Pembelajaran Organisasi: Strategi Membangun Kekuatan Perguruan Tinggi

(1)

PEMBELAJARAN ORGANISASI:

STRATEGI MEMBANGUN KEKUATAN PERGURUAN TINGGI

Yeni Absah

Staf Pengajar FE USU

Abstract

Under the turbulent conditions associated with globalisation, a critical characteristic of organizations will be their capacity to learn from experience and adapt continuously to changing external conditions. Organizational learning is an evort to show it’s commitment to learning sustain and improve itselves. Universities that implement organizational learning, will attempt to improve the quality of their teaching and learning processes.

Keywords: organizational learning, university, organization

PENDAHULUAN

Kehidupan setiap organisasi tidak terlepas dari pengaruh lingkungan eksternal, karena organisasi sebagai suatu sistem selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Semua organisasi belajar, namun beberapa organisasi tidak dapat belajar cukup cepat untuk bertahan. Organisasi yang tidak responsif dan adaptif terhadap perkembangan lingkungan yang kompleks dan penuh ketidakpastian sudah tentu tidak menguntungkan organisasi dalam menghadapi dunia persaingan yang semakin ketat. Espejo et al. (1996) menyatakan “the competitive landscape is changing, and new models of competitiveness are needed to deal with challenges a head“. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dituntut untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya sehingga mampu memberikan produk dan jasa yang berkualitas kepada pelanggannya mengingat tingkat persaingan ‘kin meningkat.

Kemampuan organisasi untuk tetap memperbaharui pengetahuannya melalui proses pembelajaran terasa lebih penting sekarang ini. Agar dapat bersaing organisasi sekarang dan akan datang diharapkan untuk lebih fleksibel. Kefleksibelan membutuhkan komitmen jangka panjang dalam membangun dan mengembangkan sumberdaya strategis. Dalam lingkungan yang serba dinamis, organisasi harus berorientasi pada konsep pembelajaran organisasi (learning organization).

Demikian pula halnya dengan perguruan tinggi. Lingkungan persaingan baru telah terbentuk sebagai hasil dari perubahan demografi, teknologi, bentuk perguruan tinggi, dan ekonomi global yang serba kompleks (Blustain et al., 1999). Dengan terbentuknya lingkungan persaingan baru tersebut, berbagai tantangan baru juga muncul bagi perguruan

tinggi antara lain pertanggungjawaban kepada masyarakat yang semakin besar, harapan yang lebih besar dalam meningkatkan akses kerjasama, perhatian yang lebih pada upaya peningkatan kualitas, serta masalah biaya pendidikan.

Perguruan tinggi terus dihadapkan pada tuntutan untuk melakukan perubahan. Dalam hal ini, perubahan berkaitan dengan efektivitas proses belajar mengajar. Untuk menghadapi situasi tersebut, perguruan tinggi diharapkan mengadopsi proses-proses khusus agar dapat mendorong perbaikan proses-proses belajar mengajar. Untuk itu, perguruan tinggi baik secara eksplisit maupun implisit harus membangun kesadaran akan pentingnya pembelajaran serta ide pembelajaran sebagai dasar dan pendorong pengembangan perguruan tinggi.

KONSEP DAN DEFINISI

Banyak penjelasan dan definisi pembelajaran organisasi yang dikenal dalam literatur bisnis dan manajemen. Namun tidak ada definisi universal dari pembelajaran organisasi. Beberapa definisi mengacu kepada kegiatan yang berorientasi pada tindakan (action-oriented) dan fokus pada implementasi, yang merupakan sebuah pendekatan konkret dan menentukan (Dill, 1999; Tsang, 1997). Garvin (2000:11) mendefinisikan pembelajaran organisasi sebagai keahlian organisasi untuk menciptakan, memperoleh, menginterpretasikan, mentrasfer dan membagi pengetahuan, yang bertujuan memodifikasi perilakunya untuk menggambarkan pengetahuan dan wawasan baru. Sedangkan menurut Taylor pembelajaran organisasi merupakan kesempatan yang diberikan kepada pegawai sehingga organisasi menjadi lebih efisien (Luthans, 1995:173).


(2)

Pembelajaran organisasi didasarkan pada prinsip-prinsip dasar pembelajaran yakni menerima dan mengumpulkan informasi, menginterpretasikannya, dan bertindak berdasarkan interpretasi dari informasi tersebut (Garvin, 2000:13). Pembelajaran organisasi menyediakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang memungkinkan organisasi belajar (Cleveland dan Plastrik, 1995). Pembelajaran organisasi juga dapat digambarkan sebagai seperangkat perilaku organisasi yang menunjukkan komitmen untuk belajar dan terus melakukan perbaikan.

Seperti halnya yang dinyatakan oleh Senge (1994), bahwa pembelajaran organisasi memiliki orientasi yang kuat pada sumberdaya manusia, dengan menyatakan: “People continually expand their capacity to create the results they desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning how to learn together (Senge, 1994:3).

Istilah “learning organization” dan “organizational learning” sangat erat kaitannya dan kadangkala penggunaannya sering kali saling dipertukarkan, walaupun terdapat perbedaan diantara keduanya. Konsep organizational learning mulai dikenal luas di tahun 1970-an, yang diperkenalkan oleh Argyris dan Schon (Fulmer et al., 1998). Organizational learning merupakan jenis aktivitas dalam organisasi dimana sebuah organisasi belajar sementara learning organisation adalah bentuk organisasi (Ortenblad, 2001). Intinya menurut Tsang (1997), sebuah organisasi menjadi organisasi pembelajaran (learning organization) melalui implementasi dari pembelajaran organisasi (organizational learning). Namun perbedaan antara organizational learning dengan learning organization akan sulit dilakukan.

Perilaku dari sebuah organisasi pembelajaran adalah mengumpulkan, menginterpretasikan dan mengaplikasikan data untuk meningkatkan kinerja organisasi. Pembelajaran organisasi menolak stabilitas dengan cara terus menerus melakukan evaluasi diri dan eksperimentasi. Baldwin et al. (1997) menyatakan bahwa anggota organisasi dari semua tingkatan, tidak hanya manajemen puncak, terus melakukan pengamatan lingkungan dalam upaya memperoleh informasi penting, perubahan strategi dan program yang diperlukan untuk memperoleh keuntungan dari perubahan lingkungan, dan bekerja dengan metode, prosedur, dan teknik evaluasi yang terus menerus diperbaiki. Organisasi yang bersedia untuk melakukan eksperimen dan mampu belajar dari pengalaman-pengalamannya akan lebih sukses dibandingkan dengan organisasi yang tidak melakukannya (Wheelen dan Hunger, 2002:9).

PROSES PEMBELAJARAN ORGANISASI

Sebuah organisasi belajar melalui beberapa cara. Dixon, 1994 dalam Pearn et al. (1995:180) menyatakan bahwa pembelajaran organisasi menekankan penggunaan proses pembelajaran pada tingkat individu, kelompok dan sistem untuk mentransformasikan organisasi ke dalam berbagai cara yang dapat meningkatkan kepuasan para stakeholder. Kim (1993:37) menekankan pentingnya hubungan antara pembelajaran individu dengan pembelajaran organisasi dengan menyatakan bahwa “....organisasi terutama belajar dari anggota organisasi.“ Pembelajaran individu dan pembelajaran organisasi tidak dapat dipisahkan.

Organisasi belajar melalui individu-individu yang menjadi bagian dari organisasi. Orang-orang dipekerjakan karena memiliki kompetensi atau pengetahuan tertentu, yang mereka peroleh dari pekerjaan mereka ataupun dari pelatihan-pelatihan formal. Dapat dikatakan bahwa pendidikan formal merupakan satu cara untuk meningkatkan kemampuan individu dan bahwa organisasi memperoleh keuntungan dari berbagai aktivitas individu terdidik tersebut. Berdasarkan pandangan ini, pembelajaran merupakan sebuah fenomena dimana organisasi memperoleh keuntungan dari anggota organisasinya yang terampil. Namun, hal ini tidaklah sederhana. Sekarang ini, pembelajaran individu tidaklah menjamin pembelajaran organisasi, tetapi pembelajaran organisasi tidak akan terjadi tanpa pembelajaran individu (Garvin, 2000; Kim, 1993:39).

