Pariwisata sebagai Ilmu: Hakekat dan Sejarah Pengakuannya di Indonesia

45

2.2 Pariwisata sebagai Ilmu: Hakekat dan Sejarah Pengakuannya di Indonesia

Perdebatan Pendekatan Ilmu Pariwisata Kusmayadi dan Endar Sugiarto 2000 mengisaratkan bahwa untuk diakuinya pariwisata sebagai satu disiplin ilmu masih memerlukan waktu yang cukup panjang. Pada saat itu, dalam dunia pendidikan di negara maju masih terjadi pergulatan tentang pendekatan atau model yang terbaik untuk studi pariwisata. Yang pertama, studi pariwisata dikembangkan dengan pendekatan yang bersifat multi disiplin multi‐disciplinary approach. Dengan pendekatan model ini, pendidikan pariwisata ditempatkan pada lembaga yang sudah ada, umpamanya Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen. Kedua, Leiper 1981 menawarkan pendekatan yang bersifat heterodox. Dengan pendekatan ini penyusunan materi kuliah bukan didasarkan atas kontribusi suatu disiplin ilmu yang telah ada, melainkan atas dasar suatu perspektif dalam pariwisata. Dengan demikian pendekatan yang digunakan lebih bersifat inter‐disciplinary, di mana akan melahirkan disiplin ilmu baru yang mencadi core subject dalam kurikulum. Dengan menggunakan pendekatan ini, walaupun dengan disiplin ilmu lain tetap berkaitan, ilmu pariwisata menjadi penting sebab menjadi core dalam kurikulum. Ketiga, pendekatan yang bersifat trans‐disciplinary, yang diajukan oleh Jafari dan Richie 1981 yang menyatakan bahwa pendekatan ini di luar disiplin ilmu tradisional. Pendekatan ini dimulai dari masalah atau issu yang sedang berkembang, kemudian dengan melalui proses pemecahan masalah akan membawa kepada pengetahuan baru. Namun diakui pendekatan ini banyak kendala yang dihadapi antara lain kemampuan dosen dan mahasiswa di dalam teknik pemecahan masalah, di samping memilih disiplin ilmu yang tepat untuk memecahkan masalah. Sementara itu, menurut Tribe 1997, pengembangan pengetahuan pariwisata dapat didekati dari tiga pendekatan yaitu: 1 extradisciplinary, 2 multidisciplinary, dan 3 interdisciplinary. Dalam kajiannya, teriden‐ 46 tifikasi suatu area di mana pengetahuan pariwisata yang salah satunya adalah dikembangkan dari luar komunitas akademik dari industri, pemerintah, think‐tank, kelompok pemerhati pariwisata dan institusi riset dan konsultan Tribe’s 1999, sebagai extradisciplinary. Namun mulai tanggal 13 Pebruari 2008, pariwisata di Indonesia memulai babak baru dengan diakuinya pariwisata sebagai ilmu mandiri, pada rapat antara Dirjen Dikti Depdiknasi dengan DPPDPW Hildiktipari, Depbudpar, dan Asosiasi‐asosiasi industri Pariwisata. Selanjutnya Dirjen Dikti mengeluarkan surat No. 947DT2008 dan 948DT2008, untuk pembukaan Program Sarjana S1 di STP Bandung dan STP Bali. Kebutuhan Ilmu Pariwisata 1 Baik sektor pariwisata ataupun sektor pendidikan keduanya sangat dinamis, dipengaruhi oleh keadaan politik, ekonomi, sosial dan lingkungan. Di luar negeri, sistem pendidikan pariwisata merupakan kolaborasi antara sektor pariwisata dan pendidikan. Tidak ada alokasi dominasi khusus diantara keduanya, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan. Keterlibatan dua sektor itu secara otomatis menarik keterlibatan pembuat kebijakan di masing‐masing sektor untuk bersinergi menentukan yang terbaik. SDM yang bergerak di industri pariwisata, tentunya harus professional dengan memiliki pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang dipersyaratan untuk industri ini. Dari sudut pandang proses manajemen, ada tiga kebutuhan keahlian dalam pariwisata yaitu: 1 technical skill, 2 human resources skill dan 3 conceptual skill. Menurut Woods King 1995: “Conceptual skill involves an individual’s ability to see beyond the technical aspects of his position”. Termasuk di dalamnya adalah kemampuan untuk mengakui keadaan saling tergantung antardepartemen di dalam suatu organisasi. Taroepratjeka 1998 menekankan pada tenaga professional dan tenaga ilmiah akademisi yang dibutuhkan untuk 1 Naskah pada subab ini diambil dari rapat koordinasi Nasional Ilmu pariwisata, dengan Izin Ketua Tim Sembilan Badan Pengembangan SDM Depbudpar. 