Edema Paru pada gagal jantung

REFERAT
STASE RADIOLOGI
RSUD PACITAN
I. DEFINISI
Edema merupakan akumulasi cairan di dalam tubuh. Kata edema atau
pembengkakan tubuh lebih tepat jika disebut sebagai limfadema, hal ini
dikarenakan peningkatan cairan interstitial biasanya disebabkan oleh blockade
limfonodi (Walsh, 2008). Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh
akumulasi cairan di paru-paru (ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini
memenuhi alveolus di dalam paru-paru yang menyebabkan seseorang sulit untuk
bernafas. Penyebab tersering edema paru disebabkan oleh permasalahan jantung.
Namun, akumulasi cairan di dalam paru dapat disebabkan oleh beberapa alasan
diantaranya adalah pneumonia, beberapa racun, maupun obat-obatan. Edema paru
yang terjadi secara akut merupakan kondisi kegawatan medis yang harus segera
ditangani. Walaupun edema paru kadang merupakan kondisi yang fatal, namun
penanganan yang tepat untuk edema paru dan kondisi yang mendasarinya dapat
memberikan tingkat perbaikan yang tinggi. Terapi untuk edema paru sangat
bervariasi, tergantung dari penyebab yang mendasarinya, namun secara umum
terapi ini termasuk suplementasi oksigen dan pengobatan medikametosa (Mayo
Clinic, 2012).


Gambar 1. Ilustrasi Edema Paru

14

Menurut salah satu penelitian, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta
penderita edema paru di seluruh dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema
paru yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif, di Amerika
serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema paru, dan di Jerman
sekitar 6 juta penduduk menderita edema paru. Penyakit edema paru pertama kali
di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke
berbagai daerah, hingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia. Sejak
pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan hasil dengan kecenderungan
meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden terbesar
terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000
penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%,
namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000);
21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).
II. ANATOMI
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di
paru-paru. Edema pada paru biasanya terjadi di alveolus dan ruang interstitial

diantara endotel kapiler darah dan dinding alveolus. Penyebab edema paru ini
diantaranya adalah ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik, obstruksi
sistem limfatik pulmonal, dan penyakit yang dapat merusak epitel kapiler ataupun
alveolus.
2.1. Alveolus
Alveolus merupakan kantung yang dilapisi oleh epitel simpel squamosa
dan didukung oleh membran basement yang elastic. Dinding alveolus terdiri daru
dua tipe sel epitel alveolar. Sel alveolar tipe 1 jumlahnya lebih banyak
dibandingkan dengan sel alveolar tipe 2. Sel alveolar tipe 1 merupakan epitel
simpel skuamosa yang berada sepanjang dinding alveolus. Sel alveolar tipe 2 atau
biasanya disebut sebagai sel septal, merupakan sel epitel kuboid yang berada
diantara sel alveolar tipe 1. Sel alveolar tipe 1 berfungsi sebagai tempat utama
pertukaran gas. Sedangkan sel alveolar tipe 2 merupakan sel yang permukaannya
terdapat mikrofili yang mensekresi cairan alveolar dan berfungsi untuk menjaga
permukaan alveolus. Salah satu cairan alveolar tersebut adalah surfaktan, yang

15

terdiri dari fosfolipid dan lipoprotein. Surfaktan berfungsi menurunkan tekanan
cairan alveolus, yang menurunkan tendensi alveolus untuk kolaps (Derrickson &

Tortora, 2008).

Gambar 2. Anatomi Alveolus
Pada dinding alveolus terdapat pula alveolar makrofag atau disebut juga
sebagai sel dust, fungsi dari alveolar makrofag ini adalah untuk memfagosit atau
membuang partikel debu atau debris di ruang alveolar. Selain itu, terdapat juga
fibroblast yang memproduksi reticular dan serat elastic. Pada bagian luar
permukaan alveolus, arteriole dan venula lobules menyatuu menjadi pembuluh
darah kapiler yang terdiri dari satu lapis sel endotel dan membrane basement.
Pertukaran O2 dan CO2 antara ruang udara di paru dan pembuluh darah melalui
16

proses difusi melalui dinding alveolus dan endotel, yang bersama disebut sebagai
membrane pernafasan atau respiratory membrane. Jika dimulai dari rongga udara
alveolus menuju ke plasma darah, membrane pernafasan terdiri dari empat
lapisan. Lapisan pertama adalah dinding alveolus yang terdiri dari sel alveolar
tipe1, 2, dan alveolar makrofag; lapisan kedua adalah epitel membrane basement
yang berada di luar dinding alveolus; lapisan ketiga adalah membrane basement
kapiler; dan lapisan terakhir adalah endotel kapiler. Walaupun terdiri dari
beberapa lapisan, ketebalan lapisan ini hanya 0,5 µm sehingga difusi gas dapat

