Hakikat Metode Sintesis HAKIKAT METODE ANALISIS DAN SINTESIS 1. Hakikat Metode Analisis
Istilah “analisis” dan “sintesis”, sebagai label pembedaan metode argumentasi antara yang deduktif dan induktif setidak-tidaknya seusia dengan Euklides. Dalam
Elements
-nya, Euklides menerangkan sejelas-jelasnya bahwa dua metode ini sebaiknya
tidak dipahami sebagai saling terpisah, tetapi saling melengkapi. Metodenya
memperlihatkan ketepatan
teorema-teorema geometrisnya
dengan mula-mula
menggunakan metode argumentasi analitik deduktif, dan kemudian mendukung simpulannya dengan penalaran sintetik induktif. Proses praktis penyusunan deduksi
berlawanan dengan bentuk tertulisnya berawal dengan perumusan suatu simpulan, lalu pembuktiannya dengan pencarian dua atau lebih asumsi yang benar yang bisa berfungsi
sebagai landasannya. Proses induksi berawal dengan pengumpulan potongan-potongan
bukti empiris
, lalu ini digunakan sebagai landasan untuk menarik kesimpulan. Jika logika analitik menawarkan kejelasan pengindraan yakni keluasan
pengetahuan, logika sintetik menawarkan kejelasan wawasan yakni kedalaman pemahaman. Bila dimanfaatkan dengan tepat, kedua jenis logika itu tidak perlu dianggap
bersaingan, tetapi seharusnya dipandang saling melengkapi, sebagaimana deduksi dan induksi yang bisa digunakan secara efektif sebagai metode-metode argumentasi yang
saling melengkapi atau bersifat komplementer. Salah satu cara terbaik untuk menggambarkan pertalian komplementer ini adalah mengaitkannya dengan pembedaan
yang kita pelajari dari Kant, antara kawasan pengetahuan-nirmustahil dan kebodohan- pasti.
Logika analitik dapat digunakan untuk menghasilkan pengetahuan kapan saja bilamana yang terpikir dipaparkan di dalam tapal batas transendental umpamanya,
sesuatu yang dapat kita lihat. Akan tetapi, begitu kata-kata untuk memberikan hal-hal yang terletak di luar tapal batas ini digunakan, logika analitik bukan hanya kehilangan
daya penjelasnya, melainkan sesungguhnya juga dapat menjerumuskan kita ke dalam penyimpulan yang menyesatkan. Contoh kasus sebagaimana yang diperlihatkan oleh
Chuang Tzu kepada kita dalam memaparkan Tao, bila berhadapan dengan persoalan yang tidak begitu kita ketahui dengan pasti, kita bisa menemukan hal-hal yang kita yakini
dengan memanfaatkan logika sintetik untuk memperoleh wawasan yang dibutuhkan untuk mendukung keyakinan-keyakinan itu.
Istilah “analitik” dan “sintetik” telah dipakai oleh filsuf-filsuf dengan berbagai cara yang berbeda. Dalam waktu yang relatif lama, cara yang pada umumnya diterima
pemakaiannya untuk menunjukkan dua metode argumentasi adalah cara penggunaan istilah-istilah ala Euklides. Akan tetapi, Kant mengembangkan cara baru penggunaan
istilah-istilah tersebut, yang dengan demikian menunjukkan dua tipe proposisi yang berlainan. Menurut Kant, proposisi adalah analitik
jika subyeknya “terkandung di
dalam” predikatnya, sedangkan yang sintetik adalah yang subyeknya berada “di luar” predikatnya. Jadi, proposisi dalam ungkapan “Merah adalah warna” termasuk analitik,
kategoris karena konsep “merah” masuk sebagai salah satu unsur konsep “warna”. Berdasarkan hal itu, proposisi “Kapur tulis ini putih” adalah sintetik, karena seseorang
tidak akan mengetahui bahwa benda tersebut adalah “kapur tulis” jika hanya diberitahu
bahwa kapur tulis itu putih Palmquist, 2000. Menurut Palmquist 2000, Kant juga memberi beberapa pedoman lain yang lebih
ketat untuk menentukan apakah suatu proposisi adalah analitik ataukah sintetik. Kebenaran proposisi analitik selalu bisa diketahui melalui logika saja. Jadi, jika makna
kata-kata sudah diketahui, proposisi ini tidak informatif. Proposisi analitik mampu menjelaskan dirinya sendiri. Yang harus dilakukan hanyalah mengatakan “merah” dan
bagi mereka yang memahami mak
na kata „merah‟ akan segera tahu bahwa pembicara sedang membicarakan warna. Seperti halnya penyimpulan deduktif yang baik, kebenaran
proposisi analitik bersifat konseptual murni dan, karenanya, bersifat niscaya. Sebaliknya, kebenaran proposisi sintetik mensyaratkan pemanfaatan sesuatu yang lebih dari sekadar
konsep. Seperti argumen induktif, pada proposisi sintetik terdapat pemanfaatan intuisi, yaitu keadaan faktual obyek. Akibatnya, proposisi sintetik selalu informatif dan
kebenaran simpulannya tergantung pada keadaan obyek yang terus-menerus eksis. Jika
misalnya seseorang memberitahu bahwa sepotong kapur tulis yang tersembunyi dalam
genggaman tangannya itu putih, maka kebenaran pernyataannya tergantung pada apakah
orang itu mengelabui pendengar atau berkata benar. Dewasa ini sebagian filsuf menduga bahwa terdapat begitu banyak proposisi yang
sulit untuk dinyatakan sebagai analitik atau sebagai sintetik sehingga keseluruhan
pembedaannya dianggap tidak berguna. Hal itu memang dapat terjadi jika konteks
