CMORPH CPC Statistical Downscalling
standar sehingga sulit untuk digunakan secara langsung Balitklimat 2007. Metode yang
sedang berkembang untuk mengatasi masalah tersebut diantaranya pengembangan model
pembangkit data iklim, model statistical downscaling
dan dynamical downscaling dari data GCM Global Circulation Model
Oktavariani 2008. 2.3
Pemanfaatan Sistem Penginderaan Jauh Dalam Menduga Curah Hujan
Penginderaan jauh merupakan ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang
obyek, daerah, atau gejala dengan menganalisis data yang diperoleh dengan
menggunakan alat, tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau gejala yang akan
dikaji Lillesand Kiefer 1997. Komponen dasar dari sistem penginderaan jauh adalah
target, sumber energi, jalur transmisi, dan sensor. Keempat komponen tersebut bekerja
sama untuk mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh obyek
tersebut.
Sensor dalam suatu sistem penginderaan jauh digunakan untuk
mendapatkan informasi tentang obyek dari jarak jauh. Sumber energi akan menjadi unsur
yang sangat penting sebagai penghantar informasi dalam sistem penginderaan jauh.
Berdasarkan bentuk energi tersebut, penginderaan jauh dibedakan menjadi dua
bentuk yaitu penginderaan jauh sistem pasif dan penginderaan jauh sistem aktif.
Penginderaan jauh sistem pasif merupakan penginderaan jauh yang
menggunakan energi yang berasal dari obyek, berupa pantulan dari sumber lain misalnya
matahari. Sementara itu, penginderaan jauh sistem aktif adalah penginderaan jauh yang
menggunakan energi yang berasal dari sensor tersebut.
Penginderaan jauh aktif dapat dilakukan pada siang ataupun malam hari.
Sistem penginderaan jauh aktif tidak tergantung pada adanya sinar matahari, karena
energi bersumber dari sensor Budiyanto 2008.
Pendugaan hujan menggunakan satelit spaceborne diawali dengan citra awan dari
satelit meteorologi pertama yaitu satelit Television and Infrared Observation Satellite
TIROS-1 yang diluncurkan pada April 1960. Perkembangan teknologi pendugaan curah
hujan dari luar angkasa saat ini secara umum terbagi atas tiga metode berdasarkan sensor
yang digunakan yaitu sensor inframerah IRsinar tampak VIS, sensor gelombang
mikro pasif dan sensor radar satelit Kidder 1981 dalam Wibowo 2010. Penggunaan
sensor IRVIS akan memberikan data emisi dari puncak awan atau di dekat puncak awan
Rosenfeld et al. 2004 dalam Michaelides 2008. Satelit yang membawa sensor IR ini
adalah satelit-satelit dengan orbit Geostationary Earth
Orbit GEO, yaitu satelit GEO-IR ini antara lain MTSAT,
METEOSAT, dan GOES. Pendugaan hujan juga dilakukan
dengan pemanfaatan sensor pasif gelombang mikro. Prinsip dasar penggunaan sensor
tersebut adalah menangkap intensitas radiasi gelombang mikro yang diemisikan oleh
permukaan bumi, awan dan butir hujan Hou et al.
2008 dalam Michaelides 2008. Pendugaan besarnya intensitas hujan yang
terbentuk dibutuhkan beberapa kalkulasi berdasarkan prinsip hukum radiasi Plank,
dimana besarnya energi radiasi yang dikeluarkan oleh suatu benda menggambarkan
suhu benda tersebut Wibowo 2010.
Pengukuran curah hujan denagn menggunakan radar umumnya dilakukan
dengan radar permukaan ground base radar. Nilai intensitas hujan yang dihasilkan oleh
sensor radar merupakan hasil pengukuran yang paling akurat dibanding sensor lainnya.
Namun, kelemahan utama dari radar yaitu wilayah jangkauannya sangat terbatas sebesar
215 km Wibowo 2010.
Keterbatasan kemampuan sensor pengukuran curah hujan satelit
memungkinkan penggunaan kombinasi dari berbagai sensor. Salah satunya kombinasi
sensor gelombang mikro dan sensor inframerah. Metode ini bertujuan untuk
mendapatkan data curah hujan secara near real time.
Beberapa proyek pendugaan curah hujan dengan metode kombinasi antara lain
GPCP Global Precipitation Climatology Project, Global Satellite Mapping of
Precipitation GSMaP, TRMM TMPA
Tropical Rainfall Measuring Mission Multi- Satellite Precipitation Analysis
, CMORPH CPC MORPHing technique, dan Naval
Research Laboratory Decision Assistance
Branch Meteorological Development Laboratory National Weather Service 2008.