terjadi. Perkiraan jumlah alveoli di dalam paru-paru adalah sekitar 300 juta alveoli
(Derrickson & Tortora, 2008).
2.2. Ruang Intersitial Paru
Kapiler darah dipisahkan dengan gas alveolar oleh beberapa lapisan
anatomi, diantaranya adalah endotel kapiler, endotel membrane basement, ruang
interstitial, epitel membrane basement, dan epitel alveolus (tipe 1 pneumosit).
Membrane basement epitel dan endotel dipisahkan oleh ruang yang mengandung
jaringan ikat fibrosa, ikat elastic, fibroblast, dan makrofag. Tidak ada sistem
limfatik di ruang interstitial pada septum alveoli, kapiler limfatik pertama muncul
di ruang interstitial mengelilingi bronkiolus terminal, arteri, dan vena kecil
(Chruchill Livingstone, 2010).

17

Gambar 3. Alran Cairan Interstitial
Diantara sel endotel dan epitel, terdapat lubang atau penghubung yang
memungkinkan aliran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial, dan
akhirnya dari ruang interstitial menuju ruang alveolar. Penghubung antara sel
endotel biasanya lebih besar dan disebut loose, sedangkan penghubung antara sel
epitel relative lebih kecil yang disebut tight. Untuk mengetahui bagaimana cairan

interstitial paru diproduksi, disimpan, dan dibersihkan, maka kita harus
mengetahui konsepnya. Konsep pertama adalah ruang interstitial paru merupakan
terusan dari ruangan di antara jaringan ikat perianteriolar dan peribronchial yang
berlanjut menjadi ruang interstitial di antara membrane basement endotel dan
epitel di alveolus; kedua, tekanan negatifnya progresif dari distal ke proksimal
(Chruchill Livingstone, 2010).
Tidak ada sistem limfatik di ruang interstitial di septum alveolus. Kapiler
limfatik mulai ada di ruang interstitial yang mengelilingi terminal bronkiolus dan
arteri kecil. Cairan interstitial normalnya dibuang dari ruang interstitial alveolar ke
18

saluran limfa oleh mekanisme gradient tekanan, yang disebabkan karena tekanan
ruang interstitial yang lebih negative di daerah arteri besar dan brokus. Aliran
cairan interstitial yang menuju hilum dibantu oleh perbedaan tekanan negative,
katub limfatik, dan pulsasi arteri pulmonalis. Cairan tersebut akhirnya diteruskan
dari limfonodi ke sirkulasi vena sentral. Peningkatan tekanan vena sentral
menurunkan aliran limfa di paru-paru, yang dapat menjadi faktor edema
interstitial (Chruchill Livingstone, 2010).
III. KLASIFIKASI
Edema paru menurut penyebab dan perkembangannya diklasifikasikan

menjadi edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik. Edema paru
kardiogenik biasanya disebabkan karena gagal jantung kiri kongestif yang
akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru.
Sedangkan edema paru non-kardiogenik dikatagorikan berdasarkan kondisi yang
mendasarinya. Edema paru non-kardiogenik diklasifikasikan menjadi tekanan
rendah alveolus, peningkatan permeabilitas alveolus, atau edema neurogenik.
Sebagai contoh, penyebab penurunan tekanan alveolus adalah karena obstruksi
saluran nafas atas seperti paralisis laring, penyebab peningkatan permeabilitas
adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan edema neurogenik disebabkan oleh
epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi. Perbedaan antara kardiogenik dan nonkardiogenik sangat penting dilakukan tidak hanya untuk terapi, tapi juga untuk
alasan prognosis (Glaus et al, 2010).

19

Valvular
Kardiogenik
Non-valvular
Edema Paru

Tekanan

Rendah
Alveolus
Nonkardiogenik

Peningkatan
Permeabilitas
Alveolus
Neurogenik

Gambar 4. Klasifikasi Edema Paru
3.1. Edema Paru Kardiogenik
Edema paru kardiogenik akut adalah salah satu tanda dari gagal jantung
berat akut yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru
sampai lebih dari 18 mmHg yang disebabkan dari peningkatan tekanan vena paru.
Dari fisiologisnya sendiri, ruang intravascular dan ekstravaskular dipisahkan oleh
barier endotel. Tekanan yang berpengaruh dalam barier ini adalah tekanan
hidrostatik plasma dan tekanan onkotik plasma. Tekanan hidrostatik plasma
berfungsi untuk mendorong cairan ke luar jaringan. Sedangkan tekanan onkotik
plasma berfungsi untuk menjaga atau menarik cairan ke dalam ruang vaskuler.
Edema paru kardiogenik merefleksikan akumulasi cairan yang berisi protein

rendah di interstitium dan alveolus paru.