Konsep pembelajaran individu menjelaskan secara implisit bahwa manusia memiliki kemampuan untuk belajar dan berubah untuk mencapai pendewasaan dirinya. Manusia diharuskan untuk mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kapasitas dirinya, sehingga ia mampu memberikan kontribusi terbaik minimal untuk dirinya, dan lebih luas untuk menciptakan kesejahteraan bagi organisasi, masyarakat atau lingkungannya.

Organisasi juga belajar dari organisasi lainnya. Ketika sebuah perusahaan mengakuisisi atau merger dengan perusahaan lain, perusahaan tersebut dapat menyerap cara-cara dan prosedur perusahaan tersebut atau menggabungkannya dengan cara dan prosedurnya sendiri, sehingga terbentuk pengetahuan baru baik proses maupun personalianya.

Pembelajaran organisasional merupakan wadah untuk membangun masyarakat yang dewasa yaitu kelompok manusia yang memiliki potensi yang beranekaragam dan mampu melakukan kerjasama-cerdas sehingga mampu melaksanakan proses berbagi visi, berbagi model mental dan berbagi pengetahuan, untuk disinergikan dan ditransformasikan menjadi


(3)

modal maya organisasi. Tanpa mekanisme pembelajaran organisasi, maka organisasi tidak akan mampu menjaga konsistensi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga tidak mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih besar bagi stakeholders

Pada dasarnya tidak ada perbedaan mendasar antara proses belajar individu dengan proses belajar organisasional. Perbedaan terdapat pada (a) jumlah anggota yang terlibat, sehingga konsep utama dari proses pembelajaran organisasi adalah belajar bersama (melibatkan seluruh anggota organisasi), dimana mekanisme berbagi (baik berbagi cara berpikir, berbagi cara pandang, berbagi model mental atau berbagi visi bersama) menjadi kunci utama keberhasilan dari proses pembelajaran organisasi, dan (b) setelah pembentukan pengetahuan tasit organisasi, dilanjutkan dengan proses institusionalisasi untuk mengubah pengetahuan tasit organisasi menjadi pengetahuan eksplisit organisasi.

Secara umum, indikasi dari keberhasilan proses pembelajaran organisasi adalah makin luas dan makin intensifnya mekanisme belajar bersama (organisasi), karena: (a) organisasi mampu melakukan proses perbaikan berkelanjutan, melalui peningkatan kualitas cara pandang dan cara berpikirnya, dan (b) organisasi mampu melakukan proses inovasi sosial, melalui peningkatan kualitas paradigmanya. Sasaran utama proses pembelajaran organisasi adalah institusionalisasi pengetahuan kolektif yang dimiliki para anggota sebagai hasil integrasi (berbagi pengetahuan dan atau berbagi model mental), yang diaktualisasikan dalam bentuk strategi, program, sistem, atau pedoman organisasi.

Pembelajaran organisasi merupakan visi bagaimana sebuah organisasi dapat menjadi sebuah organisasi yang ideal (Kofman dan Senge, 1995) dengan menggunakan lima disiplin dasar (five fundamental disciplines), dimana tiap-tiap disiplin memberikan kontribusi dalam memperbaiki kehidupan dan kapasitas organisasi untuk belajar. Lima disiplin tersebut adalah:

1. Personal Mastery

Sumber keunggulan bersaing dalam bisnis hanya akan datang dari kesuksesan perusahaan dalam pembelajaran, bagaimana mengetuk komitmen dan kapasitas orang-orang untuk belajar pada semua tingkatan dalam organisasi. Dalam mengelola orang-orang, organisasi harus memberdayakannya. Tujuan pendekatan ini adalah agar karyawan dapat mengembangan kreativitas, memiliki motivasi, dan selalu ingin belajar dan memperbaiki diri, untuk mencapai tujuan personal yang sejalan dengan tujuan organisasi. Organisasi seperti ini akan tercipta

melalui praktek jangka panjang dari serangkaian disiplin. Dengan demikian akan tercipta organisasi yang dikelola oleh individu-individu yang bekerjasama menuju visi bersama, bukan lagi atas dasar perintah.

2. Awareness of mental models

Merupakan pemikiran atau gambaran internal seseorang yang dipegang secara mendalam mengenai bagaimana dunia bekerja, yakni gambaran yang melatarbelakangi kita dalam bertindak dan berpikir. Model ini dapat sangat kuat menentukan tindakan seseorang baik perilaku yang positif atau justru membatasi perilaku. Masalah mental models ini bukanlah karena seseorang memilikinya, namun masalah mental models ini akan meningkat ketika model ini “diam“ yakni ketika gambaran itu muncul di bawah tingkat yang dapat diterima. Senge berpendapat bahwa masalah dengan struktur mental terjadi ketika pemikiran seseorang mengikuti suatu model tanpa ada kemungkinan kesediaannya untuk mengubah pemahaman atau membangun pemahaman baru.

3. Building a shared vision

Pada tingkat yang paling sederhana, shared vision adalah jawaban dari pertanyaan “Apa yang ingin kita ciptakan? Meskipun

membangun disiplin pertama (personal

mastery) dapat membantu dalam membangun

visi personal, pengembangan tersebut sungguh tidak akan membantu organisasi kecuali jika terdapat kesejajaran antara visi personal dengan visi organisasi. Dengan demikian tidak hanya visi organisasi yang penting bagi karyawan, namun visi personal karyawan juga harus dinilai dan dihargai oleh organisasi.

4. Team learning

Kesejajaran antara visi personal dengan visi organisasi bukanlah masalah kesempatan atau bahkan hanya merupakan persoalan sederhana mengenai rekrutmen karyawan (misalnya organisasi dapat merekrut orang-orang dengan visi yang sejalan dengan visi organisasi). Team

learning merupakan masalah praktek dan

proses. Senge menyebut proses ini sebagai “team learning dan menjelaskan bahwa hal ini merupakan disiplin yang ditandai dengan tiga dimensi penting, yakni:

a. kemampuan untuk memiliki wawasan

berpikir mengenai masalah-masalah penting b. kemampuan untuk bertindak dengan

cara-cara yang inovatif dan koordinatif

c. kemampuan untuk memainkan peranan


(4)

5. Systems thinking

Disiplin ini merupakan kerangka kerja dalam melihat hubungan saling keterkaitan diantara disiplin yang ada. Dalam organisasi bisnis, dapat diidentifikasi sejumlah sistem dan hubungan yang sistematis, namun transfer infromasi tidak selamanya mengikuti rantai hubungan ini, seringkali transfer informasi dilakukan melalui jaringan sosial. Transfer informasi dapat terjadi pada jaringan komunikasi informal yang umumnya bersifat “grapevine“ (kabar angin) dan hirarki formal, selain itu juga terdapat jaringan ketiga, yang disebut juga dengan kelompok inti yang mengendalikan organisasi. Kelompok ini tidak muncul pada bagan organisasi formal tetapi meliputi banyak individu yang juga terdiri dari teman atau kerabatnya, semacam “klan” yang tidak terlalu tersembunyi dalam organisasi.

Marquardt (1996:30) kemudian menambahkan satu keterampilan dari lima disiplin dasar Senge dengan menyatakan ada enam keterampilan yang harus dimiliki setiap anggota organisasi demi terwujudnya proses pembelajaran organisasi, yaitu: personal mastery, mental models, shared vision, team learning, systems thingking dan dialogue yakni kemampuan untuk mendengar, berbagi dan komunikasi tingkat tinggi diantara anggota organisasi. Keterampilan berdialog ini menuntut kebebasan dan kreatifitas mengeksplorasi isu-isu, kemampuan untuk saling mendengar secara mendalam, dan menangguhkan pandangannya sendiri.

KARAKTERISTIK KUNCI PEMBELAJARAN ORGANISASI

Ada tiga karakteristik kunci dari pembelajaran organisasi, yakni: pertama, organisasi harus memiliki komitmen terhadap pengetahuan. Artinya, organisasi memiliki komitmen untuk terus menerus mengupayakan memperoleh pengetahuan.

Kedua, pembelajaran organisasi harus memiliki sebuah mekanisme pembaharuan (a mechanism of renewal) dalam organisasi. Departemen dan unit-unit lain dalam organisasi secara perlahan masuk ke dalam birokrasi. Organisasi berhenti beradaptasi; yang berarti berhenti belajar. Organisasi mengalami kesulitan untuk mencapai kesuksesan. Ketiga, pembelajaran organisasi harus memiliki keterbukaan (openess) terhadap dunia luar. Hal ini melibatkan berbagai cara, sebab begitu banyak hal yang harus dipelajari organisasi dari lingkungannya. Berbagai hal yang menyangkut keterbukaan misalnya

para manajer membutuhkan pengetahuan mengenai bagaimana lingkungan bisnis berubah secara periodik serta kemauan untuk terus mengikuti pendidikan formal. Bagian pemasaran harus tanggap terhadap perubahan selera konsumen dan pemasok. Semua ini merupakan contoh keterbukaan terhadap dunia luar.

