Kajian Eksperimental Performansi Motor Bakar Satu Silinder Dengan Bahan Bakar Biogas Dan Bahan Bakar Gas Lpg

(1)

86

DAFTAR PUSTAKA

1. Al Seadi,T. (2008). Biogas Handbook. Denmark 2. Anonim. (2007). Departemen Pertanian.

3. Arismunandar, W. ( 1988). Penggerak Mula Motor Bakar Torak. Penerbit ITB Bandung.

4. Fontenot, J.p, L.W. smith dan A.L. Sutton. (1983). Alternative Utilization of

Animal Waste. J. Anim. Sci. Vol57. London.

5. Heywood. J. B. ( 1998). Internal Combustion Engines Fundamental. New York.

6. Holman, J.P. (1984). Experimental Methods for Engineers. McGraw-Hill Book, Inc.

7. Karki, A. B. dan K. Dixit. (1984). Biogas Fieldbook. Sahayogi Press, Kathmandu, Nepal.

8. Kumar, S. (2012). Biogas. Croatia.

9. Khurmi. R.S. (2005). Theory Of Machine. Eurasia Publishing House. 10. Meynell. (1976). Energy For World Agricultural. FAO-UN. Roma.

11. Musanif, J,. Wildan A.A, David M.N. ( 2006). Biogas Skala rumah Tangga. Departemen Pertanian. Jakarta.

12. PT BADAK NGL. (2009). Laporan Tahunan 2009. PT BADAK NGL. 13. Pulkrabek, W. W. ( 1997). Engineering Fundamental of the Internal

Combustion Engine. New Jersey. Prentice Hall.

14. Shigley, J . E. , M i s ch k e , C . R d an B ud yn as , R . G . (1991). Perencanaan Teknik Mesin, Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

15. Sufyandi, A. (2001). Informasi Teknologi Tepat Guna untuk Pedesaan Biogas. Bandung.

16. Tambunan, A.H., Salundik, M. Solahudin, J.P. Situmorang, 2009. Aplikasi Flexibel Tank Dari Karet Sebagai Penampung Biogas Portabel. IPB: Bogor. 17. Uli, W., Stohr, U. dan Hees, N. (1989). Biogas Plants in Animal Husbandry:

A Practical Guide. GATE Publication, Germany.

18. Yunus, M., (1995). Teknik Membuat Dan Memanfaakan Unit Gas Bio. Univesitas Gajah Mada Press: Yogyakarta.


(2)

55 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Pengujian ini dilakukan dibeberapa tempat sebagai berikut :

a. Pengujian performansi untuk mendapatkan data-data parameter seperti: putaran mesin, torsi, dan konsumsi bahan bakar dilakukan di Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara selama 3 bulan.

3.2 Alat Pengujian

Adapun alat pengujian yang digunakan adalah : 1. Mesin potong rumput

Mesin yang digunakan untuk penelitian yaitu mesin pabrikan dari Tagawa dengan tipe tgx 437.

Gambar 3.1 Mesin potong rumput Tagawa tgx-437 Spesifikasi mesin sebagai berikut :

Tipe mesin : 4 langkah ,pendingin udara,


(3)

56

Diameter x langkah : 53,5 mm x 48,8 mm Perbandingan Kompresi : 9,6 : 1

Torsi Maksimum : 0,81 kg.m/5.500 rpm

Volume langkah : 37,7 cc

Daya Maksimum : 1,0 Kw pada 6500 rpm

Kapasitas Minyak Pelumas Mesin : 80 ml pada penggantian periodik

Starter : engkol

Busi : NGK C6HS ; ND U20 FS-U Sistem Pengapian : Transistor magneto

Berat Mesin : 3,8 kg

2. Rope brake Dynamometer


(4)

57 3. Tachometer

Digunakan untuk mengukur putaran mesin

Gambar 3.3 Tachometer

Alat ukur yang digunakan adalah portable digital tachometer dengan spesifikasi sebagai berikut :

 Batas ukur 2,5-9999 rpm dengan ketelitian ±0,05%

 Daya 2 x 1,5 V

 Ukuran 108 (P) x60 (l) x 32(t) mm

 Berat 73 gr

 Sampling time 0,5s (over 120 Rpm) 4. Timbangan

a. Digunakan untuk mengukur berat tabung gas yang digunakan dan beban pada puli.

Gambar 3.4 Timbangan gantung digital

Timbangan yang digunakan adalah timbangan gantung digital merek xinexten dengan spesifikasi sebagai berikut :

 Daya 2x1,5 V

 Beban maksimum 40 kg dengan ketelitian ± 10 gr b. Digunakan untuk mengukur berat bahan bakar biogas.


(5)

58 Gambar 3.5Timbangan Digital

Timbangan yang digunakan adalah timbangan digital merek ion dengan spesifikasi sebagai berikut :

 Daya 2x1,5 V

 Beban maksimum 5 kg dengan ketelitian ± 1 gr 5. Ban dalam

Gambar 3.6 Bahan bakar biogas ditempatkan pada ban dalam 6. Stopwatch

Digunakan untuk mengukur waktu pemakaian bahan bakar per 10 ml.


(6)

59 7. Tools

Digunakan untuk melakukan pemasangan dan pembongkaran mesin potong rumput cc selama pengujian.

Gambar 3.8 Toolbox

Adapun beberapa alat-alat yang digunakan selama pengujian diantaranya adalah sebagai berikut:

o Obeng (±)

o Tang jepit, tang potong dan tang buaya o Kunci-kunci pas dan kunci ring

3.3 Bahan Pengujian

Adapun bahan pengujian yang digunakan adalah: 3.3.1. Bahan Bakar

Adapun bahan bakar yang digunakan dalam pengujian ini adalah: a. LPG (liquified petroleum gas)


(7)

60

LPG (liquified petroleum gas), adalah campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari menambah tekanan dan menurunkan suhunya, LPG berubah menjadi cair, spesifikasi umumnya sebagai berikut:

 Berupa bahan bakar dalam bentuk gas

 Terdiri atas Propane (C3H8) 30% dan Butane (C4H10) 70%.  Nilai kalor (± 21.000 BTU/lb)

b. Biogas

Gambar 3.10 Bahan bakar biogas ditempatkan pada ban dalam

Biogas adalah campuran gas yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik yang terjadi pada material – material yang dapat terurai secara alami dalam kondisi anaerobik. Komponen biogas: ± 60 % CH4 (metana), ± 38 % CO2 (karbondioksida), ± 2 % N2, O2, H2, dan H2S. Biogas dapat dibakar seperti elpiji, dalam skala besar biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik, sehingga dapat dijadikan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan (Musanif, J, dkk, 2006).

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1.Pembuatan Instalasi Biogas

Untuk membuat sebuah instalasi biogas diperlukan prosedur agar tingkat keberhasilan semakin tinggi, berikut langkah pembuatan biogas :


(8)

61 3.4.1.1. Rancang Bangun Instalasi Biogas

Pada bagian ini, dilakukan penentuan desain instalasi biogas, perencanaan gambar dan pembuatan instalasi biogas.

Prosedur kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut: • Penentuan desain instalasi biogas

• Membuat desain gambar instalasi biogas dan bahan yang dipergunakan • Menghitung bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan instalasi biogas • Menyediakan alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pengerjaan • Pengerjaan alat penghasil biogas yang terdiri dari :

a. Tangki pengaduk

Tangki pengaduk merupakan tempat pencampuran antara limbah kotoran sapi, jerami, air dan EM4. Tujuannya agar campuran kotoran sapi, jerami, air dan EM4 menjadi homogen sehingga proses fermentasi menjadi lebih baik.

Gambar 3.11. Tangki Pengaduk b. Tangki pencerna (Digester)

Tangki pencerna (digester) adalah komponen yang sangat perlu diperhitungkan dalam segi kekuatan bahan dan praktis dalam pembuatan dilapangan. Pembuatan digester yang dibuat adalah dengan bahan tipe floating drum.


(9)

62

Gambar 3.12. Tangki Pencerna (Digester) c. Pembuatan tangki pengumpul biogas

Tangki pengumpul biogas digunakan untuk mengumpulkan gas yang dihasilkan pada digester.

Gambar 3.13. Tangki pengumpul gas

• Pengujian kebocoran terhadap tangki pencerna dan tangki penampung biogas dengan air kemudian diberi tanda apabila terjadi kebocoran untuk dilakukan pengerjaan kembali hingga bebas kebocoran.

• Melakukan finishing seluruh alat penghasil biogas dan komponennya. • Perakitan alat instalasi biogas.

3.4.1.2.Persiapan Bahan Isian Digester

Bahan yang digunakan berupa campuran kotoran sapi, jerami padi, air, dan EM4 (Effective Mikroorganism)sebagai starter. Jumlah EM4 yang digunakan untuk volume isian 220 L adalah sebanyak 50 ml. Jadi, untuk bahan isian 300 L digunakan EM4 sebanyak 68,1 ml. Sedangkan fungsi dan cara kerja jerami padi sama seperti kotoran sapi yakni menghasilkan biogas.


(10)

63

Banyaknya bahan campuran dan air digunakan perbandingan 1:2. Untuk memperoleh volume total campuran 300 liter yaitu :

• Bahan campuran : 100 liter

• Air : 200 liter

Gambar 3.14. Proses persiapan bahan isi digester 3.4.1.3.Proses Pengisian Bahan Pada Tangki Pencerna

Proses pencampuran bahan isian (kotoran sapi, jerami padi, air dan EM4) dilakukan di dalam tangki pengaduk sampai diperoleh campuran yang homogen. Setelah campuran benar-benar homogen, maka dilanjutkan pengisian kedalam digester yang dilakukan pada hari yang sama.


(11)

64 3.4.1.4.Proses Fermentasi

Fermentasi yang terjadi pada proses pembentukan biogas yaitu fermentasi anaerob. Oleh karena itu digester harus diamati dan diawasi jangan sampai terjadi kebocoran, karena sedikit saja isian digester kontak udara luar, maka fermentasi tidak akan berlangsung. Setelah 7 hari fermentasi dilakukan pembuangan gas yang ada pada tangki pengumpul dengan tujuan agar gas yang masih banyak mengandung CO2 terbuang. Kemudian dilakukan pengamatan parameter dimulai pada hari ke 8.

Gambar 3.16. Proses pengamatan biogas hasil fermentasi 3.4.1.5. Pengujian Biogas

Pengujian dilakukan dengan mengalirkan biogas ke tangki penampung kemudian dilakukan test nyala api pada ujung katup untuk melihat gas yang dihasilkan apakah berkualitas baik .


(12)

65

Gambar 3.17. Diagram alir pembuatan instalasi biogas 3.4.2. Pembuatan Rope Brake Dynamometer

Pada bagian ini, dilakukan penentuan desain rope brake dynamometer, pembuatan gambar, penentuan bahan dan pengerjaan.

Prosedur kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut: • Penentuan desain rope brake dynamometer

• Membuat desain gambar rope brake dynamometer dan bahan yang dipergunakan

• Menghitung bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan rope brake dynamometer


(13)

66

• Menyediakan alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pengerjaan rope brake dynamometer

• Pengerjaan rope brake dynamometer yang terdiri dari : a. Rangka

b. Poros c. Puli

• Perakitan rope brake dynamometer


(14)

67 3.4.3. Prosedur Modifikasi Mesin Potong Rumput dengan Menggunakan

Bahan Bakar LPG dan Bahan Bakar Biogas

Dikarenakan bahan bakar yang digunakan berupa bahan bakar berbentuk gas maka dilakukan modifikasi agar karburator dapat menyalurkan bahan bakar ke ruang bakar.

3.4.3.1. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Memodifikasi Karburator 1. Karburator

Karburator merupakan bagian dari mesin yang bertugas dalam sistem pengabutan(pemasukan bahan bakar ke dalam silinder). Untuk itu fungsi dari karburator antara lain:

 Untuk mengatur bahan bakar dan udara ke saluran isap.

 Mencampur bahan bakar dan udara secara merata

 Untuk mengatur perbandingan bahan bakar-udara pada berbagai kecepatan motor.

