Struktur Komunitas ForaminiferaBentik di Selat Makassar Berdasarkan Kedalaman Laut
STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA BENTIK
DI SELAT MAKASSAR
BERDASARKAN KEDALAMAN LAUT
WISNU ADITHYA
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
WISNU ADITHYA. Struktur Komunitas Foraminifera Bentik di Selat Makassar Berdasarkan
Kedalaman Laut. Dibimbing oleh R.R. DYAH PERWITASARI dan RICKY ROSITASARI.
Foraminifera bentik merupakan organisme eukariot uniselular yang hidup di permukaan
dasar laut. Foraminifera mensekresi materi cairan mineral sehingga menghasilkan test (cangkang)
berongga. Foraminifera bentik membentuk sebuah struktur komunitas yang dipengaruhi terutama
oleh kedalaman laut, sedimen dan arus laut. Struktur komunitas Foraminifera bentik di Selat
Makassar dianalisis menggunakan analisis univariabel dengan PRIMER 5.0. Hasilnya berupa:
Indeks Shannon-Wienner(H’(log2)), Pielou (J’), dan Margalef (d). Analisis manual digunakan untuk
memperoleh Kelimpahan Marga (A). Untuk hasil spesifik, dilakukan analisis berdasarkan zonasi
kedalaman laut. Foraminifera bentik yang ditemukan yaitu sebanyak 258 jenis, yang tersebar di 26
stasiun pengambilan sedimen. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum, keragaman dan
kekayaan jenis Foraminifera bentik di Selat Makassar termasuk ke dalam kategori sedang dengan
tingkat kemerataan sebesar 0,863. Marga Foraminifera bentik dominan, secara umum, berturutturut yaitu Uvigerina, Bolivina, Euuvigerina, dan Cibicides. Berdasarkan zonasi kedalaman laut,
marga Foraminifera bentik dominan yaitu Tubinella (Pesisir), Cibicides (Paparan Dalam dan
Abisal), Uvigerina (Lereng Kontinental I) dan Bolivina (Lereng Kontinental II). Secara
keseluruhan, kedua analisis, baik secara umum maupun zonasi kedalaman, menunjukkan hasil
struktur komunitas yang sama di Selat Makassar.
ABSTRACT
WISNU ADITHYA. The Structure of Benthic Foraminifera Community in Makassar Straits
Based on Sea-Depth. Supervised by R.R. DYAH PERWITASARI dan RICKY ROSITASARI.
Benthic foraminifera are unicellular eukaryote organism. They inhabitated the sea-floor
surfaces. They secreted a material to form a test (shell-like form). These benthic foraminifera
made an assemblages to form a community structure which were influenced mostly by depth,
sediment, and sea-current. The structure of benthic foraminifera community in Makassar Straits
were determined using univariable analysis of PRIMER 5.0 to gain indexes, i.e. Shannon-Wienner
(H’(log2)), Pielou (J’), and Margalef (d). Genus Abundance (A) also applied. In order to obtain
specific results, analysis based on depth zonations were used. At least 258 species of benthic
Foraminifera were found in 26 collecting station in Makassar Straits. The results revealed that, in
general, species diversity and richness of benthic foraminifera in Makassar Straits were
categorized into moderate class with evenness/ equitabilty average level at 0.863. The dominant
genus of benthic Foraminifera, generally were Uvigerina, Bolivina, Euuvigerina, and Cibicides
respectively. Based on depth zonations, the dominant genus were Tubinella (Coastal Area),
Cibicides (Inner Shelf and Abyssal), Uvigerina (Continental Slope I) and Bolivina (Continental
Slope II). Both analysis, univariable and depth zonations, revealed the same result of community
structure in Makassar Strait.
STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA BENTIK
DI SELAT MAKASSAR
BERDASARKAN KEDALAMAN LAUT
WISNU ADITHYA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul
Nama
NRP
: Struktur Komunitas Foraminifera Bentik di Selat Makassar Berdasarkan
Kedalaman Laut
: Wisnu Adithya
: G34101053
Disetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari M.Sc
NIP. 131916787
Dra. Ricky Rositasari
NIP. 320005726
Diketahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr. drh. Hasim, DEA
NIP.131578806
Tanggal Lulus
:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 12 Nopember 1983 sebagai anak kedua dari
empat bersaudara, dari pasangan Nasa Heryanto dan Yetty Haryaty.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Purwakarta dan pada tahun yang sama
penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis
memilih Departemen Biologi, Fakultas MIPA.
Tahun 2004 penulis mengikuti Praktik Lapang dengan judul Inventarisasi Tumbuhan dan
Hewan Pribumi di Pulau Pabelokan, Jakarta Utara, di Chinnese National Offshore Oil Company
Ltd.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan dan Juruselamatku, Tuhan Yesus Kristus,
atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian ini adalah Struktur Komunitas Foraminifera Bentik di Selat Makassar Berdasarkan
Kedalaman Laut.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari M.Sc. dan Ibu
Dra. Ricky Rositasari atas bimbingan, kesabaran, dan saran selama penelitian dan penulisan
skripsi. Ucapan terimakasih penulis ucapkan terutama kepada Ir. Sulistijorini, MSi. yang telah
menguji tulisan ini dengan teliti, sehingga tulisan Karya Ilmiah ini lebih sempurna lagi. Penulis
mengucapkan lebih dari kata “terima kasih” kepada papa, yang telah menjadi “sahabat” yang
bijaksana, dan terutama mama, yang penuh kasih sayang yang tidak terbalas. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada mereka yang sudah membantu, baik langsung maupun tidak
langsung, dalam penelitian dan penulisan Karya Ilmiah ini, yaitu: my best friend Cynthia L. M.
Marbun dan Khrisna Nugraha, “kakakku” Puji Rianti, “adik kecilku” Rut Normasari, serta kepada
teman-temanku yang tidak mungkin disebutkan namanya satu-persatu di sini (sebab akan
menghabiskan lebih dari satu halaman). Selanjutnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada
semua staf Departemen Biologi, Laboratorium Zoologi, IPB dan staf Laboratorium Geologi, Pusat
Penelitian Oseanografi- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) atas bantuannya. Yang
terakhir saya ucapkan terimakasih kepada mereka yang “membenci” diriku, penulis tidak bisa
menemukan kesalahan-kesalahan diri sendiri tanpa keberadaan mereka.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2008
Wisnu Adithya
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................................................
viii
PENDAHULUAN.......................................................................................................................
1
METODE ....................................................................................................................................
Bahan dan Alat .....................................................................................................................
Metode ..................................................................................................................................
Pengambilan sedimen.......................................................................................................
Perlakuan sedimen............................................................................................................
Identifikasi dan penghitungan spesimen..........................................................................
Analisis data secara umum...............................................................................................
Analisis data berdasarkan zonasi kedalaman...................................................................
2
2
2
3
3
3
3
4
HASIL .........................................................................................................................................
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut secara
umum ....................................................................................................................................
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut
berdasarkan zonasi kedalaman.............................................................................................
Foraminifera bentik dominan menurut dominansi Fatela....................................................
4
4
6
7
PEMBAHASAN .........................................................................................................................
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut secara
umum ....................................................................................................................................
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut
berdasarkan zonasi kedalaman.............................................................................................
Foraminifera bentik dominan menurut dominansi Fatela ...................................................
7
7
9
SIMPULAN.................................................................................................................................
9
SARAN........................................................................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................
10
LAMPIRAN ................................................................................................................................
12
7
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Hasil analisis secara umum .......................................................................................................... 5
2 Hasil analisis berdasarkan zonasi kedalaman.............................................................................. 6
3 Dominansi Marga (%Fatela) berdasarkan zonasi kedalaman laut .............................................. 7
4 Perbandingan pembagian zonasi penelitian................................................................................. 8
5 Perbandingan marga-marga ......................................................................................................... 8
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur Foraminifera secara umum (Albani 1979) .................................................................... 1
2 Peta area stasiun pengambilan sedimen contoh........................................................................... 2
3 Hubungan Indeks Shannon-Wiener dengan kedalaman laut secara umum ................................ 4
4 Hubungan Indeks Pielou dengan kedalaman laut secara umum ................................................. 4
5 Hubungan Indeks Margalef dengan kedalaman laut secara umum............................................. 4
6 Hubungan Kelimpahan Marga dengan kedalaman laut secara umum ....................................... 5
7 Hubungan indeks Shannon-Wiener dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi....................... 6
8 Hubungan indeks Pielou dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi........................................ 6
9 Hubungan indeks Margalef dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi ................................... 6
10 Hubungan Kelimpahan Marga dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi ............................ 6
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Posisi sebaran stasiun di Selat Makassar ..................................................................................... 13
2 Contoh spesimen dan peralatan yang digunakan dalam penelitian............................................. 14
3 Peta zonasi kedalaman laut ......................................................................................................... 15
1
PENDAHULUAN
Nama Foraminifera berasal dari istilah
Latin
foramen
rongga,
dan
ferre
menghasilkan.
Foraminifera
merupakan
organisme eukariot uniselular yang hidup di
laut. Diameter tubuhnya berkisar antara 0,1
hingga 2 mm dan hanya beberapa jenis
mempunyai ukuran yang lebih besar. Pada
umumnya, Foraminifera mensekresi materi
cairan mineral sehingga menghasilkan test
(cangkang) berongga dan menjadi fosil dalam
sedimen batuan (Albani 1979).
Kaki
semu
test
ektoplasma
apertur
endoplasma
Nukleus & mikro
nukleus
Badan golgi
mitokondria
ribosom
Gambar 1 Struktur Foraminifera secara umum
(Albani 1979).
Foraminifera termasuk ke dalam Filum
Protozoa,
Subfilum
Sarcodina,
Kelas
Granuloreticulosea, dan Ordo Foraminiferida.
Foraminifera digolongkan ke dalam Subfilum
Sarcodina karena memiliki pseudopodia dan
non-flagelata (Haq & Boersma 1978), dan
dimasukkan ke dalam Granuloreticulosea
karena mempunyai pseudopodia seperti jala
atau reticulopodia (Ruppert & Barnes 1991).
Foraminifera dibagi menjadi 2 tipe test,
yaitu (1) tipe agglutinated atau arenaceous,
memiliki ruang tunggal (dibangun dari
material sekelilingnya yang dilekatkan oleh
semen organik) dan (2) tipe calcareous
(gampingan), memiliki banyak ruang. Tipe
calcareous dibagi dua, yaitu tipe porcellanous
(porselen) dan hyalin (mirip kaca) (Lee &
Anderson 1991).
Berdasarkan cara hidup, Foraminifera
terbagi dua yaitu (1) planktonik, yang hidup
pada kolom air di kedalaman 0-200 m, (2)
bentik, yang hidup di permukaan dasar
perairan. Foraminifera bentik terbagi menjadi
organisme vagile (bergerak bebas) dan sesile
(diam). Foraminifera hidup di laut, meskipun
begitu famili Allogromidae dan Lagynidae
hidup di air tawar (Haq & Boersma 1978).