Pembelajaran Organisasi pada Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi merupakan wadah yang menghasilkan dan menyampaikan ilmu pengetahuan. Namun sampai sekarang ini perguruan tinggi belum dianggap sebagai organisasi pembelajaran yakni organisasi yang menggunakan proses pembelajaran dalam proses sistematisnya untuk melakukan perbaikan (Dill, 1999).

Pembelajaran organisasi berdasarkan tim bukanlah model utama dalam organisasi akademik, namun prinsip-prinsip pembelajaran organisasi jelas terlihat dalam banyak proses yang dirancang institusi dalam melakukan perbaikan. Dill (1999) telah mempelajari karakteristik organisasi dari pembelajaran organisasi akademik, dengan meneliti 12 studi kasus pada institusi pendidikan di Eropa. Ia menemukan bahwa dengan meningkatkan perhatian pada tangungjawab akademik, perguruan tinggi harus lebih terampil dalam menciptakan ilmu pengetahuan baru untuk memperbaiki kegiatan belajar mengajar dan dengan demikian menyesuaikan perilakunya dengan ilmu pengetahuan baru tersebut. Lingkungan baru akan mendukung proses adaptasi pada struktur dan pengelolaan organisasi untuk mencapai perbaikan kegiatan belajar mengajar. Peningkatan jumlah pusat-pusat kajian studi telah meningkatkan dukungan pada proses belajar mengenai kurikulum yang diterapkan melalui informasi yang diperoleh berkaitan dengan pengalaman kerja lulusan, atau melakukan reorganisasi unit akademik untuk meningkatkan kerjasama dengan dunia kerja misalnya dengan membentuk komite akademik.

Perubahan lingkungan menciptakan kebutuhan akan pembelajaran perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang belajar adalah institusi pendidikan yang menempatkan mahasiswa dan kegiatan belajar mengajar sebagai prioritas. Perguruan tinggi yang belajar merupakan wadah yang menciptakan perubahan pada mahasiswa, menggunakan pola belajar aktif, menawarkan pilihan-pilihan studi, memberikan kesempatan melakukan kerjasama dalam belajar yang didorong oleh kebutuhan dosen dan kebenaran pembelajaran (O’Banion, 1997).

Pada tingkat departemen (program studi), Angelo (2000:80-86) mengajukan tujuh ide panduan praktis untuk mentransformasikan departemen ke dalam komunitas pembelajaran yang produktif.


(5)

Angelo menawarkan saran-saran berikut kepada ketua departemen, yakni: 1) membangun kepercayaan; 2) menciptakan situasi saling memotivasi; 3) membangun komunikasi; 4) merancang sistem umpan balik dan proaktif dalam bekerja; 5) berpikir dan bertindak secara sistematis; 6) lakukan apa yang anda yakini; 7) jangan berasumsi. Visi dan kepemimpinan terdapat dalam panduannya untuk saling memotivasi, dan merancang umpan balik dan bekerja proaktif. Saling memotivasi terbangun melalui berbagi visi. Berdasarkan pada berbagi visi, fakultas dapat merancang strategi dan aktivitasnya untuk mencapai tujuan-tujuan departemen (program studi).

Atribut pembelajaran organisasi mengenai ilmu pengetahuan dan manajemen komunikasi disebut dengan berdialog dan kebutuhan untuk bertanya dibandingkan berasumsi. Berdialog penting untuk mendapatkan komunikasi yang efektif agar dapat saling memahami dan selanjutnya komunikasi yang efektif tersebut akan menurunkan penggunaan asumsi. Prinsip-prinsip yang mendukung terbangunnya rasa kepercayaan, pemikiran dan tindakan yang sistematis, menunjukkan konsep budaya pembelajaran dalam upaya meningkatkan kinerja. Kepercayaan menggambarkan bahwa fakultas berada dalam lingkungan yang dapat membuat departemen merasa dihargai, bernilai, dan aman. Pemikiran yang sistematis memungkinkan individu-individu dalam departemen (program studi) merasa bahwa mereka merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, yakni fakultas dan universitas (Angelo, 2000).

Hatfield (1999:1) mengaplikasikan prinsip-prinsip perbaikan terus menerus pada departemen (program studi), dan hal ini menunjukkan prinsip-prinsip pembelajaran organisasi. Harfield menjelaskan bahwa tujuan dari inisiatif melakukan perbaikan secara terus menerus bagi departemen (program studi) adalah menjadi departemen (program studi) yang mampu memandang diri sendiri (self-regarding), memonitor diri sendiri (self-monitoring) dan mengoreksi diri sendiri (self-correcting). Harfield (1999:1) menyatakan bahwa “rencana penilaian tingkat departemen (program studi) harus mengidentifikasi misi dari departemen (program studi), tujuan yang dikaitkan dengan visi, berbagai aktivitas atau proses yang mendukung pencapaian tujuan, dan sejumlah pengukuran yang memberikan indikasi tingkat keberhasilan pencapaian tujuan. Implementasi rencana membutuhkan pengumpulan, analisis, dan perbandingan data, proses revisi, dan komunikasi mengenai hasil yang dicapai“.

Universitas dan fakultas memiliki sejumlah proses yang sistematis dalam upaya melakukan perbaikan. Usaha-usaha ini dapat dilakukan pada tingkat universitas maupun pada fakultas. Melihat

perhatian yang diberikan pada setiap usaha perbaikan, maka dapatlah dipandang universitas sebagai universitas pembelajaran organisasi (university learning organization).

a. Visi

Pernyataan visi, misi, aktivitas rencana jangka panjang menggambarkan karakteristik pembelajaran organisasi. Umumnya perguruan tinggi memiliki pernyataan formal mengenai tujuannya, yang biasanya disebut sebagai pernyataan misi. Lang dan Lopers-Sweetman (1991) menyatakan beberapa peran dari pernyataan misi insitusi. Pernyataan misi berperan sebagai penjelasan dari tujuan, sebagai penyaring dari para oportunis, deskripsi mengenai siapa mereka, aspirasinya, atau pola pemasarannya. Walaupun terdapat berbagai kegunaan dari pernyataan misi, umumnya misi berhubungan dengan masa depan institusi. Visi dalam sebuah universitas yang melakukan pembelajaran organisasi benar-benar terealisasi pada tingkat departemen (program studi). Penelitian terhadap 200 ketua departemen terbaik oleh Creswell et al. (1990) menunjukkan bahwa ketua departemen (program studi) bertanggung jawab membangun visi atau fokus bersama departemen. Visi departemen haruslah sejalan dengan visi dan misi institusi dan dimiliki oleh fakultas melalui keterlibatan mereka dalam proses formulasi (Creswell et al., 1990). Departemen (program studi) harus memiliki konsep kesepakatan mengenai siapa yang ingin dilayani, dengan cara apa, dan hasil apa yang ingin dicapai (Gardiner, 2000). Misi departemen (program studi) haruslah diterjemahkan ke dalam tujuan, sasaran, dan aktivitas yang lebih spesifik dibandingkan pernyataan misi dan merupakan panduan operasional. Lebih luas lagi, ketua departemen sebagai faktor kunci dalam mentransformasikan departemen ke dalam komunitas pembelajaran melalui visi pengajaran yang lebih efektif, pembelajaran yang lebih baik lagi, beasiswa yang lebih tepat sasaran, dan kerjasama yang lebih banyak.

b. Kepemimpinan

Bimbaum (1998:102-104) menjelaskan posisi pemimpin perguruan tinggi sebagai posisi yang diharapkan dapat mempengaruhi tanpa memaksa, mengarahkan tanpa sanksi, dan mengawasi tanpa menyebabkan pemencilan dalam pembelajaran organisasi. Bimbaum menawarkan tujuh aturan bagi para pemimpin di lingkungan perguruan tinggi, yakni: 1) menghidupkan norma-norma kelompok; 2) menyesuaikan diri dengan harapan kelompok tentang kepemimpinannya; 3) menggunakan jalur komunikasi yang telah terbangun; 4) tidak memberikan perintah


(6)

yang tidak mungkin dilaksanakan; 5) mendengarkan; 6) menurunkan perbedaan status; 7) mendorong pengendalian diri sendiri.

