Kebijakan Publik Implementasi Kebijakan
apabila tidak diimplementasikan dengan baik. Menurut Lester and Stewart dalam Winarno, 2011:147 menyatakan bahwa,
“implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-
undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur,
dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-
program.” Sedangkan menurut Ripley dan Franklin dalam Winarno, 2011:148
menyatakan bahwa, “implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan
yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan benefit atau suatu jenis keluaran yang nyata tangible output
”. Menurut Grindle dalam Winarno, 2011:149 implementasi kebijakan
merupakan, “secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan
linkage yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, tugas
implementasi mencakup terbentuknya ”a policy delivery system,” dimana sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai
pada tujuan- tujuan yang diinginkan.”
Berdasarkan ketiga pengertian implementasi kebijakan yang telah diungkapkan oleh para ahli tersebut maka implementasi kebijakan termasuk tahapan penting dalam
suatu proses kebijakan karena menyangkut bagaimana suatu kebijakan dilaksanakan demi mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan.
2.3.1 Model-Model Implementasi Kebijakan 2.3.1.1 Model Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter Van Horn
Gambar 2.1 Model Implementasi kebijakan Van Meter Van Horn Sumber : D. S Van Meter Van Horn dikutip Winarrno 2011:160
Dalam bagan di atas terdapat enam variabel bebas yang menghubungkan antara kebijakan dan kinerja kebijakan, yaitu:
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Winarno, 2011:159 menyatakan bahwa identifikasi indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam
analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran-
ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh.
2. Sumber-Sumber Kebijakan
Menurut Van Meter Van Horn dalam Winarno, 2011:158 menjelaskan bahwa disamping ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujnua kebijakan, yang perlu
Ukuran dan Tujuan
Kebijakan
Sumber- sumber
Kebijakan Komunikasi antar organisasi dan
kegiatan pelaksanaan
Karakteristik Badan
Pelaksana Sikap para
Pelaksana
Lingkungan : Ekonomi, sosial, politik
Kinerja Kebijakan
mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber- sumber yang tersedia. Sumber-sumber yang dimaksud adalah mencakup dana
atau perangsang incentive lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.
3. Komunikasi Antar Organisasi Terkait dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksanaan
Menurut Van Meter Van Horn dalam Winarno, 2011:162-163 menyatakan bahwa implementasi yang berhasil sering kali membutuhkan mekanisme-
mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini sebenarnya akan mendorong kemungkinan yang lebih besar kepada para pejabat tinggi untuk mendorong
pelaksana bertindak dalam suatu acara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. Para pejabat dalam struktur organisasi
mempunyai kekuasaan personil yang diukur dari: Pertama, rekruitmen dan seleksi; Kedua, penugasan dan relokasi; Ketiga, kenaikan pangkat dan; Keempat,
akhirnya pemecatan 4.
Karakteristik Badan Pelaksana Menurut Van Meter Van Horn dalam Winarno, 2011:166 mengetengahkan
beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan, yaitu:
a. kompetisi dan ukuran staf suatu badan;
b. tingkat pengawasan hirarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan
proses-proses dalam badan-badan pelaksana; c.
sumber-sumber politik suatu organisasi misalnya dukungan di antara anggota-anggota legislatif dan eksekutif;
d. vitalisasi suatu organisasi;
e. tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefinisikan sebagai
jaringan kerja komunikasi horizontal dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggidalam komunikasi dengan individu-
individu di luar organisasi;
f. kaitan formal dan informal suatu badan “pembuat keputusan” atau
“pelaksana keputusan” 5.
Kondisi-Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik Dampak kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik pada kebijakan publik
merupakan pusat perhatian yang besar. Sekalipun dampak dari faktor- faktor ini pada implementasi keputusan-keputusan kebijakan mendapat perhatian yang
kecil, namun menurut Van Meter Van Horn dalam Winarno, 2011:167 menyatakan bahwa faktor-faktor ini mungkin mempunyai efek yang mendalam
terhadap pencapaian badan-badan pelaksana. 6.