Pola sebaran Foraminifera bentik dipengaruhi terutama oleh tipe sedimen
permukaan (Lee & Anderson 1991). Pola
sebaran Foraminifera bentik dipengaruhi juga
oleh faktor fisik-kimia lainnya yaitu
kedalaman, suhu, tekanan hidrostatik, cahaya,
kekeruhan air, gerakan aktif (arus vertikal,
dan pergerakan habitat), salinitas, pH, oksigen
terlarut, unsur nutrisi dan kondisi tropik (Haq
& Boersma 1978; Lee & Anderson 1991;
Drinia et al 2004) serta substansi racun dan
interaksi biologi (Colom 1974, Murray 1991
dan Jorissen 1999 dalam Mendes et al. 2004).
Secara ekologis, Foraminifera memiliki
peranan
penting
sebagai
bioindikator
(Haunold et al. 1997 dalam Mendes et al.
2004). Menurut Hallock et al. (2003),
Foraminifera merupakan organisme indikator
ideal karena: (1) digunakan secara luas sebagai indikator lingkungan dan lingkungan
purba dalam berbagai konteks, (2) siklus
hidupnya yang relatif singkat memfasilitasi
peristiwa cekaman episodik, dibandingkan
siklus hidup koloni koral yang lama mewakili
indikator penurunan kualitas air dalam jangka
waktu lama, (3) ukurannya yang relatif kecil
dan jumlahnya melimpah, membuatnya
sebagai contoh ukuran statistik yang
signifikan, (4) mudah dikoleksi dari alam
dengan biaya murah, (5) komponen ideal dari
program pengawasan yang komprehensif, (6)
pengoleksiannya memiliki dampak minimal
terhadap sumberdaya alam.
Burone et al. (2006) menambahkan,
Foraminifera, terutama Foraminifera bentik,
dijadikan sebagai bioindikator karena mereka
sensitif terhadap cekaman lingkungan. Salah
satu kasusnya, yaitu penggunaan Foraminifera
sebagai bioindikator polutan logam di Laguna
Goro, Italia, oleh Luciani (2007)
Perairan Selat Makasar memiliki arus air
sepanjang tahun selalu dari Utara ke Selatan
(Wyrtky 1961 dalam Anonim 2004), yang disebut ARLINDO (Anonim 2004; Waworuntu
et al. 2001). Selat Makassar diamati sebagai
saluran utama aliran air menuju laut-laut di
Indonesia. Waworuntu et al. (2001) menyatakan bahwa sebagian besar faktor suhu
dan aliran air laut di Selat Makassar bukan disebabkan oleh perbedaan tekanan barotropik,
melainkan komponen baroklinik yang besar.
Lapisan air pada kedalaman 0-200 m
dipengaruhi oleh salinitas maksimum dari
Laut Subtropis Pasifik Utara, sedangkan
lapisan pada kedalaman lebih dalam dari 200
m dipengaruhi oleh salinitas minimum Laut
Intermediet Pasifik Utara (Hautala et al. 1996
dalam Waworuntu et al. 2001).
2
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi struktur komunitas Foraminifera
bentik di Selat Makassar, yang dilihat dari
sebaran, kelimpahan marga, keragaman,
kemerataan, dan kekayaan jenis. Penelitian ini
juga melihat hubungan struktur komunitas
Foraminifera bentik dengan kedalaman laut.
Waktu dan Tempat
Pengambilan sedimen dilakukan pada
tanggal 13-20 Oktober 2004 di Selat Makassar
pada area koordinat 0º 40.038’ LU sampai 5º
5.8818’ LS serta 116º 49,914‘ BT sampai 119º
47.058’ BT (Lampiran 1). Penelitian di
laboratorium dimulai sejak tanggal 1 Juni
2005 hingga 30 April 2006. Kegiatan ini
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: perlakuan
sedimen, identifikasi, dan analisis data.
Perlakuan sedimen dan analisis data dilakukan
di Laboratorium Geologi, Pusat Penelitian
Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2O LIPI). Identifikasi dilakukan
di Laboratorium Zoologi, Departemen
Biologi, FMIPA, IPB.
METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu sedimen dari Selat Makassar. Alatalat yang digunakan yaitu piston core
(Lampiran 2), penggaris, pisau palet/sendok
semen, saringan 0,125 mm, oven, counting
cell glass, mikroskop stereo, jarum, botol
contoh, timbangan digital, kuas berbagai
ukuran, serta komputer.
Metode
Secara keseluruhan terdapat 28 stasiun
(St.), namun karena hal teknis, St. 12 dan 13
tidak disertakan dalam penelitian. Oleh karena
itu, jumlah stasiun menjadi sebanyak 26
stasiun, termasuk satu stasiun harian yaitu St.
27 harian. Nama stasiun dalam penelitian ini
tidak diubah, kecuali St. 27 harian diubah
menjadi St. 28 (Gambar 2).
Pekerjaan penelitian terbagi dalam empat
tahap, yaitu pengambilan sedimen, perlakuan
sedimen, identifikasi dan penghitungan
spesimen serta analisis data.
Gambar 2 Peta area stasiun pengambilan sedimen contoh.
3
Pengambilan sedimen. Sedimen diambil
oleh Tim Ekspedisi Pusat Penelitian
Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2O-LIPI) Jakarta menggunakan
piston core (Holme & McIntyre 1984) di
Kapal Riset (KR) Baruna Jaya VII. Sedimen
kemudian disimpan di dalam pipa-pipa
penyimpanan.
Perlakuan sedimen. Sedimen dalam pipa
penyimpanan diiris melintang setebal 3 cm
dari permukaan teratas sedimen untuk
dikeringkan dalam oven, lalu ditimbang.
Setelah itu, dilakukan penyaringan basah dan
dikeringkan lagi untuk diidentifikasi. Sedimen
yang akan diidentifikasi disebut spesimen.
Identifikasi dan penghitungan spesimen.
Mikroskop stereo digunakan untuk mengidentifikasi dan menghitung spesimen.
Identifikasi dilakukan berdasarkan struktur
morfologi test, seperti bentuk, susunan dan
jumlah ruang; struktur apertur; tipe test;
struktur permukaan luar test; serta bentuk dan
struktur ruang basal (Setiawati 2005).
Identifikasi dilakukan hingga ke tingkat jenis,
namun pada beberapa individu hanya sampai
pada tingkat marga. Buku identifikasi utama
yang digunakan yaitu Barker (1960) dan
sebagai buku acuan lainnya yaitu Graham &
Militante (1959), serta Albani (1979).
Analisis data secara umum. Sebelum
analisis data dilakukan, dibuat asumsi awal
yaitu bahwa semua individu memiliki peluang
yang sama untuk terambil dalam setiap
taburan dan bobot-total taburan tiap stasiun
merupakan bagian dari bobot contoh tiap
stasiun. Oleh karena itu, sub-contoh diambil
maksimum sebanyak 5 taburan per stasiun.
Data analisis berasal dari hasil penghitungan
spesimen
Hasil analisis data berupa indeks-indeks,
yang merupakan hasil analisis univariabel
menggunakan piranti lunak Primer 5.0.
Indeks-indeks yang digunakan pada penelitian
ini yaitu Indeks Keragaman Shannon-Wienner
(H’(log2)), Kemerataan Pielou (J’), dan
Kekayaan Margalef (d) (Clarke & Warwick
2001). Data juga dianalisis secara manual
untuk mendapat Kelimpahan Marga (A).
Indeks H’(log2) digunakan untuk mengukur
keragaman hayati (Clarke & Warwick 2001;
Drinia et al. 2004; Setiawati 2005; Burone &
Pires-vanin 2006), dengan cara merangkum
komposisi dan kelimpahan jenis tiap stasiun.
Indeks ini menunjukkan nilai kelimpahan
relatif dan keragaman jenis pada tiap-tiap
stasiun (Anonim 2003). Semakin besar nilai
indeks H’(log2), maka kelimpahan relatif dan
keragaman jenis di setiap stasiun semakin
makin besar. Penggunaan H’(log2) dilakukan
menurut Mendes et al. (2004), yaitu jika
nilainya 0-2 disebut keragaman rendah, 2-4
keragaman sedang, dan lebih besar dari 4
keragaman tinggi. Berikut adalah rumus
Indeks keragaman Shannon-Wiener.
H’= -∑ pi log2 (pi)
H’
P1
= Indeks Shannon-Wienner
= Proporsi jenis ke i
Indeks J‘ digunakan untuk mengukur
meratanya kelimpahan jenis yang tersebar
dalam suatu komunitas. Nilai tersebut selalu
dalam kisaran 0 dan 1. Dalam hal ini nilai 1
adalah kemerataan sempurna, sedangkan nilai
0 menunjukkan sebaran sangat tidak merata
(Anonim 2003; Drinia et al. 2004; Setiawati
2005; Burone & Pires-vanin 2006). Berikut
merupakan definisi Indeks kemerataan Pielou.
J’ = H’ / H’max = H’ / log S
J’
H’
H’max
S
= Indeks Pielou
= Indeks Shannon-Wienner
= Nilai Kemungkinan Maksimum
Indeks Shannon-Wienner
= Jumlah total jenis
H’max dapat tercapai jika semua jenis
sama-sama melimpah, yaitu jika dan hanya
jika log S. Hal tersebut berarti semua data
kelimpahan tetap dapat dianalisis, meskipun
terdapat selang perbedaan besar diantara data
kelimpahan masing-masing jenis. Analisis
data kelimpahan tersebut dapat dilakukan
karena nilai S dimasukkan ke dalam fungsi
log, menjadi log S.
Indeks d menunjukkan nilai kekayaan
jenis dan keragaman komunitas tiap-tiap
stasiun; semakin besar nilainya, maka
kekayaan jenis dan keragaman komunitas
pada stasiun tersebut semakin besar (Anonim
2003; Drinia et al. 2004; Setiawati 2005;
Burone & Pires-vanin 2006).
d = (S-1) / Log N
d
S
N
= Indeks Margalef
= Jumlah total spesies
= Jumlah total individu
Dominasi diukur berdasarkan Fatela (1994
dalam Mendes et al. 2004), yaitu lebih dari
20% disebut dominan, umum 10-20%,
aksesoris 5-10%, langka/jarang/kebetulan 15%. Dominansi dimaksudkan untuk melihat
4
A
Ng
%W
= kelimpahan absolut Marga
(individu/gram contoh)
= jumlah individu tiap marga
= persentase jumlah bobot per
stasiun dibagi bobot kering
contoh yang kemudian
dikalikan seratus persen
0
-500
0
1
2
3
4
5
6
-1000
(m )
A = (Ng / %w ) * 100
nilai H’(log2) sebesar 3,82. Indeks H’(log2)
memiliki kecenderungan menurun seiring
dengan bertambahnya kedalaman laut
(Gambar 3).
K e d a la m a n la u t
marga dominan. Dominansi dianalisis dari
data Kelimpahan Marga.