20

Gambar 5. Klasifikasi Edema Paru Kardiogenik
3.1.1. Etiologi
Edema paru kardiogenik disebabkan karena peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler paru yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam interstitium
dan alveolus paru. Peningkatan tekanan atrium kiri, peningkatan tekanan vena
paru, dan tekanan mikrovaskular paru dapat menyebabkan edema paru.
3.1.1.1. Obstruksi Aliran Atrium
Obstruksi aliran atrium dapat disebabkan karena stenosis katub mitral, atau
dalam kasus yang jarang dapat disebabkan oleh myxoma atrium, thrombosis pada
katub prostetik, atau adanya membrane kongenital di atrium kiri (contohnya, cor
triatrium). Stenosis mitral sering disebabkan karena demam rematik, yang
akhirnya dapat bermanifestasi sebagai edem paru. Penyebab lainnya terjadinya
edem paru kardiogenik yang bersamaan dengan stenosis katub mitral adalah
penurunan pengisian ventrikel kiri, yang dapat disebabkan oleh takikardia dan
aritmia (penyebab tersering adalah atrial fibrilasi) (Henry & Sovari, 2012).
3.1.1.2. Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri


21

Disfungsi sistolik merupakan penyebab tersering terjadinya edem paru
kardiogenik, hal ini didefinisikan sebagai penurunan kontraktilitas sel miokardium
yang dapat menurunkan volume output jantung. Penurunan output jantung
menstimulasi aktivitas simpatik dan meningkatkan volume darah dengan
mengaktivasi

sistem

rennin-angiotensin-aldosteron

yang

nantinya

akan

menyebabkan penurunan waktu pengisian ventrikel kiri, dan peningkatan tekanan

hidrostatik kapiler (Henry & Sovari, 2012).
Kegagalan ventrikel kiri kronis, biasanya disebabkan karena penyakit
gagal jantung kongestif atau kardiomiopati. Penyebab eksaserbasi akut penyakit
ini meliputi, infark miokard akut (IMA), pasien dengan ketidakpatuhan
pembatasan diet garam, pasien dengan ketidakpatuhan mengkonsumsi obat
diuretic, anemia berat, sepsis, thyrotoksikosis, myokarditis, toksin myocardial
(alkohol, kokain, agen kemoterapi), penyakit katub jantung kronis, stenosis aorta,
regurgitasi aorta, dan regurgitasi mitral (Henry & Sovari, 2012).
3.1.1.3. Disfungsi Diastolik Ventrikel Kiri
Infark dan iskemia dapat menjadi penyebab terjadinya disfungsi diastolic
ventrikel kiri. Dengan mekanisme yang hampir sama, kontusio myocardial
menyebabkan disfungsi baik sistolik maupun diastolic. Disfungsi diastolic
merupakan pertana penurunan pada distensisitas atau compliance diastolic
ventrikel kiri. Karena distensisitas ventrikel kiri menurun, peningkatan tekanan
diastolic diperlukan untuk mendapatkan stroke volume yang normal. Meskipun
kontraktilitas ventrikel kiri normal, penurunan output jantung dalam hubungannya
dengan peningkatan tekanan akhir diastolic, menyebabkan timbulnya edema paru
hidrostatik. Abnormalitas diastolic dapat pula disebabkan karena konstriksi
pericarditis dan tamponade jantung (Henry & Sovari, 2012).
3.1.1.4. Disritmia

Disritmia

merupakan

gangguan

irama

jantung

akibat

perubahan

elketrofisiologis sel-sel miokardial yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan
irama, frekuensi, dan konduksi jantung. Onset baru dan cepat dari fibrilasi atrium
dan takikardia ventricular dapat menyebabkan keadaan edem paru kardiogenik
(Henry & Sovari, 2012).