Prinsip-prinsip kepemimpinan collegial juga berkaitan dengan kepemimpinan fakultas. Fakultas mengeluarkan pernyataan visi fakultas namun memberikan kepercayaan pada departemen (program studi) untuk mengambil keputusan dan strategi guna mencapai visi tersebut. Dekan berperan sebagai fasilitator dalam hal kerjasama dan penghubung dengan fakultas lain. Menurut Murray (1997) dalam lingkup akademik, kepemimpinan partisipatif diketahui paling baik untuk digunakan. Pembelajaran organisasi dalam perguruan tinggi berarti memberikan kebebasan dan tanggung jawab kepada fakultas dan departemen. Wergin (1994:5) menjelaskan pentingnya tanggung jawab bersama pada tingkat fakultas. Langkah pertama, aspirasi individu dimasukkan ke dalam tujuan-tujuan departemen (program studi) dimana hal ini akan menimbulkan komitmen bersama. Selanjutnya adalah dengan menekankan pentingnya membangun usaha pemahaman bersama mengenai tujuan fakultas dan bagaimana harus mencapainya.

Perguruan tinggi harus memiliki pernyataan visi, misi dan kepemimpinan yang menekankan partisipasi. Usaha-usaha untuk mencapai misi dan tujuan dapat direalisasikan oleh fakultas. Dekan fakultas berperan penting dalam memfasilitasi lingkungan kerjasama di dalam universitas yang melakukan pembelajaran organisasi (university learning organization).

c. Manajemen Ilmu Pengetahuan dan Komunikasi

Universitas memiliki sejumlah mekanisme pengumpulan informasi dalam mengambil keputusan dan upaya perbaikan. Secara internal, universitas mengawasi kualitasnya sendiri berdasarkan standar yang ada. Kualitas fakultas diukur melalui kesepakatan yang dibuat, promosi, dan prosedur masa jabatan. Kualitas mahasiswa ditunjukkan dengan syarat yang harus dipenuhi agar diterima sebagai mahasiswa, indeks prestasi, dan penghargaan yang diterima mahasiswa. Penelitian dan publikasi ilmiah menggambarkan kualitas penelitian dan beasiswa. Syarat penerimaan mahasiswa, penilaian mahasiswa mengenai sistem pengajaran, dan pengembangan departemen (program studi) menggambarkan kurikulum yang dijalankan. Secara eksternal akreditasi, peraturan pemerintah, dan peringkat yang dibuat oleh lembaga eksternal merupakan informasi tambahan mengenai kinerja perguruan tinggi (Trow, 1998).

Lembaga penelitian merupakan sumber lain yang menyediakan informasi lengkap mengenai perguruan tinggi. Lembaga penelitian harus menaungi

berbagai penelitian yang membawa perbaikan pemahaman, perencanaan, dan operasi institusi pada pendidikan tinggi. Lembaga penelitian berperan dalam mengkaji lingkungan yang dihadapi oleh perguruan tinggi. Peterson (1999) menyatakan bahwa lembaga penelitian haruslah memiliki sifat adaptif yang tinggi karena tingginya arus informasi dan cepatnya perubahan yang terjadi.

Pada tingkat fakultas, informasi mengenai kinerja departemen (program studi) dikumpulkan untuk tujuan evaluasi. Evaluasi kinerja departemen (program studi) digunakan untuk berbagai tujuan, tetapi umumnya berkaitan dengan pengambilan keputusan mengenai kinerja individu misalnya tingkat pembayaran gaji, promosi, dan masa jabatan. Kinerja departemen (program studi) biasanya dievaluasi melalui pengukuran kualitatif dan kuantitatif dalam tiga fungsi yang saling berkaitan yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. di Indonesia dikenal dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Alat untuk mengevaluasi pendidikan (pengajaran) umumnya meliputi tingkat kehadiran, nilai mahasiswa, dan portofolio pendidikan. Sementara evaluasi terhadap penelitian umumnya melihat pada pentingnya kontribusi penelitian tersebut terhadap berbagai kegiatan akademik, termasuk publikasi ilmiah dan memenangkan dana penelitian. Sedangkan evaluasi dari pengabdian pada masyarakat dinilai dari sumbangan perguruan tinggi pada masyarakat.

Hecht et al. (1999:236) melihat adanya kebutuhan yang tinggi terhadap data fakultas. Hecht et al. menyatakan bahwa fakultas harus mengumpulkan data yang berkaitan dengan keluar masuknya mahasiswa, jumlah lulusan dan jumlah mahasiswa yang ada, sarjana yang dihasilkan, sumberdaya fisik dan finansial, serta benchmarking antar fakultas dalam perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus mengumpulkan semua informasi mengenai kinerjanya untuk diberikan baik pada pihak internal maupun eksternal. Informasi tersebut digunakan sebagai panduan bagi perguruan tinggi untuk mengambil keputusan. Fakultas memiliki wewenang untuk menilai kinerja departemen (program studi) yang berada di bawah lingkup keilmuannya.

d. Budaya Belajar

Dalam universitas yang menjadi organisasi pembelajaran, salah satu aktivitas paling nyata yang dihubungkan dengan budaya belajar adalah pengembangan departemen (program studi). Pengembangan departemen (program studi) dirancang untuk mencapai pertumbuhan dan pembangunan yang pesat dari departemen (program studi) itu sendiri dan staf pengajar sehingga mereka dapat melaksanakan


(7)

tugasnya lebih efektif. Pengembangan ini umumnya dalam hal program pelayanan pendidikan, program mentoring, pusat pendidikan, dan kehadiran pada seminar akademik (Bensimon et al., 2000). Tucker (1992) menjelaskan dua pendekatan program pengembangan departemen (program studi) yakni pengembangan departemen (program studi) yang berarti pengembangan staf pengajar dan pengembangan departemen (program studi) yang berarti pengembangan fakultas.

Budaya belajar dalam sebuah perguruan tinggi bersifat terbuka dan saling percaya yang berarti adanya pengawasan kinerja dan nilai-nilai kerjasama. Menurut Wergin (1994) kerjasama di dalam fakultas membutuhkan kebersamaan tanpa melepaskan otonomi departemen (program studi). Wergin (1994) menyatakan jika unit akademik mendefinisikan dirinya sendiri sebagai sebuah kesatuan bersama, dan jika mereka setuju untuk memikul tanggungjawab bersama, maka unit akademik tersebut secara keseluruhan harus menerima tanggungjawab atas apa yang dilakukan serta dampak yang ditimbulkan bersama. Fakultas yang memiliki kerjasama efektif akan menggunakan dialog bersama, pengawasan bersama, praktek bersama, dan mengakui prestasi dan keberhasilan bersama. Fakultas harus melakukan evaluasi dan memberikan balas jasa atas produktifitas bersama tersebut (Hecth et al., 1999).

Perguruan tinggi yang melakukan pembelajaran organisasi memiliki budaya yang meningkatkan pembelajaran guna memperbaiki kinerjanya. Perguruan tinggi harus memiliki struktur dan proses yang mendorong pengembangan individu dan mengawasi kemajuan institusi. Perguruan tinggi juga harus mendukung peningkatan kerjasama, khususnya pada tingkat fakultas, yang berarti peningkatan kinerja.

