Efektivitas Pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)Parawasa Berastagi

(1)

KUESIONER (Alat Penjaring Data)

Mohon kerendahan hati anda untuk mengisi kuesioner (Angket) saya. Data ini diperlukan sebagai tambahan informasi dalam penyusunan skripsi saya yang berjudul “Efektivitas Pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi” atas jawaban saudara saya ucapkan terima kasih.

Petunjuk pengisian

1. Isi dan berikan tanda silang (x) pada salah satu jawaban yang anda anggap paling sesuai dari pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

A. Identitas Responden 1. No. Responden :

2. Usia :

3. Agama : 4. Suku Bangsa : 5. Pendidikan Terakhir :

a. tidak sekolah b. SD c. SMP d. SMU e. Akademi/perguruan tinggi 6. Status Perkawinan :

a. belum kawin b. masih bersuami c. janda (mati) d. janda (cerai) 7. Daerah Asal/tempat tinggal:

a. desa b. pinggiran kota c. kota 8. Lamanya menjadi WTS : ...

9. Alasan menjadi WTS : ...

B. Efektivitas Program Pelayanan dan Pembinaan PSKW Parawasa

10. Apakah anda mengetahui tujuan dari program pelayanan dan pembinaan seperti: program bimbingan sosial, bimbingan mental, bimbingan keterampilan yang diberikan oleh panti ini? a. tahu b. tidak tahu

11. Apakah Program pelayanan dan pembinaan tersebut memberikan manfaat bagi anda? a. bermanfaat b. kurang bermanfaat c. tidak bermanfaat

12. Menurut anda, apakah fasilitas Bimbingan Sosial, Bimbingan Mental, dan Keterampilan sudah memadai?

a. sudah memadai b. cukup memadai c. kurang memadai (sebutkan) ...

13. Menurut pandangan anda, apakah proses Bimbingan Sosial sudah berlangsung dengan baik? a. baik b. cukup baik c. kurang baik


(2)

15. Menurut pandangan anda, apakah Bimbingan dan Latihan Keterampilan sudah berlangsung dengan baik?

a. baik b. cukup baik c. kurang baik

16. Menurut anda, apakah perlu ada penambahan jadwal materi dan kegiatan dari Bimbingan Sosial, Bimbingan Mental dan Bimbingan Keterampilan?

a. perlu (sebutkan) ... b. tidak perlu

17. Apakah anda puas dengan materi Bimbingan Sosial, Bimbingan Mental dan Bimbingan Keterampilan yang diberikan oleh panti ini?

a. puas(berikan penjelasan) ...

b. kurang puas (berikan penjelasan) ...

18. Menurut anda, apakah perlu adanya penambahan fasilitas guna menunjang bimbingan sosial, bimbingan mental dan bimbingan keterampilan?

a. tidak perlu b. perlu (sebutkan) ...

19. Bagaimanakah hubungan atau kerjasama anda dengan pembina/petugas panti di dalam panti? a. baik b. kurang baik c. tidak baik

20. Menurut anda, bagaimanakah kemampuan pembina dan petugas panti dalam menyampaikan materi dan kegiatan?

a. baik b. cukup baik c. kurang baik

21. Dari seluruh latihan keterampilan yang diberikan oleh panti, keterampilan mana yang paling anda sukai?

(sebutkan) ...

C. Efektivitas dalam bidang Sarana/prasarana dan fasilitas yang tersedia

22. Menurut anda, apakah sarana/prasarana dan fasilitas yang tersedia di panti seperti: gedung dan bangunan, kantor, ruang konsultasi, ruang makan, ruang tamu, dan lain-lain sudah memadai?

a. sudah memadai b. cukup memadai c. kurang memadai

23. Apakah tempat ibadah yang disediakan di panti ini dapat menampung seluruh Wanita binaan dalam melakukan ibadah?

a. sudah dapat menampung semua b. Belum dapat menampung 24. Kegiatan Olah raga apa yang paling anda minati?

(sebutkan) ...

25. Menurut anda, apakah fasilitas kegiatan olah raga dalam panti ini sudah memadai? a. sudah memadai b. cukup memadai


(3)

D. Kesejahteraan dan Kemandirian Wanita Binaan Sosial

26. Selama anda mengikuti bimbingan sosial dan bimbingan mental, apakah ada perubahan yang anda rasakan didalam diri anda?

a. ada b. Belum ada

27. Selama anda mengikuti bimbingan di panti ini, bimbingan apa yang paling utama yang membuat diri anda menjadi sadar untuk meninggalkan kehidupan anda sebelumnya?

a. Bimbingan sosial b. Bimbingan mental c. Bimbingan keterampilan 28. Setelah memperoleh latihan dan bimbingan keterampilan, apakah anda sudah memiliki

keterampilan yang nantinya dapat anda jadikan bekal setelah keluar dari panti? a. sudah b. belum

29. Setelah memperoleh bimbingan sosial dan bimbingan mental, apakah anda menyadari kesalahan-kesalahan yang selama ini anda lakukan?

misalnya: - tindakan dan pekerjaan tersebut meresahkan masyarakat

- tindakan dan pekerjaan tersebut menyalahi norma-norma di dalam masyarakat - tindakan dan pekerjaan tersebut bertentangan dengan kaidah-kaidah keagamaan Jelaskan: ... ... ...

Pertanyaan untuk wawancara kepada Key Informan

1. Menurut pandangan Bapak, bagaimana respon wanita binaan terhadap pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh panti ini? Apakah mereka pernah mengeluh mengenai pelayanannya? Apa-apa saja keluhannya?

2. Bagaimana Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh para pembina terhadap klien/wanita binaan? Dan metode-metode apa saja yang diterapkan dalam pendekatan tersebut?

3. Selama menjalankan program pelayanan dan pembinaan apakah panti pernah menghadapi kesulitan-kesulitan dan hambatan-hambatan?

4. Menurut Bapak, bagaimanakah kualitas kemampuan dan keahlian para staf pembina yang memberikan pembinaan dan pelayanan bagi wanita binaan? Dan bagaimana dengan jumlah staf pembina yang ada, apakah perlu penambahan?

5. Dari semua fasilitas dan sarana/ prasarana yang tersedia di panti, apakah sudah memadai ? Jika belum memadai, jelaskan di bidang apa dan fasilitas-fasilitas apa saja yang perlu adanya penambahan?

6. Keterampilan dan olah raga apa yang paling diminati oleh klien/wanita binaan? Dan apakah fasilitas dan sarana/prasaran guna menunjang kegiatan tersebut sudah terpenuhi?

7. Selama Bapak menjabat sebagai pimpinan di panti ini, sejauh mana program pelayanan ini sudah terealisasi? Apakah tujuan dari program ini sudah memenuhi target yang telah direncanakan?


(4)

Bagan 2

IV.5 Struktur Organisasi Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa

Ka. Balai UPTD Parawasa/Pejoreken

Ka Seksi TU

Ka. Seksi Pejoreken Ka. Seksi

PSKW Parawasa

Penyaluran Ka. Seksi

Bina Program

Pengasuh/ Pembinaan Penerimaan Perawatan/

Kesehatan Koordinator

Pej. Fungsional


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Djakarsih, 1987. Organisasi, Erlangga, Jakarta.

Barnard, I, Chester. 1992. Organisasi dan manajemen, Struktur, Perilaku dan Proses. Jakarta: Gramedia.

Ensiklopedia Umum. 1977. Yayasan Kanisius, Jakarta.

JP, Cambel. 1989. Riset dalam efektivitas organisasi, terjemahan Salut Simamora. Erlangga, Jakarta.

Kartono, Kartini. 1992. Patologi sosial jilid I, Rajawali Pers, Jakarta.

Muhidin, syarif. 1987. Dasar-dasar organisasi manajemen. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Nawawi, Hadari. 1998. Metode Bidang Penelitian Sosial. Gajah Mada University Press, Jakarta.

Nurdin, Fadhil. 1989. Pengantar Studi Kesejahteraan Sosial. Angkasa, Bandung.

Purnomo, Cahyo dan Ashadi. 1985. Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, Graffiti Press, Jakarta.

Simanjuntak, B. 1981. Drs. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial.

Singarimbun, M, dan Sofyan Effendi. 1993. Metodologi Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta.

Soedjono D. 1973. Patologi Sosial: gelandangan , prostitusi. Bandung.

Soehartono, Irawan. 2004. Metode Penelitian Sosial. PT Remang Rosdakarya, Bandung.


(6)

_________,2002. Buku Pedoman Pelayanan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila, Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Tuna Sosial, Jakarta.

_________,2005. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta.

Sumber lain :

Analisa, 27 Juli 2007 halaman: 16

http://www.damandiri.or.id/file/ettypapayunganunhasbab2b.pdf!. Diakses pada tanggal 03 September 2007

http://www.freelists.org/archives/nasional_list/05-2006/msg00181.html. http://www.freelists.org/archives/ppi/12-2004/msg00186.html.


(7)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1998: 63).

Dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif peneliti ingin membuat gambaran sejauh mana keefektifan pelayanan yang diberikan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa dengan melakukan pengamatan terhadap gejala, peristiwa, kondisi dan fasilitas yang tersedia.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi. Alasan peneliti memilih lokasi ini adalah karena Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa merupakan satu-satunya Panti Binaan terhadap wanita tuna susila (WTS) yang terdapat di Sumatera Utara.


(8)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang terdiri dari manusia, benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala, nilai-nilai atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakter tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 1991 : 141).

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari klien (wanita binaan sosial) di dalam Panti yang sudah menjalani bimbingan dan pembinaan selama 5 - 6 bulan,dimana mereka telah mengikuti bimbingan sampai pada tahap keterampilan, yakni sejumlah 25 orang.

3.3.2 Sampel

Menurut DR. Irawan Soehartono, sampel adalah suatu bagian dari populasi yang akan diteliti dan yang dianggap dapat menggambarkan populasinya (Soehartono, 2004 : 57).

Apabila jumlah populasi kurang dari 100, maka sebaiknya sampel diambil semuanya (Sukarsini Arikunto : 1991). Berarti sampel dalam penelitian ini merupakan total sampling N = n (25 orang).

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap gejala-gejala yang dapat diamati dari objek penelitian. Cara-cara yang dilakukan, yaitu:


(9)

a. Wawancara yaitu mengumpulkan data dengan mengadakan dialog secara langsung dan mengajukan pertanyaan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini kepada responden yang telah ditetapkan . b. Angket (Questioner), yaitu menyusun daftar pertanyaan kemudian

mengajukan pertanyaan secara tertutup yang disebarkan kepada wanita binaan.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan library research (studi kepustakaan), yaitu dengan membuka, mencatat dan mengutip data yang berkaitan dengan masalah penelitian dan dapat mendukung terlaksananya penelitian ini.

3.5 Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisa deskriptif, yaitu dengan mengumpulkan, mengelola, menyajikan dan menjabarkan hasil penelitian sebagaimana adanya. Data yang didapat akan dipaparkan dan dianalisa dengan menggunakan Tabel Tunggal, sehingga data dapat dibaca dengan mudah untuk mengetahui jawaban dari masalah yang diteliti.


