Vermicomposting Sampah Daun Sonokeling (Dalbergia latifolia) Menggunakan Tiga Spesies Cacing Tanah

VERMICOMPOSTING SAMPAH DAUN SONOKELING
(Dalbergia latifolia) MENGGUNAKAN TIGA SPESIES CACING
TANAH (Pheretima sp., Eisenia fetida dan Lumbricus rubellus)

MUHAMMAD ILYAS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Vermicomposting
Sampah Daun Sonokeling (Dalbergia latifolia) Menggunakan Tiga Spesies
Cacing Tanah (Pheretima sp., Eisenia fetida, dan Lumbricus rubellus) adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009
Muhammad Ilyas
NRP G352070181

ABSTRACT
MUHAMMAD ILYAS. Vermicomposting of Sonokeling (Dalbergia latifolia)
Leaves Litter Using Three Earthworm Species (Pheretima sp., Eisenia fetida,
and Lumbricus rubellus. Under direction of RIKA RAFFIUDIN and TRI
HERU WIDARTO.
European E. fetida and L. rubellus are the most common earthworm species
used in vermicomposting. Pheretima sp. is a native Asian earthworm having
capability to decompose organic wastes. Therefore, the aim of the present study
was to determine the effectiveness of combination of the three earthworm species
in vermicomposting of sonokeling leaves litter by determining (1) their
consumption rate, (2) their growth, and (3) their fecundity. Two ratios between
earthworms and leaves litter were applied i.e. ratio 1:1 (R1) and ratio 2:1 (R2).
The consumption rate was measured by counting the percentage of organic waste
consumed by earthworms weekly. Earthworm growth was measured by weighing
their biomass weekly. The number of produced cocoons were used to predict their
fecundity. The results showed that combination of earthworm species affected the

consumption rate significantly in both ratio (P0.05) except in potassium.
Keywords: vermicomposting, earthworm, consumption rate, organic waste, C:N
ratio.

RINGKASAN
MUHAMMAD ILYAS. Vermicomposting Sampah Daun Sonokeling
(Dalbergia latifolia) Menggunakan Tiga Spesies Cacing Tanah (Pheretima sp.,
Eisenia fetida, dan Lumbricus rubellus). Dibimbing oleh RIKA RAFFIUDIN
dan TRI HERU WIDARTO.
Sampah daun berpotensi sebagai sumber nutrisi yang sangat bermanfaat
dalam pertanian. Konsumsi sampah daun dapat menyuburkan tanah dan
menyediakan nutrisi bagi tumbuhan. Salah satu cara pengelolaan sampah daun
adalah dengan proses vermicomposting. Vermicomposting merupakan proses
konsumsi bahan organik yang melibatkan kerjasama antara cacing tanah dan
mikroorganisme. Hasil akhir proses ini adalah vermikompos. Pheretima sp., E.
fetida, dan L. rubellus merupakan spesies cacing tanah yang berpotensi untuk
mengelola sampah organik melalui proses vermicomposting.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji efektivitas spesies cacing
tanah Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus dalam mengelola sampah
dedaunan terhadap: (1) laju konsumsi bahan organik, (2) pertumbuhan cacing

tanah, dan (3) produktivitas cacing tanah.
Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap
percobaan. Tahap persiapan dilaksanakan dari bulan Maret 2008 sampai bulan
Januari 2009. Tahap percobaan dilaksanakan pada bulan Februari-April 2009.
Lokasi penelitian terletak di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan
Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor.
Pada tahap persiapan dilakukan penyiapan populasi cacing tanah, media
biak, dan wadah percobaan. Cacing tanah yang digunakan pada penelitian ini
adalah spesies Pheretima sp., E. fetida dan L. rubellus yang telah berklitelum.
Media biak terdiri atas kotoran sapi dan sampah daun sonokeling (Dalbergia
latifolia). Kotoran sapi digunakan sebagai starter dan sumber Nitrogen bagi
cacing tanah. Sebelum dijadikan sebagai media biak, kotoran sapi dikeringanginkan dan diaduk secara manual setiap hari selama 15 hari untuk menguapkan
gas beracun yang ada. Daun sonokeling dihancurkan secara manual hingga
mencapai ukuran partikel ± 5 mm. Ke dalam media biak ditambahkan tanah untuk
membantu proses pencernaan cacing tanah. Wadah percobaan pada penelitian ini
berupa wadah plastik dengan panjang, lebar, dan tinggi 35x31x12.5 cm. Seluruh
wadah percobaan dilubangi di bagian bawahnya.
Percobaan ini terdiri atas dua perlakuan, yaitu perlakuan spesies cacing
tanah tunggal (P, E, L) dan kombinasi (P+E, P+L, E+L, P+E+L), serta perlakuan
rasio antara cacing tanah dan sampah daun 1:1 (R1) dan 2:1 (R2). Suhu,

kelembaban, dan pH awal media biak di dalam wadah disesuaikan menjadi 25 oC,
65% dan 6.8 berturut-turut. Setiap minggu dilakukan pengukuran terhadap
parameter biologi cacing tanah pada seluruh perlakuan.
Laju konsumsi bahan organik diukur dengan menimbang seluruh bahan
yang terdapat pada media biak menggunakan timbangan digital. Persentase laju
konsumsi dihitung dengan mengurangi berat awal bahan media dengan berat
bahan media pada waktu pengamatan berikutnya. Selanjutnya dilakukan
penambahan sampah daun sonokeling ke dalam media biak sebanyak 210 gr
untuk rasio R1 dan 105 gr untuk rasio R2.