Gambar 3.19 Karburator

Karburator yang digunakan pada mesin potong rumput adalah karburator tipe venturi.

8. Selang regulator

Gambar 3.20 Selang regulator 3.Kran

Berfungsi untuk membuka dan menutup saluran selang regulator ke mesin


(15)

68

Gambar 3.21 Kran 9. Selang minyak sepeda motor

Gambar 3.22 Selang minyak sepeda motor 10. Orifice

Orifice merupakan komponen tambahan yang berguna untuk menyalurkan bahan bakar LPG atau biogas ke dalam ruang bakar.

Gambar 3.23 Orifice 3.4.3.2. Memodifikasi karburator

Proses modifikasi pada karburator dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut :

1. Lepas saringan udara, untuk memudahkan membuka karburator. 2. Lepas pentutup mesin

3. Lepas karburator beserta saluran masuk


(16)

69

5. Pasang orifice pada saluran masuk

6. Setelah memasang orifice kemudian memasang karburator, pastikan baut, gaskets dan choke diposisi yang benar.

Gambar 3.24 Karburator yang dimodifikasi 3.5. Prosedur Pengujian

Sebelum pengujian dilaksanakan, terlebih dahulu persiapkan hal-hal berikut: Prosedur pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Persiapan bahan bakar yang akan digunakan untuk pengujian yakni LPG dan biogas.

2. Menyediakan air pendingin untuk pengujian.

3. Pengecekan alat ukur seperti timbangan digital,tachometer,stopwatch berfungsi dengan baik.

4. Pengecekan suplai bahan bakar, level oli pada mesin,level bahan bakar dan kondisi mesin berfungsi dengan baik.

5. Pemeriksaan kondisi alat uji rope brake dinamometer berfungsi dengan baik. 6. Setting karburator sesuai dengan bahan bakar yang dipergunakan yakni

premium dan biogas.

7. Menyiapkan lembar data pengujian untuk mencatat data hasil pengujian.

8. Hidupkan mesin dengan menarik starter yang terdapat pada mesin untuk memanaskan mesin ± 2 menit,pastikan mesin dinyalakan tanpa pembebanan. 9. Setting putaran yang diinginkan dengan cara menarik tali gas dan lakukan


(17)

70

10. Setting pembebanan yang telah ditetapkan yakni 0,2 kg pada timbangan gantung digital, dan catat perubahan pembebanan pada kedua timbangan gantung digital pada form isian ( pastikan air pendingin mengalir untuk mendinginkan puli )

11. Lakukan pencatatan waktu yang terbaca pada stopwatch untuk menghabiskan bahan bakar ± 10 ml

12. Ulangi langkah 8 s/d 11 untuk variasi putaran dan beban yang berbeda

13. Untuk pengujian dengan bahan bakar biogas ulangi seluruh langkah-langkah yang sama.

14. Lakukan pengujian mesin potong rumput dengan variasi bahan bakar, beban dan putaran mesin untuk mendapatkan data tabel sebagai berikut.

Tabel 3.1 Format Hasil pengujian bahan bakar LPG

D (m) W (kg) S (kg) Putaran Mesin (rpm)

V (ml) t(s)

0,2

0,6

0,02 4000 10 86

0,021 5000 10 81

0,027 6000 10 75

0,032 7000 10 71

0,038 8000 10 68

0,2

0,01 4000 10 97

0,012 5000 10 85

0,022 6000 10 81

0,027 7000 10 77

0,049 8000 10 72

Tabel 3.2 Format hasil pengujian bahan bakar biogas

D (m) W (kg) S (kg) Putaran Mesin (rpm)

V (ml) t(s)

0,2 0,6

0,045 4000 10 88

0,049 5000 10 84

0,05 6000 10 79

0,053 7000 10 72

0,055 8000 10 70


(18)

71

0,013 5000 10 87

0,028 6000 10 82

0,024 7000 10 79

0,032 8000 10 74

3.6. Bagan Alir Pengerjaan

Adapun prosedur dari pengerjaan dan pengujian yang dilakukan dalam skripsi ini dapat dilihat pada bagan alir berikut ini dapat dilihat pada bagan alir berikut ini.


(19)

72

BAB IV

HASIL DAN ANALISA PENGUJIAN

4.1 Pengujian Performansi Mesin Bensin

Data yang diperoleh dari pembacaan langsung alat uji mesin potong rumput 4-langkah merk TAGAWA Tipe TGX-437 melalui unit instrumentasi dan perlengkapan yang digunakan pada saat pengujian antara lain:

• Putaran (rpm) melalui tachometer.

• Perubahan angka yang terbaca pada timbangan gantung digital. • Konsumsi bahan bakar .

4.1.1 Torsi

Berikut adalah data hasil pengujian torsi pada mesin otto dengan variasi bahan bakar gas LPG dan biogas.

Karena menggunakan rope brake dynamometer maka rumus yang digunakan untuk mengitung torsi adalah :

�= (� − �)�(�) 2 Dimana :

T = Torsi (Nm)

W = beban pengereman (kg) D = diameter puli (m) S = perubahan beban (kg) g = gaya gravitasi bumi (m/s2)

Karena beban pengereman dalam bentuk kg maka dikalikan dengan g untuk mendapatkan dalam satuan Newton.


(20)

73 Untuk pengujian dengan menggunakan bahan bakar Biogas :

Beban = 0.6 kg, (W = 0.6 kg x 9.81 m/s2 = 5.886 N) Putaran = 4000 rpm

Diameter = 0.2 m

S = 0.012 kg, (W = 0.012 kg x 9.81 m/s2 = 0.11772 N) τ= (5.886 −0.11772)�(0.2)

2 = 0,558066 Nm.

Dengan cara yang sama untuk setiap jenis pengujian, pada putaran dan beban yang bervariasi, maka hasil perhitungan torsi untuk kondisi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.1 Hasil pengujian torsi terhadap putaran dengan variasi bahan bakar Gas LPG dan biogas

Jenis Bahan

Bakar D (m) W (kg) N (rpm)

τ

(Nm)

LPG 0,2

0,6

4000 0,583205

5000 0,582199

6000 0,576166

7000 0,571138

8000 0,565105

0,2

4000 0,19105

5000 0,189039

6000 0,178983

7000 0,173956

8000 0,151834

Biogas 0,2

0,6

4000 0,558066

5000 0,554044

6000 0,553039

7000 0,550022

8000 0,548011

0,2

4000 0,189039

5000 0,188033


(21)

74

7000 0,176972

8000 0,168928

Gambar 4.1 Grafik Torsi vs putaran untuk beban 0,6 kg

Berdasarkan hasil pengujian maka didapat pada pembebanan 0,6 kg (gambar 4.1) torsi maksimum mesin untuk bahan bakar LPG diperoleh pada putaran 4000 rpm yaitu sebesar 0.583205 Nm. Sedangkan bahan bakar biogas torsi maksimum diperoleh pada putaran 4000 rpm sebesar 0.55806 Nm.

Gambar 4.2 Grafik Torsi vs putaran untuk beban 0,2 kg

y = 8E-12x3- 8E-08x2+ 0,000x + 0,134

y = - 8E-12x3+ 7E-08x2- 0,000x + 0,986

0,545 0,55 0,555 0,56 0,565 0,57 0,575 0,58 0,585 0,59

0 2000 4000 6000 8000 10000

T o rs i (N m ) Putaran (rpm) LPG Biogas Poly. (LPG) Poly. (Biogas)

y = 3E-11x3- 3E-07x2+ 0,001x - 1,374 y = 6E-11x3- 6E-07x2+ 0,002x - 2,863

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25

0 2000 4000 6000 8000 10000

T o rs i (N m ) Putaran (rpm) LPG Biogas Poly. (LPG) Poly. (Biogas)


(22)

75 Berdasarkan hasil pengujian maka didapat pada pembebanan 0,2 kg (gambar 4.2) torsi maksimum mesin untuk bahan bakar LPG diperoleh pada putaran 4000 rpm yaitu sebesar 0,1915 Nm. Sedangkan bahan bakar biogas torsi maksimum diperoleh pada putaran 4000 rpm sebesar 0,189039 Nm.

Besar kecilnya torsi dipengaruhi oleh putaran dan beban mesin. Semakin berat beban yang diberikan maka semakin besar pula torsi yang dibutuhkan untuk mencapai kecepatan yang lebih tinggi. Ada beberapa cara untuk meningkatkan nilai torsi dari sebuah mesin yaitu dengan memperbesar langkah piston atau dengan memperbesar volume ruang bakar, namun hal ini akan sangat mempengaruhi effisiensi bahan bakar, konstruksi mesin tersebut.

4.1.2 Brake Power

Berikut data hasil perhitungan brake power pada mesin otto dengan variasi bahan bakar LPG dan Biogas. Besarnya brake power yang dihasilkan dari masing-masing pengujian dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

�� = �� (� − �)�� 60 Dimana :

W = beban pengereman (kg) S = perubahan beban (kg) T = Torsi (Nm)

Untuk pengujian dengan menggunakan bahan bakar Biogas : Beban = 0.6 kg, (W = 0.6 kg x 9.81 m/s2 = 5.886 N) Putaran = 4000 rpm


(23)

76 Beban penyeimbang = 0.012 kg, (S = 0.012 kg x 9.81 m/s2 = 0.11772 N)

�= 3,14(5.886 −0.11772)�(0.558066) 60

= 233,8564 w = 0.2338564 Kw

Dengan cara yang sama untuk setiap jenis pengujian, pada putaran dan beban yang bervariasi, maka hasil perhitungan torsi untuk kondisi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.2 Hasil perhitungan brake power terhadap putaran dengan variasi bahan bakar gas LPG dan biogas

Jenis Bahan

Bakar D (m) W(kg) N (rpm) BP (Watt)

LPG 0,2

0,6

4000 244,3905

5000 304,9614

6000 362,1614

7000 418,8347

8000 473,6119

0,2

4000 80,05894

5000 99,02027

6000 112,5039

7000 127,5676

8000 127,2516

Biogas 0,2

0,6

4000 233,8564

5000 290,2137

6000 347,6244

7000 403,3496

8000 459,2855

0,2

4000 79,21622

5000 98,49357

6000 108,7116

7000 129,7798


(24)

77 Gambar 4.3 Grafik putaran vs brake power untuk beban 0,6 kg

Berdasarkan hasil pengujian maka didapat pada pembebanan 0,6 kg (gambar 4.3) brake power maksimum mesin untuk bahan bakar LPG diperoleh pada putaran 8000 rpm yaitu sebesar 0,4736119 kw. Sedangkan bahan bakar biogas brake power maksimum diperoleh pada putaran 8000 rpm sebesar 0,4592855 kw.

Gambar 4.4 Grafik putaran vs brake power untuk beban 0,2 kg

Berdasarkan hasil pengujian maka didapat pada pembebanan 0,2 kg (gambar 4.4) brake power maksimum mesin untuk bahan bakar

y = -2E-13x4+ 4E-09x3- 4E-05x2+ 0,222x - 235,9

y = 2E-13x4- 5E-09x3+ 4E-05x2- 0,105x + 235,9

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

0 2000 4000 6000 8000 10000

D a y a ( W a tt ) Putaran (rpm) LPG Biogas Poly. (LPG) Poly. (Biogas)

y = -1E-12x4+ 2E-08x3- 0,000x2+ 0,769x - 1032,

y = -2E-12x4+ 4E-08x3- 0,000x2+ 1,369x - 1887,

0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 2000 4000 6000 8000 10000

D a y a ( W a tt ) Putaran(rpm) LPG Biogas Poly. (LPG) Poly. (Biogas)


(25)

78 LPG diperoleh pada putaran 8000 rpm yaitu sebesar 0,1272516 kw. Sedangkan bahan bakar biogas brake power maksimum diperoleh pada putaran 8000 rpm sebesar 0,1415779 kw.