22

3.1.1.5. Hipertrofi dan Miopati Ventrikel Kiri
Hiperttofi dan miopati ventrikel kiri dapat meningkatkan kekakuan
ventrikel kiri dan peningkatan tekanan akhir diastolic, yang nantinya akan
menimbulkan edema paru yang terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler paru (Henry & Sovari, 2012).
3.1.1.6. Cairan Berlebih Ventrikel Kiri
Cairan berlebih dapat terjadi pada keadaan kardiak maupun non-kardiak.
Kondisi kardiak dapat disebabkan karena rupturnya septum ventrikel, insufisiensi
aorta akut maupun kronik, dan regurgitasi mitral akut maupun kronik.
Endokarditis, disseksi aorta, rupture trauma, rupturnya fenestrasi katub
kongenital, dan penyebab iatrogenic merupakan etiologi penting terjadinya
regurgitasi akut aorta yang nantinya dapat menyebabkan edema paru (Henry &
Sovari, 2012).
Ruptur septum ventrikel, insufisiensi aorta, dan regurgitasi mitral dapat
menyebabkan peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri dan peningkatan
tekanan atrium kiri, dan dapat menjadi penyebab terjadinya edema paru. Obstruksi
aliran ventrikel kiri, seperti pada kasus stenosis aorta, dapat menyebabkan
peningkatan tekanan pengisian akhir diastolic, penignkatan tekanan atrium kiri,
dan akhirnya terdapat peningkatan tekanan kapiler paru (Henry & Sovari, 2012).
Peningkatan retensi sodium dapat terjadi pada kasus disfungsi sistolik
ventrikel kiri. Namun, dalam kondisi tertentu, seperti pada penyakit ginjal primer,
retensi sodium, dan kelebihan cairan dapat memainkan peran utama terjadinya
edema paru. Edema paru kardiogenik dapat pula terjadi pada pasien gagal ginjal
yang memerlukan hemodialisis (Henry & Sovari, 2012).
3.1.1.7. Infark Miokardial
Infark miokardial dapat menjadi salah satu penyebab edema paru
kardiogenik, oleh beberapa sebab. Salah satunya adalah komplikasi mekanis dari
infark miokardial, yaitu rupturnya septum ventrikel atau otot papilar. Komplikasi
mekanis ini secara langsung akan meningkatkan volume load pada serangan akut,
yang nantinya akan menimbulkan terjadinya edema paru (Henry & Sovari, 2012).
3.1.1.8. Obstruksi Aliran Ventrikel Kiri

23

Stenosis akut pada katub aorta dapat menyebabkan edema paru. Namun,
stenosis yang diakibatkan karena penyakit kongenital, kalsifikasi, disfungsi
prostetik, atau penyakit rematik, biasanya berlangsung secara kronis dan dapat
menimbulkan adaptasi hemodinamik pada jantung. Adaptasi hemodinamik ini
diantaranya adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang dapat menyebabkan edema paru
karena disfungsi diastolic ventrikel kiri. Hipertrofi kardiomiopati merupakan
penyebab obstruksi aliran dinamik ventrikel kiri (Henry & Sovari, 2012).
3.1.2. Patofisiologis
Kapiler pembuluh darah paru dan gas di dalam alveolus dipisahkan oleh
membrane kapiler-alveolar. Membran ini terbagi menjadi tiga lapisan, lapisan
pertama adalah endotel kapiler; lapisan kedua adalah ruang interstitial yang terdiri
dari jaringan ikat, fibroblast, dan makrofag; dan lapisan terakhir adalah epitel
alveolus. Pertukaran cairan normalnya terjadi diantara vascular bed dan ruang
interstitium. Edema paru terjadi saat aliran cairan dari vaskuler ke dalam ruang
interstitial meningkat (Henry & Sovari, 2012).
Hukum starling menentukan keseimbangan cairan diantara alveolus dan
vascular bed. Aliran cairan yang melintas antar membrane ditentukan oleh
persamaan:
Q = K (Pcap – Pis) – I (Pcap – Pis)
dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah tekanan
hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis adalah
tekanan hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog cairan ke
kapiler; dan I adalah koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas dinding
kapiler dalam mencegah filtrasi protein; Pcap kedua adalah tekanan osmotic
koloid plasma, yang cenderung menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua adalah
tekanan osmotic koloid dalam cairan interstitial, yang menarik cairan keluar dari
kepiler (Henry & Sovari, 2012).
Filtrasi cairan dapat meningkat dengan perubahan parameter dari hukum
Starling tersebut. Edema paru kardiogenik secara predominan terjadi karena
gangguan aliran pada atrium kiri atau karena disfungsi ventrikel kiri. Pada edem