Pertumbuhan cacing tanah diukur dengan menimbang cacing tanah di atas
timbangan digital (82ADAM, d=0.001 g). Produktivitas cacing tanah diukur
dengan menghitung jumlah kokon yang diproduksi di dalam seluruh wadah
percobaan setiap minggu. Kokon yang diproduksi oleh masing-masing spesies
cacing tanah dipisahkan dari media biak dan ditempatkan ke dalam media lain
dengan suhu 25 oC. Perkembangan kokon diamati setiap hari sampai menetas
untuk mengetahui masa inkubasi kokon. Selanjutnya, jumlah juvenil yang keluar
dari tiap kokon dihitung.
Vermikompos yang diproduksi oleh masing-masing spesies cacing tanah
pada perlakuan rasio R2 ditimbang seberat 100 gr untuk dianalisa. Kandungan C

organik dan N total dianalisa dengan metode titrasi dan metode Kjeldahl. Kadar P
dan K masing-masing dianalisa menggunakan Spektrofotometri dan
Flamefotometer. Analisa unsur-unsur kimia vermikompos dilakukan di
laboratorium tanah SEAMEO BIOTROP, Bogor.
Berdasarkan pada hasil penelitian, perlakuan spesies tunggal E. fetida dan
spesies kombinasi E. fetida + L. rubellus pada rasio R1 dan R2 lebih efektif
menkonsumsi sampah dedaunan dibandingkan dengan perlakuan spesies yang
lain. Secara ringkas, kecepatan laju konsumsi oleh ketiga spesies cacing tanah
pada masing-masing perlakuan adalah: E+L > P+E+L > E > L > P+E > P+L > P.
Perbedaan laju konsumsi bahan organik pada cacing tanah disebabkan oleh
densitas cacing tanah, kualitas dan kuantitas bahan makanan, serta daya konsumsi
spesies spesifik. Semakin tinggi densitas cacing tanah di dalam media biak, maka
semakin rendah laju konsumsi. Densitas cacing tanah yang besar menyebabkan
peningkatan populasi mikroorganisme di dalam media biak dan saluran
pencernaan cacing tanah selama proses vermicomposting. Laju konsumsi yang
semakin rendah dikarenakan berkurangnya nutrisi yang berasal dari kotoran sapi
sebagai media biak sekaligus sumber Nitrogen dan rendahnya palatabilitas daun
sonokeling bagi cacing tanah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan cacing tanah tertinggi
terdapat pada perlakuan spesies tunggal E. fetida dan spesies kombinasi E. fetida

+ L. rubellus, sedangkan pertumbuhan terendah terdapat pada perlakuan spesies
tunggal Pheretima sp dan spesies kombinasi Pheretima sp. + E. fetida pada rasio
R1 dan R2. Pertumbuhan cacing tanah bergantung pada ketersediaan dan kualitas
bahan makanan, densitas cacing tanah di dalam media biak, serta pola
pertumbuhan spesies spesifik. Cacing tanah yang mengkonsumi bahan organik
yang lebih banyak dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan cacing tanah
yang mengkonsumsi sedikit bahan organik. Perbedaan laju pertumbuhan juga
dikarenakan adanya interaksi diantara populasi cacing tanah akibat kombinasi
spesies tersebut dalam proses vermicomposting. Cacing tanah lebih memilih
bahan makanan berupa kotoran hewan daripada bahan organik tumbuhan.
Perlakuan spesies kombinasi E. fetida + L. rubellus memproduksi kokon
dengan jumlah terbanyak pada rasio R1. Spesies L. rubellus memproduksi total
kokon lebih banyak dibandingkan dengan E. fetida dan Pheretima sp. Seluruh
cacing tanah berhenti memproduksi kokon pada minggu keempat. Bentuk dan
ukuran kokon ketiga spesies cacing tanah bervariasi. Masa inkubasi kokon
Pheretima sp. lebih rendah dibandingkan dengan kokon E. fetida dan L. rubellus.
Jumlah juvenil yang dihasilkan tiap kokon cacing tanah L. rubellus lebih banyak
daripada kokon cacing tanah lainnya. Produktivitas cacing tanah dipengaruhi oleh

jumlah bahan makanan yang tersedia di dalam media biak, tingkat konsumsi

bahan makanan oleh cacing tanah, serta jenis dan kualitas bahan makanan.
Hasil analisa unsur-unsur kimiawi vermikompos Pheretima sp., E. fetida,
dan L. rubellus menunjukkan bahwa rasio C:N pada vermikompos lebih rendah
daripada substrat awal. Kandungan P dan K meningkat pada vermikompos
masing-masing cacing tanah. Vermikompos yang dihasilkan oleh spesies
Pheretima sp. mengandung kualitas yang baik. Menurunnya rasio C:N pada
vermikompos disebabkan oleh aktivitas cacing tanah dalam proses
vermicomposting. Penurunan rasio C:N menunjukkan tingginya humifikasi
vermikompos. Peningkatan kandungan mineral P dan K pada vermikompos
menunjukkan adanya peningkatan mineralisasi unsur-unsur tersebut yang
disebabkan oleh aktivitas enzim dan mikroorganisme di dalam saluran pencernaan
cacing tanah. Pelepasan fosfor ke dalam bentuk yang dapat diserap oleh tumbuhan
diperantarai oleh fosfat yang dihasilkan di dalam saluran pencernaan cacing tanah,
dan selanjutnya pelepasan fosfor dapat dilakukan oleh mikroorganisme di dalam
casting setelah dikeluarkan
Kata kunci: vermicomposting, cacing tanah, laju konsumsi, bahan organik, rasio
C:N.

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

VERMICOMPOSTING SAMPAH DAUN SONOKELING
(Dalbergia latifolia) MENGGUNAKAN TIGA SPESIES CACING
TANAH (Pheretima sp., Eisenia fetida dan Lumbricus rubellus)

MUHAMMAD ILYAS

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Biosains Hewan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Judul Tesis : Vermicomposting Sampah Daun Sonokeling (Dalbergia latifolia)
Menggunakan Tiga Spesies Cacing Tanah (Pheretima sp., Eisenia
fetida, dan Lumbricus rubellus)
Nama
: Muhammad Ilyas
NRP
: G352070181

Disetujui
Komisi Pembimbing

Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc
Anggota

Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si

Ketua

Diketahui

Ketua Mayor
Biosains Hewan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Bambang Suryobroto

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian: 19 Agustus 2009

Tanggal Lulus: …………………………

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Vermicomposting
sampah daun sonokeling (Dalbergia latifolia) Menggunakan Tiga Spesies Cacing