(10)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

IV.1 Sejarah berdirinya Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Melihat kenyataan pertumbuhan kepadatan penduduk di provinsi Sumatera Utara dari tahun ke tahun sangat pesat yang menimbulkan berbagai permasalahan sosial. Salah satu permasalahan sosial tersebut adalah masalah tuna susila yang terus tumbuh dan berkembang di masyarakat dan merupakan suatu masalah yang menghambat pembangunan. Maka melalui Departemen Sosial didirikanlah panti ini pada tahun 1977 yang beralamat di Jalan Jamin Ginting Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo, yang diberi nama Panti Sasana Rehabilitasi Wanita Parawasa Berastagi. Nama Parawasa dibuat oleh Bupati Karo yang pada waktu itu dijabat oleh Bapak Kolonel TNI Tampak Sebayang.

Beliau memberi nama “PARAWASA” yang artinya: Para : Sekelompok wanita

Wa : Wanita Sa : Dewasa

Yang berarti tempat mendewasakan para penyandang masalah tuna susila melalui proses rehabilitasi. Namun pada tahun 1993 nama Sasana Rehabilitasi Wanita berubah menjadi Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa.


(11)

IV.2 Status Formal Panti dan Landasan Hukum IV.2.1 Status formal

Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa adalah unit pelaksana teknis (U.P.T) Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara yang bertugas menangani masalah sosial tuna susila. Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/XI/1979 tentang kedudukan dan tata kerja panti di lingkungan Dinas Sosial.

IV.2.2 Landasan Hukum

Adapun yang menjadi landasan hukum pelaksanaan program rehabilitasi wanita di Panti Sosial Karya Wanita Parawasa adalah:

a. Undang-undang No. 6/74, tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial

b. Undang-undang No. 22/99, tentang Pemerintah Daerah

c. Undang-undang No. 25/99, tentang Pertimbangan Keuangan Pusat dan Daerah d. Kepmensos No. 20/ HUK/ 99, tentang Rehabilitasi Sosial Penyandang Masalah Tuna Susila.

IV.3 Visi dan Misi serta Motto IV.3.1 Visi

Adapun visi dari PSKW Parawasa adalah Kesejahteraan Sosial oleh dan untuk semua.

IV.3.2 Misi


(12)

b.Mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam penanggulangan masalah tuna susila

c.Mencegah dan mengendalikan serta mengatasi permasalahan Tuna Susila

d. Meningkatkan jaringan kerja lintas sektoral dan dunia usaha IV.3.3 Motto

Motto dari PSKW Parawasa adalah Wanita Mulia, Negara Jaya.

Panti Sosial Karya Wanita adalah Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila yang mempunyai tugas memberikan Pelayanan Rehabilitasi Sosial yang meliputi Pembinaan Mental, fisik, sosial serta Latihan keterampilan, resosialisasi, penyaluran, pembinaan lanjut bagi para Wanita Tuna Susila agar mampu untuk berperan aktif dalam kehidupan masyarakat secara normative. Dan tujuan dari Panti Sosial Karya Wanita adalah untuk memulihkan kembali harga diri, percaya diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial, berkemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya sehingga diharapkan mereka akan mampu hidup mandiri, berkemampuan melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam tatanan hidup bermasyarakat.

IV.4 Program Rehabilitasi WTS di Parawasa Berastagi, Kegiatan Harian Warga Binaan, dan Lama Pembinaan

IV.4.1 Program Rehabilitasi

Adapun program-program Pelayanannya adalah: a. Pendekatan Awal


(13)

- Identifikasi - Motivasi - Seleksi b. Penerimaan

- Registrasi Penyandang Masalah (dari hasil razia ataupun yang diantar oleh keluarga)

- Penelahaan dan pengungkapan masalah (Assisment) - Penempatan klien pada program (bakat dan minat) c. Bimbingan Sosial

- Bimbingan fisik (senam aerobik dan baris berbaris), agama dan mental - Bimbingan sosial

d. Bimbingan Keterampilan

- Salon, menjahit, bordir, kerajinan tangan, pertanian dan pengembangan bunga

- Olahan pangan e. Resosialisasi

- Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat

- Bimbingan sosial hidup bermasyarakat dan Bimbingan usaha - Penetapan dan penyaluran / pengembalian

f. Bimbingan Lanjut

- Bimbingan peningkatan hidup bermasyarakat dan peran serta dalam pembangunan


(14)

IV.4.2 Kegiatan Harian PSKW Parawasa Berastagi

Adapun jadwal kegiatan harian yang dilakukan oleh Klien di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi dapat dilihat pada Tabel berikut ini

Tabel 1

Jadwal Kegiatan Harian Warga Binaan (klien) Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi

No Waktu/jam Kegiatan Penanggung jawab

1. 05.30 – 06.00 - bangun pagi

- rapikan tempat tidur - sholat

Delma Ginting

2. 06.00 – 07.45 - apel pagi

- kebersihan lingkungan - senam pagi

- Delma Ginting - Pegawai asuh - Parlin

3. 07.45 – 08.10 - sarapan pagi Delma Ginting 4. 08.10 – 08.30 - penyerahan piket

- persiapan kelas

Piket

5. 08.30 – 09.30 - bimbingan sosial - dinamika kelompok - bimbingan motivasi - etika/prilaku

- kewirausahaan

- bimbingan hidup dalam keluarga

Piket

6. 09.30 – 12.30 - menjahit - salon

- olahan pangan - kerajinan tangan

- Supiah Suriyati - Iriana Sembiring - Warni Ginting - Rasita Purba 7. 12.30 – 14.00 - makan siang

- sholat - ganti piket


(15)

8. 14.00 – 16.00 - Kegiatan individu Piket 9. 16.00 – 17.30 - agama

- mental/fisik

Piket

- Serka M. Harahap 10. 17.30 – 18.00 - sholat

- pergantian piket

Delma Ginting

11. 18.00 – 19.00 - makan malam - kegiatan individu

Piket

- Delma Ginting 12. 22.00 – 05.30 - tidur malam - Delma Ginting Sumber: Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi, 2007. IV.4.3 Lama Pembinaan

Dalam Pelayanan Rehabilitasi di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi selama 6 (enam) bulan, dengan perincian:

- 2 bulan : Pembinaan dalam bidang Bimbingan mental, bimbingan fisik, bimbingan sosial, dan bimbingan agama

- 4 bulan : Pembinaan dalam bidang keterampilan yang meliputi: salon, menjahit, bordir, kerajinan tangan, pertanian dan pengembangan bunga, dan olahan pangan.

Maka dalam 1 (satu) tahun anggaran 2 (dua) angkatan dengan jumlah perangkatan 60 orang, sesuai dengan anggaran yang tersedia.

Berdasarkan pengamatan dan melihat kebutuhan di tengah-tengah masyarakat program inilah yang sangat dibutuhkan apabila klien dibina selama 6 (enam) bulan di dalam Panti dan kembali ke masyarakat.


(16)

(17)

IV.6 Sarana dan Prasarana Panti

Sarana dan Prasarana yang dimiliki oleh Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa, dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 2

Sarana dan Prasarana PSKW Parawasa

No. Sarana/Prasarana Jumlah Kondisi

1. Ruang Kantor 1 unit Baik 2. Ruang Konsultasi 1 unit Baik

3. Asrama 3 unit Baik

4. Aula 1 unit Baik

5. Ruang Keterampilan 1 unit Baik 6. Ruang Makan 1 unit Baik

7. Musola 1 unit Baik

8. Rumah Dinas 3 unit Baik 9. Rumah Tugas 2 unit Baik 10. Kendaraan Dinas Roda empat 1 unit Baik Sumber: Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi Tahun 2007

IV.7 Tenaga Pelaksana dan Pegawai (staff) Panti

Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa mempunyai 14 orang dengan klasifikasi pendidikan yang berbeda-beda, dimana salah seorang sebagai kepala panti. Mereka terdiri dari:

a. tenaga inti (organik) = 12 orang b. tenaga honor = 1 orang

c. tukang masak = 1 orang


(18)

Tabel 3

Data Jumlah PNS PSKW Parawasa Berastagi Daftar Pegawai Negeri Sipil PSKW Parawasa Berastagi

No Nama Tgl lahir NIP Jabatan Pendidikan

1. Drs. Amir Sidabutar

19-02-1962 170019988 Ka. Seksi PLS

2. Syahdan 17-09-1954 170009313 Staf STM 3. Warni Ginting 20-11-1954 170008813 Staf SPSA 4. Rasmy Surbakti 10-06-1954 170013141 Staf SPSA 5. Irianna Sembiring 07-02-1960 170014239 Staf SMPS 6. Rumah Tengah

Sembiring

26-11-1954 170016246 Staf SPSA

7. Ganefo Ginting 02-12-1963 170016247 Staf SMA 8. Respan Ginting

Sm.Hk

02-08-1962 170020679 Staf Hukum

9. Antoni Sembiring 28-06-1960 170016117 Staf SMA 10. Rasita Purba 17-08-1971 170024753 Staf SMPS 11. Irwan Surbakti 09-09-1959 170011814 Staf SMA 12. Djonata Sembiring 18-11-1955 170011994 Staf SD Sumber: PSKW Parawasa Berastagi

Selain itu, dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keberfungsian sosial para klien, PSKW Parawasa Berastagi melaksanakan kerjasama dengan Departemen Agama dan organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang sosial seperti:

1. Dinas Departemen Agama Kabupaten Karo

2. Beberapa Gereja GBKP yang ada di Medan maupun di Kabupaten Karo 3. Yayasan Mesjid Raya Berastagi


(19)

4. LSM Pesada “Sada Ahmo” yang bergerak dalam penanganan dan pencegahan penyakit menular HIV/AIDS.

5. KKR Kristiani Kabanjahe 6. Pengarah TKI Melidah Medan 7. IKIP Negeri Medan

Dan pada saat ini PSKW Parawasa Berastagi menjalin hubungan kerjasama dengan Pekerja Sosial Masyarakat dari Negara Kanada dan mereka memberikan pelatihan belajar bahasa inggris.

IV.8 Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab IV.8.1 Kepala Panti

Kepala Seksi PSKW Parawasa Berastagi (Drs. Amir Sidabutar), mengeluarkan tugas-tugas managerial dan teknis operasional seperti yang telah dituangkan dalam penjabaran tugas dan fungsi sesuai dengan keputusan gubernur sumatera utara nomor: 061.297.K/ Tahun 2002 yang meliputi pembinaan fisik, mental, sosial, mengubah sikap dan tingkah laku, pelatihan keterampilan dan resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi mantan wanita tuna susila agar menjadi berkemampuan aktif dalam melaksanakan norma susila dan agama di tengah-tengah masyarakat.

Tugas :

1. Melaksanakan observasi dan orientasi ke kantong-kantong lokalisasi Wanita Tuna Susila di wilayah Sumatera Utara


(20)

4. Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam pembinaan mental, sosial dan keterampilan

5. Melaksanakan konsultasi, pengungkapan dan pemahaman masalah klien 6. Menyusun program-program kegiatan rehabilitasi klien

7. Melaksanakan penampungan dan pengasramaan klien

8. Mempersiapkan segala kebutuhan/keperluan para klien dengan standard yang telah ditetapkan

9. Melaksanakan pembinaan fisik, mental dan sosial secara individu maupun kelompok

10. Melaporkan pelaksanaan kegiatan/program kepada kepala balai secara berjenjang

11. Melaksanakan pembinaan dan pembagian tugas semua staf 12. Melaksanakan bimbingan lanjut terhadap eks klien

13. Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Kepala Balai 14. Mengkoordinir tugas-tugas staf.