47 pariwisata, tidak terbatas pada perhotelan atau bidang usaha perjalanan wisata. Mihardjo dan Kusmayadi 2001 menggolongkan dua kategori output pendidikan profesional yaitu 1 kompetensi profesional dan 2 kompetensi attitude. Kompetensi profesional terdiri atas kompetensi konseptual, kompetensi teknikal, kompetensi integratif, kompetensi kontekstual, kompetensi adaptif, dan komunikasi interpersonal. Selain itu, industri pariwisata berkembang dengan sangat cepat yang berdampak pada percepatannya dalam membuat perubahan besar pada perimbangan ekonomi lokal maupun nasional dan internasional, serta dampaknya kepada keadaan sosial dan lingkungan, membuat ilmu pariwisata menjadi signifikan untuk dikembangkan Cooper dkk 1998. Pariwisata Sebagai Disiplin Ilmu, Ditinjau dari Filsafat Ilmu 2 Sebagai salah satu bentuk aktivitas masyarakat, pariwisata berkembang pesat dalam sejarah kehidupan manusia sejak pertengahan abad yang lalu. Sejalan dengan itu, perhatian terhadap pariwisata terus meningkat, antara lain ditandai dengan meluasnyua wacana dan analisis ilmiah yang lebih fokus pada isu tersebut. Berbagai pandangan dan wacana menghiasi tulisan‐tulisan di pelbagai jurnal ilmiah dan buku teks dan memosisikan pariwisata sebagai objek kajian yang seakan tidak pernah kering. Untuk mempertajam analisisnya, para ahli mengeksplorasi ”sumur” pariwisata dengan menggunakan pendekatan‐pendekatan disiplin ilmu yang mapan atau mengombinasikannya, seperti sosiologi, antropologi, geografi, psikologi, ekonomi dan sebagainya Cohen 1972 ; Smith 1977. Penggunaan berbagai disiplin ilmu untuk menganalisis pariwisata menunjukkan betapa pariwisata hanya dapat dipahami dengan lebih mudah jika pendekatan multidisiplin atau bahkan transdisiplin digunakan. Namun dalam praksis hal ini bukanlah persoalan sederhana, karena terbukti pendekatan multidisiplin untuk mengkaji pariwisata masih jarang 2 Makalah disusun oleh Dr. Janianton Damanik Puspar UGM untuk Rakornas Ilmu Pariwisata dengan izin dari Kepala Badan Depbudpar 48 dilakukan. Bisa saja sejumlah ahli dari ilmu yang berbeda secara bersama‐ sama melakukan kajian pariwisata, namun pendekatan yang digunakan tetap pendekatan keilmuan masing‐masing, bukan suatu model pendekatan multidisiplin. Hasil akhir yang muncul adalah pemahaman atas pariwisata dari berbagai sudut pandang ilmu, bukan dari satu sintesis pendekatan multidisiplin. Di sinilah masalah baru dapat diidentifikasi. Alih‐alih melahirkan cabang ilmu yang baru, kegagalan merumuskan suatu pendekatan multidisiplin tersebut mengakibatkan pariwisata tetap diposisikan sebagai suatu objek kajian berbagai ilmu pengetahuan. Paradigma keilmuan sejak awal sudah memosisikan pariwisata sebagai minor, sehingga yang lahir adalah misalnya sosiologi pariwisata, geografi pariwisata, ekonomi pariwisata dan sebagainya Pitana dan Gayatri 2005. Padahal bidang kehidupan manusia yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pariwisata sangat luas dan kepentingan serta stakeholder yang terlibat di dalam pariwisata juga amat beragam. Artinya, kompleksitas ini sebenarnya sudah membuka jalan lebih lebar untuk menjurus ke pemikiran tentang ilmu pariwisata. Merujuk riset‐riset tentang kepariwisataan yang lalu ataupun fokus‐ fokus kajian yang berkembang saat ini, riset‐riset itu menghasilkan laporan‐ laporan yang memperkaya wacana, bukti empirik tentang fenomena pariwisata. Selanjutnya adalah menerapkan hasil‐hasil riset tersebut sekaligus memverifikasi dengan teori‐teori yang sudah ada dengan menggunakan metode‐metode yang relevan dan membentuk pengetahuan‐ pengetahuan praktis maupun teoretis. Nama‐nama spesifik seperti ilmu pariwisata, turismologi, atau disiplin turisme, untuk sementara semua bisa diterima asalkan tujuannya lebih nyata tercapai daripada sekadar memperdebatkan hakikat‐hakikat