Tanah (Pheretima sp., Eisenia fetida dan Lumbricus rubellus)” dengan baik dan
tepat waktu. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Biologi, Mayor Biosains Hewan, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tesis ini tidak akan tersusun tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si dan
Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc, selaku komisi pembimbing yang telah memberikan
arahan dan bimbingan selama penelitian hingga akhir penulisan tesis;
Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc, selaku penguji luar komisi pembimbing; Bapak Rudi,
selaku peternak cacing tanah yang telah menyediakan cacing tanah sebagai objek
penelitian; Hari Nugroho, S.Si, selaku Staf Peneliti di Laboratorium Entomologi,
Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI yang telah membantu penulis dalam
mengidentifikasi cacing tanah; Staf Laboratorium Tanah SEAMEO BIOTROP
Bogor atas bantuannya menganalisa kandungan kimiawi vermikompos.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Departemen Agama
Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa pendidikan Pascasarjana di
Institut Pertanian Bogor, Dr. Bambang Suryobroto, Dr. Dedi Duryadi S, DEA,
Dr. Achmad Farajallah, M.Si, Dr. RR. Dyah Perwitasari, M.Sc, Dr. Tri Atmowidi,
M.Si, Berry Juliandi, S.Si, M.Si, Dra. Taruni Sri Prawasti, dan seluruh staf
laboratorium Zoologi yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat
bermanfaat. Tidak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh
rekan mahasiswa Mayor Biosains Hewan IPB dan keluarga besar Pesantren ArRaudhatul Hasanah Medan atas doa, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan.
Disamping itu, ucapan terima kasih yang sangat dalam penulis sampaikan
kepada kedua orang tua tercinta dan seluruh keluarga besar penulis yang telah
memberikan doa, bantuan, dan dukungan selama proses pendidikan.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga
tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2009
Muhammad Ilyas

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 13 Juni 1981 dari Bapak
H. M. Tumin S dan Ibu Hj. Marni. Penulis merupakan anak keempat dari empat
bersaudara.
Tahun 1999 penulis lulus dari Madrasah Aliyah Pesantren Ar-Raudhatul
Hasanah Medan, dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk
Universitas Negeri Medan jurusan Pendidikan Biologi melalui jalur Ujian Masuk
Perguruan Tinggi Negeri. Tahun 2007 penulis melanjutkan studi di Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Biologi, Mayor Biosains
Hewan melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah yang diselenggarakan oleh
Departemen Agama Republik Indonesia.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum
mata kuliah Fungsi Hayati Hewan pada tahun ajaran 2008/2009. Pada tahun 2008
penulis dipilih menjadi peserta terbaik dalam Workshop Pembuatan Media
Pendidikan Interaktif (E-book) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa
Ilmu Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Penulis merupakan salah satu staf pengajar mata pelajaran Biologi di
Madrasah Aliyah Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan. Pada Tahun 20042007 menjabat sebagai staf laboratorium Biologi.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................

xiv

DAFTAR GAMBAR ..............................................................................

xv

DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................

xii

PENDAHULUAN ...................................................................................
Latar Belakang ...................................................................................
Tujuan Penelitian ...............................................................................
Manfaat Penelitian .............................................................................

1
1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
Vermicomposting ...............................................................................
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses vermicomposting .......
Taksonomi Cacing Tanah ..................................................................
Klasifikasi Cacing Tanah ...................................................................
Biologi Cacing Tanah ........................................................................
Sistem reproduksi .........................................................................
Sistem pencernaan ........................................................................
Sistem ekskresi .............................................................................
Sistem saraf ..................................................................................
Distribusi Geografi Cacing Tanah .....................................................

4
4
5
7
7
8
9
11
12
13
14

METODE ................................................................................................
Waktu dan Lokasi ..............................................................................
Tahap Persiapan .................................................................................
Tahap Percobaan ................................................................................
Pengukuran Parameter Biologi Cacing Tanah ...................................
Laju konsumsi bahan organik ......................................................
Pertumbuhan cacing tanah ...........................................................
Produktivitas cacing tanah ...........................................................
Analisa komposisi kimiawi vermikompos ...................................
Analisa Data .......................................................................................

15
15
15
16
18
19
19
19
20
20

HASIL .....................................................................................................
Laju Konsumsi Bahan Organik ..........................................................
Pertumbuhan Cacing Tanah ...............................................................
Produktivitas Cacing Tanah ...............................................................
Komposisi Kimiawi Vermikompos ...................................................

21
21
23
25
29

PEMBAHASAN .....................................................................................
Laju Konsumsi Bahan Organik ..........................................................
Pertumbuhan Cacing Tanah ...............................................................

30
30
32

Produktivitas Cacing Tanah ...............................................................
Komposisi Kimiawi Vermikompos ...................................................

34
37

KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
Kesimpulan ........................................................................................
Saran ...................................................................................................

40
40
40

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................

41

LAMPIRAN ............................................................................................

47

DAFTAR TABEL
Halaman
1

2

Kuantitas media biak dan cacing tanah yang digunakan dalam
percobaan ……………..…………………………………………

18

Perbandingan komposisi kimiawi substrat awal dengan vermikompos
yang dihasilkan oleh spesies Pheretima sp., E. fetida, dan
L. rubellus ………………………………………………………..
29

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Klasifikasi cacing tanah berdasarkan kategori ekologi ......................

8

2

Reproduksi cacing tanah (a), pembentukan kokon (b), perkembangan
kokon (c), dan penetasan kokon menjadi juvenil (d) .........................

11

Spesies cacing tanah yang digunakan dalam penelitian: Pheretima sp.
(a), E. fetida (b), dan L. rubellus (c) ..................................................

17

Budidaya cacing tanah dengan sistem windrow (a)
dan bedding (b) ..................................................................................

17

Wadah percobaan (a), dan penyusunan wadah percobaan
di atas rak (b) ......................................................................................

17

Laju konsumsi pada perlakuan spesies yang berbeda dengan rasio
antara cacing tanah dan sampah dedaunan 1:1 (R1) ..........................

22

Laju konsumsi pada perlakuan spesies yang berbeda dengan rasio
antara cacing tanah dan sampah dedaunan 2:1 (R2) ..........................

22

Pertumbuhan spesies Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus pada
perlakuan yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan
sampah dedaunan 1:1 (R1) .................................................................

24

Pertumbuhan spesies Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus pada
perlakuan yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan
sampah dedaunan 2:1 (R2) .................................................................

24

10 Jumlah rata-rata kokon yang diproduksi pada perlakuan spesies
yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan
1:1 (R1) ..............................................................................................

26

11 Jumlah rata-rata kokon yang diproduksi pada perlakuan spesies
yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan
2:1 (R2) ..............................................................................................

26

12 Variasi ukuran dan bentuk kokon cacing tanah: Pheretima sp. (a),
E. fetida (b), dan L. rubellus (c) ............................................................

27

13 Jumlah total kokon yang diproduksi oleh masing-masing spesies
cacing tanah dengan rasio antara cacing tanah dan sampah
dedaunan 1:1 (R1) ..............................................................................

27

3

4

5

6

7

8

9

14 Jumlah total kokon yang diproduksi oleh masing-masing spesies
cacing tanah dengan rasio antara cacing tanah dan sampah
dedaunan 2:1 (R2) ..............................................................................