-1500
-2000
-2500
-3000
Indeks keragaman Shannon-Wiener
Gambar 3 Hubungan Indeks Shannon-Wiener (H’)
dengan kedalaman laut secara umum.
Hasil penghitungan indeks J’, diketahui
terdapat 24 stasiun dengan nilai indeks lebih
besar dari 0,8, dan 4 stasiun dengan nilai
kurang dari 0,8 (Tabel 1). Indeks J’ memiliki
kecenderungan meningkat seiring dengan
bertambahnya kedalaman laut (Gambar 4).
0
0
K ed a la m a n la u t
(m )
Analisis data berdasarkan zonasi
kedalaman. Struktur komunitas Foraminifera
bentik di Selat Makassar dapat terlihat lebih
spesifik dengan menggunakan analisis data
berdasarkan zonasi kedalaman. Zonasi-zonasi
kedalaman
tersebut
telah
ditentukan
sebelumnya.
Pada penelitian ini, kedalaman laut dibagi
berdasarkan kontur kedalaman laut menurut
zonasi kedalaman Boersma (Haq & Boersma
1978) termodifikasi (Lampiran 3). Zonasi
kedalaman laut tersebut yaitu Pesisir (0-30 m
di bawah permukaan laut atau dpl), Paparan
Dalam (30-100 m dpl), Lereng Kontinental I
(300-1000 m dpl), Lereng Kontinental II
(1000-2000 m dpl), dan Abissal (lebih dalam
dari 2000 m dpl).
Hasil analisis data berdasarkan zonasi
yaitu berupa nilai rata-rata indeks-indeks dan
kelimpahan marga tiap-tiap stasiun yang
sudah dikelompokkan ke dalam masingmasing zonasi.
Data kedalaman laut pada tulisan ini
merupakan data sekunder dari laporan Studi
Dinamika Selat Makassar serta Interaksinya
dengan Daratan Pulau Kalimantan dan Pulau
Sulawesi (Anonim 2004). Penelitian ini
merupakan bagian dari survei yang dilakukan
oleh tim Ekspedisi Pusat Penelitian
Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2O LIPI) Jakarta dengan
menggunakan KR Baruna Jaya VIII
(Lampiran 2).
0,2
0,4
0,6
0,8
1
-500
-1000
-1500
-2000
-2500
-3000
Indeks kemerataan Pielou
Gambar 4 Hubungan Indeks Pielou (J’) dengan
kedalaman laut secara umum.
Untuk indeks d, diperoleh nilai tertinggi
sebesar 12,53 di St. 27. Nilai indeks d
terendah sebesar 1,44 di St. 15 (Tabel 1).
Indeks d memiliki kecenderungan yang sama
dengan Indeks H’(log2). Semakin bertambah
kedalaman laut maka nilai indeks d semakin
berkurang (Gambar 5).
0
0
2
4
6
8
10
12
HASIL
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta
hubungannya dengan kedalaman laut
secara umum
Empat belas stasiun memiliki indeks
H’(log2) tinggi, 10 stasiun kategori sedang, dan
2 stasiun kategori rendah (Tabel 1). Nilai
indeks H’(log2) tertinggi sebesar 5,24 di St. 27
dan terendah sebesar 1,44 di St. 24. Rata-rata
K ed alam an lau t
(m )
-500
-1000
-1500
-2000
-2500
-3000
Indeks kekayaan jenis Margalef
Gambar 5 Hubungan Indeks Margalef (d)
dengan kedalaman laut secara umum.
14
5
Tabel 1 Hasil analisis data struktur komunitas Foraminifera bentik secara umum
Stasiun
S
(∑ spesies)
N
(∑ individu)
d
J'
H'(log2)
Kelimpahan Marga
(individu/ g sedimen)
Kedalaman Laut
(m)
1
12
18
3,81
0,95
3,42
4.163
-617
2
21
70
4,71
0,95
4,18
14.526
-1737
3
14
112
2,76
0,90
3,47
31.991
-1994
4
31
218
5,57
0,90
4,51
14.113
-2161
5
8
10
3,04
0,98
2,92
315
-988
6
24
43
6,12
0,95
4,34
5.438
-1765
7
49
199
9,07
0,63
3,56
6.116
-2216
8
41
95
8,79
0,90
4,82
2.460
-1839
9
34
84
7,45
0,93
4,71
7.509
-474
10
11
15
3,70
0,95
3,28
11.719
-54
11
60
154
11,71
0,81
4,80
10.528
-461
14
25
88
5,36
0,90
4,18
7.112
-740
15
3
4
1,44
0,95
1,50
57
-2399
16
22
96
4,60
0,79
3,50
5.473
-2074
17
38
400
6,18
0,81
4,25
49.432
-83
18
37
178
6,95
0,83
4,31
3.417
-81
19
8
19
2,38
0,85
2,54
2.751
-2205
20
14
23
4,15
0,87
3,32
3.366
-2423
21
29
66
6,68
0,90
4,41
2.482
-1353
22
26
64
6,01
0,90
4,26
6.546
-2522
23
25
219
4,45
0,80
3,71
22.969
-559
24
16
651
2,32
0,36
1,44
111.359
-339
25
45
158
8,70
0,86
4,74
6.237
-71
26
15
65
3,36
0,93
3,64
5.449
-38
27
61
120
12,53
0,89
5,24
6.044
-29
28
22
85
4,73
0,95
4,24
14.662
-43
Keterangan: (1) d = Indeks Margalef, (2) J’ = Indeks Pielou, (3) H’(Log2) = Indeks Shannon-Wiener.
0
-500
K ed a la m a n la u t
(m )
Kelimpahan marga tertinggi dimiliki oleh
St. 24, yaitu sebesar 111.359 individu per
gram sedimen. Kelimpahan terendah dimiliki
oleh St. 15, yaitu sebesar 57 individu per gram
sedimen (Tabel 1). Kelimpahan Marga
memiliki kecenderungan semakin menurun
seiring bertambahnya kedalaman laut
(Gambar 6). Secara umum, di Selat Makassar
terdapat kelimpahan rata-rata sebesar 13.702
individu per gram sedimen.
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
-1000
-1500
-2000
-2500
-3000
Kelimpahan Marga (individu/ g contoh)
Gambar 6 Hubungan Kelimpahan Marga (A)
dengan kedalaman laut secara umum.
6
0
Pesisir
Zonasi kedalaman
-1
0
2
4
6
Paparan Dalam
-2
Kontinental I
-3
Kontinental II
-4
Abisal
-5
Indeks H'(log2)
Gambar 7 Hubungan indeks Shannon-Wiener
(H’) dengan kedalaman laut
berdasarkan zonasi.
Zonasi kedalalaman
0
Pesisir-1
0
0.5
1
Paparan Dalam-2
Kontinental I-3
Kontinental II-4
Abisal-5
Indeks J'
Gambar 8 Hubungan indeks Pielou (J’) dengan
kedalaman laut berdasarkan zonasi.
0
Zonasi kedalaman
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pesisir-1
Paparan Dalam
-2
Kontinental I-3
Kontinental II-4
Abisal-5
Indeks d
Gambar 9 Hubungan indeks Margalef (d) dengan
kedalaman laut berdasarkan zonasi.
0
0
Zonasi kedalaman
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta
hubungannya dengan kedalaman laut
berdasarkan zonasi kedalaman
Nilai indeks Kekayaan (d) dan Keragaman
(H’log2) jenis tertinggi ada pada zona Pesisir,
indeks Kemerataan tertinggi (J’) di zona
Lereng Kontinental II, sedangkan Kelimpahan
Marga tertinggi ada pada zona Lereng
Kontinental I (Tabel 2).
Terdapat 3 zona yang termasuk ke dalam
kategori keragaman tinggi, yaitu Pesisir,
Paparan Dalam, dan Lereng Kontinental II.
Zona Lereng Kontinental I dan Abisal
termasuk ke dalam kategori sedang.
Indeks
keragaman
Shannon-Wiener
berdasarkan zonasi memiliki kecenderungan
yang semakin menurun seiring dengan
bertambah
dalamnya kedalaman
laut.
(Gambar 7).
Indeks kemerataan Pielou berdasarkan
zonasi berada pada kisaran nilai 0,8. Pada
zona Lereng Kontinental II terdapat peningkatan nilai indeks menjadi kisaran 0,9
(Tabel 2). Indeks kemerataan Pielou berdasarkan zonasi memiliki kecenderungan
semakin menurun seiring dengan semakin
dalamnya kedalaman laut (Gambar 8).
Indeks kekayaan Margalef tertinggi
berdasarkan zonasi terletak di zonasi Pesisir,
yaitu sebesar 12,53 (Tabel 2). Indeks ini
memiliki kecenderungan yang semakin
menurun seiring dengan bertambahnya
kedalaman laut (Gambar 9).
Kelimpahan Marga tertinggi berdasarkan
zonasi terdapat di zona Lereng Kontinental I,
sebesar 23.422,14 individu per gram sedimen
(Tabel 2). Kelimpahan Marga berdasarkan
zonasi memiliki kecenderungan semakin
menurun seiring dengan semakin tingginya
kedalaman laut (Gambar 10).
10000
20000
30000
Pesisir-1
Paparan Dalam-2
Kontinental I-3
Kontinental II-4
-5
Abisal
Kelimpahan marga
Gambar 10 Hubungan Kelimpahan Marga (A)
dengan kedalaman laut berdasarkan
zonasi.
Tabel 2 Hasil analisis data struktur komunitas Foraminifera berdasarkan zonasi kedalaman
Nilai rata-rata
Zonasi
Kelimpahan Marga
(individu/ g sedimen)
Pesisir
12,53
0,88
5,24
6.044,00
Paparan Dalam
5,60
0,89
4,08
15.152,67
Lereng Kontinental I
5,45
0,82
3,60
23.422,14
Lereng Kontinental II
5,81
0,92
4,23
11.379,40
Abisal
4,75
0,84
3,31
5.488,85
Keterangan: (1) d = Indeks Margalef, (2) J’ = Indeks Pielou, (3) H’(Log2) = Indeks Shannon-Wiener
d
J'
H'(log2)
7
Tabel 3 Dominansi Marga (%Fatela) berdasarkan zonasi kedalaman laut
Zonasi
Pesisir
Paparan Dalam
Lereng Kontinental I
Lereng Kontinental II
Abisal
1
Tubinella
(19,17)
Cibicides
(15,89)
Uvigerina
(52,30)
Bolivina
(31,39)
Cibicides
(15,70)
Marga Dominan ke- (% Fatela)
2
3
4
Spiroloculina
Bolivina
Cibicides
(8,33)
(6,67)
(5,83)
Quinqueloculina
Gavelinonion
Spiroloculina
(13,13)
(11,47)
(11,27)
Euuvigerina
Neouvigerina
Rectobolivina
(16,24)
(3,50)
(2,18)
Uvigerina
Dentalina
Sphaerogypsina
(10,30)
(7,58)
(5,52)
Quinqueloculina
Uvigerina
Streblus
(7,90)
(6,81)
(4,97)
Foraminifera bentik dominan menurut
dominansi Fatela
Marga Foraminifera bentik dominan di
Selat Makassar secara umum adalah
Uvigerina (27,05%). Selanjutnya berturutturut adalah Bolivina (8,82 %), Euuvigerina
(8,00 %), dan Cibicides (7,02 %) yang
termasuk ke dalam kategori marga aksesoris.