Fungsi :

1. Mengawasi semua pelaksanaan program-program kegiatan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

2. Mempertanggung-jawabkan semua pelaksanaan kegiatan program yang telah ditetapkan kepada Kepala Balai

3. Mengevaluasi kegiatan/program yang telah dilaksanakan untuk bahan laporan kepada Kepala Balai


(21)

5. Mengawasi/merawat/memelihara semua sarana dan prasarana yang ada di PSKW Parawasa

6. Memberikan penilaian staf setiap akhir tahun anggaran. IV.8.2 Tugas dan Tanggung Jawab Para Staf

1. Warni Ginting dan Antoni

- Menangani administrasi dan dokumentasi klien - Menerima dan melayani klien

- Memberikan bimbingan kepada klien - Mengawasi surat masuk dan surat keluar - Menyusun roster piket setiap bulan - Membuat daftar hadir pegawai - Menyusun materi latihan - Menghubungi Instruktur/Pelatih

- Mengikuti dan melaksanakan petunjuk-petunjuk atasan - Interview klien

2. Iriana Sembiring dan Rasita Purba - Membuat laporan bulanan - Membuat daftar klien per asrama - Membuat catatan perkembangan klien - Memberikan kebutuhan klien dalam asrama - Membuat tugas klien di asrama

- Bertanggung jawab atas kebersihan asrama, tempat tidur dan peralatannya


(22)

- Mencatat keperluan asrama - Interview klien

- Mengikuti dan mematuhi petunjuk-petunjuk atasan dan melaporkan hasil pelaksanaan kepada Kepala Seksi

3. Rasmy Surbakti

- Membuat daftar nomor Registrasi klien - Mengatasi permasalahan klien

- Mencatat dan menyimpan alat-alat keterampilan - Mengisi buku induk

- Menyusun kelompok klien sesuai dengan keterampilan - Interview klien

- Mengikuti dan melaksanakan petunjuk-petunjuk atasan 4. Supiah Suriaty Sembiring

- Mengkoordinir pelaksanaan bimbingan - Melaksanakan pengungkapan latar belakang - Mencatat perkembangan klien

- Melaporkan hasil pekerjaan kepada atasan secara berjenjang - Interview klien

5. Rumah Tengah Sembiring

- Mengawasi keamanan dalam asrama dan Panti

- Mengkoordinir kebersihan kantor, asrama, dapur, ruang data, ruang sholat dan halaman

- Interview klien


(23)

6. Ganepo Ginting

- Mengamprah Gaji Pegawai sesuai dengan petunjuk Kepala Balai - Melaksanakan wawancara dengan klien

- Membuat laporan hasil wawancara

- Memberikan bimbingan kelompok kepada klien

- Mengikuti dan melaksanakan tugas-tugas yang diberikan atasan 7. Irwan Surbakti

- Koordinasi dengan aparat keamanan - Melaksanakan identifikasi klien

- Pengisian file, interview dan wawancara kepada klien

- Menginventarisasi kelompok umur, pendidikan agama dan suku/ras 8. Djonata Sembiring dan Delma Ginting

- Melaksanakan koordinasi dengan masyarakat setempat - Melayani wartawan sebelum dihadapkan ke atasan - Interview klien

- Mengawasi klien didalam dan diluar asrama - Membantu melaksanakan kebersihan dalam panti 9. Situmorang

- Jaga malam


(24)

BAB V ANALISIS DATA

Dalam bagian ini akan dikemukakan analisis tentang pokok pembahasan dalam penelitian yaitu efektivitas pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi. Adapun data-data yang diperoleh peneliti adalah melalui penyebaran kuesioner kepada wanita binaan yang menjadi responden dalam penelitian ini. Selain itu, untuk melengkapi data yang dibutuhkan, peneliti juga melakukan wawancara dengan Kepala Panti. Untuk lebih jelasnya, analisis data akan dimulai dengan uraian identitas responden yang dilanjutkan dengan data-data mengenai Efektivitas Program Pelayanan PSKW Parawasa, Efektivitas dalam bidang Sarana Prasarana, serta Kesejahteraan dan Kemandirian Wanita Binaan. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dari data yang telah terkumpul, dapat dilihat pada tabel-tabel distribusi frekuensi yang disajikan berikut ini.

V.1. Identitas Responden

Tabel 4

Distribusi Responden Berdasarkan Usia

No. Kelompok Usia Frekuensi %

1 17 – 24 tahun 16 64

2 29 – 32 tahun 5 20

3 33 – tahun keatas 4 16

Jumlah 25 100


(25)

Berdasarkan data pada tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang menjadi sampel dalam penelitian berusia 17-24 tahun yaitu sebanyak 16 responden (64 %). Kemudian diikuti oleh responden yang berusia 25-32 tahun yaitu sebanyak 5 responden (20 %), sedangkan responden yang berusia 33 tahun keatas sebanyak 4 responden (16 %). Data tersebut menunjukkan bahwa hampir keseluruhan responden adalah usia produktif/dewasa.

Pada usia produktif/dewasa tersebut mereka tidak mempunyai keterampilan dan pekerjaan yang tetap. Oleh karena itulah ketika suami mereka meninggal atau menceraikan mereka, akibatnya mereka memikul beban biaya rumah tangga sendirian. Dengan keadaan seperti itu mereka memilih jalan pintas yaitu berprofesi sebagai wanita tuna susila (WTS), karena profesi ini dianggap tidak memerlukan keterampilan/skill, tidak memerlukan intelegensi tinggi, mudah dikerjakan dan langsung mendapatkan hasilnya. Sedangkan responden yang tergolong non produktif mengatakan bahwa profesi tersebut sudah dilakukannya belasan tahun, sehingga ia sudah merasakan senangnya memiliki uang dan barang-barang mewah. Keadaan demikian membuat ia sulit meninggalkan profesi tersebut, karena jika pekerjaan tersebut dihentikannya maka dirinya akan mengalami kemiskinan, kelaparan dan penderitaan.

Lalu, data mengenai agama responden yang menjadi sampel peneliti melalui kuesioner yang terdiri dari lima (5) klasifikasi. Adapun klasifikasi agama tersebut adalah Agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Khatolik, Budha dan Hindu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Tabel 5 berikut.


(26)

Tabel 5

Distribusi Responden Berdasarkan Agama

No. Agama Frekuensi %

1 Islam 18 72

2 Kristen Protestan 7 28

3 Kristen Khatolik 0 0

4 Budha 0 0

5 Hindu 0 0

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini beragama islam yaitu sebanyak 18 responden atau 72 %, dan ada 7 responden atau 28 % memeluk agama Kristen Protestan. Memang menurut data yang diperoleh dari Kantor Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa, klien dominan memeluk Agama Islam. Walaupun adanya perbedaan agama, mereka tetap menjalin sikap saling menghargai. Misalnya, menghargai umat muslim yang mengadakan sholat dan juga menghargai umat kristiani yang mengadakan ibadah setiap minggu.

Data mengenai suku bangsa responden yang menjadi sampel peneliti melalui kuesioner, dapat dilihat dari Tabel 6 berikut ini.


(27)

Tabel 6

Distribusi Responden Berdasarkan Suku

No. Suku Frekuensi %

1 Batak Toba 7 28

2 Batak Karo 2 8

3 Batak Mandailing 4 16

4 Aceh 3 12

5 Padang 1 4

6 Jawa 6 24

7 Melayu 2 8

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Data pada tabel 6 menunjukkan bahwa responden terdiri atas beraneka ragam suku bangsa yang menjalani rehabilitasi di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi. Dari tabel juga dapat dilihat bahwa responden lebih banyak berasal dari suku batak toba dengan jumlah 7 orang (28 %), diikuti suku jawa sebanyak 6 orang (24 %), suku Batak Mandailing sebanyak 4 orang (16 %), suku Aceh sebanyak 3 orang (12 %), suku melayu sebanyak 2 orang (8 %), suku Batak Karo sebanyak 2 orang (8 %), dan suku Padang sebanyak 1 orang (4 %).

Selanjutnya, pada Tabel 7 dibawah ini telah disajikan data responden yang menjadi sampel peneliti mengenai latar belakang pendidikannya. Untuk mengetahui frekuensi dan presentasenya dapat dilihat pada tabel berikut.


(28)

Tabel 7

Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

No. Pendidikan Frekuensi %

1 Tidak sekolah 0 0

2 SD 9 36

3 SMP 10 40

4 SMU 6 24

5 Akademi/Perguruan Tinggi 0 0

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Rendahnya tingkat pendidikan merupakan salah satu alasan mengapa seorang wanita/gadis bisa terjerumus kedalam dunia Prostitusi (pelacuran). Mereka menjadi bodoh dan kurang wawasan sehingga gampang dibujuk/dirayu “pencari” gadis-gadis untuk pelacuran, selain itu orang susah mendapatkan pekerjaan yang baik sehingga mendorong seseorang untuk melakukan pekerjaan apa saja agar bisa bertahan hidup termasuk hal-hal yang secara langsung sangat berisiko bagi kesehatan reproduksi seperti pelacuran. Berdasarkan data pada tabel 7 dapat diketahui bahwa sebahagian besar responden berpendidikan rendah yakni sebanyak 10 responden (40 %) berpendidikan tamat SMP, diikuti oleh berpendidikan tamat SD sebanyak 9 responden (36 %), dan ada 6 responden (24 %) yang berpendidikan tamat SMU.

Responden yang mengecap pendidikan rendah mengemukakan alasannya yaitu karena keadaaan ekonomi keluarga tidak memungkinkan untuk melanjutkan


(29)

ke pendidikan yang lebih tinggi, tidak ada fasilitas untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi di daerah asal.

Kemudian data tentang distribusi status perkawinan responden yang menjadi sampel peneliti melalui kuesioner dapat dilihat pada tabel 8 berikut.

Tabel 8

Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan

No. Status Perkawinan Frekuensi %

1 Belum Kawin 12 48

2 Masih bersuami 3 12

3 Janda (mati) 3 12

4 Janda (cerai) 7 28

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 8 diatas dapat diketahui bahwa mayoritas status perkawinan responden yang menjadi sampel dalam penelitian adalah belum kawin yaitu sebanyak 12 responden (48 %), kemudian diikuti oleh status perkawinan janda (cerai) sebanyak 7 responden (28 %), dan untuk status perkawinan masih bersuami dan janda (mati), masing-masing sebanyak 3 responden (12 %).

Lalu, data mengenai Asal atau Tempat tinggal respon disajikan pada tabel 9 berikut ini.


(30)

Tabel 9

Distribusi Responden Berdasarkan Asal/Tempat Tinggal

No. Asal/tempat tinggal Frekuensi %

1 Desa 6 24

2 Pinggiran kota 4 16

3 Kota 15 60

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 9 dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang menjadi sampel dalam penelitian berasal dari kota yaitu sebanyak 15 responden (60 %). Kemudian diikuti oleh asal/tempat tinggal dari desa yakni sebanyak 6 responden (24 %) dan untuk yang berasal dari pinggiran kota ada sebanyak 4 responden (16 %).