24

paru yang terjadi karena peningkatan tekanan kapiler paru, maka tekanan kapiler
parunya harus lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan koloid osmotic plasma.
Tekanan kapiler paru normalnya 8 – 12 mmHg, dan tekanan osmotic koloidnya
adalah 28 mmHg (Henry & Sovari, 2012).
Sistem limfa memainkan pernana penting dalam menjaga agar cairan di
paru selalu seimbang dengan cara membuang cairan, koloid, atau liquid dari ruang
interstitial dengan kecepatan 10 – 20 mL/jam. Pada peningkatan tekanan kapiler
arteri paru melebihi 18 mmHg, hal ini dapat meningkatkan filtrasi dari cairan ke
dalam ruang interstitium, namun kecepatan pembuangan sistem limfa tidak ikut
meningkat. Hal ini berbeda dengan peningkatan tekanan atrium kiri yang kronis,
dengan kecepatan pembuangan sistem limfe bisa sampai 200 mL/jam, yang dapat
memproteksi paru dari edema paru (Henry & Sovari, 2012).
3.1.3. Stadium
Terdapat tiga stadium pada edema paru kardiogenik menurut prosesnya.
Stadium pertama atau biasa disebut sebagai stage 1 adalah peningkatan tekanan
atrium kiri yang dapat menyebabkan distensi dan pembukaan pembuluh paru
kecil. Pada stadium ini, pertukaran gas darah tidak terganggu. Pada stadium kedua
atau stage 2, cairan dan koloid berpindah ke ruang interstitium paru dari kapiler
paru, namun peningkatan aliran limfa dapat secara efisien membuang cairan
tersebut. Berlanjutnya filtrasi cairan yang terus-menerus dapat membuat kapasitas
drainase limfatik tidak dapat mengkompensasinya lagi. Akumulasi cairan di ruang
interstitium dapat mengganggu pertukaran gas yang dapat menyebabkan
hipoksemia. Hipoksemia pada stadium ini dapat menstimulasi terjadinya takipneu.
Takipneu dapat terjadi karena stimulasi reseptor juxtapulmonary kapiler. Pada
stadium terakhir atau stage 3, filtrasi cairan di ruang interstitial berlanjut yang
akhirnya sampai memenuhi ruang tersebut (diperkirakan 500 mL cairan).
Akhirnya cairan berpindah dari ruang interstitium ke epitel alveolar, dan akhirnya
memenuhi ruang alveolar. Pada stadium ini, abnormalitas pertukaran gas dapat
dilihat, kapasitas vital, dan volume respiratory menurun, yang menyebabkan
hipoksemia menjadi lebih berat (Henry & Sovari, 2012).

25

3.1.4. Manifestasi Klinis
Pasien dengan edema paru kardiogenik biasanya memiliki gejala klinis
gagal jantung kiri. Pasien biasanya mengeluhkan sesak nafas yang tiba-tiba dan
berat, rasa cemas, dan perasaan seperti tenggelam. Manifestasi klinis dari edema
paru kardiogenik akut mencerminkan bukti adanya hipoksia dan peningkatan
tonus simpatis. Pada pasien dengan edema paru kardiogenik, keluhan paling
sering adalah sesak nafas dan diaphoresis atau keringat berlebihan. Pasien
biasanya mengeluhkan dispneu saat aktifitas, ortopneu, dan paroksismal nocturnal
dispneu. Batuk adalah keluhan yang sering dan dapat memberikan petunjuk awal
adanya perburukan edema pada paru pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang
kronis. Sputum berwarna pink dan berbusa mungkin dikeluhkan oleh pasien
dengan penyakit yang parah. Kadang disertai suara serak dikarenakan gangguan di
persarafan laring karena stenosis mitral atau hipertensi pulmonal. Nyeri dada
harus diwaspadai oleh dokter sebagai kemungkinan untuk infark miokardial akut,
atau diseksi aorta dengan regurgitasi aorta (Henry & Sovari, 2012).
3.1.5. Pemeriksaan Fisik
Temukan fisik pada pasien dengan edema paru kardiogenik didapatkan
takipneu dan takikardi. Pasien mungkin duduk secara tegak untuk mendapatkan
udara yang lebih. Selain itu pasien juga dapat menjadi gelisah, cemas, bingung,
dan mengeluarkan banyak keringat. Hipertensi sering didapatkan karena adanya
keadaan hiperadrenergik. Hipotensi menunjukkan disfungsi sistolik ventrikel kiri
yang parah yang dapat merupakan kemungkinan adanya syok kardiogenik.
Auskultasi paru-paru biasanya menunjukkan hasil normal, tapi ronki atau
wheezing mungkin dapat terdengar. Pada auskultasi kardiovaskuler biasanya
penting untuk mendengarkan adanya S3 pada jantung, penemuan adanya murmur
dapat membantu dalam diagnosis gangguan katub akut. Stenosis aorta dikaitkan
dengan murmur sistolik yang keras yang dapat terdengar baik sternum atas dan
menjalar ke arteri karotis. Sebaliknya, regurgitasi aorta akut dapat ditemukan
murmur diastolic yang lembut (Henry & Sovari, 2012).
Regurgitasi mitral akut akan ditemukan murmur sistolik keras yang
terdengar baik di apeks atau di sternum bagian bawah. Stenosis mitral biasanya

