Latar Belakang S IND 1000592 Chapter1

BAB 1 PENDAHULUAN Dalam bagian ini diuraikan 1 latar belakang, 2 masalah, 3 tujuan penelitian, 4 manfaat penelitian, dan 5 struktur organisasi penelitian. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut.

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia terdiri atas ratusan etnik yang berbeda. Masing-masing etnik memiliki karakter yang berbeda pula. Perbedaan etnik tersebut berimplikasi pada kebervariasiankeberagaman bahasa yang digunakan oleh masing-masing etnik. Seperti yang dinyatakan Chambers 1980, hlm. 74, in many communities, different ethinic groups speak different langguage. Dalam berkomunikasi sehari- hari masing-masing etnik menggunakan bahasa daerah bahasa ibu yang berbeda. Bahasa daerah yang beragam itulah yang memunculkan bermacam perbedaan dalam beberapa hal. Misalnya saja dalam penyebutan beberapa benda yang berbeda dari setiap suku. Salah satu suku yang besar di Indonesia adalah suku Sunda. Dalam Ensiklopedia Jawa Barat disebutkan bahwa tercatat sekitar 15,41 penduduk Indonesia adalah orang Sunda 2011. Suku yang berada di Jawa Barat ini memiliki keberagaman budaya dan keunikan tersendiri bagi setiap masyarakatnya. Dalam penyebutan beberapa benda saja, identitas urang Sunda bagi masyarakat Sunda sudah sangat terlihat. Salah satu keunikan dalam masyarakat Sunda adalah dalam penyebutan beberapa macam pisang. Seperti yang kita ketahui, pisang merupakan jenis buah-buahan yang mempunyai kandungan gizi yang baik, antara lain menyediakan energi yang cukup tinggi. Pisang kaya mineral dan vitamin yang baik untuk tubuh manusia. Selain itu, dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, kemajuan teknologi di berbagai bidang kian melaju pesat. Begitu pun dalam pengolahan pisang. Segala olahan pisang dapat digunakan oleh berbagai kalangan, mulai dari bayi hingga orang tua. Namun, tidak banyak yang mengetahui seluk-beluk pisang. Kebanyakan orang hanya mengenal pisang untuk dimakan dan dijadikan olahan, Gina Giftia Fadilah Nursani, 2015 KONSEP CAU DALAM MASYARAKAT SUNDA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 2 tanpa mengetahui varian, kegunaan, dan nilai kearifan lokal di balik pisang itu sendiri. Dalam konteks bahasa Sunda, adanya nama-nama pisang cau yang khas juga menyiratkan penguasaan orang Sunda terhadap ranah pengetahuan tertentu yang merupakan potret harmoni orang Sunda dengan lingkungannya. Hal tersebut tersebut akan memberikan informasi awal tentang bagaimana pengetahuan orang Sunda dalam mengintegrasikan pengetahuan dan budaya pemanfaatan leksikon tentang cau sebagai upaya konservasi terhadap keanekaragaman cau yang ada di tatar Pasundan. Keanekaragaman yang ada pada cau memunculkan nama-nama yang berbeda pada setiap jenis cau yang ada di wilayah Parahyangan. Darhaeni 2010, hlm. 57 mengatakan bahwa nama merupakan kata yang menjadi label bagi setiap makhluk, benda, aktivitas, dan peristiwa di dunia ini dan nama muncul dalam kehidupan manusia yang kompleks dan beragam. Sementara itu, penamaan merupakan simbolisasi dari adanya usaha manusia untuk mengenali dan memahami segala sesuatu yang kompleks dan beragam tersebut. Artinya, manusia mampu menguasai nama-nama tertentu yang merupakan simbol penguasaan manusia terhadap ranah pengetahuan tertentu. Seperti yang kita ketahui bahwa kemampuan masyarakat Sunda dalam menyebutkan beberapa macam cau mengisyaratkan bahwa orang Sunda mampu menguasai sesuatu yang beragam dan berbeda dengan penutur bahasa lain. Sebagai contoh, penutur bahasa Inggris hanya memiliki satu leksikon umum ‘banana’, sedangkan penutur bahasa Indonesia memiliki setidaknya beberapa leksikon pisang. Lebih khusus bagi etnis Sunda yang merupakan penutur bahasa Sunda yang memiliki lebih dari 30 leksikon ‘cau’ yang beberapa diantaranya belum dikenal dalam pembendaharaan kata dalam bahasa Indonesia. Misalnya saja dalam bahasa Sunda, jenis cau ‘ambon’ dikenal dengan beberapa jenis yang lebih spesifik lagi seperti cau ambon bodas, cau ambon lumut, cau ambon jepang, dan cau ambon konéng. Dalam