Efektivitas Pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi.

(1)

EFEKTIVITAS PELAYANAN

PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW)

PARAWASA BERASTAGI

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

OLEH:

RANDI MARANATHA SEMBIRING 030902030

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Randi Maranatha Sembiring

NIM : 030902030

Judul : Efektivitas Pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)

Parawasa Berastagi

Pembimbing Skripsi,

Dra. Tuti Atika, M.SP NIP. 131 762 436

Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

Drs. Matias Siagian, M.Si NIP. 132 054 339

Dekan FISIP USU

Prof.Dr. M. Arif Nasution, MA NIP. 131 757 010


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur, penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang atas berkat dan anugerah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat pengalaman yang berguna, suka maupun duka serta kesulitan yang dialami. Namun, berkat dukungan dan dorongan semangat akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis banyak menerima bimbingan, arahan, nasehat dan juga bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Teristimewa untuk Orang tua saya (Alm) R. Sembiring Meliala dan

Ibu S. Br Singarimbun, yang sudah membesarkan, mendidik, dan memberikan dukungan dan doa yang begitu besar bagi penulis.

2. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik

3. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si., selaku Ketua Departemen Ilmu

Kesejahteraan Sosial

4. Ibu Dra. Tuti Atika, M.SP, selaku dosen pembimbing penulis yang

telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini


(4)

5. Seluruh Staf Edukatif dan Administratif, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, terutama kepada Dosen dan Staf Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

6. Kepala Seksi PSKW Parawasa Berastagi, Bapak Drs. Amir Sidabutar

yang sudah memberikan bantuan, masukan dan juga nasehat kepada penulis selama penelitian. Dan kepada seluruh staf, para pembina panti serta klien-klien PSKW Parawasa Berastagi

7. Keluarga saya, khususnya kakak saya Lea Devika dan Adik saya Rini

Ermila yang selama ini telah memberikan dukungan moral dan materi serta doanya. Dan tak lupa juga buat kak Erlikasna dan Bibi Uda T Br Singarimbun, serta kepada Bapak Tua Sukatno Sembiring Meliala, terima kasih buat bantuan, dukungan semangat dan juga doa-doanya.

8. Teman-teman sepermainan, antara lain: Bang Ifransko, Fernanda,

Sudung, Ade, Jurani, Franklin, Johansen, dan Haga Gulidane.

9. Kepada seluruh teman-temanku di KESSOS ’03, semoga kelak sukses

semua dalam kehidupannya

10.Kepada sahabat terbaik saya: Andryuawan Pacoet/ Nur Qadri yang

selalu bersama-sama dan setia menemani dalam segala hal

11.Dan terakhir, kepada semua pihak yang belum penulis sebutkan yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa Skripsi ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis mohon maaf untuk segala kekurangan yang ada,


(5)

oleh karena itu penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang membangun, karena hal tersebut juga merupakan masukan untuk yang lain nantinya.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dengan harapan semoga Skripsi ini bermanfaat bagi semua yang membaca.

Medan,

Penulis


(6)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS PELAYANAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW)

PARAWASA BERASTAGI Nama : RANDI MARANATHA SEMBIRING NIM : 030902030

Masalah Wanita Tuna Susila (WTS) merupakan masalah yang sangat kompleks. Oleh karena itu, harus ditanggulangi, dihentikan atau diminimalisasi penyebarannya karena dapat menimbulkan masalah sosial. Pelaksanaan penanganan masalah tuna susila khusunya melalui sistem perpantian adalah suatu proses pengentasan yang meliputi: tahapan rehabilitasi, resosialisasi, dan bimbingan lanjut. Proses ini merupakan suatu upaya untuk mewujudkan terbinanya kehidupan para penyandang tuna susila yang meliputi: pemulihan kembali harga diri, tanggung jawab sosial, dan melaksanakan fungsi sosial dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat.

Tipe Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yakni untuk menggambarkan bagaimana keefektifan Pelayanan yang diberikan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi. Sementara itu, sampel dalam penelitian ini merupakan total sampling N = n, yakni sebanyak 25 orang. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan data primer (kuesioner, wawancara, observasi) dan data sekunder (studi kepustakaan). Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa deskriptif dengan mentabulasikan data yang didapat dari responden melalui tabel kemudian menganalisanya.

Kesimpulan penelitian yang diperoleh adalah bahwa selain bimbingan sosial dan bimbingan mental, para klien juga dibekali dengan bimbingan dan latihan keterampilan, sehingga setelah keluar dari panti mereka dapat hidup mandiri. Pelayanan dan Pembinaan yang diberikan oleh Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa sudah efektif dalam memulihkan kembali harga diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial serta memperbaiki fungsi sosial para klien atau Wanita Tuna Susila. Hal ini dapat diketahui dari perubahan yang dialami oleh para klien, seperti: perilaku menjadi lebih baik, menguasai keterampilan, menjalani ibadah dengan tekun, dan sebagainya.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ... I

ABSTRAK ... IV DAFTAR ISI ... V DAFTAR BAGAN ... VIII DAFTAR TABEL ... IX

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 8

I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

I.4. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Pengertian Efektivitas ... 10

II.2. Konsep Pelayanan Sosial ... 12

II.3. Prostitusi/ Pelacuran dan Penyebabnya ... 18

II.4. Sistem Pembinaan di Panti ... 24

II.5. Kerangka Pemikiran ... 25


(8)

BAB III METODE PENELITIAN

III.1. Tipe Penelitian ... 31

III.2. Lokasi Penelitian ... 31

III.3. Populasi dan Sampel ... 32

III.4. Teknik Pengumpulan Data ... 32

III.5. Teknik Analisa Data ... 33

BAB IV DESKRIPSI LOKASI IV.1. Sejarah Berdirinya PSKW Parawasa ... 34

IV.2. Status Formal Panti dan Landasan Hukum ... 35

IV.3. Visi dan Misi ... 35

IV.4. Program Rehabilitasi WTS di Parawasa Berastagi, Kegiatan Harian dan Lama Pembinaan ... 36

IV.5. Struktur Organisasi ... 40

IV.6. Sarana dan Prasarana Panti ... 41

IV.7. Tenaga Pelaksana dan Staf Panti ... 41

IV.8. Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab ... 43

BAB V ANALISIS DATA V.1. Identitas Responden ... 48

V.2. Efektivitas Program Pelayanan dan Pembinaan ... 56

V.3. Efektivitas Bidang Sarana dan Prasarana/ Fasilitas yang Tersedia ... 68


(9)

BAB VI KESIMPULAN dan SARAN

VI.1. Kesimpulan ... 76 VI.2. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Kerangka Pemikiran ... 27

Bagan 2 Bagan Struktur Organisasi


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jadwal Kegiatan Harian Klien Panti Sosial Karya Wanita

(PSKW) Parawasa Berastagi ... 39

Tabel 2 Sarana dan Prasarana PSKW Parawasa ... 41

Tabel 3 Data Jumlah PNS PSKW Parawasa ... 42

Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 48

Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Agama ... 50

Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Suku ... 51

Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 52

Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan ... 53

Tabel 9 Distribusi Responden Berdasarkan Asal/ Tempat tinggal ... 54

Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Lamanya Menjadi WTS ... 54

Tabel 11 Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Menjadi WTS ... 55

Tabel 12 Tahu Tidaknya Responden Mengenai Tujuan Dari Program Pelayanan Dan Pembinaan Di Dalam Panti ... 56

Tabel 13 Tanggapan Responden Mengenai Kebermanfaatan Program Pelayanan Dan Pembinaan Panti ... 57

Tabel 14 Tanggapan Responden Mengenai Fasilitas-Fasilitas Yang Mendukung Pelayanan Dan Pembinaan ... 58

Tabel 15 Tanggapan Responden Terhadap Proses Bimbingan Sosial ... 59

Tabel 16 Tanggapan Responden Terhadap Proses Bimbingan Mental ... 60

Tabel 17 Tanggapan Responden Terhadap Proses Bimbingan dan Latihan Keterampilan ... 61


(12)

Tabel 18 Keterangan Responden Mengenai Penambahan Jadwal Materi Dan Kegiatan Dari Program Pelayanan Dan Pembinaan Panti .... 62 Tabel 19 Tanggapan Responden Terhadap Materi-Materi Pelayanan

Dan Pembinaan Yang Diberikan Oleh Panti ... 63 Tabel 20 Perlu Tidaknya Penambahan Fasilitas Guna

Menunjang Program Pelayanan Dan Pembinaan ... 64 Tabel 21 Hubungan Atau Kerjasama Responden

Dengan Para Petugas Panti ... 65 Tabel 22 Tanggapan Responden Mengenai Kemampuan Pembina/

Petugas Panti Dalam Memberikan Materi dan Kegiatan ... 66 Tabel 23 Jenis Latihan Keterampilan Yang Diminati Oleh Responden ... 67 Tabel 24 Tanggapan Responden Mengenai Keadaan Sarana

dan Fasilitas Yang Tersedia di Panti ... 68 Tabel 25 Daya Tampung Tempat Ibadah ... 69 Tabel 26 Jenis Kegiatan Olah Raga

Yang Paling Diminati Responden ... 70 Tabel 27 Tanggapan Responden Terhadap

Fasilitas Kegiatan Olah Raga ... 71 Tabel 28 Ada Tidaknya Perubahan Yang Dialami Oleh Responden

Selama Berada Di Dalam Panti ... 72 Tabel 29 Jenis Bimbingan Paling Utama Yang Membuat Responden

Menjadi Sadar Untuk Meninggalkan Profesi WTS ... 73 Tabel 30 Sudah Belumnya Responden Mendapatkan Keterampilan


(13)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS PELAYANAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW)

PARAWASA BERASTAGI Nama : RANDI MARANATHA SEMBIRING NIM : 030902030

Masalah Wanita Tuna Susila (WTS) merupakan masalah yang sangat kompleks. Oleh karena itu, harus ditanggulangi, dihentikan atau diminimalisasi penyebarannya karena dapat menimbulkan masalah sosial. Pelaksanaan penanganan masalah tuna susila khusunya melalui sistem perpantian adalah suatu proses pengentasan yang meliputi: tahapan rehabilitasi, resosialisasi, dan bimbingan lanjut. Proses ini merupakan suatu upaya untuk mewujudkan terbinanya kehidupan para penyandang tuna susila yang meliputi: pemulihan kembali harga diri, tanggung jawab sosial, dan melaksanakan fungsi sosial dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat.

Tipe Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yakni untuk menggambarkan bagaimana keefektifan Pelayanan yang diberikan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi. Sementara itu, sampel dalam penelitian ini merupakan total sampling N = n, yakni sebanyak 25 orang. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan data primer (kuesioner, wawancara, observasi) dan data sekunder (studi kepustakaan). Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa deskriptif dengan mentabulasikan data yang didapat dari responden melalui tabel kemudian menganalisanya.