26

menghasilkan S1 keras, dan gemuruh diastolik pada apeks jantung. Gejala klinis
lain adalah kulit yang pucat atau bintik-bintik yang diakibatkan vasokonstriksi
perifer. Pasien dengan gagal jantung ventrikel kanan mungkin dapat ditemukan
hepatomegali, hepatojugular reflux, dan edema perifer. Edema paru kardiogenik
parah mungkin terkait dengan perubahan status mental, yang dapat disebabkan
oleh hipoksia atau hiperkapnia. Meskipun edema paru kardiogenik biasanya
berhubungan dengan hipokapnia, hiperkapnia dengan asidosis respiratorik dapat
dilihat pula pada pasien dengan edema paru kardiogenik parah atau penyakit
obstruktif kronik yang mendasari (Henry & Sovari, 2012).
3.1.6. Pemeriksaan Penunjang
3.1.6.1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan dalam evaluasi pasien
dengan penyakit edema paru kardiogenik adalah sebagai berikut; hitung darah
lengkap, pemeriksaan ini digunakan untuk membantu dalam menilai apakah
terdapat anemia berat, sepsis, atau infeksi yang dapat dinilai dari hitung leukosit;
hitung elektrolit, pasien dengan CHF kronis sering mendapatkan terapi diuretic
yang merupakan suatu predisposisi abnormalitas elektrolit, terutama hipokalemia
dan hipomagnesia; BUN dan kreatinin, pemeriksaan ini digunakan untuk
mengetahui apakah terdapat gagal ginjal dan mengantisipasi respon diuretic, pada
disfungsi sistolik, penurunana BUN dan kreatinin merupakan pertanda adanya
hipoperfusi dari ginjal; Oksimetri, pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui
adanya hipoksia, pemeriksaan ini penting dalam memonitoring respon pasien
untuk suplementasi oksigen dan terapi lainnya; analisis gas darah digunakan untuk
melihat secara akurat saturasi oksigen (Henry & Sovari, 2012).
3.1.6.2. Elektrokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai hipertrofi atrium kiri dan
ventrikel kiri. Selain itu dapat digunakan sebagai indicator disfungsi kronis
ventrikel

kiri. Elektrokardiogram

juga dapat digunakan untuk melihat

takidisritmia akut atau bradidisritmia pada penyakit iskemia atau infark
miokardial akut sebagai salah satu penyebab dari edema paru kardiogenik (Henry
& Sovari, 2012).

27

3.1.6.3. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiograf pada pasien dengan gagal jantung kronis
sangat penting dilakukan sebagai pemeriksaan diagnosis untuk mengetahui
etiologi dari edema paru. Ekokardiograf dapat digunakan untuk mengetahui fungsi
dari sistolik maupun diastolic ventrikel kiri, gangguan fungsi katub, dan
mengetahui penyakit pericardial. Selain itu, pemeriksaan ini dapat digunakan
untuk mengetahui beberapa etiologi mekanis penyebab edema paru seperti,
rupture akut otot papilar, ventricular septal defect akut, tamponade jantung,
rupture ventrikel kiri, vegetasi katub yang akhirnya dapat menimbulkan
regurgitasi aorta (Henry & Sovari, 2012).
3.1.7. Tatalaksana
Manajemen utama pada pasien dengan edema paru kardiogenik termasuk
didalamnya adalah resusitasi ABC (airway, breathing, dan circulation). Oksigen
seharusnya diberikan pada semua pasien untuk menjaga saturasi oksigen lebih
dari 90%. Penyakit yang mendasari seperti aritmia atau infark miokard seharusnya
diterapi dengan sesuai. Oksigen diberikan melalui face mask¸ CPAP, intubasi, dan
ventilasi mekanis dapat dipilih tergantung dari keadaan hipoksemia dan asidosis,
sertia kesadaran pasien (Henry & Sovari, 2012).
Tujuan manajemen dari edema paru kardiogenik adalah, pertama
penurunan venous return paru (preload reduction), penurunan resistensi vascular
sistemik (afterload reduction), dan penggunaan obat inotropik. Reduksi preload
digunakan untuk menurunkan tekanan hidrostatik kapiler paru dan penurunan
transudari cairan ke dalam ruang interstitium dan alveolus paru. Reduksi afterload
digunakan untuk meningkatkan cardiac output dan meningkatkan perfusi ke
ginjal, sehingga dieresis dapat berjalan pada pasien dengan kelebihan cairan
(Henry & Sovari, 2012).
Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri atau pada penyakit katub
jantung, kemungkinan akan terjadi hipotensi. Pasien ini mungkin tidak akan
mengalami perbaikan dengan pengobatan yang menurunkan preload dan afterload.
Oleh karena itu, pengobatan inotropik diperlukan untuk pasien ini untuk menjaga
tekanan darah secara adekuat. Pasien yang masih hipoksia memerlukan suplemen