Tabel 10

Distribusi Responden Berdasarkan Lamanya Menjadi WTS

No. Lamanya menjadi WTS Frekuensi %

1 Kurang dari 1 tahun 12 48

2 1 tahun 6 24

3 2 tahun 4 16

4 3 tahun 2 8

5 Lebih dari 3 tahun 1 4

Jumlah 25 100


(31)

Berdasarkan data pada tabel 10 tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang menjadi sampel dalam penelitian sebelum masuk Panti Parawasa menjalani profesi wanita tuna susila (WTS) selama kurang dari 1 tahun yakni sebanyak 12 responden (48 %), diikuti oleh 1 tahun yaitu sebanyak 6 responden (24 %), 2 tahun sebanyak 4 responden (16 %), 3 tahun sebanyak 2 responden (8 %) dan yang lebih dari 3 tahun terdapat 1 responden (4 %).

Dan data tentang distribusi responden berdasarkan Alasan menjadi wanita tuna susila (WTS) akan disajikan pada tabel 11 berikut ini.

Tabel 11

Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Menjadi WTS

No. Alasan menjadi WTS Frekuensi %

1 Keterbatasan ekonomi 8 32

2 Pergaulan bebas 17 68

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 11 dapat diketahui bahwa sebahagian besar responden yang menjadi sampel dalam penelitian menyebutkan alasan atau faktor penyebab mereka menjadi WTS adalah akibat pergaulan bebas yakni sebanyak 17 responden (68 %) dan yang menyebutkan alasan menjadi WTS karena keterbatasan ekonomi sebanyak 8 responden (32 %).

Adapun alasan pergaulan bebas menurut responden antara lain: dikhianati oleh pacar dan akhirnya putus asa, dipengaruhi/rayuan teman, masalah narkoba,


(32)

Adapun alasan ekonomi meliputi sulit mencari pekerjaan, suami sebagai pencari nafkah telah meninggal, kebutuhan tidak terpenuhi, keinginan hidup mewah atau cepat menghasilkan uang, dan tidak memiliki keterampilan.

V.2. Efektivitas Program Pelayanan dan Pembinaan

Pelayanan dan Pembinaan yang diberikan dalam Panti terdiri dari program-progam yang dilakukan untuk menjamin suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan dan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan bermasyarakat, serta kemampuan perorangan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.

Tabel 12

Tahu tidaknya Responden Mengenai Tujuan Dari Program Pelayanan Dan Pembinaan Di Dalam Panti

No. Kategori Frekuensi %

1 Tahu 24 96

2 Tidak Tahu 1 4

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 12 dapat diketahui bahwa 24 responden (96 %) yang menjadi sampel dalam penelitian mengetahui tujuan dari program pembinaan seperti Bimbingan Sosial, Bimbingan Mental dan Bimbingan Latihan Keterampilan. Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki keinginan yang kuat ingin memulihkan kembali harga dirinya, kepercayaan diri, kesadaran dan tanggung jawab sosialnya serta berkemampuan menyesuaikan diri dengan


(33)

lingkungan sosialnya. Dimana mereka akan mampu hidup mandiri berkemampuan melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.

Sementara itu, pada tabel diatas terdapat 1 responden (4 %) yang tidak mengetahui tujuan dari program pelayanan dan pembinaan dalam panti. Hal ini dikarenakan responden tidak menyadari betapa pentingnya tujuan dari program pembinaan dan pelayanan dalam rangka mengembalikan keberfungsian sosial yang nantinya responden akan kembali ke lingkungan masyarakat untuk menjalani kehidupannya sebagai bahagian dari masyarakat.

Data selanjutnya yang akan disajikan adalah menyangkut tanggapan responden mengenai kebermanfaatan program pelayanan dan pembinaan panti, yang akan disajikan pada tabel 13 berikut ini.

Tabel 13

Tanggapan Responden Mengenai Kebermanfaatan Program Pelayanan Dan Pembinaan Panti

No. Kategori Frekuensi %

1 Bermanfaat 25 100

2 Kurang bermanfaat 0 0

3 Tidak bermanfaat 0 0

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 13 dapat diketahui bahwa secara umum keseluruhan responden (100 %) yang menjadi sampel dalam penelitian merasakan


(34)

indikasi yang menjadi motivasi bagi responden untuk mengerti akan manfaat program-program tersebut, antara lain: bimbingan sosial yang berfungsi untuk memulihkan kembali harga diri, percaya diri, dan kesadaran sosial para klien sehingga responden berusaha untuk memahami program pelayanan dan pembinaan demi terwujudnya harapan para responden. Dan adanya bimbingan dan latihan keterampilan dalam panti seperti: salon, menjahit, bordir, olahan pangan, pertanian, dan lain-lain. Sehingga menjadikan responden memiliki keterampilan yang nantinya bisa mereka aplikasikan untuk digunakan sebagai bekal hidup mandiri dan sebagai mata pencaharian setelah keluar dari Panti.

Selanjutnya, pada tabel 14 telah disajikan data tentang tanggapan responden mengenai fasilitas-fasilitas yang mendukung pelayanan dan pembinaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat berikut ini.

Tabel 14

Tanggapan Responden Mengenai Fasilitas-Fasilitas Yang Mendukung Pelayanan Dan Pembinaan

No. Kategori Frekuensi %

1 Sudah memadai 9 36

2 Cukup memadai 13 52

3 Kurang memadai 3 12

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 14 dapat diketahui bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 13 responden (52 %) menyatakan fasilitas-fasilitas


(35)

pendukung dalam pelayanan dan pembinaan cukup memadai. Tanggapan responden ini kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi peralatan dan perlengkapan pendukung pelayanan yang masih bisa digunakan selama kegiatan tetapi jika fasilitas lain yang tidak tersedia masih bisa dialihkan atau digantikan dengan yang lain demi terlaksananya kegiatan.

Sebanyak 9 responden (36 %) menyatakan bahwa fasilitas dalam pelayanan dan pembinaan sudah memadai. Tanggapan responden ini dipengaruhi oleh kondisi peralatan dan perlengkapan pendukung pelayanan yang selalu tersedia selama kegiatan, sedangkan 3 responden (12 %) menyatakan bahwa fasilitas yang mendukung pelayanan dan pembinaan kurang memadai karena fasilitas yang ada di PSKW Parawasa kurang lengkap.

Lalu, data mengenai tanggapan responden terhadap proses bimbingan sosiall dapat dilihat pada tabel15 berikut ini.

Tabel 15

Tanggapan Responden Terhadap Proses Bimbingan Sosial

No. Ketegori Frekuensi %

1 Baik 9 36

2 Cukup baik 15 60

3 Kurang baik 1 4

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer


(36)

terhadap proses bimbingan sosial yang ada dalam panti. Dari hasil wawancara dan pengamatan penulis di lapangan, penilaian mereka didasari oleh karena proses pemberian bimbingan belum sepenuhnya memuaskan bagi mereka, ini mungkin disebabkan karena kurang terampilnya para petugas memberikan materi bimbingan dan materi yang diberikan tidak berpengaruh bagi mereka.

Sebanyak 9 responden (36 %) memberikan penilaian baik terhadap proses bimbingan sosial panti. Alasan responden menyatakan demikian karena selama mengikuti bimbingan sosial mereka dapat memperbaiki tingkah laku mereka. Sedangkan 1 responden (4 %) menilai bahwa proses bimbingan sosial kurang baik karena setiap adanya bimbingan sosial, respoden jarang mengikuti bimbingan.

Tabel 16

Tanggapan Responden Terhadap Proses Bimbingan Mental

No. Kategori Frekuensi %

1 Baik 11 44

2 Cukup baik 13 52

3 Kurang baik 1 4

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 16 dapat diketahui bahwa sebanyak 13 responden (52 %) memberikan penilaian cukup baik terhadap proses bimbingan mental yang ada dalam panti. Kemungkinan Penilaian mereka didasari oleh karena proses pemberian bimbingan belum sepenuhnya dapat menyadarkan mereka, dan para petugas kurang aktif dalam membimbing.


(37)

Sebanyak 11 responden (44 %) memberikan penilaian baik terhadap proses bimbingan mental panti. Alasan responden menyatakan demikian karena selama mengikuti bimbingan mental mereka mendapatkan pelajaran yang sangat berharga yang membuat mereka sadar dan mengerti tentang ajaran agama. Sedangkan 1 responden (4 %) menilai bahwa proses bimbingan sosial kurang baik karena setiap adanya bimbingan mental, responden merasa bosan dan tidak ingin mengikuti program pembinaan yang dirasakannya tidak berguna.

Tabel 17

Tanggapan Responden Terhadap Proses Bimbingan dan Latihan Keterampilan

No. Kategori Frekuensi %

1 Baik 11 44

2 Cukup baik 11 44

3 Kurang baik 3 12

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 17 dapat diketahui bahwa sebanyak 11 responden (44 %) memberikan penilaian cukup baik terhadap proses bimbingan keterampilan yang ada dalam panti. Dari hasil wawancara, penilaian mereka didasari oleh karena proses pemberian bimbingan keterampilan belum sepenuhnya dapat mereka kuasai, dan para petugas kurang aktif dalam membimbing mereka.


(38)

karena mereka menyukai kegiatan keterampilan yang diberikan oleh panti. Sedangkan ada 3 responden (12 %) menilai bahwa proses bimbingan keterampilan kurang baik karena setiap mengikuti bimbingan keterampilan, sikap responden tidak sungguh-sungguh sehingga kurang mampu memahami keterampilan yang diajarkan, dan kemungkinan bahwa responden menginginkan keterampilan lain.

Selanjutnya, data tentang tanggapan responden mengenai penambahan jadwal materi dan kegiatan dari program pelayanan dan pembinaan panti disajikan pada tabel 18 berikut ini.

Tabel 18

Keterangan Responden Mengenai Penambahan Jadwal Materi Dan Kegiatan Dari Program Pelayanan Dan Pembinaan Panti

No. Kategori Frekuensi %

1 Perlu 6 24

2 Tidak perlu 19 76

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 18 dapat diketahui bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 19 responden (76 %) menyatakan tidak perlu adanya penambahan jadwal materi dan kegiatan dari Program Pelayanan dan Pembinaan, dengan alasan karena menurut mereka semua program pelayanan dan pembinaan yang ada dalam panti, materinya sudah lengkap, jadwalnya rutin/teratur dan baik.

Sedangkan 6 responden (24 %) menyatakan bahwa perlu diadakannya penambahan jadwal materi dan kegiatan Program Pelayanan dan Pembinaan, hal ini dipengaruhi oleh kurang banyaknya jadwal program atau kegiatan yang


(39)

mereka minati yang dilaksanakan oleh panti. Selain itu, beberapa responden menginginkan adanya penambahan kegiatan lain yakni olah raga bola volli.

Lalu, data mengenai tanggapan responden terhadap materi-materi pelayanan dan pembinaan yang diberikan panti disajikan pada tabel 19 berikut ini.