Kesimpulan penelitian yang diperoleh adalah bahwa selain bimbingan sosial dan bimbingan mental, para klien juga dibekali dengan bimbingan dan latihan keterampilan, sehingga setelah keluar dari panti mereka dapat hidup mandiri. Pelayanan dan Pembinaan yang diberikan oleh Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa sudah efektif dalam memulihkan kembali harga diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial serta memperbaiki fungsi sosial para klien atau Wanita Tuna Susila. Hal ini dapat diketahui dari perubahan yang dialami oleh para klien, seperti: perilaku menjadi lebih baik, menguasai keterampilan, menjalani ibadah dengan tekun, dan sebagainya.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pada dasarnya semua manusia menginginkan kehidupan yang baik yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun kebutuhan sosial. Manusia terpacu untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya demi mempertahankan kehidupan diri sendiri maupun keluarganya. Berbagai upaya untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup dikerjakan manusia agar dapat memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Kenyataannya dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup dijumpai adanya kesulitan-kesulitan terutama yang dialami oleh kaum wanita di Indonesia. Sering kebutuhan keluarganya menuntut wanita harus bekerja diluar rumah untuk mencari kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarga. Namun harapan untuk dapat menambah penghasilan keluarga tidaklah mudah, karena lapangan kerja yang terbatas, disamping tingkat pendidikan mereka yang rendah. Dengan pendidikan yang rendah dan tidak adanya keterampilan yang mereka miliki menyebabkan mereka mencari jenis pekerjaan yang dengan cepat mendapatkan uang. Akhirnya wanita-wanita banyak terjun kedalam bisnis pelacuran.

Berbicara soal prostitusi atau bahasa awamnya pelacuran merupakan masalah lama tetapi tetap baru untuk dibahas. Tidak diketahui secara pasti kapan munculnya profesi tersebut, dikatakan demikian karena sejak ada norma perkawinan, bersamaan dengan itu pula lahirlah apa yang disebut dengan pelacuran, dan ia dianggap sebagai salah satu bentuk penyimpangan dari norma


(15)

perkawinan itu sendiri. Hubungan seksual antara dua jenis kelamin yang berbeda, dilakukan diluar perkawinan dan berganti-ganti pasangan, baik dengan menerima imbalan uang atau material lainnya maupun tidak, sudah disebut orang sebagai pelacuran (Tjahyo Purnomo W. dan Ashadi Siregar, 1985:10).

Prostitusi atau pelacuran merupakan profesi yang sudah sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri, dan selalu ada pada negara berbudaya, sejak jaman purba sampai sekarang. Ini senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya dengan perkembangan teknologi, industri dan kebudayaan manusia turut berkembang pula pelacuran dalam berbagai tingkatannya.

Pelacuran bukan merupakan istilah asing di kalangan masyarakat terutama bagi masyarakat perkotaan. Misalnya di kota Medan sendiri masih banyak dijumpai wanita tuna susila (WTS), Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara mencatat bahwa pada tahun 2006 terdapat 3.387 orang WTS di Sumatera Utara dan jumlah ini terus meningkat di tahun berikutnya, dimana pada tahun 2007 terdapat 3.678 orang WTS yang sebahagian besar berada di kota Medan (BPS, Sumatera Utara Dalam Angka 2006; Sumatera Utara Dalam Angka 2007).

Pelacuran merupakan masalah patologis yang harus dihentikan atau diminimalisasi penyebarannya, karena dapat menimbulkan masalah patologis yang lain seperti kriminalitas, kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin, kokain, dan lain-lain). Pelacuran ini cenderung menimbulkan kejahatan dalam berbagai variasinya seperti sarang pertemuan pencuri, pemabukan yang membawa keributan, penculikan dan perdagangan wanita, alat untuk pemerasan dan sebagainya.


(16)

Pelacur atau wanita tuna susila (WTS) merupakan suatu masyarakat tersendiri dengan sub kultur yang khas. Kehidupannya penuh gemerlapan, bau parfum dan minuman keras yang menusuk hidung dan tawa cekikikan yang mengundang nafsu. Disana mereka harus menyenandungkan birahi, membuat laki-laki resah menunggu saat berkencan, hidup mereka penuh sandiwara dan kepalsuan. Seorang WTS menjalani profesinya dengan latar belakang dan alasan yang berbeda-beda. Secara umum alasannya antara lain: karena tidak ada uang, tidak ada pekerjaan, perceraian keluarga, patah hati, diperkosa dan sebagainya.

Aktivitas penjajaan seks atau pelacuran ini dipandang masyarakat sebagai sisi hitam dari kehidupan sosial yang megah. Adanya sikap ironis masyarakat dan pemerintah terhadap pelacuran berada pada kondisi untuk dikutuk sekaligus dilestarikan. Dikutuk karena memang bertentangan dengan nilai-nilai moral kelompok dominan yang pada umumnya menggunakan standart ganda (perempuan pelacur dikutuk, laki-laki yang melacur didiamkan). Dilestarikan karena memang memiliki basis material yang terkait erat pada pengorganisasian produksi. Warna pandangan ini menyebabkan kita melihat keremang-remangan dalam kehidupan pelacuran, (Katjasungkana 1995:31).

Dimensi kehidupan para pelacur disini sangat kompleks, sejalan dengan keberadaan manusia dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari. Sebagai seorang manusia, WTS juga membutuhkan adanya dinamisasi kehidupan dalam dirinya, agar nantinya ia dapat memutuskan untuk tidak bekerja sebagai wanita tuna susila dan kembali ke masyarakat. Tetapi pandangan negatif yang masih berlaku di masyarakat tentang masa lalu para WTS, dengan sendirinya akan merupakan ganjalan nyata, bagi keinginan untuk kembali ke masyarakat.


(17)

Penerimaan masyarakat terhadap bekas pelacur, tidak pernah berubah, sejalan dengan keberadaan pelacuran itu sendiri di masyarakat. Bekas WTS yang telah memulai kehidupan baru, biasanya tetap akan menjadi objek bagi sekelompok manusia ‘penggemar’ pelacuran. Dengan segala upaya biasanya orang-orang tersebut mencoba menggoda para bekas WTS untuk kembali melakukan praktek pelacuran sebagai usaha sampingannya. Dan tidak jarang pula dengan berbagai cara dan janji yang muluk, terkadang ada juga bekas WTS yang tergoda untuk kembali melakukan praktek prostitusi dengan cara yang lebih halus, yaitu bertamengkan usahanya. Disini tampak dilematis pelacuran dalam kehidupan masyarakat, baik keberadaan pelacuran itu sendiri maupun penerimaan mereka terhadap dinamisasi kehidupan para WTS atau bekas WTS.

Masalah WTS ini merupakan masalah yang sangat kompleks. Pelacuran disamping merupakan penyakit masyarakat juga menimbulkan penyakit yang sangat berbahaya bagi kehidupan orang seorang, keluarga dan masyarakat, misalnya penyakit kelamin.

Pelacuran atau tindakan tuna susila ini dapat menimbulkan keresahan-keresahan serta kegoncangan-kegoncangan di dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat dan merupakan penghambat dalam proses pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat pada umumnya.

Selain hal diatas wanita tuna susila atau pelacur itu merupakan perbuatan :

- yang bertentangan dengan moral Pancasila dan norma-norma yang berlaku


(18)

- yang dapat memerosotkan harkat dan martabat serta merendahkan diri khususnya bagi kaum wanita serta merusak sendi-sendi kehidupan keluarga dan kehidupan kebersamaan,

- yang dapat membahayakan kelangsungan keturunan serta merugikan masa

depan generasi muda, khususnya bagi kaum wanita dalam rangka meneruskan perjuangan bangsa dimana terdapat WTS/ pelacur yang berusia muda.

Mengingat bahwa masalah WTS itu merupakan masalah yang sangat kompleks, maka pelacuran ini mutlak harus ditanggulangi dan bukan karena itu saja tetapi juga agar gejala ini tidak diterima oleh masyarakat sebagai pola budaya (sekalipun penerimaannya tidak secara sadar), dengan kata lain pelacuran yang dibiarkan tanpa dicegah atau ditanggulangi, lambat laun dapat dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang normal dan wajar dan mungkin akan melembaga sebagai hal-hal yang patut, sehingga harus diupayakan penyembuhannya dan dicegah atau dihalang-halangi timbulnya dengan meniadakan faktor-faktor penyebabnya. Oleh karena itu, Pemerintah telah berusaha mengadakan berbagai kegiatan dengan tujuan mengurangi bertambahnya pelacuran. Bentuk konkrit dari langkah-langkah dan usaha penanggulangan pelacuran telah diadakan usaha rehabilitasi melalui pendidikan mental dan keterampilan di dalam panti.

Adapun fungsi dari panti tersebut adalah sebagai berikut :

1. membimbing dan mengembalikan WTS ke masyarakat untuk dapat hidup

secara wajar tanpa menggantungkan diri kepada orang lain serta berhenti melacurkan diri.


(19)

3. sebagai tempat informasi kepada masyarakat tentang pelaksanaan usaha-usaha penyantunan/ rehabilitasi WTS.

Dengan pengertian lain, usaha yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi pelacuran adalah dengan rehabilitasi dan resosialisasi. Yang dimaksud dengan rehabilitasi disini yaitu suatu tahap bimbingan dan pembinaan

yang diberikan oleh lembaga bagi para wanita tuna susila (WTS), Rehabilitasi

sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemauan dan kemampuan klien atau penyandang masalah sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat. Tujuan rehabilitasi

sosial sebagaimana dikemukakan Soenaryo (1995 : 118) adalah : pertama

memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan

sosialnya, kedua memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat

dilaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Terkait dengan keberfungsian sosial, DuBois dan Miley (1992 ;223) menyatakan keberfungsian individu lebih berkaitan dengan upaya mencapai gaya hidup yang mampu memenuhi kebutuhan dasar, membangun relasi yang positif dan menekankan pada pertumbuhan dan menyesuaikan personal yang baik dalam keluarga maupun masyarakat.

(http://www.damandiri.or.id/file/ettypapayunganunhasbab2b.pdf!)

Sedangkan resosialisasi merupakan tahapan persiapan penyaluran untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat yang wajar dengan cara memantapkan bimbingan mental, sosial dan keterampilan. Resosialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, rasa tanggung jawab sosial dan memulihkan kemauan


(20)

serta kemampuan agar dapat menyesuaikan diri secara normatif dalam masyarakat.