28

oksigen serta pada pasien dengan distress pernafasan memerlukan bantuan
ventilasi (Henry & Sovari, 2012).
3.1.7.1. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi cairan merupakan prosedur membuang cairan yang sangat
berguna pada pasien dengan disfungsi ginjal dan pada pasien dengan resistensi
diuretic (Henry & Sovari, 2012).
3.1.7.2. Intra-aortic Balloon Pumping
Intra-aortic balloon pumping dapat digunakan untuk menstabilasi
hemodinamik pada pasien sebelum dimulainya terapi definitive. Fungsi dari intraaortic balloon pumping ini adalah menurunkan afterload, saat diatol balon ini
gunakan untuk meningkatkan aliran darah koroner (Henry & Sovari, 2012).
3.1.7.3. Diet
Pasien dengan gagal jantung atau edema paru seharusnya diberikan diet
rendah garam untuk menurunkan retensi cairan. Selain itu, keseimbangan cairan
seharusnya juga dimonitor (Henry & Sovari, 2012).
3.2. Edema Paru Non-Kardiogenik
Edema paru non-kardiogenik adalah edema yang disebabkan karena
perubahan permeabilitas dari membrane kapiler paru yang mengakibatkan
keadaan patologis baik secara langsung maupun tidak langsung. Edema paru nonkardiogenik dapat disebut juga sebagai respiratory distress syndrome. RDS yang
ringan disebut sebagai acute lung injury, dan RDS yang berat disebut sebagai
acute respiratory distress syndrome. Edema paru non-kardiogenik mempunyai
karakteristik kerusakan alveolus difus yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membrane kapiler alveolus dan juga akumulasi cairan yang kaya
protein di ruang alveolus.
3.2.1. Etiopatologi
Beberapa mekanisme telah diketahui sebagai penyebab terjadinya edema
paru non-kardiogenik. Sebagai contoh adalah tekanan alveolar yang rendah,
peningkatan permeabilitas vaskuler, peningkatan tekanan hidrostatik, dan
kombinasi ketiganya. Beberapa penyebab edema paru non-kardiogenik menurut
patofisiologinya terjadi karena penurunan tekanan alveolar (edema post obstruksi

29

atau reekspansi edema), edema neurogenik, vaskulitis, dan peningkatan edema
paru. Sebagai contoh, penyebab penurunan tekanan alveolus adalah karena
obstruksi saluran nafas atas seperti paralisis laring, penyebab peningkatan
permeabilitas adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan edema neurogenik
disebabkan oleh epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi. Penurunan tekanan
alveolus mungkin juga terjadi setelah pleurosentesis, pneumotorax, obstruksi
saluran nafas atas (sindroma brachycephalic, paralisis laring, ataupun kolaps
trakeal). Pada neurogenik edema, secara patofisiologi terjadi karena peningkatan
aktivasi simpato-andregenik di medulla oblongata. Hal ini berpengaruh pada
konstriksi vena paru yang membuat darah mengalir lebih banyak dari sistemik ke
sirkulasi pulmonal, hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatis
yang akhirnya dapat menyebabkan edema. Peningkatan permeabilitas vaskuler
menjadi masalah besar penyebab edema paru non-kardiogenik. Hal ini
diakibatkan karena kerusakan berat dan difus pada parenkim paru, yang
menyebabkan permeabilitas endotel dan epitel terganggu, sehingga menyebabkan
cairan yang kaya akan protein keluar (Glaus, 2012).

