Makna Hijab di Kalangan Mahasiswi Muslim di Kota Bandung (Studi Fenomenologi Mengenai Makna Hijab Di Kalangan Mahasiswi Muslim Di Kota Bandung)

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Menempuh Program Strata Satu Pada Program Studi Ilmu Komunikasi

Konsentrasi Jurnalistik

Oleh, Yudha Maulana

NIM. 41808852

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(2)

(3)

(4)

Lembar Persembahan

LEMBAR PENGESAHAN... i

LEMBAR PERNYATAAN... ii

ABSTRAK... iii

ABSTRACT... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 11

1.2.1 Rumusan Masalah Makro... 11

1.2.2 Rumusan Masalah Mikro... 11

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 11

1.3.1 Maksud Penelitian... 11

1.3.2 Tujuan Penelitian... 12

1.4 Kegunaan Penelitian... 12


(5)

2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu Yang Sejenis... 15

2.2 Tinjauan Pustaka... 19

2.2.1 Tinjauan Komunikasi... 19

2.2.1.1 Definisi Ilmu Komunikasi... 19

2.2.1.2 Unsur – Unsur Ilmu Komunikasi... 21

2.2.1.3 Tujuan Komunikasi... 22

2.2.1.4 Konteks Komunikasi ... 22

2.2.1.5 Konseptualisasi Komunikasi... 23

2.2.1.6 Prinsip Komunikasi... 24

2.2.2 Tinjauan Komunikasi Antar Pribadi... 25

2.2.2.1 Faktor – Faktor Yang Memengaruhi Komunikasi Antar Pribadi... 26

2.2.2.2 Jenis – Jenis Komunikasi Antar Pribadi ... 27

2.2.3 Tinjauan Mengenai Komunikasi Artifaktual... 28

2.2.4 Tinjauan Mengenai Simbol... 29

2.2.5 Tinjauan Mengenai Mahsiswa... 30

2.2.6 Tinjauan Mengenai Muslim... 31

2.2.7 Tinjauan Mengenai Baligh... 32

2.2.8 Tinjauan Mengenai Makna... 34


(6)

2.3.1 Kerangka Teoritis... 37

2.3.2 Kerangka Konseptual... 52

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian... 55

3.1.1 Tinjauan Mengenai Hijab... 55

3.1.2 Fungsi Pakaian Menurut Al –Quran... 57

3.1.3 Uraian Al – Quran Mengenai Pakaian... 59

3.1.4 Batas – Batas Aurat Bagi Muslimah... 61

3.1.5 Macam – Macam Hijab Pakaian... 65

3.2 Metode Penelitian ... 69

3.2.1 Desain Penelitian... 69

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data... 71

3.2.2.1 Studi Pustaka ... 71

3.2.2.2 Studi Lapangan... 73

3.2.2.2.1 Observasi... 73

3.2.2.2.2 Wawancara Mendalam... 75

3.2.2.2.3 Dokumentasi... 76

3.2.3 Teknik Penentuan Informan... 76

3.2.3.1 Informan Pendukung... 78


(7)

3.2.6.2 Waktu Penelitian... 84

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Jadwal Penelitian ... 88

4.2 Deskripsi Informan dan Informan Pendukung ... 90

4.2.1 Deskripsi Informan... 90

4.2.2 Deskripsi Informan Pendukung... 100

4.3 Analisis Hasil Observasi ... 103

4.4 Analisis Deskripsi Hasil Penelitian ... 104

4.4.1 Internalisasi Makna Hijab di Kalangan Mahasiswi di Kota Bandung... 105

4.4.2 Eksternalisasi Makna Hijab di Kalangan Mahasiswi di Kota Bandung... 119

4.4.3 Realitas Subyektif Makna Hijab di Kalangan Mahasiswi di Kota Bandung... 135

4.5 Pembahasan Hasil Penelitian ... 148

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 160

5.2 Saran ... 161

DAFTAR PUSTAKA ... 164

LAMPIRAN–LAMPIRAN... 169


(8)

TABEL 2.1 Rekapitulasi Penelitian Terdahulu yang Sejenis ... 18

TABEL 3.1 Tabel Informan... 78

TABEL 3.2 Tabel Informan Pendukung... 79

TABEL 3.3 Jadwal Penelitian... ... 85

TABEL 4.1 Tabel Wawancara Dengan Informan... 88


(9)

Gambar 1.1 Gambaran Penggunaan Jilbab Wanita Muslimah... 6

Gambar 2.1 Alur Pikir Konseptual Penelitian... 54

Gambar 3.1 Jilbab atau Khimar... 65

Gambar 3.2 Niqab... 66

Gambar 3.3 Chadar ... 67

Gambar 3.4 Burqa... 68

Gambar 3.5 Model Interaktif... 79

Gambar 4.1 Informan Penelitian (Angetri)... 90

Gambar 4.2 Informan Penelitian (Rina)... 92

Gambar 4.3 Informan Penelitian (Eva)... 94

Gambar 4.4 Informan Penelitian (Sri)... 96

Gambar 4.5 Informan Penelitian (Elly)... 98

Gambar 4.6 Informan Pendukung (Wa Eti)... 100

Gambar 4.7 Informan Pendukung (Pak Yadi)... 101

Gambar 4.8 Informan Pendukung (Petri)... 102

Gambar 4.9 Model Alur Internalisasi Mahasiswi Muslim Bandung... 118

Gambar 4.10 Gaya Berpakaian Angetri... 120

Gambar 4.11 Gaya Berpakaian Eva... 121

Gambar 4.12 Gaya Berpakaian Rina... 122


(10)

Gambar L.1 Observasi di rumah informan (sdri. Angetri) ... 225 Gambar L.2 Bersama dengan informan 2 (sdri. Rina) ... 225

Gambar L.3 Wawancara dengan informan 3 (sdri Eva) didampingi kakak

seniornya (sdri. Linda)... 226 Gambar L.4 Wawancara dengan informan 4 (Sri)... 226

Gambar L.5 Wawancara dan Observasi dengan informan 5 (sdri. Elly)... 227

Gambar L.6 Wawancara dengan informan pendukung 1 (Wa Eti/Ustadzah)... 227

Gambar L.7 Seusai wawancara dengan informan pendukung 2

(Pak Yadi)... 228


(11)

Lampiran 1 Surat Persetujuan Menjadi Pembimbing Skripsi... 168

Lampiran 2 Berita Acara Bimbingan... 169

Lampiran 3 Surat Rekomendasi Pembimbing untuk Seminar UP... 170

Lampiran 4 Surat Pengajuan Seminar UP... 171

Lampiran 5 Lembar Revisi... 172

Lampiran 6 Surat Rekomendasi Pembimbing untuk Sidang Sarjana... 173

Lampiran 7 SuratPengajuan Ujian Sidang Sarjana... 174

Lampiran 8 Pedoman Observasi... 175

Lampiran 9 Hasil Observasi... 176

Lampiran 10 Transkrip Hasil Wawancara Informan... 191

Lampiran 11 Transkrip Wawancara Informan Pendukung... 216

Lampiran 12 Dokumentasi... 225

Lampiran 13 Data Informan... 229


(12)

Assalamualaikum wr. wb.

Puji dan syukur penelit panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan karunia-Nya, peneliti diberikan kekuatan, dan perlindungan yang tiada hentinya serta kemudahan selama penyusunan skripsi ini.

Tak lupa salam yang terkasih diucapkan kepada Orang Tua Peneliti, mamah Eni Widaeni dan abah Wahyu Rahmat yang selalu sabar mendidik peneliti baik dikala suka maupun duka tak pernah bosan memberikan peneliti dorongan kekuatan dan moral serta materi dalam setiap kegiatan yang peneliti lakukan, mamah, abah janteun pandorong abdi anu paling utami. Allahumaghfirll waliwalidaya war’ ham huma’ kama robbayani shogira.

Judul penelitian yang peneliti tulis adalah “Makna Hijab di Kalangan

Mahasiswa Muslim di Kota Bandung” dengan sub judul “Studi Fenomenologi

Mengenai Makna Hijab di Kalangan Mahasiswa Muslim di Kota Bandung”, tentu tak ada daya dan upaya, selain pertolongan dari Allah SWT dengan melalui jalur sunnah nya peneliti mengucapkan rasa terima kasih yang teramat dalam kepada :

1. Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto selaku rektor dari Universitas Komputer Indonesia, karena tanpa perjuangan beliau dahulu membangun kampus


(13)

Universitas Komputer Indonesia Bandung yang telah membantu secara administratif peneliti dalam melaksanakan penelitian ini dan keramahannya saat peneliti masih bertugas di HIMA IK dahulu.

3. Yth. Drs. Manap Solihat, M. Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom Bandung yang membantu segala pemenuhan kebutuhan akademis peneliti walau memiliki waktu yang padat juga sebagai dosen wali yang dapat dipercaya ketika peneliti menemukan kesulitan di bidang akademik .

4. Yth. Melly Maulin P., S. Sos., M. Si sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu

Komunikasi Unikom Bandung yang walau disela – sela kesibukannya masih

bisa melayani kebutuhan peneliti dengan tersenyum manis dan juga banyak memberi masukan yang membangun selaku ketua sidang peneliti.

5. Yth. Desayu Eka Surya, S.Sos., M.Si selaku pembimbing penelitian dengan ketulusannya menjelma menjadi sosok “Bunda” yang tak pernah lelah membimbing anak bimbingannya dengan sabar, tulus dan ikhlas, meski dengan jadwal terbang yang padat. Subhanallah bunda super sekali!

6. Yth. Dosen di lingkungan Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom Bandung. Terutama pak Ari dan pak Yadi yang membantu peneliti dalam


(14)

mata kuliah entrepreneur dan Bu Tine ( ibu cantik) yang mengajarkan cara

membuat slide ppt yang menarik dan pak Andi Nurul Huda atas kritikannya

yang membangun sehingga peneliti bisa belajar lebih banyak di dunia fotografi.

7. Yth. Olih Solihin, S.Sos., M.Si selaku penelaah sidang yang juga memberikan masukan yang membangun kepada peneliti baik dalam penelitian ini maupun pada hal-hal di luar penelitian.

8. Yth. Astri Ikawati Amd. Kom. Selaku sekretariat jurusan yang telah banyak membantu dalam hal kelancaran administratif terkait studi peneliti di kampus yang peneliti banggakan ini. Hatur nuhun teh Astri.