yang melelahkan tanpa berani melangkah maju. Setiap ilmu memiliki minimal tiga syarat dasar, yakni: 1 ontologi objek atau focus of interest yang dikaji; 2 epistemologi metodologi 49 untuk memperoleh pengetahuan; dan 3 aksiologi nilai manfaat pengetahuan Suriasumantri 1978. Dikatakan, bahwa hakekat ilmu menyangkut keyakinan ontologik, yakni suatu keyakinan untuk menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” objek yang akan dikaji itu. Berdasarkan itu seseorang lalu akan menentukan epistemologi, yaitu cara atau metodologi yang digunakan untuk mencapai sasaran atau membuktikan sang “ada” tadi. Akhirnya ia memilih aksiologi, yaitu nilai‐nilai dan parameter yang digunakan untuk mengembangkan pengetahuan Wibisono 1984. Konsep pariwisata mengandung kata kunci ‘perjalanan’ tour yang dilakukan seseorang, yang melancong demi kesenangan dalam waktu sementara, bukan untuk menetap dan bekerja. Jika pada awalnya kegiatan melancong berupa kesenangan belaka, kini kegiatan tersebut menjadi sesuatu yang harus direncanakan, dilaksanakan, dan dinikmati secara serius, serta menjadi tidak sederhana. Pariwisata adalah suatu gejala yang sangat kompleks di dalam masyarakat Soekadijo 2000. Oleh karena itu pariwisata kini telah berkembang menjadi suatu subjek pengetahuan yang pantas dibahas secara ilmiah. Ilmu pariwisata layak dibangun di atas fenomena yang kompleks itu melalui suatu sistem logika ilmu, pengandaian dan pembenaran, dan peningkatan dari statusnya sebagai pengetahuan umum common sense menjadi pengetahuan ilmiah science agar setara dengan ilmu‐ilmu lain. Ilmu pariwisata bisa didefinisikan secara sederhana, yaitu ilmu yang mempelajari teori‐teori dan praktik‐praktik tentang perjalanan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitasi perjalanan wisatawan, dengan berbagai implikasinya. Definisi ilmu pariwisata ini disusun dari pengertian ilmu sebagai pengetahuan ilmiah dan akumulasi dari beberapa definisi pariwisata dalam berbagai aspeknya. Wacana tentang pariwisata sebagai ilmu hendaknya dimulai dari pemahaman dasar ini, sehingga perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, keterkaitan antar‐ilmu, simplifikasi maupun 50 kompleksitas ilmu yang vital bagi pengembangannya akan dapat dipahami lebih dalam. Pemahaman tentang hakekat ilmu juga memudahkan orang untuk mengenali kelebihan dan keterbatasan metode, asumsi, logika, struktur dan sistematika pemikiran ilmiah sedemikian rupa, sehingga seorang ilmuwan terhindar dari arogansi intelektual yang tidak kritis Wibisono 1984. Identifikasi Aspek Keilmuan Dalam Pariwisata Sebagaimana disebutkan di atas, diskusi tentang status keilmuan pariwisata hendaknya didekati dengan persyaratan dasar suatu ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Penggunaan filsafat ilmu ini, sebagaimana akan diuraikan di bawah, menyimpulkan bahwa pariwisata memang dapat dipandang sebagai suatu disiplin ilmu yang sejajar dengan ilmu‐ilmu lainnya. Aspek Ontologi Ilmu pariwisata harus mampu menyediakan informasi ilmiah yang lengkap tentang hakikat pelancongan itu, gejala pariwisata, wisatawannya sendiri, prasarana dan sarana wisata, objek‐objek yang dikunjungi, sistem dan organisasi, dan kegiatan bisnisnya, serta semua komponen pendukung di daerah asal wisatawan maupun di daerah destinasi wisata. Tetapi, sebelum ilmu pariwisata menyajikan sekaligus menjelaskan teori‐teori dan banyak informasi aktualnya, maka sebaiknya perlu dilakukan suatu studi atau pengkajian dasariah yang menyeluruh dan cermat. Oleh sebab itu pertimbangan filsafati terhadap pembentukan ilmu pariwisata perlu dilakukan dengan menekankan tiga aspek pokok, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ilmu pariwisata juga harus dibangun berdasarkan suatu penjelasan yang mendalam, tidak terburu‐buru, dan perlu dibuatkan taksonominya. 