Tata Cara Berpoligami Poligami

19 lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan Pasal 5 ayat 2 Undang-undang Perkawinan. Persetujuan dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-undang Perkawinan dipertegas oleh Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, yaitu : “Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan Pengadilan.” Kemampuan seorang suami dalam Pasal 5 ayat huruf b Undang-undang Perkawinan dipertegas oleh Pasal 41 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, yaitu : Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan istri-istri dan anak-anak, dengan memperhatikan : a Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang tandatangani oleh bendahara tempat kerja; atau b Surat keterangan pajak penghasilan; atau c Surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan. Selanjutnya jaminan keadilan dalam Pasal 5 ayat 1 huruf c Undang- undang Perkawinan, dipertegas oleh Pasal 41 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, yaitu : Ada atau tidaknya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan menyatakan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

2.2.3 Tata Cara Berpoligami

Tata cara poligami bagi non-PNS diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang- undang Perkawinan jo. Pasal 40 sampai dengan Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, yang menetapkan sebagai berikut: a Seorang suami yang bermaksud beristri lebih dari satu, wajib mengajukan permohonan secara tertulis, disertai dengan alasan-alasan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 4, Pasal 5 Undang-undang Perkawinan jo. Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, kepada Pengadilan. 20 b Pemeriksaan permohonan poligami harus dilakukan oleh hakim selambat- lambatnya 30 tiga puluh hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran- lampirannya; c Dalam melakukan pemeriksaan ada dan tidaknya alasan- alasan dan syarat- syarat untuk poligami, Pengadilan harus memanggil dan mendengar istrinya yang bersangkutan; d Apabila Pengadilan berpendapat, bahwa cukup bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberi putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang. Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan. Seperti yang dimaksud dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, yang berbunyi : “Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang”. Ketentuan hukum poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan kemaslahatanya. Dengan kemaslahatan dimaksud, terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi atas dasar kasih sayang yang diridhoi Allah SWT. Oleh karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi pengahalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut, sehingga mesti dihilangkan atau setidaknya dikurangi. Poligami diperbolehkan, tetapi dibatasi hanya dengan empat orang istri. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi : i. Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri. ii. Syarat utama beristri lebih dari satu seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. 21

2.2.4 Putusnya Perkawinan dan Akibatnya