Tabel 19

Tanggapan Responden Terhadap Materi-Materi Pelayanan Dan Pembinaan Yang Diberikan Oleh Panti

No. Kategori Frekuensi %

1 Puas 22 88

2 Kurang puas 3 12

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 19 dapat diketahui bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 22 responden (88 %) menyatakan puas terhadap materi-materi pelayanan dan pembinaan yang diberikan oleh PSKW Parawasa. Penilaian ini didasari oleh adanya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh mereka selama berada di panti, selain itu mereka merasa sudah mendapat berbagai ilmu dan pengetahuan yang baru serta cara pola berfikir yang semakin sadar selama mengikuti bimbingan dan latihan.

Sebanyak 3 responden (12 %) menyatakan kurang puas terhadap materi pelayanan dan pembinaan Panti. Dari wawancara dan pengamatan yang dilakukan kepada beberapa responden, hal ini disebabkan karena ketidakseriusan mereka dalam mengikuti setiap kegiatan program pelayanan sehingga mereka tidak


(40)

Kemudian, data tentang tanggapan responden mengenai perlu tidaknya penambahan fasilitas guna menunjang program pelayanan dan pembinaan disajikan pada tabel 20 berikut.

Tabel 20

Tanggapan Responden Mengenai Perlu Tidaknya Penambahan Fasilitas Guna Menunjang Program Pelayanan Dan Pembinaan

No. Kategori Frekuensi %

1 Perlu 14 56

2 Tidak perlu 11 44

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 20 dapat diketahui bahwa sebanyak 14 responden (56 %) menyatakan perlu diadakannya penambahan fasilitas guna menunjang program pelayanan dan pembinaan di PSKW Parawasa. Adapun alasan yang dikemukakan oleh beberapa responden antara lain:

- karena dalam menyalurkan olah raga kesukaannya yakni bola volli, belum tersedia fasilitas yang mendukung dalam panti

- karena tanah areal sangat kurang terutama dalam usaha pertanian, pertanaman dan lapangan permainan

- karena fasilitas dalam kegiatan olah raga senam yakni Tape Recorder sering mengalami kerusakan, dan sebagainya.

Sedangkan, sebanyak 11 responden (44 %) menyatakan bahwa tidak perlu dilakukannya penambahan fasilitas pelayanan dan pembinaan di dalam panti,


(41)

karena mereka merasa sudah mendapatkan kenyamanan dan kepuasan terhadap fasilitas-fasilitas yang telah tersedia di panti.

Selanjutnya data mengenai hubungan/ kerjasama responden dengan para petugas/pembina Panti telah disajikan pada tabel 21 berikut.

Tabel 21

Hubungan Atau Kerjasama Responden Dengan Para Petugas Panti

No. Kategori Frekuensi %

1 Baik 25 100

2 Kurang baik 0 0

3 Tidak baik 0 0

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 21 dapat diketahui bahwa pada umumnya keseluruhan responden yang menjadi sampel dalam penelitian menyatakan hubungan/kerjasama mereka dengan para petugas/pembina panti baik. Tanggapan mereka ini didasari karena para petugas mengajarkan dan membimbing sesuai dengan yang mereka harapkan, selalu memperhatikan dengan teliti setiap pekerjaan mereka, dan karena terjalinnya komunikasi yang baik sehingga para petugas sudah menganggap dan memperlakukan klien seperti anak sendiri. Dimana para klien tidak merasa takut lagi dalam menceritakan keluhan-keluhan mereka kepada para petugas.

Lalu, data mengenai tanggapan responden mengenai kemampuan pembina/petugas panti telah disajikan pada tabel 22 berikut ini.


(42)

Tabel 22

Tanggapan Responden Mengenai Kemampuan Pembina/Petugas Panti Dalam Memberikan Materi dan Kegiatan

No. Kategori Frekuensi %

1 Baik 6 24

2 Cukup baik 19 76

3 Kurang baik 0 0

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 22 dapat diketahui bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 19 (76 %) memberikan penilaian yang cukup baik terhadap kemampuan petugas dalam memberikan materi dan kegiatan. Penilaian mereka ini didasari karena mereka merasa terkadang para petugas terlalu sensitif, cerewet, mudah marah dan kurang menyenangkan hati mereka. Ada kemungkinan hal tersebut disebabkan karena petugas belum menguasai pelayanan sosial karena bukan berlatar belakang disiplin ilmu sosial. Hal ini dibenarkan oleh Bapak Drs. Amir Sidabutar sebagai Kepala PSKW Parawasa yang mengatakan bahwa perlu adanya penambahan staf atau petugas dalam panti terutama yang tingkat pendidikannya dari disiplin ilmu sosial dengan mengharapkan tenaga yang berkualitas juga.

Sedangkan sebanyak 6 responden (24 %) memberikan penilaian yang baik terhadap kemampuan petugas dalam memberikan materi dan kegiatan. Penilaian mereka didasari oleh karena mereka menyukai cara mengajar petugas panti yang


(43)

jelas dan mudah dipahami oleh mereka. Dan ada yang menyatakan bahwa para petugas tegas dan pengertian.

Selanjutnya, data mengenai jenis keterampilan yang diminati oleh responden telah disajikan pada tabel 23 berikut ini.

Tabel 23

Jenis Latihan Keterampilan Yang Diminati Oleh Responden

No. Kategori Frekuensi %

1 Bordir 5 20

2 Bertani 2 8

3 Keterampilan tangan 2 8

4 Menjahit 4 16

5 Salon 12 48

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 23 dapat diketahui bahwa sebanyak 12 responden (48 %) menyukai keterampilan salon, lalu diikuti responden yang menyukai keterampilan bordir sebanyak 5 responden (20 %), dan responden yang menyukai keterampilan menjahit ada sebanyak 4 responden (16 %), serta untuk responden yang menyukai keterampilan bertani dan keterampilan tangan, masing-masing sebanyak 2 responden (8 %). Dapat dikemukakan bahwa salon adalah keterampilan yang paling banyak diminati, dalam hal ini pihak panti perlu lebih memperhatikan lagi kualitas dan kelengkapan yang lebih untuk menunjang


(44)

V.3. Efektivitas Dalam Bidang Sarana dan Prasarana/ Fasilitas Yang Tersedia

Efektivitas pelayanan akan dapat terlaksana dengan baik jika sarana dan prasarana/ fasilitas yang mendukung pelayanan memadai.

Tabel 24

Tanggapan Responden Mengenai Keadaan Sarana dan Fasilitas Yang Tersedia di Panti

No. Kategori Frekuensi %

1 Sudah memadai 7 28

2 Cukup memadai 15 60

3 Kurang memadai 3 12

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 24 dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang menjadi sampel dalam penelitian yaitu sebanyak 15 responden (60 %) menyatakan bahwa sarana/fasilitas yang tersedia di panti baik dalam hal bimbingan sosial, bimbingan mental, dan bimbingan keterampilan cukup memadai. Tanggapan tersebut dipengaruhi oleh karena responden merasa kurang menyukai sarana/fasilitas panti diakibatkan oleh kurang lengkapnya fasilitas untuk mendukung kegiatan pelayanan dan pembinaan. Dimana sebanyak 3 responden (12 %) juga menyatakan bahwa sarana/fasilitas yang tersedia kurang memadai.

Sedangkan, sebanyak 7 responden menyatakan bahwa sarana/fasilitas yang tersedia di panti sudah memadai. Tanggapan tersebut disebabkan karena mereka merasa sarana/fasilitas yang ada di panti sudah bisa berfungsi dengan baik dan


(45)

telah membantu mereka dalam berbagai hal terutama dalam memperoleh pengetahuan dan melakukan keterampilan.

Lalu, data tentang tanggapan responden mengenai daya tampung tempat ibadah telah disajikan pada tabel 25 berikut ini.

Tabel 25

Tanggapan Responden Mengenai Daya Tampung Tempat Ibadah

No. Kategori Frekuensi %

1 Sudah dapat menampung semua 19 76

2 Belum dapat 6 24

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 25 dapat diketahui bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 19 responden (76 %) menyatakan bahwa tempat ibadah yang tersedia di panti sudah dapat menampung semua klien.

Sedangkan, sebanyak 6 responden menyatakan bahwa tempat ibadah yang tersedia di panti belum dapat menampung semua klien karena menurut mereka mushola yang ada dalam panti kurang luas mengingat sebahagian besar klien yang berada di panti adalah beragama islam.

Kemudian, distribusi mengenai jenis kegiatan olah raga yang paling diminati oleh responden telah disajikan pada tabel 26 berikut ini.


(46)

Tabel 26

Jenis Kegiatan Olah Raga Yang Paling Diminati Responden

No. Kategori Frekuensi %

1 Bulu tangkis 2 8

2 Kasti 7 28

3 Lari pagi 2 8

4 Senam aerobik 14 56

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 26 dapat diketahui bahwa sebanyak 14 responden (56 %) menyukai kegiatan olah raga senam aerobik, lalu diikuti responden yang menyukai kegiatan olah raga kasti sebanyak 7 responden (28 %), dan responden yang menyukai kegiatan olah raga bulu tangkis ada sebanyak 2 responden (8 %), serta untuk responden yang menyukai kegiatan olah raga lari pagi sebanyak 2 responden (8 %). Dalam hal ini perlu mendapat perhatian dari pihak panti untuk lebih meningkatkan kualitas olah raga senam aerobik.

Kemudian, data mengenai tanggapan responden terhadap fasilitas kegiatan olah raga yang ada di PSKW Parawasa telah disajikan pada tabel 27 berikut.


(47)

Tabel 27

Tanggapan Responden Terhadap Fasilitas Kegiatan Olah Raga

No. Kategori Frekuensi %

1 Sudah memadai 4 16

2 Cukup memadai 7 28

3 Kurang memadai 14 56

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 27 dapat diketahui bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 14 responden (56 %) menyatakan sarana dan fasilitas untuk kegiatan olah raga di panti masih kurang memadai. Tanggapan responden ini dipengaruhi oleh masih kurangnya peralatan/perlengkapan yang berhubungan dengan olah raga dan tanah areal untuk lapangan permainan olah raga yang kurang luas.

Sebanyak 7 responden (28 %) menyatakan bahwa sarana/fasilitas untuk kegiatan olah raga di panti cukup memadai. Tanggapan responden ini dipengaruhi oleh kondisi peralatan/perlengkapan yang sepertinya sudah layak diganti karena kadang-kadang mengalami kerusakan, seperti kaset dan tape recorder. Sedangkan, sebanyak 4 responden menyatakan sarana/fasiltas kegiatan olah raga di panti sudah memadai. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada beberapa responden diketahui bahwa mereka kurang berminat dalam kegiatan olah raga tetapi lebih berminat kepada latihan lain sehingga fasilitas yang tersedia sudah memadai bagi mereka.


(48)

V.4. Kesejahteraan Dan Kemandirian Wanita Binaan Sosial

Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan Panti dalam melakukan pelayanan dan pembinaan terhadap warga binaan sosial, maka keberhasilan tersebut biasanya dilihat dari tingkat keberhasilan panti dalam membina dan menyalurkan warga binaan sosialnya. Panti memberikan Pelayanan dan Pembinaan melalui program-programnya dengan baik sehingga tujuan dari program yang telah direncanakan dapat tercapai yakni kesejahteraan dan kemandirian kepada wanita binaan sosial PSKW Parawasa. Melalui tabel-tabel berikut ini akan diuraikan distribusi responden terhadap kesejahteraan dan kemandirian yang telah diperoleh.