PENUTUP

Organisasi yang menuju pada pembelajaran organisasi membutuhkan perubahan dalam budaya organisasi dengan memiliki komitmen jangka panjang. Gephart et al. (1996) menyatakan bahwa pembelajaran organisasi tidaklah mudah, terdapat hubungan yang selaras antara kapasitas pembelajaran organisasi dengan tindakan atau hasil. Sejumlah hal dapat menghalangi organisasi dalam melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan kapasitas pembelajarannya, seperti hambatan politis, sanksi hukum, dan kesenjangan sumberdaya. Garvin (2000) mengidentifikasi bahwa ketidakmampuan belajar selama aplikasi tahap pembelajaran ditunjukkan oleh ketidaksediaan untuk berubah, tidak cukupnya waktu

untuk mempraktekkan keahlian-keahlian baru, dan ketakutan akan kegagalan. Sedangkan Senge (1994) mengidentifikasi tujuh ketidakmampuan belajar, yakni: 1) I’m my pisition; 2) the enemy is out of there; 3) the illution of taking charge; 4) the fixation on events; 5) the parable of the boiled frog; 6) the delusion of learning from experience; dan 7) the myth of the management team. Senge (1994) menjelaskan bahwa I’m my pisition adalah ketidakmampuan yang terjadi ketika karyawan mengidentikkan dirinya dengan posisinya di perusahaan. Dengan kata lain, karyawan dibatasi oleh posisinya dan tidak merasa bertanggungjawab terhadap tujuan organisasi secara keseluruhan. The enemy is out of there menunjukkan adanya sikap menyalahkan seseorang atau sesuatu atas masalah-masalah yang ada ataupun kegagalan yang terjadi. The illution of taking charge merujuk pada pengumuman menjadi proaktif. Hal ini kemudian disebut ke-proaktifan. The fixation on events berfokus pada kejadian saat sekarang, yakni mengalihkan perhatian dari pemahaman yang lebih mendalam mengenai penyebab dan pola dari setiap kejadian. The parable of the boiled frog adalah kegagalan pada sesuatu yang datang perlahan, yakni hambatan-hambatan bertahap yang dapat mengganggu kemampuan untuk bertahan hidup. The delusion of learning from experience adalah ketidakmampuan yang terjadi ketika muncul rasa ketidakmungkinan untuk selalu belajar dari pengalaman saat itu karena beberapa keputusan merupakan keputusan jangka panjang dan memakan waktu beberapa tahun atau dekade untuk melihat hasilnya. Terakhir, the myth of the management team adalah ketidakmampuan belajar yang mempertanyakan keefektifan pengumpulan manajer-manajer berpengalaman dari berbagai bidang dan kemampuan organisasi untuk mengatasi ketidakmampuan belajar yang telah disebutkan sebelumnya.

Organisasi pembelajaran adalah organisasi yang memiliki komitmen pada keinginan terus menerus untuk melakukan perbaikan. Sejumlah faktor dapat saja menghalangi organisasi untuk belajar, namun organisasi harus bersedia untuk mengerahkan segala usahanya untuk berubah menjadi organisasi pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Angelo, T.A., (2000). Transforming Departements into Productive Learning Communities, In A.F. Lucas & Associates, Leading Academic Change: Essential Roles for Department

Chairs, pp.74-89, San Francisco: Jossey-Bass


(8)

Baldwin, T.T., C.Danielson, dan W. Wiggenhorn, 1997. The Evolution of Learning Strategies in Organizations: From Employee Development to Business Redefinition. Academy of

Management Executive, November,

pp.47-58.

Bensimon, E.M., K. Ward dan K. Sanders (2000). The Departement Chair’s Role in Developing

New Faculty and Scholars, Bolton, MA:

Anker Publishing.

Birnbaum, R., (1998). How Colleges Work: The Cybernetics of Academic Organization and

Leadership. San Francisco: Jossey-Bass Inc.

Blustain, H., P. Goldstein dan G. Lozier (1999). Assessing teh New Competitive Landscape in R. Katz & Associates (Eds), Dancing with the Davil: Information ecjnology abd the

new Competition in Higher Education, pp.

51-71, San Francisco, Jossey-Bass, Inc.

Cleveland, J. dan P. Plantrik (1995). Learning, Learning organization and TQM. In A.M. Hoffman and D.J. Julius (Eds), Total Quality Management: Implications for Higher

Education, pp. 233-243, Maryville, MO:

Prescott.

Creswell, J.W., D.W. Wheeler, A.T. Seagren, N.J. Egly dan K.D. Bayer (1990). The Academic

Chair Person’s Handbook, Lincoln:

University Of Nebraska Press.

Dill, D.D., (1999). Academic Accountability and University Adaptation: The Architecture of an Academic Learning Organization, Higher

Education, 38, Pp.127-154.

Espejo, R., W. Schuhmann, M. Schwaninger dan U. Bilello (1996). Organizational Transformation and Learning: A Cybernatic Approch to Management

Fulmer, R.M., P. Gibbs dan B. Keys (1998). The Second Generation Learning Organizations: New Tool for Sustaining Competitive Advantage, Organizational Dynamics, 27 (2), pp.6-21.

Gardiner, L.F. (2000). Monitoring and Improving Educational Quality in the Academic Departement. In A.F. Lucas & Associates,

Leading Academic Change: Essential Roles

for Department Chairs, pp.165-194.

Garvin, D.A. (2000). Learning in Action: A Guide to

Putting the Learning Organization to Work,

Boston: Harvard Business School Press. Gephart, M.A., V.J. Marsick, M.E. Von Buren, dan

M.S. Spiro (1996). Learning Organization Come Alive, Training and Development, December, pp. 35-45.

Harfield, S.R. (1999). The Vision Thing in Higher Education, Higher Education, 23(4), pp.8-14. Hecht, I.W.D., M.L. Higgerson, W.H. Gmelch and A. Tucker (1999). The Departement Chairs as a

Academic Leader, phoenix, AZ: Oryx Press.

Kim, D.H. (1993). The Link between Individual and Organizational Learning, Sloan Management

Review, fall, pp.37-50.

Kofman, F. dan P.M. Senge (1995). Communities of Commitment: The Heart of Learning Organizations, Learning Organizations, Eds S.Chawla dan J. Renesh, Oregon: Productivity Press.

Lang, D.W. dan R. Lopers-Sweetman (1991). The Role of Statements of Institusional Purpose,

Research in Higher Education, December,

32(6), pp.599-624.

Luthans, Fred, 1995. Organizational Behavior, Seventh Edition, International Edition, New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Marquardt, Michael J., 1996. Building the Learning

Organization. New York: McGraw-Hill

Companies, Inc.

Murray, J. (1997). Succesful Development and Evaluation: The Complete Teaching Portfolio,

ASHE-ERIC Higher Education Report,

No.8, Washington, DC.

O’Banion, T. (1997). Learning College for the 21st

Century, Phoenix, AZ: Oryx Press.

Ortenblad, A. (2001). On Differences between Organizational Learning and Learning Organization, The Learning Organization, Vol. 8, No. 3, pp. 125-133.

Pearn, M., C. Roderick, dan C. Mulrooney (1995).

Learning Organization in Practice, London:

McGraw-Hill.

Peterson, M.W. (1999). The Role of Institutional Research: From Improvement to Redisign. In J.F. Volkwein (Ed), What is Institutional Research All About? A Critical and Comprehensive Assesment of the Profession,

New Directions for Institutional Research,

winter, pp.83-103.

Senge, P.M. (2000). The Academy as a Learning Community: Contradiction in Terms or Realizable Future? In A.F. Lucas and Associates, Leading Academic Change:

Essential Roles for Departement Chairs,

pp.275-300.

Senge, P.M. (1994). The Fifth Discipline: The Art

and Practice of the Learning Organization,


(9)

Tsang, E.W.K. (1997). Organizational Learning and Learning Organization: A Dichotomy between Decriptive and Prescriptive Research, Human Relations, pp.73-89.

Tucker, A. (1992). Chairing the Academic

Departement: Leadership Among Peers,

New York: MacMillan.

Wergin, J.F. (1994). The Collaborative Departement: How Five Campuses are Inching toward

Cultures of Collective Responsibility,

Washington, DC: American Association for Higher Education.

Wheelen, Thomas L. dan J. David Hunger (2002).

Strategic Management and Business Policy,


(1)

5. Systems thinking

Disiplin ini merupakan kerangka kerja dalam melihat hubungan saling keterkaitan diantara disiplin yang ada. Dalam organisasi bisnis, dapat diidentifikasi sejumlah sistem dan hubungan yang sistematis, namun transfer infromasi tidak selamanya mengikuti rantai hubungan ini, seringkali transfer informasi dilakukan melalui jaringan sosial. Transfer informasi dapat terjadi pada jaringan komunikasi informal yang umumnya bersifat “grapevine“ (kabar angin) dan hirarki formal, selain itu juga terdapat jaringan ketiga, yang disebut juga dengan kelompok inti yang mengendalikan organisasi. Kelompok ini tidak muncul pada bagan organisasi formal tetapi meliputi banyak individu yang juga terdiri dari teman atau kerabatnya, semacam “klan” yang tidak terlalu tersembunyi dalam organisasi.

Marquardt (1996:30) kemudian menambahkan satu keterampilan dari lima disiplin dasar Senge dengan menyatakan ada enam keterampilan yang harus dimiliki setiap anggota organisasi demi terwujudnya proses pembelajaran organisasi, yaitu: personal mastery, mental models, shared vision, team learning, systems thingking dan dialogue yakni kemampuan untuk mendengar, berbagi dan komunikasi tingkat tinggi diantara anggota organisasi. Keterampilan berdialog ini menuntut kebebasan dan kreatifitas mengeksplorasi isu-isu, kemampuan untuk saling mendengar secara mendalam, dan menangguhkan pandangannya sendiri.