Bentuk rehabilitasi tersebut adalah dengan mendirikan lembaga yang diberi nama Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa di Berastagi. Yang beralamat di Jalan Jamin Ginting No. – Kuta Gadung Berastagi Kabupaten Karo, kira-kira 68 Km dari kotamadya Medan. Adapun Program pelayanan dan pembinaan yang diberikan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa adalah mencakup beberapa aspek pokok antara lain: bimbingan dan pembinaan di bidang kerohanian, moral, mental dan bidang pendidikan keterampilan.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengetahui bagaimana keefektifan pelayanan sosial yang diberikan, dengan melihat kelengkapan fasilitas pendukung pelayanan, keahlian pekerja sosial, dan dukungan dari masyarakat terutama keluarga klien (wanita binaan sosial). Untuk lebih terarah, penulis membatasi penelitian ini hanya pada ruang lingkup kefektifan pelayanan yang diberikan, sehingga penulis mengangkat permasalahan ini dengan judul : “Efektivitas Pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi”.

Adapun alasan mengapa permasalahan ini perlu untuk diteliti adalah karena dalam memberikan pelayanan sosial kepada si penderita atau klien agar tercapai pelayanan secara optimal dituntut suatu keterampilan yang didukung oleh fasilitas pendukung pelayanan yang memadai dan keahlian para pekerja sosial. Masyarakat mengharapkan agar pelayanan sosial yang diberikan lebih berkualitas, khususnya di lembaga-lembaga sosial seperti Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi.


(21)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah :

“Bagaimanakah efektivitas pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi”.

I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.3.1. Tujuan

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana proses pembinaan yang dilaksanakan

PSKW Parawasa

2. Untuk mengetahui efektivitas pelayanan yang sudah dilaksanakan PSKW

Parawasa terhadap pembinaan wanita binaan I.3.2. Manfaat

Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah sebagai berikut :

1. Secara Akademis, dapat memberikan sumbangan positif terhadap

khasanah keilmuan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial mengenai konsep pelayanan sosial

2. Secara Teoritis, melatih diri dan mengembangkan pemahaman dan

kemampuan berpikir penulis melalui penelitian dan penulisan karya ilmiah tentang efektivitas pelayanan

3. Secara Praktis, sebagai bahan masukan, pertimbangan, dan evaluasi bagi

Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi secara khusus dan bagi pemerintah, maupun pihak-pihak luar secara umum guna meningkatkan pelayanan sosial bagi wanita binaan sosial.


(22)

D. Sitematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

BAB ini berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian serta Sistematika Penulisan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

BAB ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan masalah dan objek yang akan diteliti

BAB III : METODE PENELITIAN

BAB ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data serta teknik analisa data BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

BAB ini berisikan gambaran umum mengenai lokasi dimana peneliti melakukan penelitian

BAB V : ANALISA DATA

BAB ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dalam penelitian beserta analisisnya

BAB VI : PENUTUP


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pengertian Efektivitas

Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Menurut Barnard, bahwa efektivitas adalah tercapainya sasaran yang telah disepakati bersama (Barnard, 1992 ; 27).

Dalam Ensiklopedia Umum (1977: 129), disebutkan bahwa efektivitas menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Usaha dikatakan efektif kalau usaha itu mencapai tujuannya secara ideal, taraf intensitas dapat dinyatakan dengan ukuran yang agak pasti.

Pengertian lain dikemukakan oleh Sarwoto, efektivitas atau berhasil guna adalah pelayanan yang baik, corak maupun mutunya, kegunaan benar sesuai dengan kebutuhan ini dalam mencapai tujuan organisasi (Sarwoto, 1991: 95).

Menurut Cambel J.P, pengukuran efektivitas secara umum dan yang paling menonjol adalah :

1. Keberhasilan program

2. Keberhasilan sasaran

3. Kepuasan terhadap program

4. Tingkat input dan output


(24)

Sehingga efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua tugas-tugas pokoknya atau untuk dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya (Cambel, 1989 : 47). Sementara menurut Richard M. Steers, bahwa efektivitas merupakan suatu tingkat kemampuan organisasi untuk dapat melaksanakan seluruh tugas-tugas pokoknya atau pencapaian sasarannya.

Dari pendapat beberapa ahli diatas dapat penulis simpulkan pengertian efektivitas yaitu keberhasilan suatu aktivitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan (sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya. Lebih jelasnya apabila tujuan atau sasaran dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya dikatakan efektif dan sebaliknya apabila tujuan atau sasaran tersebut tidak dapat dicapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan maka aktivitas dikatakan tidak efektif.

Efektivitas dalam dunia riset ilmu-ilmu sosial dijabarkan dengan jumlah penemuan atau produktivitas, dimana bagi sejumlah sarjana sosial efektivitas sering kali ditinjau dari sudut kualitas pekerjaan atau program kerja. Singkatnya efektivitas memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, tergantung pada kerangka acuan yang dipakai.

Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat sekian banyak pertentangan pendapat sehubungan dengan cara meningkatkannya, cara mengatur dan bahkan


(25)

cara menentukan indikator dari efektivitas. Sehingga dengan demikian tentu akan lebih sulit lagi bagaimana cara mengevaluasi tentang konsep efektivitas.

Pengertian yang memadai mengenai tujuan ataupun sasaran organisasi merupakan langkah pertama dalam pembahasan efektivitas, dimana seringkali berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam awal usaha mengukur efektivitas yang pertama sekali adalah memberikan konsep tentang efektivitas itu sendiri.

Dari beberapa uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas suatu lembaga secara fisik dan rohani untuk mencapai tujuan serta meraih keberhasilan maksimal.

II.2 Konsep Pelayanan sosial II.2.1 Pelayanan sosial

Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu para anggota masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan dengan lingkungan sosialnya.

Dalam batasan yang sempit, pelayanan sosial berarti bantuan pada orang miskin, pada anak-anak terlantar, yang terkena bencana alam, serta bantuan-bantuan lainnya yang ditujukan untuk membantu orang-orang kurang mampu secara ekonomi.

Seperti halnya dengan batasan-batasan ilmu sosial lainnya, maka batasan baru tentang pelayanan sosial juga sulit ditemukan. Para ahli memberikan defenisi tentang pelayanan sosial yang saling berbeda-beda, tergantung dari sudut mana dia melahirkan batasan tersebut. Pelayanan sosial terdiri dari dua kata, yaitu


(26)

pelayanan dan sosial. Pelayanan berarti usaha pemberian bantuan atau pertolongan kepada orang lain, baik materi dan non materi, agar orang itu dapat mengatasi masalahnya sendiri. Dapat disimpulkan dari batasan tersebut bahwa pelayanan bukan hanya pemberian bantuan berupa uang, makanan, sandang, perumahan dan lain-lain yang bersifat materi melainkan juga bersifat non materi seperti bimbingan. Sedangkan sosial berarti kawan, yaitu : 1) suatu badan umum kearah kehidupan bersama manusia dan masyarakat, 2) suatu petunjuk kearah usaha-usaha menolong orang miskin dan sengsara. (Soetarso, 1977: 78)

Lebih lanjut Suparlan dan kawan-kawan mengatakan bahwa pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi bertujuan membantu para anggota masyarakat saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan lingkungan sosialnya. (Suparlan, 1983: 93)

Selanjutnya Syarif Muhidin (1981: 68) memberikan defenisi pelayanan sosial dalam arti luas dan sempit, yaitu:

1. Pelayanan dalam arti luas adalah pelayanan yang mencakup fungsi

pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan sebagainya.

2. Pelayanan dalam arti sempit adalah pelayanan sosial yang mencakup

pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung, seperti pelayanan sosial bagi anak-anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna susila, dan sebagainya.

Alfred J. Khan dalam Sumarno Nugroho (1987: 72), mengemukakan pendapatnya tentang pelayanan sosial sebagai berikut: pelayanan sosial terdiri dari program-program yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kriteria pasar untuk


(27)

menjamin suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan dan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan bermasyarakat, serta kemampuan perorangan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya. Untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada, dan membantu warga masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran.

II.2.2 Klasifikasi Pelayanan Sosial

Pelayanan sosial sebagai suatu kegiatan yang terorganisasi bertujuan untuk membantu tercapainya penyesuaian timbal balik antara seseorang atau kelompok dengan lingkungannya.

Klasifikasi pelayanan sosial dikemukakan oleh Alfred J. Khan dengan berdasarkan pada fungsinya sebagai berikut, yaitu :

1. Pelayanan sosial untuk tujuan sosialisasi dan pengembangan

Tujuan kegiatan ini adalah sosialisasi, menanamkan pemahaman akan tujuan dan motivasi, serta meningkatkan mutu perkembangan kepribadian.

2. Pelayanan sosial untuk tujuan penyembuhan, pemberian bantuan,

rehabilitasi dan perlindungan sosial

Pelayanan ini dapat berupa bantuan singkat, intensif dan pribadi sifatnya dengan program-program perbaikan situasi lingkungan sosial, antar orang atau unsur-unsur kepribadiannya juga termasuk pemulihan kemampuan pelaksanaan peranan-peranan sosial individu.


(28)

3. Pelayanan sosial untuk membantu orang menjangkau dan menggunakan pelayanan sosial yang sudah ada dan pemberian informasi dan nasihat.

Pelayanan sosial yang disusun dengan baik dan disampaikan dengan efektif akan dapat memenuhi kebutuhan dan bahkan menciptakan kepuasan.

Pelayanan sosial yang dilaksanakan secara luas dan mempunyai karakter fundamental akan dapat memperluas perubahan sosial dan meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat.

II.2.3 Program-program pelayanan sosial

Program-program pelayanan sosial merupakan bagian dari intervensi kesejahteraan sosial. Pelayanan-pelayanan sosial meliputi kegiatan-kegiatan atau intervensi kasus yang dilaksanakan secara diindividualisasikan, langsung dan terorganisasi, yang bertujuan membantu individu, kelompok dan lingkungan sosial dalam upaya mencapai saling penyesuaian.

Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah sebagai berikut :

1. Pelayanan akses : mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah,

nasehat dan partisipasi. Tujuannya membantu orang agar dapat mencapai atau menggunakan pelayanan yang tersedia.

2. Pelayanan terapi : mencakup pertolongan dan terapi atau rehabilitasi,

termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan yang diberikan oleh badan-badan yang menyediakan konseling, pelayanan


(29)

kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial mendidik dan sekolah, perawatan bagi orang-orang jompo dan lanjut usia.

3. Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi

dan anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi

bagi pemuda dan masyarakat yang dipusatkan atau community centre

(Nurdin, 1989: 50).

II.2.4 Standard Pelayanan Sosial

Kata “standard” yang digunakan disini dapat berarti : a. suatu norma bagi pelayanan sosial

b. suatu bentuk norma atau peraturan tertentu yang sengaja disusun untuk

digunakan sebagai pedoman.

Adapun jenis standard pelayanan sosial itu adalah:

1. Standard Minimum

Standard ini digunakan kalau pemerintah menginginkan penentuan persyaratan wajib untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan sosial. Badan-badan sosial didorong untuk melampaui standard minimum ini.