51 Setiap ilmu memiliki objek material dan objek formal. Objek material adalah seluruh lingkup makro yang dikaji suatu ilmu. Objek formal adalah bagian tertentu dari objek material yang menjadi perhatian khusus dalam kajian ilmu tersebut. Sesungguhnya objek formal inilah yang membedakan satu ilmu dengan ilmu lainnya van Melsen 1985. Di sini secara asumtif dapat dikatakan bahwa objek formal kajian aspek ontologi ilmu pariwisata adalah masyarakat. Oleh sebab itu pariwisata dapat diposisikan sebagai salah satu cabang ilmu sosial karena focus of interest‐nya adalah kehidupan masyarakat manusia. “The study of tourism is the study of this tourism phenomenon and its effects” Mill dan Morrison 1982. Tentang fenomena pariwisata ini dapat difokuskan pada tiga unsur, yakni: 1 pergerakan wisatawan; 2 aktivitas masyarakat yang memfasilitas pergerakan wisatawan; dan 3 implikasi atau akibat‐akibat pergerakan wisatawan dan aktivitas masyarakat yang memfasilitasinya terhadap kehidupan masyarakat secara luas. Ketiga unsur ini memiliki sifat yang melekat dalam setiap objek ilmu pengetahuan. Pergerakan atau perjalanan merupakan salah satu komponen yang elementer dalam pariwisata. Ia merupakan tujuan dan objek penawaran dan permintaan jasa wisata, termasuk objek kajian berbagai cabang ilmu pengetahuan Freyer 1995. Salah satu di antara sifat tersebut adalah berulang, beragam, saling terkait dan teratur. Pergerakan wisatawan berlangsung secara terus‐menerus dalam skala waktu yang hampir tidak terbatas. Jika dahulu hanya kelompok elite masyarakat yang dominan berwisata, maka sekarang hal itu dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat Hennig, 1999, meskipun dengan bentuk, jenis, dan cara yang berbeda. Demikian pula aktivitas masyarakat cenderung beragam dan dinamis di dalam memfasilitasi pergerakan tersebut. Ada yang menyediakan akomodasi dan ada pula yang menyediakan transportasi. Sebagian lainnya menyediakan atraksi wisata, sebagian lagi memasarkan produk wisata. Bahkan aktivitas tersebut tidak monoton, tetapi bervariasi skala, intensitas, ruang lingkup dan bidang 52 kegiatan yang dilakukan. Demikian pula halnya dengan implikasi yang ditimbulkannya, yakni berbeda‐beda menurut tingkat perkembangan pariwisata itu sendiri. Hal ini semakin diperkuat oleh adanya keterkaitan linkages antara satu unsur wisatawan dengan unsur lainnya, dalam hal ini masyarakat di daerah tujuan wisata dan dampak yang ditimbulkannya. Para ahli sebenarnya sudah lama menganalisis objek formal ini dari berbagai perspektif teori ilmu sosial. Bahkan analisis tersebut sudah sampai pada bagian‐bagian atau aspek‐aspek yang khusus dari setiap objek formal yang disebut di atas. Misalnya tentang tipologi wisatawan yang melakukan pergerakan Cohen, 1974 yang berimplikasi pada organisasi dan manajemen perjalanan dan fasilitas wisata; upaya‐upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk memfasilitasi pergerakan tersebut Medina‐Munoz dkk 2002 yang menuntut suatu pola kerjasama lintas pelaku; dampak pergerakan wisatawan di daerah tujuan wisata Mathieson dan Wall 1982; Dogan 1989 yang memerlukan monitoring dan evaluasi. Semua ini merupakan esensi objek formal kajian pariwisata yang dapat dijadikan basis untuk memosisikan pariwisata sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di antara berbagai cabang ilmu sosial. Kajian tentang pariwisata sebagai objek studi telah dilakukan berbagai pihak, baik para teoretisi maupun praktisi di bidang kepariwisataan. Sekalipun masih ada keraguan, tetapi tidak sedikit pula yang mengusulkan agar pengetahuan pariwisata ditingkatkan menjadi ilmu pariwisata. Dalam bukunya berjudul Sosiologi Pariwisata, Pitana dan Gayatri 2005 menuturkan bahwa telah muncul usulan‐usulan agar kajian pariwisata menjadi turismologi oleh Jovicic dan disiplin turisme oleh Leiper yang bersifat mandiri. Pitana membandingkan dengan objek‐objek lain seperti pertanian, kedokteran, dan lain‐lain yang jika pariwisata dikembangkan melalui pengkajian filsafati ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Berdasarkan komparasi tersebut ia sampai pada kesimpulan bahwa pariwisata sudah layak menjadi disiplin yang independen. Dengan kata lain sesungguhnya tidak ada disiplin tertentu yang benar‐benar seratus persen 53 independen. Keraguan sementara pihak terkait dengan independesi ilmu pariwisata sudah saatnya dipinggirkan, mengingat kini semua cabang ilmu memiliki kebebasan yang sama luas untuk berkembang melalui metodologinya sendiri. Aspek Epistemologi Aspek epistemologi pariwisata menunjuk pada cara‐cara memperoleh kebenaran atas objek ilmu. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah, yakni didasarkan pada suatu logika berpikir yang rasional, objektif dan dapat diuji secara empirik. Sebagai contoh, pergerakan wisatawan sebagai salah satu objek formal “ilmu” pariwisata dipelajari dengan menggunakan suatu metode berpikir rasional. Misalnya, pergerakan wisatawan terjadi akibat adanya interaksi antara ketersediaan sumberdaya waktu luang, uang, infrastruktur dengan kebutuhan mereka untuk menikmati perbedaan dengan lingkungan sehari‐hari. Dalam hal ini logika berpikir sangat rasional dan – lebih dari itu – juga dapat dibuktikan secara empirik. Sebaliknya sangat tidak rasional dan sulit dibuktikan kebenaran pergerakan wisatawan akibat perang atau bayang‐bayang hari kiamat. Seperti disebutkan sebelumnya, diskusi tentang epistemologi otomatis menyangkut metode suatu ilmu untuk mencari kebenaran. Untuk itu perlu didefinisikan pendekatan kajian pariwisata secara lebih khusus. Salah satu yang paling mudah adalah pendekatan sistem McIntosh, Goeldner, dan Ritchie 1995. Pendekatan ini menekankan bahwa baik pergerakan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitasnya maupun implikasi dari kedua‐duanya terhadap kehidupan masyarakat secara luas, merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan atau pengaruh‐mempengaruhi. Setiap pergerakan wisatawan selalu diikuti dengan penyediaan fasilitas wisata dan interaksi keduanya akan menimbulkan konsekuensi‐ konsekuensi logis di bidang ekonomi, sosial, budaya, ekologi bahkan politik sekalipun. Para ahli sepakat melihat pariwisata sebagai suatu sistem yang 54 digerakkan oleh dinamika subsistemnya, seperti pasar, produk, pasar dan pemasaran Mill dan Morrison 1982; Freyer 1995. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pemahaman terhadap pariwisata sebagai objek material suatu ilmu tidak akan pernah tuntas jika mengabaikan pendekatan sistem ini. Pendekatan berikutnya adalah pendekatan kelembagaan. Pendekatan ini melihat pariwisata sebagai suatu hasil kerjasama berbagai aktor stakeholder secara melembaga McIntosh, Goeldner, dan Ritchie 1995. Setiap perjalanan wisata melibatkan wisatawan, penyedia jasa transportasi, penyedia jasa akomodasi, jasa atraksi. Antara satu dengan yang lain memiliki hubungan fungsional dan berdasarkan hubungan itulah kegiatan perjalanan wisata dapat berlangsung. Wisatawan tidak dapat melakukan aktivitasnya jika, misalnya, penyedia jasa akomodasi hotel dan fasilitas penginapan tidak menjalankan fungsinya atau apabila jasa transportasi tidak tersedia secara memadai. Sebagai suatu komoditas jasa, pariwisata juga dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan produk. Artinya pariwisata merupakan suatu komoditas yang sengaja diciptakan untuk merespon kebutuhan masyarakat McIntosh, Goeldner, dan Ritchie 1995. Konsep triple A atraksi, amenitas, aksesibilitas yang digunakan untuk menjelaskan elemen produk wisata sesungguhnya menunjuk pada hasil kegiatan memproduksi dan atau mereproduksi komoditas yang dikonsumsi oleh wisatawan. Pendekatan yang juga cukup sering diwacanakan adalah pendekatan multidisiplin. Pendekatan ini melihat pariwisata sebagai suatu realitas kehidupan manusia yang sangat kompleks, multidimensional dan multifaset, sehingga hanya dapat dipahami lebih utuh dengan menggunakan berbagai sudut pandang yang berbeda McIntosh, Goeldner, dan Ritchie 1995. Sebagai contoh, aspek pergerakan wisatawan sendiri