Seratus sembilan belas marga lainnya
merupakan marga Foraminifera bentik
kategori langka/jarang/kebetulan.
Marga Foraminifera bentik dominan
berdasarkan zonasi kedalaman laut yaitu
berbeda-beda sesuai dengan zonasinya,
kecuali pada zona Paparan Dalam dan Abisal
yang memiliki 2 marga tertinggi yang sama
(Tabel 3).
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil identifikasi, ditemukan
258 jenis Foraminifera bentik yang termasuk
ke dalam 123 marga. Setelah diidentifikasi
berdasarkan Graham & Militante (1959),
umumnya, jenis Foraminifera bentik di Selat
Makassar serupa dengan kawasan Samudera
Pasifik, khususnya kawasan Filipina.
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta
hubungannya dengan kedalaman laut
secara umum
Menurut Rositasari (komunikasi pribadi
2007), keragaman Foraminifera bentik di
Selat Makassar termasuk kedalam kategori
tinggi. Namun, berdasarkan rata-rata indeks
Keragaman Shannon-Wiener (H’(log2)), diketahui bahwa keragaman jenis di Selat
Makassar termasuk kategori sedang (H’(log2) =
3,81). Meskipun demikian, nilai rata-rata
H’(log2) yang mendekati nilai 4 menunjukkan
bahwa keragaman jenis di Selat Makassar
adalah cukup tinggi.
Nilai indeks Kemerataan Pielou (J’)
menunjukkan bahwa kelimpahan jenis
5
Uvigerina
(5,00)
Bolivina
(10,79
Cibicides
(2,07)
Archaias
(4,296)
Pyrgo
(4,84)
Foraminifera bentik di Selat Makassar adalah
merata. Hal tersebut didukung dengan nilai
rata-rata indeks sebesar 0,86 yang berarti
mendekati kemerataan sempurna.
Berdasarkan grafik hubungan indeks
keragaman
Shannon-Wiener
(H’(log2)),
kemerataan Pielou (J’), dan kekayaan
Margalef (d) dengan kedalaman laut, terlihat
adanya kecenderungan nilai indeks H’(log2)
dan nilai indeks d menurun seiring dengan
bertambahnya kedalaman laut. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa jenis-jenis bentik yang
berhasil beradaptasi di laut dalam adalah
terbatas. Dengan kata lain, jenis-jenis
Foraminifera bentik yang hidup di Selat
Makassar dibatasi oleh tingkat kedalaman
laut.
Hubungan indeks J’ dengan kedalaman
laut memperlihatkan kecenderungan yang
meningkat seiring bertambahnya kedalaman
laut. Hal tersebut berarti penyebaran jenisjenis Foraminifera bentik di Selat Makassar
adalah semakin merata seiring dengan
bertambahnya kedalaman laut.
Hubungan Kelimpahan Marga dengan
kedalaman laut secara umum (Gambar 6)
memperlihatkan kecenderungan yang semakin
menurun seiring dengan semakin tinggi
kedalaman laut. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Haq & Boersma (1978), menyatakan
bahwa semakin besar kedalaman air laut,
maka jenis bentik akan semakin berkurang.
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta
hubungannya dengan kedalaman laut
berdasarkan zonasi kedalaman
Murgese & Deckker (2005); serta
Rathburn & Corliss (1994) telah melakukan
pembagian zona pada penelitian mereka.
Meskipun pembagian zona dan pendekatan
analisis pada penelitian ini berbeda dengan
yang mereka lakukan, pada dasarnya menggunakan prinsip yang sama. Kesamaannya
yaitu melihat hubungan struktur dan
kelimpahan Foraminifera dengan faktor-faktor
8
lingkungan yang mempengaruhinya berdasarkan zonasi kedalaman laut.
Perbandingan pembagian zona yang
dilakukan di Selat Makassar dengan lokasi
penelitian yang dilakukan oleh Murgese &
Deckker (2005); serta Rathburn & Corliss
(1994) dapat dilihat pada Tabel 4. Adapun
perbandingan marga-marga yang ditemukan
pada ketiga lokasi penelitian tersebut dapat
dilihat pada Tabel 5.
Beberapa marga yang disebutkan Murgese
& Deckker (2005); serta Rathburn & Corliss
(1994), seperti Oridorsalis, Epistominella, dan
Siphonina tidak ditemukan dalam penelitian
di Selat Makassar (Tabel 5). Hal ini diduga
karena perbedaan lokasi penelitian, sehingga
terjadi perbedaan faktor-faktor lingkungan
yang berpengaruh terhadap beberapa marga
Foraminifera bentik.
Hasil perhitungan beberapa indeks yang
dikaji di Selat Makassar menunjukkan
kecenderungan sama, baik pada analisis
secara umum maupun secara zonasi, kecuali
pada Indeks Kemerataan Pielou. Pada Indeks
Pielou
pada
analisis
secara
umum
memperlihatkan peningkatan seiring dengan
kedalaman laut (Gambar 4). Indeks Pielou
pada
analisis
zonasi
memperlihatkan
kecenderungan penurunan seiring ber-
tambahnya kedalaman laut (Gambar 8).
Perbedaan kecenderungan tersebut disebabkan
adanya perbedaan indeks di zona Lereng
Kontinental II (Tabel 2).
Nilai indeks Pielou berdasarkan analisis
zonasi memiliki keunikan, yaitu nilai indeks
Pielou mulai dari zona Pesisir hingga Lereng
Kontinental I berada pada kisaran 0,8.
Kemudian, pada zona Lereng Kontinental II
nilainya naik pada kisaran 0,9. Indeks Pielou
turun kembali hingga kisaran 0,8 di zona
Abisal (Tabel 2).
Indeks Pielou ditujukan untuk mengukur
meratanya kelimpahan jenis yang tersebar
dalam suatu komunitas. Berdasarkan indeks
ini, habitat ideal bagi Foraminifera bentik di
Selat Makassar yaitu area yang berada pada
zona Lereng Kontinental II. Hal ini
disebabkan oleh tingkat kemerataan yang
tinggi di zona ini.
Di sisi lain, Kelimpahan Marga tertinggi
bukan pada zona Lereng Kontinental II,
melainkan di zona Lereng Kontinental I
(Tabel 2). Hal ini juga berarti zona Lereng
Kontinental I merupakan habitat ideal bagi
Foraminifera bentik.
Tabel 4 Perbandingan pembagian zonasi penelitian
Nama peneliti
(Lokasi
penelitian)
Murgese &
Deckker
(Samudera
Hindia
sebelah Timur)
Rathburn &
Corliss
(Laut Sulu)
Zonasi di Selat Makassar
Lereng
Lereng
Kontinental I
Kontinental II
Pesisir
Paparan
Dalam
-
-
700
-
-
Core 510 m dpl
hingga
4.335
Core 1.005 dan
2.000 m dpl
Abisal
m
dpl.
Core 3.000 dan
4.000 m dpl
Tabel 5 Perbandingan marga-marga
Nama Jenis
Nummoloculina
Epistominella
Pyrgo
Oridorsalis
Cibicidoides
Murgese &
Deckker (2005)
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Rathburn &
Corliss (1994)
Ada
Ada
Penelitian di Selat Makassar
Ada, tapi tidak termasuk 5 dominan
Tidak Ada
Dominan ke-5 di Abisal
Tidak Ada
Cibicides, termasuk 5 dominan di semua
zonasi kecuali di Lereng Kontinental II
Uvigerinid
Ada
Ada
Sangat dominan di Lereng Kontinental I, ke-5
di pesisir, dan ke-3 di Abisal
Dominan ke-3 di Pesisir dan ke-1 di Lereng
Bolivina
Ada
Kontinental II
Siphonina
Ada
Tidak Ada
Gyroidinoides
Ada
Gyroidina, tidak termasuk ke dalam 5
dominan
Catatan: Uvigerinid adalah kelompok marga Foraminifera bentik yang mirip dengan Uvigerina.
9
Adanya 2 zona yang berpotensi menjadi
habitat ideal bagi Foraminifera bentik diduga
disebabkan oleh dua faktor yang berbeda.
Zona Lereng Kontinental II dapat dijadikan
habitat ideal karena ditunjukkan dengan nilai
indeks kemerataan Pielou yang tinggi. Indeks
Pielou yang tinggi tersebut diduga lebih
banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik
seperti kuat arus air, salinitas, kandungan
oksigen terlarut dan sebagainya. Pada zona
Lereng Kontinental I, diduga lebih banyak dipengaruhi oleh sumber nutrisi yang terdapat
pada sedimen, terutama sedimen yang berasal
dari Sungai Mahakam. Pada zona Lereng
Kontinental I diketahui bahwa Kelimpahan
Marganya merupakan yang tertinggi diantara
zona lainnya.
Dengan tidak adanya data sekunder
mengenai sedimen dan faktor-faktor fisik/
lingkungan, maka penulis hanya mampu
menduga penyebab keunikan nilai indeks
Kemerataan Pielou dan Kelimpahan Marga
berdasarkan zonasi tersebut di atas. Namun,
secara keseluruhan terlihat bahwa nilai indeks
Kemerataan Pielou, baik berdasarkan hasil
analisis secara umum maupun berdasarkan
zonasi kedalaman laut, berada pada kisaran
yang lebih besar dari nilai 0,8. Hal tersebut
menunjukkan bahwa tingkat kemerataan jenis
di Selat Makassar adalah tinggi.
Secara keseluruhan, kedua analisis, baik
secara umum maupun zonasi kedalaman,
menunjukkan hasil struktur komunitas yang
sama di Selat Makassar.
Foraminifera bentik dominan menurut
dominansi Fatela
Uvigerinid mendominasi seluruh area di
Selat Makassar, terdiri dari 3 marga yaitu,
Uvigerina, Euuvigerina, dan Neouvigerina.
Uvigerinid ditemukan dalam jumlah besar
hanya di stasiun 24, yaitu sebesar 106.569
individu per gram sedimen. Adapun beberapa
contoh spesimen dapat dilihat di Lampiran 2.
Barker (1960), menyatakan bahwa
uvigerinid tidak ditemukan pada laut dangkal
(0-180 m dpl). Namun, di Selat Makassar
uvigerinid juga ditemukan di laut dangkal,
yaitu di St. 17, 18, 25, dan 27. Guimerans &
Currado (1999) menemukan bahwa pola
sebaran uvigerinid dipengaruhi oleh faktor
sedimen, yaitu pada sedimen lumpur-pasiran.