Kecenderungan Pelaksana Implementor Menurut Van Meter Van Horn 2011:168 berpendapat bahwa setiap komponen
dari model yang dibicarakan sebelumnya harus disaring melalui persepsi- persepsi pelaksana dalam yuridiksi dimana kebijakan tersebut dihasilkan. Arah
kecenderungan-kecenderungan pelaksana terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan juga merupakan suatu hal yang sangat penting. Para pelaksana
mungkin gagal dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan dengan tepat karena mereka menolak tujuan-tujuan yang terkandung dalam kebijakan-kebijakan
tersebut. Dan begitu sebaliknya, penerimaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan yang diterima secara luas oleh para pelaksana kebijakan
akan menjadi pendorong bagi implementasi kebijakan yang berhasil. 2.3.1.2 Model Implementasi Kebijakan Menurut Merilee S. Grindle
Menurut Wibawa 1994:22, dalam Nugroho 2012:690 model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah
kebijakan ditransformasikan,
barulah implementasi
kebijakan dilakukan.
Keberhasilan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan tersebut mencakup hal-hal berikut:
1. kepentingan yang terpengaruhi kebijakan;
2. jenis manfaat yang akan dihasilkan;
3. derajat perubahan yang diinginkan;
4. kedudukan pembuat kebijakan;
5. pelaksana program;
6. sumber daya yang dikerahkan.
Sementara itu konteks implementasinya adalah: 1.
kekuasaan, kepentingan dan startegi aktor yang terlibat 2.
karakteristik lembaga dan penguasa 3.
kepatuhan dan daya tanggap Namun apabila kita mencermati model Grindle, kita dapat memahami bahwa
keunikan model Grindle terletak pada pemahamannya yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang mencakup tentang implementor, penerima
implementasi dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi, serta kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.
2.3.1.3 Model Implementasi Kebijakan Menurut Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier
Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab, 2008:65 mengatakan bahwa implementasi kebijakan adalah sebagai berikut:
“memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian
implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dn kegiatan- kegiatan
yang timbul
sesudah disahkannya
pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-
kejadian.” Model ini dikenal pula dengan sebutan model kerangka analisis implementasi A
Framework for Implementation Analysis. Disini Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier membaginya menjadi tiga variabel yang dapat diklasifikasikan sebagai
berikut: 1.
mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan 2.
kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat
3. pengaruh langsung sebagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan
bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut Ketiga variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain dan masing-masing
faktor dapat digambarkan sebagai berikut
Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Daniel Mazmanian dan Paul A.Sabatier Sumber : Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Wahab 2008:82
Berdasarkan model implementasi kebijakan Daniel Mazmanian dan Paul A. yang dikutip Nugroho 2012:685 harus melakukan analisis terhadap tiga variabel yaitu:
A.Mudahtidaknya masalah dikendalikan Kesukaran-kesukaran teknis
Keragaman perilaku kelompok sasaran Prosentase kelompok sasaran dibanding
jumlah penduduk Ruang lingkup perubahan perilaku yang
diinginkan B.Kemampuan kebijakan untuk
menstrukturkan proses implementasi
Kejelasan dan konsistensi tujuan
Digunakannya teori kausal yang memadai
Keterpaduan hierarki dalam dan di antara
lembaga pelaksana Aturan
– aturan keputusan dari badan
pelaksana Rekruitmen pejabat
pelaksana Akses formal pihak luar
C.Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses
implementasi Kondisi sosial ekonomi
dan teknologi Dukungan publik
Sikap dan sumber –
sumber yang dimiliki kelompok-kelompok
Dukungan dari pejabat atasan
Komitmen dan kemampuan
kepemimpinan pejabat- pejabat pelaksana
D.Tahap-tahap Proses Implementasi Output
Kesediaan Dampak
Dampak Perbaikan
kebijakan kelompok
nyata output
mendasar badan-
sasaran output
kebijakan dalam
badan mematuhi
kebijakan sebagai
undang- pelaksana
output diperepsi
undang kebijakan
a. Variabel independen, yaitu mudah atau tidaknya masalah dikendalikan yang
berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki
b. Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan
proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan
hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksanaan dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan terhadap pihak
luar, serta variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosial ekonomi dan teknologi,
dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana
c. Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementsi dengan lima tahapan
seperti pemahaman dari lembaga atau badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata
tersebut dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut.