Tabel 28

Ada Tidaknya Perubahan Yang Dialami Oleh Responden Selama Berada Di Dalam Panti

No. Kategori Frekuensi %

1 Ada 25 100

2 Belum ada 0 0

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 28 dapat diketahui bahwa pada umumnya keseluruhan responden yang menjadi sampel dalam penelitian yaitu sebanyak 25 responden (100 %) sudah mengalami perubahan selama berada di PSKW Parawasa. Selama mengikuti bimbingan selama 6 bulan, mereka merasa mengalami perubahan, harga diri yang berkembang karena sudah mendapat


(49)

didikan untuk hidup lebih baik. Dengan demikian, berdasarkan jawaban yang diberikan oleh responden dapat dikemukakan bahwa proses pemberian pelayanan sosial melalui bimbingan dan latihan yang diberikan oleh panti sudah berjalan dengan baik. Hal ini berarti bahwa panti telah mampu melaksanakan tugas dan fungsinya karena pembinaan dan pelayanan sosial memberikan pengaruh yang positif bagi warga binaan. Perubahan yang dirasakan responden antara lain: karena dapat memperbaiki tingkah laku mereka, lebih mengetahui secara mendalam jenis keterampilan yang digeluti, telah mengerti tentang ajaran agama yang dianut, karena kemauan yang cukup tinggi dalam melaksanakan tugas yang diberikan.

Lalu data mengenai jenis bimbingan yang paling utama yang membuat responden menjadi sadar untuk meninggalkan pekerjaan yang melanggar norma-norma asusila telah disajikan pada tabel 29 berikut ini.

Tabel 29

Jenis Bimbingan Yang Paling Utama Yang Membuat Responden Menjadi Sadar Untuk Meninggalkan Profesi WTS

No. Kategori Frekuensi %

1 Bimbingan Sosial 6 24

2 Bimbingan Mental 15 60

3 Latihan Keterampilan 4 16

Jumlah 25 100


(50)

Berdasarkan data pada tabel 29 dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang menjadi sampel dalam penelitian menyatakan bimbingan mental merupakan program yang paling berperanan dalam merubah dan menyadarkan mereka. Program bimbingan mental merupakan bimbingan yang diberikan dengan tujuan untuk memberi kemampuan pemeliharaan kondisi fisik, integrasi diri, rasa percaya diri dan disiplin diri. Bimbingan yang diberikan berupa: kegiatan ceramah keagamaan dengan pendekatan spiritual, diskusi, sholat dan ibadah, kegiatan olah raga dan kegiatan lainnya.

Sebanyak 6 responden (24 %) menyatakan bahwa bimbingan sosial yang paling membuat mereka sadar dan mengalami perubahan untuk meninggalkan pekerjaan lama dan nantinya ingin kembali ke masyarakat dengan pekerjaan yang baik. Bimbingan sosial ini berupa: konsultasi dan bimbingan perorangan, dan kegiatan lainnya. Sedangkan, sebanyak 4 responden (16 %) menyatakan bimbingan atau latihan keterampilan yang paling berperanan dalam perubahan dalam diri mereka.

Kemudian data mengenai sudah belumnya responden mendapatkan keterampilan yang menjadi bekal setelah keluar dari panti disajikan pada tabel 30 berikut ini.


(51)

Tabel 30

Sudah Belumnya Responden Mendapatkan Keterampilan Yang Menjadi Bekal Setelah Keluar Dari Panti

No. Kategori Frekuensi %

1 Sudah 24 96

2 Belum 1 4

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 30 dapat diketahui bahwa sebanyak 24 responden (96 %) menyatakan bahwa mereka sudah mendapatkan dan menguasai keterampilan untuk dijadikan bekal setelah keluar dari panti sehingga bisa hidup mandiri dan tidak kembali lagi melakukan pekerjaan sebelumnya. Secara umum, hal ini juga sangat berpengaruh terhadap proses resosialisasi yang dilakukan oleh pihak panti, dimana nantinya para klien akan membaur kembali dalam lingkungan sosialnya baik pribadi, anggota keluarga, maupun anggota masyarakat.

Sedangkan, ada 1 responden (4 %) yang menyatakan belum mendapatkan atau menguasai keterampilan yang telah diberikan oleh panti. Ada kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh karena latar belakang pendidikan yang sangat rendah dan sikap responden yang tidak sungguh-sungguh sehingga kurang mampu memahami keterampilan yang diajarkan.


(52)

BAB VI PENUTUP

VI.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan dalam Bab V, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain yaitu:

1. Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi adalah merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara yang bertanggung jawab dalam memberikan rehabilitasi dan pelayanan sosial bagi penyandang masalah tuna susila. Adapun pelayanan dan rehabilitasi sosial tersebut meliputi: Pembinaan Mental, Fisik, Sosial serta Latihan Keterampilan, Resosialisasi, Penyaluran, Pembinaan Lanjut bagi para Wanita Tuna Susila (WTS) agar mampu untuk berperan aktif dalam kehidupan masyarakat.

2. Wanita binaan sosial juga dibekali dengan latihan keterampilan dengan mengikutsertakan klien dalam usaha kegiatan produktif yang dilaksanakan oleh panti sehingga setelah keluar dari panti mereka dapat hidup secara mandiri. Ada beberapa program latihan keterampilan yang diberikan panti, antara lain: Salon, menjahit, bordir, kerajinan tangan, pertanian dan pengembangan bunga serta olahan pangan.

3. Dari hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa saat ini kendala yang dihadapi oleh PSKW Parawasa Berastagi, antara lain:

- Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional dan berkualitas untuk Bimbingan dan Keterampilan yang dilaksanakan.


(53)

- Tingkat pendidikan para klien atau wanita binaan sosial yang rendah dan bervariasi. Sebahagian besar para klien hanya berpendidikan tamat Sekolah Dasar (SD).

4. Dari hasil penelitian, juga diketahui bahwa pelayanan dan pembinaan yang diberikan oleh Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi sudah efektif dalam memulihkan kembali harga diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial serta memperbaiki fungsi sosial para Wanita Tuna Susila. Hal ini terbukti dengan perubahan yang dialami oleh para klien ataupun wanita binaan sosial setelah mereka menjalani bimbingan dan keterampilan di panti. Mereka sudah dapat menguasai salah satu keterampilan, perilaku menjadi baik, sudah menjalani ibadah dengan tekun dan rutin, dan sebagainya. Selain itu, pelayanan dan pembinaan di PSKW Parawasa Berastagi sudah berhasil dapat diketahui dari bukti bahwa hanya 1 – 2 orang saja (0,99 %) yang kembali ke pekerjaan semula. Hal ini menurut penelitian yang dilakukan Panti, bahwa dari razia yang telah dilaksanakan selama beberapa tahun ini hanya terdapat 1 – 2 orang yang pernah menjalani pembinaan di PSKW Parawasa Berastagi.


(54)

VI.2 Saran

Adapun saran-saran yang perlu dipertimbangkan untuk lebih mengoptimalkan hasil dari Rehabilitasi Sosial penyandang masalah tuna susila seperti di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi adalah sebagai berikut:

1. Pihak Panti (semua komponen yang berhubungan dengan penyandang masalah tuna susila) diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan sehingga para klien percaya dengan segala usaha dan upaya yang dilaksanakan dalam rehabilitasi sosialnya. Selain itu, sedapat mungkin berusaha mencari solusi terbaik untuk mengatasi hambatan-hambatan maupun kekurangan-kekurangan fasilitas ataupun sarana dan prasarana pendukung di PSKW Parawasa Berastagi.

2. Diharapkan agar para wanita binaan sosial memberi perhatian yang penuh untuk menggunakan kesempatan menjalani proses pembinaan dan pelayanan selama di Panti.

3. Hendaknya Pemerintah Pusat maupun Daerah semakin memperhatikan pembinaan para Wanita Tuna Susila (WTS) di Panti dengan menambah para petugas/ pegawai yang berlatar belakang disipilin ilmu pekerjaan sosial guna memberikan bimbingan sosial dan motivasi yang lebih efektif.

4. Bimbingan dan latihan keterampilan yang diberikan oleh panti, hendaknya lebih ditingkatkan dan diperluas lagi terutama dalam kelengkapan peralatan-peralatannya agar wanita binaan sosial menjadi lebih profesional.

5. Masyarakat luas diharapkan dapat memahami bagaimana beratnya mental penyandang masalah tuna susila ketika akan kembali ke tengah-tengah


(55)

masyarakat. Keberadaan wanita binaan sosial yang sudah meninggalkan profesinya sebagai wanita tuna susila harus dapat diterima dengan baik, tidak menjauhi, tidak menghina apalagi mengucilkan mereka. Mereka juga saudara kita dan merupakan bagian dari kita. Marilah kita mencoba untuk merasakan seandainya kita berada dalam posisi mereka yang kurang beruntung. Penerimaan dengan tangan terbuka akan membantu memulihkan mental para penyandang masalah tuna susila. Selanjutnya koordinasi dari semua masyarakat dan instansi terkait sangat diharapkan dalam usaha bahu membahu dalam mengentaskan penyebaran wanita tuna susila.


(56)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pengertian Efektivitas

Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Menurut Barnard, bahwa efektivitas adalah tercapainya sasaran yang telah disepakati bersama (Barnard, 1992 ; 27).

Dalam Ensiklopedia Umum (1977: 129), disebutkan bahwa efektivitas menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Usaha dikatakan efektif kalau usaha itu mencapai tujuannya secara ideal, taraf intensitas dapat dinyatakan dengan ukuran yang agak pasti.

Pengertian lain dikemukakan oleh Sarwoto, efektivitas atau berhasil guna adalah pelayanan yang baik, corak maupun mutunya, kegunaan benar sesuai dengan kebutuhan ini dalam mencapai tujuan organisasi (Sarwoto, 1991: 95).

Menurut Cambel J.P, pengukuran efektivitas secara umum dan yang paling menonjol adalah :

1. Keberhasilan program 2. Keberhasilan sasaran 3. Kepuasan terhadap program 4. Tingkat input dan output


(57)

Sehingga efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua tugas-tugas pokoknya atau untuk dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya (Cambel, 1989 : 47). Sementara menurut Richard M. Steers, bahwa efektivitas merupakan suatu tingkat kemampuan organisasi untuk dapat melaksanakan seluruh tugas-tugas pokoknya atau pencapaian sasarannya.

Dari pendapat beberapa ahli diatas dapat penulis simpulkan pengertian efektivitas yaitu keberhasilan suatu aktivitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan (sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya. Lebih jelasnya apabila tujuan atau sasaran dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya dikatakan efektif dan sebaliknya apabila tujuan atau sasaran tersebut tidak dapat dicapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan maka aktivitas dikatakan tidak efektif.

Efektivitas dalam dunia riset ilmu-ilmu sosial dijabarkan dengan jumlah penemuan atau produktivitas, dimana bagi sejumlah sarjana sosial efektivitas sering kali ditinjau dari sudut kualitas pekerjaan atau program kerja. Singkatnya efektivitas memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, tergantung pada kerangka acuan yang dipakai.

Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat sekian banyak pertentangan pendapat sehubungan dengan cara meningkatkannya, cara mengatur dan bahkan


(58)

cara menentukan indikator dari efektivitas. Sehingga dengan demikian tentu akan lebih sulit lagi bagaimana cara mengevaluasi tentang konsep efektivitas.

Pengertian yang memadai mengenai tujuan ataupun sasaran organisasi merupakan langkah pertama dalam pembahasan efektivitas, dimana seringkali berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam awal usaha mengukur efektivitas yang pertama sekali adalah memberikan konsep tentang efektivitas itu sendiri.

Dari beberapa uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas suatu lembaga secara fisik dan rohani untuk mencapai tujuan serta meraih keberhasilan maksimal.

II.2 Konsep Pelayanan sosial II.2.1 Pelayanan sosial

Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu para anggota masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan dengan lingkungan sosialnya.

Dalam batasan yang sempit, pelayanan sosial berarti bantuan pada orang miskin, pada anak-anak terlantar, yang terkena bencana alam, serta bantuan-bantuan lainnya yang ditujukan untuk membantu orang-orang kurang mampu secara ekonomi.

Seperti halnya dengan batasan-batasan ilmu sosial lainnya, maka batasan baru tentang pelayanan sosial juga sulit ditemukan. Para ahli memberikan defenisi tentang pelayanan sosial yang saling berbeda-beda, tergantung dari sudut mana dia melahirkan batasan tersebut. Pelayanan sosial terdiri dari dua kata, yaitu


(59)

pelayanan dan sosial. Pelayanan berarti usaha pemberian bantuan atau pertolongan kepada orang lain, baik materi dan non materi, agar orang itu dapat mengatasi masalahnya sendiri. Dapat disimpulkan dari batasan tersebut bahwa pelayanan bukan hanya pemberian bantuan berupa uang, makanan, sandang, perumahan dan lain-lain yang bersifat materi melainkan juga bersifat non materi seperti bimbingan. Sedangkan sosial berarti kawan, yaitu : 1) suatu badan umum kearah kehidupan bersama manusia dan masyarakat, 2) suatu petunjuk kearah usaha-usaha menolong orang miskin dan sengsara. (Soetarso, 1977: 78)

Lebih lanjut Suparlan dan kawan-kawan mengatakan bahwa pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi bertujuan membantu para anggota masyarakat saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan lingkungan sosialnya. (Suparlan, 1983: 93)

Selanjutnya Syarif Muhidin (1981: 68) memberikan defenisi pelayanan sosial dalam arti luas dan sempit, yaitu:

1. Pelayanan dalam arti luas adalah pelayanan yang mencakup fungsi pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan sebagainya.

2. Pelayanan dalam arti sempit adalah pelayanan sosial yang mencakup pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung, seperti pelayanan sosial bagi anak-anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna susila, dan sebagainya.

Alfred J. Khan dalam Sumarno Nugroho (1987: 72), mengemukakan pendapatnya tentang pelayanan sosial sebagai berikut: pelayanan sosial terdiri dari


(60)

menjamin suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan dan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan bermasyarakat, serta kemampuan perorangan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya. Untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada, dan membantu warga masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran.

II.2.2 Klasifikasi Pelayanan Sosial

Pelayanan sosial sebagai suatu kegiatan yang terorganisasi bertujuan untuk membantu tercapainya penyesuaian timbal balik antara seseorang atau kelompok dengan lingkungannya.

Klasifikasi pelayanan sosial dikemukakan oleh Alfred J. Khan dengan berdasarkan pada fungsinya sebagai berikut, yaitu :

1. Pelayanan sosial untuk tujuan sosialisasi dan pengembangan

Tujuan kegiatan ini adalah sosialisasi, menanamkan pemahaman akan tujuan dan motivasi, serta meningkatkan mutu perkembangan kepribadian.

2. Pelayanan sosial untuk tujuan penyembuhan, pemberian bantuan, rehabilitasi dan perlindungan sosial

Pelayanan ini dapat berupa bantuan singkat, intensif dan pribadi sifatnya dengan program-program perbaikan situasi lingkungan sosial, antar orang atau unsur-unsur kepribadiannya juga termasuk pemulihan kemampuan pelaksanaan peranan-peranan sosial individu.


(61)

3. Pelayanan sosial untuk membantu orang menjangkau dan menggunakan pelayanan sosial yang sudah ada dan pemberian informasi dan nasihat.

Pelayanan sosial yang disusun dengan baik dan disampaikan dengan efektif akan dapat memenuhi kebutuhan dan bahkan menciptakan kepuasan.

Pelayanan sosial yang dilaksanakan secara luas dan mempunyai karakter fundamental akan dapat memperluas perubahan sosial dan meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat.

II.2.3 Program-program pelayanan sosial

Program-program pelayanan sosial merupakan bagian dari intervensi kesejahteraan sosial. Pelayanan-pelayanan sosial meliputi kegiatan-kegiatan atau intervensi kasus yang dilaksanakan secara diindividualisasikan, langsung dan terorganisasi, yang bertujuan membantu individu, kelompok dan lingkungan sosial dalam upaya mencapai saling penyesuaian.

Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah sebagai berikut :

1. Pelayanan akses : mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah, nasehat dan partisipasi. Tujuannya membantu orang agar dapat mencapai atau menggunakan pelayanan yang tersedia.

2. Pelayanan terapi : mencakup pertolongan dan terapi atau rehabilitasi, termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan yang diberikan oleh badan-badan yang menyediakan konseling, pelayanan


(62)

kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial mendidik dan sekolah, perawatan bagi orang-orang jompo dan lanjut usia.

3. Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi bagi pemuda dan masyarakat yang dipusatkan atau community centre (Nurdin, 1989: 50).

II.2.4 Standard Pelayanan Sosial

Kata “standard” yang digunakan disini dapat berarti : a. suatu norma bagi pelayanan sosial

b. suatu bentuk norma atau peraturan tertentu yang sengaja disusun untuk digunakan sebagai pedoman.

Adapun jenis standard pelayanan sosial itu adalah: 1. Standard Minimum

Standard ini digunakan kalau pemerintah menginginkan penentuan persyaratan wajib untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan sosial. Badan-badan sosial didorong untuk melampaui standard minimum ini.

2. Standard Maksimum

Standard ini merupakan sasaran pencapaian mutu pelayanan tertinggi yang ditentukan oleh pemerintah selama jangka waktu tertentu. Standard maksimum ini dapat digunakan dalam perencanaan kesejahteraan sosial jangka panjang.

3. Standard Realistis

Standard ini lebih banyak berfungsi sebagai pedoman dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan memaksa. Tujuan utama standard ini adalah mendorong badan-badan sosial untuk meningkatkan pelayanannya.


(63)

Pelayanan sosial secara umum dapat dibagi dalam dua kategori yang saling menunjang dan saling melengkapi yaitu pelayanan yang melalui panti dan pelayanan diluar panti. Keduanya harus tercakup dalam standard yang berisikan :

1. Bangunan dan fasilitas lingkungannya

Bangunan dan fasilitas lingkungan merupakan objek yang secara langsung digunakan untuk menampung atau menyembuhkan penerima pelayanan. Biasanya luas panti untuk satu orang kelayan digunakan sebagai standard luas bangunan. Verifikasi, tata lampu, peralatan kesehatan, dan keselamatan merupakan hal-hal yang dimaksudkan dalam jenis-jenis bangunan yang akan dibangun.

2. Peralatan

Peralatan ini mencakup tempat tidur, meja, kursi dan lain-lain yang digunakan baik secara perorangan maupun secara bersama-sama.

3. Pelayanan Operasional

Mencakup hal-hal sebagai berikut :

- Makanan (kalori, mutu, jenis menu, fasilitas dapur, perabotan pecah belah dan lain-lain)

- Pakaian (jumlah fasilitas cucian, frekuensi pergantian) - Kesehatan dan kebersihan

- Rekreasi dan kegiatan-kegiatan pengisian waktu luang 4. Pelayanan Profesional


(64)

- Asuhan (jumlah dan tugas-tugas pengasuh)

- Pekerja sosial dan pelayanan profesional lain yang terkait (jumlah dan tugas-tugas pekerja sosial, psikolog, psikiater, perawat, penyuluh dan sebagainya).

- Pelayanan pendidikan - Latihan kerja

- Pelayanan bimbingan lanjut 5. Tenaga

Standard ini mencakup kualifikasi petugas, seleksi dan peremajaan, kondisi kerja, perawatan kesehatan, dan jaminan-jaminan lainnya.

6. Administrasi

Mencakup supervise, latihan dan pengembangan petugas, pencatatan tugas-tugas profesional maupun pelayanan rutin, ketatausahaan keuangan, peraturan-peraturan intern, hubungan dengan masyarakat dan sebagainya.

II.3 Prostitusi/ Pelacuran dan Penyebabnya

Prostitusi berasal dari kata “prostituere” (bahasa latin) yang berarti menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau menyerahkan diri secara terang-terangan kepada umum.

Di Indonesia istilah ini dikenal dengan “pelacuran” yang pada umumnya dirumuskan demikian: “Pelacuran” dapat diartikan sebagai penyerahan badan wanita dengan pembayaran, kepada orang laki-laki guna pemuasan nafsu sexuil orang-orang itu”.


(65)

Adapun bentuk dan polanya bermacam-macam, ada yang langsung tersedia di tempat-tempat (di rumah-rumah), yang dinamakan bordil dan lokalisasi. Biasanya pelacur-pelacur yang berada di tempat tersebut dipelihara oleh seseorang yang dinamakan Germo, dan oleh si germo dia diatur dan harus menurut kehendak si germo, bahkan menurut penelitian-penelitian sebagian besar hasil WTS yang bersangkutan diambil oleh sang germo.

Ada pula pelacur-pelacur yang hanya melayani panggilan-panggilan untuk diajak ke suatu tempat tertentu seperti di hotel-hotel, pesanggrahan atau rumah-rumah tertentu, pelacur ini dinamakan “call girl” (wanita panggilan). Call girl ini jaring-jaringnya juga cukup rapi hingga agak sulit diketahui, biasanya ada perantara-perantaranya yang umumnya dari kalangan tukang becak, supir taxi dan lain-lain.

Yang paling menyolok adalah apa yang dinamakan pelacuran jalanan dimana para WTS berkeliaran di pojok-pojok jalan secara menyolok sekali, seolah-olah menjajakan diri secara terang-terangan. Biasanya mereka dibawa-bawa oleh yang menghendakinya.