4.1.3 Konsumsi Bahan Bakar Spesifik (SFC)

Konsumsi bahan bakar spesifik (spesific fuel consumption, sfc) dari masing-masing pengujian pada tiap variasi beban dan putaran dapat

dihitung menggunakan persamaan berikut : ���= �̇�� 10

3 ��

dimana : Sfc = konsumsi bahan bakar spesifik (g/kW.h). �̇f = laju aliran bahan bakar (kg/jam)

Untuk mencari �̇ rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : �̇�=�������

10−3 �� �3600 dimana : sgf = spesific gravity

�� = volume bahan bakar yang diuji (ml)

t � = waktu untuk menghabiskan bahan bakar sebanyak volume uji (s)

Dari literatur, nilai sgf untuk biogas 0,847 sedangkan untuk LPG 0,56. Maka untuk pengujjian bahan bakar menggunakan LPG beban 0,6 kg putaran 4000 rpm :

�̇�=

0,56���� 10−3 86 �3600 �̇� =

0,56� 10 � 10−3 86 �3600 = 0,2344 kg/jam

Dengan diperolehnya besar laju aliran bahan bakar, maka dapat dihitung harga konsumsi bahan bakar spesifiknya (Sfc).

���= 0,2344 0,244395 ��� = 0,9592 gr/kwh


(26)

79 Dengan cara yang sama untuk setiap jenis pengujian, pada putaran dan beban yang bervariasi, maka hasil perhitungan Sfc untuk kondisi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.3 Hasil perhitungan SFC terhadap putaran dengan variasi bahan bakar gas LPG dan biogas

Jenis Bahan

Bakar D (m) W(kg)

N

(rpm) t (s)

Sfc (gr/kwh)

LPG 0,2

0,6

4000 86 0,9592 5000 81 0,81613 6000 75 0,74221 7000 71 0,67794 8000 68 0,62598

0,2

4000 97 2,59603 5000 85 2,39523 6000 81 2,21227 7000 77 2,05239 8000 72 2,20037

Biogas 0,2

0,6

4000 88 1,48168 5000 84 1,2508 6000 79 1,11032 7000 72 1,04996 8000 70 0,94843

0,2

4000 110 3,49928 5000 87 3,55843 6000 82 3,42055 7000 79 2,97407 8000 74 2,91044

Konsumsi bahan bakar spesifik dipengaruhi oleh putaran mesin. Semakin tinggi putaran mesin maka konsumsi bahan bakar juga meningkat dan sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh peningkatan laju aliran bahan bakar. Ada kecenderungan besarnya Sfc juga dipengaruhi oleh nilai kalor bahan bakar semakin besar nilai kalor bahan bakar maka Sfc semakin kecil dan sebaliknya.

Perbandingan harga Sfc untuk masing-masing pengujian pada setiap variasi beban dan putaran dapat dilihat pada gambar berikut :


(27)

80 Gambar 4.5 Grafik putaran vs sfc untuk beban 0,6 kg

Berdasarkan hasil perhitungan Sfc maka didapat, pada pembebanan 0,6 kg (gambar 4.5), bahan bakar biogas memiliki Sfc yang lebih besar yaitu sebesar 1,2508 gr/kWh yang terjadi pada putaran 4000 rpm. Sedangkan untuk putaran yang sama unutk bahan bakar LPG memiliki Sfc sebesar 0,9592gr/kWh.

Gambar 4.6 Grafik putaran vs sfc untuk beban 0,2 kg

Berdasarkan hasil perhitungan Sfc maka didapat, pada pembebanan 0,2 kg (gambar 4.6), bahan bakar biogas memiliki Sfc yang lebih besar yaitu sebesar 1,2508 gr/kWh yang terjadi pada putaran 4000 rpm. Sedangkan untuk putaran yang sama unutk bahan bakar LPG memiliki Sfc sebesar 0,9592gr/kWh.

y = - 7E-11x3+ 6E-07x2- 0,002x + 5,588

y = 1E-10x3- 8E-07x2+ 0,002x - 0,370

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6

0 2000 4000 6000 8000 10000

S fc ( g r/ kw h ) Putaran (rpm) LPG Biogas Poly. (LPG) Poly. (Biogas)

y = - 3E-10x3+ 2E-06x2- 0,007x + 13,25

y = 3E-14x4- 8E-10x3+ 6E-06x2- 0,021x + 31,62 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4

0 2000 4000 6000 8000 10000

S fc ( g r/ kw h ) Putaran (rpm) LPG Biogas Poly. (LPG) Poly. (Biogas)


(28)

81 4.1.4 Efisiensi Thermal Brake (ηb)

Efisiensi termal brake (brake thermal eficiency, ηb) merupakan perbandingan antara daya keluaran aktual terhadap laju panas rata rata yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar. Efisiensi termal brake dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

�� = �̇�������3600

Dimana : �� : Efisiensi termal brake

LHV : nilai kalor bawah bahan bakar (kJ/kg)

Nilai kalor bawah bahan bakar dapat diperoleh dari sumber-sumber literatur yang ada yang dapat dilihat dilampiran, untuk biogas nilai LHV = 18.000 kj/kg sedangkan untuk LPG nilai LHV= 47.120,81 kj/kg.

Untuk pengujian dengan menggunakan LPG, beban 0,6 kg, putaran 4000 rpm : � = 0,2443905

0,2334 �47.120,813600

= 0,07964x 100% = 7,999 %

Untuk pengujian bahan bakar LPG dengan variasi beban dan putaran yang berbeda dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 4.4 efisiensi thermal brake (ηb) pada beban 0,6 kg dan 0,2 kg bahan bakar LPG

Jenis Bahan

Bakar W (kg) N (rpm) ηb (%)

LPG

0,6

4000 7,964883 5000 9,361106 6000 10,29349 7000 11,26953 8000 12,20482

0,2

4000 2,942865 5000 3,189596 6000 3,453423 7000 3,722436 8000 3,472121


(29)

82 Gambar 4.7 Grafik Putaran vs efisiensi thermal bahan bakar LPG beban 0,6 kg

dan 0,2 kg

Dari gambar 4.7 dijelaskan bahwa pada saat mesin menggunakan bahan bakar LPG dan dibebani 0,6 kg, efisiensi termal brake mencapai 12,20482 % pada putaran 8000 rpm.

Efisiensi Termal Brake (ηb) untuk pengujian dengan bahan bakar biogas dengan variasi beban dan putaran dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut:

Tabel 4.5 Efisiensi Termal Brake (ηb) pada beban 0,6 kg dan 0,2 kg bahan bakar biogas

Jenis Bahan

Bakar W (kg)

N

(rpm) ηb (%)

Biogas

0,6

4000 13,4982 5000 15,9897 6000 18,013 7000 19,0484 8000 21,0875

0,2

4000 5,71546 5000 5,6205 6000 5,84707 7000 6,72486 8000 6,87188

y = -2E-14x4+ 6E-10x3- 6E-06x2+ 0,025x - 33,12

y = -2E-14x4+ 5E-10x3- 4E-06x2+ 0,013x - 15,57

0 2 4 6 8 10 12 14

0 2000 4000 6000 8000 10000

η

b

(

%)

Putaran (rpm)

beban 0,6 kg beban 0,2 kg Poly. (beban 0,6 kg) Poly. (beban 0,2 kg)


(30)

83 Gambar 4.8 Grafik Putaran vs efisiensi thermal bahan bakar biogas beban 0,6 kg

dan 0,2 kg

Dari gambar 4.8 dijelaskan bahwa pada saat mesin menggunakan bahan bakar biogas dan dibebani 0,6 kg, efisiensi termal brakenya mencapai 21,087 % pada putaran 8000 rpm.

Dari gambar 4.6 dan gambar 4,7 diperoleh perbandingan, yaitu:

• Pada saat mesin dibebani 0,6 kg, efisiensi termal brake tertinggi terbesar terjadi pada saat mesin menggunakan bahan bakar biogas.

Dari grafik diatas kita dapat mengetahui bahwa efisiensi thermal brake kenaikannya berbanding lurus dengan daya.

y = 1E-13x4- 2E-09x3+ 2E-05x2- 0,068x + 97,14

y = -7E-14x4+ 2E-09x3- 1E-05x2+ 0,048x -57,19

0 5 10 15 20 25

0 2000 4000 6000 8000 10000

η

b

(%

)

Putaran (rpm)

beban 0,6 beban 0,2 Poly. (beban 0,6) Poly. (beban 0,2)


(31)

84 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dihasilkan dari pengujian ini adalah :

1. Pada mesin otto berbahan bakar LPG dan biogas torsi dan daya mengalami penurunan sebesar 15,19% dan 16,62% ketika menggunakan bahan bakar biogas pada putaran mesin rendah, sedangkan torsi dan daya akan

mengalami peningkatan sebesar 4,65% dan 4,9% ketika menggunakan bahan bakar LPG pada putaran mesin tinggi.

2. Konsumsi bahan bakar spesifik (SFC) untuk bahan bakar LPG dan biogas mengalami penurunan 17,54% ketika menggunakan biogas pada putaran mesin rendah, sedangkan SFC akan mengalami peningkatan sebesar 13,94% ketika menggunakan bahan bakar biogas pada putaran mesin tinggi.

3. melalui hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bahan bakar biogas dapat dijadikan sebagai bahan bakar alternatif namun untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal maka diperlukan proses pemurnian biogas selanjutnya untuk memisahkan kandungan CH4 (metana) ,CO2, H2S, N2 dan O2, sehingga mendapatkan metana murni .

5.2 Saran

Adapun saran yang diberikan adalah sebagai berikut.

1. Untuk pengujian selanjutnya, nilai kalor bahan bakar perlu di uji untuk hasil yang lebih baik dan akurat.

2. Pada pengujian selanjutnya, sebaiknya diperlukan keseriusan untuk mendapat data yang lebih akurat.


(32)

85 3. untuk mendapatkan kondisi bahan bakar biogas yang lebih baik

perlu dilakukan pemurnian biogas terhadap komponen lain yang mempengaruhi kondisi bahan bakar tersebut seperti : H2S, CO2, O2, dan lain-lain.

4. Agar didapatkan volum bahan bakar lebih stabil maka sebaiknya dilakukan proses pemampatan biogas kedalam tabung seperti bahan bakar LPG, sehingga lebih mudah mengatur supplai bahan bakar ke ruang bakar


(33)

23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Salah satu jenis penggerak mula yang banyak digunakan adalah mesin kalor, yaitu mesin yang menggunakan energi termal untuk melakukan kerja mekanik. Energi itu sendiri dapat diperoleh dari dengan proses pembakaran, proses fisi bahan bakar nuklir, atau proses lain-lain. (Arismunandar, 1988)

Selanjutnya, jika ditinjau dari cara memperoleh sumber energi termal, mesin kalor dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

1. Mesin pembakaran luar (external combustion mesin). Mesin pembakaran luar adalah mesin dimana proses pembakaran terjadi diluar mesin, energi termal dari hasil pembakaran dipindahkan kefluida kerja mesin melalui beberapa dinding pemisah. Contohnya adalah mesin uap.

2. Mesin pembakaran dalam (internal combustion mesin). Mesin pembakaran dalam adalah mesin dimana proses pembakaran berlangsung di dalam mesin itu sendiri, sehingga gas pembakaran yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai fluida kerja. Mesin pembakaran dalam ini umumnya dikenal dengan sebutan motor bakar. Contoh dari mesin kalor pembakaran dalam ini adalah motor bakar torak dan turbin gas.

Jenis motor bakar torak itu sendiri berdasarkan proses penyalaan bahan bakarnya terdiri dari dua bagian utama, yaitu :

1. Mesin bensin atau motor bensin dikenal dengan mesin “Otto” atau mesin “Beau Des Rochas”. Pada motor bensin, penyalaan bahan bakar dilakukan oleh percikan bunga api listrik dari antara ke dua elektroda busi. Oleh sebab itu,motor bensin dikenal juga dengan sebutan Spark Ignition Engine (SIE). 2. Motor “Diesel”. Di dalam motor diesel, penyalaan bahan bakar terjadi dengan

sendirinya karena bahan bakar disemprotkan ke dalam silinder yang berisi udara yang bertekanan dan bersuhu tinggi. Motor diesel ini disebut juga dengan sebutan Compression Ignition Engine (CIE),sistem penyalaan inilah yang menjadi perbedaan pokok antara motor bensin dengan motor diesel.