tidak dapat dipahami secara utuh dengan menjelaskan faktor kebutuhan relaksasi, sebab semua orang memiliki kebutuhan yang sama namun terbukti sebagian besar di antaranya tidak melakukan perjalanan. Kebutuhan itu 55 sendiri tentu ingin direalisasi, sehingga perlu disediakan media atau wadahnya. Dari sisi ini pergerakan wisatawan memiliki dimensi lain, misalnya ekonomi, sosiologi, antropologi, teknik dan sebagainya. Demikian seterusnya sehingga pergerakan wisatawan dan juga objek formal yang lainnya dalam kajian pariwisata sangat rumit. Ilmu pariwisata bersifat multidisiplin, artinya ilmu ini tidak mungkin berdiri sendiri dan harus melibatkan berbagai disiplin lain seperti sejarah, sosiologi, antropologi, etnografi, ekonomi, manajemen, budaya, seni, teknologi, dan bahkan politik dalam arti luas. Pendekatan multidisiplin itu memungkinkan ilmu pariwisata menjadi sangat luas dan taksonominya tumbuh pesat. Ilmu pariwisata kelak bisa menumbuhkan pengetahuan‐ pengetahuan spesifik di bawahnya seperti sosiologi pariwisata, strategi manajemen pariwisata, prasarana dan sarana pariwisata, budaya dan seni sebagai penunjang pariwisata, teknologi informasi pariwisata dan lain sebagainya. Tetapi justeru karena banyak disiplin lain terkait, maka membangun ilmu pariwisata perlu memperhatikan berbagai metodologi yang melingkunginya. Dengan menggunakan pendekatan tersebut maka kajian pariwisata memiliki ruangan yang luas untuk menggunakan metode‐metode dengan tujuan untuk mencari kebenaran objek formalnya Przeclawski 1993; Pearce 1994. Penggunaan berbagai disiplin lain yang sudah mapan, bukanlah sesuatu yang tabu dalam perkembangan suatu ilmu. Hampir semua ilmu memang selalu meminjam atau menggunakan bantuan ilmu‐ ilmu lainnya. Membangun ilmu pariwisata tentu memerlukan suatu metodologi riset tertentu. Metodologi itu sebenarnya bermakna ganda, secara umum sebagai ilmu tentang metode‐metode, tetapi di sini tepat jika dimaksudkan sebagai kerangka kerja besar grand design suatu upaya kajian menyeluruh selama riset ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Di dalam metodologi ini terkandung penggunaan dan pembahasan atas metode‐ metode riset yang digunakan sebagai langkah‐langkah teknis riset dari 56 mulai pengumpulan data, analisis, dan penyimpulan, serta verifikasi hasilnya terhadap berbagai realita di lapangan. Metode‐metode riset sosial seperti metode eksploratif dari jenis riset eksploratori exploratory research dan metode membangun teori theory‐ building research merupakan cara‐cara yang tepat digunakan untuk membangun ilmu pariwisata. Eksplorasi data kepustakaan dalam riset ini bisa dilengkapi dengan riset lapangan terkait dengan praktik‐praktik kepariwisataan. Riset ilmu pariwisata juga bisa dilaksanakan secara kuantitatif, tetapi pada semua objek riset yang terutama terkait dengan budaya dan hal‐hal yang tidak pasti maka perlu dilakukan secara kualitatif. Metodologi dan metode‐metode riset bagi pengembangan ilmu pariwisata hendaknya dibahas secara strategis. Metode pertama yang jamak dilakukan adalah metode riset komparatif. Metode ini digunakan untuk menganalisis suatu masalah di tempat yang berbeda. Para ahli berpendapat bahwa metode komparasi merupakan suatu proses pencarian kesamaan dan perbedaan berbagai fenomena. Dalam konteks pariwisata metode ini banyak digunakan untuk menganalis kasus‐kasus perkembangan destinasi wisata yang memiliki karakteristik khusus di kawasan yang berbeda Weaver, 1999 maupun relasi wisatawan dengan masyarakat di daerah tujuan wisata Smith dan Krannich 1998. Metode riset eksploratif juga sangat relevan digunakan di dalam riset objek formal pariwisata. Metode ini bertujuan, misalnya, untuk menjelajahi objek‐objek kajian pariwisata yang belum terungkap sepenuhnya, sehingga akhirnya dapat ditemukan “fakta” atau kebenaran yang lebih utuh atas suatu objek. Sebagai contoh, wacana umum tentang pergerakan wisatawan menjurus pada pemahaman bahwa wisatawan