27

15 Masa inkubasi rata-rata kokon dari tiga spesies cacing tanah
pada suhu 25 oC ..................................................................................

28

16 Jumlah rata-rata juvenil yang diproduksi oleh masing-masing
kokon cacing tanah pada suhu 25 oC .................................................

28

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Hasil analisis laju konsumsi pada perlakuan spesies tunggal
dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 1 minggu .................

47

Hasil analisis laju konsumsi pada perlakuan spesies tunggal
dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 4 minggu .................

51

Hasil analisis biomassa cacing tanah pada perlakuan spesies tunggal
dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 1 minggu .................

55

Hasil analisis biomassa cacing tanah pada perlakuan spesies tunggal
dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 4 minggu .................

59

Hasil analisis produksi kokon cacing tanah pada perlakuan spesies
tunggal dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 1 minggu ....

63

Hasil analisis produksi kokon cacing tanah pada perlakuan spesies
tunggal dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 2 minggu ....

67

Hasil analisis rasio C:N vermikompos yang diproduksi oleh
cacing tanah Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus .......................

71

Hasil analisis kadar P vermikompos yang diproduksi oleh
cacing tanah Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus .......................

72

Hasil analisis kadar K vermikompos yang diproduksi oleh
cacing tanah Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus .......................

73

10 Data hasil pengukuran parameter biologi cacing tanah setiap
minggu ...............................................................................................

74

11 Data hasil pengukuran parameter lingkungan setiap minggu ............

75

2

3

4

5

6

7

8

9

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sampah daun berpotensi sebagai sumber nutrisi yang sangat bermanfaat
dalam pertanian. Namun, potensi ini tidak tereksploitasi. Dekomposisi sampah
daun dapat menyuburkan tanah dan menyediakan nutrisi bagi tumbuhan. Sampah
daun mangga (Mangifera indica) telah didekomposisi menjadi kompos oleh
cacing tanah Eudrilus eugeniae (Gajalakshmi et al. 2005). Manimegala et al.
(2008) menemukan bahwa sampah daun Leucaena glauca yang dicampur dengan
kotoran sapi dapat mendukung pertumbuhan dan produksi kokon pada cacing
tanah E. fetida. Sampah daun sonokeling (Dalbergia latifolia) merupakan sampah
yang tersebar luas di lingkungan. Namun pengelolaannya menjadi sumber nutrisi
yang bermanfaat bagi tanah dan tumbuhan belum dilakukan.
Pengelolaan sampah daun dapat dilakukan dengan cara pengomposan.
Pengomposan adalah pembusukan sisa-sisa bahan organik secara aerob dengan
cara mendegradasi zat organik menjadi CO2, H2O, NH3, zat-zat anorganik dan
bahan organik yang mengandung substansi humus atau kompos (Senesi 1989).
Akan tetapi, pengelolaan sampah dengan cara pengomposan tradisional
membutuhkan waktu yang cukup lama. Mikroorganisme yang terlibat di
dalamnya aktif pada suhu termofilik (45-65 oC) (Dominguez et al. 1997a). Cara
alternatif dalam pengelolaan sampah organik adalah dengan vermicomposting.
Vermicomposting adalah proses dekomposisi bahan organik yang
melibatkan kerjasama antara cacing tanah dan mikroorganisme. Mikroorganisme
yang berperan dalam proses vermicomposting terutama bakteri, fungi dan
actinomycetes (Dominguez et al. 1997a). Selama proses vermicomposting, zat
nutrisi tumbuhan yang penting seperti nitrogen, kalium dan fosfor yang terdapat di
dalam bahan makanan diubah melalui aktivitas mikroorganisme menjadi bentuk
yang lebih mudah diserap oleh tumbuhan (Ndegwa & Thompson 2001). Laju
mineralisasi bahan-bahan organik bertambah cepat (Albanell et al. 1988).
Vermicomposting menghasilkan dua manfaat utama, yaitu biomassa cacing tanah
dan vermikompos (Sharma et al. 2005).

Vermicomposting berbeda dari pengomposan tradisional dalam beberapa
hal. Proses vermicomposting lebih cepat dari pada pengomposan tradisional,
karena bahan-bahan organik melewati sistem pencernaan cacing tanah yang
mengandung

banyak

aktivitas

mikroorganisme

yang

membantu

proses

dekomposisi bahan organik (Dominguez et al. 1997a). Vermicomposting
mengubah sampah organik menjadi kompos dalam 30 hari, menurunkan rasio C:N
dan meningkatkan kandungan N total lebih tingi dari pada pengomposan
tradisional (Gandhi et al. 1997; Lazcano et al. 2008).
Vermikompos yang dihasilkan dari proses vermicomposting memiliki
struktur, porositas, aerasi, drainase dan kapasitas menahan kelembaban yang
sangat baik (Dominguez et al. 1997a). Vermikompos mengandung banyak
aktivitas, populasi dan keanekaragaman mikroorganisme. Vermikompos juga
mengandung beberapa enzim seperti protease, amilase, lipase, selulase, dan
kitinase (Subler et al. 1998), serta zat pengatur tumbuh seperti giberelin, sitokinin
dan auksin (Tomatti et al. 1988). Subler et al. (1998) menemukan bahwa
vermikompos cenderung memiliki nilai pH lebih rendah, konsentrasi nutrisi lebih
tinggi, terutama nitrogen dari pada kompos alami.
Cacing tanah memiliki peranan yang penting dalam menghancurkan bahan
organik sehingga dapat memperbaiki aerasi dan struktur tanah. Akibatnya lahan
menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan
cacing tanah dapat meningkatkan populasi mikroorganisme yang bermanfaat bagi
tanaman. Cacing tanah juga dapat mendekomposisi sampah organik menjadi
humus (Sharma et al. 2005)
Pada

umumnya

cacing

tanah

yang

digunakan

pada

proses

vermicomposting adalah cacing tanah jenis epigeic. Cacing tanah epigeic
merupakan cacing tanah pemakan sampah (Lee 1985). Cacing tanah epigeic
memiliki produktivitas tertinggi dibandingkan dengan cacing tanah anecic dan
endogeic (Bhattacharjee & Chaudhuri 2002). E. fetida dan L. rubellus merupakan
cacing tanah yang tergolong ke dalam kelompok epigeic (Lee 1985), sedangkan
Pheretima sp. tidak diketahui statusnya di dalam klasifikasi berdasarkan kategori
ekologi.