(34)

24 Sedangkan berdasarkan siklus langkah kerjanya, motor bakar dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:

1. Motor dua langkah. Pengertian dari motor dua langkah adalah motor yang pada dua langkah piston (satu putaran engkol) sempurna akan menghasilkan satu tenaga kerja (satu langkah kerja).

2. Motor empat langkah. Pengertian dari motor empat langkah adalah motor yang pada setiap empat langkah piston (dua putaran sudut engkol) sempurna menghasilkan satu tenaga kerja (satu langkah kerja).

2.2 Motor Bensin

Motor bensin atau mesin Otto dari pembakaran, dirancang untuk menggunakan bahan bakar bensin. Motor bensin dilengkapi dengan busi dan karburator. Busi berfungsi sebagai penghasil loncatan api yang akan menyalakan campuran udara dengan bahan bakar, karena hal ini maka motor bensin disebut juga sebagai Spark Ignition Engine. Sedangkan karburator merupakan tempat pencampuran udara dan bahan bakar . (Arismunandar, 1988).

Mesin bensin o t t o berbeda pencampuran bahan bakar dengan udara, dan mesin otto selalu menggunakan penyalaan busi untuk proses pembakaran. Pada mesin diesel, hanya udara yang dikompresikan dalam ruang bakar dan dengan sendirinya udara tersebut terpanaskan, bahan bakar diinjeksikan ke dalam ruang bakar di akhir langkah kompresi untuk bercampur dengan udara yang sangat panas, pada saat kombinasi antara jumlah udara, jumlah bahan bakar, dan temperatur dalam kondisi tepat maka campuran udara dan bakar tersebut akan terbakar dengan sendirinya.

Pada motor bensin, campuran udara dan bahan bakar yang dihisap ke dalam silinder dimampatkan dengan torak kemudian dibakar untuk memperoleh tenaga panas. Gas-gas hasil pembakaran dari bahan bakar akan meningkatkan suhu dan tekanan di dalam silinder, sehingga torak yang berada di dalam silinder akan bergerak turun-naik (bertranslasi) akibat menerima tekanan yang tinggi.


(35)

25 Gambar 2.1 Mesin Bensin empat langkah

(Pulkrabek,W, 1997)

2.2.1 Cara Kerja Motor Bensin Empat Langkah

Motor bensin dapat dibedakan atas dua jenis yaitu motor bensin dua langkah dan motor bensin empat langkah. Pada motor bensin dua langkah, siklus terjadi dalam dua gerakan torak atau dalam satu putaran poros engkol. Sedangkan motor bensin empat langkah, pada satu siklus terjadi dalam empat langkah. Langkah-langkah yang terjadi pada motor bensin empat langkah dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini :

Gambar 2.2 .(a) Diagram P-V Siklus Otto Ideal (b) Diagram T-S Siklus Otto Ideal

(Pulkrabek. W, 1997)


(36)

26 Proses 0-1 : langkah isap

Proses 1-2 : kompresi isentropik

Proses 2-3 : proses pembakaran volume konstan dianggap sebagai proses pemasukan kalor

Proses 3-4 : proses isentropik udara panas dengan tekanan tinggi mendorong piston turun menuju TMB

Proses 4-1 : proses pelepasan kalor pada volume konstan piston Proses 1-0 : langkah buang pada tekanan konstan

Langkah-langkah yang terjadi pada motor bensin empat langkah adalah: 1. Langkah isap

Pada langkah isap (0–1), campuran udara yang telah bercampur pada karburator diisap ke dalam silinder (ruang bakar). Torak bergerak turun dari titik mati atas (TMA) ke titik mati bawah (TMB) yang akan menyebabkan kehampaan (vacum) di dalam silinder, maka dengan demikian campuran udara dan bahan bakar (bensin) akan diisap ke dalam silinder. Selama langkah torak ini, katup isap akan terbuka dan katup buang akan menutup.

2. Langkah Kompresi

Pada langkah kompresi (1–2), campuran udara dan bahan bakar yang berada di dalam silinder dimampatkan oleh torak, dimana torak akan bergerak dari TMB ke TMA dan kedua katup isap dan buang akan tertutup, sedangkan busi akan memercikan bunga api dan bahan bakar mulai terbakar akibatnya terjadi proses pemasukan panas pada langkah 2-3.

3. Langkah Ekspansi

Pada langkah ekspansi (3–4), campuran udara dan bahan bakar yang diisap telah terbakar. Selama pembakaran, sejumlah energi dibebaskan, sehingga suhu dan tekanan dalam silinder naik dengan cepat. Setelah mencapai TMA, piston akan didorong oleh campuran udara dan bahan bakar bertekanan tinggi menuju TMB. Tenaga mekanis ini diteruskan ke poros engkol.Saat sebelum mencapai TMB, katup buang terbuka, Bahan bakar hasil pembakaran mengalir keluar dan tekanan dalam silinder turun dengan cepat.


(37)

27 4. Langkah Pembuangan.

Pada langkah pembuangan (4–1-0), torak terdorong ke bawah menuju TMB dan naik kembali ke TMA untuk mendorong ke luar gas-gas yang telah terbakar di dalam silinder. Selama langkah ini, katup buang membuka sedangkan katup isap menutup.

Pada motor bensin empat langkah, poros engkol berputar sebanyak dua putaran penuh dalam satu siklus dan telah menghasilkan satu tenaga. Cara kerja motor bensin empat langkah ini dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut:

Gambar 2.3 Cara kerja motor bensin empat langkah

(Arismunandar, 1988)

2.3. Performansi Motor Bakar

Ada beberapa hal yang mempengaruhi performansi motor bensin, antara lain besarnya perbandingan kompresi, tingkat homogenitas campuran bahan bakar dengan udara, angka oktan bensin sebagai bahan bakar, tekanan udara masuk ruang bakar. Semakin besar perbandingan udara motor akan semakin efisien, akan tetapi semakin besar perbandingan kompresi akan menimbulkan knocking pada motor yang berpotensi menurunkan daya motor, bahkan bisa menimbulkan kerusakan serius pada komponen motor. Untuk mengatasi hal ini maka harus dipergunakan bahan bakar yang memiliki angka oktan tinggi. Angka oktan pada bahan bakar motor Otto menunjukkan kemampuannya menghindari terbakarnya campuran udara bahan bakar sebelum waktunya (self ignition) yang menimbulkan


(38)

28 knocking tadi. Untuk memperbaiki kualitas campuran bahan bakar dengan udara maka aliran udara dibuat turbulen, sehingga diharapkan tingkat homogenitas campuran akan lebih baik.

2.3.1. Torsi dan Daya

Torsi yang dihasilkan suatu mesin dapat diukur dengan menggunakan dynamometer yang dikopel dengan poros output mesin. Oleh karena sifat dynamometer yang bertindak seolah-olah seperti sebuah rem dalam sebuah mesin, maka daya yang dihasilkan poros output ini sering disebut sebagai daya rem (Brake Power). Torsi adalah gaya putar yang dihasilkan oleh poros engkol atau kemampuan motor untuk melakukan kerja, tetapi disini torsi merupakan jumlah gaya putar yang diberikan ke suatu mesin atau motor bakar terhadap panjang lengannya. Torsi biasanya diberi simbol

τ

, satuan untuk torsi dalam satuan SI adalah Nm

�=(�−�)�

2 ...(2.1)

Dimana :

T = Torsi (Nm)

W = beban pengereman (Kg) D = diameter puli (m) S = beban pengimbang (Kg)

�� = 2 �60����...(2.2) Dimana : PB = Daya Keluaran (watt)

n = Putaran Mesin (rpm) T = Torsi (N.m)


(39)

29 Gambar 2.4 daya dan torsi sebagai fungsi putaran (Pulkrabek,W, 1997)

2.3.2. Konsumsi Bahan Bakar Spesifik (specific fuel consumption, sfc)

Konsumsi bahan bakar spesifik adalah parameter unjuk kerja mesin yang berhubungan langsung dengan nilai ekonomis sebuah mesin, karena dengan mengetahui hal ini dapat dihitung jumlah bahan bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah daya dalam selang waktu tertentu.

Bila daya rem dalam satuan kW dan laju aliran massa bahan bakar dalam satuan kg/jam, maka :

���= �̇�� 10

3

�� ...(2.3)

dimana : Sfc = konsumsi bahan bakar spesifik (g/kW.h). �̇f = laju aliran bahan bakar (kg/jam)

Besarnya laju aliran massa bahan bakar (�̇f) dihitung dengan persamaan berikut : �̇� = ������� 10

−3

�� �3600...(2.4) Dimana : sgf = spesific gravity


(40)

30 �� = waktu untuk menghabiskan bahan bakar sebanyak volume uji (s) 2.3.3 Effisiensi Thermal Brake

Kerja berguna yang dihasilkan selalu lebih kecil dari pada energi yang diba ngkitkan piston karena sejumlah energy hilang akibat adanya rugi–rugi mekanis (mechanical losses). Dengan alasan ekonomis perlu dicari kerja maksimum yang dapat dihasilkan dari pembakaran sejumlah bahan bakar. Efisiensi ini sering disebu t sebagai efisiensi termal brake (brake thermal efficiency, ��)

�� = ���� �������� ������

���� ����� ���� �����...(2.5) Laju panas yang masuk Q, dapat dihitung dengan rumus berikut :

Q = �̇� . LHV………...…………...….………(2.6) Dimana, LHV = nilai kalor bawah bahan bakar (kj/kg)

Jika daya keluaran (��) dalam satuan kW, laju aliran bahan bakar �� dalam satuan kg/jam, maka:

�� = ��

�̇�����3600...(2.7) 2.4. Teori Pembakaran

Pembakaran adalah reaksi kimia, yaitu elemen tertentu dari bahan bakar setelah dinyalakan dan digabung dengan oksigen akan menimbulkan panas sehingga menaikkan suhu dan tekanan LPG. Elemen mampu bakar (combustable) yang utama adalah karbon (C) dan hidrogen (H), elemen mampu bakar yang lain namun umumnya hanya sedikit terkandung dalam bahan bakar adalah sulfur (S). Oksigen yang diperlukan untuk pembakaran diperoleh dari udara yang merupakan campuran dari oksigen dan nitrogen.

Nitrogen adalah gas lembam dan tidak berpartisipasi dalam pembakaran. Selama proses pembakaran, butiran minyak bahan bakar dipisahkan menjadi elemen komponennya yaitu hidrogen dan karbon dan masing-masing bergabung dengan oksigen dari udara secara terpisah. Hidrogen bergabung dengan oksigen untuk membentuk air dan karbon bergabung dengan oksigen menjadi karbon


(41)

31 dioksida. Jika oksigen yang tersedia tidak cukup, maka sebagian dari karbon akan bergabung dengan oksigen dalam bentuk karbon monoksida. Pembentukan karbon monoksida hanya menghasilkan 30 % panas dibandingkan panas yang timbul oleh pembentukan karbon dioksida.

2.4.1. Nilai Kalor Bahan Bakar

Reaksi kimia antara bahan bakar dengan oksigen dari udara menghasilkan panas. Besarnya panas yang ditimbulkan jika satu satuan bahan bakar dibakar sempurna disebut nilai kalor bahan bakar (Calorific Value, CV). Bedasarkan asumsi ikut tidaknya panas laten pengembunan uap air dihitung sebagai bagian dari nilai kalor suatu bahan bakar, maka nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan menjadi nilai kalor atas dan nili kalor bawah.