2. Standard Maksimum

Standard ini merupakan sasaran pencapaian mutu pelayanan tertinggi yang ditentukan oleh pemerintah selama jangka waktu tertentu. Standard maksimum ini dapat digunakan dalam perencanaan kesejahteraan sosial jangka panjang.

3. Standard Realistis

Standard ini lebih banyak berfungsi sebagai pedoman dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan memaksa. Tujuan utama standard ini adalah mendorong badan-badan sosial untuk meningkatkan pelayanannya.


(30)

Pelayanan sosial secara umum dapat dibagi dalam dua kategori yang saling menunjang dan saling melengkapi yaitu pelayanan yang melalui panti dan pelayanan diluar panti. Keduanya harus tercakup dalam standard yang berisikan :

1. Bangunan dan fasilitas lingkungannya

Bangunan dan fasilitas lingkungan merupakan objek yang secara langsung digunakan untuk menampung atau menyembuhkan penerima pelayanan. Biasanya luas panti untuk satu orang kelayan digunakan sebagai standard luas bangunan. Verifikasi, tata lampu, peralatan kesehatan, dan keselamatan merupakan hal-hal yang dimaksudkan dalam jenis-jenis bangunan yang akan dibangun.

2. Peralatan

Peralatan ini mencakup tempat tidur, meja, kursi dan lain-lain yang digunakan baik secara perorangan maupun secara bersama-sama.

3. Pelayanan Operasional

Mencakup hal-hal sebagai berikut :

- Makanan (kalori, mutu, jenis menu, fasilitas dapur, perabotan pecah belah dan lain-lain)

- Pakaian (jumlah fasilitas cucian, frekuensi pergantian)

- Kesehatan dan kebersihan

- Rekreasi dan kegiatan-kegiatan pengisian waktu luang 4. Pelayanan Profesional


(31)

- Asuhan (jumlah dan tugas-tugas pengasuh)

- Pekerja sosial dan pelayanan profesional lain yang terkait (jumlah dan

tugas-tugas pekerja sosial, psikolog, psikiater, perawat, penyuluh dan sebagainya).

- Pelayanan pendidikan

- Latihan kerja

- Pelayanan bimbingan lanjut

5. Tenaga

Standard ini mencakup kualifikasi petugas, seleksi dan peremajaan, kondisi kerja, perawatan kesehatan, dan jaminan-jaminan lainnya.

6. Administrasi

Mencakup supervise, latihan dan pengembangan petugas, pencatatan tugas-tugas profesional maupun pelayanan rutin, ketatausahaan keuangan, peraturan-peraturan intern, hubungan dengan masyarakat dan sebagainya.

II.3 Prostitusi/ Pelacuran dan Penyebabnya

Prostitusi berasal dari kata “prostituere” (bahasa latin) yang berarti menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau menyerahkan diri secara terang-terangan kepada umum.

Di Indonesia istilah ini dikenal dengan “pelacuran” yang pada umumnya

dirumuskan demikian: “Pelacuran” dapat diartikan sebagai penyerahan badan

wanita dengan pembayaran, kepada orang laki-laki guna pemuasan nafsu sexuil orang-orang itu”.


(32)

Adapun bentuk dan polanya bermacam-macam, ada yang langsung tersedia di tempat-tempat (di rumah-rumah), yang dinamakan bordil dan lokalisasi. Biasanya pelacur-pelacur yang berada di tempat tersebut dipelihara oleh seseorang yang dinamakan Germo, dan oleh si germo dia diatur dan harus menurut kehendak si germo, bahkan menurut penelitian-penelitian sebagian besar hasil WTS yang bersangkutan diambil oleh sang germo.

Ada pula pelacur-pelacur yang hanya melayani panggilan-panggilan untuk diajak ke suatu tempat tertentu seperti di hotel-hotel, pesanggrahan atau rumah-rumah tertentu, pelacur ini dinamakan “call girl” (wanita panggilan). Call girl ini jaring-jaringnya juga cukup rapi hingga agak sulit diketahui, biasanya ada perantara-perantaranya yang umumnya dari kalangan tukang becak, supir taxi dan lain-lain.

Yang paling menyolok adalah apa yang dinamakan pelacuran jalanan dimana para WTS berkeliaran di pojok-pojok jalan secara menyolok sekali, seolah-olah menjajakan diri secara terang-terangan. Biasanya mereka dibawa-bawa oleh yang menghendakinya.

Ada juga yang mengkategorikan pelacuran dengan kelas-kelas seperti : a. pelacuran kelas rendahan (jalanan, bordil-bordil murahan)

b. pelacuran menengah yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup

bersihan dan pelayanannya baik

c. pelacuran kelas tinggi biasanya para pelacur tinggal di rumah sendiri

(terselubung–tersembunyi) dan hanya menerima panggilan dengan perantara yang cukup rapi sehingga sulit diketahui dan bayarannya cukup mahal.


(33)

Pada saat ini bentuk-bentuk pelacuran di Indonesia dapat dikatakan bertambah lagi dengan apa yang dinamakan pelacuran tersembunyi (terselubung) dalam bentuk-bentuk kerja jasa lainnya yang sulit dibuktikan, misalnya terselubung dalam pekerjaan tukang-tukang pijat di hotel dan bersembunyi di tempat-tempat mandi uap dan pijat tertentu yang terdapat di kota-kota besar. Semakin unik bentuk-bentuk pelacuran semakin sulit pula pelacuran ditanggulangi apalagi dilenyapkan.

II.3.1 Pengertian

1. Tuna susila adalah seorang wanita, pria dan waria (wanita pria) yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan uang, materi dan/ atau jasa.

2. Wanita tuna susila (WTS) adalah wanita yang melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang sah dengan mendapat imbalan uang, materi, dan/atau jasa.

II.3.2 Faktor Penyebab Prostitusi/Pelacuran

Masalah WTS atau pelacuran sudah terjadi sejak dulu seiring dengan perjalanan perilaku manusia, (dalam simandjuntak,1981) dikemukakan beberapa teori kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan, Taft mengatakan

crime is a product of culture yaitu benturan budaya atau norma dimana individu mengalami kegoncangan jiwa akan melahirkan kejahatan. Kemudian Sutherland dengan teori learning mengidentifikasikan bahwa seseorang menjadi jahat karena pergaulan yang kurang baik pada masa lalu. Dari teori ini lahir pemikiran bahwa


(34)

WTS sebagian besar berasal dari pergaulan kurang baik, keluarga yang tidak mampu mendidik, kekurangan atau kehilangan cinta kasih.

Pelacuran timbul dikarenakan berbagai hal yang komplek, menurut hasil penelitian (dalam Suyanto,2001: 111) Rowbothon (1973) menyebutkan bahwa unsur utama pelacuran adalah faktor ekonomi, masalah WTS tidak lepas dari pengertian pelacuran sebagai gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri dengan melakukan perbuatan seksual sebagai mata pencaharian, jadi unsur essensial dalam pelacuran adalah motif ekonomi. Kemudian Saptari (1997) secara garis besar menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang mendorong seseorang

menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi dan kondisi kemiskinan

rumah tangga perempuan pelacur atau WTS. Kedua, karena pandangan tentang

seksualitas yang cenderung menekankan arti pentingnya keperawanan, sehingga tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk ke dalam peran yang diciptakan oleh nilai yaitu sebagai pelacur. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan seperti yang sering terjadi di lokasi, WTS sengaja dijerat utang oleh germo sebagai pengikat dan terpaksa melacurkan diri. Namun demikian, banyak ditemui kasus wanita melacurkan diri tidak semata-mata motif ekonomi. Di luar muatan ekonomi tersebut, pelacuran sesungguhnya adalah ekspresi dari hegomoni kultural pria atas kaum perempuan dan terpaksa atau dipaksa masuk kedalam pelacuran oleh laki-laki yang menggunakan beragam sarana atau sekedar janji janji berselubung cinta.


(35)

II.3.3 Prostitusi/Pelacuran sebagai masalah sosial

Prostitusi atau pelacuran merupakan masalah sosial yang besar pengaruhnya bagi perkembangan moral. Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia. Pelacuran sebagai masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi dari sejarah kehidupan manusia sampai sekarang, dan selalu ada sampai setiap tingkatan peradaban, perlu di tanggulangi dengan kesungguhan.

Di banyak negara pelacuran dilarang bahkan dikenakan hukuman, juga dianggap sebagai perbuatan hina oleh setiap anggota masyarakat. Akan tetapi, sejak adanya masyarakat manusia pertama hingga dunia akan kiamat nanti mata pencaharian pelacuran akan tetap ada, sukar bahkan hampir tidak mungkin diberantas dari muka bumi ini selama masih ada nafsu-nafsu seks, nafsu yang lepas kendali.

II.3.4 Akibat-akibat Pelacuran

Pelacuran menimbulkan berbagai masalah, yaitu menyangkut aspek medis, sosial ekonomi, dan moril.

1. Aspek medis

Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pelacuran dapat mengakibatkan timbulnya penyakit kelamin seperti syphilis, gonorchea bahkan HIV/AIDS. Penularan penyakit kelamin akibat adanya WTS tersebut pengaruhnya sangat luas, yaitu tidak hanya menyerang laki-laki dewasa tetapi bisa pada istri dan anak-anak bahkan menimbulkan abortus ataupun cacat jasmani dan rohani.


(36)

2. Aspek sosial ekonomi

Pengaruh adanya WTS pada aspek sosial ekonomi sangat besar, karena bisa melumpuhkan, menghancurkan atau merusak potensi bangsa, bahkan menurut Loothorp dalam buku The rising tide of colour mensinyalir bahwa dengan adanya WTS timbul gejala-gejala lapisan terbawah di masyarakat tidak dapat ikut serta dalam kemajuan, mereka dengan sendirinya akan mempunyai nasib yang sangat jelek sehingga mempengaruhi tujuan masyarakat dalam mempertahankan nilai sosial seperti kerja sama atau kekompakan dan partisipasi pembangunan menjadi rusak (Simandjuntak.B, 1981). Selain pada aspek sosial, dampak adanya WTS menjadi beban ekonomi finansial, hal ini karena banyaknya penyakit akibat pelacuran seperti tersebut diatas membebani keuangan negara, dimana dengan adanya berbagai penyakit tersebut pemerintah terpaksa harus mengeluarkan uang atau penyediaan obat untuk mengatasi penyakit maupun kegiatan atau upaya-upaya seperti membangun sebuah panti untuk rehabilitasi dan mencegah meluasnya permasalahan dan gejala-gejala lain yang berkaitan dengan dampak pelacuran.

3. Aspek Moril

Wanita tuna susila ataupun siapa saja yang melacurkan diri telah dicap (mendapat sterotipe) sebagai sosok yang tidak memiliki susila dan tanggung jawab. Oleh karena itu, WTS sudah dikategorikan tidak mempunyai moril, salah satu contoh yaitu dari sikap persetubuhan dalam pelacuran itu sendiri sangat didominasi dorongan seksual dan mengabaikan perpaduan jiwa yang didasari kasih sayang, dimana WTS


(37)

merupakan objek pemuas seks laki-laki. Hal ini merupakan awal lahirnya demoralisasi atau mengesampingkan norma (mengabaikan value system) masyarakat.