leksikon pisang dalam Bahasa Indonesia dikenal ‘pisang ambon kuning’, ‘pisang ambon lumut’, dan ‘pisang ambon putih’. Selain itu, ada juga jenis pisang raja yang dalam bahasa Sunda dikenal dengan nama cau raja siem, cau raja ceré, dan cau raja bulu, sedangkan dalam bahasa Indonesia Gina Giftia Fadilah Nursani, 2015 KONSEP CAU DALAM MASYARAKAT SUNDA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 3 leksikon pisang raja hanya terbatas pada leksikon ‘pisang raja’ dan ‘pisang raja serai’. Di samping contoh-contoh yang disebutkan tadi, masih banyak jenis pisang yang dikenal oleh masyarakat Sunda. Hal tersebut membuktikan bahwa kebudayaan atau kehidupan orang Sunda sangat erat dengan entitas yang disebut cau. Kekayaan dalam penyebutan leksikon tentang cau oleh masyarakat Sunda setidaknya dapat menambah kekayaan kosakata dalam Bahasa Indonesia yang merupakan Negara di mana suku Sunda berada. Dalam konteks masa kini, penguasaan leksikon cau di kalangan orang Sunda mulai mengalami kemunduran seiring dengan adanya perubahan tata kelola alam di tatar Sunda. Hal tersebut diakibatkan kemajuan teknologi yang mau tidak mau telah menggeser pengetahuan tradisional bagi masyarakat Sunda. Akibatnya, kepedulian orang Sunda untuk melestarikan kekayaan leksikon tentang cau semakin pudar. Kebudayaan dan kekayaan masyarakat Sunda tentang pengetahuan leksikon cau juga terancam punah. Atas dasar itulah, upaya pelestarian perlu dilakukan. Salah satunya dengan menggali leksikon-leksikon tentang cau yang pada akhirnya dapat menguak nilai kearifan yang terkandung dalam leksikon- leksikon cau itu sendiri. Setelah nilai kearifan lokal terkuak menjadi sebuah konsep yang utuh dalam proses pembedahan leksikon tentang cau, langkah selanjutnya adalah mewariskan nilai kearifan lokal kepada generasi muda yang pada masa modern ini semakin tidak peduli terhadap kondisi budaya yang habis termakan zaman. Upaya pewarisan nilai-nilai kearifan lokal dilakukan agar kekayaan budaya di tanah Sunda tidak akan hilang begitu saja. Salah satu komunitas yang yang harus diselamatkan dari serangan pengaruh budaya luar adalah masyarakat Sunda di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Keberadaan leksikon tentang cau di masyarakat Sunda di Desa Gunung Masigit ini terhitung masih bisa dilestarikan. Namun, kekhawatiran punahnya kekayaan leksikon tentang cau di desa ini muncul karena generasi muda yang kurang peduli terhadap adanya bermacam leksikon tentang cau. Hal tersebut disebabkan kurangnya upaya pewarisan nilai-nilai kearifan lokal. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena akan mengikis perbendaharaan pengetahuan masyarakat Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Gina Giftia Fadilah Nursani, 2015 KONSEP CAU DALAM MASYARAKAT SUNDA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 4 Bandung Barat, tentang nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam konsep cau. Oleh sebab itu, kajian tentang konsep cau dalam masyarakat Sunda di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, dinilai relevan untuk dilakukan, terutama kajian dalam ranah Antropolinguistik. Sebenarnya banyak penelitian yang mengungkap nilai kearifan lokal yang telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti khususnya dalam penggalian leksikon. Misalnya saja penelitian mengenai nama-nama jajanan tradisional khas Sunda dengan pendekatan etnosemantik yang dikupas secara tajam oleh Patimah 2008. Dalam penelitian tersebut terungkap bentuk lingual, penamaan jajanan khas Sunda, makna nama jajanan khas Sunda, klasifikasi dan cerminan kebudayaan jajanan khas Sunda tersebut. Penelitian serupa dilakukan oleh Retno, dkk. 2011 yang mengkaji ragam jenis makanan tradisional di Kampung Naga. Dalam kedua penelitian tersebut digunakan etnosemantik sebagai alat bedah penelitian. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Patimah 2008 dan Retno, dkk. 2011 terlihat dari objek kajian yang berbeda. Walaupun pada penelitian tersebut terdapat beberapa leksikon makanan yang berasal dari olahan cau, dalam penelitian tersebut tidak mengerucutkan penelitian tentang leksikon cau itu sendiri. Sedangkan penelitian ini mengkhususkan penelitian mengenai leksikon tentang cau yang dikupas secara mendalam tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan leksikon cau. Selanjutnya, ada beberapa penelitian tentang leksikon yang pada akhirnya mencoba melihat sisi kearifan lokal ataupun cerminan gejala budayanya seperti yang dilakukan oleh Huda 2013 yang memaparkan sejumlah leksikon keramik Plered di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Dalam penelitiannya, Huda berhasil mengklasifikasikan 55 leksikon keramik Anjun di Desa Anjun menjadi beberapa klasifikasi kata dan kelas katanya. Sementara itu, Widiatmoko 2011 pernah meneliti leksikon kemaritiman di pantai Tanjung Pakis di Kabupaten Karawang. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan entnolinguistik. Dari penelitian tersebut dapat dilihat klasifikasi kultur pada leksikon kemaritiman, sistem pelapisan sosial, aktivitas kemaritiman, sistem peralatan dan perlengkapan, dan alam sekitar. Pada penelitian tersebut, akhirnya diungkap cerminan budaya nelayan Tanjung Pakis yang memiliki pengetahuan Gina Giftia Fadilah Nursani, 2015 KONSEP CAU DALAM MASYARAKAT SUNDA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 5 mengenai klimatologi, oseanografi, geografi, dan astronomi. Senada dengan penelitian tersebut, dalam penelitian ini pun pada akhirnya mengupas kearifan lokal. Namun, perbedaan yang mencolok antara penelitan ini dengan penelitian tersebut terletak pada objek kajian yang diteliti. Penelitian yang serupa mengenai sebuah konsep pernah dilakukan oleh Jaenudin, dkk. 2011 yang meneliti konsep padi yang ada di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya. Pendekatan yang sama antara penelitian ini dengan penelitian yang digunakan oleh Jaenudin adalah pendekatan antropolinguistik. Sisi yang berbeda antara penelitian ini dengan penelitian tersebut terletak pada objek kajian. Dalam penelitian tersebut, Jaenudin, dkk. tidak menyinggung leksikon tentang cau dengan segala konsep yang menyertainya. Selain itu, Hidayatullah dan Fasya 2012 meneliti konsep nasi di Kabupaten Tasikmalaya dengan menggunakan pendekatan antropolinguistik. Dalam penelitian tersebut, leksikon konsep nasi diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu alat dan bahan. Dalam penelitian tersebut dipaparkan beberapa leksikon konsep nasi yang terbagi atas kata dan kelas kata. Hidayatullah dan Fasya 2012 berhasil mengungkap cerminan gejala budaya berdasarkan leksikon konsep nasi. Dalam penelitian ini pun, sama sekali tidak membahas konsep cau. Oleh karena itu, objek kajian yang berbeda tersebut telah berhasil mendorong peneliti melakukan penelitian yang serupa dengan objek yang belum diteliti sebelumnya. Berdasarkan hasil penelusuran penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan di atas, terlihat jelas bahwa kajian mengenai konsep cau belum pernah dilakukan. Padahal masyarakat Sunda sangat dekat dengan entitas yang disebut cau dalam kehidupan masyarakatnya. Sampai saat ini pun belum ada yang meneliti secara mendalam dan terfokus pada konsep cau dalam masyarakat Sunda. Atas dasar itu, penelitian ini memiliki kedudukan yang penting sebagai upaya mengeksplorasi kekhasan budaya orang Sunda yang tercermin dalam bahasanya. Kajian seperti ini tidak hanya dilakukan secara terbatas di dalam konteks linguistik semata, tetapi juga dilakukan dalam konteks sosial budaya yang lebih luas sehingga mampu menjangkau fungsinya dalam menopang praktik kebudayaan Foley, 2001. Berdasarkan beberapa hal yang dipaparkan di atas, Gina Giftia Fadilah Nursani, 2015 KONSEP CAU DALAM MASYARAKAT SUNDA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 6 jelas sudah bahwa penelitian mengenai konsep cau dalam masyarakat Sunda di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, penting dilakukan. Selain itu, kajian mengenai leksikon-leksikon cau ini setidaknya dapat menambah pembendaharaan kata dalam penamaan leksikon pisang dalam Bahasa Indonesia.

B. Masalah