KARAKTERISTIK KUNCI PEMBELAJARAN ORGANISASI

Ada tiga karakteristik kunci dari pembelajaran organisasi, yakni: pertama, organisasi harus memiliki komitmen terhadap pengetahuan. Artinya, organisasi memiliki komitmen untuk terus menerus mengupayakan memperoleh pengetahuan.

Kedua, pembelajaran organisasi harus memiliki sebuah mekanisme pembaharuan (a mechanism of renewal) dalam organisasi. Departemen dan unit-unit lain dalam organisasi secara perlahan masuk ke dalam birokrasi. Organisasi berhenti beradaptasi; yang berarti berhenti belajar. Organisasi mengalami kesulitan untuk mencapai kesuksesan. Ketiga, pembelajaran organisasi harus memiliki keterbukaan (openess) terhadap dunia luar. Hal ini melibatkan berbagai cara, sebab begitu banyak hal yang harus dipelajari organisasi dari lingkungannya. Berbagai hal yang menyangkut keterbukaan misalnya

para manajer membutuhkan pengetahuan mengenai bagaimana lingkungan bisnis berubah secara periodik serta kemauan untuk terus mengikuti pendidikan formal. Bagian pemasaran harus tanggap terhadap perubahan selera konsumen dan pemasok. Semua ini merupakan contoh keterbukaan terhadap dunia luar. Pembelajaran Organisasi pada Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi merupakan wadah yang menghasilkan dan menyampaikan ilmu pengetahuan. Namun sampai sekarang ini perguruan tinggi belum dianggap sebagai organisasi pembelajaran yakni organisasi yang menggunakan proses pembelajaran dalam proses sistematisnya untuk melakukan perbaikan (Dill, 1999).

Pembelajaran organisasi berdasarkan tim bukanlah model utama dalam organisasi akademik, namun prinsip-prinsip pembelajaran organisasi jelas terlihat dalam banyak proses yang dirancang institusi dalam melakukan perbaikan. Dill (1999) telah mempelajari karakteristik organisasi dari pembelajaran organisasi akademik, dengan meneliti 12 studi kasus pada institusi pendidikan di Eropa. Ia menemukan bahwa dengan meningkatkan perhatian pada tangungjawab akademik, perguruan tinggi harus lebih terampil dalam menciptakan ilmu pengetahuan baru untuk memperbaiki kegiatan belajar mengajar dan dengan demikian menyesuaikan perilakunya dengan ilmu pengetahuan baru tersebut. Lingkungan baru akan mendukung proses adaptasi pada struktur dan pengelolaan organisasi untuk mencapai perbaikan kegiatan belajar mengajar. Peningkatan jumlah pusat-pusat kajian studi telah meningkatkan dukungan pada proses belajar mengenai kurikulum yang diterapkan melalui informasi yang diperoleh berkaitan dengan pengalaman kerja lulusan, atau melakukan reorganisasi unit akademik untuk meningkatkan kerjasama dengan dunia kerja misalnya dengan membentuk komite akademik.

Perubahan lingkungan menciptakan kebutuhan akan pembelajaran perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang belajar adalah institusi pendidikan yang menempatkan mahasiswa dan kegiatan belajar mengajar sebagai prioritas. Perguruan tinggi yang belajar merupakan wadah yang menciptakan perubahan pada mahasiswa, menggunakan pola belajar aktif, menawarkan pilihan-pilihan studi, memberikan kesempatan melakukan kerjasama dalam belajar yang didorong oleh kebutuhan dosen dan kebenaran pembelajaran (O’Banion, 1997).

Pada tingkat departemen (program studi), Angelo (2000:80-86) mengajukan tujuh ide panduan praktis untuk mentransformasikan departemen ke dalam komunitas pembelajaran yang produktif.


(2)

Angelo menawarkan saran-saran berikut kepada ketua departemen, yakni: 1) membangun kepercayaan; 2) menciptakan situasi saling memotivasi; 3) membangun komunikasi; 4) merancang sistem umpan balik dan proaktif dalam bekerja; 5) berpikir dan bertindak secara sistematis; 6) lakukan apa yang anda yakini; 7) jangan berasumsi. Visi dan kepemimpinan terdapat dalam panduannya untuk saling memotivasi, dan merancang umpan balik dan bekerja proaktif. Saling memotivasi terbangun melalui berbagi visi. Berdasarkan pada berbagi visi, fakultas dapat merancang strategi dan aktivitasnya untuk mencapai tujuan-tujuan departemen (program studi).

Atribut pembelajaran organisasi mengenai ilmu pengetahuan dan manajemen komunikasi disebut dengan berdialog dan kebutuhan untuk bertanya dibandingkan berasumsi. Berdialog penting untuk mendapatkan komunikasi yang efektif agar dapat saling memahami dan selanjutnya komunikasi yang efektif tersebut akan menurunkan penggunaan asumsi. Prinsip-prinsip yang mendukung terbangunnya rasa kepercayaan, pemikiran dan tindakan yang sistematis, menunjukkan konsep budaya pembelajaran dalam upaya meningkatkan kinerja. Kepercayaan menggambarkan bahwa fakultas berada dalam lingkungan yang dapat membuat departemen merasa dihargai, bernilai, dan aman. Pemikiran yang sistematis memungkinkan individu-individu dalam departemen (program studi) merasa bahwa mereka merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, yakni fakultas dan universitas (Angelo, 2000).

Hatfield (1999:1) mengaplikasikan prinsip-prinsip perbaikan terus menerus pada departemen (program studi), dan hal ini menunjukkan prinsip-prinsip pembelajaran organisasi. Harfield menjelaskan bahwa tujuan dari inisiatif melakukan perbaikan secara terus menerus bagi departemen (program studi) adalah menjadi departemen (program studi) yang mampu memandang diri sendiri (self-regarding), memonitor diri sendiri (self-monitoring) dan mengoreksi diri sendiri (self-correcting). Harfield (1999:1) menyatakan bahwa “rencana penilaian tingkat departemen (program studi) harus mengidentifikasi misi dari departemen (program studi), tujuan yang dikaitkan dengan visi, berbagai aktivitas atau proses yang mendukung pencapaian tujuan, dan sejumlah pengukuran yang memberikan indikasi tingkat keberhasilan pencapaian tujuan. Implementasi rencana membutuhkan pengumpulan, analisis, dan perbandingan data, proses revisi, dan komunikasi mengenai hasil yang dicapai“.

Universitas dan fakultas memiliki sejumlah proses yang sistematis dalam upaya melakukan perbaikan. Usaha-usaha ini dapat dilakukan pada tingkat universitas maupun pada fakultas. Melihat

perhatian yang diberikan pada setiap usaha perbaikan, maka dapatlah dipandang universitas sebagai universitas pembelajaran organisasi (university learning organization).

a. Visi

Pernyataan visi, misi, aktivitas rencana jangka panjang menggambarkan karakteristik pembelajaran organisasi. Umumnya perguruan tinggi memiliki pernyataan formal mengenai tujuannya, yang biasanya disebut sebagai pernyataan misi. Lang dan Lopers-Sweetman (1991) menyatakan beberapa peran dari pernyataan misi insitusi. Pernyataan misi berperan sebagai penjelasan dari tujuan, sebagai penyaring dari para oportunis, deskripsi mengenai siapa mereka, aspirasinya, atau pola pemasarannya. Walaupun terdapat berbagai kegunaan dari pernyataan misi, umumnya misi berhubungan dengan masa depan institusi. Visi dalam sebuah universitas yang melakukan pembelajaran organisasi benar-benar terealisasi pada tingkat departemen (program studi). Penelitian terhadap 200 ketua departemen terbaik oleh Creswell et al. (1990) menunjukkan bahwa ketua departemen (program studi) bertanggung jawab membangun visi atau fokus bersama departemen. Visi departemen haruslah sejalan dengan visi dan misi institusi dan dimiliki oleh fakultas melalui keterlibatan mereka dalam proses formulasi (Creswell et al., 1990). Departemen (program studi) harus memiliki konsep kesepakatan mengenai siapa yang ingin dilayani, dengan cara apa, dan hasil apa yang ingin dicapai (Gardiner, 2000). Misi departemen (program studi) haruslah diterjemahkan ke dalam tujuan, sasaran, dan aktivitas yang lebih spesifik dibandingkan pernyataan misi dan merupakan panduan operasional. Lebih luas lagi, ketua departemen sebagai faktor kunci dalam mentransformasikan departemen ke dalam komunitas pembelajaran melalui visi pengajaran yang lebih efektif, pembelajaran yang lebih baik lagi, beasiswa yang lebih tepat sasaran, dan kerjasama yang lebih banyak.