Gambar 6. Etiologi Edema Paru Non-Kardiogenik

30

Menurut penyebabnya, edema paru non-kardiogenik dibagi menjadi
penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung dari edema
paru non-kardiogenik adalah aspirasi, injuri inhalasi, kontusio pulmonal, infeksi
difus paru. Sedangkan penyebab tidak langsung dari edema paru non-kardiogenik
ini adalah sepsis, syok sepsis, overdosis obat, pancreatitis, uremia, dan
koagulopati. Penyebab langsung berarti etiologi tersebut menyebabkan kerusakan
langsung pada epitel alveolus, sedangkan penyebab tidak langsung berarti
kerusakan epitel terjadi karena dampak tidak langsung atau karena penyebaran
mediator inflamasi secara hematogen. Peneybab tersering terjadinya edema paru
non-kardiogenik adalah infeksi difus paru (direk) dan sepsis (indirek) (Perina,
2003).

Gambar 7. Toxin Penyebab Tersering Non-Kardiogenik
Proses inflamasi yang terjadi pada alveolar dibagi menjadi tiga proses.
Proses pertama adalah inisiasi, yaitu persipitasi antigen oleh antigen presenting
cell, yang nantinya akan melepaskan mediator-mediator inflamasi. Tahap kedua
adalah tahap amplifikasi, yaitu aktifnya neutrofil di organ target (paru). Tahap
terakhir adalah injury, pada tahap ini sel yang mengalami inflamasi akan
melepaskan metabolit O2 reaktif yang akan menimbulkan kerusakan sel.
31

Kerusakan sel ini akan mengeakibatkan permeabilitas vascular meningkat, yang
menyebabkan akumulasi cairan berisi protein di alveolus, dan akhirnya akan
membentuk membrane hialin yang berisi fibrin atau protein. Selain itu, kerusakan
sel dapat menimbulkan penurunan produksi surfaktan yang menyebabkan alveolus
dapat kolaps yang akhirnya akan menurunkan compliance paru yang
menyebabkan peningkatan usaha untuk bernafas sehingga timbul distress respirasi
(Perina, 2003).
3.2.2. Manifestasi Klinis
Edema paru non-kardiogenik mempunyai berbagai derajat manifestasi
distress pernafasan yang nantinya dapat menimbulkan kegagalan pernafasan.
Tanda klinis awal pada edema paru non-kardiogenik adalah peningkatan usaha
untuk bernafas yang ditandai dengan adanya takipneu dan dispneu. Auskultasi
paru sulit untuk membedakan antara edema paru kardiogenik dan edema paru
non-kardiogenik. Beberapa manifestasi untuk membedakan dengan penyebab
kardiogenik diantaranya adalah tidak adanya edema perifer, distensi vena
jugularis, dan gallop ventrikel.
3.2.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya adalah
pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan hasil abnormal sesuai dengan
penyebab dasar penyakit atau underlying disease-nya. Tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang spesifik untuk mengidentifiikasi edema paru non-kardiogenik.
Pemeriksaan serum protein mungkin dapat berguna dalam membedakan antara
edema paru kardiogenik dan edema paru kardiogenik. Pasien dengan edema paru
non-kardiogenik menunjukkan hasil adanya hipoproteinemia yang reversible, hal
ini menyarankan bahawa hipoproteinemia dapat digunakan sebagai tanda adanya
edema paru non-kardiogenik. Pemeriksaan IL-8 juga dapat digunakan untuk
mengetahui adanya hipoksia yang cepat pada stadium awal dari ALI atau acute
lung injury sebelum menjadi acute respiratory distress syndrome. Pemeriksaan
saturasi O2 penting digunakan untuk melihat perkembangan penyakit ini.
Penurunan saturasi oksigen, dapat menjadi indikasi dilakukannya pengukuran gas
darah. Pemeriksaan radiografi biasanya menunjukkan hasil yang normal, atau

32

terdapat infiltrate difus bilateral, ataupun infiltrate alveolus. Gambaran jantung
biasanya normal (Perina, 2003).
3.2.4. Tata Laksana
Pada awal terjadinya kerusakan, mungkin pasien tidak mengeluhkan
adanya gejala dan tanda gangguan pernafasan. Tanda awal adalah terjadinya
peningkatan frekuensi pernafasan yang diikuti oleh dispneu. Analisis gas darah
arteri sebaiknya dilakukan untuk melihat tipe dan derajat abnormalitas pertukaran
darah. Pada pasien dengan hipoksemia (PO2

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22