Mendes et al (2004) menemukan Uvigerinid
pada jenis sedimen lumpuran pasiran
bioklastik berkerakal (ciri khas sedimentasi
sungai) di laut dangkal (sekitar -95 m).
Mendukung kedua pernyataan tersebut,
Rositasari
(2007
komunikasi
pribadi)
menyatakan bahwa uvigerinid merupakan
Foraminifera bentik oportunis, ditemukan
pada setiap tingkat kedalaman laut, bahkan
ditemukan juga pada perairan keruh dengan
tingkat oksigen rendah.
Di Selat Makassar, uvigerinid ditemukan
melimpah di laut dangkal dan diduga
bersedimen lumpur-pasiran bioklastik (area
utara dan timur laut Selat Makassar), yang
berasal dari hasil sedimentasi aktif Sungai
Sangkulirang. Uvigerinid merupakan spesimen umum di Selat Makassar yang pola
sebarannya lebih dipengaruhi tipe sedimen
daripada kedalaman laut.
Pola sebaran uvigerinid di Selat Makassar
berdasarkan analisis zonasi terlihat sangat
dominan di Lereng Kontinental I. Hal tersebut
wajar karena stasiun 24 berada pada zonasi
Lereng Kontinental I. Uvigerinid ditemukan
sebagai peringkat ke 5 paling dominan pada
zona Pesisir, peringkat ke 2 pada zona Lereng
Kontinental II, peringkat ke 3 pada zona
Abisal. Uvigerinid tidak termasuk ke dalam 5
peringkat paling dominan di zona Paparan
Dalam (Tabel 3). Hal ini membuktikan bahwa
pola sebaran uvigerinid di Selat Makassar
tidak tergantung kepada kedalaman laut. Pola
sebaran uvigerinid di Selat Makassar
merupakan salah satu keunikan struktur
komunitas Foraminifera bentik.
Secara umum, pola sebaran Foraminifera
bentik pada laut dalam disebabkan oleh
rendahnya energi air pasang dan kandungan
oksigen, serta butiran sedimen, dan lapisan air
dingin yang berhubungan dengan arus naik
(upwelling) musiman (Mendes et al. 2004).
SIMPULAN
Di Selat Makassar, Foraminifera bentik
pada contoh sedimen ditemukan sedikitnya
258 jenis yang termasuk kedalam 123 marga.
Secara umum, keragaman dan kekayaan
jenis Foraminifera bentik termasuk kategori
sedang (rata-rata nilai H’(log2) sebesar 3,82)
dengan tingkat kemerataan sebesar 0,86.
Marga Foraminifera bentik dominan
secara umum berturut-turut adalah Uvigerina,
Bolivina, Euuvigerina, dan Cibicides,
sedangkan Foraminifera bentik dominan
berdasarkan zonasi kedalaman yaitu Tubinella
(Pesisir), Cibicides (Paparan Dalam dan
Abisal), Uvigerina (Lereng Kontinental I) dan
Bolivina (Lereng Kontinental II).
Struktur komunitas Foraminifera di Selat
Makassar memperlihatkan pola sebaran yang
dipengaruhi oleh kedalaman laut.
10
Secara keseluruhan, kedua analisis, baik
secara umum maupun zonasi kedalaman,
menunjukkan hasil struktur komunitas yang
sama di Selat Makassar.
SARAN
Diperlukan
penelitian
lebih
lanjut
mengenai keunikan-keunikan komunitas
Foraminifera bentik di beberapa area sehingga
dapat diketahui penyebab keunikan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Albani DA. 1979. Recent Shallow Water
Foraminiferida from New South Wales,
AMSA Handbook No. 3. Australia:
Australian Marine Sci. Ass.
Anonim. 2003. Draft Benthic Survey Report
Anacosta River, Washington DC. Los
Angeles: Horne Engineering Services, Inc.
Anonim. 2004. Studi Dinamika Selat
Makassar serta Interaksinya dengan
Daratan Pulau Kalimantan dan Pulau
Sulawesi. Hadikusuma, Koord. Jakarta:
P2O, LIPI.
Barker RW. 1960. Taxonomic Notes, Special
Publication No. 9. Tulsa: Society of
Economic
Paleontologists
and
Mineralogists.
Burone L, Pires-vanin AMS. 2006.
Foraminiferal assemblages in Ubatuba
Bay, South-Eastern Brazilian Coast.
Scientia Marina 70: 203-217.
Burone L, Lessa G, Machado A, Figuêredo J.
2006. Benthic foraminiferal assemblages
and morphological abnormalities in the
Subaé Estuarine System, Bahia – Brazil.
Anuário do Instituto de Geociências-UFRJ.
29: 405-406.
Clarke KR, Warwick RM. 2001. Change in
Marine Communities, An Approach to
Stastical Analysis and Interpretation, 2nd
Ed. Plymouth: PRIMER-E Ltd.
Drinia H, Antonarakou A, Tsaparas N. 2004.
Diversity and abundance trends of benthic
foraminifera from the southern part of the
Iraklion Basin, Central Crete. Bulletin of
the Geological Society of Greece 36: 772781.
Guimerans PV, Currado JLC. 1999. The
recent uvigerinids (benthic foraminifera) in
the Northeastern Gulf of Cadiz. Bol. Inst.
Esp. Oceanogr. 15: 191-202.
Graham JJ, Militante PJ. 1959. Recent
Foraminifera from The Puerto Galera
Area, Northern Mindoro, Philipines.
Stanford: Stanford University Pub.
Hallock P, Lidz BH, Cockey-Burkhard EM,
KB Donnelly. 2003. Foraminifera as
bioindicators in coral reef assessment and
monitoring: the FORAM index. Env.
Monitoring & Assess. J. 81: 221-238.
[terhubung berkala].
http://www.springerlink.com/content/rg728
1310u174w28/. [26 Januari 2008].
Haq BU, Boersma A Ed. 1984. Introduction
to Marine Micropaleontology. New York:
Elsevier Biomedical.
Holme NA, McIntyre AD. 1984. Methods for
The Study of Marine Benthos, IBP
Handbook No. 16, Ed ke-2. Oxford:
Blackwell Scientific.
Lee JJ, Anderson OR. 1991. Biology of
Foraminifera. London: Academic Pr.
Luciani V. 2007. Test abnormalities in
Benthic Foraminifera and Heavy Metal
pollution at the Goro Lagoon (Italy): a
multy-year history. Geophysical Research
Abstract Vol 9. [terhubung berkala].
http://www.cosis.net/abstract/EGU2007/09
765/EGU2007-J-09765.pdf. [26 Januari
2007].
Mendes I, Gonzalez R, Dias J.M.A, Lobo F,
Martins V. 2004. Factors influencing
recent benthic foraminifera distribution on
the Guadiana Shelf (Southwestern Iberia).
J. Marine Micpal 51: 171-192.
Murgese DS, Deckker PD. 2005. The
distribution
of
deep-sea
benthic
foraminifera in core tops from the Eastern
Indian Ocean. J. Marine Micpal 56: 25-49.
[terhubung berkala].
http://www.sciencedirect.com/science?_ob
=ArticleURL&_udi=B6VCV-4GCX0C21&_user=10&_rdoc=1&_fmt=&_orig=sear
ch&_sort=d&view=c&_acct=C000050221
&_version=1&_urlVersion=0&_userid=10
&md5=9a84a1941f7fb7f68394ceb081bc9e
80. [23 Maret 2008].
Rathburn AE, Corliss BH. 1994. The ecology
of living (stained) deep-sea benthic
foraminifera from the Sulu Sea.
Aleoceanography 9: 87–150. [terhubung
berkala].
http://www.agu.org/pubs/crossref/1994/93
PA02327.shtml. [23 Maret 2008].
Rositasari R. 2002. Komunitas foraminifera di
Teluk Banten, Jawa Barat. Perairan
Indonesia: Oseanografi, Biologi, dan
Lingkungan: 47-52.
Ruppert EE, Barnes RD. 1991. Invertebrate
Zoology, 6th Ed. London: Saunders
College Pub.
11
Setiawati M. 2005. Komunitas Foraminifera
Bentik di Perairan Teluk Jakarta dan
Kepulauan Seribu Bagian Selatan (Pulau
Pari) dan Bagian Utara (Pulau Semak
Daun). [Skripsi] Jakarta: Universitas
Nasional Jakarta.
Waworuntu JM, Garzoli SL, Olson DB 2001.
Dynamics of the Makassar Straits. J. of
Marine Research 59: 313-325.
LAMPIRAN
13
Lampiran 1 Posisi sebaran stasiun di Selat Makassar
Stasiun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
17
16
15
14
21
22
23
24
25
18
19
20
13
12
10
28
26
27
Lintang, U/S
50
40
40
30
20
20
20
20
20
10
00
00
00
00
00
00
00
00
00
00
00
00
10
10
10
10
10
10
59.882’
45.124’
0.031’
0.015’
5.044’
5.014’
4.979’
5.051’
5.02’
10’
35.114’
35.023’
35.095’
35.004’
39.923’
39.967
40.009’
39.992’
40.038’
14.928’
14.978’
15.166’
10.012
9.974’
9.976
4.203’
18.973’
22.451’
Bujur Timur, T
1160
1170
1180
1180
1190
1180
1180
1170
1170
1170
1170
1180
1180
1190
1190
1190
1180
1180
1170
1170
1180
1180
1180
1180
1170
1170
1170
1160
49.911’
39.954’
19.975’
28.994’
7.984’
40.052’
15.031’
47.03’
19.962’
47.005’
47.027’
14.991’
39.941’
29.979’
47.056
27.028’
45.332’
15.029’
48.038’
47.005’
14.999’
39.969’
40.002’
14.989’
20.05’
16.777’
1.001’
55.05’
Kedalaman laut
(m)
-617
-1737
- 1994
-2161
-988
-1765
-2216
-1839
-474
-461
-83
-2074
-2399
-740
-1353
-2522
-559
-339
-17
-81
-2205
-2423
-2209
-2189
-54
-43
-38
-29
14
Lampiran 2 Contoh spesimen dan peralatan yang digunakan dalam penelitian
333 µm
333 µm
Flintina sp.
Triloculina sp.
133 µm
333 µm
333 µm
Kumpulan Uvigerinid
Streblus schroeterianus
333 µm
333 µm
333 µm
Operculina sp.
Bulimina aculeata
Uvigerina sp.
333 µm
333 µm
Amphicoryna hirsuta
Amphicoryna hirsuta
Piston core di atas dek kapal.
Globorotalia menardii
KR Baruna Jaya VIII
Pengambilan sedimen
dengan Piston core
15
Lampiran 3 Peta zonasi kedalaman laut.
Keterangan:
St. 27
Î Pesisir
Î Paparan Dalam
Î Lereng Kontinental 1
Î Lereng Kontinental 2
Î Abisal
STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA BENTIK
DI SELAT MAKASSAR
BERDASARKAN KEDALAMAN LAUT
WISNU ADITHYA
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
WISNU ADITHYA. Struktur Komunitas Foraminifera Bentik di Selat Makassar Berdasarkan
Kedalaman Laut. Dibimbing oleh R.R. DYAH PERWITASARI dan RICKY ROSITASARI.
