1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Infeksi merupakan peristiwa masuknya mikroorganisme ke suatu bagian di dalam tubuh yang secara normal dalam keadaan steril Daniela, 2010. Infeksi
dapat disebabkan oleh agen infeksi seperti bakteri, jamur, virus, protozoa, dan cacing parasit WHO, 2001. Infeksi dapat pula menyerang pada bagian saluran
pernafasan manusia yang sering disebut dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut ISPA. Secara umum bakteri penyebab terjadinya infeksi saluran pernapasan
antara lain Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia spp., dan Haemophilus influenzae Ching et al., 2007.
ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di puskesmas 40-60 dan rumah sakit 15-30 Kemenkes, 2012. Di
negara-negara berkembang khususnya Indonesia, penyakit infeksi saluran pernafasan akut ISPA masih termasuk masalah kesehatan yang penting. Dari
10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan, di Indonesia penyakit saluran pernafasan menempati urutan kedua pada tahun 2007 dan pada tahun 2008
menjadi urutan yang pertama Menkes, 2006. Menurut WHO pada tahun 2003 ISPA merupakan penyakit yang dapat menyebabkan 10-25 kematian dalam
setiap tahunnya di negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu bentuk penyakit ISPA yaitu Bronkhitis yang disebabkan oleh adanya peradangan pada
bronkus, bronkhioli, dan trakhea. Biasanya penyakit ini bersifat ringan dan pada akhirnya akan sembuh sempurna atau akan kembali seperti keadaan semula
Arif, 2008. Bentuk lain dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut yaitu pneumonia. Pneumonia merupakan pembunuh utama pada balita di dunia, lebih banyak
dibanding dengan penyakit AIDS, malaria maupun campak. Setiap tahunnya diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena Pneumonia 1 Balita20
detik dari 9 juta total kematian balita. Di antara 5 kematian balita, 1 di antaranya disebabkan oleh pneumonia Kemenkes, 2012.
ISPA merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri, maka dalam terapi pengobatannya memerlukan antibiotik. Pada infeksi saluran
pernafasan yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan terapi antibiotik levofloxacin, trimetoprim, cefotaxime, ciprofloxacin, tetracyclin, erythromycin,
amoksisilin, ceftazidim, moxifloxacin atau klavulanat Umar et al., 2005. Akan
tetapi pengobatan yang menggunakan antibiotik beresiko terjadinya resistensi bakteri.
Peningkatan resistensi bakteri yang sangat pesat terlihat pada tahun 1979 hingga tahun 2011 dengan banyak ditemukannya bakteri yang resisten terhadap
antibiotik. Penggunaan terapi antibiotik yang tidak rasional sangat berpotensi menimbulkan resistensi dan mempercepat perkembangan kuman penyebab
infeksi. Resistensi sendiri disebabkan oleh bakteri yang kehilangan target spesifik terhadap obat dan adanya perubahan genetik yang terjadi Jawets et al., 2005.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lewis et al., 1999 melaporkan bahwa terjadi resistensi terhadap antibiotik ceftriakson dan imipenem pada bakteri
Acinetobacter spp. 28,6 dan 10, Pseudomonas aeruginosa 46,7 dan 3,8, dan Enterobacter spp. 16 dan 0. Penelitian lain yang dilakukan di
ICU RS Fatmawati, didapatkan hasil bahwa terjadi resistensi bakteri Pseudomonas aeruginosa terhadap antibiotik meropenem sebesar 25,
gentamisin 39,1, dan levofloksasin 42,2. Pada bakteri Staphylococcus epidermidis resistensi terhadap antibiotik meropenem sebesar 32,4, dan
levofloksasin 50. Bakteri Escherichia coli resisten terhadap antibiotik meropenem sebesar 7,7, gentamisin 38,5, dan levofloksasin 53,8. Radji et
al., 2011. Pada penelitian lainnya menunjukkan bahwa bakteri Bacillus sp, Klebsiella pneumonia, Bacteriodes Gracilis, Salmonella dan Escherichia coli
telah resisten terhadap antibiotik sefiksim dan amoksisilin. Bakteri Bacillus sp dan Escherichia coli intermediate terhadap antibiotik tetrasiklin, serta bakteri
Klebsiella pneumonia, Bacteriodes Gracilis dan Salmonella peka terhadap antibiotik tetrasiklin Faisal et al., 2015. Selain itu bakteri Staphylococcus
resisten terhadap antibiotik tetrasiklin, bakteri Acinetobacter spp dan Enterococcus resisten terhadap antibiotik vankomisin.
Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Infeksi Saluran Pernafasan Akut ISPA dalam penanganannya memerlukan terapi antibiotik dan
beresiko terjadi resistensi. Oleh karena itu perlu dilakukannya pemeriksaan resistensi bakteri terhadap antibiotik sebagai bahan pertimbangan dalam
pemilihan terapi antibiotik yang diberikan pada pasien ISPA di rumah sakit. Rumah sakit yang dipilih adalah RS PKU Muhammadiyah Surakarta karena
merupakan salah satu rumah sakit rujukan di daerah Surakarta dan menurut kepada laboratorium mikrobiologi, ISPA menduduki 5 besar terbanyak penyakit
yang membutuhkan antibiotik di RS PKU Muhammadiyah Surakarta.
B. Perumusan Masalah