"Mencari Jawaban Keberuntungan"

"Mencari Jawaban Keberuntungan"

[15/06 12:31 am] Agus Amat: Namo Buddhaya Renungan Malam "Mencari Jawaban Keberuntungan"

Saya seorang psikolog yang sering mendengar keluh kesah pasien saya, kadang ada hal-hal lucu, mengharukan, menyedihkan, membahagiakan sampai kisah-kisah menjijikan yang harus saya terima secara profesional.

Saya selalu membuat data setiap sesi pertemuan dengan pasien. Sebenarnya banyak keluh kesah- saya menyebutnya begini karena tidak ingin mengganti kata

tersebut dengan problem, seperti pada umumnya - yang saya hadapi setiap hari dan saya coba terapkan penyelesaiannya dengan teori-teori selama 8 tahun di bangku kuliah hingga meraih gelar master.

Lyla Danielle - bukan nama sesungguhnya, memiliki paras pucat pasi ketika bertemu saya. Rambutnya panjang diikat dan sekeliling matanya dibingkai hitam radius 3 cm sebagai pertanda insomnia parah.

Sebenarnya mayoritas pasien saya memiliki paras yang hampir sama, hanya saja kasus Lyla membekas cukup dalam di hati saya karena sebagai psikolog saya menghadapinya dengan cukup unik dan harus saya tambahkan bahwa saya berhasil menyelesaikannya dengan baik.

2 tahun lamanya Layla dianggap orang sakit jiwa. Ketika berhadapan dengan saya, ia berlutut dan memohon ampun atas dosa yang sedemikian besar, ia berteriak bahwa dirinya menyebabkan 178 orang meninggal dan mukzizat itu bohong belaka.

Sekilas melihat, saya merasa ia tidak dapat saya tangani. Secara ilmu medis, ia membutuhkan bimbingan ahli saraf.

Riwayat hidupnya cukup mencengangkan Lyla mantan atlit senam yang berprestasi. Lulus S2 dalam bidang ilmu kimia. Orang tuanya

tadinya hanya orang miskin yang tinggal gypsy, mengikuti kelompok sirkus dari satu tempat ke tempat lain. Suatu hari ayahnya memutuskan untuk tinggal menetap dan berladang. Ladang gandum mereka panen luar biasa hingga mampu menyekolahkan 3 anak ke Universitas .

Kejadian itu berawal ketika Lyla hendak menuju airport untuk terbang menemui Tom suaminya di luar kota. Ia kesal luar biasa dengan si Junk Food, panggilan sekantor untuk Bobby, supervisornya yang selalu melahap hamburger setiap jam, menyuruhnya foto copy. Ia harus antri karena mesinnya rusak.

Setelah membuang waktu berharganya, Lyla lari sambil menuntun kopernya mencari taksi kosong. Lagi-lagi tak ada taksi kosong. Ia bertarung diantara para karyawan lainnya yang juga ingin segera sampai ke rumah.

Lyla benar-benar tak ingin tertinggal pesawat, walaupun pesawat berikutnya hanya berjarak 30 menit. Lebih sebal lagi ketika ban taksi yang ditumpanginya pecah dan sejauh mata memandang hanya ada barisan mobil yang tidak bergerak sama sekali alias macet total.

Dengan segenap kekuatan Lyla berlari 15 menit menenteng koper dan akhirnya tiba hingga berhasil naik penerbangan yang dikejarnya

Lyla duduk di sofa sambil terkaget-kaget ketika mendengar berita mengenai pesawat berikutnya yang hampir ia tumpangi mengalami kecelakaan akibat cuaca buruk. Sebenarnya pesawat itu tidak perlu menghadapi cuaca buruk, tetapi karena 1 orang penumpang yang terlambat pada pesawat sebelumnya, pihak pesawat dengan bijaksana memberi dispensasi selama 15 menit untuk menunggu dan penumpang itu adalah Lyla.

Setelah kejadian itu, Lyla terus menyalahkan dirinya. Semua orang berusaha menghibur bahwa itu adalah mukzizat dan harus disyukuri. Tetapi hati Lyla tidak ingin menerima itu. Apabila memang mukzizat mengapa hanya dirinya yang mendapatkannya, sementara 178 orang lainnya bernasib sial.

Apabila itu pertolongan mengapa begitu kejam menghukum 178 dan hanya menolong 1 orang? Pikirannya terus melayang berkecamuk dihantui perasaan bersalah. Ia takut untuk tidur, takut

kalau 178 roh gentayangan menuntut tanggung jawabnya, takut keluar rumah kalau-kalau keluarga dari 178 korban menuntut balas.