Foraminifera bentik merupakan organisme eukariot uniselular yang hidup di permukaan
dasar laut. Foraminifera mensekresi materi cairan mineral sehingga menghasilkan test (cangkang)
berongga. Foraminifera bentik membentuk sebuah struktur komunitas yang dipengaruhi terutama
oleh kedalaman laut, sedimen dan arus laut. Struktur komunitas Foraminifera bentik di Selat
Makassar dianalisis menggunakan analisis univariabel dengan PRIMER 5.0. Hasilnya berupa:
Indeks Shannon-Wienner(H’(log2)), Pielou (J’), dan Margalef (d). Analisis manual digunakan untuk
memperoleh Kelimpahan Marga (A). Untuk hasil spesifik, dilakukan analisis berdasarkan zonasi
kedalaman laut. Foraminifera bentik yang ditemukan yaitu sebanyak 258 jenis, yang tersebar di 26
stasiun pengambilan sedimen. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum, keragaman dan
kekayaan jenis Foraminifera bentik di Selat Makassar termasuk ke dalam kategori sedang dengan
tingkat kemerataan sebesar 0,863. Marga Foraminifera bentik dominan, secara umum, berturutturut yaitu Uvigerina, Bolivina, Euuvigerina, dan Cibicides. Berdasarkan zonasi kedalaman laut,
marga Foraminifera bentik dominan yaitu Tubinella (Pesisir), Cibicides (Paparan Dalam dan
Abisal), Uvigerina (Lereng Kontinental I) dan Bolivina (Lereng Kontinental II). Secara
keseluruhan, kedua analisis, baik secara umum maupun zonasi kedalaman, menunjukkan hasil
struktur komunitas yang sama di Selat Makassar.
ABSTRACT
WISNU ADITHYA. The Structure of Benthic Foraminifera Community in Makassar Straits
Based on Sea-Depth. Supervised by R.R. DYAH PERWITASARI dan RICKY ROSITASARI.
Benthic foraminifera are unicellular eukaryote organism. They inhabitated the sea-floor
surfaces. They secreted a material to form a test (shell-like form). These benthic foraminifera
made an assemblages to form a community structure which were influenced mostly by depth,
sediment, and sea-current. The structure of benthic foraminifera community in Makassar Straits
were determined using univariable analysis of PRIMER 5.0 to gain indexes, i.e. Shannon-Wienner
(H’(log2)), Pielou (J’), and Margalef (d). Genus Abun
DI SELAT MAKASSAR
BERDASARKAN KEDALAMAN LAUT
WISNU ADITHYA
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
WISNU ADITHYA. Struktur Komunitas Foraminifera Bentik di Selat Makassar Berdasarkan
Kedalaman Laut. Dibimbing oleh R.R. DYAH PERWITASARI dan RICKY ROSITASARI.
Foraminifera bentik merupakan organisme eukariot uniselular yang hidup di permukaan
dasar laut. Foraminifera mensekresi materi cairan mineral sehingga menghasilkan test (cangkang)
berongga. Foraminifera bentik membentuk sebuah struktur komunitas yang dipengaruhi terutama
oleh kedalaman laut, sedimen dan arus laut. Struktur komunitas Foraminifera bentik di Selat
Makassar dianalisis menggunakan analisis univariabel dengan PRIMER 5.0. Hasilnya berupa:
Indeks Shannon-Wienner(H’(log2)), Pielou (J’), dan Margalef (d). Analisis manual digunakan untuk
memperoleh Kelimpahan Marga (A). Untuk hasil spesifik, dilakukan analisis berdasarkan zonasi
kedalaman laut. Foraminifera bentik yang ditemukan yaitu sebanyak 258 jenis, yang tersebar di 26
stasiun pengambilan sedimen. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum, keragaman dan
kekayaan jenis Foraminifera bentik di Selat Makassar termasuk ke dalam kategori sedang dengan
tingkat kemerataan sebesar 0,863. Marga Foraminifera bentik dominan, secara umum, berturutturut yaitu Uvigerina, Bolivina, Euuvigerina, dan Cibicides. Berdasarkan zonasi kedalaman laut,
marga Foraminifera bentik dominan yaitu Tubinella (Pesisir), Cibicides (Paparan Dalam dan
Abisal), Uvigerina (Lereng Kontinental I) dan Bolivina (Lereng Kontinental II). Secara
keseluruhan, kedua analisis, baik secara umum maupun zonasi kedalaman, menunjukkan hasil
struktur komunitas yang sama di Selat Makassar.
ABSTRACT
WISNU ADITHYA. The Structure of Benthic Foraminifera Community in Makassar Straits
Based on Sea-Depth. Supervised by R.R. DYAH PERWITASARI dan RICKY ROSITASARI.
Benthic foraminifera are unicellular eukaryote organism. They inhabitated the sea-floor
surfaces. They secreted a material to form a test (shell-like form). These benthic foraminifera
made an assemblages to form a community structure which were influenced mostly by depth,
sediment, and sea-current. The structure of benthic foraminifera community in Makassar Straits
were determined using univariable analysis of PRIMER 5.0 to gain indexes, i.e. Shannon-Wienner
(H’(log2)), Pielou (J’), and Margalef (d). Genus Abundance (A) also applied. In order to obtain
specific results, analysis based on depth zonations were used. At least 258 species of benthic
Foraminifera were found in 26 collecting station in Makassar Straits. The results revealed that, in
general, species diversity and richness of benthic foraminifera in Makassar Straits were
categorized into moderate class with evenness/ equitabilty average level at 0.863. The dominant
genus of benthic Foraminifera, generally were Uvigerina, Bolivina, Euuvigerina, and Cibicides
respectively. Based on depth zonations, the dominant genus were Tubinella (Coastal Area),
Cibicides (Inner Shelf and Abyssal), Uvigerina (Continental Slope I) and Bolivina (Continental
Slope II). Both analysis, univariable and depth zonations, revealed the same result of community
structure in Makassar Strait.
STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA BENTIK
DI SELAT MAKASSAR
BERDASARKAN KEDALAMAN LAUT
WISNU ADITHYA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul
Nama
NRP
: Struktur Komunitas Foraminifera Bentik di Selat Makassar Berdasarkan
Kedalaman Laut
: Wisnu Adithya
: G34101053
Disetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari M.Sc
NIP. 131916787
Dra. Ricky Rositasari
NIP. 320005726
Diketahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr. drh. Hasim, DEA
NIP.131578806
Tanggal Lulus
:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 12 Nopember 1983 sebagai anak kedua dari
empat bersaudara, dari pasangan Nasa Heryanto dan Yetty Haryaty.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Purwakarta dan pada tahun yang sama
penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis
memilih Departemen Biologi, Fakultas MIPA.
Tahun 2004 penulis mengikuti Praktik Lapang dengan judul Inventarisasi Tumbuhan dan
Hewan Pribumi di Pulau Pabelokan, Jakarta Utara, di Chinnese National Offshore Oil Company
Ltd.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan dan Juruselamatku, Tuhan Yesus Kristus,
atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian ini adalah Struktur Komunitas Foraminifera Bentik di Selat Makassar Berdasarkan
Kedalaman Laut.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari M.Sc. dan Ibu
Dra. Ricky Rositasari atas bimbingan, kesabaran, dan saran selama penelitian dan penulisan
skripsi. Ucapan terimakasih penulis ucapkan terutama kepada Ir. Sulistijorini, MSi. yang telah
menguji tulisan ini dengan teliti, sehingga tulisan Karya Ilmiah ini lebih sempurna lagi. Penulis
mengucapkan lebih dari kata “terima kasih” kepada papa, yang telah menjadi “sahabat” yang
bijaksana, dan terutama mama, yang penuh kasih sayang yang tidak terbalas. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada mereka yang sudah membantu, baik langsung maupun tidak
langsung, dalam penelitian dan penulisan Karya Ilmiah ini, yaitu: my best friend Cynthia L. M.
Marbun dan Khrisna Nugraha, “kakakku” Puji Rianti, “adik kecilku” Rut Normasari, serta kepada
teman-temanku yang tidak mungkin disebutkan namanya satu-persatu di sini (sebab akan
menghabiskan lebih dari satu halaman). Selanjutnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada
semua staf Departemen Biologi, Laboratorium Zoologi, IPB dan staf Laboratorium Geologi, Pusat
Penelitian Oseanografi- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) atas bantuannya. Yang
terakhir saya ucapkan terimakasih kepada mereka yang “membenci” diriku, penulis tidak bisa
menemukan kesalahan-kesalahan diri sendiri tanpa keberadaan mereka.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2008
Wisnu Adithya
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................................................
viii
PENDAHULUAN.......................................................................................................................
1
METODE ....................................................................................................................................
Bahan dan Alat .....................................................................................................................
Metode ..................................................................................................................................
Pengambilan sedimen.......................................................................................................
Perlakuan sedimen............................................................................................................
Identifikasi dan penghitungan spesimen..........................................................................
Analisis data secara umum...............................................................................................
Analisis data berdasarkan zonasi kedalaman...................................................................
2
2
2
3
3
3
3
4
HASIL .........................................................................................................................................
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut secara
umum ....................................................................................................................................
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut
berdasarkan zonasi kedalaman.............................................................................................
Foraminifera bentik dominan menurut dominansi Fatela....................................................
4
4
6
7
PEMBAHASAN .........................................................................................................................
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut secara
umum ....................................................................................................................................
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut
berdasarkan zonasi kedalaman.............................................................................................
Foraminifera bentik dominan menurut dominansi Fatela ...................................................
7
7
9
SIMPULAN.................................................................................................................................
9
SARAN........................................................................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................
10
LAMPIRAN ................................................................................................................................
12
7
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Hasil analisis secara umum .......................................................................................................... 5
2 Hasil analisis berdasarkan zonasi kedalaman.............................................................................. 6
3 Dominansi Marga (%Fatela) berdasarkan zonasi kedalaman laut .............................................. 7
4 Perbandingan pembagian zonasi penelitian................................................................................. 8
5 Perbandingan marga-marga ......................................................................................................... 8
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur Foraminifera secara umum (Albani 1979) .................................................................... 1
2 Peta area stasiun pengambilan sedimen contoh........................................................................... 2
3 Hubungan Indeks Shannon-Wiener dengan kedalaman laut secara umum ................................ 4
4 Hubungan Indeks Pielou dengan kedalaman laut secara umum ................................................. 4
5 Hubungan Indeks Margalef dengan kedalaman laut secara umum............................................. 4
6 Hubungan Kelimpahan Marga dengan kedalaman laut secara umum ....................................... 5
7 Hubungan indeks Shannon-Wiener dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi....................... 6
8 Hubungan indeks Pielou dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi........................................ 6
9 Hubungan indeks Margalef dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi ................................... 6
10 Hubungan Kelimpahan Marga dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi ............................ 6
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Posisi sebaran stasiun di Selat Makassar ..................................................................................... 13
2 Contoh spesimen dan peralatan yang digunakan dalam penelitian............................................. 14
3 Peta zonasi kedalaman laut ......................................................................................................... 15
1
PENDAHULUAN
Nama Foraminifera berasal dari istilah
Latin
foramen
rongga,
dan
ferre
menghasilkan.