II.4 Sistem Pembinaan di Panti sebagai Pelayanan Sosial

Panti sebagai lembaga sosial merupakan tempat dimana terdapat kebutuhan yang beraneka ragam dari para penghuninya. Kebutuhan ini mempunyai konsekuensi adanya tanggung jawab panti untuk memenuhi kebutuhan itu. Salah satu sistem pelayanan sosial adalah melalui panti. Panti artinya tempat, sarana atau rumah, sedangkan pelayanan adalah usaha pemberian bantuan atau pertolongan kepada orang lain baik materi maupun non materi.

Penyantunan WTS dalam sistem perpantian berlangsung selama setengah tahun dengan penjadwalan kegiatan sebagai berikut :

- tahap awal klien sudah diterima di panti

- tahap rehabilitasi sosial berupa kegiatan pengajaran pendidikan,

bimbingan sosial dan mental, latihan keterampilan. Tahap ini dilaksanakan selama 2 bulan lamanya

- tahap resosialisasi/persiapan penyaluran yaitu pemantapan bimbingan

sosial dan mental serta latihan keterampilan - tahap bimbingan lanjut.

Jadi pelayanan panti bentuk pelayanan dengan mempergunakan panti sebagai sarana dalam usaha memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada kliennya sehingga mereka dapat mengatasi masalahnya. Dengan demikian mereka dapat berperanan sosial dengan sepenuhnya. Sehubungan dengan itu, panti


(38)

berfungsi untuk pemulihan fungsi sosial yang terganggu, pengadaan sumber-sumber dan pencegahan terhadap disfungsi sosial sesuai dengan hakekat pembangunan sosial yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia maka hakekat pelayanan panti menyangkut aspek kehidupan dan penghidupan penghuninya serta pada hakekatnya pelayanan itu bersifat kuratif, rehabitatif, dan developmental.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa panti merupakan suatu tempat yang berfungsi untuk memberikan santunan/ rehabilitasi kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial agar dapat memerankan fungsi sosial mereka secara wajar dan memadai sesuai dengan harkat dan martabat manusia didalam tata kehidupan normal.

II.5 Kerangka Pemikiran

Prostitusi atau Pelacuran merupakan salah satu masalah sosial yang kompleks, mengingat prostitusi merupakan peradaban yang termasuk tertua di dunia dan hingga saat ini masih terus ada pada masyarakat kita. Banyak hal yang melatarbelakangi wanita menjadi pelacur/ WTS antara lain karena faktor ekonomi, psikologis, kelonggaran kultur masyarakat di sekitar dan faktor lainnya.

Pelacuran atau tindak susila ini jelas menimbulkan keresahan serta kegoncangan di dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat. Pelacuran merupakan penghambat dalam proses pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia pada umumnya. Untuk itu diperlukan penanganan masalah WTS atau pelacuran oleh pemerintah, dimana salah satu


(39)

fungsi yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan usaha rehabilitasi, untuk mempersiapkan mereka agar dapat secara utuh kembali ke masyarakat.

Di Sumatera Utara satu-satunya lembaga sosial yang secara khusus menangani pembinaan terhadap klien/ wanita tuna susila adalah Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa di Berastagi. PSKW Parawasa adalah Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Sosial Provinsi yang memberikan rehabilitasi terhadap WTS dan menerapkan sistem perpantian yaitu pelayanan dalam suatu proses penyantunan dan pengentasan yang meliputi : tahapan rehabilitasi, resosialisasi dan bimbingan lanjut. Proses ini merupakan suatu upaya untuk mewujudkan terbina dan berkembangnya tata kehidupan dan penghidupan para penyandang tuna susila yang diliputi oleh pemulihan kembali rasa harga diri, tanggung jawab sosial, serta kemauan dan berkemampuan melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat.


(40)

Bagan 1

Kerangka Pemikiran Secara Sistematis

Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa

Pelayanan :

a. Program Pendidikan

b. Bimbingan sosial

c. Bimbingan mental

d. Bimbingan keterampilan

Wanita Binaan Sosial

Perkembangan yang dihasilkan : - memiliki keterampilan

- dapat berfungsi sosial dengan baik


(41)

II.6 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional II.6.1 Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah atau defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. (Singarimbun, 1989: 33)

Untuk memfokuskan penelitian ini peneliti memberikan batasan konsep yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu :

1. Efektivitas adalah Suatu pencapaian tujuan secara maksimal dengan sarana yang dimiliki melalui program-program tertentu.

2. Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan dengan lingkungan sosialnya.

3. Wanita Tuna Susila adalah seorang wanita yang mengadakan hubungan

seksual dengan seorang pria atau lebih diluar pernikahan dengan sengaja atau berpengharapan mendapat upah sebagai balas jasa, sehingga menjadi kebiasaan. Dalam hal ini sama dengan istilah pelacur, penjaja seks, kupu-kupu malam, balon, lonte, cabo, sundal, pecun.

4. Panti Sosial Karya Wanita Parawasa adalah unit pelaksana teknis dari

kantor wilayah Dinas Sosial di Sumatera Utara yang bertanggung jawab langsung dibawah Departemen Sosial, yang memberikan rehabilitasi dan pelayanan sosial terhadap WTS.


(42)

II.6.2 Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel. (Singarimbun, 1989: 63)

Untuk melihat variabel-variabel dan indikator-indikator dalam penelitian ini dapat dilihat dari jenis pelayanan yang diberikan, yaitu sebagai berikut :

1. Program pelayanan PSKW Parawasa yang diukur meliputi :

a. Bimbingan sosial adalah bimbingan yang diberikan dengan tujuan

untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab sosial serta memulihkan kemauan dan kemampuan untuk penyesuaian dirinya secara normatif. Antara lain: berupa kegiatan ceramah hukum dan moral, simulasi dan ceramah P4, kadarkum (kelompok sadar hukum).

b. Bimbingan mental adalah bimbingan yang diberikan dengan tujuan

untuk memberikan kemampuan pemeliharaan kondisi sehat fisik, integrasi diri, rasa percaya diri dan disiplin diri. Bimbingan ini berupa snam kesegaran jasmani, kegiatan ceramah keagamaan, diskusi, sholat dan kegiatan lainnya. Bimbingan ini diberikan oleh petugas dari Departemen Agama bekerjasama dengan petugas panti yang diberikan satu kali dalam sehari.

c. Bimbingan Keterampilan adalah bimbingan yang diberikan dengan

tujuan untuk memberi kemampuan kepada penerima pelayanan agar dapat menguasai salah satu atau lebih jenis keterampilan usaha sebagai bekal setelah keluar dari panti. Bimbingan ini berupa latihan keterampilan menjahit, menyulam, memasak, pertanaman atau bertani


(43)

dan tata rias yang diberikan oleh petugas dari Departemen Perindustrian bekerjasama dengan petugas panti.

2. Sarana dan Prasarana atau fasilitas yang tersedia :

a. Gedung dan bangunan-bangunan

b. Tempat ibadah

c. Kegiatan olah raga

3. Kesejahteraan dan kemandirian klien/ wanita binaan, meliputi : a. Dapat Berfungsi Sosial


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1998: 63).

Dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif peneliti ingin membuat gambaran sejauh mana keefektifan pelayanan yang diberikan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa dengan melakukan pengamatan terhadap gejala, peristiwa, kondisi dan fasilitas yang tersedia.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi. Alasan peneliti memilih lokasi ini adalah karena Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa merupakan satu-satunya Panti Binaan terhadap wanita tuna susila (WTS) yang terdapat di Sumatera Utara.


(45)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang terdiri dari manusia, benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala, nilai-nilai atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakter tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 1991 : 141).

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari klien (wanita binaan sosial) di dalam Panti yang sudah menjalani bimbingan dan pembinaan selama 5 - 6 bulan,dimana mereka telah mengikuti bimbingan sampai pada tahap keterampilan, yakni sejumlah 25 orang.

3.3.2 Sampel

Menurut DR. Irawan Soehartono, sampel adalah suatu bagian dari populasi yang akan diteliti dan yang dianggap dapat menggambarkan populasinya (Soehartono, 2004 : 57).

Apabila jumlah populasi kurang dari 100, maka sebaiknya sampel diambil semuanya (Sukarsini Arikunto : 1991). Berarti sampel dalam penelitian ini merupakan total sampling N = n (25 orang).

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap gejala-gejala yang dapat diamati dari objek penelitian. Cara-cara yang dilakukan, yaitu:


(46)

a. Wawancara yaitu mengumpulkan data dengan mengadakan dialog secara langsung dan mengajukan pertanyaan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini kepada responden yang telah ditetapkan . b. Angket (Questioner), yaitu menyusun daftar pertanyaan kemudian

mengajukan pertanyaan secara tertutup yang disebarkan kepada wanita binaan.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan library research (studi kepustakaan), yaitu dengan membuka, mencatat dan mengutip data yang berkaitan dengan masalah penelitian dan dapat mendukung terlaksananya penelitian ini.

3.5 Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisa deskriptif, yaitu dengan mengumpulkan, mengelola, menyajikan dan menjabarkan hasil penelitian sebagaimana adanya. Data yang didapat akan dipaparkan dan dianalisa dengan menggunakan Tabel Tunggal, sehingga data dapat dibaca dengan mudah untuk mengetahui jawaban dari masalah yang diteliti.


(47)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

IV.1 Sejarah berdirinya Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Melihat kenyataan pertumbuhan kepadatan penduduk di provinsi Sumatera Utara dari tahun ke tahun sangat pesat yang menimbulkan berbagai permasalahan sosial. Salah satu permasalahan sosial tersebut adalah masalah tuna susila yang terus tumbuh dan berkembang di masyarakat dan merupakan suatu masalah yang menghambat pembangunan. Maka melalui Departemen Sosial didirikanlah panti ini pada tahun 1977 yang beralamat di Jalan Jamin Ginting Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo, yang diberi nama Panti Sasana Rehabilitasi Wanita Parawasa Berastagi. Nama Parawasa dibuat oleh Bupati Karo yang pada waktu itu dijabat oleh Bapak Kolonel TNI Tampak Sebayang.

Beliau memberi nama “PARAWASA” yang artinya:

Para : Sekelompok wanita

Wa : Wanita

Sa : Dewasa

Yang berarti tempat mendewasakan para penyandang masalah tuna susila melalui proses rehabilitasi. Namun pada tahun 1993 nama Sasana Rehabilitasi Wanita berubah menjadi Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa.