Nilai kalor atas (High Heating Value,HHV), merupakan nilai kalor yang diperoleh secara eksperimen dengan menggunakan kalorimeter dimana hasil pembakaran bahan bakar didinginkan sampai suhu kamar sehingga sebagian besar uap air yang terbentuk dari pembakaran hidrogen mengembun dan melepaskan panas latennya. Secara teoritis, besarnya nilai kalor atas (HHV) dapat dihitung bila diketahui komposisi bahan bakarnya dengan menggunakan persamaan

Dulong :

HHV = 33950 + 144200 (H2-�2/8) + 9400 S……...………...(2.8) Dimana: HHV = Nilai kalor atas (kJ/kg)

C = Persentase karbon dalam bahan bakar H2 = Persentase hidrogen dalam bahan bakar O2 = Persentase oksigen dalam bahan bakar S = Persentase sulfur dalam bahan bakar

Nilai kalor bawah (low Heating Value, LHV), merupakan nilai kalor bahan bakar tanpa panas laten yang berasal dari pengembunan uap air. Umumnya kandungan hidrogen dalam bahan bakar cair berkisar 15 % yang berarti setiap satu satuan bahan bakar, 0,15 bagian merupakan hidrogen. Pada proses pembakaran sempurna, air yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar adalah setengah dari jumlah mol hidrogennya.


(42)

32 Selain berasal dari pembakaran hidrogen, uap air yang terbentuk pada proses pembakaran dapat pula berasal dari kandungan air yang memang sudah ada didalam bahan bakar (moisture). Panas laten pengkondensasian uap air pada tekanan parsial 20 kN/m2 (tekanan yang umum timbul pada gas buang) adalah sebesar 2400 kJ/kg, sehingga besarnya nilai kalor bawah (LHV) dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut :

LHV = HHV – 2400 (M + 9 H2)………(2.9) Dimana: LHV = Nilai Kalor Bawah (kJ/kg)

M = Persentase kandungan air dalam bahan bakar (moisture) Perhitungan efisiensi panas dari motor bakar dapat menggunakan nilai kalor bawah (LHV) dengan asumsi pada suhu tinggi saat gas buang meninggalkan mesin tidak terjadi pengembunan uap air. Namun dapat juga menggunakan nilai kalor atas (HHV) karena nilai tersebut umumnya lebih cepat tersedia. Peraturan pengujian berdasarkan ASME (American of Mechanical Enggi -neers) menentukan penggunaan nilai kalor atas (HHV), sedangkan peraturan SAE (Society of Automotive Engineers)menentukan penggunaan nilai kalor bawah (LHV).

2.5 Liquified Petroleum Gas (LPG)

LPG (liquified petroleum gas), gas minyak bumi yang dicairkan atau yang sering disebut elpiji adalah campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari berubah menjadi cair. Komponennya didominasi

kecil, misalnya

LPG terdiri dari campuran utama propan dan butan dengan sedikitpersentasi hidrokarbon tidak jenuh (propilen dan butilen dan beberapa fraksi C2 yang lebih ringan dan C5 yang lebih berat. Senyawa yang terdapat dalam LPG adalah propan (C3H8), proilen (C3H6), normal dan iso-butan (C4H10) dan butilen (C4H8). LPG merupakan campuran dari hidrokarbon tersebut yang


(43)

33 berbentuk gas pada tekanan atmosfer, namun dapat diembunkan menjadi bentuk cair pada suhu normal, dengan tekanan yang cukup besar.

Pada kondisi atmosfer, elpiji akan berbentuk gas. Volume elpiji dalam bentuk cair lebih kecil dibandingkan dalam bentuk LPG untuk berat yang sama. Karena itu elpiji dipasarkan dalam bentuk cair dalam tabung-tabung logam bertekanan. Untuk memungkinkan terjadinya ekspansi panas (thermal expansion) dari cairan yang dikandungnya, tabung elpiji tidak diisi secara penuh, hanya sekitar 80-85% dari kapasitasnya. Rasio antara volume gas bila menguap dengan gas dalam keadaan cair bervariasi tergantung komposisi, tekanan dan temperatur, tetapi biasaya sedir 250:1.

Tekanan di mana elpiji berbentuk cair, dinamaka bervariasi tergantung komposisi dan temperatur; sebagai contoh, dibutuhkan tekanan sedir 220 kPa (2.2 bar) bagi butana murni pada 20 °C (68 °F) agar mencair, dan sedir 2.2 MPa (22 bar) bagi propana murni pada 55 °C (131 °F).

Menurut spesifikasinya, elpiji dibagi menjadi tiga jenis yaitu elpiji campuran, elpiji propana dan elpiji butana. Spesifikasi masing-masing elpiji tercantum dalam keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi Nomor:

25K/36/DDJM/1990. Elpiji yang dipasark

2.5.1 Proses Pengolahan LPG

LPG dapat dihasilkan dari hasil pemprosesan crude di kilang minyak, serta pemisahan komponen C3 dan C4 dari gas alam maupun gas suar (Flare gas). Perolehan gas LPG dari lapangan gas sangat bergantung dari komposisi gas alam yang dihasilkan sumur gas. Gas dengan karakteristik ringan atau mengandung sedikit hidrokarbon menengah dan berat umumnya kurang ekonomis untuk dijadikan umpan produksi LPG. Hal ini disebabkan proses produksi LPG dari metana memerlukan konversi energi yang tidak murah. Di lain pihak, gas alam yang mengandung banyak mengandung hidrokarbon menengah (C3 hingga C5), umumnya sesuai dengan umpan produksi LPG. Pada gambar 2.5 berikut dapat dilihat proses pengolahan gas LPG.


(44)

34 Gambar 2.5 Skema Pengolahan LPG

(PT BADAK NGL, 2009)

Proses pemisahan komponen C3 dan C4 dari gas alam dilakukan terhadap gas alam yang sudah dikurangi kadar air dan gas-gas asamnya (H2S, merkaptan, CO2), sejumlah teknologi dasar pemisahan yang dikenal dalam rancangan LPG plant yang terintegrasi dengan proses produksi di lapangan LPG sebagai berikut:

• Pemisahan dengan cara penyerapan komponen C3-C4 oleh hidrokarbon cair ringan (light oil absorption), diikuti dengan pemisaham kembali C3-C4 dari hidrokarbon cair yang distaklasi;

• Pemisahan dengan cara mendinginkan gas-gas C3-C4 dengan siklus refrijerasi hingga di bawah titik embunnya, sehingga gas-gas tersebut terpisah sebagai produk cair;

• Pemisahan dengan cara pendinginan gas alam, dengan memamfaatkan peristiwa penurunan temperatur gas jika dikurangi tekanannya secara mendadak, sehingga komponen C3-C4 mengalami pengembunan;

• Pemisahan komponen C3-C4 dengan menggunakan membrane dengan ukuran pori sedemikian sehingga komponen yang lebih


(45)

35 ringan (C1-C2) mampu menerobos membran, sedangkan komponen LPG tertinggal dalam aliran gas umpan.

2.5.2 Sifat LPG

LPG (liquified petroleum gas) atau sering disebut elpiji mempunyai sifat sebagai berikut:

• Cairan dan gasnya sangat mudah terbakar

• LPG tidak beracun, tidak berwarna dan biasanya berbau menyengat. Dengan adanya bau, maka akan dapat terdeteksi kebocoran pada tabung penyimpang LPG.

• LPG dikirimkan sebagai cairan yang bertekanan di dalam tangki atau silinder.

• Cairan dapat menguap jika dilepas dan menyebar dengan cepat.

• LPG ini lebih berat dibanding udara sehingga akan banyak menempati daerah yang rendah.

2.6. Biogas

Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik yang terjadi pada bahan-bahan organik seperti kotoran manusia dan hewan, tumbuhan, limbah pertanian, sampah atau limbah organik yang dapat terurai secara alami dalam kondisi anaerobik.( tanpa oksigen), dan komponen peralatan yang digunakan dalam proses tersebut digester. Biogas yang didominasi oleh gas metana, merupakan gas yang dapat dibakar. Secara umum komposisi biogas dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini :

Tabel 2.1. Komposisi Jenis Gas dan Jumlahnya pada Suatu Unit Biogas

Jenis Gas Kandungan (%)

Metana Karbondioksida Nitrogen Hidrogen Oksigen Hidrogen Sulfida

60 – 70 30 – 40

3 1 – 10

3 5


(46)

36 Seperti terlihat pada Tabel 2.1, komposisi biogas berkisar antara 60 % -70 % metana dan 30 % - 40 % karbondioksida. Biogas mengandung gas lain seperti karbonmonoksida, hidrogen, nitrogen, oksigen, hidrogen sulfida, kandungan gas tergantung dari bahan yang masuk ke dalam biodigester. Nitrogen dan oksigen bukan merupakan hasil dari digester, ini mengindikasikan adanya kelemahan dari sistem sehingga udara dapat masuk ke dalam digester. Hidrogen merupakan hasil dari tahap pembentukan asam, pembentukan hidrogen sulfida oleh bakteri sulfat disebabkan oleh konsentrasi ikatan sulfur. Biogas kira – kira memiliki berat 20 % lebih ringan dibandingkan udara dan memiliki suhu pembakaran antara 650 ºC – 750 ºC.

Gas metana (CH4) adalah komponen penting dan utama dari biogas karena merupakan bahan bakar yang berguna dan memiliki nilai kalor yang berguna dan memiliki nilai kalor yan cukup tinggi yakni sekitar 4800 kkal/m3 (Harahap, 1978) serta mempunyai sifat tidak berbau dan tidak berwarna. Jika gas yang dihasilkan dari proses fermentasi anaerobik ini dapat terbakar, berarti mengandung sedikitnya 45% gas metana. Untuk gas metana murni (100%) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3. Ketika dibakar 1ft3 gas bio menghasilkan sekitar 10 BTU (2,52 Kkal) energi panas per persentase komposisi metana . Karena kalorinya yang cukup tinggi itulah maka biogas dapat digunakan untuk penerangan, memasak, menggerakkan mesin dan sebagainya.

Berikut ini adalah sifat-sifat umum biogas, yaitu : 1. Gas yang tidak berwarna

2. Gas tidak berbau

3. Merupakan komponen hidrokarbon yang terpendek

4. CH4 di atmosfer bereaksi dengan ozon membentuk CO2 dan H2O 5. Memiliki daya nyala yang sangat tinggi (flameable)

6. Tergolong sebagai gas rumah kaca (GRK)

7. Sumber metana terbesar adalah makhluk hidup (sebagian besar dari rayap, kotoran mamalia) yang diperkirakan kadar emisinya sekitar 15, 75 dan 100


(47)

37 juta ton/tahun secara berturut-turut dan sedikitnya dari pertanian.

8. Bila bereaksi dengan O2 akan menghasilkan CO2 dan H2O CH4 + 2O2 CO2 + 2H2O

2.6.1 Nilai Potensial Biogas

Metana dalam biogas memiliki karakteristik memiliki sifat mudah terbakar (flammable) dan dapat mengakibatkan ledakan. Hasil pembakarannya relatif lebih bersih daripada batubara, dan menghasilkan energi yang lebih besar dengan emisi karbondioksida yang lebih sedikit. Biogas merupakan bahan bakar alternatif terbaik, karena biogas dapat menjadi bahan bakar ramah lingkungan memiliki kandungan energi dalam jumlah yang besar, dan limbah biogas (residu) yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Dengan adanya nilai potensial tersebut maka sudah selayaknya biogas di manfaatkan. Nilai kesetaraan biogas dengan bahan bakar lain dapat dilihat dari tabel 2.2. berikut :

Tabel 2.2 Kesetaraan Biogas Dibandingkan dengan Bahan Bakar Lain

Keterangan Bahan Bakar Lain

1 m3 Biogas

Elpiji 0,46 kg

Minyak tanah 0,62 liter Minyak solar 0,52 liter Bensin 0,80 liter Gas kota 1,50 m3 Kayu bakar 3,50 kg

(Anonim, Departemen Pertanian, 2007)

2. 6. 2. Proses Produksi Biogas

Beberapa hal yang menarik pada teknologi biogas adalah kemampuannya untuk membentuk biogas dari limbah organik yang jumlahnya berlimpah dan tersedia secara bebas. Variasi dari sifat – sifat biokimia menyebabkan produksi biogas juga bervariasi. Sejumlah bahan organik dapat digunakan bersama – sama dengan beberapa persyaratan produksi gas atau pertumbuhan normal


(48)

38 bakteri metan yang sesuai. Beberapa sifat bahan organik tersebut mempunyai dampak yang nyata pada tingkat produksi gas.