Foraminifera
merupakan
organisme eukariot uniselular yang hidup di
laut. Diameter tubuhnya berkisar antara 0,1
hingga 2 mm dan hanya beberapa jenis
mempunyai ukuran yang lebih besar. Pada
umumnya, Foraminifera mensekresi materi
cairan mineral sehingga menghasilkan test
(cangkang) berongga dan menjadi fosil dalam
sedimen batuan (Albani 1979).
Kaki
semu
test
ektoplasma
apertur
endoplasma
Nukleus & mikro
nukleus
Badan golgi
mitokondria
ribosom
Gambar 1 Struktur Foraminifera secara umum
(Albani 1979).
Foraminifera termasuk ke dalam Filum
Protozoa,
Subfilum
Sarcodina,
Kelas
Granuloreticulosea, dan Ordo Foraminiferida.
Foraminifera digolongkan ke dalam Subfilum
Sarcodina karena memiliki pseudopodia dan
non-flagelata (Haq & Boersma 1978), dan
dimasukkan ke dalam Granuloreticulosea
karena mempunyai pseudopodia seperti jala
atau reticulopodia (Ruppert & Barnes 1991).
Foraminifera dibagi menjadi 2 tipe test,
yaitu (1) tipe agglutinated atau arenaceous,
memiliki ruang tunggal (dibangun dari
material sekelilingnya yang dilekatkan oleh
semen organik) dan (2) tipe calcareous
(gampingan), memiliki banyak ruang. Tipe
calcareous dibagi dua, yaitu tipe porcellanous
(porselen) dan hyalin (mirip kaca) (Lee &
Anderson 1991).
Berdasarkan cara hidup, Foraminifera
terbagi dua yaitu (1) planktonik, yang hidup
pada kolom air di kedalaman 0-200 m, (2)
bentik, yang hidup di permukaan dasar
perairan. Foraminifera bentik terbagi menjadi
organisme vagile (bergerak bebas) dan sesile
(diam). Foraminifera hidup di laut, meskipun
begitu famili Allogromidae dan Lagynidae
hidup di air tawar (Haq & Boersma 1978).
Pola sebaran Foraminifera bentik dipengaruhi terutama oleh tipe sedimen
permukaan (Lee & Anderson 1991). Pola
sebaran Foraminifera bentik dipengaruhi juga
oleh faktor fisik-kimia lainnya yaitu
kedalaman, suhu, tekanan hidrostatik, cahaya,
kekeruhan air, gerakan aktif (arus vertikal,
dan pergerakan habitat), salinitas, pH, oksigen
terlarut, unsur nutrisi dan kondisi tropik (Haq
& Boersma 1978; Lee & Anderson 1991;
Drinia et al 2004) serta substansi racun dan
interaksi biologi (Colom 1974, Murray 1991
dan Jorissen 1999 dalam Mendes et al. 2004).
Secara ekologis, Foraminifera memiliki
peranan
penting
sebagai
bioindikator
(Haunold et al. 1997 dalam Mendes et al.
2004). Menurut Hallock et al. (2003),
Foraminifera merupakan organisme indikator
ideal karena: (1) digunakan secara luas sebagai indikator lingkungan dan lingkungan
purba dalam berbagai konteks, (2) siklus
hidupnya yang relatif singkat memfasilitasi
peristiwa cekaman episodik, dibandingkan
siklus hidup koloni koral yang lama mewakili
indikator penurunan kualitas air dalam jangka
waktu lama, (3) ukurannya yang relatif kecil
dan jumlahnya melimpah, membuatnya
sebagai contoh ukuran statistik yang
signifikan, (4) mudah dikoleksi dari alam
dengan biaya murah, (5) komponen ideal dari
program pengawasan yang komprehensif, (6)
pengoleksiannya memiliki dampak minimal
terhadap sumberdaya alam.
Burone et al. (2006) menambahkan,
Foraminifera, terutama Foraminifera bentik,
dijadikan sebagai bioindikator karena mereka
sensitif terhadap cekaman lingkungan. Salah
satu kasusnya, yaitu penggunaan Foraminifera
sebagai bioindikator polutan logam di Laguna
Goro, Italia, oleh Luciani (2007)
Perairan Selat Makasar memiliki arus air
sepanjang tahun selalu dari Utara ke Selatan
(Wyrtky 1961 dalam Anonim 2004), yang disebut ARLINDO (Anonim 2004; Waworuntu
et al. 2001). Selat Makassar diamati sebagai
saluran utama aliran air menuju laut-laut di
Indonesia. Waworuntu et al. (2001) menyatakan bahwa sebagian besar faktor suhu
dan aliran air laut di Selat Makassar bukan disebabkan oleh perbedaan tekanan barotropik,
melainkan komponen baroklinik yang besar.
Lapisan air pada kedalaman 0-200 m
dipengaruhi oleh salinitas maksimum dari
Laut Subtropis Pasifik Utara, sedangkan
lapisan pada kedalaman lebih dalam dari 200
m dipengaruhi oleh salinitas minimum Laut
Intermediet Pasifik Utara (Hautala et al. 1996
dalam Waworuntu et al. 2001).
2
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi struktur komunitas Foraminifera
bentik di Selat Makassar, yang dilihat dari
sebaran, kelimpahan marga, keragaman,
kemerataan, dan kekayaan jenis. Penelitian ini
juga melihat hubungan struktur komunitas
Foraminifera bentik dengan kedalaman laut.
Waktu dan Tempat
Pengambilan sedimen dilakukan pada
tanggal 13-20 Oktober 2004 di Selat Makassar
pada area koordinat 0º 40.038’ LU sampai 5º
5.8818’ LS serta 116º 49,914‘ BT sampai 119º
47.058’ BT (Lampiran 1). Penelitian di
laboratorium dimulai sejak tanggal 1 Juni
2005 hingga 30 April 2006. Kegiatan ini
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: perlakuan
sedimen, identifikasi, dan analisis data.
Perlakuan sedimen dan analisis data dilakukan
di Laboratorium Geologi, Pusat Penelitian
Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2O LIPI). Identifikasi dilakukan
di Laboratorium Zoologi, Departemen
Biologi, FMIPA, IPB.
METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu sedimen dari Selat Makassar. Alatalat yang digunakan yaitu piston core
(Lampiran 2), penggaris, pisau palet/sendok
semen, saringan 0,125 mm, oven, counting
cell glass, mikroskop stereo, jarum, botol
contoh, timbangan digital, kuas berbagai
ukuran, serta komputer.
Metode
Secara keseluruhan terdapat 28 stasiun
(St.), namun karena hal teknis, St. 12 dan 13
tidak disertakan dalam penelitian. Oleh karena
itu, jumlah stasiun menjadi sebanyak 26
stasiun, termasuk satu stasiun harian yaitu St.
27 harian. Nama stasiun dalam penelitian ini
tidak diubah, kecuali St. 27 harian diubah
menjadi St. 28 (Gambar 2).
Pekerjaan penelitian terbagi dalam empat
tahap, yaitu pengambilan sedimen, perlakuan
sedimen, identifikasi dan penghitungan
spesimen serta analisis data.
Gambar 2 Peta area stasiun pengambilan sedimen contoh.
3
Pengambilan sedimen. Sedimen diambil
oleh Tim Ekspedisi Pusat Penelitian
Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2O-LIPI) Jakarta menggunakan
piston core (Holme & McIntyre 1984) di
Kapal Riset (KR) Baruna Jaya VII. Sedimen
kemudian disimpan di dalam pipa-pipa
penyimpanan.
Perlakuan sedimen. Sedimen dalam pipa
penyimpanan diiris melintang setebal 3 cm
dari permukaan teratas sedimen untuk
dikeringkan dalam oven, lalu ditimbang.
Setelah itu, dilakukan penyaringan basah dan
dikeringkan lagi untuk diidentifikasi. Sedimen
yang akan diidentifikasi disebut spesimen.
Identifikasi dan penghitungan spesimen.
Mikroskop stereo digunakan untuk mengidentifikasi dan menghitung spesimen.
Identifikasi dilakukan berdasarkan struktur
morfologi test, seperti bentuk, susunan dan
jumlah ruang; struktur apertur; tipe test;
struktur permukaan luar test; serta bentuk dan
struktur ruang basal (Setiawati 2005).
Identifikasi dilakukan hingga ke tingkat jenis,
namun pada beberapa individu hanya sampai
pada tingkat marga. Buku identifikasi utama
yang digunakan yaitu Barker (1960) dan
sebagai buku acuan lainnya yaitu Graham &
Militante (1959), serta Albani (1979).
Analisis data secara umum. Sebelum
analisis data dilakukan, dibuat asumsi awal
yaitu bahwa semua individu memiliki peluang
yang sama untuk terambil dalam setiap
taburan dan bobot-total taburan tiap stasiun
merupakan bagian dari bobot contoh tiap
stasiun. Oleh karena itu, sub-contoh diambil
maksimum sebanyak 5 taburan per stasiun.
Data analisis berasal dari hasil penghitungan
spesimen
Hasil analisis data berupa indeks-indeks,
yang merupakan hasil analisis univariabel
menggunakan piranti lunak Primer 5.0.
Indeks-indeks yang digunakan pada penelitian
ini yaitu Indeks Keragaman Shannon-Wienner
(H’(log2)), Kemerataan Pielou (J’), dan
Kekayaan Margalef (d) (Clarke & Warwick
2001). Data juga dianalisis secara manual
untuk mendapat Kelimpahan Marga (A).
Indeks H’(log2) digunakan untuk mengukur
keragaman hayati (Clarke & Warwick 2001;
Drinia et al. 2004; Setiawati 2005; Burone &
Pires-vanin 2006), dengan cara merangkum
komposisi dan kelimpahan jenis tiap stasiun.
Indeks ini menunjukkan nilai kelimpahan
relatif dan keragaman jenis pada tiap-tiap
stasiun (Anonim 2003). Semakin besar nilai
indeks H’(log2), maka kelimpahan relatif dan
keragaman jenis di setiap stasiun semakin
makin besar. Penggunaan H’(log2) dilakukan
menurut Mendes et al. (2004), yaitu jika
nilainya 0-2 disebut keragaman rendah, 2-4
keragaman sedang, dan lebih besar dari 4
keragaman tinggi. Berikut adalah rumus
Indeks keragaman Shannon-Wiener.
