Permasalahan Data Hujan di

dan Oktober. Pola lokal dicirikan oleh bentuk unimodal satu puncak hujan namun bentuknya berlawanan dengan pola hujan monsoon Boerema 1938 dalam Boer 2002. Gambar 1 Pola Hujan di Indonesia. Sumber : http:kadarsah.wordpress.com Pola hujan monsoon mencapai jumlah curah hujan minimum pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Saat monsun barat jumlah curah hujan melimpah, sebaliknya saat monsun timur jumlah curah hujan sangat sedikit Tjasyono 2004. Pola hujan monsoon dapat dibagi lagi menjadi dua kelompok yaitu tipe A dan tipe B. Kedua tipe memiliki pola yang sama, namun terdapat perbedaan yang cukup jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Tipa A memiliki musim kemarau yang lebih panjang meliputi wilayah timur Indonesia dan kepualuan Nusa Tenggara dan secara keseluruhan memiliki hujan yang lebih rendah dari tipe B Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Secara umum, keragaman hujan musim kemarau April – September lebih besar dibandingkan musim hujan Oktober – Maret. Pada pola hujan ini pengaruh angin musim Australia selama musim hujan sangat jelas terlihat Boer 2002. Pola hujan lokal disebut juga dengan tipe C, dimana umumnya lebih dipengaruhi oleh sifat lokal wilayah Tjasyono 2004. Wilayah yang memiliki pola hujan ini meliputi bagian timur ekuator Indonesia Maluku dan Sorong. Musim kemarau pada wilayah ini tidak sekering tipe A maupun tipe B sehingga curah hujan tahunan pada pola hujan ini lebih besar dibandingkan tipe A dan tipe B Boer 2002. Pola hujan ekuatorial memiliki dua puncak hujan yang terjadi saat matahari berada dekat ekuator, yaitu sekitar bulan Maret dan Oktober Tjasyono 2004. Pola ekuatorial dibagi menjadi tipe D dan tipe E. Tipe D mencakup wilayah pantai barat Sumatera Utara, sedangkan tipe E mencakup daerah wilayah pantai barat Sumatera Selatan. Pada wilayah ini musim kemarau tidak begitu jelas Boer 2002.