memiliki karakteristik perjalanan yang seragam. Para ahli tentu tidak puas dengan penjelasan tersebut karena ada fakta yang tidak sesuai dengan itu. Ketidaksesuaian ini kemudian mendorong para ahli untuk menganalisis karakteristik yang berbeda tadi. Baik analisis tipologi wisatawan yang dilakukan Cohen 1974 57 maupun oleh Plog 2001 atas psikografi wisatawan dapat disebut antara lain sebagai kajian yang menggunakan metode eksploratif ini. Metode lain yang sering digunakan dalam riset pariwisata adalah metode deskriptif. Misalnya kajian terhadap proses‐proses perjalanan dan pertemuan dengan budaya yang berbeda di daerah tujuan wisata dapat dilakukan dengan baik jika menggunakan metode ini. Crott 2004 misalnya menunjukkan bahwa metode deskriptif dengan jelas menggambarkan betapa orientasi budaya wisatawan menjadi salah satu referensi penting di dalam memilih destinasi wisata. Hal ini berarti bahwa dalam perencanaan perjalanannya wisatawan mempertimbangkan faktor ”the degree of differences between their cultural norms and that of the host” Crott 2004 daripada sekedar arah perbedaan itu sendiri. Aspek Aksiologi Aksiologi merupakan aspek ilmu yang sangat penting. Dalam ilmu pariwisata pertanyaan yang perlu dijawab di sini adalah nilai atau manfaat apa yang dapat disumbangkan oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pariwisata jelas memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat manusia. Perjalanan dan pergerakan wisatawan adalah salah satu bentuk kegiatan dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang beragam, baik dalam bentuk pengalaman, pencerahan, penyegaran fisik dan psikis maupun dalam bentuk aktualisasi diri. Dalam konteks inilah dapat dipahami mengapa, PBB menegaskan kegiatan berwisata sebagai hak asasi. Kontribusi pariwisata yang lebih konkret bagi kesejahteraan manusia dapat dilihat dari implikasi‐ implikasi pergerakan wisatawan, seperti meningkatnya kegiatan ekonomi, pemahaman terhadap budaya yang berbeda, pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan manusia Copeland, 1998. Sumbangan pariwisata berikutnya dapat ditelusuri dengan cara melakukan prediksi‐prediksi terhadap perkembangan mobilitas wisatawan dan jasa‐jasa yang menyertainya. Manusia akan terlibat terus dan semakin 58 intensif di dalam perjalanan wisata, sebab wisata menjadi media yang digunakan untuk memenuhi salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu jumlah pergerakan wisatawan di masa depan akan cenderung meningkat dan diikuti oleh peningkatan investasi di bidang yang sama WTTC 2002; UN‐ Department of Economic and Social Affairs 1999. Masalah yang mungkin muncul dari pergerakan itu adalah bahwa penyediaan media yang lebih tepat dan sesuai dengan kebutuhan wisatawan akan terbatas. Akibatnya muncul persoalan baru pada penurunan derajat kepuasan wisata dan penurunan mutu jasa yang ditawarkan. Ilmu pariwisata juga memiliki manfaat akademis untuk mengembangkan ilmu pariwisata itu sendiri, untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan pada umumnya, untuk memberikan penjelasan perkembangan terkini dunia pariwisata secara teoretik kepada masyarakat. Ilmu pariwisata juga bisa digunakan sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat praksis dan bermanfaat bagi pengembangan kepariwisataan di lapangan. Ilmu pariwisata diperlukan sekali untuk pengembangan pendidikan pariwisata, baik melalui kurikulum, bahan ajar, lembaga penyelenggara, maupun penyempurnaan sistem pendidikannya yang kini berlaku. Terkait dengan hal itu perlu dilakukan riset untuk mendeskripsikan paradigma pariwisata yang sedang berkembang hingga kini. Bagaimana pandangan masyarakat umum, pelaku pariwisata, wisatawan, dan sektor‐ sektor pendukung pariwisata seperti industri dan perdagangan, transportasi dan komunikasi, kebudayaan, pendidikan, serta perbankan misalnya. Pendapat dan pengalaman mereka selama ini dalam melayani pariwisata sebaiknya dicatat dan dievaluasi. Dari