b. Kepemimpinan

Bimbaum (1998:102-104) menjelaskan posisi pemimpin perguruan tinggi sebagai posisi yang diharapkan dapat mempengaruhi tanpa memaksa, mengarahkan tanpa sanksi, dan mengawasi tanpa menyebabkan pemencilan dalam pembelajaran organisasi. Bimbaum menawarkan tujuh aturan bagi para pemimpin di lingkungan perguruan tinggi, yakni: 1) menghidupkan norma-norma kelompok; 2) menyesuaikan diri dengan harapan kelompok tentang kepemimpinannya; 3) menggunakan jalur komunikasi yang telah terbangun; 4) tidak memberikan perintah


(3)

yang tidak mungkin dilaksanakan; 5) mendengarkan; 6) menurunkan perbedaan status; 7) mendorong pengendalian diri sendiri.

Prinsip-prinsip kepemimpinan collegial juga berkaitan dengan kepemimpinan fakultas. Fakultas mengeluarkan pernyataan visi fakultas namun memberikan kepercayaan pada departemen (program studi) untuk mengambil keputusan dan strategi guna mencapai visi tersebut. Dekan berperan sebagai fasilitator dalam hal kerjasama dan penghubung dengan fakultas lain. Menurut Murray (1997) dalam lingkup akademik, kepemimpinan partisipatif diketahui paling baik untuk digunakan. Pembelajaran organisasi dalam perguruan tinggi berarti memberikan kebebasan dan tanggung jawab kepada fakultas dan departemen. Wergin (1994:5) menjelaskan pentingnya tanggung jawab bersama pada tingkat fakultas. Langkah pertama, aspirasi individu dimasukkan ke dalam tujuan-tujuan departemen (program studi) dimana hal ini akan menimbulkan komitmen bersama. Selanjutnya adalah dengan menekankan pentingnya membangun usaha pemahaman bersama mengenai tujuan fakultas dan bagaimana harus mencapainya.

Perguruan tinggi harus memiliki pernyataan visi, misi dan kepemimpinan yang menekankan partisipasi. Usaha-usaha untuk mencapai misi dan tujuan dapat direalisasikan oleh fakultas. Dekan fakultas berperan penting dalam memfasilitasi lingkungan kerjasama di dalam universitas yang melakukan pembelajaran organisasi (university learning organization).

c. Manajemen Ilmu Pengetahuan dan Komunikasi Universitas memiliki sejumlah mekanisme pengumpulan informasi dalam mengambil keputusan dan upaya perbaikan. Secara internal, universitas mengawasi kualitasnya sendiri berdasarkan standar yang ada. Kualitas fakultas diukur melalui kesepakatan yang dibuat, promosi, dan prosedur masa jabatan. Kualitas mahasiswa ditunjukkan dengan syarat yang harus dipenuhi agar diterima sebagai mahasiswa, indeks prestasi, dan penghargaan yang diterima mahasiswa. Penelitian dan publikasi ilmiah menggambarkan kualitas penelitian dan beasiswa. Syarat penerimaan mahasiswa, penilaian mahasiswa mengenai sistem pengajaran, dan pengembangan departemen (program studi) menggambarkan kurikulum yang dijalankan. Secara eksternal akreditasi, peraturan pemerintah, dan peringkat yang dibuat oleh lembaga eksternal merupakan informasi tambahan mengenai kinerja perguruan tinggi (Trow, 1998).

Lembaga penelitian merupakan sumber lain yang menyediakan informasi lengkap mengenai perguruan tinggi. Lembaga penelitian harus menaungi

berbagai penelitian yang membawa perbaikan pemahaman, perencanaan, dan operasi institusi pada pendidikan tinggi. Lembaga penelitian berperan dalam mengkaji lingkungan yang dihadapi oleh perguruan tinggi. Peterson (1999) menyatakan bahwa lembaga penelitian haruslah memiliki sifat adaptif yang tinggi karena tingginya arus informasi dan cepatnya perubahan yang terjadi.

Pada tingkat fakultas, informasi mengenai kinerja departemen (program studi) dikumpulkan untuk tujuan evaluasi. Evaluasi kinerja departemen (program studi) digunakan untuk berbagai tujuan, tetapi umumnya berkaitan dengan pengambilan keputusan mengenai kinerja individu misalnya tingkat pembayaran gaji, promosi, dan masa jabatan. Kinerja departemen (program studi) biasanya dievaluasi melalui pengukuran kualitatif dan kuantitatif dalam tiga fungsi yang saling berkaitan yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. di Indonesia dikenal dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Alat untuk mengevaluasi pendidikan (pengajaran) umumnya meliputi tingkat kehadiran, nilai mahasiswa, dan portofolio pendidikan. Sementara evaluasi terhadap penelitian umumnya melihat pada pentingnya kontribusi penelitian tersebut terhadap berbagai kegiatan akademik, termasuk publikasi ilmiah dan memenangkan dana penelitian. Sedangkan evaluasi dari pengabdian pada masyarakat dinilai dari sumbangan perguruan tinggi pada masyarakat.

Hecht et al. (1999:236) melihat adanya kebutuhan yang tinggi terhadap data fakultas. Hecht et al. menyatakan bahwa fakultas harus mengumpulkan data yang berkaitan dengan keluar masuknya mahasiswa, jumlah lulusan dan jumlah mahasiswa yang ada, sarjana yang dihasilkan, sumberdaya fisik dan finansial, serta benchmarking antar fakultas dalam perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus mengumpulkan semua informasi mengenai kinerjanya untuk diberikan baik pada pihak internal maupun eksternal. Informasi tersebut digunakan sebagai panduan bagi perguruan tinggi untuk mengambil keputusan. Fakultas memiliki wewenang untuk menilai kinerja departemen (program studi) yang berada di bawah lingkup keilmuannya.

d. Budaya Belajar

Dalam universitas yang menjadi organisasi pembelajaran, salah satu aktivitas paling nyata yang dihubungkan dengan budaya belajar adalah pengembangan departemen (program studi). Pengembangan departemen (program studi) dirancang untuk mencapai pertumbuhan dan pembangunan yang pesat dari departemen (program studi) itu sendiri dan staf pengajar sehingga mereka dapat melaksanakan


(4)

tugasnya lebih efektif. Pengembangan ini umumnya dalam hal program pelayanan pendidikan, program mentoring, pusat pendidikan, dan kehadiran pada seminar akademik (Bensimon et al., 2000). Tucker (1992) menjelaskan dua pendekatan program pengembangan departemen (program studi) yakni pengembangan departemen (program studi) yang berarti pengembangan staf pengajar dan pengembangan departemen (program studi) yang berarti pengembangan fakultas.

Budaya belajar dalam sebuah perguruan tinggi bersifat terbuka dan saling percaya yang berarti adanya pengawasan kinerja dan nilai-nilai kerjasama. Menurut Wergin (1994) kerjasama di dalam fakultas membutuhkan kebersamaan tanpa melepaskan otonomi departemen (program studi). Wergin (1994) menyatakan jika unit akademik mendefinisikan dirinya sendiri sebagai sebuah kesatuan bersama, dan jika mereka setuju untuk memikul tanggungjawab bersama, maka unit akademik tersebut secara keseluruhan harus menerima tanggungjawab atas apa yang dilakukan serta dampak yang ditimbulkan bersama. Fakultas yang memiliki kerjasama efektif akan menggunakan dialog bersama, pengawasan bersama, praktek bersama, dan mengakui prestasi dan keberhasilan bersama. Fakultas harus melakukan evaluasi dan memberikan balas jasa atas produktifitas bersama tersebut (Hecth et al., 1999).

Perguruan tinggi yang melakukan pembelajaran organisasi memiliki budaya yang meningkatkan pembelajaran guna memperbaiki kinerjanya. Perguruan tinggi harus memiliki struktur dan proses yang mendorong pengembangan individu dan mengawasi kemajuan institusi. Perguruan tinggi juga harus mendukung peningkatan kerjasama, khususnya pada tingkat fakultas, yang berarti peningkatan kinerja.