E. fetida dan L. rubellus merupakan spesies cacing tanah epigeic yang
sangat toleran terhadap suhu lingkungan (Reinecke et al. 1992). Potensi E. fetida
dan L. rubellus dalam mendekomposisi sampah organik telah dipelajari oleh
beberapa peneliti (Albanell 1988; Reinecke et al. 1992; Delgado et al. 1995;
Gunadi et al. 2003; Garg et al. 2005; Aira et al. 2006a). Spesies cacing tanah dari
genus Pheretima yang mendominasi wilayah Indonesia belum diketahui
potensinya dalam mengelola sampah organik.
Di alam, beberapa spesies cacing tanah yang berbeda dapat hidup pada
habitat yang sama, masing-masing cacing tanah menempati relung yang berbeda
dan menggunakan substrat yang berbeda sebagai bahan makanan. Oleh karena itu,
pemanfaatan campuran beberapa spesies cacing tanah (spesies kombinasi) pada
proses vermicomposting kemungkinan dapat mencapai stabilisasi bahan organik
yang lebih tinggi daripada spesies tunggal.
Kombinasi beberapa spesies cacing tanah dapat mendekomposisi bahan
organik lebih efisien (Sinha et al. 2002; Khwairakpam & Bhargava 2009). Akan
tetapi, Loehr et al. (1985) menemukan bahwa kombinasi beberapa spesies tidak
menunjukkan keunggulan yang signifikan dibandingkan dengan biakan spesies
tunggal dalam proses vermicomposting.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka tujuan penelitian ini
bertujuan mengkaji efektivitas penggunaan spesies cacing tanah Pheretima sp.,
E. fetida, dan L. rubellus dalam mengelola sampah daun baik secara tunggal
maupun kombinasi dengan rasio antara cacing tanah dan sampah daun yang
berbeda terhadap: (1) laju konsumsi bahan organik, (2) pertumbuhan cacing tanah,
dan (3) produktivitas cacing tanah.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah sebagai bahan
masukan

dalam

vermicomposting.

pengelolaan

sampah

dedaunan

menggunakan

metode

TINJAUAN PUSTAKA
Vermicomposting
Dominguez et al. (1997a) mendefinisikan vermicomposting sebagai proses
dekomposisi bahan organik yang melibatkan kerjasama antara cacing tanah dan
mikroorganisme. Mikroorganisme yang berperan dalam proses vermicomposting
terutama bakteri, fungi, dan actinomycetes.
Selama proses vermicomposting, nutrisi pada tumbuhan yang penting seperti
nitrogen, kalium, dan fosfor yang terdapat di dalam bahan makanan diubah
melalui aktivitas mikroorganisme menjadi bentuk yang lebih mudah diserap oleh
tumbuhan (Ndegwa & Thompson. 2001). Pada proses ini cacing tanah mengubah
aktivitas mikroorganisme (Aira et al. 2002), sehingga laju mineralisasi bahanbahan organik bertambah cepat (Albanell et al. 1988). Beberapa enzim yang
terlibat di dalam dekomposisi bahan organik adalah dehidrogenase, protease,
glukosidase, dan fosfatase (Lazcano et al. 2008). Vermicomposting menghasilkan
dua manfaat utama, yaitu biomassa cacing tanah dan vermikompos (Sharma et al.
2005).
Vermikompos merupakan bahan organik seperti tanah yang memiliki
struktur, porositas, aerasi, drainase, dan kapasitas menahan kelembaban yang
sangat baik (Dominguez et al. 1997a). Vermikompos mengandung banyak
aktivitas, populasi, dan keanekaragaman mikroorganisme. Vermikompos juga
mengandung beberapa enzim seperti protease, amilase, lipase, selulase, dan
kitinase (Subler et al. 1998), serta zat pengatur tumbuh seperti giberelin, sitokinin,
dan auksin (Tomatti et al. 1988).
Syarat-syarat biologi cacing tanah yang digunakan dalam proses
vermicomposting terdiri atas: tingkat produksi kokon yang tinggi, waktu
perkembangan kokon yang pendek, keberhasilan penetasan kokon yang tinggi,
dan memiliki laju reproduksi yang tinggi (Bhattacharjee & Chaudhuri 2002).
Selain itu, tingkat konsumsi bahan organik yang tinggi pada cacing tanah dan
toleran terhadap perubahan lingkungan yang luas juga merupakan sebagian syarat
biologi cacing tanah yang dapat dimanfaatkan untuk mendekomposisi bahan
organik (Edwards 1998; Dominguez et al. 2000).

Beberapa spesies cacing tanah yang memenuhi syarat biologi dan digunakan
dalam proses vermicomposting adalah: E. fetida (Albanell 1988), (Reinecke et al.
1992), (Gunadi et al. 2003), (Garg et al. 2005), (Aira et al. 2006a); E. andrei
(Dominguez et al. 2000); L. rubellus (Delgado et al. 1995); L. terrestris, Eudrilus
eugeniae (Banu et al. 2008); Perionyx excavatus, dan P. sansibaricus (Suthar
2007a; Suthar & Singh 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses vermicomposting
Proses vermicomposting dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan
kelangsungan hidup cacing tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya:
suhu, kelembaban, rasio C:N, pH, aerasi, dan makanan. Pengaruh faktor-faktor
tersebut bervariasi pada setiap spesies cacing tanah.
Suhu pada substrat mempengaruhi pertumbuhan cacing tanah. Pada kisaran
suhu 20-29 oC cacing tanah tumbuh dan berkembang dengan maksimal (Kaplan et
al. 1980). Hou et al. (2005) menemukan bahwa laju pertumbuhan cacing tanah
tercepat pada suhu 20 oC. Akan tetapi kebutuhan suhu pada masing-masing
spesies cacing tanah berbeda-beda. Di awal proses vermicomposting terjadi
peningkatan suhu, dan di akhir periode suhu menurun.
Berat tubuh cacing tanah terdiri atas 75-90% air (Edwards & Lofty 1972),
maka kekurangan air merupakan masalah besar dalam kehidupan cacing tanah.
Cacing tanah dapat berpindah ke tanah yang lebih dalam jika permukaan tanah
terlalu kering. Kelembaban yang rendah dapat menyebabkan cacing tanah menjadi
pasif atau mengalami fase diapause (Gerard 1967). Menurut Reinecke dan Venter
(1987), kelembaban substrat yang lebih disukai oleh cacing tanah dewasa berkisar
antara 65-75%, tetapi juvenil lebih dapat bertahan hidup pada kelembaban dengan
kisaran 65-70%. Laju pertumbuhan cacing tanah tertinggi terdapat pada
kelembaban 75% (Gunadi et al. 2003). Dominguez et al. (1997a) menemukan
bahwa kisaran kelembaban yang terbaik adalah 80-90%, dengan kisaran optimum
sebesar 85%. Kebutuhan cacing tanah akan kelembaban media bervariasi pada
berbagai spesies dan daya adaptasi masing-masing spesies tersebut. Kelembaban
media dapat dipertahankan dengan penambahan air pada media dan menyediakan
bahan makanan yang mengandung banyak air.