Di dalam proses produksi biogas, terjadi dua tahap yaitu penyiapan bahan baku dan proses penguraian anaerobik oleh mikroorganisme untuk menghasilkan gas metan.

a. Bahan Baku

Biogas berasal dari proses fermentasi bahan – bahan organik, diantaranya yaitu :

1) Limbah tanaman : tebu, rumput - rumputan, jagung, gandum, dan lain-lain.

2) Limbah dari hasil produksi : minyak, penggilingan padi, limbah sagu. 3) Hasil samping industri : tembakau, limbah pengolahan buah – buahan

dan sayuran, dedak, kain dari tekstil, ampas tebu dari industri gula dan tapioka, industri tahu (limbah cair).

4) Limbah perairan : alga laut, tumbuh – tumbuhan air.

5) Limbah peternakan : kotoran sapi, kotoran kerbau, kotoran kambung, kotoran unggas, dan lain – lain.

Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam fermentasi anaerob adalah keberadaan senyawa – senyawa tertentu yang bertindak sebagai inhibitor. Oleh karena itu perlu ditambahkan sesuatu pada bahan baku supaya menghilangkan pengaruh inhibitor yang ada.

Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen yang terdapat pada bahan organik dinyatakan dalam terminologi rasio karbon / nitrogen (C/N). Apabila rasio C/N sangat tinggi, nitrogen akan dikonsumsi sangat cepat oleh bakteri metan sampai batas persyaratan protein dan tak lama bereaksi ke arah kiri pada kandungan karbon pada bahan. Sebagai akibatnya, produksi metan akan menjadi rendah. Sebaliknya, apabila rasio C/N sangat rendah, nitrogen akan bebas dan berakumulasi dalam bentuk amoniak (NH4). NH4 akan meningkatkan derajat pH bahan dalam digester. pH lebih tinggi dari 8,5 akan mulai menunjukkan akibat


(49)

39 racun pada populasi bakteri metan. Rasio ideal C/N untuk proses dekomposisi anaerob untuk menghasilkan metan adalah 30. Oleh karena itu, pada proses pencampuran bahan baku diusahakan memenuhi rasio ideal. dalam tabel 2.3 berikut dapat dilihat perbandingan C/N berbagai bahan organik.

Tabel 2.3. Perbandingan C/N untuk Beragai Bahan Organik ( Sufyandi. A, 2001)

Bahan Organik Perbandingan C/N Total N pada

Keadaan Kering (%) Kotoran Hewan:

a. Ayam b. Kuda c. Sapi Lumpur Aktif Rumput Kering Rumput Kering Alfafa Jerami Serbuk Gergaji 15 25 18 6 12 17 150 200 – 500

6,3 2,8 1,7 5 4 2,8 0,5 0,1

Penggunaan limbah sebagai bahan baku biogas memerlukan metode pengumpulan, penyiapan, penanganan dan penyimpanan yang memadai. Pemilihan metode didasarkan pada sifat dan jumlah bahan baku yang bervariasi. Sifat alami bahan baku adalah padatan, semi padatan, atau cairan. Sejalan dengan itu sistem penanganannya harus sesuai dengan kondisi setempat.

b. Proses Anaerob

Proses penguraian oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan – bahan organik terjadi secara anaerob. Pada prinsipnya proses anaerob adalah proses biologi yang berlangsung pada kondisi tanpa oksigen oleh mikroorganisme tertentu yang mampu mengubah senyawa organik menjadi metana (biogas). Proses ini banyak dikembangkan untuk mengolah kotoran hewan dan manusia atau air limbah yang kandungan bahan organiknya tinggi. Sisa pengolahan bahan organik dalam bentuk padat digunakan untuk kompos.Secara umum, proses anaerob terdiri dari tiga tahap yaitu : hidrolisis, pembentukan asam, dan pembentukan metana. Proses anaerob dikendalikan oleh dua golongan mikroorganisme (hidrolitik dan metanogen). Bakteri hidrolitik terdapat dalam


(50)

40 jumlah yang besar dalam kotoran unggas karena reproduksinya sangat cepat. Organisme ini memecah senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Senyawa sederhana diuraikan oleh bakteri penghasil asam ( acid forming bacteria ) menjadi asam lemak dengan berat molekul rendah seperti asam asetat dan asam butirat. Selanjutnya bakteri metanogenik mengubah asam – asam tersebut menjadi metana.

Proses pembentukan biogas dapat dibagi menjadi 3 tahap sebagai berikut : 1) Tahap Hidrolisis

Tahap pertama dari penguraian anaerob adalah hidrolisis yaitu depolimerisasi atau pelarutan makromolekul substrat menjadi molekul yang lebih sederhana. Reaksi hidrolisis dilakukan oleh enzim ekstraseluler yaitu enzim hidrolase. Pada proses ini enzim hidrolase dapat menguraikan karbohidrat, protein, dan lemak menjadi senyawa – senyawa sederhana seperti monomer gula, asam amino, dan asam lemak rantai panjang. Bakteri yang berperan dalam proses hidrolisis diantaranya Clostridium acidiuric dan Clostridium cylindrosporum.

Proses hidrolisis merupakan proses perubahan senyawa organik tidak terlarut menjadi senyawa organik terlarut. Mikroorganisme yang berperan dalam proses hidrolisis merupakan senyawa yang paling dominan selama proses anaerobic.

Hidrolisis merupakan tahap reaksi paling lambat untuk substrat padat sehingga merupakan tahap penentu dari reaksi anaerob. Penguraian senyawa ini dilakukan oleh kelompaok bakteri hidrolisa seperti steptococci, bacteriodes, dan beberapa jenis enterobactericeae

2) Tahap Pembentukan Asam

Tahap pembentukan asam (acidogenesis) adalah proses pengubahan senyawa organik sederhana dari hasil hidrolisis dan fermetasi menjadi asam. Hasil hidrolisis dimanfaatkan oleh bakteri pembentuk asam menjadi asam – asam organik. Bakteri jenis ini tumbuh cepat (waktu regenerasi 30 menit) pada temperature 35oC. Asam asetat sebagai produk utama yang diubah dari glukosa


(51)

41 menghasilkan energi terbesar bagi bakteri pembentuk asam untuk pertumbuhannya. Contoh bakteri pembentuk asam adalah Clostridium propionicum, Clostridium histolitycum, Clostridium acetobutylicum, dan Clostridium butylicum.

Bakteri pembentuk asam mengubah senyawa organik sederhana menjadi asam organik seperti asam asetat, asam propionat, asam butirat dan senyawa lain (hidrogen, karbondioksida dan air). Bakteri asetogenik mengubah asam propionat dan butirat menjadi asam, hidrogen dan karbondioksida.

3) Tahap Pembentukan Metana

Metanogenesis merupakan tahapan terakhir dan sekaligus yang paling menentukan, yakni melakukan penguraian produk dan sintetis tahap sebelumnya untuk menghasilkan gas metana (CH4).Metana dibentuk dari dua jalur yaitu jalur asam asetat, jalur CO2 dan H2. Bakteri yang terlibat adalah bakteri asetoklastik (asetoclastic methane bacteria) yang bersimbiosis dengan bakteri pembentuk asam, dengan cara mengubah asam asetat sehingga pH sistem dapat dikontrol. Bakteri pengkonsumsi hidrogen (hydrogen utilysing bacteria) membentuk metana dari CO2 dan H2.

Proses pembentukan biogas dapat dilihat dari gambar 2.6 sebagai berikut :


(52)

42 Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme anaerob yaitu:

1. Temperatur

Gabungan bakteri anaerob bekerja dibawah tiga kelompok temperatur utama. Gas metana dapat diproduksi pada tiga tipe range temperatur sesuai dengan bakteri yang hadir. Bakteri psyhrophilic 0 0C – 7 0C, bakteri mesophilic pada temperatur 13 0C – 40 0C sedangkan thermophilic pada temperatur 55 0C – 60 0C.

Temperatur yang optimal untuk digester adalah temperatur 30 0C – 35 0C, kisaran temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan produksi metan di dalam digester dengan lama proses yang pendek. Temperatur yang tinggi/range thermophilic jarang digunakan karena sebagian besar bahan sudah dicerna dengan baik pada range temperatur mesophilic, selain itu bakteri thermophilic mudah mati karena perubahan temperatur, keluaran/sludge memiliki kualitas yang rendah untuk pupuk, berbau dan tidak ekonomis untuk mempertahankan pada temperatur yang tinggi, khususnya pada iklim dingin.

Bakteri mesophilic adalah bakteri yang mudah dipertahankan pada kondisi buffer yang mantap (well buffered) dan dapat tetap aktif pada perubahan temperatur yang kecil, khususnya bila perubahan berjalan perlahan. Pada temperatur yang rendah 15 0C laju aktivitas bakteri sekitar setengahnya dari laju aktivitas pada temperatur 35 0C. Pada temperatur 10 0C – 7 0C dan di bawah temperatur aktivitas, bakteri akan berhenti beraktifitas dan pada range ini bakteri fermentasi menjadi dorman sampai termperatur naik kembali hingga batas aktivasi. Apabila bakteri bekerja pada temperatur 40 0C produksi gas akan berjalan dengan cepat hanya beberapa jam tetapi untuk sisa hari itu hanya akan diproduksi gas yang sedikit. Seperti halnya proses secara biologi tingkat produksi metana berlipat untuk tiap peningkatan temperatur sebesar 10 0C – 15 0C. Jumlah total dari gas yang diproduksi pada jumlah bahan yang tetap, meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur.


(53)

43 Lebih lanjut, yang harus diperhatikan pada proses biometananisasi adalah perubahan temperatur, karena proses tersebut sangat sensitif terhadap perubahan temperatur. Perubahan temperatur tidak boleh melebihi batas temperatur yang diijinkan. Untuk bakteri psychrophilic selang perubahan temperatur berkisar antara 2 0C/jam, bakteri mesophilic 1 0C/jam dan bakteri thermophilic 0,50C/jam. Walaupun demikian perubahan temperatur antara siang dan malam tidak menjadi masalah besar untuk aktifitas metabolisme. Sangat penting untuk menjaga temperatur tetap stabil apabila temperatur tersebut telah dicapai. Panas sangat penting untuk meningkatkan temperatur bahan yang masuk ke dalam biodigester dan untuk mengganti kehilangan panas dari permukaan biodigester. Kehilangan panas pada biodigester dapat diatasi dengan meminimalkan kehilangan panas dari bahan.

2. Nilai pH

Derajat keasaman memiliki efek terhadap aktivasi biologi dan mempertahankan pH agar stabil penting untuk semua kehidupan. Kebanyakan dari proses kehidupan memiliki kisaran pH antara 5 – 9. Nilai pH yang dibutuhkan untuk digester antara 7 – 8.5. Bila proses tidak dimulai dengan membibitkan bakteri metan, seperti memasukkan kotoran hewan ke dalam kolam, kondisi buffer tidak akan tercipta dan perubahan yang terjadi adalah : selama tahap awal dari proses sekitar 2 minggu, pH akan turun hingga 6, atau lebih rendah, ketika sejumlah CO2 diberikan. Hal ini akan terjadi selama 3 bulan dengan penurunan keasaman yang lambat (6 bulan pada cuaca yang dingin) selama waktu itu ikatan asam volatile terbentuk. Seperti pada pencernaan, karbondioksida dan metana diproduksi dan pH perlahan meningkat hingga 7. Ketika campuran menjadi berkurang keasamannya maka fermentasi metanlah yang mengambil alih proses pencernaan. Sehingga nilai pH meningkat di atas netral hingga 7.5 – 8.5. Setelah itu campuran menjadi buffer yang mantap (well buffered), dimana bila dimasukkan asam/basa dalam jumlah yang banyak, campuran akan stabil dengan sendirinya pada pH 7.5 – 8.5. Pertumbuhan bakteri penghasil gas metana akan baik bila pH bahannya pada keadaan alkali (basa). Bila proses fermentasi berlangsung dalam keadaan normal dan anaerobik, maka pH akan secara otomatis


(54)

44 berkisar antara 7 – 8.5. Bila derajat keasaman lebih kecil atau lebih besar dari batas, maka bahan tersebut akan mempunyai sifat toksik terhadap bakteri metanogenik.