PENUTUP

Organisasi yang menuju pada pembelajaran organisasi membutuhkan perubahan dalam budaya organisasi dengan memiliki komitmen jangka panjang. Gephart et al. (1996) menyatakan bahwa pembelajaran organisasi tidaklah mudah, terdapat hubungan yang selaras antara kapasitas pembelajaran organisasi dengan tindakan atau hasil. Sejumlah hal dapat menghalangi organisasi dalam melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan kapasitas pembelajarannya, seperti hambatan politis, sanksi hukum, dan kesenjangan sumberdaya. Garvin (2000) mengidentifikasi bahwa ketidakmampuan belajar selama aplikasi tahap pembelajaran ditunjukkan oleh ketidaksediaan untuk berubah, tidak cukupnya waktu

untuk mempraktekkan keahlian-keahlian baru, dan ketakutan akan kegagalan. Sedangkan Senge (1994) mengidentifikasi tujuh ketidakmampuan belajar, yakni: 1) I’m my pisition; 2) the enemy is out of there; 3) the illution of taking charge; 4) the fixation on events; 5) the parable of the boiled frog; 6) the delusion of learning from experience; dan 7) the myth of the management team. Senge (1994) menjelaskan bahwa I’m my pisition adalah ketidakmampuan yang terjadi ketika karyawan mengidentikkan dirinya dengan posisinya di perusahaan. Dengan kata lain, karyawan dibatasi oleh posisinya dan tidak merasa bertanggungjawab terhadap tujuan organisasi secara keseluruhan. The enemy is out of there menunjukkan adanya sikap menyalahkan seseorang atau sesuatu atas masalah-masalah yang ada ataupun kegagalan yang terjadi. The illution of taking charge merujuk pada pengumuman menjadi proaktif. Hal ini kemudian disebut ke-proaktifan. The fixation on events berfokus pada kejadian saat sekarang, yakni mengalihkan perhatian dari pemahaman yang lebih mendalam mengenai penyebab dan pola dari setiap kejadian. The parable of the boiled frog adalah kegagalan pada sesuatu yang datang perlahan, yakni hambatan-hambatan bertahap yang dapat mengganggu kemampuan untuk bertahan hidup. The delusion of learning from experience adalah ketidakmampuan yang terjadi ketika muncul rasa ketidakmungkinan untuk selalu belajar dari pengalaman saat itu karena beberapa keputusan merupakan keputusan jangka panjang dan memakan waktu beberapa tahun atau dekade untuk melihat hasilnya. Terakhir, the myth of the management team adalah ketidakmampuan belajar yang mempertanyakan keefektifan pengumpulan manajer-manajer berpengalaman dari berbagai bidang dan kemampuan organisasi untuk mengatasi ketidakmampuan belajar yang telah disebutkan sebelumnya.

Organisasi pembelajaran adalah organisasi yang memiliki komitmen pada keinginan terus menerus untuk melakukan perbaikan. Sejumlah faktor dapat saja menghalangi organisasi untuk belajar, namun organisasi harus bersedia untuk mengerahkan segala usahanya untuk berubah menjadi organisasi pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Angelo, T.A., (2000). Transforming Departements into Productive Learning Communities, In A.F. Lucas & Associates, Leading Academic Change: Essential Roles for Department

Chairs, pp.74-89, San Francisco: Jossey-Bass


(5)

Baldwin, T.T., C.Danielson, dan W. Wiggenhorn, 1997. The Evolution of Learning Strategies in Organizations: From Employee Development to Business Redefinition. Academy of

Management Executive, November,

pp.47-58.

Bensimon, E.M., K. Ward dan K. Sanders (2000). The Departement Chair’s Role in Developing

New Faculty and Scholars, Bolton, MA:

Anker Publishing.

Birnbaum, R., (1998). How Colleges Work: The Cybernetics of Academic Organization and

Leadership. San Francisco: Jossey-Bass Inc.

Blustain, H., P. Goldstein dan G. Lozier (1999). Assessing teh New Competitive Landscape in R. Katz & Associates (Eds), Dancing with the Davil: Information ecjnology abd the

new Competition in Higher Education, pp.

51-71, San Francisco, Jossey-Bass, Inc.

Cleveland, J. dan P. Plantrik (1995). Learning, Learning organization and TQM. In A.M. Hoffman and D.J. Julius (Eds), Total Quality Management: Implications for Higher

Education, pp. 233-243, Maryville, MO:

Prescott.

Creswell, J.W., D.W. Wheeler, A.T. Seagren, N.J. Egly dan K.D. Bayer (1990). The Academic

Chair Person’s Handbook, Lincoln:

University Of Nebraska Press.

Dill, D.D., (1999). Academic Accountability and University Adaptation: The Architecture of an Academic Learning Organization, Higher

Education, 38, Pp.127-154.

Espejo, R., W. Schuhmann, M. Schwaninger dan U. Bilello (1996). Organizational Transformation and Learning: A Cybernatic Approch to Management

Fulmer, R.M., P. Gibbs dan B. Keys (1998). The Second Generation Learning Organizations: New Tool for Sustaining Competitive Advantage, Organizational Dynamics, 27 (2), pp.6-21.

Gardiner, L.F. (2000). Monitoring and Improving Educational Quality in the Academic Departement. In A.F. Lucas & Associates,

Leading Academic Change: Essential Roles

for Department Chairs, pp.165-194.

Garvin, D.A. (2000). Learning in Action: A Guide to

Putting the Learning Organization to Work,

Boston: Harvard Business School Press. Gephart, M.A., V.J. Marsick, M.E. Von Buren, dan

M.S. Spiro (1996). Learning Organization Come Alive, Training and Development, December, pp. 35-45.

Harfield, S.R. (1999). The Vision Thing in Higher Education, Higher Education, 23(4), pp.8-14. Hecht, I.W.D., M.L. Higgerson, W.H. Gmelch and A. Tucker (1999). The Departement Chairs as a

Academic Leader, phoenix, AZ: Oryx Press.

Kim, D.H. (1993). The Link between Individual and Organizational Learning, Sloan Management

Review, fall, pp.37-50.

Kofman, F. dan P.M. Senge (1995). Communities of Commitment: The Heart of Learning Organizations, Learning Organizations, Eds S.Chawla dan J. Renesh, Oregon: Productivity Press.

Lang, D.W. dan R. Lopers-Sweetman (1991). The Role of Statements of Institusional Purpose,

Research in Higher Education, December,

32(6), pp.599-624.

Luthans, Fred, 1995. Organizational Behavior, Seventh Edition, International Edition, New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Marquardt, Michael J., 1996. Building the Learning

Organization. New York: McGraw-Hill

Companies, Inc.

Murray, J. (1997). Succesful Development and Evaluation: The Complete Teaching Portfolio,

ASHE-ERIC Higher Education Report,

No.8, Washington, DC.

O’Banion, T. (1997). Learning College for the 21st

Century, Phoenix, AZ: Oryx Press.

Ortenblad, A. (2001). On Differences between Organizational Learning and Learning Organization, The Learning Organization, Vol. 8, No. 3, pp. 125-133.

Pearn, M., C. Roderick, dan C. Mulrooney (1995).

Learning Organization in Practice, London:

McGraw-Hill.

Peterson, M.W. (1999). The Role of Institutional Research: From Improvement to Redisign. In J.F. Volkwein (Ed), What is Institutional Research All About? A Critical and Comprehensive Assesment of the Profession,

New Directions for Institutional Research,

winter, pp.83-103.

Senge, P.M. (2000). The Academy as a Learning Community: Contradiction in Terms or Realizable Future? In A.F. Lucas and Associates, Leading Academic Change:

Essential Roles for Departement Chairs,

pp.275-300.

Senge, P.M. (1994). The Fifth Discipline: The Art

and Practice of the Learning Organization,


(6)

Tsang, E.W.K. (1997). Organizational Learning and Learning Organization: A Dichotomy between Decriptive and Prescriptive Research, Human Relations, pp.73-89.

Tucker, A. (1992). Chairing the Academic

Departement: Leadership Among Peers,

New York: MacMillan.

Wergin, J.F. (1994). The Collaborative Departement: How Five Campuses are Inching toward

Cultures of Collective Responsibility,

Washington, DC: American Association for Higher Education.

Wheelen, Thomas L. dan J. David Hunger (2002).

Strategic Management and Business Policy,