BAB III TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN SEWA BELI
A. Sejarah dan Pengertian Perjanjian Sewa Beli
Pada zaman dahulu dimana masyarakat masih belum mengenal jual beli, akan tetapi yang ada pada waktu itu hanya tukar menukar yang dilakukan
dengan cara barter atau dalam bentuk inatura, misalnya saja: A Seorang nelayan mempunyai ikan dan B petani mempunyai beras, keduanya saling
membutuhkan, sehingga apa yang dimiliki A dan apa yang dimiliki B dapat saling ditukarkan, maka terjadilah tukar menukar antara A dan B dalam bentuk
barter seperti tersebut di atas. Demikianlah terjadinya tukar menukar dalam masyarakat sesuai apa yang telah diperjanjikan.
Latar belakang timbulnya sewa beli pertama kali adalah untuk menampung persoalan bagaimanakah caranya memberikan jalan keluar
apabila pihak penjual menghadapi banyaknya permintaan untuk membeli barangnya, tetapi calon pembeli tidak mampu membayar harga barang secara
tunai. Pihak penjual bersedia menerima harga barang itu dicicil atau diangsur tetapi ia memerlukan jaminan bahwa barangnya sebelum harga dibayar lunas
tidak akan dijual lagi oleh si pembeli.
28
Disamping itu yang menjadi latar belakang lahirnya perjanjian sewa beli karena adanya azas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338
KUH Perdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
28
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.Cit, hal. 52 39
Universitas Sumatera Utara
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian. 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya. 4. Menentukan bentuk perjanjian, apakah lisan atau tertulis.
Keberadaan azas kebebasan berkontrak dalam pelaksanaan perjanjian sewa beli memberikan inspirasi bagi para pengusaha untuk mengembangkan
bisnis dengan cara sewa beli, karena dengan menggunakan jual beli semata- mata maka barang dari pengusaha tidak akan laku, ini disebabkan kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang rendah dan tidak memiliki banyak uang kontan.
Para Sarjana memiliki pandangan yang berbeda mengenai pengertian perjanjian sewa beli, yang keseluruhannya dapat disimpulkan menjadi 3
macam definisi, yaitu: 1. Definisi pertama yang berpendapat bahwa sewa beli sama dengan jual
beli angsuran. 2. Definisi kedua yang berpendapat bahwa sewa beli sama dengan sewa
menyewa. 3. Definisi ketiga yang berpendapat bahwa sewa beli sama dengan jual
beli.
29
Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34KPII1980 Tentang Perijinan Beli Sewa hire purchase, Jual Beli dengan
29
HS. Salim, Perkembangan Hukum KontraknInnominat, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 128
Universitas Sumatera Utara
Angsuran dan Sewa renting, disebutkan pengertian sewa beli. Sewa Beli adalah : “Jual Beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang
dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga yang telah disepakati bersama dan diikat
dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli setelah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.”
Definisi kedua, dapat diihat dari pendapat Wirjono Prodjodikoro bahwa sewa beli adalah: “Pokoknya persetujuan dinamakan sewa menyewa barang,
dengan akibat bahwa si penerima tidak menjadi pemilik, melainkan pemakai belaka. Baru kalau uang sewa telah dibayar, berjumlah harga yang sama
dengan harga pembelian, si penyewa beralih menjadi pembeli, yaitu barangnya menjadi pemiliknya.”
30
Definisi ketiga berpendapat bahwa sewa beli merupakan campuran antara jual beli dan sewa menyewa. Pandangan ini dikemukakan oleh Subekti:
“Sewa beli adalah sebenarnya suatu macam jual beli, setidak-tidaknya mendekati jual beli dari pada sewa menyewa, meskipun ia merupakan
campuran keduanya dan kontraknya diberi judul sewa menyewa.”
31
Dengan demikian, dari definisi yang dicantumkan oleh undang-undang dan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa sewa beli sebagai gabungan
antara sewa-menyewa dan jual beli. Apabila barang yang dijadikan obyek
30
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1981, hal. 65
31
R. Subekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1986, hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
sewa sesuai dengan kesepakatan, maka barang itu dapat ditarik oleh si penjual sewa, akan tetapi apabila barang itu angsurannya telah lunas, maka barang itu
menjadi obyek jual beli. Oleh karena itu para pihak dapat mengurus balik nama dari obyek sewa beli tersebut.
Pengaturan sewa beli di Indonesia belum dituangkan dalam undang- undang, yang menjadi landasan hukum perjanjian sewa beli adalah Keputusan
Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34KPII1980 Tentang Perizinan Sewa Beli Hire Purchase, jual beli dengan angsuran dan sewa renting.