3. Nutrisi

Bakteri anaerobik membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi yang mengandung nitrogen, fosfor, magnesium, natrium, mangan, kalsium dan kobalt. Level nutrisi harus sekurangnya lebih dari konsentrasi optimum yang dibutuhkan oleh bakteri metanogenik, karena apabila terjadi kekurangan nutrisi akan menjadi penghambat bagi pertumbuhan bakteri. Penambahan nutrisi dengan bahan yang sederhana seperti glukosa, buangan industri dan sisa – sisa tanaman terkadang diberikan dengan tujuan menambah pertumbuhan di dalam digester. Walaupun demikian kekurangan bukan merupakan masalah bagi mayoritas bahan, karena biasanya bahan memberikan jumlah nutrisi yang mencukupi. Nutrisi yang penting bagi pertumbuhan bakteri, dapat bersifat toksik apabila konsentrasi di dalam bahan terlalu banyak. Pada kasus nitrogen berlebihan, sangat penting untuk mempertahankan pada level yang optimal untuk mencapai digester yang baik tanpa adanya efek toksik.

4. Ion Kuat dan Salinitas

Salinitas (kandungan garam) NaCl 0.2M dilaporkan memiliki pengaruh yang minimal terhadap populasi metanogenik, namun salinitas yang lebih besar dapat bersifat inhibitor.

5. Keracunan dan Hambatan

Keracunan (toxicity) dan hambatan (inhibition) proses anaerob dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya produk antara asam lemak mudah menguap (volatile) yang dapat mempengaruhi pH. Pertumbuhan mikroba metanogenik terbatas jika jumlah asam lemaknya berlebihan. Amonia, hidrogen sulfida dan asam lemak volatil berasal dari reduksi nitrat oleh bakteri yang juga dapat membentuk asam lemah dan basa lemah pada sistem penyangga (buffer).


(55)

45 Zat- zat penghambat lain terhadap aktivitas mikroorganisme pada proses anaerob diantaranya kandungan logan berat sianida.

6. Faktor Konsentrasi Padatan dan Pencampuran Substrat

Konsentrasi ideal padatan untuk memproduksi biogas adalah 7 – 9 % kandungan kering. Kondisi ini dapat membuat proses digester anaerob berjalan dengan baik.

Walaupun tidak ada informasi yang pasti, mobilitas bakteri metanogen di dalam bahan secara berangsur – angsur dihalangi oleh peningkatan kandungan padatan yang berakibat terhambatnya pembentukan biogas. Selain itu yang terpenting untuk proses fermentasi yang baik diperlukan pencampuran bahan yang baik akan menjamin proses fermentasi yang stabil di dalam pencerna.

Hal yang paling penting dalam pencampuran bahan adalah :

a) Menghilangkan unsur – unsur hasil metabolisme berupa gas (metabolites) yang dihasilkan oleh bakteri metanogen ;

b) Mencampurkan bahan segar dengan populasi bakteri agar proses fermentasi merata ;

c) Menyeragamkan temperatur di seluruh bagian pencerna ; d) Menyeragamkan kerapatan sebaran populasi bakteri ; e) Mencegah ruang kosong pada campuran bahan. 2.6. 3. Faktor –faktor yang Mempengaruhi Produksi Biogas

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi biogas, antara lain:

1. Bahan Baku

Bahan baku isian berupa bahan organik seperti kotoran ternak, limbah pertanian, sisa dapur dan sampah organik. Bahan isian harus terhindar dari bahan anorganik seperti pasir, batu, kaca dan plastik .


(56)

46 Bahan baku dalam bentuk selulosa lebih mudah dicerna oleh bakteri anaerobik. Sebaliknya, pencernaan akan lebih sukar dilakukan bakteri anaerob jika bahan bakunya banyak mengandung zat kayu atau lignin. Kotoran sapi dan kerbau sangat baik dijadikan bahan baku karena banyak mengandung selulosa .

2. Rasio Karbon Dan Nitrogen (C/N)

Karbon dan Nitrogen adalah sumber makanan utama bagi bakteri anaerob, sehingga pertumbuhan optimum bakteri sangat dipengaruhi unsur ini, dimana Karbon dibutuhkan untuk mensuplai energi dan Nitrogen dibutuhkan untuk membentuk struktur sel bakteri. Nitrogen amonia pada konsentrasi yang tinggi dapat menghambat proses fermentasi anaerob. Konsentrasi yang baik berkisar 200– 1500 mg/lt dan bila melebihi 3000 mg/lt akan bersifat toxic. Proses fermentasi anaerob akan berlangsung optimum bila rasio C:N bernilai 30:1, dimana jumlah karbon 30 kali dari jumlah nitrogen. (Yunus, M, 1995)

C/N rasio dengan nilai 30 (C/N = 30/1 atau karbon 30 kali dari jumlah nitrogen) akan menciptakan proses pencernaan pada tingkat yang optimum, bila kondisi yang lain juga mendukung. Bila terlalu banyak karbon, nitrogen akan habis terlebih dahulu. Hal ini akan menyebabkan proses berjalan dengan lambat. Bila nitrogen terlalu banyak (CN rasio rendah; misalnya 30/15), maka karbon habis terlebih dahulu dan proses fermentasi berhenti .

Ternak ruminansia seperti sapi, kambing dan domba rata-rata lebih lama dalam menghasilkan gas bio dibandingkan dengan ternak non ruminansia. Lamanya produksi gas bio disebabkan oleh mutu pakan yang lebih rendah, sehingga rasio C/N tinggi akibatnya perkembangan mikroba pembentuk gas lebih lama dibandingkan yang bermutu tinggi. Tinggi rendahnya mutu ini tergantung pada nilai N (nitrogen) di dalam ransum. Namun demikian nilai N juga tergantung pada C (karbon). Jadi, perbandingan C dan N akan menentukan lama tidaknya proses pembentukan gas bio .( (Yunus, M, 1995)

Mikroorganisme membutuhkan nitrogen dan karbon untuk proses asimilasi. Karbon digunakan sebagai energi sedangkan nitrogen digunakan untuk membangun struktur sel. Bakteri penghasil metana menggunakan karbon 30 kali lebih cepat dari pada nitrogen .


(57)

47 Untuk menentukan bahan organik digester adalah dengan melihat rasio/perbandingan antara Karbon (C) dan Nitrogen (N). Beberapa percobaan menunjukkan bahwa metabolisme bakteri anaerobik akan baik pada rasio C/N antara 20-30. Jika rasio C/N tinggi, Nitrogen akan cepat dikonsumsi bakteri anaerobik guna memenuhi kebutuhan proteinnya, sehingga bakteri tidak akan bereaksi kembali saat kandungan Karbon tersisa. Jika rasio C/N rendah, Nitrogen akan terlepas dan berkumpul membentuk amoniak sehingga akan meningkatkan nilai PH bahan. Nilai PH yang lebih tinggi dari 8,5 akan dapat meracuni bakteri anaerobik. Untuk menjaga rasio C/N, bahan organik rasio tinggi dapat dicampur bahan organik rasio C/N rendah. Rasio C/N beberapa bahan organik dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Rasio C/N beberapa bahan organik (Karki dkk, 1984) Bahan Organik Rasio C/N

Kotoran bebek 8

Kotoran manusia 8

Kotoran ayam 10

Kotoran kambing 12

Kotoran babi 18

Kotoran domba 19

Kotoran kerbau/sapi 24

Enceng Gondok (water

hyacinth) 25

Kotoran gajah 43

Jerami (jagung) 60

Jerami (padi) 70

Jerami (gandum) 90

Serbuk gergaji > 200

3. Kandungan Bahan Kering

Bahan isian dalam pembuatan biogas harus berupa bubur. Bentuk bubur ini dapat diperoleh bila bahan bakunya mempunyai kandungan air yang tinggi. Bahan baku dengan kadar air yang rendah dapat dijadikan berkadar air tinggi dengan menambahkan air ke dalamnya dengan perbandingan tertentu sesuai dengan kadar bahan kering bahan tersebut. Bahan baku yang paling baik mengandung 7-9 % bahan kering .


(58)

48 Setiap kotoran atau bahan baku akan berbeda sifat pengencerannya. Kotoran sapi segar misalnya, mempunyai kadar bahan kering 18 %. Agar diperoleh kandungan bahan isian sebesar 7-9 % bahan kering, bahan baku tersebut perlu diencerkan dengan air dengan perbandingan 1:1 (bahan baku : air). Adonan tersebut lalu diaduk sampai tercampur rata .

Ternyata kotoran masing-masing jenis ternak mempunyai kandungan bahan kering yang berbeda-beda. Perbedaan bahan kering yang dikandung berbagai macam kotoran ternak akan membuat penambahan air yang berlainan. Untuk lebih jelasnya dapat diterangkan seperti pada tabel 2.4 di bawah ini.

Tabel 2.4. Perkiraan Produksi Dan Kandungan bahan kering kotoran beberapa jenis ternak (Fontenot, J.p dkk, 1993)

Jenis Ternak Bobot Ternak (kg) Produksi Kotoran (kg/Hari) Bahan Kering (%) Sapi

~ Betina potong 520 29 12

~ Betina perah 640 50 14

Ayam

~ Petelur 2 0,1 26

~ Pedaging 1 0,06 25

Babi

~ Dewasa 90 7 9

Domba 40 2 26

4. Temperatur

Gas metana dapat diproduksi pada 3 tingkat temperature sesuai dengan bakteri yang hadir. Bakteri psyhriphilic 0-7 oC, bakteri mesophilic pada temperatur 13-40 oC sedangkan termophilic pada temperatur 55-60 oC. Temperatur yang optimal untuk digester adalah temperatur 30-35 oC, kisaran temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan produksi metana di dalam digester dengan lama proses yang pendek. Temperatur yang tinggi atau pada tingkat termophilic jarang digunakan karena sebagian besar


(59)

49 bahan sudah dicerna dengan baik pada tingkat temperatur mesophilic, selain itu bakteri termophilic mudah mati karena perubahan temperatur .

Dekomposisi bahan-bahan organik dibawah kondisi anaerobik menghasilkan suatu gas yang sebagian besar terdiri atas campuran metana dan arang oksida. Gas ini dikenal sebagai gas rawa ataupun bio gas. Campuran gas ini adalah hasil dari fermentasi atau peranan anaerobic disebabkan sejumlah besar mikroorganisme terutama bakteri metana. Suhu yang baik untuk proses fermentasi adalah berkisar 30 oC -55 oC .

Temperatur yang tinggi akan memberikan hasil biogas yang baik namun suhu tersebut sebaiknya tidak boleh melebihi suhu kamar. Bakteri ini hanya dapat subur bila suhu disekitarnya berada pada suhu kamar. Suhu yang baik untuk proses pembentukan biogas berkisar antara 20-40 oC dan suhu optimum antara 28-30 oC .

5. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan aktivitas bakteri. Kisaran pH optimal untuk produksi metana adalah 7-7,2 tetapi pada kisaran 7,2-8,0 masih diizinkan. Untuk mencegah penurunan pH pada awal pencernaan dan menjaga pH pada kisaran yang diizinkan, maka dibutuhkan buffer yakni dengan penambahan larutan kapur .

Derajat keasaman sangat berpengaruh terhadap kehidupan mikroorganisme. Derajat keasaman yang optimum bagi kehidupan mikroorganisme adalah 6,8-7,8. Pada tahap awal fermentasi bahan organik akan terbentuk asam (asam organik) yang akan menurunkan pH. Untuk mencegah terjadinya penurunan pH dapat dilakukan dengan menambahkan larutan kapur (Ca(OH)2) atau kapur CaCO3 . 6. Lama Fermentasi

Secara umum proses fermentasi/pencernaan limbah ternak di dalam tangki pencerna dapat berlangsung 60-90 hari, proses terbentuknya gas bio pada hari ke-5 dengan suhu pencernaan 28 oC.