9. Ucapan terima kasih kepada para informan penelitian (Angetri, Rina, Sri,

Elly, dan Eva) dan informan pendukung ( UstadzahWa” Eti dan Yadi Supirayadi S.Sos. M.Phil ) karena tanpa mereka penelitian ini mustahil untuk dirampungkan

10.Rinjani Saraswati Putri, yang telah memberikan dukungan moral dan semangatnya kepada peneliti dan telah menjadi teman setia mendengarkan segala keluh kesah peneliti di dalam pengerjaan penelitian ini.

11.Kawan – kawan syang menempuh keilmuan konsentrasi Jurnalistik di


(15)

bisa peneliti sebutkan satu persatu mari kita berjuang untuk wisuda bersama.

12.Kawan – kawan satu bimbingan Andy “boril” Khairil, Galih “ateu”

Luginawati, Belia, Tossa, Entry, Ocha, Zufli, Andra, Ajeng, Icut dan Ricky terima kasih atas sharing bimbingannya terutama kepada Galih yang selalu memberikan informasi bimbingan dan kepada Andy yang telah membantu pencetakan skripsi ini.

13.Kawan saat konversi jurusan Rio Eka dan Ega Perdana yang sama-sama

berjuang di ranah keilmuan komunikasi.

Akhir kata semoga skirpsi ini bisa diterima dengan sebaik – baiknya, untuk

kesempurnaan skirpsi ini, kritik dan saran yang membangun senantiasa peneliti nantikan, terima kasih

Bandung, Juli 2013 Peneliti,

Yudha Maulana NIM. 41808852


(16)

Alwasilah, Chaedar. 2003. Pokoknya Kualitatif : Dasar – Dasar Merancang Dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta : Pustaka Jaya

Bungin, 2003. Analisa Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

______.2007. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Media Grup

Creswell, J. W. 2002. Research Qualitative & Quantitative Approaches (Desain Penelitian Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif ). Jakarta: KIK Press.

Cyril Glasse. 1999. ENSIKLOPEDIA ISLAM Diterjemahkan : Ghufron A. .

Jakarta :Raja Grafindo Persada

Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi : Konsepsi, Pedoman Dan Contoh

Penelitian. Bandung : Penerbit Widya Padjajaran

Liliweri, Alo.1991. Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:

Remaja Rosdakarya

Morrisan. 2013. TEORI KOMUNIKASI : Individu Hingga Massa. Jakarta :

Penerbit Kencana Prenada Media Gorup

Mulyana, Deddy. 2001. ILMU KOMUNIKASI : SUATU PENGANTAR.

BANDUNG : Penerbit Remaja Rosdakarya

_____________. 2010. Metode Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : Penerbit Remaja Rosdakarya


(17)

Muthahhari , Murtdha. 1407 H. CADAR TUHAN : Duduk Perkara Hijab Perempuan. Diterjemahkan oleh Ja’far Shadiq & Nashib Mustafa. Jakarta : Penerbit Citra

Nalia, Rifika & Iryani, Nurilla. 2012. Art Of Hijab. Jakarta : Kriya Pustaka Uchana, Onong. 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi.Bandung : Citra

Aditya Bakti

Poloma, Margaret. 1971. SOSIOLOGI KONTEMPORER. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah, YASOGAMA. Jakarta : RajaGrafindo Persada

Salim, Agus. 2001. Teori & Paradigma Penelitian Sosial Edisi Kedua.

Yogyakarta :Penerbit Tiara Wacana

Sativa, Eva. 2011. Gaya & Kaya Dari Busana Muslim. Yogyakarta : Penerbit Andi

Shihab, Quraish. 2004. Jilbab : Pakaian Wanita Muslimah. Tangerang :

Lentera Hati

Sugiyono. 2005. Model Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

_______, 2011. Metode Penelitian KOMBINASI (Mixed Methods). Bandung : Alfabeta

Suprayogo, Imam & Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama.

Bandung: Remaja Rosdakarya

2. PENELITIAN TERDAHULU

Agus Aprianti. 2009. Pemaknaan Virginitas di Kalangan Remaja Perempuan. FIKOM UNISBA

Rani Rosmadewi. 2012. Konstruksi Makna Roti Buaya Dalam Adat Istiadat Masyarakat Betawi. FISIP UNIKOM

Nur Azizah. 2012. Presentasi diri Anggota Komunitas Hijabers. FISIP


(18)

Yogi Septiandi. 2012. Pergeseran Makna Fashion Mohawk Dalam Komunitas Punk di Kota Bandung. FISIP UNIKOM

3. DATA PENELUSURAN

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,40361-lang,id-c,syariah-t,Tiga+Tanda+Baligh-.phpx (diakses pada 23 April 2013. 3 : 56)

http://aljawad.tripod.com/arsipbuletin/masalah_hijab.htm http://arabsinamerica.unc.edu/identity/veiling/hijab/

http://arabsinamerica.unc.edu/identity/veiling/history-of-the-hijab/

http://civicdilemmas.facinghistory.org/content/brief-history-veil-islam (diakses pada 18 April 2013 : 12 : 13)

http://id.shvoong.com/books/dictionary/1967914-fenomenologi-metode-penelitian-kualitatif/

http://islampos.com/dampak-911-muslim-wales-selalu-sembunyikan-diri-15915/ diakses pada 30/3/2013 : 9 : 44

http://kuliahsosiologi.blogspot.com/2011/05/masyarakat-sebagai-realitas-objektif.html (diakses 26 April 2013 : 5 :49)

http://library.binus.ac.id/eColls/eThesis/Bab2/2011-2-00013-PL%202.pdf (diakses pada 23 April 201 3 03 : 47)

http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/19/jtptiain-gdl-s1-2006-fasripah31-939-Bab3_310-4.pdf (diakses pada 22 April 2013 : 10 :18)

http://organisasi.org/fungsi-manfaat-menutup-aurat-secara-sempurna-bagi-perempuan-wanita-dan-laki-laki-pria

http://quran.com/24/31 http://quran.com/7/26


(19)

http://quran-terjemah.org/al-ahzab/page-8.html#Al-Ahzab

http://www.acrwebsite.org/search/view-conference-proceedings.aspx?Id=9700 / 30 / 3 / 2013 13.02

http://www.al-islam.org/hijab/6.htm#_ednref14 (diakses pada 22 April 2013 : 1 : 09)

http://www.alqaul.com/2011/10/20/perintah-berhijab-memakai-jilbab/ (diakses pada 20 April : 17:30)

http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/044.htm ( diakses pada 20 April 2013 : 19.09)

http://www.hijabscorner.com/2012/05/pengertian-hijab-hijab-dalam-islam.html (diakses pada 22 April 2013. 7 : 41)

http://www.jannah.itgo.com/tanya-jawab/edisi_3.htm (diakese pada 22 April 2013 20 : 34)

http://www.scribd.com/doc/17233077/Teori-Interaksi-Simbolik

http://www.tabloidbintang.com/gaya-hidup/hobi/56493-hijabers-community-bermula-dari-acara-buka-puasa-di-mal.html / diakses pada 29/3/2013 : 15 :23 http://www.thefreelibrary.com/Hijab,+Meaning,+Identity,+Otherization+and+ Politics%3A+British+Muslim...-a0229721218 (diakses pada 6 April 2013. 11.27)

jurnal.uajy.ac.id/jik/.../JIK-Vo2-No1-2005_6.pdf


(20)

Murthadha Mutthari seorang filsuf kontemporer dari Iran mengatakan bahwa agama Islam selain agama yang penuh kasih, tidak ada sebuah perbuatan yang tak terperhatikan.Islam memberikan perhatian besar terhadap kesucian dan kepentingan (yang sesuai dengan syariat) Begitu pula masalah cara berpakaian umatnya. Perlu diperhatikan, hijab / pembatas sudah ada pada agama-agama sebelum Islam, jadi hijab bukan inovasi agama terakhir ini. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Quraish Shihab (2004).

Hijab pakaian atau jilbab sudah bukan komoditas asing lagi bagi masyarakat Indonesia karena peminatnya tidak hanya orang tua, tetapi juga remaja tak terkecuali mahasiswi muslim yang jumlah pemakainya kian hari kian bertambah.

Bahkan terdapat komunitas yang mempromosikan pemakaian hijab gaul atau hijab fashion, fenomena munculnya hijab ini muncul di awal tahun 2000-an yang diakibatkan oleh peran pers yang kebablasan (Abu Al-Ghifari, 2002).

Harian Jawa Pos pada tanggal 14 – 15 November 2002 melaporkan

tentang pemakaian jilbab dikalangan mahasiswi Univesitas Muhammadiyah (UMM), bertepatan dengan diwajibkannya jilbab di kampus tersebut pada bulan


(21)

Ramadhan. Sebelum memasuki kampus banyak mahasiswi memakai kaos ketat

dari celana panjang medy (di bawah lutut) tetapi sesampainya di lingkungan

kampus mereka memakai jilbab yang ditarik ke belakang sehingga terlihat jelas bentuk dan lekuk lekuk tubuh mereka. Tabloid Bestari No. 172 /Tahun XV/November/2002 menulis bahwa para mahasiswi baru memakai jilbab sekitar

seratus meter dari lingkungan kampus sehingga disebut sebagai Jilbab Seratus

Meter (JISMET).1

Bila kita perhatikan hal tersebut sebenarnya sangat ironis dibandingkan dengan era sebelum tahun 2000-an, wanita yang memakai hijab berupa jilbab dianggap tertutup, sebagian masyarakat sudah memberikan stigma bahwa pada umumnya wanita yang mengenakan jilbab pasti tidak ingin bergaul terbuka pada umumnya wanita biasa. Bahkan, untuk beberapa kasus di beberapa sekolah, siswi yang berhijab, harus melepaskan jilbabnya untuk pengambilan foto karena ada peraturan sekolah untuk mengambil foto tanpa mengenakan jilbab, karena dianggap melakukan penipuan. Saat itu perempuan berjilbab dianggap sebagai momok tersendiri (Ridho, 2009).

Stigmatisasi tersebut diperuncing dengan munculnya wabah Islamphobia dan kecurigaan masyarakat global terhadap pemakai hijab semakin menjadi-jadi

pasca runtuhnya gedung World Trade Center (WTC) 9 September 2001 atau

yang terkenal disebut dengan peristiwa 9/11. Pada tataran simbolis, pemakai

1


(22)

hijab berupa jilbab atau cadar seringkali dikaitkan dengan organisasi teroris, fundemantalis dan radikal sehingga mereka harus menyembunyikan dan mengucilkan diri mereka sendiri dari masyarakat (islampos.com).