Ada juga yang mengkategorikan pelacuran dengan kelas-kelas seperti : a. pelacuran kelas rendahan (jalanan, bordil-bordil murahan)

b. pelacuran menengah yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup bersihan dan pelayanannya baik

c. pelacuran kelas tinggi biasanya para pelacur tinggal di rumah sendiri (terselubung–tersembunyi) dan hanya menerima panggilan dengan perantara yang cukup rapi sehingga sulit diketahui dan bayarannya cukup


(66)

Pada saat ini bentuk-bentuk pelacuran di Indonesia dapat dikatakan bertambah lagi dengan apa yang dinamakan pelacuran tersembunyi (terselubung) dalam bentuk-bentuk kerja jasa lainnya yang sulit dibuktikan, misalnya terselubung dalam pekerjaan tukang-tukang pijat di hotel dan bersembunyi di tempat-tempat mandi uap dan pijat tertentu yang terdapat di kota-kota besar. Semakin unik bentuk-bentuk pelacuran semakin sulit pula pelacuran ditanggulangi apalagi dilenyapkan.

II.3.1 Pengertian

1. Tuna susila adalah seorang wanita, pria dan waria (wanita pria) yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan uang, materi dan/ atau jasa.

2. Wanita tuna susila (WTS) adalah wanita yang melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang sah dengan mendapat imbalan uang, materi, dan/atau jasa.

II.3.2 Faktor Penyebab Prostitusi/Pelacuran

Masalah WTS atau pelacuran sudah terjadi sejak dulu seiring dengan perjalanan perilaku manusia, (dalam simandjuntak,1981) dikemukakan beberapa teori kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan, Taft mengatakan crime is a product of culture yaitu benturan budaya atau norma dimana individu mengalami kegoncangan jiwa akan melahirkan kejahatan. Kemudian Sutherland dengan teori learning mengidentifikasikan bahwa seseorang menjadi jahat karena pergaulan yang kurang baik pada masa lalu. Dari teori ini lahir pemikiran bahwa


(67)

WTS sebagian besar berasal dari pergaulan kurang baik, keluarga yang tidak mampu mendidik, kekurangan atau kehilangan cinta kasih.

Pelacuran timbul dikarenakan berbagai hal yang komplek, menurut hasil penelitian (dalam Suyanto,2001: 111) Rowbothon (1973) menyebutkan bahwa unsur utama pelacuran adalah faktor ekonomi, masalah WTS tidak lepas dari pengertian pelacuran sebagai gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri dengan melakukan perbuatan seksual sebagai mata pencaharian, jadi unsur essensial dalam pelacuran adalah motif ekonomi. Kemudian Saptari (1997) secara garis besar menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang mendorong seseorang menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi dan kondisi kemiskinan rumah tangga perempuan pelacur atau WTS. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti pentingnya keperawanan, sehingga tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk ke dalam peran yang diciptakan oleh nilai yaitu sebagai pelacur. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan seperti yang sering terjadi di lokasi, WTS sengaja dijerat utang oleh germo sebagai pengikat dan terpaksa melacurkan diri. Namun demikian, banyak ditemui kasus wanita melacurkan diri tidak semata-mata motif ekonomi. Di luar muatan ekonomi tersebut, pelacuran sesungguhnya adalah ekspresi dari hegomoni kultural pria atas kaum perempuan dan terpaksa atau dipaksa masuk kedalam pelacuran oleh laki-laki yang menggunakan beragam sarana atau sekedar janji janji berselubung cinta.


(68)

II.3.3 Prostitusi/Pelacuran sebagai masalah sosial

Prostitusi atau pelacuran merupakan masalah sosial yang besar pengaruhnya bagi perkembangan moral. Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia. Pelacuran sebagai masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi dari sejarah kehidupan manusia sampai sekarang, dan selalu ada sampai setiap tingkatan peradaban, perlu di tanggulangi dengan kesungguhan.

Di banyak negara pelacuran dilarang bahkan dikenakan hukuman, juga dianggap sebagai perbuatan hina oleh setiap anggota masyarakat. Akan tetapi, sejak adanya masyarakat manusia pertama hingga dunia akan kiamat nanti mata pencaharian pelacuran akan tetap ada, sukar bahkan hampir tidak mungkin diberantas dari muka bumi ini selama masih ada nafsu-nafsu seks, nafsu yang lepas kendali.

II.3.4 Akibat-akibat Pelacuran

Pelacuran menimbulkan berbagai masalah, yaitu menyangkut aspek medis, sosial ekonomi, dan moril.

1. Aspek medis

Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pelacuran dapat mengakibatkan timbulnya penyakit kelamin seperti syphilis, gonorchea bahkan HIV/AIDS. Penularan penyakit kelamin akibat adanya WTS tersebut pengaruhnya sangat luas, yaitu tidak hanya menyerang laki-laki dewasa tetapi bisa pada istri dan anak-anak bahkan menimbulkan abortus ataupun cacat jasmani dan rohani.


(69)

2. Aspek sosial ekonomi

Pengaruh adanya WTS pada aspek sosial ekonomi sangat besar, karena bisa melumpuhkan, menghancurkan atau merusak potensi bangsa, bahkan menurut Loothorp dalam buku The rising tide of colour mensinyalir bahwa dengan adanya WTS timbul gejala-gejala lapisan terbawah di masyarakat tidak dapat ikut serta dalam kemajuan, mereka dengan sendirinya akan mempunyai nasib yang sangat jelek sehingga mempengaruhi tujuan masyarakat dalam mempertahankan nilai sosial seperti kerja sama atau kekompakan dan partisipasi pembangunan menjadi rusak (Simandjuntak.B, 1981). Selain pada aspek sosial, dampak adanya WTS menjadi beban ekonomi finansial, hal ini karena banyaknya penyakit akibat pelacuran seperti tersebut diatas membebani keuangan negara, dimana dengan adanya berbagai penyakit tersebut pemerintah terpaksa harus mengeluarkan uang atau penyediaan obat untuk mengatasi penyakit maupun kegiatan atau upaya-upaya seperti membangun sebuah panti untuk rehabilitasi dan mencegah meluasnya permasalahan dan gejala-gejala lain yang berkaitan dengan dampak pelacuran.

3. Aspek Moril

Wanita tuna susila ataupun siapa saja yang melacurkan diri telah dicap (mendapat sterotipe) sebagai sosok yang tidak memiliki susila dan tanggung jawab. Oleh karena itu, WTS sudah dikategorikan tidak mempunyai moril, salah satu contoh yaitu dari sikap persetubuhan dalam pelacuran itu sendiri sangat didominasi dorongan seksual dan


(1)

V

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ... I

ABSTRAK ... IV DAFTAR ISI ... V DAFTAR BAGAN ... VIII DAFTAR TABEL ... IX

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 8

I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

I.4. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Pengertian Efektivitas ... 10

II.2. Konsep Pelayanan Sosial ... 12

II.3. Prostitusi/ Pelacuran dan Penyebabnya ... 18

II.4. Sistem Pembinaan di Panti ... 24

II.5. Kerangka Pemikiran ... 25

II.6. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional ... 28


(2)

VI BAB III METODE PENELITIAN

III.1. Tipe Penelitian ... 31

III.2. Lokasi Penelitian ... 31

III.3. Populasi dan Sampel ... 32

III.4. Teknik Pengumpulan Data ... 32

III.5. Teknik Analisa Data ... 33

BAB IV DESKRIPSI LOKASI IV.1. Sejarah Berdirinya PSKW Parawasa ... 34

IV.2. Status Formal Panti dan Landasan Hukum ... 35

IV.3. Visi dan Misi ... 35

IV.4. Program Rehabilitasi WTS di Parawasa Berastagi, Kegiatan Harian dan Lama Pembinaan ... 36

IV.5. Struktur Organisasi ... 40

IV.6. Sarana dan Prasarana Panti ... 41

IV.7. Tenaga Pelaksana dan Staf Panti ... 41

IV.8. Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab ... 43

BAB V ANALISIS DATA V.1. Identitas Responden ... 48

V.2. Efektivitas Program Pelayanan dan Pembinaan ... 56

V.3. Efektivitas Bidang Sarana dan Prasarana/ Fasilitas yang Tersedia ... 68

V.4. Kesejahteraan dan Kemandirian WBS ... 72


(3)

VII BAB VI KESIMPULAN dan SARAN

VI.1. Kesimpulan ... 76 VI.2. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(4)

VIII

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Kerangka Pemikiran ... 27 Bagan 2 Bagan Struktur Organisasi

Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa... 40


(5)

IX

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jadwal Kegiatan Harian Klien Panti Sosial Karya Wanita

(PSKW) Parawasa Berastagi ... 39

Tabel 2 Sarana dan Prasarana PSKW Parawasa ... 41

Tabel 3 Data Jumlah PNS PSKW Parawasa ... 42

Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 48

Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Agama ... 50

Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Suku ... 51

Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 52

Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan ... 53

Tabel 9 Distribusi Responden Berdasarkan Asal/ Tempat tinggal ... 54

Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Lamanya Menjadi WTS ... 54

Tabel 11 Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Menjadi WTS ... 55

Tabel 12 Tahu Tidaknya Responden Mengenai Tujuan Dari Program Pelayanan Dan Pembinaan Di Dalam Panti ... 56

Tabel 13 Tanggapan Responden Mengenai Kebermanfaatan Program Pelayanan Dan Pembinaan Panti ... 57

Tabel 14 Tanggapan Responden Mengenai Fasilitas-Fasilitas Yang Mendukung Pelayanan Dan Pembinaan ... 58

Tabel 15 Tanggapan Responden Terhadap Proses Bimbingan Sosial ... 59

Tabel 16 Tanggapan Responden Terhadap Proses Bimbingan Mental ... 60

Tabel 17 Tanggapan Responden Terhadap Proses Bimbingan dan Latihan Keterampilan ... 61


(6)

X Tabel 18 Keterangan Responden Mengenai Penambahan Jadwal Materi

Dan Kegiatan Dari Program Pelayanan Dan Pembinaan Panti .... 62 Tabel 19 Tanggapan Responden Terhadap Materi-Materi Pelayanan

Dan Pembinaan Yang Diberikan Oleh Panti ... 63 Tabel 20 Perlu Tidaknya Penambahan Fasilitas Guna

Menunjang Program Pelayanan Dan Pembinaan ... 64 Tabel 21 Hubungan Atau Kerjasama Responden

Dengan Para Petugas Panti ... 65 Tabel 22 Tanggapan Responden Mengenai Kemampuan Pembina/

Petugas Panti Dalam Memberikan Materi dan Kegiatan ... 66 Tabel 23 Jenis Latihan Keterampilan Yang Diminati Oleh Responden ... 67 Tabel 24 Tanggapan Responden Mengenai Keadaan Sarana

dan Fasilitas Yang Tersedia di Panti ... 68 Tabel 25 Daya Tampung Tempat Ibadah ... 69 Tabel 26 Jenis Kegiatan Olah Raga

Yang Paling Diminati Responden ... 70 Tabel 27 Tanggapan Responden Terhadap

Fasilitas Kegiatan Olah Raga ... 71 Tabel 28 Ada Tidaknya Perubahan Yang Dialami Oleh Responden

Selama Berada Di Dalam Panti ... 72 Tabel 29 Jenis Bimbingan Paling Utama Yang Membuat Responden

Menjadi Sadar Untuk Meninggalkan Profesi WTS ... 73 Tabel 30 Sudah Belumnya Responden Mendapatkan Keterampilan

Yang Menjadi Bekal Setelah Keluar Dari Panti ... 75