Produksi biogas sudah terbentuk sekitar 10 hari. Setelah 10 hari fermentasi sudah terbentuk kira-kira 0.1-0.2 m3/kg dari berat bahan kering. Peningkatan penambahan waktu fermentasi dari 10 hari hingga 30 hari meningkatkan produksi


(60)

50 biogas sebesar 50% . Pada hari ke 30 fermentasi jumlah gas bio yang terbentuk mencapai maksimal, dan setelah 30 hari fermentasi terjadi penurunan jumlah gas bio . Waktu lama cerna untuk beberapa kotoran ternak dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.5. Produksi biogas dan Lama cerna (Retention time) kotoran ternak di dalam tangki pencerna (Uli, W. dkk, 1989)

Jenis Kotoran Ternak Lama Cerna (hari)

Sapi 60-80

Sapi + Jerami 10 % 60-100

Babi 40-60

Babi + Jerami 10 % 60-80

Ayam 80

Kambing/Domba 80-100

2.6.4. Sistem Penyimpanan Biogas

Secara umum biogas yang diproduksi langsung dialirkan melalui pipa ke kompor biogas,lampu maupun genset. Untuk hal tersebut maka perlu meninjau beberapa aspek penting terkait dengan efisiensi dan tingkat keamanan penggunaan tabung.

ada beberapa faktor yang penting diperhatikan untuk penyimpanan sementara biogas yaitu :

1. Volume simpan yang diperlukan biasanya tidak besar

2. Kemungkinan korosi dari gas H2S atau uap air yang masih terkandung dalam biogas,

3. Biaya penyimpanan karena nilai ekonomi biogas relatif rendah.

Selain hal tersebut dalam penyimpanan sementara biogas ada beberapa faktor lain, yaitu sistem penekanan gas ke dalam tabung. Ada tiga jenis sistem penekanan yang digunakan yaitu:

1. Sistem penyimpanan biogas bertekanan rendah,

2. Sistem penyimpanan biogas bertekanan menengah dan 3. Sistem penyimpanan biogas bertekanan tinggi.


(61)

51 Untuk lebih jelas dapat kita lihat pada tabel berikut :

Tabel 2.6. Opsi penyimpanan biogas (Tambunan, A.H., dkk. 2009) Tujuan

Penyimpanan

Tekanan (Psi)

Sistem

Penyimpanan Bahan Ukuran (ft)

Penyimpanan singkat /Intermediate untuk penggunaan di tempat produksi

< 0,1 Tutup terapung Karet / plastik Bervariasi sesuai kebutuhan harian < 2 kantung gas Karet / plastik 150 - 11000

2 - 6

Penampung gas

kedap air Baja 3500

Kantung gas

berpemberat Karet / plastik 880 - 28000 Atap terapung Karet / plastik Bervariasi sesuai

kebutuhan harian Penyimpanan

lama untuk penggunaan di luar tempat

produksi

10 - 2900

Tabung propana

/ butana Baja 2000

> 2900 Tabung gas

komersial Baja Alloy 350

Biogas dapat disimpan pada kisaran tekanan 2 hingga 200 psi untuk sistem penyimpanan biogas bertekanan rendah. Penyimpanan dengan tekanan menengah juga jarang diterapkan, karena korosi terhadap komponen penyimpan, sehingga untuk meningkatkan keamanan penggunaan diperlukan pemisahan biogas dari gas H2S .

Sementara jika tujuan penyimpanan ingin diarahkan pada penyimpanan bertekanan tinggi, dan ingin dirubah kedalam fase cair/ liquid maka diperlukan perlakuan pemisahan komponen gas, berupa pemurnian biogas menjadi biometana yang memiliki konsentrasi metana lebih dari 95%. Pada analisa dengan


(62)

52 menggunakan program aplikasi Refpro (Gambar 2.7), menunjukkan bahwa titik kritis dari metan dan karbon dioksida masing-masing adalah -82.7 oC pada 45.96 MPa, dan 31oC pada 73.825 MPa. Refpro sendiri merupakan program aplikasi yang digunakan untuk mengghitung properti termodinamika berbagai zat. Hubungan tekanan metan dengan CO2 dapat kita lihat gambar 2.7 berikut :

Gambar 2.7. Diagram tekanan uap metan dan CO2 (Tambunan, A.H., dkk . 2009) Gambar dan penjelasan diatas menunjukkan bahwa pada suhu lingkungan (30 oC) metana tidak dapat dicairkan hanya dengan memberikan tekanan akan tetapi dengan penurunan suhu sekitar -173 oC pada tekanan 1 atmosfir (0.1 MPa), atau dengan membuat kombinasi penurunan suhu dan peningkatan tekanan. Hal ini juga berarti, jika ingin menerapkan perlakuan penyimpanan biogas bertekanan tinggi diperlukan proses yang rumit dan tentunya biaya yang tinggi.


(1)

2.8.Mesin Potong Rumput ... 35

BAB III METODOLOGI PENGUJIAN 3.1.Waktu dan Tempat ... 36

3.2.Alat Pengujian ... 36

3.3.Bahan Pengujian ... 40

3.3.1.Bahan Bakar ... 40

3.4.Prosedur Penelitian ... 41

3.4.1. Pembuatan Instalasi Biogas ... 41

3.4.1.1. Rancang Bangun Instalasi Biogas ... 42

3.4.1.2. Persiapan Bahan Isian Digester ... 43

3.4.1.3. Proses Pengisian Bahan Pada Tangki Pencerna ... 44

3.4.1.4. Proses Fermentasi ... 45

3.4.1.5. Pengujian Biogas ... 45

3.4.2. Pembuatan Rope Brake Dynamometer ... 46

3.4.3. Prosedur Modifikasi Mesin Potong Rumput dengan Mengunakan Bahan Bakar LPG dan Bahan Bakar Biogas ... 48

3.4.3.1. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Memodifikasi Karburator ... 48

3.4.3.2. Memodifikasi Karburator ... 49

3.5.Prosedur Pengujian ... 5 0 3.6.Bagan Alir Pengerjaan ... 52

BAB IV HASIL DAN ANALISA PENGUJIAN 4.1. Pengujian Performansi ... 53

4.1.1.Torsi ... 53

4.1.2.Brake Power ... 5 6 4.1.3.Konsumsi Bahan Bakar Spesifik (SFC) ... 59


(2)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan ... 6 5 5.2.Saran ... 6 5

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(3)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Komposisi Jenis Gas dan Jumlahnya pada Suatu Unit Biogas ... 16

Tabel 2.2 Nilai kesetaraan biogas dengan sumber energi lain ... 18

Tabel 2.3 Rasio C/N berbagai bahan organik ... 20

Tabel 2.4 Perkiraan Produksi Dan Kandungan bahan kering kotoran beberapa jenis ternak ... 29

Tabel 2.5 Produksi biogas dan lama cerna (Retention time) kotoran ternak didalam tangki pencerna ... 31

Tabel 2.6. Opsi penyimpanan biogas ... 32

Tabel 3.1 Hasil Format Pengujian Bahan Bakar LPG ... 51

Tabel 3.2 Hasil Format Pengujian Bahan Bakar Biogas ... 51

Tabel 4.1 Hasil pengujian torsi terhadap putaran dengan variasi bahan bakar Gas LPG dan biogas ... 54

Tabel 4.2 Hasil perhitungan brake power terhadap putaran dengan variasi bahan bakar Gas LPG dan biogas ... 57

Tabel 4.3 Hasil perhitungan SFC terhadap putaran dengan variasi bahan bakar gas LPG dan biogas ... 60

Tabel 4.4 Efisiensi Thermal Brake (ηb) pada beban 0,6 kg dan 0,2 kg bahan bakar LPG ... 62

Tabel 4.5 Efisiensi Thermal Brake (ηb) pada beban 0,6 kg dan 0,2 kg bahan bakar Biogas ... 63


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Mesin Bensin empat langkah ... 6

Gambar 2.2. Diagram P-V dan T-S Siklus Otto Ideal ... 6

Gambar 2.3. Cara kerja motor bensin empat langkah ...8

Gambar 2.4. daya dan torsi sebagai fungsi putaran ... 10

Gambar 2.5. Skema Pengolahan LPG ...15

Gambar2.6. Proses pembentukan biogas ... 22

Gambar 2.7 Diagram tekanan uap metan dan CO2 ... 33

Gambar 2.8. Rope brake Dinamometer ... 35

Gambar 2.9. Desain Rope Brake Dynamometer ... 35

Gambar 2.10 Mesin Potong Rumput ... 35

Gambar 3.1. Mesin Potong Rumput Tagawa tgx-437 ...36

Gambar 3.2. Rope Brake Dynamometer ... 37

Gambar 3.3. Tachometer ... 38

Gambar 3.4. Timbangan Gantung Digital ... 38

Gambar 3.5. Timbangan Digital . . . 3 9 Gambar 3.6. Bahan bakar biogas ditempatkan pada ban dalam ...39

Gambar 3.7. Stopwatch ... 39

Gambar 3.8. Toolbox ... 40

Gambar 3.9. Tabung Gas LPG 3 kg ... 40

Gambar 3.10 Bahan bakar biogas ditempatkan pada ban dalam ... 41

Gambar 3.11 Tangki Pengaduk ... 42

Gambar 3.12 Tangki Pencerna (Digester) ... 4 3 Gambar 3.13 Tangki pengumpul gas ... 43


(5)

Gambar 3.15 Proses Pemasukan bahan isi digester ... 44

Gambar 3.16. Proses pengamatan biogas hasil fermentasi ... 45

Gambar 3.17. Proses pengujian biogas hasil fermentasi ... 45

Gambar 3.17. Diagram alir pembuatan instalasi biogas ... 46

Gambar 3.18. Diagram alir pembuatan rope brake dynamometer ... 47

Gambar 3.19 Karburator ... 48

Gambar 3.20 Selang regulator... 48

Gambar 3.21 Kran ... 49

Gambar 3.22 Selang minyak sepeda motor... 49

Gambar 3.23 Orifice... 49

Gambar 3.24 Karburator yang dimodifikasi ... 50

Gambar 3.25 Bagan alir prosedur pengerjaan ... 52

Gambar 4.1 Grafik Torsi vs putaran untuk beban 0,6 kg ...55

Gambar 4.2 Grafik Torsi vs putaran untuk beban 0,2 kg ...55

Gambar 4.3 Grafik putaran vs brake power untuk beban 0,6 kg ...58

Gambar 4.4 Grafik Torsi vs putaran untuk beban 0,2 kg ...58

Gambar 4.5 Grafik putaran vs sfc untuk beban 0,6 kg ...61

Gambar 4.6 Grafik putaran vs sfc untuk beban 0,2 kg ...61

Gambar 4.7 Grafik Putaran vs efisiensi thermal bahan bakar LPG beban 0,6 kg dan 0,2 kg ... 63

Gambar 4.8 Grafik Putaran vs efisiensi thermal bahan bakar biogas beban 0,6 kg dan 0,2 kg ... 64


(6)

DAFTAR NOTASI

AFR Rasio massa udara-bahan bakar

HHV Nilai kalor atas kJ/kg

LHV Nilai kalor bawah kJ/kg

ma Massa udara kg

ṁa Laju aliran massa udara kg/s

mf Massa bahan bakar kg

ṁf Laju aliran bahan bakar kg/jam

n Putaran mesin rpm

Nc Jumlah silinder

ηb Effisiensi termal brake %

ηc Effisiensi pembakaran

ηf Effisiensi konversi bahan bakar

� Daya Watt

Pa Tekanan udara Pa

CV Nilai kalor bahan bakar (kJ/kg)

R Konstanta gas J/kg.K

Sfc Konsumsi bahan bakar spesifik g/kW.h

τ Torsi keluaran mesin N.m

Ta Temperatur udara K

�� Waktu untuk menghabiskan bahan bakar s

Vc Volume clearance m3