Menurut SK Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34KPII1980, Pasal 1 a sewa beli adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan
penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah
disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah
harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual. Untuk melihat perbedaan yang nyata antara sewa beli dengan perjanjian
lainnya, maka berikut akan dideskripsikan beberapa bentuk perjanjian yang ada, yakni:
Sewa beli merupakan perjanjian di mana harga barang dapat dicicil, sedangkan barangnya seketika dapat diserahkan kepada pembeli.
1. Sewa Beli
Meskipun barang telah diserahkan kepada pembeli, tetapi hak
Universitas Sumatera Utara
kepemilikannya masih ada pada penjual sehingga pembayarannya selama masa angsuran dianggap sebagai sewa sampai seluruh harga dipenuhi. Kepemilikan
atas barang baru berpindah kepada pembeli pada saat angsuran terakhir telah dibayar. Karena pembeli belum menjadi pemilki atas barang yang dibeli, maka
ia tidak diperbolehkan menjualnya atau bertindak hukum lain yang dipersyaratkaan menjadi pemilik barang, seperti menggandaikan,
menghipotikkan dan lain-lain. Jika hal itu dilakukan, maka pembeli telah melakukan tidak pidana penggelapan.
Sri Gambir Melati Hatta menyebut sewa beli dengan “beli sewa” dengan alasan bahwa niat utama para pihak adalah peralihan hak, bukan
sekedar penikmatan atas objek perjanjian atau sewa saja. Oleh karena itu Sri Gambir lebih menekankan kepada pembeliannya bukan kepada sewanya
meskipun pengertiannya sama. Terhadap alasan yang dikemukakan oleh Sri Gambir di atas, namun perlu diberikan perbandingan dengan jenis perjanjian
yang disebut “koop en verkoop op afbetaling” atau yang lebih populair dengan sebutan jual beli cicilan atau jual beli angsuran. Dalam perjanjian jual beli
angsuran, hak kepemilikan atas objek perjanjian sudah berpindah sejak penyerahan barang, namun harganya dapat dicicil.
Pada dasarnya dari sisi pelaksanaan perjanjian antara sewa beli dan jual beli cicilan tidak berbeda tetapi dari sisi hak kepemilikan dan akibat hukumnya
sangat berbeda. Perbedaan antara keduanya, dalam perjanjian sewa beli meskipun barang sudah diserahkan tetapi hak kepemilikannya belum
Universitas Sumatera Utara
berpindah kepada pembeli, dan baru berpindah setelah dilunasi seluruh harga, sedangkan dalam jual beli angsuran, hak milik sudah berpindah sejak
penyerahan barang. Adapun persamaan antara keduanya, penjual sama-sama telah menyerahkan barang dan pembeli belum membayar seluruh harga barang
karena pembayarannya dilakukan secara angsuran. Akibat dari perbedaan atas kepemilikan itu, maka berbeda pula akibat
hukumnya. Dalam jual beli, oleh karena pembeli sudah menjadi pemilik barang, maka ia bebas bertindak hukum atas barang, misalnya: menjual,
menggadaikan, menyewakan dan lain-lain, sedangkan dalam sewa beli karena pembeli belum menjadi pemilik barang, maka ia tidak boleh bertindak hukum
atas barang tersebut.
2. Jual beli
Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian bernama yang di dalam KUHPerdata di atur dalam Pasal 1457– 1546, yaitu suatu perjanjian di mana
pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak miliknya atas sesuatu barang, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah
uang sebagai harganya.
32
Kewajiban utama penjual adalah menyerahkan barang serta menjamin bahwa pembeli dapat memiliki barang dengan aman dan tenteram dan
bertanggung jawab atas cacat yang tersembunyi. Adapun kewajiban pembeli Perjanjian jual beli telah dianggap ada apabila kedua
belah pihak telah sepakat tentang barang dan harga.
32
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa. Jakarta, 1979, hal.135.
Universitas Sumatera Utara
adalah membayar harga pada waktu dan tempat yang disepakati. Menurut undang-undang, benda yang dibeli harus diserahkan pada
waktu ditutupnya perjanjian dan di tempat barang itu berada, dan mulai saat itulah resiko atas barang menjadi tanggung jawab pembeli. Namun dalam
praktik, apalagi pada saat sekarang di mana jual beli dapat dilakukan lintas negara, maka ketentuan demikian sudah tidak dianut.
Sebagaimana sifat perjanjian yang terbuka, kedua belah pihak dapat memperjanjikan sendiri tentang cara-cara melakukan pembayaran maupun
cara penyerahannya. Mereka bebas menentukan sendiri sesuai yang diinginkan sehingga ketentuan yang ada dalam undang-undang hanya berlaku apabila para
pihak tidak menentukan lain. Yang perlu diperhatikan adalah kapan pembeli menjadi pemilik barang.
Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan, hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpidah kepada si pembeli, selama belum dilakukan penyerahan
Pasal 612, 613 dan 616 KUH Perdata. Khusus mengenai kepemilikan benda tidak bergerak yang diperoleh
atas dasar jual beli terdapat ketentuan khusus yang diatur dalam pasal 616 jo. pasal 620 KUHPerdata yaitu dengan cara mendaftarkan peralihan hak milik
pada kantor pertanahan. Selama belum didaftarkan, maka kepemilikannya itu belum sempurna.
3. Pinjam Meminjam
Perjanjian pinjam meminjam dibedakan dalam dua jenis yaitu pinjam
Universitas Sumatera Utara
meminjam dengan objek barang yang dapat diganti atau barang yang habis pakai, misalnya uang, makanan atau yang sejenis, dan pinjam meminjam
dengan objek barang yang tidak dapat diganti atau barang tidak habis pakai. Perjanjian jenis pertama ini oleh Subekti.
33
Perbedaan pokok antara keduanya terletak pada kepemilikan dan pengembalian barang pinjaman. Jika objek perjanjian merupakan barang yang
tidak dapat diganti atau tidak habis pakai, maka barang tetap menjadi milik pemberi pinjaman 1741 BW dan setelah habis masa pinjaman si peminjam
harus mengembalikannya dalam keadaan seperti semula. Oleh karena itu selama masa peminjaman, penerima pinjaman harus memelihara barang
sebaik-baiknya seolah-olah miliknya sendiri atau yang dikenal dengan sebutan “seorang bapak rumah yang baik”.
digunakan sebutan pinjam meminjam, sedangkan jenis kedua dinamakan pinjam pakai.
Jika objeknya perjanjian berupa barang yang dapat diganti atau habis pakai, maka barang yang diserhakan menjadi milik penerima pinjaman,
sedangkan pemberi pinjaman berhak atas pengembalian barang dengan jumlah dan kualitas yang sama.
Dalam perjanjian pinjam uang seringkali disertai perjanjian pembayaran bunga sehingga jumlah yang dikembalikan lebih besar daripada
yang dipinjamkan. Hal demikian memang dibenarkan menurut ketentuan KUHPerdata, namun menurut hukum Islam temasuk riba dan hukumnya
haram.
33
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.Cit, hal. 119
Universitas Sumatera Utara
4. Sewa-Menyewa
Sewa menyewa merupakan bentuk perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama waktu
tertentu, sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar harga yang ditetapkan untuk pemakaian pada waktu yang ditentukan.
Perjanjian sewa menyewa tidak bertujuan untuk memberikan kepemilikan, melainkan hanya untuk pemakaian. Apabila pihak yang diserahi
barang itu tidak ada kewajiban membayar suatu harga, maka perjanjian semacam ini disebut pinjam pakai.
Kewajiban pihak yang menyewakan adalah meyerahkan barang, memelihara barang yang disewakan agar dapat dipakai untuk keperluan
dimaksud, dan memberikan ketenteraman dari barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan. Adapun kewajiban penyewa adalah memakai
barang secara baik atau secara patut, membayar harga sewa, menanggung resiko karena kesalahan atau kelalaiannya dan mengembalikan barang
sewaan.
34
Perjanjian sewa menyewa bukan memberikan hak kebendaan, melainkan hak perseorangan sehingga karenanya penyewa tidak boleh
menjual, atau menggadaikan benda yang disewa, bahkan menyewakan kepada orang lain pun tidak dibolehkan.
34
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 223-231.
Universitas Sumatera Utara
5. Leasing
Leasing merupakan perjanjian berkenaan dengan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang untuk digunakan atau dimanfaatkan oleh
lessee penyewa dalam jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Perjanjian ini mirip dengan sewa menyewa.
Leasing pada dasarnya merupakan perjanjian sewa menyewa di mana lessor pemberi sewa menyerahkan barang untuk dimafaatkan oleh lessee,
sehingga karenanya leasing disebut juga perjanjian sewa guna usaha atau sewa pakai.
Subjek perjanjian leasing pada umumnya antara perusahaan dengan perusahaan, sedang objeknya pada mulanya berupa alatalat berat atau mesin-
mesin pabrik, namun kemudian berkembang ke barang-barang lain seperti rumah, mobil dan lain-lain.
Ada dua jenis leasing yakni operating lease dan financial lease. Perbedaan antara keduanya adalah jika dalam operating lease barang yang
diserahkan lessor kepada lesee berupa barang jadi, sedangkan dalam financial lease barangnya dipesan sendiri oleh lesse atas pembiayaan lessor. Selain itu
dalam operating lease pemeliharaannya menjadi tanggung jawab lessor sedangkan dalam financial lease pemeliharaan dan asuransinya pada umumnya
menjadi tanggung jawab lessee. Baik dalam operating lease dan financial lease sering disertai dengan hak opsi bagi penyewa untuk membeli setelah
berakhirnya masa perjanjian dengan harga murah atau dengan kondisi yang
Universitas Sumatera Utara
ringan.