Ada dua macam pasien yang saya sering kewalahan hadapi. Tipe pertama adalah yang terlalu polos hingga tak mengerti apa yang saya sampaikan serta tipe yang memiliki pendidikan tinggi hingga memiliki semua dalih yang saya kemukakan.

Lyla adalah tipe kedua, ia brilian, cerdas, tangguh dan penuh pembelaan. Kepalanya bagaikan perpustakaan yang menampung seluruh isi dunia. Kasus Lyla yang cukup unik membuka pandangan saya untuk lebih memacu saya belajar. Suatu hari saya mengajak ngobrol teman putri saya yang berkulit hitam, ia mahasiswa pindahan

dari Thailand. "Wah, kamu hebat ya! Saya salut kamu terpilih program pertukaran pelajar ini." "Karma jodoh ini sudah saya punya sejak lama, hari ini kita berkumpul, juga bukan serta merta

karena kita harus bertemu." jawab anak itu. Sebagai psikolog, hati saya tergelitik untuk mencari tahu apa maksudnya.

"Apa maksud karma jodoh?" "Begini," jawabnya diplomatis, "Hari ini saya bertemu anda sebagai sahabat, karena pada

kehidupan sebelumnya kita bersahabat. Kalau dahulu saya pernah menyakiti anda, pasti di kehidupan ini anda akan bertemu saya sebagai penjahat, perampok dan lain sebagainya. Kalau kehidupan lalu saya berhutang pada anda, maka pada kehidupan ini kita akan bertemu sebagai pesaing bisnis, musuh dan sebagainya. Penjelasannya logis kan ?"

Saya memang pernah belajar tentang kehidupan lampau, juga tentang filsafat Buddhisme yang mirip dengan ilmu psikologi.

Saya mulai belajar dan memperdalam. Semakin saya belajar, semakin saya merasa mendapatkan jawaban misteri kehidupan ini. Saya ajak Lyla mengunjungi suatu tempat meditasi Buddhis dan belajar Buddhisme kepada bhiksu

pimpinan tempat tersebut. Bhiksu itu menjawab dengan mudah keluh kesah Lyla, " Keberuntungannya 2 tahun lalu bukan

karena lucky semata, tetapi banyak perbuatan baik yang sering ia lakukan pada kehidupan ini maupun lampau. 178 orang yang meninggal harus mengalami kecelakaan karena memiliki karma kumulatif yang tidak baik, mungkin dahulu Lyla juga ikut melakukannya. Namun karena banyak kebajikan dan penyesalan akan kesalahannya, Lyla selamat dari kecelakaan itu. Bukan karena kekejaman memilih 1 orang selamat lalu mengorbankan 178 lainnya."

"Ada orang yang bersahabat selama 40 tahun, tahun ke 41 ia meninggal dunia karena ditikam sahabatnya sendiri. Ini karena pada hidup lampau ia mengkhianati sahabatnya.

Ada orang yang baru berkenalan 3 bulan langsung berjodoh menjadi suami istri. Ada yang sudah mencari kemana-mana walau paras cantik tetap tidak memiliki pasangan. Ini semua bukan karena kebetulan atau sekedar hibah kepada beberapa orang, kutukan kepada sebagian lainnya, melainkan diri kita sendiri yang menanam, kemudian menuainya."

"Penyesalan tanpa perbuatan akan percuma, menyesal akan karma buruk yang pernah diperbuat dan melimpahkan kebajikan serta memberikan doa kepada mereka yang telah meninggal dunia akan membawa berkah agar mereka terlahir di alam yang baik."

Jujur saja, saya tercengang dengan jawaban dramatis, jawaban yang mampu menjawab segala keheranan kosmologis dan melampaui mistis, menghilangkan prasangka dan kerabunan non logis. Saya pelajari profil bhiksu tersebut, dengan salut saya acungkan jempol. Usia 13 memasuki Jujur saja, saya tercengang dengan jawaban dramatis, jawaban yang mampu menjawab segala keheranan kosmologis dan melampaui mistis, menghilangkan prasangka dan kerabunan non logis. Saya pelajari profil bhiksu tersebut, dengan salut saya acungkan jempol. Usia 13 memasuki

Intermezo Majalah Buddhis Indonesia Edisi ke 6 tahun 2005