya. Staf M&E di Jakarta juga mengurus masalah administrasi, sehingga waktu yang mereka gunakan untuk menjalankan fungsi M&E menjadi berkurang. Untuk lebih memperumit masalah, hasil dari M&E jarang diminta atau dipertanyakan, sehingga insentif bagi staf untuk melakukan pekerjaan dengan lebih komprehensif sangatlah kurang.

Pencapaian/dampak

Walaupun saat ini proses pengawasan hasil sedang berlangsung, namun masih terlau dini untuk menentukan dampak dari proses M&E di dalam keseluruhan program ACCCRN. Meskipun begitu, akuntabilitas yang lebih tinggi dan proses pengawasan yang lebih komprehensif akan dapat membantu meningkatkan implementasi saat ini dan di masa yang akan datang.

Rekomendasi

1. Mengalokasikan waktu dan sumber daya yang memadai untuk pengawasan dan evaluasi. Walaupun rekomendasi ini berlaku untuk hampir semua program, namun nilai penting hal ini tetap perlu untuk ditekankan. Mengingat kompleksnya suatu program yang mengkombinasikan adaptasi perubahan iklim dengan pemerintahan, maka kesadaran akan perlunya prioritasi serta pengawasan dan evaluasi dengan sumber daya yang memadai dapat menjadi salah satu faktor kunci untuk mencapai kesuksesan program .

2. Mendukung penuh pengawasan yang dilakukan oleh Tim Kota sembari membangun kapasitas mereka. Hanya sedikit anggota Tim Kota yang memiliki pengalaman melakukan proses pengawasan, terutama pada tingkatan yang diinginkan oleh donor internasional. Proses peningkatan kapasitas merupakan hal yang penting, namun sampai dan selama proses itu berjalan, mereka akan membutuhkan dukungan yang kuat dari dinas pelaksana agar standar yang diinginkan dapat tercapai.

IX.

Pengawasan dan Evaluasi

M&E

Rencana pengasawan dan evaluasi (M&E) ACCCRN sangatlah kompleks, mencakup: pendekatan berbasis hasil yang diimplementasikan untuk seluruh program yang dilakukan oleh kontraktor eksternal; pendekatan berbasis log-fram¬e yang disusun oleh Mercy Corps setelah program dimulai; dan proses pengawasan proyek percontohan yang kurang terstruktur yang dilakukan oleh Tim Kota. Walaupun saat ini dirasa masih terlalu dini untuk menilai hasil dari proses pengawasan terhadap proyek, serta tentunya masih terlau dini juga untuk melakukan evaluasi; saat ini sudah dapat terlihat adanya gap yang cukup signiikan dalam hal monitoring.

The ACCCRN M&E plan was extremely complex, including: a results-oriented approach implemented for the entire regional program by an external contractor; a logframe-based approach developed after the start of the program by Mercy Corps; and relatively unstructured monitoring of the pilot projects carried out by the City Teams. While it is still early in the project to make a deinitive judgment on the monitoring, and certainly too early to say anything about evaluation, there were signiicant gaps in the monitoring up to this point.

However, most City Team members do not know how to research, identify or approach potential donors.

Success/Impact

Under the right circumstances – for example, in Semarang, which had a close-knit group working on the City Team, signiicant political will around climate change issues, and the support of the planning ministry – the CRS can help to strengthen the core group and formally ingrain climate change adaptation measures in municipal planning and budgeting. The longer-term impacts of the CRS remain to be seen.

Recommendations

1. Emphasize the importance of the CRS as a fund-raising tool. The CRS helped City Team members in Semarang to see the value of the climate change approach in raising funds for urgently needed initiatives for vulnerable communities in their city, an understanding that galvanized their work on creating a worthwhile document. In Bandar Lampung, which had less of a sense of that value, the work on the CRS was proceeding more slowly.

2. Design the CRS to make its recommendations as easy as possible to it into the standard municipal planning process. The easier it is to adapt the initiatives in the CRS to the standard processes and formats, the more likely they will be included.

Challenges/Pitfalls

1. Multiple structures, multiple plans. As with other components of the ACCCRN program, the many layers of the M&E led to some confusion and conlict, with monitoring at the donor level conducted in a different way and with different indicators than monitoring at the implementing agency level, and yet another (and poorly deined) system used by City Teams. This led to a lack of clarity and in some cases to lack of empowerment or responsibility.

2. The dificulties of remote monitoring. M&E oficers based in Jakarta made few visits to the ield, and those they did make were largely organized by the city stakeholders, making it dificult for them to see any undesirable results.

3. Lack of resources. M&E in Jakarta was combined with administration, reducing the time to perform its functions. Perhaps more problematically, results were rarely requested or questioned, offering little incentive for rigorous work.

Success/Impact

While some tracking of results is on-going, it is early to determine the impact of the M&E in the ACCCRN program. However, greater accountability and more rigorous monitoring could help improve current and future implementation.

Recommendations

1. llocate suficient time and resources to monitoring and evaluation. Although this is a recommendation valid for almost any program, it bears repeating. Given the complicated nature of programs combining climate change adaptation and governance, an awareness of the need to prioritize and adequately resource monitoring and evaluation can be a key success factor.

2. Support City Team monitoring suficiently while building their capacity. Few City Team members have any experience with monitoring, particularly at the level required by international donors. While building this capacity is important, until and as it is built, they will require strong support from the implementing agency to meet those standards.


(6)

Mercy Corps Indonesia

Graha STK F Floor Suite F01 Jalan Taman Margasawta No. 3 Ragunan, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12550