Rasio C:N pada substrat (media biak yang terdiri atas kotoran ternak dan
sampah organik) mencerminkan mineralisasi dan stabilisasi sampah organik
selama proses vermicomposting (Suthar & Singh 2008). Laju dekomposisi
tertinggi terdapat pada substrat dengan rasio C:N sebesar 20 (Hou et al. 2005).
Ndegwa dan Thompson (2000) menemukan bahwa cacing tanah dapat tumbuh
lebih baik ketika rasio C:N substrat 25. Cacing tanah lebih memilih sampah
organik yang memiliki rasio C:N lebih rendah sebagai makanannya (Moody et al.
1995). Semakin rendah rasio C:N, maka semakin tinggi laju dekomposisi sampah
organik (Pramanik et al. 2007).
Substrat yang dikonsumsi cacing tanah memliki kisaran nilai pH tertentu.
Substrat yang terlalu asam atau basa tidak cocok untuk kelangsungan hidup
cacing tanah. Kisaran nilai pH optimum bagi cacing tanah antara 6.5 dan 8.5 (Hou
et al. 2005). Pada umumnya spesies cacing tanah lebih memilih substrat yang
memiliki pH sekitar 7.0 (Arrhenius 1921). Singh et al. (2005) menemukan bahwa
pH substrat awal yang mendekati netral mengoptimalkan stabilisasi bahan organik
dalam waktu yang singkat. Substrat awal yang memiliki pH sangat asam tidak
sesuai digunakan dalam proses vermicomposting.
Proses vermicomposting dapat berlangsung dengan baik dalam kondisi
aerob. Cacing tanah memerlukan oksigen untuk bernafas dan sangat sensitif
terhadap kondisi anaerob. Laju respirasinya melemah jika konsentrasi oksigen di
dalam substrat rendah (Edwards & Bohlen 1996). Pergerakan cacing tanah dapat
menciptakan aerasi pada medianya. Untuk meningkatkan aerasi, perlu dilakukan
pembalikan substrat.
Kualitas dan kuantitas bahan makanan mempengaruhi pertumbuhan dan
reproduksi cacing tanah dalam proses vermicomposting (Edwards et al. 1988).
Kualitas bahan makanan pada substrat awal sangat mempengaruhi biomassa
cacing tanah (Suthar 2007b). Berkurangnya biomassa cacing tanah dapat
disebabkan oleh berkurangnya bahan makanan di dalam media biak (Garg et al.
2005). Pertumbuhan cacing tanah dibatasi oleh ketersediaan sumber karbon pada
bahan makanannya (Tiunov & Scheu 2004). Cacing tanah yang mengkonsumsi
bahan makan dengan rasio C:N rendah, lebih banyak menggunakan energinya
untuk pertumbuhan daripada untuk reproduksi (Aira et al. 2006a).

Taksonomi Cacing Tanah
Cacing tanah adalah invertebrata darat yang termasuk ke dalam Filum
Annelida, Kelas Clitellata, Sub Kelas Oligochaeta (Brusca & Brusca 2003).
Cacing tanah terbagi ke dalam 5 famili, yaitu Moniligastridae, Megascolecidae,
Eudrilidae, Glossoscolecidae, dan Lumbricidae.

Klasifikasi Cacing Tanah
Spesies cacing tanah yang berbeda memiliki sejarah hidup yang berbeda dan
menempati relung ekologi yang berbeda. Lee (1985) mengelompokkan spesies
cacing tanah ke dalam tiga kategori ekologi berdasarkan strategi mencari makanan
dan membuat liang, yaitu spesies epigeic, endogeic, dan anecic (Gambar 1).
Cacing tanah epigeic pada dasarnya merupakan cacing tanah penghuni
sampah. Cacing tanah ini hidup di dalam atau dekat permukaan sampah dan
memakan sampah organik yang kasar, serta sejumlah sampah yang belum terurai.
Cacing tanah epigeic membuat liang ephemeral ke dalam tanah mineral selama
periode diapause. Tubuhnya berukuran kecil dan berpigmen. Laju metabolisme
dan reproduksinya tinggi. Hal itu menggambarkan daya adaptasinya tinggi
terhadap perubahan kondisi lingkungan pada permukaan tanah. Beberapa spesies
cacing tanah yang termasuk ke dalam kategori ini adalah L. rubellus, E. fetida,
E. andrei, Dendrobaena rubida, Eudrilus eugeniae, Perionyx excavatus, dan
Eiseniella tetraedra (Bouche 1977; Lee 1985).
Cacing tanah endogeic hidup di dalam tanah yang lebih dalam dan memakan
tanah serta kumpulan bahan-bahan organik (Gambar 1). Cacing tanah jenis ini
tidak memiliki pigmen tubuh, dan membuat liang horizontal yang bercabang ke
dalam. Cacing tanah endogeic tidak memiliki pengaruh yang besar dalam
penguraian sampah karena cacing tanah ini memakan bahan-bahan di bawah
permukaan tanah. Beberapa spesies cacing tanah yang termasuk ke dalam kategori
ini adalah Allolobophora caliginosa, A. rosea, Octolasion cyaneum (Bouche
1977), Metaphire posthuma, dan Octochaetona thurstoni (Ismail 1997).

Castings

Epigeic

Anecic
Liang

Endogeic
Gambar 1 Klasifikasi cacing tanah berdasarkan kategori ekologi (Lee 1985)

Cacing tanah jenis anecic hidup di dalam sistem liang vertikal yang lebih
permanen, yang dapat meluas beberapa meter ke dalam tanah (Gambar 1). Cacing
tanah jenis ini dapat di temukan di dalam liang yang dangkal atau dalam
tergantung pada kondisi tanah yang baik sebagai habitatnya. Cacing tanah anecic
mengeluarkan sisa pencernaannya (casting) pada permukaan tanah dan muncul di
malam hari untuk memakan sampah pada permukaan tanah, kotoran, dan bahan
organik lain yang diturunkan ke dalam liangnya. Laju reproduksinya relatif
lambat, terbukti dari produksi kokonnya. Cacing tanah anecic memiliki peran
yang sangat besar dalam dekomposisi bahan organik, siklus makanan, dan
pembentukan tanah (Lavelle 1988). Lumbricus terrestris, Aporrectodea
trapezoids, dan Allolobophora longa termasuk dalam kelompok kategori ini.