Saied R. Amelu dan Arzu Mezali (2006), di dalam bukunya Hijab,

Meaning, Identity, Otherization and Politics: British Muslim Women, mendefinisikan hijab sebagai "any type of head-covering of Muslim women worn

for religious reasons” 2

atau setiap jenis penutup kepala yang digunakan oleh wanita muslim yang digunakan untuk alasan keagamaan.

Walaupun agama islam berkembang di Arab, tetapi memakai pakaian tertutup bukanlah monopoli masyarakat Arab, dan bukan pula berasal dari budaya mereka, bahkan menurut ulama dan filosof besar Iran Kontemporer,

Murthadha Muthahari menulis bahwa, “Pakaian tertutup muncul di bumi ini jauh

sebelum datangnya Islam. Di India dan Iran lebih keras tuntutannya daripada yang diajarkan Islam.”.(Quraish Shihab. 2004, hal 40)

Pakar lain menambahkan bahwa orang – orang Arab meniru orang Persia

yang mengikuti agama Zardasyt dan menilai bahwa wanita merupakan makhluk yang tidak suci, sehingga mereka harus menutup hidung dan mulut mereka agar tidak mengotori api suci yang merupakan sesembahan dari agama Persia lama (Shihab. 2004).

2

http://www.thefreelibrary.com/Hijab,+Meaning,+Identity,+Otherization+and+Politics%3A+British+ Muslim...-a0229721218 (diakses pada 6 April 2013. 11.27)


(23)

Pembicaraan tentang hijab (penutup) seorang perempuan dihadapan laki – laki yang bukan muhrimnya merupakan isu yang sangat penting di dalam Islam, sebagaimana yang tercantum di dalam Q.S Nur [24] ayat 31.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera mereka, atau putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera-putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap

wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…”

Islam mensyariatkan kepada seluruh umatnya terutama muslimah untuk

menutup auratnya, baik mengenakan jilbab, cadar, niqab, maupun, burqa

sebagaimana firman Allah SWT di dalam Q.S. Al- Ahzab ayat ke 59.

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu

dan isteri-isteri orang mu‟min:”Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya

ke seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih

mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah

adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”

Adapun dalil – dalil yang mendukung penggunaan hijab yang berasal dari

Hadits Riwayat Muslim, Ahmad dan Imam Malik :

“Rasulullah SAW bersabda: Ada dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya: Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengan cambuknya, dan wanita yang kasiyat (berpakain tapi telanjang baik karena tipis, atau pendek yang tidak menutup semua auratnya), Mailat mumilat (bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang) kepala mereka seperti punuk onta yang


(24)

berpunuk dua. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya padahal bau surga itu akan didapati dari sekian dan sekian (perjalanan 500 th)”3

Hadis diatas menggambarkan bahwa wanita yang tak mengenakan hijab untuk menutup auratnya tak akan pernah mencium bau surga.

Hijab pakaian selain untuk menunjukam refleksi pengabdian diri kepada Allah SWT, juga memiliki beragam manfaat lainnya, salah satunya adalah untuk menjaga harga diri perempuan saat berinteraksi dengan lawan jenis seperti yang

diturunkan oleh Allah SWT dalam Q.S. Al Ahzab ayat 59 “ . . . Yang demikian

itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”

Perlu diketahui sebelum turunnya ayat tersebut, gaya berpakaian antara

wanita muslim yang merdeka dan budak – budak , baik yang baik – baik maupun

yang kurang sopan hampir dikatakan sama, karena itu banyak lelaki usil yang seringkali mengganggu, terlebih lagi kepada wanita yang mereka anggap hamba sahaya, oleh karena itu dengan turunnya surat Al Ahzab ayat 59 yang ditafsirkan agar wanita muslim lebih mudah untuk dikenal, terhormat, merdeka dan tidak diganggu (Quraish Shihab, 2004)

3


(25)

Gambar 1.1

Gambaran Penggunaan Jilbab Wanita Muslimah

Sumber : alqaul.com4

Sumber lainnya menyatakan bahwa, manfaat dari penggunaan hijab tidak hanya terbatas pada agar wanita muslim mudah dikenal, sebagaimana kita ketahui sebelumnya, manfaat hijab yang lain diantaranya :

1. Hijab protects women from such (a slave of desire and lust noticed or not) men; it symbolizes that she has been sanctified to one man only and is off-limit to all others.

2. Hijab contributes to the stability and preservation of marriage and family by eliminating the chances of extramarital affairs.

3. Finally, it compels men to focus on the real personality of the woman and de-emphasizes her physical beauty. It puts the woman in control of strangers’ reaction to her.

1. Hijab melindungi wanita dari laki – laki (budak nafsu disadari atau tidak),

hijab mensimbolisasikan bahwa ia telah setia kepada satu orang dan terbatas kepada yang lainnya.

2. Hijab berkontribusi kepada stabilitas dan keamanan pernikahan dan keluarga dengan melenyapkan kesempatan untuk hubungan di luar penikahan.

4


(26)

3. Terakhir, mendorong laki – laki untuk fokus melihat kepada kepribadian

dari wanita disamping melihat fisik semata)5

Selain itu wanita muslim yang sudah baligh, dilarang untuk bercampur

dengan lawan jenisnya yang belum mahram seperti tanpa hijab, Allah berfirman

dalam Al – Quran Q.S Nur [24] ayat 31 selain itu wanit juga dilarang untuk

mengenakan riasan yang membuatnya seperti orang jahilyah sebagaimana yang

tercantum di dalam surat Al-Ahzab ayat 33.

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan

(bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu”

Walaupun syariat penggunaan hijab dalam Al-Quran dan hadits pendukungnya sudah jelas seperti yang diuraikan sebelumnya, tetapi masih ada sebagian kalangan muslim khususnya muslimah yang belum bisa memenuhi aturan penggunaan hijab tersebut padahal penggunaan hijab diwajibkan pada

wanita yang sudah baligh atau sudah haid yang dikenai oleh hukum syar‟a.

Pada studi pendahuluan dan observasi yang dilakukan pada pra-penelitian, di beberapa universitas di kota Bandung peneliti menemukan beberapa variasi dari penggunaan hijab oleh mahasiswi, salah satu poin yang peneliti amati adalah tata cara berpakaian mahasiswi muslim, dan cara mereka berperilaku dengan lawan jenis mereka. Ada beberapa mahasiswi yang mengenakan kerudung namun masih menampakan lekukan tubuhnya terutama

5


(27)

lekukan bagian dada yang terlihat jelas, ada yang mengenakan kerudung menjulur menutupi dada dan mengenakan baju gombrang sehingga tertutup seluruh lekukan tubuhnya, dan adapula mahasiswi yang mengenakan pakaian hijab model hijabers yang sekarang tengah populer, uniknya peneliti menemukan mahasiswi yang mengenakan kerudung saat berada di kampus, tetapi menampilkan “profile picture” pada media sosial tanpa mengenakan kerudung dan menguraikan rambutnya tanpa ada sedikitpun penutup.

Tidak terbatas pada pakaian yang dikenakan mahasiswi tersebut yang peneliti amati pada pra-penelitian, tetapi juga cara – cara mereka berinteraksi dengan sesama maupun terhadap lawan jenis mereka. Pada beberapa kesempatan peneliti menemukan beberapa variasi interaksi yang dilakukan oleh mahasiswi di kota Bandung. Terdapat mahasiswi muslim yang cenderung menundukan pandangannya pada saat berhadapan dengan lawan jenisnya, menolak bersentuhan langsung pada saat memberi salam, dan memiliki orientasi untuk berkelompok dengan mahasiswi muslim lainnya yang relatif homogen (sama) menurut pandangan peneliti, homogen disini dalam arti jenis kelamin yang sama, cara berpakaian, dan perilaku yang mirip yang teramati pada pra-penelitian. Di sisi lain peneliti menemukan mahasiswi muslim yang menyentuhkan tangannya pada saat memberi salam kepada lawan jenisnya, tak ada kecenderungan untuk menundukan pandangan, dan memiliki kelompok (reference group) yang heterogen, dalam artian ia berada dalam kelompok yang terdiri dari jenis kelamin


(28)

yang berbeda-beda, cara berpakaian yang berbeda-beda, dan perilaku yang

berbeda-beda dalam pengamatan pra – penelitian peneliti dalam mencari makna

hijab bagi kalangan mahasiswi di kota Bandung.

Usia mahasiswi yang peneliti teliti sudah barang tentu dikenai hukum

syara’ atau sudah aqil baligh dan bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri,

sebagaimana Papalia, dkk (2007) menyatakan

“Usia ini (18 -21) berada dalam tahap perkembangan dari remaja atau

adolescence menuju dewasa muda atau young adulthood. Pada usia ini, perkembangan individu ditandai dengan pencarian identitas diri, adanya pengaruh dari lingkungan, serta sudah mulai membuat keputusan terhadap pemilihan pekerjaan dan karirnya.”6

Sedangkan menurut Nadhatul Ulama baligh adalah

“Baligh dapat dimaknai sebagai sebuah masa dimana seorang mulai

dibebani (ditaklif) dengan beberapa hukum syara’. Oleh karena tuntutan

hukum itulah orang tersebut dinamakan mukallaf. Sebenarnya tidak

semua baligh disebut mukallaf, karena ada sebagian baligh yang tidak

dapat dibebani hukum syara‟ seperti orang gila. Disinilah kemudian muncul istilah aqil baligh yaitu orang yang telah mencapai kondisi baligh dan berakal sehat (mampu membedakan antara yang baik dan yang

buruk, antara yang benar dan yang salah).”7

Peneliti tertarik untuk meneliti makna hijab dalam konteks realitas sosial yang dimiliki oleh mahasiswi muslim di kota Bandung, karena peneliti melihat

terdapatnya perbedaan perilaku dan penilaian (makna) walau sama – sama

dinaungi oleh label “muslim”, pernyataan penulis ini berangkat dari pemikiran Margaret Poloma bahwa :

6

thesis.binus.ac.id/doc/Bab1/2012-1-00440-PS%20Bab1001.pdf

7


(29)

“Tidak ada yang inheren dalam objek sehingga menyediakan makna bagi manusia . . . makna tergantung referensi dan penilaian / perilaku orang lain” (Margaret, 1979 : 259)

Dari penyataan Margaret tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa di dalam suatu objek tidak pernah ada makna yang melekat, begitupun dengan

hijab yang menjadi objek, walaupun terdapat ketetapan yang ajeg dari sumber

Al –Quran dan Hadist.

Mahasiswi (walaupun dia muslim) tetap saja bebas memberikan penilaiannya terhadap hijab, tentunya penilaian tersebut juga dibentuk oleh internalisasi nilai yang biasanya diberikan oleh orang tua atau pengganti orang tua, pada tahapan ini proses sosialisasi mengenai realitas obyektif terjadi. Kemudian nilai-nilai itu di-eksternalisasikan kembali dan dilakukan secara

interaktif di dalam masyarakat sehingga terciptalah kenyataan subyektif (stock

knowledge) yang mereka miliki, sebagaimana yang kita ketahui objek (simbol) tidak menciptakan makna secara mandiri tetapi makna diciptakan oleh individu (Margaret, 1979 : 258) dalam penelitian ini makna hijab diciptakan dan diterjemahkan oleh mahasiswi muslim di Kota Bandung.


(30)

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Rumusan Masalah Penelitian Makro

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan sebelumnya peneliti merumuskan permasalahan yaitu “Bagaimana Makna Hijab di Kalangan Mahasiswi Muslim di Kota Bandung ?”.

1.2.2 Rumusan Masalah Mikro

1. Bagaimana internalisasi dari mahasiswi muslim di kota Bandung

mengenai makna hijab ?

2. Bagaimana eksternalisasi dari mahasiswi muslim di kota Bandung

mengenai makna hijab ?

3. Bagaimana realitas subyektif dari mahasiswi muslim di kota Bandung

mengenai makna hijab ?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara mendalam bagaimana makna hijab di kalangan mahasiswi muslim di kota Bandung.


(31)

1.3.2 Tujuan Penelitian

1.Untuk mengetahui internalisasi dari mahasiswi muslim di kota Bandung

mengenai makna hijab.

2. Untuk mengetahui eksternalisasi dari mahasiswi muslim di kota

Bandung mengenai makna hijab.

3. Untuk mengetahui realitas subyektif dari mahasiswi muslim di kota

Bandung mengenai makna hijab.

1.4 Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan uraian di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik dalam ranah teoritis maupun praktis.

1.4.1 Kegunaan Penelitian Teoritis

Secara teoritis peneliti penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengembangan dari studi komunikasi pada umumnya dan khususnya mengenai kajian fenomenologi dan interaksi simbolik pada khususnya terutama mengenai konsep pemaknaan.


(32)

1.4.2 Kegunaan Penelitian Praktis

1. Kegunaan Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan wadah penerapan ilmu yang peneliti peroleh selama studi di universitas, khususnya mengenai makna

hijab serta dapat menjadi titik tolak penelitian – penelitian selanjutnya

oleh peneliti.

2. Kegunaan Bagi Universitas

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya keilmuan terutama di program studi ilmu komunikasi konsentrasi jurnalistik Unikom, dan diharapkan pula menjadi bahan referensi untuk melanjutkan penelitian sejenis di dalam kajian pemaknaan makna (hijab).

3. Kegunaan Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan masyarakat untuk dapat mengenal lebih dekat mengenai makna hijab, sehingga peneliti juga mengharapkan adanya penelitian yang lebih kompeherensif mengenai pemaknaan (hijab).


(33)

4. Kegunaan Bagi Umat Muslim

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama dalam hal penegakan syariah Islam khususnya perkara hijab secara menyeluruh.

5. Kegunaan Bagi Mahasiswi Muslim

Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi sebuah cerminan

mengenai realitas penggunaan hijab diantara mahasiswi di kota Bandung.


(34)

2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu Yang Sejenis

1. Agus Aprianti. 2009. Pemaknaan Virginitas di Kalangan Remaja Perempuan

Studi kualitatif terhadap remaja akhir usia 19 – 22 tahun yang

menyangkut realitas pemaknaan virginitas pra nikah dengan menggunakan fenomenologi disusun oleh Agus Aprianti (NPM : 110080005138) mahasiswa ilmu komunikasi bidang kajian jurnalistik FIKOM UNISBA.

Penelitian dilakukan kepada informan yang merupakan pelaku seks bebas dengan informan yang bukan pelaku seks bebas sebagai bahan

perbandingan atas pemaknaan virginitas dan nilai – nilai yang tertanam dalam

diri. Hasil penelitian menunjukan bahwa ditemukan pada hakekatnya bahwa virginitas itu penting, namun faktor dan motif yang melatrbelakangi makna virginitas yang bernilai ekonomis dan landasan

2. Yogi Septiandi. 2012. Pergeseran Makna Fashion Mohawk Dalam Komunitas Punk di Kota Bandung

Penelitian mengenai pergeseran makna fashion Mohawk ditulis oleh Yogi Septiadi Gumilar mahasiswa FISIP Universitas Komputer Indonesia. Metode yang digunakan untuk penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan bertujuan mengetahui pergeseran makna dengan ditinjau dari nilai


(35)

fashion Mohawk Bandung.

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa nilai sosial dalam fashion Mohawk tidak menunjukan aksi perlawan tetapi hanya untuk mewakili ciri khas mereka dan hanya menjadi sebuah gaya bagi mereka, dan dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa penilaian diri mereka (anggota komunitas)

terhadap fashion Mohawk hanya sebagai bentuk perwakilan terhadap “gaya”

mereka yang unik yang pada akhirnya menunjukan bentuk pergeseran makna dalam komunutas punk di kota Bandung terhadap pemaknaan mereka kepada fashion Mohawk tersebut

3. Nur Azizah. 2012. Presentasi diri Anggota Komunitas Hijabers

Studi dramaturgi yang dilakukan oleh Nur Azizah, seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Komputer Indonesia mengenai presentasi diri anggota komunitas hihjabers. Penelitian kualitatif yang menggunakan purposive sampling dalam mendapatkan informan yang berjumlah 4 orang dengan triangulasi data teman dekat informan.

Hasil penelitian menujukan bahwapanggung depan dan panggung belakang pada anggota komunitas hijabers. Peneliti mengambil kesimpulan bahwa para anggota komunitas ini memerankan peran mereka dengan baik. Pada panggung depan mereka menampakan status mereka terutama sebagai mahasiswi dan anggota hijabers meliputi manipulasi simbol seperti pakaian, tatarias dan aksesoris, isi pesan dans sikap. Pada panggung belakang atau


(36)

jarak yang diperlihatkan dari cara pengekspresian bahasa, sikap, gaya.

4. Rani Rosmadewi. 2012. Konstruksi Makna Roti Buaya Dalam Adat Istiadat Masyarakat Betawi

Penelitian kualitatif mengenai konstruksi makna roti buaya di dalam adat masyarakat Betawi yang dilakukan oleh Rani Rosmadewi, mahasiswa FISIP Universitas Komputer Indonesia. Dengan pendekatan fenomenologis penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asal mula roti buaya yang dijadikan simbol dalam adat istiadat masyarakat Betawi.

Hasil penelitian menujukan bahwa makna roti buaya yang ada dalam adat istiadat masyarakat Betawi terdapat makna simbolik yang mencerminkan kesetiaan kepada pasangannya sampai kematian yang memisahkan. Dan makna lainnya mengartikan kemakmuran yangdiamna makna tersebut melambangkan kesejahteraan perekonomian masyarakat Betawi. Roti yang dibawa mempelai pria pada saat acara pernikahan diharapkan pasangan tersebut tetap setia sampai mati dimanapun mereka berada. Namun saat ini membawa roti buaya dianggap hal yang kuno di kalangan masyarakat Betawi.


(37)

2.1 agar lebih mudah dipahami alur relevansi dengan penelitian yang peneliti susun sekarang.

Tabel 2.1

Rekapitulasi Penelitian Terdahulu yang Sejenis

Nama

Uraian

Agus Apriati Nur Azizah Rani Rosmadewi Yogi Septiadi Gumilar Yudha Maulana

TAHUN 2007 2012 2012 2012 2013

JUDUL “Pemaknaan Virginitas di Kalangan Remaja Perempuan” “Presentasi Diri Anggota Komunitas Hijabers” “Konstruksi Makna Roti Buaya Dalam

Adat Istiadat Masyarakat Betawi”

“Pergeseran Makna Fashion

Mohawk Dalam Komunitas Punk di Kota Bandung”

Makna Hijab di Kalangan Mahasiswi Muslim di Kota

Bandung TUJUAN Untuk mengetahui makna virginitas di kalangan remaja perempuan Untuk mengetahui presentasi diri anggota komunitas Hijabers Untuk mengetahui asal mula roti buaya

yang dijadikan simbol dalam adat istiadat masyarakat

Betawi

Untuk mengetahui pergeseran makna dalam komunitas

punk di kota Bandung

Untuk mengetahui makna hijab di

kalangan mahasiswi muslim di kota

Bandung Pendekatan / Metode Kualitatif / Fenomenologi Kualitatif / Dramaturgi Kualitatif / Fenomenologi Kualitatif / Fenomenologi Kualitatif / Fenomenologi HASIL Virginitas itu penting, namun faktor dan motif

yang melatarbelakgangi makna virginitas yang bernilai ekonomis dan landasan perasaan sayang pada pasangan menyebabkan pergeseran makna Panggung depang dan belakang pada

anggota hijabers. Panggung depan p

para anggota ini memerankan peran mereka dengan baik sebagai mahasiswa dan anggota komunitas, back

stage

memperlihatkan penamilan

seadanya

Makna roti buaya mencerminkan kesetiaan kepada pasangannya sampai kematian yang memisahkan. makna lainnya mengartikan kemakmuran perekonomian masyarakat Betawi,

namun saat ini roti buaya dianggap

kuno

Nilai sosial dalam

fashion Mohawk

tidak menunjukan aksi perlawanan tetapi hanya untuk

mewakli ciri khas mereka dan hanya menjadi gaya bagi

mereka dan penilaian diri mereka terhadap fashion Mohawk hanya sebagai “gaya” mereka yang unik - KESIMPU LAN Bergesernya makna virginitas pada kalangan remaja perempuan Para anggota komunitas hijabers dapat memerankan panggung depan mereka dengan baik

Makna roti buaya sebagai lambang kemakmuran dianggap kuno oleh masyarakat Betawi Telah terjadinya pergeseran makna fashion Mohawk yang mulanya sebagai bentuk perlawanan gaya

semata

-


(38)

2.2.1 Tinjauan Komunikasi

2.2.1.1 Definisi Ilmu Komunikasi

Istilah komunikasi berasal dari terminologi latin Communis yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. K omunikasi juga berasal dari akar kata dalam bahasa latin Communico yang artinya membagi. (Cangara, 2005:18)

Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Para pakar komunikasi mendefinisikan komunikasi secara berbeda, berikut beberapa definisi tentang komunikasi :

Carl I. Hovland Mulyana mendefinisikan Komunikasi

adalah : “Proses yang memungkinkan seseorang

(komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk merubah perilaku orang lain

(komunikan).” (2001 : 62)

Sedangkan menurut Onong Uchana Effendy

mendenifisikan komunikasi dalam buku “Ilmu Komunikasi dalam Teori dan Praktek” sebagai berikut:

“Istilah komunikasi dalam bahasa Inggris “Communications” berasal dari kata latin “Communicatio, dan bersumber dari kata “Communis” yang berarti “sama”, maksudnya adalah


(39)

berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan atau dikomunikasikan, Suatu percakapan dikatakan komunikatif apabila kedua belah pihak yakni komunikator dan komunikan mengerti bahasa pesan yang disampaikan dan mengerti makna dari bahan yang dipercakapksn”.(Effendy, 2005 : 9).

Berbagai macam definisi mengenai komunikasi diberikan para ahli berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing. Menurut Sarah Trenholm dan Arthur Jensen yang dikutip oleh Wiryanto mendefinisikan komunikasi adalah :

“Suatu proses di mana sumber mentransmisikan pesan kepada penerima melalui beragam saluran.” (Wiryanto, 2004 : 6)

Sedangkan Everett M. Rogers dan Lawrence Kincaid yang dikutip oleh Wiryanto dalam buku “Pengantar Ilmu Komunikasi”, menyatakan

“Komunikasi adalah suatu proses dimana satu orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi saling


(40)

Harold Laswell dalam Mulyana, mengemukakan rumusan komunikasi dari unsur- unsur komunikasi itu sendiri, yaitu :

Who, (unsur komunikator yang menyampaikan pesan/informasi)

Says What, (unsur message atau isi pesan yang dikomunikasikan)  In Which Channel, (unsur alat-alat komunikasi atau media

yang digunakan)

To Whom, (unsur audience/komunikan yaitu penerima komunikasi)  With What Effect, (unsur pengaruh yang ditimbulkan komunikasi)

(Mulyana 2001:62)

Mengacu kepada pendapat Laswell tersebut, maka sedikitnya terdapat tiga komponen pokok dalam proses komunikasi, yaitu : komunikator, pesan, dan komunikan.

Paradigma Laswell diatas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni:

1. Komunikator : orang yang menyampaikan mengatakan, atau menyiatkan pesan-pesan baik secra lisan maupun tulisan. dalam hal ini komunikator melihat dan menganalisa faktor yang memprakasai dan membimbing kegiatan komunikasi.

2. Pesan : ide, informasi, opini yang dinyatakan sebagai isi pesan dengan menggunakan simbol atau lambang yang berarti.

3. Media : alat yang dipergunakan komunikator untuk menyampaikan pesan agar pesan lebih mudah untuk diterima dan dipahami, biasanya komunikator menggunakan pers, radio, televisi, dan lain-lain.

4. Komunikan : orang yang menjadi sasaran komunikator dalam menyampaikan pesan. untuk itu seorang komunikator harus mengetahui betul sifat dan kondisi komunikan dimanapun berada.

5. Efek : pengaruh kegiatan komunikasi yang di lakukan

komunikator kepada komunikan, sehingga terlihat adanya perubahan yang terjadi dalam diri komunikan. (Mulyana 2001:63)


(41)

Sekecil apapun suatu tindakan pasti memiliki tujuan-tujuan nya tersendiri, tak terkecuali perihal tindakan komunikasi, karena menurut Gordon I. Zimmerman yang dikutip oleh Deddy Mulyana dalam buku yang berjudul “Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar” merumuskan tujuan komunikasi menjadi dua kategori besar, yaitu :

1. Berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi

kebutuhan.

2. Berkomunikasi untuk menciptakan dan memupuk hubungan

dengan orang lain. (Mulyana, 2005 : 4).

Menurut Onong Uchana Effendy dalam buku yang berjudul “Ilmu,

Teori dan Filsafat Komunikasi”. Tujuan komunikasi adalah : a.Mengubah sikap (To change the attitude).

b.Mengubah opini (To change the opinion). c. Mengubah perilaku (To change the behavior). d. Mengubah masyarakat (To change the society). (Effendy, 2003 : 55)

2.2.1.4 Konteks Komunikasi

Deddy Mulyana dalam bukunya “Ilmu Komunikasi suatu Pengantar” mengatakan bahwa komunikasi tidak berlangsung dalam suatu ruang hampa sosial, melainkan dalam konteks dan situasi tertentu. Secara luas konteks disini berarti semua faktor diluar orang yang berkomunikasi. Yang terdiri dari

1. Aspek bersifat fisik seperti iklim, cuaca, suhu udara, bentuk

ruangan, warna dinding, penataan tempat duduk, jumlah peserta komuniasi, dan alat yang tersedia untuk menyampaikan pesan.


(42)

3. Aspek sosial, seperti : norma kelompok, nilai sosial, dan karakteristik budaya

4. Aspek waktu, yakni kapan berkomunikasi (hari apa, jam

berapa, pagi, siang, sore, malam) (Mulyana, 2001:69)

2.2.1.5 Konseptualisasi Komunikasi

Sebagaimana dikemukakan oleh John R. Wenburg , William W. Wilmot, Kenneth K. Sereno juga Edward M. Bodaken yang dikutip oleh Deddy Mulyana dalam buku “Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar”, setidaknya ada tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yakni :

1. Komunikasi sebagai tindakan satu-arah 2. Komunikasi sebagai interaksi,

3. Komunikasi sebagai transaksi(Mulyana, 2001 : 61)

Komunikasi sebagai tindakan satu-arah, Komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang atau lembaga dari seseorang (sekelompok orang), baik interpersonal (langsung) maupun melalui media, komunikasi dianggap suatu proses linier yang dimulai dengan sumber atau pengirim dan berakhir pada penerima, sasaran atau tujuannya.

Komunikasi sebagai interaksi, Pandangan ini menyetarakan jinunikasi sebagai proses sebab-akivat atau aksi-reaksi, yang arahnya bergantian. Tetapi tidak semua respon penerima adalah umpan balik. Suatu


(43)

pengirim.

Komunikasi sebagai transaksi, Komunikasi tidak membatasi skita pada komunikasi disengaja atau respons yang diamati, artinya komunikasi terjadi apakah para pelakunya menyengaja atau tidak, semuanya mengirimkan sejenis pesan.

2.2.1.6 Prinsip Komunikasi

Seperti fungsi dan definisi komunikasi, prinsip –prinsip

komunikasi juga diuraikan dengan berbagai cara oleh para pakar komunikasi. Dengan mengacu kepada pandangan para ahli Deddy

Mulyana membuat prinsip – prinsip komunikasi dalam bukunya Ilmu

Komunikasi : Suatu Pengantar (2001), prinsip – prinsip tersebut yaitu : 1. Komunikasi adalah suatu proses simbolik.

2. Setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi. 3. Komunikasi punya dimensi isi dan dimensi hubungan.

4. Komunikasi berlangsung dalam berbagai tingkat kesengajaan. 5. Komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan waktu.

6. Komunikasi melibatkan prediksi peserta komuniaksi. 7. Komunikasi itu bersifat sistemik.

8. Semakin mirip latar belakang sosial budaya semakin efektiflah komunikasi.

9. Komunikasi bersifat nonsekuensial.

10. Komunkasi bersifat prosesual, dinamis dan transaksional. (Mulyana, 2001 : 53)


(44)

Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara dua orang, dimana terjadi kontak langsung dalam bentuk percakapan. Komunikasi jenis ini bisa berlangsung secara berhadapan muka (face to face) bisa juga melalui sebuah medium, umpamanya telepon. Ciri khas komunikasi antarpribadi ini adalah sifatnya yang dua arah atau timbal balik. (Effendy, 1986:50) adapun pengertian komunikasi antarpribadi yang diungkapkan oleh Joseph A. Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book bahwa :

“Komunikasi antarpribadi merupakan proses pengiriman dan

penerimaan pesan-pesan antar dua orang atau diantara sekelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika”. (1984:4)

Menurut Vandeber, komunikasi antarpribadi merupakan suatu proses interaksi dan pembagian makna yang terkandung dalam gagasan atau perasaan. (Lliliweri, 1984:9) Effendy mengemukakan juga bahwa :

“Pada hakikatnya komunikasi antarpribadi adalah komunikasi

antar seorang komunikator dengan komunikan”. (Liliweri, 1997:12)

Pada dasarnya komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator mempunyai tujuan untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku komunikan dengan cara mengirimkan pesan dan prosesnya yang


(45)

Effendy bahwa

“Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi antarpribadi dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayan, opini, dan perilaku komunikan. Alasannya adalah karena komunikasi antarpribadi umumnya berlangsung secara tatap muka (face to face). Antara komunikator dan komunikan saling bertatap muka, maka terjadilah kontak pribadi (personal contact). Ketika komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan, umpan balik berlangsung seketika dan komunikator mengetahui pada saat itu tanggapan komunikan terhadap pesan yang dilontarkan”. (1993:61)

2.2.2.1 Faktor – Faktor yang Memengaruhi Komunikasi Antar Pribadi

Setiap kegiatan yang dijalankan oleh manusia dikarenakan timbul faktor-faktor yang mendorong manusia tersebut untuk melakukan suatu pekerjaan. Begitu pula dengan kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat, didorong oleh faktor-faktor tertentu. Mengapa manusia ingin melaksanakan komunikasi dengan yang lainnya, khususnya jenis komunikasi antarpribadi yang sifatnya langsung dan tatap muka antar pihak yang melaksanakan kegiatan komunikasi tersebut.

Cassagrande berpendapat, manusia berkomunikasi karena:

a. Memerlukan orang lain untuk saling mengisi kekurangan dan membagi kebahagiaan.


(46)

d. Dia ingin menciptakan hubungan baru. (Liliweri, 197:45)

Setiap orang selalu berusaha untuk melengkapi kekurangan atas perbedaan-perbedaan yang dia miliki. Perubahan tersebbut terus berlangsung seiring dengan perubahan masyarakat. Manusia mencatat berbagai pengalaman relasi dengan orang lain di masa lalu, memperkirakan apakah komunikasi yang dia lakukan masih relevan untuk memenuhi kebutuhan di masa datang. Jadi, minat komunikasi antarpribadi didorong oleh pemenuhan kebutuhan yang belum atau bahkan tidak dimiliki oleh manusia. Setiap manusia mempunyai motif yang mendorong dia untuk berusaha memenuhi kebutuhannya.

2.2.2.2 Jenis – Jenis Komunikasi Antar Pribadi

Seperti komunikasi lainnya, komunikasi

antarpribadipun mempunyai jenis-jenisnya yang berbeda dengan bentuk komunikasi yang lain. Menurut Onong Uchjana Effendy bahwa “Secara teoritis komunikasi antarpribadi diklasifikasikan menjadi dua jenis menurut sifatnya, yakni:

1. Komunikasi Diadik (Dyadic Communication)

Komunikasi diadik adalah komunikasi antarpribadi yang berlangsung antar dua orang yakni yang seorang adalah komunikator yang menyampaikan pesan dan seorang lagi yang


(47)

orang, maka dialog yang terjadi berlangsung secara intens, komunikator memusatkan perhatiannya hanya pada diri komunikan itu.

2. Komunikasi Triadik (Triadic Communication)

Adalah komunikasi antarpribadi yang pelakunya terdiri dari tiga orang, yakni seorang komunikator dan dua orang komunikan. Apabila dibandingkan dengan komunikasi triadik, maka komunikasi diadik lebih efektif, Karena komunikator memusatkan perhatiannya hanya pada seorang komunikan, sehingga ia dapat menguasai frame of reference komunikan, sepenuhnya juga umpan balik yang berlangsung, merupakan

kedua factor yang sangat berpengaruh terhadap efektif

tidaknya proses komunikasi. (Onong, 1993:62) 2.2.3 Tinjauan Komunikasi Artifaktual

Umberto Eco mengatakan “I Speak Through My Cloth”. Pakaian

yang kita gunakan menceritakan siapa diri kita, orang lain yang melihat diri kita akan menafsirkan penampilan kita karena seolah-olah kita membuat suatu kesan. Karena fashion atau pakaian yang kita kenakan menyampaikan pesan-pesan nonverbal (Barnard, 2011).

Komunikasi artifaktual didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui pakaian, dan penataan pelbagai artefak lainnya, misalnya, pakaian, dandanan, barang perhiasan, kancing baju atau furniture di rumah dan penataanya, ataupun dekorasi ruangan.

Pakaian yang kita pakai juga menampilkan pelbagai fungsi. Pakaian bisa melindungi kita dari cuaca buruk atau dalam olahraga tertentu dari


(48)

bagian-bagian tertentu dari tubuh kita dan karenanya pakaian memiliki suatu fingsi kesopanan (modesty function), pakaian juga menampilkan peran sebagai pajangan budaya (cultural display) karena ia mengkomunikasikan afiliasi budaya kita, mengenali negara atau daerah asal-usul seseorang dari pakaian yang mereka kenakan. (Barnard, 2011). Selain itu orang membuat kesimpulan mengenai seorang individu juga melalui apa yang individu

tersebut pakai –setidaknya- memengaruhi pikiran orang tentang individu

tersebut. selain itu pakaian juga mencerminkan bagaimana kelas sosial, keseriusan, sikap, afiliasi politik, agama yang diyakini, kreatifitas maupun keeleganan seorang individu

2.2.4 Tinjauan Mengenai Simbol

Simbol atau Lambang adalah sesuatu yang di gunakan untuk menunjuk sesuatu yang lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Simbol meliputi kata-kata ( pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya di sepakati bersama. Lambang atau Simbol adalah salah satu kategori tanda. ( Mulyana, 2001)

Hubungan tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Lambang atau Simbol mempunyai beberapa sifat seperti berikut :


(49)

bergantung pada kesepakatan bersama.

2. Simbol pada dasarnya tidak tidak mempunyai makna ; kitalah yang memberi makna pada simbol atau lambang. Artinya, makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak pada lambang itu sendiri.

3. Simbol itu bervariasi. Artinya, simbol atau lambang itu bervariasi dari suatu Budaya ke budaya lain, dari suatu tempat ke konteks waktu lain. Begitu juga dengan makna yang di berikan kepada lambang tersebut. ( Mulyana, 2007: 92 )

2.2.5 Tinjauan Mengenai Mahasiswa

Definisi Mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No.30 tahun

1990 adalah : “Peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi

tertentu”1

Sedangkan Sarwono mendefinisikan mahasiswa sebagai berikut (1978),

“Mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk

mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun”.2

Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa juga merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu

lapisan masyarakat yang sering kali sarat dengan berbagai predikat.3

1

http://unpaztoday.wordpress.com1 http://unpaztoday.wordpress.com/akademik/mahasiswa/

(diakses pada 22 April, 23 : 57)

2

Ibid.

3

http://library.binus.ac.id/eColls/eThesis/Bab2/2011-2-00013-PL%202.pdf (diakses pada 23 April 201 3, 03 : 47)


(50)

1978) adalah :

“Merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya

dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan di harapkan menjadi calon-claon intelektual”4

Djojodibroto (2004) menggambarkan mahasisswa sebagai satu golongan dari masyarakat yang mempunyai dua sifat, yaitu manusia muda dan calon intelektual,, dan sebagai calon intelektual mahasiswa harus mampu untuk berpikir kritis terhadap kenyataan sosial, sedangkan manusia

muda, mahasiswa seringkali tidak mengukur resiko yang menimpa dirinya.5

Montgomery dalam Papalia dkk (2007), menjelaskan bahwa :

Perguruan tinggi atau universitas dapat menjadi sarana atau tempat untuk seorang individu dalam mengembangkan kemampuan intlektual, kepribadian, khususnya dalam melatih keterampilan

verbal dan kuantitatif, berpikir kritis dan moral reasoning.6

2.2.6 Tinjauan Mengenai Muslim

Menurut etimologi kata Muslim berasal dari kata salima yaslamu

yang berarti selamat, sentosa atau aslama yang berarti tunduk patuh atau

beragama Islam. Sehingga orang Muslim berarti orang yang patuh, taat dan berserah diri kepada sang pencipta-Nya. Sebagaimana yang tersirat pada Q.S Al An‟am ayat 162 - 163 mengenai komitmen hidup seorang muslim yaitu :

4

http://unpaztoday.wordpress.com/akademik/mahasiswa/ (diakses pada 22 April, 23 : 57)

5

Ibid, binus

6


(51)

“Katakanlah : sesungguhnya shlataku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (162). Tiada sekutu baginya : dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang

yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah SWT)”.\

kata di terjemahkan sebagai “orang – orang yang

berserah dir”i, dalam artian berserah diri kepada Allah dengan melakukan

perintahNya dan menjauhi laranganNya.

2.2.7 Tinjauan Mengenai Baligh

Menurut Nadhatul Ulama Indonesia mengenai Baligh,

“Pengertian Baligh dimaknai sebagai sebuah masa dimana seorang

mulai dibebani (ditaklif) dengan beberapa hukum syara Oleh karena

tuntutan hukum itulah orang tersebut dinamakan mukallaf

Sebenarnya tidak semua baligh disebut mukallaf, karena ada sebagian baligh yang tidak dapat dibebani hukum syara‟ seperti orang gila. kemudian muncul istilah aqil baligh yaitu orang yang telah mencapai kondisi baligh dan berakal sehat (mampu membedakan antara yang

baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah).7

Dengan kata lain, seseorang yang sudah baligh dibebani hukum syara‟ apabila ia berakal dan mengerti hukum tersebut. Orang bodoh dan orang gila tidak dibebani hukum karena mereka tidak dapat mengerti hukum dan tidak dapat membedakan baik dan buruk, maupun benar dan salah.

7


(52)

Abu Dawud yang menceritakan mengenai tiga kelompok yang tidak wajib

dikenai hukum, Rasulullah SAW bersabda, “Diangkatkan pena (tidak

dibebani hukum) atas tiga (kelompok manusia), yaitu anak-anak hingga baligh, orang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga sembuh." (HR Abu Dawud).

Ulama fikih sepakat bahwa aqil baligh menjadi syarat dalam ibadah

dan muamalah. Dalam ibadah, berakal menjadi syarat wajib salat, puasa, dan sebagainya. Dalam muamalah, terutama masalah pidana dan perdata.Nadhlatul Ulama melanjutkan dengan memberikan penjelasan mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud tersebut, yaitu :

Pertama , apabila seorang anak perempuan telah berumur sembilan tahun dan telah mengalami haidh (menstruasi). Artinya apabila anak perempuan mengalami haidh (mentruasi) sebelum umur sembilan

tahun maka belum dianggap baligh. Dan jika mengalami (haidh)

mentruasi pada waktu berumur sembilan tahun atau lebih, maka masa balighnya telah tiba

Kedua, apabila seorang anak laki-laki maupun perempuan telah berumur sembilan tahun dan pernah mengalami mimpi basah (mimpi bersetubuh hingga keluar sperma). Artinya, jika seorang anak (laki maupun perempuan) pernah mengalami mimpi basah tetapi belum

berumur sembilan tahun, maka belum dapat dikata sebagai baligh.

Namun jika mimpi itu terjadi setelah umur sembilan tahun maka sudah bisa dianggap baligh.

Ketiga, apabila seorang anak baik laiki-laki maupun perempuan telah mencapai umur lima belas tahun (tanpa syarat). Maksudnya, jika seorang anak laki maupun perempuan telah berumur lima belas tahun, meskipun belum pernah mengalami mimpi basah maupun

mendaptkan haid (menstruasi) maka anak itu dianggap baligh.” 8

8


(53)

Langer (Morrisan, 2013) memandang “makna” sebagai suatu hubungan yang kompleks di antara simbol, objek dan orang. Jadi makna terdiri atas aspek logis dan aspek psikologis. Aspek logis adalah hubungan antara simbol dan referennya, yang oleh Langer dinamakan “denotasi” . adapun aspek atau makna psikologis adalah hubungan antara simbol dan orang, yang disebut “konotasi”.

Morrisan mengatakan jika anda mengatakan, “jaket adalah busana yang dipakai saat cuaca dingin atau hujan,” maka anda tengah menyatakan aspek logis dari simbol jaket. Morrisan melanjutkan apabila anda mengatakan “saya tidak suka menggunakan jaket karena gerah atau panas” maka anda tengah menyatakan makna psikologis atau konotosi yang merupakan hunungan yang lebih kompleks antara diri anda dan simbol yang bersangkutan. Sebagai contoh lain adalah saat kita memaknai seekor anjing, tentu makna yang ditimbulkan akan berbeda, bila mereka yang menyukai anjing maka mereka akan berkata bahwa anjing adalah makhluk yang menggemaskan, tetapi bandingkan dengan mereka yang trauma dan pernah digigit anjing.

2.2.9 Tinjauan Mengenai Identitas Sosial

Awal dari kehidupan kita, setiap orang mulai memiliki pandangan tentang siapa kita, termasuk apakah kita harus melabel diri sebagai “perempuan” atau “laki-laki”. Dengan kata lain, setiap orang membangun


(54)

bagaimana kita mengonseptualisasi dan mengevaluasi diri sendiri (Deaux, 1993). 9

Identitas sosial mencakup banyak karakteristik unik, seperti nama seseorang dan konsep diri, selain banyak karakteristik lainnya yang serupa

dengan orang lain (Sherman, 1994)10. Menyusul aspek yang telah

disebutkan diatas, ada pula gender, hubungan interpersonal kita (anak perempuan, anak laki-laki, pasangan, orang tua, dan sebagainya); afiliasi politik atau ideologi (feminis, pecinta lingkungan, democrat, republican, vegetarian, dan sebagainya); atribut khusus (homoseksual, cerdas, keterbelakangan mental, pendek, tampan, dan sebagainya); dan afiliasi etnis atau religious (Katolik, Orang Selatan, Hispanik, Yahudi, warga Kulit

Hitam, Muslim, Atheis, Hick, dan sebagainya) (deaux dkk, 1995)11 Identitas

sosial dapat mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan tertentu atas dasar identitas sosial yang mereka miliki. Jika kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi dengan kita. Tak terkecuali di dalam suatu kelompok

9

http://sutadiaz.blogspot.com/2013/01/psikologi-sosial-ii-identitas-sosial.html ( 24 Juni 2013 : 07.13)

10

ibid

11


(55)

Pengertian aktualisasi diri adalah kebutuhan naluriah pada manusia untuk melakukan yang terbaik dari yang dia bisa. Maslow dalam (Arinato,

2009)12, menyatakan aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan

mengembangkan sifat-sifat dan potensi psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh pengalaman dan oleh belajar khususnya dalam masa anak-anak. Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai usia tertentu (adolensi) seseorang akan mengalami pergeseran aktualisasi diri dari

fisiologis ke psikologis (Arianto, 2009).13

2.2.11 Tinjauan Mengenai Adaptasi Sosial

Adaptasi sosial merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri dalam lingkungan sosial. Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan. Penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, jadi dapat berarti mengubah lingkungan sesuai

dengan keadaan pribadi (Gerungan,1991)14. Menurut Suparlan, adaptasi itu

sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan.

Dalam proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, individu tidak dapat begitu saja untuk melakukan tindakan yang dianggap sesuai dengan dirinya, karena individu tersebut mempunyai lingkungan

12

http://www.psychologymania.com (20 Juni 2013 : 03.24)

13

ibid

14


(56)

lingkungan ini mempunyai aturan dan norma-norma yang membatasi tingkah laku individu tersebut. dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan.

2.3 Kerangka Pemikiran 2.3.1 Kerangka Teoritis

Dalam setiap situasi fenomenologis, waktu dan historis yang secara unik menempatkan individu, kita memiliki dan menerapkan persediaan pengetahuan (stock knowledge) yang terdiri dari semua fakta, kepercayaan, keinginan, prasangka dan aturan yang kita pelajari dari pengalaman pribadi dan pengetahuan yang tersedia bagi kita di dunia yang kedalamnya kita lahir.

Di dalam penelitian ini peneliti berusaha mengungkapkan makna mengenai hijab yang dimiliki oleh kalangan mahasiswi di kota Bandung. Pemaknaan yang diberikan oleh mereka terhadap hijab dipahami sebagai tolak ukur dalam mengaplikasikan apa yang menjadi nilai dan pandangan terhadap makna hijab yang mereka miliki.


(57)

mahasiswi di kota Bandung yang bersifat intersubjektif. Penelitian ini

menggunakan subfokus internalisasi, eksternalisasi dan realitas subyektif.

Internalisasi dipahami sebagai proses pengenalan dan penyerapan nilai-nilai objektif, melalui proses internalisasi, inilah orang menjadi anggota masyarakat dengan mengetahui nilai-nilai dan peranan yang berada di dalam masyarakat. dalam tradisi psikologi sosial, Berger dan Luckman (1966) sebagaimana dikutip oleh Margaret Poloma menguraikan :

Sosialisasi primer sebagai sosialisasi awal yang dialami individu di masa kecil, disaat mana dia diperkenalkan pada dunia sosial obyektif. Individu berhadapan dengan orang lain yang cukup berpengaruh (orang tua atau pengganti orang tua), dan bertanggung jawab terhadap sosialisasi anak. Batasan realitas yang berasal dari orang lain yang cukup berpengaruh itu dianggap oleh si anak sebagai realitas obyektif. (Margaret, 1979 : 304) Karena relitas yang ada tidak mungkin diserap dengan sempurna maka si anak akan menginternalisir penafsiran terhadap realitas tersebut. setiap orang memiliki “versi” realitas yang dianggapnya sebagai cermin dari dunia obyektif. Dengan demikian Berger dan Luckmann menekankan eksistensi realitas sosial berganda. Berger dan Luckmann (1966) menyatakan :

Realitas obyektif dapat langsung diterjemahkan ke dalam realtias subyektif, dan begitu pula sebaliknya. Menurut mereka realitas subyektif dan obyektif memang bersesuaian satu sama lain, tetapi selalu ada realitas yang “lebih” obyektif yang dapat diinternalisir oleh seorang individu saja (Margaret, 1979 : 305)


(58)

“subyektif” yang tentunya berbeda dengan individu lainnya walau sama – sama memahami realitas obyektif yang sama.

Eksternalisasi, merupakan proses dimana semua manusia yang menyerap sosialisasi dan secara bersama- sama membentuk realitas baru dan individu menyesuaikan dirinya didalam konteks sosial.

“Pengetahuan” adalah kepastian bahwa fenomen – fenomen itu nyata (real)

dan memiliki karakteristik – karakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah

hasil (eksternalisasi) dan internalisasi dan obyektivikasi manusia terhadap

pengetahuan – dalam kehidupan sehari-hari- ata secara sederhana, eksternalisasi

dipengaruhi oleh stock of knowledge yang dimilikinya. Cadangan sosial

pengetahuan adalah akumulasi dari common sense knowledge.

Terbentuknya realitas obyektif bisa melalui legitimasi. Legitimasi merupakan obyektivikasi makna, karena selain menyangkut penjelasan juga

mencakup nilai – nilai. Legitimasi berfungsi untuk membuat obyektivikasi

yangsudah melembaga menjadi masuk akal secar subyektif15

Menurut Peter Berger dan Luckmann (1979) di sisi sebaliknya, masyarakat

– yaitu individu – individu – sebagai realitas subyektif menafsirkan realitas

obyektif melalui proses internalisasi. Internalisasi berlangsung seumur hidup seorang individu dengan melakukan sosialisasi, sambil ia menyumbang pada

15

http://kuliahsosiologi.blogspot.com/2011/05/masyarakat-sebagai-realitas-objektif.html (diakses 26 April 2013 : 5 :49)


(59)

lebih dari itu, ia turut mengkonstruksi pengetahuan bersama. Jadi, individu adalah

aktor yang aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.16

Adapun landasan teori yang relevan di dalam kerangka berpikir peneliti diantaranya :

1. Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berati

“menampak”. Fenomena adalah fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia (Kuswarno, 2009). jadi suatu objek itu ada dalam relasi dengan kesadaran. Fenomenlogi mereflesikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara intensif berhubungan dengan suatu objek.

Menurut The Oxford English Dictionary17, yang dimaksud dengan

fenomenologi adalah (a) the science of phenomena as distict from being dan (b)

divison of any science which describes and classifies its phenomena. fenomenologi adalah suatu ilmu mengenai fenomena yang menjelaskan dan mengkalsifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain, fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita, dan bagaimana penampakannya.

Fenomenologi menggunakan pengalaman langsung sebagai cara untuk memahami dunia. Orang mengetahui pengalaman atau peristiwa dengan cara

16

ibid

17


(60)

bersangkutan (Morrisan, 2013). Maurice Marleau – Ponty, salah seorang pendukung tradisi ini, menulis :

All my knowledge of the world, even my scientific knowledge, is gained from my own particular point of view, or from some experience of the world.” (Morissan, 2013 : 39)

(Semua pengetahuanku mengenai dunia bahkan kepada pengetahuan ilmiahku, didapatkan dari sudut pandangku sendiri atau dari beberapa pengalaman tentang dunia)

Menurut Koeswarno (2009) Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran dan tindakan. Seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mncari pemahamanbagaimana mansia mengkonstruksi

makna dan konsep – konsep penting, dalam kerangka intersubjektifitas.

Intersubjektif karena pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Walaupun makna yang kita dapat kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya dan aktifitas yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain di dalamnya.

Kata fenomenologi menjadikan pengalaman sebenarnya sebagai data utama dalam mememahami realitas. Apa yang diketahui seseorang adalah apa yang dialaminya. Jika anda ingin mengetahui apakah itu “cinta| maka anda tidak akan bertanyan kepada orang lain tetapi anda langsung memahami cinta dari pengalaman langsung anda sendiri. Stanley Deetz mengemukakan tiga dasar prinsip Fenomenologi :


(61)

pengalaman sadar.

2. Kedua, makna dari sesuatu terdiri atas potensi sesuatu itu pada hidup seseorang. Dengan kata lain, bagimana anda memandang suatu objek tergantug pada makna ojek itu bagi anda.

3. Ketiga, bahasa adalah “kendaraan” makna (vehicle meaning). Kita

mendapatkan pengalaman melalui bahsa yang digunakan untuk mendefinisikan dan menjelaskna dunia kita. Kita mengetahui suatu objek misalya “kuda” melalui berbagai label yang dimilikinya seperti “hewan”, “lari”, “gagah”, cepat” dan seterusmya. (Morrisan, 2013 : 39) Proses interpretasi merupakan hal yang sangat penting dan sentral dalam fenomenologi. Interpretasi adalah proses aktif pemberian makna dari suatu pengalaman. Interpretasi adalah sumber aktif dari pikiran, yaitu tindakan keatif dalam memperjelas pengalaman personal seseorang. Menurut pemikiran fenomenologi orang yang melakukan interpretasi (interpreter), mengalami suatu peristiwa atau situasi dan ia akan memberikan makna kepada setiap peristiwa atau situasi yang dialaminya.

Kondisi ini akan terus berlangsung terus menerus (bolak– balik ) antara pengalaman dan pemberian makna. Setiap pengalaman baru akan memberikan makna baru bagi dirinya begitu seterusnya (Morrisan, 2013). Denga demikian makna tersebut yang dintepretasi oleh individu akan berubah terus menerus sepanjang hidupnya seiring dengan setiap pengalaman baru yang ditemui oleh individu tersebut dan makna yang diberikannya terhadap pengalaman baru tersebut.


(62)

Fenomenologi adalah hasil refleksi pemikiran filosofis dari Edmund Husserl di Jerman pada sekitar tahun 1890-an usia Husserl sendiri mencapai seabad lebih. Menurut Denzin (1994 : 7dalam Salim, 2005 : 168) pada saat itu tradisi penelitian kualitatif masih terus berkembang sampai masa Perang Dunia I. sekitar tahun 1920 fenomenologi digunakan di Polandia dan Amerika Serikat di dalam penelitian di bidang komunikasi (yang disebut juga simbolisme), pendidikan, musik, dan agam yang kemudian menurut Malinowski merambah ke dunia teater, kesusateraan dan arsitektur.

Seusai Perang Dunia ke II fenomenologi menyebar ke bidang ethnicity,

film, gender dan ilmu politik. Di dalam pendekatn interpretative – practice. Alfred Schutz menjadi tokoh kunci yang menjembatani fenomenologi sosial dengan fenomenologi filsafat dengan Husserl. Pada pendekatan ini, Schutz menyatakan bahwa subjektifitas membuat objek menjadi bermakna, subjektivitas dipandang sebagai titik kunci untuk membuat objek menjadi bermakna, di situlah metode kualitatif mulai menunjukan bentukmnya sehingga kemudian dapat digunakan sebagai metode penelitian. Di dalamnyam oeriset menggunakan teori interpretative (fenomenologi, etnometodologi, critical theory, dan feminism).

Inti pemikiran Schutz adalah bagaimana memahami tindakan sosial melalui penafsiran. Proses penafsiran dapat digunakan untuk memperjelas atau memeriksa makna yang sesungguhya, sehingga data memberikan konsep kepekaan yang implisit. Schutz meletakan hakikat manusia dalam pengalaman


(63)

dunia kehidupan sehari – hari. Dalam hal ini, Schutz mengikuti pemikiran Husserl, yaitu proses pemahaman aktual kegiatan kita, dan pemberian makna terhadapnya, sehingga ter-refleksi tingkah laku.

Dalam pandangan Schutz, manusia adalah makhluk sosial, sehingga

kesadaran akan dunia kehidupan sehari – hari adalah sebuah kesadaran sosial.

Fenomenologi Schutz dalam intersubjektifitas (anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia mereka yang mereka internalisasi melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka melakukan interaksi atau komunikasi yang perlu diperhatikan (a) Situasi (konteks ruang, waktu dan historis). (b). tipikasi

(atau penkhasan : mitos, pengetahuan, budaya, dan common sense), (c) motif

(motif supaya dan motif karena).

Setelah Schutz kemudian muncul Peter Berger, seorang tokoh yang dikenal dengan pemikirannya mengenai konstruksi realitas secara sosial (Kuswarno, 2009).

Koreksi Berger terhadap fenomenologi Schutz adalah bahwa Schutz terlalu memaksakan sektor kehidupan keseharian yang bersifat rutinitas dalam kajian terbatas. Dengan demikian makna kajiannya hanya memberikan makna yang sangat dangkal, karena akal sehat kehidupan keseharian merupakan pengetahuan yang dianggap telah memadai atau valid. Pemikiran Berger sejalan dengan pemikiran Weber, bahwa :


(64)

dalam dirinya sendiri, akan tetapi produk dari kesadarannya terhadap orang lain.” (Kuswarno, 2009 : 20)

2. Interaksionisme Simbolik

Bogdan dan Taylor mengatakan bahwa dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksionisme simbolik dan etnometodologi. (Mulyana, 2010 : 59). Maurice Natson (1963) menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial (dalam Muyana, 2010 : 59).

Interaksionisme merupakan pandangan terhadap realitas sosial yang muncul pada akhir decade 1960-an dan awal decade 1970, tatapi para pakar beranggapan bahwa pandangan tersebut tidak bisa dikatakan baru. Stephen W. Littlejohn dalam bukunya “Theories of Human Communication” mengatakan bahwa yang memberikan dasar adalah George Herbert Mead, Herbert Blummer, Manford Kuhn, Kenneth Burke, dan Hugh Duncan. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Sedangkan menurut Becker dkk mengenai perspektif interaksi simbolik

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia


(65)

mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka (Mulyana 2008 : 70)

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang menginterpretasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi social.

Penganut interaksionisme simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia disekeliling mereka. Menurut Rose Secara ringkas, interaksi simbolik didasarkan premis-premis berikut :

1. Individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespons lingkungan, termasuk objek fisik, (benda) dan objek social (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. (Mulyana, 2010 : 71 )

Ketika mereka menghadapi suatu situasi, respons mereka tidak bersifat mekanis, tidak pula ditentukan oleh factor-faktor eksternal, alih-alih respons mereka bergantung pada bagaimana mereka mendefinisikan situasi yang dihadapi dalam interaksi sosial. jadi, individulah yang dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri


(1)

4 2012 – 2013

Scriptwriter Unit Pers Kampus Birama

5 2011

Pengurus Komunitas Cosplay ~Mokinu~ Universitas Komputer Indonesia

6 2011 – 2012

Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Prodi Ilmu

7 2008-2011

Pengurus Komunitas Cosplay Bandung

8 2002 – 2005

Wakil Ketua OSIS SMPN 26 Bandung

9. 2002-2005

Anggota Palang Merah Remaja SMPN 26

IV. TRAINING / SEMINAR

No. Tahun Uraian Kedudukan Keterangan

1 2012

Seminar Nasional : Perempuan & Jurnalistik, UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Peserta bersertifikat

2 2011

Kajian Spiritual Agama Islam Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Komputer Indonesia


(2)

3 2011

Study Tour Media Massa, Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Komputer Indonesia

Peserta Bersertifikat

4 2012

Bedah buku “Handbook of Public Relations” dan Seminar “How to Be a Good Writer” pemateri Elvinaro, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Komputer Indonesia

Peserta Bersertifikat

5 2012

Entrepreneurial Journalism, Universitas Islam Bandung

Peserta Bersertifikat

6 2012

Seminar Fotografi, Lomba Foto Essay dan Apresiasi Seni (tema : teknik dan bahasa foto), Program bersertifikat Studi Ilmu Komunikasi Universitas Komputer Indonesia

Peserta bersertifikat

7 2008

Kuliah Bersama 2008 “BRIGHT FUTURE TO ALL OF US”, Program Studi


(3)

Teknik Informatika Universitas Komputer Indonesia 2008

8 2008

Mentoring Keislaman Tahun 2008/2009, Universitas Komputer Indonesia

Peserta Bersertifikat

9. 2010

Communication and Public Speaking National Summit 2010, James Gwee,

Peserta Bersertifikat

10. 2010

Seminar Nasional Ekonomi Islam; Rahasia Pebisnis Muslim Yang Sukses”, HPA

Peserta Bersertifikat

11. 2010

Table Manner Course @Banana Inn Hotel & Spa, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Komputer Indonesia

Peserta Bersertifikat

12. 2010

Mentoring agama Islam, Program Studi Ilmu Komunikasi & LDK UMMI Universitas Komputer Indonesia

Peserta bersertifikat

13. 2010

Seminar Budaya

Entrepreneursip, inkubator


(4)

bisnis mahasiswa Universitas Komputer Indonesia

14. 2011

Talkshow of

Entrepreuneurship and Art Show with Raditya Dika, “Act Locally Think Globally”, Universitas Padjajaran

Peserta Bersertifikat

15. 2012

Workshop Menulis Kreatif di Media Online

Peserta Bersertifikat

16. 2013

Pelatihan membuat Toko Online

Peserta Bersertifikat

17. 2012

Seminar Pilgub Jabar 2013 :

“Harapan Rakyat Jawa Barat” Panitia Bersertifikat

18. 2012

Bedah Buku “Handbook of Public Relations” Dan Seminar “How To Be A Good Writer”

Panitia Bersertifikat

19. 2012

Pelatihan Kepemimpinan

HIMA IK UNIKOM

Leadership is Foundation of Organization”

Panitia Bersertifikat


(5)

21 2012

Seminar Sinematografi “CommuniAction” HIMA IK

UNIKOM

Panitia Bersertifikat

V. ACHIEVEMENT

No. Tahun Uraian Keterangan

1 2011

Outstanding Stundent at LBPP LIA Bandung in level conversation three (CV-3).

bersertifikat

2 2010

Outstanding Stundent at LBPP LIA Bandung in level conversation two (CV-2).

bersertifikat

3 2010

Juara 1 Otaku Battle, Sastra Jepang Universitas Komputer Indonesia.

bersertifikat

4 2013

Juara 1 Photalk technology and lifestyle, Communication Festival Universitas Multimedia Nasional, 2013

bersertifikat

VI. SKILL

NO. Uraian

1 Menggunakan paket Ms. Office (Word, Excel, Powerpoint,Access, Frontpage)


(6)

3. Basic Video Editing Vegas Pro & Adobe Premier 4. Basic Manga (japanesse comic) drawing

5. Penulisan Berita Jurnalistik Cetak maupun Elektronik 6. Bahasa Inggris Pasif

7. English Conversation Level 3 (certified)

Juli, 2013 Peneliti,

Yudha Maulana NIM. 41808852