2.2 Permasalahan Data Hujan di

Indonesia Kebutuhan data iklim sangat penting di berbagai sektor kehidupan. Sebagai data yang dibutuhkan oleh sektor yang sangat vital, maka data iklim harus berkualitas tinggi, dapat dipercaya, dan lengkap. Salah satu data iklim yang sangat dibutuhkan misalnya data curah hujan Tejasukmana Khomarudin 2000. Curah hujan yang diamati pada stasiun pengamatan meliputi tinggi hujan, jumlah hari hujan, dan intensitas hujan Handoko 1995. Data hujan memiliki variasi yang sangat besar dibandingkan unsur-unsur iklim lainnya, baik variasi menurut tempat spasial maupun menurut waktu temporal. Tidak seperti di wilayah beriklim sedang, variabilitas hujan di wilayah tropis cenderung lebih besar. Secara umum besarnya curah hujan bervariasi menurut ketinggian tempat sebagai pengaruh orografik. Besarnya curah hujan yang turun di wilayah tropis umumnya bervariasi dari tahun ke tahun dan bahkan dari musim ke musim dalam kurun waktu satu tahun Asdak 1995. Jangka waktu pengamatan yang cukup panjang dan kerapatan jaringan stasiun pengamatan yang memadai sangat diperlukan untuk memperoleh gambaran suatu wilayah tertentu. Kerapatan jaringan stasiun hujan bergantung pada letak, topografi wilayah, dan sebaran hujannya. Daerah yang berbukit-bukit akan memerlukan stasiun yang lebih rapat daripada daerah yang datar Handoko 1995. Kualitas jaringan pengamatan yang memadai akan mendorong terciptanya data iklim yang berkualitas baik. Namun, jaringan stasiun pengamatan di Indonesia masih belum mencakup seluruh wilayah Indonesia. Daerah- daerah pegunungan dan daerah yang sulit terjangkau biasanya tidak memiliki stasiun pengamatan. Jika tersedia, data yang dihasilkan juga tidak akan sebaik di daerah yang mudah terjangkau. Peralatan yang rusak, kondisi stasiun yang berubah dan tidak sesuai standar penempatan akan menghasilkan data yang kosong untuk pencatatan harian Tejasukmana Khomarudin 2000. Selain itu, pengumpulan informasi ke pusat yang berjalan lambat, jumlah stasiun dan tenaga ahli yang masih belum memadai menjadi faktor pendukung keterbatasan data Karyoto 1995 dalam Oktavariani 2008. Permasalahan utama lain yang dihadapi adalah format dan struktur data yang belum standar sehingga sulit untuk digunakan secara langsung Balitklimat 2007. Metode yang sedang berkembang untuk mengatasi masalah tersebut diantaranya pengembangan model pembangkit data iklim, model statistical downscaling dan dynamical downscaling dari data GCM Global Circulation Model Oktavariani 2008. 2.3 Pemanfaatan Sistem Penginderaan Jauh Dalam Menduga Curah Hujan Penginderaan jauh merupakan ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat, tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau gejala yang akan dikaji Lillesand Kiefer 1997. Komponen dasar dari sistem penginderaan jauh adalah target, sumber energi, jalur transmisi, dan sensor. Keempat komponen tersebut bekerja sama untuk mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut. Sensor dalam suatu sistem penginderaan jauh digunakan untuk mendapatkan informasi tentang obyek dari jarak jauh. Sumber energi akan menjadi unsur yang sangat penting sebagai penghantar informasi dalam sistem penginderaan jauh. Berdasarkan bentuk energi tersebut, penginderaan jauh dibedakan menjadi dua bentuk yaitu penginderaan jauh sistem pasif dan penginderaan jauh sistem aktif. Penginderaan jauh sistem pasif merupakan penginderaan jauh yang menggunakan energi yang berasal dari obyek, berupa pantulan dari sumber lain misalnya matahari. Sementara itu, penginderaan jauh sistem aktif adalah penginderaan jauh yang menggunakan energi yang berasal dari sensor tersebut. Penginderaan jauh aktif dapat dilakukan pada siang ataupun malam hari. Sistem penginderaan jauh aktif tidak tergantung pada adanya sinar matahari, karena energi bersumber dari sensor Budiyanto 2008. Pendugaan hujan menggunakan satelit spaceborne diawali dengan citra awan dari satelit meteorologi pertama yaitu satelit Television and Infrared Observation Satellite TIROS-1 yang diluncurkan pada April 1960. Perkembangan teknologi pendugaan curah hujan dari luar angkasa saat ini secara umum terbagi atas tiga metode berdasarkan sensor yang digunakan yaitu sensor inframerah IRsinar tampak VIS, sensor gelombang mikro pasif dan sensor radar satelit Kidder 1981 dalam Wibowo 2010. Penggunaan sensor IRVIS akan memberikan data emisi dari puncak awan atau di dekat puncak awan Rosenfeld et al. 2004 dalam Michaelides 2008. Satelit yang membawa sensor IR ini adalah satelit-satelit dengan orbit Geostationary Earth Orbit GEO, yaitu satelit GEO-IR ini antara lain MTSAT, METEOSAT, dan GOES. Pendugaan hujan juga dilakukan dengan pemanfaatan sensor pasif gelombang mikro. Prinsip dasar penggunaan sensor tersebut adalah menangkap intensitas radiasi gelombang mikro yang diemisikan oleh permukaan bumi, awan dan butir hujan Hou et al. 2008 dalam Michaelides 2008. Pendugaan besarnya intensitas hujan yang terbentuk dibutuhkan beberapa kalkulasi berdasarkan prinsip hukum radiasi Plank, dimana besarnya energi radiasi yang dikeluarkan oleh suatu benda menggambarkan suhu benda tersebut Wibowo 2010. Pengukuran curah hujan denagn menggunakan radar umumnya dilakukan dengan radar permukaan ground base radar. Nilai intensitas hujan yang dihasilkan oleh sensor radar merupakan hasil pengukuran yang paling akurat dibanding sensor lainnya. Namun, kelemahan utama dari radar yaitu wilayah jangkauannya sangat terbatas sebesar 215 km Wibowo 2010. Keterbatasan kemampuan sensor pengukuran curah hujan satelit memungkinkan penggunaan kombinasi dari berbagai sensor. Salah satunya kombinasi sensor gelombang mikro dan sensor inframerah. Metode ini bertujuan untuk mendapatkan data curah hujan secara near real time. Beberapa proyek pendugaan curah hujan dengan metode kombinasi antara lain GPCP Global Precipitation Climatology Project, Global Satellite Mapping of Precipitation GSMaP, TRMM TMPA Tropical Rainfall Measuring Mission Multi- Satellite Precipitation Analysis , CMORPH CPC MORPHing technique, dan Naval