(48)

IV.2 Status Formal Panti dan Landasan Hukum IV.2.1 Status formal

Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa adalah unit pelaksana teknis (U.P.T) Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara yang bertugas menangani masalah sosial tuna susila. Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/XI/1979 tentang kedudukan dan tata kerja panti di lingkungan Dinas Sosial.

IV.2.2 Landasan Hukum

Adapun yang menjadi landasan hukum pelaksanaan program rehabilitasi wanita di Panti Sosial Karya Wanita Parawasa adalah:

a. Undang-undang No. 6/74, tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial

b. Undang-undang No. 22/99, tentang Pemerintah Daerah

c. Undang-undang No. 25/99, tentang Pertimbangan Keuangan Pusat dan Daerah d. Kepmensos No. 20/ HUK/ 99, tentang Rehabilitasi Sosial Penyandang Masalah

Tuna Susila.

IV.3 Visi dan Misi serta Motto IV.3.1 Visi

Adapun visi dari PSKW Parawasa adalah Kesejahteraan Sosial oleh dan untuk semua.

IV.3.2 Misi

Adapun misi dari PSKW Parawasa adalah:


(49)

b.Mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam penanggulangan masalah tuna susila

c.Mencegah dan mengendalikan serta mengatasi permasalahan Tuna Susila

d. Meningkatkan jaringan kerja lintas sektoral dan dunia usaha IV.3.3 Motto

Motto dari PSKW Parawasa adalah Wanita Mulia, Negara Jaya.

Panti Sosial Karya Wanita adalah Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila yang mempunyai tugas memberikan Pelayanan Rehabilitasi Sosial yang meliputi Pembinaan Mental, fisik, sosial serta Latihan keterampilan, resosialisasi, penyaluran, pembinaan lanjut bagi para Wanita Tuna Susila agar mampu untuk berperan aktif dalam kehidupan masyarakat secara normative. Dan tujuan dari Panti Sosial Karya Wanita adalah untuk memulihkan kembali harga diri, percaya diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial, berkemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya sehingga diharapkan mereka akan mampu hidup mandiri, berkemampuan melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam tatanan hidup bermasyarakat.

IV.4 Program Rehabilitasi WTS di Parawasa Berastagi, Kegiatan Harian Warga Binaan, dan Lama Pembinaan

IV.4.1 Program Rehabilitasi

Adapun program-program Pelayanannya adalah: a. Pendekatan Awal


(50)

- Identifikasi

- Motivasi

- Seleksi

b. Penerimaan

- Registrasi Penyandang Masalah (dari hasil razia ataupun yang diantar oleh keluarga)

- Penelahaan dan pengungkapan masalah (Assisment) - Penempatan klien pada program (bakat dan minat) c. Bimbingan Sosial

- Bimbingan fisik (senam aerobik dan baris berbaris), agama dan mental - Bimbingan sosial

d. Bimbingan Keterampilan

- Salon, menjahit, bordir, kerajinan tangan, pertanian dan pengembangan bunga

- Olahan pangan

e. Resosialisasi

- Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat

- Bimbingan sosial hidup bermasyarakat dan Bimbingan usaha - Penetapan dan penyaluran / pengembalian

f. Bimbingan Lanjut

- Bimbingan peningkatan hidup bermasyarakat dan peran serta dalam pembangunan

- Bantuan pengembangan kerja


(51)

IV.4.2 Kegiatan Harian PSKW Parawasa Berastagi

Adapun jadwal kegiatan harian yang dilakukan oleh Klien di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi dapat dilihat pada Tabel berikut ini

Tabel 1

Jadwal Kegiatan Harian Warga Binaan (klien) Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi

No Waktu/jam Kegiatan Penanggung jawab

1. 05.30 – 06.00 - bangun pagi

- rapikan tempat tidur - sholat

Delma Ginting

2. 06.00 – 07.45 - apel pagi

- kebersihan lingkungan - senam pagi

- Delma Ginting - Pegawai asuh - Parlin

3. 07.45 – 08.10 - sarapan pagi Delma Ginting

4. 08.10 – 08.30 - penyerahan piket

- persiapan kelas

Piket

5. 08.30 – 09.30 - bimbingan sosial

- dinamika kelompok - bimbingan motivasi - etika/prilaku

- kewirausahaan

- bimbingan hidup dalam keluarga

Piket

6. 09.30 – 12.30 - menjahit

- salon

- olahan pangan - kerajinan tangan

- Supiah Suriyati - Iriana Sembiring - Warni Ginting - Rasita Purba

7. 12.30 – 14.00 - makan siang

- sholat - ganti piket


(52)

8. 14.00 – 16.00 - Kegiatan individu Piket

9. 16.00 – 17.30 - agama

- mental/fisik

Piket

- Serka M. Harahap

10. 17.30 – 18.00 - sholat

- pergantian piket

Delma Ginting

11. 18.00 – 19.00 - makan malam

- kegiatan individu

Piket

- Delma Ginting

12. 22.00 – 05.30 - tidur malam - Delma Ginting

Sumber: Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi, 2007. IV.4.3 Lama Pembinaan

Dalam Pelayanan Rehabilitasi di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi selama 6 (enam) bulan, dengan perincian:

- 2 bulan : Pembinaan dalam bidang Bimbingan mental, bimbingan

fisik, bimbingan sosial, dan bimbingan agama

- 4 bulan : Pembinaan dalam bidang keterampilan yang meliputi: salon,

menjahit, bordir, kerajinan tangan, pertanian dan pengembangan bunga, dan olahan pangan.

Maka dalam 1 (satu) tahun anggaran 2 (dua) angkatan dengan jumlah perangkatan 60 orang, sesuai dengan anggaran yang tersedia.

Berdasarkan pengamatan dan melihat kebutuhan di tengah-tengah masyarakat program inilah yang sangat dibutuhkan apabila klien dibina selama 6 (enam) bulan di dalam Panti dan kembali ke masyarakat.


(53)

(54)

IV.6 Sarana dan Prasarana Panti

Sarana dan Prasarana yang dimiliki oleh Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa, dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 2

Sarana dan Prasarana PSKW Parawasa

No. Sarana/Prasarana Jumlah Kondisi

1. Ruang Kantor 1 unit Baik

2. Ruang Konsultasi 1 unit Baik

3. Asrama 3 unit Baik

4. Aula 1 unit Baik

5. Ruang Keterampilan 1 unit Baik

6. Ruang Makan 1 unit Baik

7. Musola 1 unit Baik

8. Rumah Dinas 3 unit Baik

9. Rumah Tugas 2 unit Baik

10. Kendaraan Dinas Roda empat 1 unit Baik

Sumber: Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi Tahun 2007

IV.7 Tenaga Pelaksana dan Pegawai (staff) Panti

Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa mempunyai 14 orang dengan klasifikasi pendidikan yang berbeda-beda, dimana salah seorang sebagai kepala panti. Mereka terdiri dari:

a. tenaga inti (organik) = 12 orang b. tenaga honor = 1 orang

c. tukang masak = 1 orang

Adapun Daftar nama Pegawai Negeri Sipil (tenaga inti) Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi, dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini:


(55)

Tabel 3

Data Jumlah PNS PSKW Parawasa Berastagi Daftar Pegawai Negeri Sipil PSKW Parawasa Berastagi

No Nama Tgl lahir NIP Jabatan Pendidikan

1. Drs. Amir

Sidabutar

19-02-1962 170019988 Ka. Seksi PLS

2. Syahdan 17-09-1954 170009313 Staf STM

3. Warni Ginting 20-11-1954 170008813 Staf SPSA

4. Rasmy Surbakti 10-06-1954 170013141 Staf SPSA

5. Irianna Sembiring 07-02-1960 170014239 Staf SMPS

6. Rumah Tengah

Sembiring

26-11-1954 170016246 Staf SPSA

7. Ganefo Ginting 02-12-1963 170016247 Staf SMA

8. Respan Ginting

Sm.Hk

02-08-1962 170020679 Staf Hukum

9. Antoni Sembiring 28-06-1960 170016117 Staf SMA

10. Rasita Purba 17-08-1971 170024753 Staf SMPS

11. Irwan Surbakti 09-09-1959 170011814 Staf SMA

12. Djonata Sembiring 18-11-1955 170011994 Staf SD

Sumber: PSKW Parawasa Berastagi

Selain itu, dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keberfungsian sosial para klien, PSKW Parawasa Berastagi melaksanakan kerjasama dengan Departemen Agama dan organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang sosial seperti:

1. Dinas Departemen Agama Kabupaten Karo

2. Beberapa Gereja GBKP yang ada di Medan maupun di Kabupaten Karo 3. Yayasan Mesjid Raya Berastagi


(56)

4. LSM Pesada “Sada Ahmo” yang bergerak dalam penanganan dan pencegahan penyakit menular HIV/AIDS.

5. KKR Kristiani Kabanjahe 6. Pengarah TKI Melidah Medan 7. IKIP Negeri Medan

Dan pada saat ini PSKW Parawasa Berastagi menjalin hubungan kerjasama dengan Pekerja Sosial Masyarakat dari Negara Kanada dan mereka memberikan pelatihan belajar bahasa inggris.

IV.8 Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab IV.8.1 Kepala Panti

Kepala Seksi PSKW Parawasa Berastagi (Drs. Amir Sidabutar), mengeluarkan tugas-tugas managerial dan teknis operasional seperti yang telah dituangkan dalam penjabaran tugas dan fungsi sesuai dengan keputusan gubernur sumatera utara nomor: 061.297.K/ Tahun 2002 yang meliputi pembinaan fisik, mental, sosial, mengubah sikap dan tingkah laku, pelatihan keterampilan dan resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi mantan wanita tuna susila agar menjadi berkemampuan aktif dalam melaksanakan norma susila dan agama di tengah-tengah masyarakat.

Tugas :

1. Melaksanakan observasi dan orientasi ke kantong-kantong lokalisasi Wanita Tuna Susila di wilayah Sumatera Utara

2. Melaksanakan identifikasi calon klien


(57)

4. Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam pembinaan mental, sosial dan keterampilan

5. Melaksanakan konsultasi, pengungkapan dan pemahaman masalah klien

6. Menyusun program-program kegiatan rehabilitasi klien

7. Melaksanakan penampungan dan pengasramaan klien

8. Mempersiapkan segala kebutuhan/keperluan para klien dengan standard yang

telah ditetapkan

9. Melaksanakan pembinaan fisik, mental dan sosial secara individu maupun kelompok

10.Melaporkan pelaksanaan kegiatan/program kepada kepala balai secara berjenjang

11.Melaksanakan pembinaan dan pembagian tugas semua staf

12.Melaksanakan bimbingan lanjut terhadap eks klien

13.Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Kepala Balai 14.Mengkoordinir tugas-tugas staf.