Biologi Cacing Tanah
Karakteristik cacing tanah adalah tubuhnya bersegmen, dan memiliki sedikit
seta pada seluruh segmen tubuh. Cacing tanah dewasa memiliki klitelum yang
terletak di bagian anterior tubuh. Klitelum merupakan bagian kelenjar epidermis
segmen tubuh yang mengalami perkembangan, terdiri atas kelenjar epidermis
yang menebal, terutama di bagian dorsal dan lateral tubuh. (Edwards & Lofty
1972). Pada umumnya klitelum berwarna lebih cerah daripada segmen yang lain.

Sistem reproduksi
Cacing tanah bersifat hermafrodit, tetapi fertilisasi tidak dapat terjadi pada
diri sendiri. Pada umumnya individu cacing tanah dewasa melakukan reproduksi
silang sebelum menghasilkan kokon (Gambar 2a). Beberapa spesies cacing tanah
melakukan

reproduksi

pada

permukaan

tanah,

dan

beberapa

spesies

melakukannya di bawah tanah (Edwards & Lofty 1972).
Metode kopulasi untuk seluruh spesies cacing tanah tidak sama. Pada cacing
tanah yang tergolong famili Lumbricidae, ketika akan melakukan perkawinan dua
spesies cacing tanah saling berdekatan dengan mendeteksi mukus yang
dikeluarkan oleh bagian ventral tubuhnya bersama-sama. Ujung kepala cacing
tanah terletak pada arah yang berlawanan. Keduanya saling mendekatkan diri
pada daerah pembukaan spermateka dimana daerah klitelum salah satu cacing
tanah menyentuh permukaan pembukaan spermateka yang lainnya. Pada saat
kopulasi, kedua cacing tanah tidak sensitif dalam merespon rangsangan luar
seperti sentuhan dan cahaya. Banyak mukus yang disekresikan sehingga masingmasing cacing tanah diselubungi oleh mukus antara segmen sembilan dan sisi
posterior klitelum, mukus-mukus tersebut saling melekat (Edwards & Lofty
1972).
Sebuah celah semen terbentang dari gonofor jantan sampai klitelum dan
nampak seperti benang. Tiap-tiap celah semen merupakan bagian dari dinding luar
tubuh yang melekuk ke dalam akibat dari terbentuknya rangkaian pori-pori oleh
kontraksi otot yang terbentang pada lapisan otot longitudinal. Kontraksi otot
membawa cairan sperma dari gonofor jantan menuju daerah klitelum. Cairan
sperma berkumpul di daerah klitelum, dan akhirnya memasuki spermateka cacing
tanah lawannya (Edwards & Lofty 1972).
Cara pemindahan sel sperma pada seluruh spesies cacing tanah tidak sama.
Spesies cacing tanah yang tidak termasuk ke dalam famili Lumbricidae
memindahkan sel spermanya secara langsung tanpa membentuk selubung mukus.
Tembe dan Dubash (1961) menjelaskan kopulasi Pheretima yang memiliki tiga
atau empat pasang spermateka. Gonofor jantan saling bersentuhan dengan
sepasang celah spermateka paling belakang dan menyalurkan cairan sperma ke
dalamnya. Kemudian masing-masing cacing tanah bergerak ke arah belakang, dan

cairan sperma disalurkan ke dalam sepasang spermateka berikutnya sampai
seluruhnya terisi.
Setelah kopulasi berlangsung selama satu jam, cacing tanah terpisah, dan
masing-masing klitelum mengeluarkan getah mukus yang akhirnya mengeras di
sekeliling permukaan luarnya. Ketika getah mukus mengeras, cacing tanah
bergerak ke arah belakang, kemudian membuat selubung di sekeliling kepalanya,
dan ketika cacing tanah terpisah sempurna, ujung selubung menutup untuk
membentuk kokon (Gambar 2b). Kokon mengandung cairan albumin yang
diproduksi oleh kelenjar klitelum, ovum, dan spermatozoa yang disalurkan ke
dalamnya ketika melewati pembukaan spermateka. Kokon terus dibentuk sampai
cairan sperma yang tersedia habis. Fertilisasi terjadi secara eksternal tubuh cacing
tanah, di dalam kokon (Edwards & Lofty 1972).
Produksi kokon dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Keadaan tanah dan
jenis cacing tanah yang berbeda menyebabkan perbedaan jumlah kokon yang
diproduksi. Cacing tanah memproduksi lebih sedikit kokon pada kondisi tanah
yang terlalu kering dan terlalu basah (Gerard 1967). Jenis makanan yang
dikonsumsi cacing tanah dewasa juga dapat mempengaruhi produksi kokon.
Produksi kokon bergantung pada spesies cacing tanah dan kondisi lingkungan
(Evans & Guild 1948). Jumlah kokon yang diproduksi cacing tanah epigeic lebih
banyak daripada kokon cacing tanah anecic (Bhattacharjee & Chaudhuri 2002).
Warna kokon berubah sesuai dengan perkembangannya (Gambar 2c). Pada
saat terbentuk kokon berwarna keputihan, kemudian berubah menjadi kuning,
kehijauan dan kecoklat-coklatan (Edwards & Lofty 1972). Kokon yang berwarna
kecoklatan mengindikasikan perkembangan yang matang, dan siap untuk menetas.
Penetasan kokon dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Gerard 1967;
Bhattacharjee & Chaudhuri 2002). Suhu yang lebih tinggi dari 25 oC menurunkan
masa inkubasi rata-rata kokon cacing tanah epigeic (Reinecke et al. 1992). Jumlah
ovum yang dibuahi di dalam setiap kokon berkisar 1-20 untuk cacing tanah
Lumbricidae, tapi sering kali hanya satu atau dua yang bertahan hidup dan
menetas menjadi juvenil (Gambar 2d) (Stephenson 1930).

