40
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan X
2. Tepat Indikasi
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotika, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakterial. Dengan demikian pemberian obat
ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri, misalnya sputum mukopurulen atau bayi kurang dari 2 bulan dengan
kecepatan respirasi 60xmnt pneumonia.
Penggunaan obat di luar indikasi yang disetujui oleh otoritas kebijakan registrasi obat Badan POM disebut sebagai off label. Sebagai contoh,
gabapentin berdasarkan approved indication hanya diindikasikan untuk post- herpetic neuralgia
dan add-on terapi epilepsi pada anak di atas usia 3 tahun. Penggunaan di luar dua ketentuan tersebut dianggap sebagai off label, dan
sepenuhnya menjadi tanggungjawab yang meresepkan jika terjadi efek yang tidak diharapkan akibat penggunaan gabapentin tersebut.
3. Tepat Pemilihan Obat dan sediaannya
Keputusan untuk melakukan upaya terapetik diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. Contoh: gejala demam terjadi pada hampir semua kasus infeksi dan
inflamasi. Untuk sebagian besar demam, pemberian parasetamol lebih dianjurkan karena di samping efek antipiretiknya, obat ini relatif paling aman
dibandingkan dengan antipiretik yang lain. Pemberian antiinflamasi non steroid misalnya asam mefenamat ibuprofen hanya dianjurkan untuk
demam yang terjadi akibat proses peradangan atau inflamasi.
Dalam prakteknya, untuk alasan kepraktisan, dokter sering kali meresepkan obat dalam bentuk puyer dengan mencampurkan antibiotika,
analgetika, antiradang, decongestan, dan bahkan steroid. Selain tidak rasional karena tidak didasarkan pada bukti ilmiah, peresepan puyer dengan
mencampurkan obat-obat tersebut dapat membahayakan pasien. Oleh sebab itu, jika terpaksa memberikan puyer, maka antibiotika tidak boleh
dicampurkan ke dalamnya harus terpisah.
4. Tepat Dosis, Lama dan Cara Pemberian
Dosis, cara, dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapetik obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat
yang bersifat narrow therapeutic margin misalnya teofilin, digitalis, dan aminoglikosida akan sangat berisiko untuk timbulnya efek samping. Sebaliknya
dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per
hari misalnya 4 kali sehari makin rendah tingkat ketaatan minum obat
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
41
Ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut: – Jenis danatau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak.
– Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering. – Jenis sediaan obat terlalu beragam misal pada saat yang bersamaan
pasien mendapat sirup, tablet, tablet hisap, dan obat inhalasi. – Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita DM,
hipertensi, dan artritis. – Pasien tidak mendapatkan penjelasan yang cukup mengenai cara
minummenggunakan obat. – Timbul efek samping misal ruam kulit dan nyeri lambung, atau efek
ikutan urin menjadi merah karena minum rifampisin. Pemberian obat dalam jangka lama tanpa supervisi tentu saja akan
menurunkan ketaatan penderita. Kegagalan pengobatan tuberkulosis secara nasional menjadi salah satu bukti bahwa terapi jangka panjang tanpa disertai
supervisi yang memadai tidak akan pernah memberikan hasil seperti yang diharapkan.
5. Tepat Penilaian Terhadap Kondisi Pasien
Respons individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti, teofilin, dan aminoglikosida. Pada penderita
dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan oleh karena risiko terjadinya nefrotoksik pada kelompok ini meningkat secara
bermakna.
Kondisi-kondisi berikut harus dipertimbangkan dalam memutuskan pemberian obat
– β-blocker misalnya propranolol hendaknya tidak diberikan pada
penderita hipertensi yang memiliki riwayat asma karena obat ini memberi efek bronkho-spasmus
– Antiinflamasi non steroid sebaiknya juga dihindari pada penderita asma, karena obat golongan ini ter-bukti dapat mencetuskan serangan asma.
– Peresepan beberapa jenis obat seperti simetidin, klorpropamid, aminoglikosida dan alopurinol pada usia lanjut hendaknya ekstra hati-
hati oleh karena waktu paruh obat-obat tersebut memanjang secara bermakna sehingga risiko efek toksiknya juga meningkat pada pemberian
secara berulang.
– Peresepan kuinolon misalnya siprofloksasin ofloksasin, tetrasiklin, doksisiklin, dan metronidazol pada anak dan ibu hamil harus dihindari
oleh karena memberi efek buruk pada anak dan janin.
6. Tepat Pemberian Informasi