Fungsi :

1. Mengawasi semua pelaksanaan program-program kegiatan sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan

2. Mempertanggung-jawabkan semua pelaksanaan kegiatan program yang telah

ditetapkan kepada Kepala Balai

3. Mengevaluasi kegiatan/program yang telah dilaksanakan untuk bahan laporan kepada Kepala Balai


(58)

5. Mengawasi/merawat/memelihara semua sarana dan prasarana yang ada di PSKW Parawasa

6. Memberikan penilaian staf setiap akhir tahun anggaran. IV.8.2 Tugas dan Tanggung Jawab Para Staf

1. Warni Ginting dan Antoni

- Menangani administrasi dan dokumentasi klien

- Menerima dan melayani klien

- Memberikan bimbingan kepada klien

- Mengawasi surat masuk dan surat keluar

- Menyusun roster piket setiap bulan

- Membuat daftar hadir pegawai

- Menyusun materi latihan

- Menghubungi Instruktur/Pelatih

- Mengikuti dan melaksanakan petunjuk-petunjuk atasan

- Interview klien

2. Iriana Sembiring dan Rasita Purba

- Membuat laporan bulanan

- Membuat daftar klien per asrama

- Membuat catatan perkembangan klien

- Memberikan kebutuhan klien dalam asrama

- Membuat tugas klien di asrama

- Bertanggung jawab atas kebersihan asrama, tempat tidur dan peralatannya


(59)

- Mencatat keperluan asrama

- Interview klien

- Mengikuti dan mematuhi petunjuk-petunjuk atasan dan melaporkan

hasil pelaksanaan kepada Kepala Seksi

3. Rasmy Surbakti

- Membuat daftar nomor Registrasi klien

- Mengatasi permasalahan klien

- Mencatat dan menyimpan alat-alat keterampilan

- Mengisi buku induk

- Menyusun kelompok klien sesuai dengan keterampilan

- Interview klien

- Mengikuti dan melaksanakan petunjuk-petunjuk atasan

4. Supiah Suriaty Sembiring

- Mengkoordinir pelaksanaan bimbingan

- Melaksanakan pengungkapan latar belakang

- Mencatat perkembangan klien

- Melaporkan hasil pekerjaan kepada atasan secara berjenjang

- Interview klien

5. Rumah Tengah Sembiring

- Mengawasi keamanan dalam asrama dan Panti

- Mengkoordinir kebersihan kantor, asrama, dapur, ruang data, ruang sholat dan halaman

- Interview klien


(60)

6. Ganepo Ginting

- Mengamprah Gaji Pegawai sesuai dengan petunjuk Kepala Balai

- Melaksanakan wawancara dengan klien

- Membuat laporan hasil wawancara

- Memberikan bimbingan kelompok kepada klien

- Mengikuti dan melaksanakan tugas-tugas yang diberikan atasan

7. Irwan Surbakti

- Koordinasi dengan aparat keamanan

- Melaksanakan identifikasi klien

- Pengisian file, interview dan wawancara kepada klien

- Menginventarisasi kelompok umur, pendidikan agama dan suku/ras

8. Djonata Sembiring dan Delma Ginting

- Melaksanakan koordinasi dengan masyarakat setempat

- Melayani wartawan sebelum dihadapkan ke atasan

- Interview klien

- Mengawasi klien didalam dan diluar asrama

- Membantu melaksanakan kebersihan dalam panti

9. Situmorang

- Jaga malam


(61)

BAB V ANALISIS DATA

Dalam bagian ini akan dikemukakan analisis tentang pokok pembahasan dalam penelitian yaitu efektivitas pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi. Adapun data-data yang diperoleh peneliti adalah melalui penyebaran kuesioner kepada wanita binaan yang menjadi responden dalam penelitian ini. Selain itu, untuk melengkapi data yang dibutuhkan, peneliti juga melakukan wawancara dengan Kepala Panti. Untuk lebih jelasnya, analisis data akan dimulai dengan uraian identitas responden yang dilanjutkan dengan data-data mengenai Efektivitas Program Pelayanan PSKW Parawasa, Efektivitas dalam bidang Sarana Prasarana, serta Kesejahteraan dan Kemandirian Wanita Binaan. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dari data yang telah terkumpul, dapat dilihat pada tabel-tabel distribusi frekuensi yang disajikan berikut ini.

V.1. Identitas Responden

Tabel 4

Distribusi Responden Berdasarkan Usia

No. Kelompok Usia Frekuensi %

1 17 – 24 tahun 16 64

2 29 – 32 tahun 5 20

3 33 – tahun keatas 4 16

Jumlah 25 100


(62)

Berdasarkan data pada tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang menjadi sampel dalam penelitian berusia 17-24 tahun yaitu sebanyak 16 responden (64 %). Kemudian diikuti oleh responden yang berusia 25-32 tahun yaitu sebanyak 5 responden (20 %), sedangkan responden yang berusia 33 tahun keatas sebanyak 4 responden (16 %). Data tersebut menunjukkan bahwa hampir keseluruhan responden adalah usia produktif/dewasa.

Pada usia produktif/dewasa tersebut mereka tidak mempunyai keterampilan dan pekerjaan yang tetap. Oleh karena itulah ketika suami mereka meninggal atau menceraikan mereka, akibatnya mereka memikul beban biaya rumah tangga sendirian. Dengan keadaan seperti itu mereka memilih jalan pintas yaitu berprofesi sebagai wanita tuna susila (WTS), karena profesi ini dianggap tidak memerlukan keterampilan/skill, tidak memerlukan intelegensi tinggi, mudah dikerjakan dan langsung mendapatkan hasilnya. Sedangkan responden yang tergolong non produktif mengatakan bahwa profesi tersebut sudah dilakukannya belasan tahun, sehingga ia sudah merasakan senangnya memiliki uang dan barang-barang mewah. Keadaan demikian membuat ia sulit meninggalkan profesi tersebut, karena jika pekerjaan tersebut dihentikannya maka dirinya akan mengalami kemiskinan, kelaparan dan penderitaan.

Lalu, data mengenai agama responden yang menjadi sampel peneliti melalui kuesioner yang terdiri dari lima (5) klasifikasi. Adapun klasifikasi agama tersebut adalah Agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Khatolik, Budha dan Hindu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Tabel 5 berikut.


(63)

Tabel 5

Distribusi Responden Berdasarkan Agama

No. Agama Frekuensi %

1 Islam 18 72

2 Kristen Protestan 7 28

3 Kristen Khatolik 0 0

4 Budha 0 0

5 Hindu 0 0

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini beragama islam yaitu sebanyak 18 responden atau 72 %, dan ada 7 responden atau 28 % memeluk agama Kristen Protestan. Memang menurut data yang diperoleh dari Kantor Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa, klien dominan memeluk Agama Islam. Walaupun adanya perbedaan agama, mereka tetap menjalin sikap saling menghargai. Misalnya, menghargai umat muslim yang mengadakan sholat dan juga menghargai umat kristiani yang mengadakan ibadah setiap minggu.

Data mengenai suku bangsa responden yang menjadi sampel peneliti melalui kuesioner, dapat dilihat dari Tabel 6 berikut ini.


(64)

Tabel 6

Distribusi Responden Berdasarkan Suku

No. Suku Frekuensi %

1 Batak Toba 7 28

2 Batak Karo 2 8

3 Batak Mandailing 4 16

4 Aceh 3 12

5 Padang 1 4

6 Jawa 6 24

7 Melayu 2 8

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Data pada tabel 6 menunjukkan bahwa responden terdiri atas beraneka ragam suku bangsa yang menjalani rehabilitasi di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi. Dari tabel juga dapat dilihat bahwa responden lebih banyak berasal dari suku batak toba dengan jumlah 7 orang (28 %), diikuti suku jawa sebanyak 6 orang (24 %), suku Batak Mandailing sebanyak 4 orang (16 %), suku Aceh sebanyak 3 orang (12 %), suku melayu sebanyak 2 orang (8 %), suku Batak Karo sebanyak 2 orang (8 %), dan suku Padang sebanyak 1 orang (4 %).

Selanjutnya, pada Tabel 7 dibawah ini telah disajikan data responden yang menjadi sampel peneliti mengenai latar belakang pendidikannya. Untuk mengetahui frekuensi dan presentasenya dapat dilihat pada tabel berikut.


(65)

Tabel 7

Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

No. Pendidikan Frekuensi %

1 Tidak sekolah 0 0

2 SD 9 36

3 SMP 10 40

4 SMU 6 24

5 Akademi/Perguruan Tinggi 0 0

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Rendahnya tingkat pendidikan merupakan salah satu alasan mengapa seorang wanita/gadis bisa terjerumus kedalam dunia Prostitusi (pelacuran). Mereka menjadi bodoh dan kurang wawasan sehingga gampang dibujuk/dirayu “pencari” gadis-gadis untuk pelacuran, selain itu orang susah mendapatkan pekerjaan yang baik sehingga mendorong seseorang untuk melakukan pekerjaan apa saja agar bisa bertahan hidup termasuk hal-hal yang secara langsung sangat berisiko bagi kesehatan reproduksi seperti pelacuran. Berdasarkan data pada tabel 7 dapat diketahui bahwa sebahagian besar responden berpendidikan rendah yakni sebanyak 10 responden (40 %) berpendidikan tamat SMP, diikuti oleh berpendidikan tamat SD sebanyak 9 responden (36 %), dan ada 6 responden (24 %) yang berpendidikan tamat SMU.

Responden yang mengecap pendidikan rendah mengemukakan alasannya yaitu karena keadaaan ekonomi keluarga tidak memungkinkan untuk melanjutkan


(66)

ke pendidikan yang lebih tinggi, tidak ada fasilitas untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi di daerah asal.

Kemudian data tentang distribusi status perkawinan responden yang menjadi sampel peneliti melalui kuesioner dapat dilihat pada tabel 8 berikut.

Tabel 8

Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan

No. Status Perkawinan Frekuensi %

1 Belum Kawin 12 48

2 Masih bersuami 3 12

3 Janda (mati) 3 12

4 Janda (cerai) 7 28

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 8 diatas dapat diketahui bahwa mayoritas status perkawinan responden yang menjadi sampel dalam penelitian adalah belum kawin yaitu sebanyak 12 responden (48 %), kemudian diikuti oleh status perkawinan janda (cerai) sebanyak 7 responden (28 %), dan untuk status perkawinan masih bersuami dan janda (mati), masing-masing sebanyak 3 responden (12 %).

Lalu, data mengenai Asal atau Tempat tinggal respon disajikan pada tabel 9 berikut ini.


(67)

Tabel 9

Distribusi Responden Berdasarkan Asal/Tempat Tinggal

No. Asal/tempat tinggal Frekuensi %

1 Desa 6 24

2 Pinggiran kota 4 16

3 Kota 15 60

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 9 dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang menjadi sampel dalam penelitian berasal dari kota yaitu sebanyak 15 responden (60 %). Kemudian diikuti oleh asal/tempat tinggal dari desa yakni sebanyak 6 responden (24 %) dan untuk yang berasal dari pinggiran kota ada sebanyak 4 responden (16 %).