Klitelum

Kepala

Kepala

Klitelum

Klitelum

Reproduksi
cacing tanah
Perpindahan sperma

Liang jantan

a

b

Juvenil

c

d

Gambar 2 Reproduksi cacing tanah (a), pembentukan kokon (b), perkembangan
kokon (c), dan penetasan kokon menjadi juvenil (d).
Sistem pencernaan
Sistem pencernaan cacing tanah terdiri atas rongga mulut, faring, esofagus,
tembolok, lambung, dan usus. Cacing tanah memperoleh makanan dari bahan
organik berupa organ tumbuhan, protozoa, rotifera, nematoda, bakteri, fungi, dan
sisa-sisa pembusukan hewan (Edwards & Lofty 1972).
Bagian tubuh cacing tanah dikelompokkan ke dalam tiga daerah berdasarkan
pada segmen tubuhnya (Gansen 1962). Daerah yang pertama adalah daerah
penerimaan, yang terdapat pada segmen 1-14. Daerah ini terdiri atas mulut yang
peka, esofagus, dan kelenjar faring tak berpembuluh yang mensekresi getah asam
yang mengandung enzim amilase.
Daerah yang kedua adalah daerah sekresi, yang terdapat pada segmen 15-44.
Daerah ini terdiri atas tembolok, yang menuju ke lambung dan usus. Cacing tanah
mensekresi dua enzim protease dan satu enzim amilase terutama dari “sel piala”

dinding usus yang mensekresi banyak getah. Beberapa enzim yang berbeda
berasal dari daerah ini untuk spesies lain, seperti lipase dan protease (Arthur
1965) serta selulase dan kitinase (Tracey 1951). Makanan yang telah dicerna
melintasi aliran darah di sepanjang epithelium usus dan dialirkan ke berbagai
bagian tubuh dan jaringan untuk digunakan dalam proses metabolisme dan
sebagai cadangan makanan.
Daerah yang ketiga terdapat pada segmen 44 sampai ke anus, disebut daerah
absorpsi. Pada daerah ini, bahan-bahan makanan yang tidak tercerna di dalam
usus diselubungi oleh membran peritrofik yang melapisi usus. Ketika bahanbahan makanan diekskresi, membran tersebut akan membungkus casting (sisa
pencernaan/kotoran cacing) (Gansen 1962).

Sistem ekskresi
Organ ekskresi yang terpenting pada cacing tanah adalah nefridia. Organ
tersebut

mengekstraksi

bahan-bahan

limbah

dari

cairan

selom

dan

mengeluarkannya ke luar tubuh melalui nefridiofor sebagai urin yang
mengandung amonia dan urea. Cairan selom yang mengandung material eksresi
melintas melalui nefrostom dan dilanjutkan ke tabung nefridia oleh gerakan silia.
(Edwards & Lofty 1972).
Nefridia berperan sebagai penyaring diferensial. Disebut demikian karena
terdapat lebih banyak urea dan amonia, tetapi lebih sedikit kreatinin dan protein di
dalam urin yang dihasilkan daripada di dalam cairan selom (Ramsay 1949).
Nefridia memiliki tiga fungsi pada proses ekskresi, yaitu filtrasi, reabsorbsi, dan
transformasi kimiawi (Bahl 1947).
Cacing tanah mengekskresikan zat-zat nitrogen dari dinding tubuh sebagai
mukus. Mukus ini berperan sebagai pelumas, mengikat partikel tanah untuk
membentuk dinding liang, dan membentuk lapisan pelindung yang melawan
bahan-bahan beracun. Sekitar setengah nitrogen total yang diekskresikan per hari
terdapat di dalam mukus ini (Edwards & Lofty 1972). Beberapa cacing tanah
seperti Pheretima memiliki kelenjar limfa, tempat akumulasi sel-sel ameba. Selsel ameba juga terdapat di dalam darah, beberapa sel ameba tersimpan di dalam

dinding usus, dan selanjutnya masuk ke dalam usus untuk diekskresikan bersama
feses (Edwards & Lofty 1972).

Sistem saraf
Sistem saraf cacing tanah terdiri atas sebuah ganglion serebral dorsal,
sepasang konektif sirkumentrik dan satu atau lebih tali saraf longitudinal.
Ganglion serebral dorsal menyuplai saraf bagian anterior tubuh dan saraf
prostomial. Pengontrolan pergerakan tubuh cacing tanah diatur oleh ganglion
subenterik. Sedangkan konektif sirkumenterik dan tali saraf longitudinal
mengontrol saraf sensoris dan motoris keseluruhan dinding tubuh serta organ di
setiap tubuh (Edwards & Lofty 1972).
Organ sensoris cacing tanah terdiri atas dua macam, yaitu organ fotoreseptor
dan organ sensoris epitel. Di dalam setiap sel organ fotoreseptor terdapat organel
optik yang berbentuk lonjong atau memanjang. Permukaan luar organel ini terdiri
atas retina, dan permukaan dalam terdiri atas substansi hialin yang transparan.
Organ sensoris epitel merupakan kumpulan dari 35-45 sel-sel yang memanjang
dan besar di bagian dasarnya. Ujung distalnya berakhir pada penonjolan rambutrambut sensori sepanjang daerah kutikula yang tipis. Cacing tanah tidak memiliki
mata, tetapi spesies ini memiliki sel-sel sensori yang strukturnya seperti lensa di
daerah epidermis dan dermis, terutama pada prostomium. Bagian tengah dan
prosterior tubuhnya kurang sensitif terhadap cahaya (Laverack 1963).
Cacing tanah sangat respon terhadap rangsangan cahaya, terutama jika tibatiba terpapar cahaya setelah berdiam lama dalam kondisi gelap (Laverack 1963).
Cacing tanah Lumbricus bersifat fotopositif terhadap sumber cahaya yang sangat
lemah, dan fotonegatif terhadap sumber cahaya yang kuat. Akan tetapi cacing
tanah tidak terlalu bereaksi terhadap peningkatan intensitas cahaya yang tiba-tiba
jika telah teradaptasi dalam waktu yang lama dalam kondisi cahaya yang kuat.
Hal itu disebabkan oleh saturasi reseptor cahaya (Hess 1924). Anggota spesies
dari genus Pheretima seluruhnya bersifat fotonegatif terhadap intensitas cahaya
(Howell 1939).
Organ sensoris yang bereaksi terhadap rangsangan kimia (kemoreseptor)
terdapat pada prostomium (Laverack 1963). Kemoreseptor berperan penting

dalam

kehidupan

cacing

tanah.

Kemoreseptor

dapat

mendeteksi

dan

mengumpulkan bahan makanan. Kemoreseptor juga dapat digunakan untuk
memberi informasi tentang kondisi lingkungan. Disamping itu, kemoreseptor
berperan dalam proses perkawinan dengan mendeteksi getah mukus yang
dih