merekalah mungkin studi kepariwisataan harus dimulai untuk mendapatkan banyak data baik berupa persoalan maupun jalan keluarnya. Ilmu pariwisata sangat berguna bagi upaya mendeskripsikan paradigma pariwisata yang sedang berlaku, tetapi juga untuk mengarahkan kepada adanya pikiran‐pikiran baru yang belum 59 tertampung tentang kepariwisataan di Indonesia sesuai dengan dinamika masyarakat kita yang semakin modern dan sarat perubahan‐perubahan. Untuk mengatasi persoalan itu pariwisata sebagai ilmu akan terus mencoba menemukan cara‐cara yang lebih tepat dan memberikan dampak positif bagi pemenuhan kesejahteraan manusia. Seiring dengan berkembangnya objek formal kajian ini, maka fokus‐fokus kajian pariwisata juga terus diperkaya dan pendekatan yang digunakan untuk meningkatkan manfaat pariwisata bagi ummat manusia semakin beragam. Pengenalan konsep ekowisata sebagai suatu model perjalanan wisata alternatif dengan harapan agar wisatawan dapat menikmati pengalaman dan manfaat yang lebih tinggi dari aktivitas wisatanya Eagles dan McCool 2002; UNEP 2000 merupakan salah satu metode yang giat diupayakan dalam diskursus pariwisata. Demikian pula halnya dengan tawaran pendekatan pengembangan pariwisata berbasis komunitas WTO 2003; Suansri 2003 atau berorientasi pada pemberdayaan masyarakat miskin pro‐poor tourism Saville, 2001. Semuanya bertujuan untuk meningkatkan kontribusi pariwisata bagi semua lapisan masyarakat dan sekaligus mengoptimalkan nilai guna jasa yang diberikan. Cabang‐Cabang Ilmu Pariwisata Berdasarkan ketiga aspek ilmu pariwisata yang dipaparkan di atas, terutama terkait dengan aspek ontologi yang menegaskan objek formalnya, maka dapat diidentifikasi beberapa cabang ilmu pariwisata. Oleh karena objek formal dan focus of interest ilmu pariwisata adalah pergerakan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitas pergerakan wisatawan dan implikasi atau akibat‐akibat pergerakan wisatawan serta aktivitas masyarakat yang memfasilitasinya terhadap kehidupan masyarakat secara luas, maka cabang‐cabang disiplin pariwisata paling tidak dapat diidentifikasi sebagai berikut. 60 1. Pengembangan Jasa Wisata. Cabang ini mengkhususkan diri pada pengembangan pengetahuan tentang strategi, metode dan teknik menyediakan jasa dan hospitality yang mendukung kelancaran perjalanan wisata. Objek perhatiannya adalah aktivitas masyarakat di dalam penyediaan jasa, seperti fasilitas akomodasi, atraksi, akses dan amenitas, serta jasa‐jasa yang bersifat intangible lainnya. 2. Organisasi Perjalanan. Cabang ini menitikberatkan perhatiannya pada pengaturan lalu‐lintas perjalanan wisatawan dan penyediaan media atau paket‐paket perjalanan yang memungkinkan wisatawan mampu memperoleh nilai kepuasan berwisata yang tinggi melalui pengelolaan sumberdaya pariwisata. Dalam hal ini objek perhatiannya terfokus pada pemaketan perjalanan wisata, pengorganisasian dan pengelolaannya sesuai dengan prinsip‐prinsip kerberlanjutan. 3. “Kebijakan Pembangunan Pariwisata”. Cabang ini menitikberatkan perhatiannya pada upaya‐upaya peningkatan manfaat sosial, ekonomi, budaya, psikologi perjalanan wisata bagi masyarakat dan wisatawan dan evaluasi perkembangan pariwisata melalui suatu tindakan yang terencana. Termasuk dalam hal ini adalah perencanaan kebijakan dan pengembangan pariwisata. Dengan pengembangan ketiga cabang ilmu pariwisata tersebut maka dapat diidentifikasi kompetensi keahlian para lulusan atau penyandang keahlian ilmu pariwisata sebagai berikut: 1. Kompetensi dalam penyediaan, pengelolaan dan pengembangan ber‐ bagai jenis jasa wisata, seperti akomodasi, industri boga, event organizer, dll. 2. Kompetensi dalam penyediaan, pengelolaan dan pengembangan paket dan program perjalanan. 3. Kompetensi dalam penyusunan program pengembangan destinasi, penataan kawasan, penyusunan kebijakan pemasaran, analisis dampak pariwisata dan lain‐lain. 61

2.3 Dukungan Riset Berbagai Disiplin Terkait dengan Ilmu Pariwisata