Tabel 10

Distribusi Responden Berdasarkan Lamanya Menjadi WTS No. Lamanya menjadi WTS Frekuensi %

1 Kurang dari 1 tahun 12 48

2 1 tahun 6 24

3 2 tahun 4 16

4 3 tahun 2 8

5 Lebih dari 3 tahun 1 4

Jumlah 25 100


(68)

Berdasarkan data pada tabel 10 tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang menjadi sampel dalam penelitian sebelum masuk Panti Parawasa menjalani profesi wanita tuna susila (WTS) selama kurang dari 1 tahun yakni sebanyak 12 responden (48 %), diikuti oleh 1 tahun yaitu sebanyak 6 responden (24 %), 2 tahun sebanyak 4 responden (16 %), 3 tahun sebanyak 2 responden (8 %) dan yang lebih dari 3 tahun terdapat 1 responden (4 %).

Dan data tentang distribusi responden berdasarkan Alasan menjadi wanita tuna susila (WTS) akan disajikan pada tabel 11 berikut ini.

Tabel 11

Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Menjadi WTS No. Alasan menjadi WTS Frekuensi %

1 Keterbatasan ekonomi 8 32

2 Pergaulan bebas 17 68

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel 11 dapat diketahui bahwa sebahagian besar responden yang menjadi sampel dalam penelitian menyebutkan alasan atau faktor penyebab mereka menjadi WTS adalah akibat pergaulan bebas yakni sebanyak 17 responden (68 %) dan yang menyebutkan alasan menjadi WTS karena keterbatasan ekonomi sebanyak 8 responden (32 %).

Adapun alasan pergaulan bebas menurut responden antara lain: dikhianati oleh pacar dan akhirnya putus asa, dipengaruhi/rayuan teman, masalah narkoba, kekerasan dalam rumah tangga, gaya hidup yang berlebihan dan ingin bebas.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Djakarsih, 1987. Organisasi, Erlangga, Jakarta.

Barnard, I, Chester. 1992. Organisasi dan manajemen, Struktur, Perilaku dan Proses. Jakarta: Gramedia.

Ensiklopedia Umum. 1977. Yayasan Kanisius, Jakarta.

JP, Cambel. 1989. Riset dalam efektivitas organisasi, terjemahan Salut Simamora. Erlangga, Jakarta.

Kartono, Kartini. 1992. Patologi sosial jilid I, Rajawali Pers, Jakarta.

Muhidin, syarif. 1987. Dasar-dasar organisasi manajemen. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Nawawi, Hadari. 1998. Metode Bidang Penelitian Sosial. Gajah Mada University Press, Jakarta.

Nurdin, Fadhil. 1989. Pengantar Studi Kesejahteraan Sosial. Angkasa, Bandung.

Purnomo, Cahyo dan Ashadi. 1985. Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, Graffiti Press, Jakarta.

Simanjuntak, B. 1981. Drs. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial.

Singarimbun, M, dan Sofyan Effendi. 1993. Metodologi Penelitian Survai,

LP3ES, Jakarta.

Soedjono D. 1973. Patologi Sosial: gelandangan , prostitusi. Bandung.

Soehartono, Irawan. 2004. Metode Penelitian Sosial. PT Remang Rosdakarya, Bandung.


(2)

_________,2002. Buku Pedoman Pelayanan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila, Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Tuna Sosial, Jakarta.

_________,2005. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta.

Sumber lain :

Analisa, 27 Juli 2007 halaman: 16

http://www.damandiri.or.id/file/ettypapayunganunhasbab2b.pdf!. Diakses pada tanggal 03 September 2007

http://www.freelists.org/archives/nasional_list/05-2006/msg00181.html. http://www.freelists.org/archives/ppi/12-2004/msg00186.html.


(3)

KUESIONER (Alat Penjaring Data)

Mohon kerendahan hati anda untuk mengisi kuesioner (Angket) saya. Data ini diperlukan sebagai tambahan informasi dalam penyusunan skripsi saya yang berjudul “Efektivitas Pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi” atas jawaban saudara saya ucapkan terima kasih.

Petunjuk pengisian

1. Isi dan berikan tanda silang (x) pada salah satu jawaban yang anda anggap paling sesuai dari pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

A. Identitas Responden 1. No. Responden :

2. Usia :

3. Agama :

4. Suku Bangsa :

5. Pendidikan Terakhir :

a. tidak sekolah b. SD c. SMP d. SMU e. Akademi/perguruan tinggi 6. Status Perkawinan :

a. belum kawin b. masih bersuami c. janda (mati) d. janda (cerai) 7. Daerah Asal/tempat tinggal:

a. desa b. pinggiran kota c. kota

8. Lamanya menjadi WTS : ... 9. Alasan menjadi WTS : ...

B. Efektivitas Program Pelayanan dan Pembinaan PSKW Parawasa

10. Apakah anda mengetahui tujuan dari program pelayanan dan pembinaan seperti: program bimbingan sosial, bimbingan mental, bimbingan keterampilan yang diberikan oleh panti ini? a. tahu b. tidak tahu

11. Apakah Program pelayanan dan pembinaan tersebut memberikan manfaat bagi anda? a. bermanfaat b. kurang bermanfaat c. tidak bermanfaat

12. Menurut anda, apakah fasilitas Bimbingan Sosial, Bimbingan Mental, dan Keterampilan sudah memadai?

a. sudah memadai b. cukup memadai c. kurang memadai (sebutkan) ...

13. Menurut pandangan anda, apakah proses Bimbingan Sosial sudah berlangsung dengan baik? a. baik b. cukup baik c. kurang baik


(4)

15. Menurut pandangan anda, apakah Bimbingan dan Latihan Keterampilan sudah berlangsung dengan baik?

a. baik b. cukup baik c. kurang baik

16. Menurut anda, apakah perlu ada penambahan jadwal materi dan kegiatan dari Bimbingan Sosial, Bimbingan Mental dan Bimbingan Keterampilan?

a. perlu (sebutkan) ... b. tidak perlu

17. Apakah anda puas dengan materi Bimbingan Sosial, Bimbingan Mental dan Bimbingan Keterampilan yang diberikan oleh panti ini?

a. puas(berikan penjelasan) ...

b. kurang puas (berikan penjelasan) ...

18. Menurut anda, apakah perlu adanya penambahan fasilitas guna menunjang bimbingan sosial, bimbingan mental dan bimbingan keterampilan?

a. tidak perlu b. perlu (sebutkan) ...

19. Bagaimanakah hubungan atau kerjasama anda dengan pembina/petugas panti di dalam panti? a. baik b. kurang baik c. tidak baik

20. Menurut anda, bagaimanakah kemampuan pembina dan petugas panti dalam menyampaikan materi dan kegiatan?

a. baik b. cukup baik c. kurang baik

21. Dari seluruh latihan keterampilan yang diberikan oleh panti, keterampilan mana yang paling anda sukai?

(sebutkan) ...

C. Efektivitas dalam bidang Sarana/prasarana dan fasilitas yang tersedia

22. Menurut anda, apakah sarana/prasarana dan fasilitas yang tersedia di panti seperti: gedung dan bangunan, kantor, ruang konsultasi, ruang makan, ruang tamu, dan lain-lain sudah memadai?

a. sudah memadai b. cukup memadai c. kurang memadai

23. Apakah tempat ibadah yang disediakan di panti ini dapat menampung seluruh Wanita binaan dalam melakukan ibadah?

a. sudah dapat menampung semua b. Belum dapat menampung 24. Kegiatan Olah raga apa yang paling anda minati?

(sebutkan) ...

25. Menurut anda, apakah fasilitas kegiatan olah raga dalam panti ini sudah memadai? a. sudah memadai b. cukup memadai


(5)

D. Kesejahteraan dan Kemandirian Wanita Binaan Sosial

26. Selama anda mengikuti bimbingan sosial dan bimbingan mental, apakah ada perubahan yang anda rasakan didalam diri anda?

a. ada b. Belum ada

27. Selama anda mengikuti bimbingan di panti ini, bimbingan apa yang paling utama yang membuat diri anda menjadi sadar untuk meninggalkan kehidupan anda sebelumnya?

a. Bimbingan sosial b. Bimbingan mental c. Bimbingan keterampilan 28. Setelah memperoleh latihan dan bimbingan keterampilan, apakah anda sudah memiliki

keterampilan yang nantinya dapat anda jadikan bekal setelah keluar dari panti? a. sudah b. belum

29. Setelah memperoleh bimbingan sosial dan bimbingan mental, apakah anda menyadari kesalahan-kesalahan yang selama ini anda lakukan?

misalnya: - tindakan dan pekerjaan tersebut meresahkan masyarakat

- tindakan dan pekerjaan tersebut menyalahi norma-norma di dalam masyarakat - tindakan dan pekerjaan tersebut bertentangan dengan kaidah-kaidah keagamaan Jelaskan: ... ... ...

Pertanyaan untuk wawancara kepada Key Informan

1. Menurut pandangan Bapak, bagaimana respon wanita binaan terhadap pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh panti ini? Apakah mereka pernah mengeluh mengenai pelayanannya? Apa-apa saja keluhannya?

2. Bagaimana Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh para pembina terhadap klien/wanita binaan? Dan metode-metode apa saja yang diterapkan dalam pendekatan tersebut?

3. Selama menjalankan program pelayanan dan pembinaan apakah panti pernah menghadapi kesulitan-kesulitan dan hambatan-hambatan?

4. Menurut Bapak, bagaimanakah kualitas kemampuan dan keahlian para staf pembina yang memberikan pembinaan dan pelayanan bagi wanita binaan? Dan bagaimana dengan jumlah staf pembina yang ada, apakah perlu penambahan?

5. Dari semua fasilitas dan sarana/ prasarana yang tersedia di panti, apakah sudah memadai ? Jika belum memadai, jelaskan di bidang apa dan fasilitas-fasilitas apa saja yang perlu adanya penambahan?

6. Keterampilan dan olah raga apa yang paling diminati oleh klien/wanita binaan? Dan apakah fasilitas dan sarana/prasaran guna menunjang kegiatan tersebut sudah terpenuhi?

7. Selama Bapak menjabat sebagai pimpinan di panti ini, sejauh mana program pelayanan ini sudah terealisasi? Apakah tujuan dari program ini sudah memenuhi target yang telah direncanakan?


(6)

Bagan 2

IV.5 Struktur Organisasi Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa

Ka. Balai UPTD Parawasa/Pejoreken

Ka Seksi TU

Ka. Seksi Pejoreken Ka. Seksi

PSKW Parawasa

Penyaluran Ka. Seksi

Bina Program

Pengasuh/ Pembinaan Penerimaan Perawatan/

Kesehatan Koordinator

Pej. Fungsional