2.3.1.4 Model Implementasi Kebijakan Menurut George Edward III Tahapan implementasi merupakan tahap yang krusial. Menurut Edwards dalam
Winarno, 2011:177 “studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration
dan public policy. Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-
konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang
merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan
sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, mungkin juga akan mengalami kegagalan, jika
kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para
pelaksana kebijakan.”
Berdasarkan kutipan tersebut maka ketepatan sasaran implementasi kebijakan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan keberhasilan maupun
kegagalan implementasi kebijakan. Begitu pula ketika kebijakan telah direncanakan dengan baik namun tidak diimplementasikan dengan baik pula oleh pelaksana
kebijakan maka kebijakan tersebut dapat mengalami kegagalan. Model implementasi Edwards dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.3 Model Implementasi kebijakan George Edward III Sumber : George C. Edward dikutip Winarno 2011:211
Dalam mengkaji implementasi kebijakan Edwards dalam Winarno, 2011:177 memulainya dengan mengajukan dua buah pertanyaan yaitu prakondisi-
prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil dan hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal.
Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan penting ini dengan membicarakan empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik. Faktor-
faktor atau variabel-variabel tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, disposisi atau sikap dan struktur birokrasi.
1. Komunikasi
Implementasi suatu kebijakan dapat berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggug jawab
dalam pencapaian tujuan kebijakan. Edwards dalam Nugroho, 2012:693
Komunikasi
Struktur Birokrasi Sumber sumber
Kecenderungan –
kecenderungan Efektivitas
Implementasi
menjelaskan bahwa komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan publik dan sikap serta tanggapan dari pihak
yang terlibat. Menurut Edwards dalam Winarno, 2011:178 membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan yaitu transmisi, konsistensi dan
kejelasan clarity. Transmisi adalah faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi
kebijakan. Menurut Winarno 2011:179 sebelum pejabat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu
perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi
kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan. Kejelasan merupakan faktor kedua yang berpengaruh dalam komunikasi
kebijakan. Menurut Winarno 2011:180 ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya
interprestasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal. Konsistensi merupakan faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi
kebijakan. Perintah yang diberikan dalam suatu komunikasi kebijakan haruslah konsisten dan jelas. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah maka dapat
menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. Menurut Winarno 2011:180 mengatakan bahwa perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten
akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan.
2. Sumber-sumber
Menurut Winarno 2011:184 mengatakan bahwa perintah-perintah implementasi mungkin harus dijelaskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para
pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Sumber-
sumber yang penting meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang
diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.
3. Disposisi atau sikap
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor atau pelaksana kebijakan. Menurut Edwards dalam
Winarno, 2011:197, “kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga
yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan
tertentu dan hal ini berarti ada dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pebuat
keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para
pembuat keputusan maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi
semakin sulit.” Sikap pelaksana kebijakan dalam menyikapi suatu kebijakan merupakan salah
satu faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Kesamaan sudut pandang antara pelaksana dan pembuat kebijakan harus berjalan selaras agar
implementasi kebijakan dapat dilakukan dengan baik. Apabila terdapat perbedaan pandangan antara pelaksana dan pembuat kebijakan maka akan membuat kebijakan
menjadi semakin sulit. 4.
Struktur Birokrasi Struktur birokrasi organisasi pelaksana kebijakan memiliki peran yang penting
pada implementasi. Nugroho 2012:693 mengatakan bahwa struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara
implementasi kebijakan publik. Menurut Edwards dalam Winarno, 2011:206 ada dua karakteristik utama birokrasi yaitu prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar
atau sering disebut Standart Operating Procedures SOP dan fragmentsi. Edwards dalam Winarno, 2011:208 mengatakan bahwa:
“SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Di samping itu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim
dari suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat
implementasi.” Sedangkan sifat kedua dalam struktur organisasi yang berpengaruh terhadap
implementasi kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda
sehingga memerlukan koordinasi. Edwards dalam Winarno, 2011:209 mengatakan bahwa konsekuensi paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk
menghambat koordinasi. Para birokrat karena alasan-alasan prioritas dari badan- badan yang berbeda mendorong para birokrat ini untuk berkoordinasi dengan badan-
badan lain. Padahal, penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi.