TINJAUAN TEORI ASKEP EDEMA PARU

8. Menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan respiratory distress syndrome.

BAB II TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan intravaskular. Elizabeth J Corwin, 2001 Edema paru adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya cairan ekstravaskular yang patologis pada jaringan parenkim paru. Titin Suprihatin, 2000 B. ETIOLOGI 1. Ketidak-seimbangan Starling Forces : a. Peningkatan tekanan kapiler paru : 1 Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri stenosis mitral. 2 Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri. 3 Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis over perfusion pulmonary edema. b. Penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi. c. Peningkatan tekanan negatif intersisial : 1 Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura unilateral. 2 Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume asma. d. Peningkatan tekanan onkotik intersisial. Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik. 2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler Adult Respiratory Distress Syndrome a. Pneumonia bakteri, virus, parasit. b. Bahan toksik inhalan phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb. c. Bahan asing dalam sirkulasi bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea. d. Aspirasi asam lambung. e. Pneumonitis radiasi akut. f. Bahan vasoaktif endogen histamin, kinin. g. Disseminated Intravascular Coagulation. h. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin. i. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks. j. Pankreatitis Perdarahan Akut. 3. Insufisiensi Limfatik : a. Post Lung Transplant. b. Lymphangitic Carcinomatosis. c. Fibrosing Lymphangitis silicosis. 4. Tak diketahuitak jelas a. High Altitude Pulmonary Edema. b. Neurogenic Pulmonary Edema. c. Narcotic overdose. d. Pulmonary embolism. e. Eclampsia f. Post Cardioversion. f. Post Anesthesia. g. Post Cardiopulmonary Bypass. C. PATOFISIOLOGI Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika cairan dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh-pembuluh darah atau tidak ada cukup protein-protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma bagian dari darah yang tidak megandung segala sel-sel darah. Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati oleh kantong- kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dindig ini kehilangan integritasnya. Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida, berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air dalam paru-paru” ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema. D. MANIFESTASI KLINIK Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi foto toraks. Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini. 1. Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi. 2. Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal garis Kerley B. Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja. 3. Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati Ingram and Braunwald, 1988. D. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Elektrokardiografi Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan, 2. Laboratorium a. Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia. b. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard. c. Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung CK-MB, Troponin T, angiografi koroner 3. Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph X-ray dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada. X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification pemutihan yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya. F. PENATALAKSANAAN 1. Posisi ½ duduk. 2. Oksigen 40 – 50 sampai 8 litermenit bila perlu dengan masker. Jika memburuk pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat, maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator. 3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada. 4. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ugkgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ugkgBBmenit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. 5. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg sebaiknya dihindari. 6. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 mlkgBBjam. 7. Bila perlu tekanan darah turun tanda hipoperfusi : Dopamin 2 – 5 ugkgBBmenit atau Dobutamin 2 – 10 ugkgBBmenit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya. 8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard. 9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosistidak berhasil dengan oksigen. 10. Atasi aritmia atau gangguan konduksi. 11. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel corda tendinae. G. KOMPLIKASI Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi- komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk hypoxia dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak. H. PENCEGAHAN Dalam hal tindakan-tindakan pencegahan, tergantung pada penyebab dari pulmonary edema, beberapa langkah-langkah dapat diambil. Pencegahan jangka panjang dari penyakit jantung dan serangan-serangan jantung, kenaikan yang perlahan ke ketinggian-ketinggian yang tinggi, atau penghindaran dari overdosis obat dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan. Pada sisi lain, beberapa sebab-sebab mungkin tidak sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah, seperti ARDS yang disebabkan oleh infeksi atau trauma yang berlimpahan.

BAB II ASUHAN KEPERAWATAN