35
Karena perjanjian leasing merupakan perjanjian sewa menyewa, maka selama masa leasing kepemilikan benda tetap ada pada lessor. Lessse semata-
mata hanya memilki hak memanfaatkan barang, atau menurut istilah Subekti
36
Perbedaan antara leasing dengan sewa beli terletak pada peralihan hak milik. Dalam leasing kepemilikan barang sampai akhir perjanjian tetap di
tangan lessor, sedangkan dalam sewa beli kepemilikan barang telah berpindah kepada pembeli sejak dilakukan pembayaran angsuran terakhir. Namun dalam
dunia bisnis saat sekarang telah terjadi pergeseran pengertian leasing dimana perolehan barang seperti mobil atau motor yang didasarkan atas perjanjian
sewa beli juga disebut leasing. Terhadap leasing dimasukkan dalam financial lease.
sebagai “pemilik ekonomis” karena mendapatkan manfaat dari barang, sedang resikonya ditanggung oleh lessor.
Financial lease dalam praktik saat ini merupakan suatu bentuk sewa di mana kepemilikan barang berpindah dari pihak pemberi sewa kepada
penyewa. Bila dalam masa akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap milik pemberi sewa perusahaan leasing
karena akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya, barang tersebut menjadi milik
penyewa. Biasanya pengalihan pemilikan ini menurut Kurnia didasarkan atas
35
Ibid, hal. 56.
36
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
alasan hadiah pada akhir penyewaan, atau pemberian cumacuma, atau janji dan alasan lainnya. Menurut penilaiannya dalam financial lease terdapat dua
proses akad sekaligus yakni sewa sekaligus beli sehingga karenanya leasing dalam bentuk ini sering disebut sewa-beli.
Praktik yang terjadi di masyarakat berkenaan perolehan mobil atau motor pada umumnya BPKB dan STNK sudah atas nama pembeli, namun
perjanjiannya seringkali bertitel leasing atau sewa beli dengan disertai berbagai klausul untuk melindungi kepentingan penjual dari keadaan yang
tidak diinginkan. Berbagai klausul ketika pembeli tidak memenuhi pembayaran angsuran,
antara lain: a.
Penjual berhak menarik kembali barang dan perjanjiannnya dianggap batal serta uang angsurannya dianggap sebagai sewa. dalam
penelitiannya menemukan berbagai klausul ketika pembeli tidak memenuhi pembayaran angsuran, antara lain:
b. Penjual berhak menarik gajiupah pembeli.
c. Penjual berhak mengenakan denda.
d. Penjual berhak menuntut pembayaran sekaligus dan seketika atas sisa
angsuran dan denda. Selain klausul-klausul di atas juga ditemukan klausul-klausul yang
sangat merugikan pembeli, misalnya: a.
Pemberian kuasa mutlak kepada penjual untuk bebas bertindak atas
Universitas Sumatera Utara
barang. b.
Pelepasan pembatalan perjanjian melalui hakim. c.
Perjanjian bernilai eksekutorial. Dalam banyak kasus masih ditemukan klausul-klausul lain, misalnya
larangan bagi pembeli untuk memindahtangankan barang, penjual bebas memasuki rumah pembeli untuk menarik barang, penjual berhak menyita
barang lain milik pembeli dalam hal barang objek perjanjian tidak dapat ditemukan, dan lain-lain.
Memperhatikan beberapa karakter dari perolehan mobil atau motor seperti ini mengakibatkan tidak jelasnya bentuk perjanjian, apakah termasuk
sewa beli atau jual beli angsuran. Jika termasuk sewa beli tentunya kepemilikan barang masih atas nama penjual tidak ata nama pembeli, tetapi
kenyataannya BPKB dan STNK sudah atas nama pembeli. Jika termasuk jual beli angsuran tentunya tidak dibenarkan adanya klausul-kalusul seperti itu.
Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya antara lain: Putusan Nomor 1243KPdt1983 tanggal 19 April 1985, dan Nomor 935KPdt1985
tanggal 30 September 1986 berpendapat bahwa oleh karena STNK dan BPKB sudah atas nama pembeli, maka kepemilikan barang sudah beralih kepada
pembeli. Putusan ini memberikan pengertian bahwa perjanjian semacam itu dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli agsuran.
Dengan mendasarkan kepada putusan Mahkamah Agung tersebut, maka dalam hal terjadi sengketa harta bersama berupa mobil atau motor yang
Universitas Sumatera Utara
diperoleh berdasarkan leasing ataupun sewa beli, sedangkan STNK dan BPKB-nya sudah atas nama pembeli, maka yang dinyatakan sebagai harta
bersama adalah barang tersebut serta hutang sisa angsuran, bukan jumlah uang angsuran yang telah dibayarkan.
B. Subjek dan Objek Perjanjian Sewa Beli