proposisi tidak berhasil diterapkan berdasarkan pedoman Kant dengan hati-hati. Kant
mengombinasikan pembedaan antara proposisi atau “penimbangan” analitik dan sintetik dengan suatu pembedaan lain, antara jenis pengetahuan “
a-priori
” dan “
a-posteriori
”. Pengetah
uan “
a-priori
” ialah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau, yang ada sebelum pengalaman. Sebaliknya, sesuatu dianggap “
a- posteriori
” jika terjadi sebagai akibat pengalaman. Hal itu menghasilkan empat kemungkinan jenis pengetahuan, dua di antaranya non-kontroversial yaitu pengetahuan
analitik
a-priori
yang secara sederhana adalah pengetahuan logis, dan pengetahuan sintetik analitik logis
a-priori a-posteriori
yang secara sederhana adalah pengetahuan empiris. Kant yakin, tidak ada pengetahuan analitik
a-posteriori
, namun istilah ini pada aktualnya memerikan suatu sintetik
a-posteriori
empiris kategori epistemologis yang amat penting. Mengklasifikasikan keyakinan hipotetis mengenai alam dengan cara
tersebut secara signifikan mampu menyelamatkan penampakan, baik supaya tidak dipahami dengan bangga sebagai realitas hakiki atau pun supaya tidak dibuang lantaran
diakui sebagai penampakan belaka. Kelompok pengetahuan sintetik
a-priori
banyak menarik perhatian Kant. Ia menyatakan bahwa semua pengetahuan transendental memiliki tipe seperti ini. Oleh
karena itu, ia mengatakan bahwa pertanyaan “Bagaimana penimbangan sintetik itu
a- priori
?” merupakan pertanyaan sentral semua filsafat kritis. Pemakaian istilah-istilah itu sangat bermanfaat untuk memperbedakan antara dua
jenis logika. “Logika analitik” adalah seluruh tubuh logika yang didasarkan pada prinsip- prinsip penalaran yang disusun oleh Aristoteles. Prinsipnya yang paling mendasar adalah
hukum yang disebut “hukum kontradiksi”. Aristoteles menyatakan hukum ini di
Categories
dengan mengatakan bahwa suatu benda tidak mungkin “sesuatu” dan sekaligus “bukan sesuatu itu” dalam hal yang sama pada waktu yang sama. Dengan kata
lain, mustahil bagi suatu benda untuk menjadi hitam dan sekaligus tidak hitam “A” dan
sekaligus “-A”, dan sebagainya. Ungkapan simbolik tersederhana hukum ini adalah: “A bukan –A” atau “A ? -A”
Pengaruh besar hukum ini terhadap filsafat selama 2300 tahun ini sangat menonjol. Padanya didasarkan hampir semua argumen yang telah diajukan oleh filsuf-filsuf Barat.
Lagi pula, kita tidak akan mampu berkomunikasi satu sama lain tanpa mengasumsikan bahwa bila kita menggunakan suatu kata, kita ingin penyimak kita memikirkan benda
yang diacu oleh kata itu, dan bukan lawannya. Dengan demikian, deduksi dan proposisi analitik adalah dua aspek dari logika analitik. Di kedua kasus itu, keduanya dipasangkan
dengan fungsi sintetik komplementernya: induksi dan proposisi sintetik.
Selain itu, kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya analisis, dan kebanyakan versi eksistensialisme, sintesis
,
hampir mengabaikan atau bahkan secara terang-terangan menolak makna penting kecenderungan lawanannya. Meskipun
demikian, dengan adanya pertalian komplementer antara analisis dan sintesis, setiap kecenderungan tersebut saling bergantung untuk melanjutkan keberadaan masing-masing,
karena merupakan kutub-kutub yang komplementer pada sebuah gerakan. Oleh sebab itu, menjelang akhir abad XX, kedua kecenderungan tersebut mulai
gugur dan diganti secara bertahap oleh cara pikir lain, yakni
hermeneutik
Sumaryono, 1993. Menariknya, tiga pendekatan utama terhadap filsafat itu semuanya menekankan
tema umum: sentralitas bahasa pada pencarian filosofis. Unsur utama gerakan filosofis
yang mendominasi filsafat yang berbahasa-tutur Inggris sepanjang abad XIX, dikenal sebagai “analisis linguistik”. Jalan filosofis ini juga disebut dengan nama-nama seperti
“filsafat analitik”, “filsafat linguistik”, atau “filsafat bahasa”, bergantung pada preferensi
filsuf yang bersangkutan. Akan tetapi, pada umumnya pendekatan ini menganggap
analisis bahasa
sebagai tugas mendasar filsuf. Cara yang cermat tentang bagaimana bahasa mestinya dianalisis, definisi yang
tepat tentang apakah analisis itu, dan juga pembatasan yang tepat tentang apa yang
terhitung sebagai bahasa, semuanya merupakan persoalan yang diperdebatkan secara
terbuka di kalangan anggota-anggota aliran ini. Akan tetapi, di tengah semua perbedaan mereka, para analis linguistik disatukan oleh keyakinan bersama mereka bahwa persoalan
filosofis harus didekati mula-mula dan terutama jika bukan hanya dari sudut pandang
yang akar-akarnya pada bahasa manusia Hidayat, 2006. Sebagiannya percaya bahwa dalam memegang keyakinan ini mereka merupakan pewaris sejati atas gagasan
keterbatasan pengetahuan yang dicanangkan oleh Kant sampai pada pengertian bahwa gagasan “peralihan transendental” dalam berfilsafat disangka oleh banyak filosof saat ini
sebagai sesuatu yang identik dengan “peralihan linguistik.”