H’= -∑ pi log2 (pi)
H’
P1
= Indeks Shannon-Wienner
= Proporsi jenis ke i
Indeks J‘ digunakan untuk mengukur
meratanya kelimpahan jenis yang tersebar
dalam suatu komunitas. Nilai tersebut selalu
dalam kisaran 0 dan 1. Dalam hal ini nilai 1
adalah kemerataan sempurna, sedangkan nilai
0 menunjukkan sebaran sangat tidak merata
(Anonim 2003; Drinia et al. 2004; Setiawati
2005; Burone & Pires-vanin 2006). Berikut
merupakan definisi Indeks kemerataan Pielou.
J’ = H’ / H’max = H’ / log S
J’
H’
H’max
S
= Indeks Pielou
= Indeks Shannon-Wienner
= Nilai Kemungkinan Maksimum
Indeks Shannon-Wienner
= Jumlah total jenis
H’max dapat tercapai jika semua jenis
sama-sama melimpah, yaitu jika dan hanya
jika log S. Hal tersebut berarti semua data
kelimpahan tetap dapat dianalisis, meskipun
terdapat selang perbedaan besar diantara data
kelimpahan masing-masing jenis. Analisis
data kelimpahan tersebut dapat dilakukan
karena nilai S dimasukkan ke dalam fungsi
log, menjadi log S.
Indeks d menunjukkan nilai kekayaan
jenis dan keragaman komunitas tiap-tiap
stasiun; semakin besar nilainya, maka
kekayaan jenis dan keragaman komunitas
pada stasiun tersebut semakin besar (Anonim
2003; Drinia et al. 2004; Setiawati 2005;
Burone & Pires-vanin 2006).
d = (S-1) / Log N
d
S
N
= Indeks Margalef
= Jumlah total spesies
= Jumlah total individu
Dominasi diukur berdasarkan Fatela (1994
dalam Mendes et al. 2004), yaitu lebih dari
20% disebut dominan, umum 10-20%,
aksesoris 5-10%, langka/jarang/kebetulan 15%. Dominansi dimaksudkan untuk melihat
4
A
Ng
%W
= kelimpahan absolut Marga
(individu/gram contoh)
= jumlah individu tiap marga
= persentase jumlah bobot per
stasiun dibagi bobot kering
contoh yang kemudian
dikalikan seratus persen
0
-500
0
1
2
3
4
5
6
-1000
(m )
A = (Ng / %w ) * 100
nilai H’(log2) sebesar 3,82. Indeks H’(log2)
memiliki kecenderungan menurun seiring
dengan bertambahnya kedalaman laut
(Gambar 3).
K e d a la m a n la u t
marga dominan. Dominansi dianalisis dari
data Kelimpahan Marga.
-1500
-2000
-2500
-3000
Indeks keragaman Shannon-Wiener
Gambar 3 Hubungan Indeks Shannon-Wiener (H’)
dengan kedalaman laut secara umum.
Hasil penghitungan indeks J’, diketahui
terdapat 24 stasiun dengan nilai indeks lebih
besar dari 0,8, dan 4 stasiun dengan nilai
kurang dari 0,8 (Tabel 1). Indeks J’ memiliki
kecenderungan meningkat seiring dengan
bertambahnya kedalaman laut (Gambar 4).
0
0
K ed a la m a n la u t
(m )
Analisis data berdasarkan zonasi
kedalaman. Struktur komunitas Foraminifera
bentik di Selat Makassar dapat terlihat lebih
spesifik dengan menggunakan analisis data
berdasarkan zonasi kedalaman. Zonasi-zonasi
kedalaman
tersebut
telah
ditentukan
sebelumnya.
Pada penelitian ini, kedalaman laut dibagi
berdasarkan kontur kedalaman laut menurut
zonasi kedalaman Boersma (Haq & Boersma
1978) termodifikasi (Lampiran 3). Zonasi
kedalaman laut tersebut yaitu Pesisir (0-30 m
di bawah permukaan laut atau dpl), Paparan
Dalam (30-100 m dpl), Lereng Kontinental I
(300-1000 m dpl), Lereng Kontinental II
(1000-2000 m dpl), dan Abissal (lebih dalam
dari 2000 m dpl).
Hasil analisis data berdasarkan zonasi
yaitu berupa nilai rata-rata indeks-indeks dan
kelimpahan marga tiap-tiap stasiun yang
sudah dikelompokkan ke dalam masingmasing zonasi.
Data kedalaman laut pada tulisan ini
merupakan data sekunder dari laporan Studi
Dinamika Selat Makassar serta Interaksinya
dengan Daratan Pulau Kalimantan dan Pulau
Sulawesi (Anonim 2004). Penelitian ini
merupakan bagian dari survei yang dilakukan
oleh tim Ekspedisi Pusat Penelitian
Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2O LIPI) Jakarta dengan
menggunakan KR Baruna Jaya VIII
(Lampiran 2).
0,2
0,4
0,6
0,8
1
-500
-1000
-1500
-2000
-2500
-3000
Indeks kemerataan Pielou
Gambar 4 Hubungan Indeks Pielou (J’) dengan
kedalaman laut secara umum.
Untuk indeks d, diperoleh nilai tertinggi
sebesar 12,53 di St. 27. Nilai indeks d
terendah sebesar 1,44 di St. 15 (Tabel 1).
Indeks d memiliki kecenderungan yang sama
dengan Indeks H’(log2). Semakin bertambah
kedalaman laut maka nilai indeks d semakin
berkurang (Gambar 5).
0
0
2
4
6
8
10
12
HASIL
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta
hubungannya dengan kedalaman laut
secara umum
Empat belas stasiun memiliki indeks
H’(log2) tinggi, 10 stasiun kategori sedang, dan
2 stasiun kategori rendah (Tabel 1). Nilai
indeks H’(log2) tertinggi sebesar 5,24 di St. 27
dan terendah sebesar 1,44 di St. 24. Rata-rata
K ed alam an lau t
(m )
-500
-1000
-1500
-2000
-2500
-3000
Indeks kekayaan jenis Margalef
Gambar 5 Hubungan Indeks Margalef (d)
dengan kedalaman laut secara umum.
14
5
Tabel 1 Hasil analisis data struktur komunitas Foraminifera bentik secara umum
Stasiun
S
(∑ spesies)
N
(∑ individu)
d
J'
H'(log2)
Kelimpahan Marga
(individu/ g sedimen)
Kedalaman Laut
(m)
1
12
18
3,81
0,95
3,42
4.163
-617
2
21
70
4,71
0,95
4,18
14.526
-1737
3
14
112
2,76
0,90
3,47
31.991
-1994
4
31
218
5,57
0,90
4,51
14.113
-2161
5
8
10
3,04
0,98
2,92
315
-988
6
24
43
6,12
0,95
4,34
5.438
-1765
7
49
199
9,07
0,63
3,56
6.116
-2216
8
41
95
8,79
0,90
4,82
2.460
-1839
9
34
84
7,45
0,93
4,71
7.509
-474
10
11
15
3,70
0,95
3,28
11.719
-54
11
60
154
11,71
0,81
4,80
10.528
-461
14
25
88
5,36
0,90
4,18
7.112
-740
15
3
4
1,44
0,95
1,50
57
-2399
16
22
96
4,60
0,79
3,50
5.473
-2074
17
38
400
6,18
0,81
4,25
49.432
-83
18
37
178
6,95
0,83
4,31
3.417
-81
19
8
19
2,38
0,85
2,54
2.751
-2205
20
14
23
4,15
0,87
3,32
3.366
-2423
21
29
66
6,68
0,90
4,41
2.482
-1353
22
26
64
6,01
0,90
4,26
6.546
-2522
23
25
219
4,45
0,80
3,71
22.969
-559
24
16
651
2,32
0,36
1,44
111.359
-339
25
45
158
8,70
0,86
4,74
6.237
-71
26
15
65
3,36
0,93
3,64
5.449
-38
27
61
120
12,53
0,89
5,24
6.044
-29
28
22
85
4,73
0,95
4,24
14.662
-43
Keterangan: (1) d = Indeks Margalef, (2) J’ = Indeks Pielou, (3) H’(Log2) = Indeks Shannon-Wiener.
0
-500
K ed a la m a n la u t
(m )
Kelimpahan marga tertinggi dimiliki oleh
St. 24, yaitu sebesar 111.359 individu per
gram sedimen. Kelimpahan terendah dimiliki
oleh St. 15, yaitu sebesar 57 individu per gram
sedimen (Tabel 1). Kelimpahan Marga
memiliki kecenderungan semakin menurun
seiring bertambahnya kedalaman laut
(Gambar 6). Secara umum, di Selat Makassar
terdapat kelimpahan rata-rata sebesar 13.702
individu per gram sedimen.
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
-1000
-1500
-2000
-2500
-3000
Kelimpahan Marga (individu/ g contoh)
Gambar 6 Hubungan Kelimpahan Marga (A)
dengan kedalaman laut secara umum.
6
0
Pesisir
Zonasi kedalaman
-1
0
2
4
6
Paparan Dalam
-2
Kontinental I
-3
Kontinental II
-4
Abisal
-5
Indeks H'(log2)
Gambar 7 Hubungan indeks Shannon-Wiener
(H’) dengan kedalaman laut
berdasarkan zonasi.
Zonasi kedalalaman
0
Pesisir-1
0
0.5
1
Paparan Dalam-2
Kontinental I-3
Kontinental II-4
Abisal-5
Indeks J'
Gambar 8 Hubungan indeks Pielou (J’) dengan
kedalaman laut berdasarkan zonasi.
0
Zonasi kedalaman
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pesisir-1
Paparan Dalam
-2
Kontinental I-3
Kontinental II-4
Abisal-5
Indeks d
Gambar 9 Hubungan indeks Margalef (d) dengan
kedalaman laut berdasarkan zonasi.
0
0
Zonasi kedalaman
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta
hubungannya dengan kedalaman laut
berdasarkan zonasi kedalaman
Nilai indeks Kekayaan (d) dan Keragaman
(H’log2) jenis tertinggi ada pada zona Pesisir,
indeks Kemerataan tertinggi (J’) di zona
Lereng Kontinental II, sedangkan Kelimpahan
Marga tertinggi ada pada zona Lereng
Kontinental I (Tabel 2).
Terdapat 3 zona yang termasuk ke dalam
kategori keragaman tinggi, yaitu Pesisir,
Paparan Dalam, dan Lereng Kontinental II.
Zona Lereng Kontinental I dan Abisal
termasuk ke dalam kategori sedang.
Indeks
keragaman
Shannon-Wiener
berdasarkan zonasi memiliki kecenderungan
yang semakin menurun seiring dengan
bertambah
dalamnya kedalaman
laut.
(Gambar 7).
Indeks kemerataan Pielou berdasarkan
zonasi berada pada kisaran nilai 0,8. Pada
zona Lereng Kontinental II terdapat peningkatan nilai indeks menjadi kisaran 0,9
(Tabel 2). Indeks kemerataan Pielou berdasarkan zonasi memiliki kecenderungan
semakin menurun seiring dengan semakin
dalamnya kedalaman laut (Gambar 8).
Indeks kekayaan Margalef tertinggi
berdasarkan zonasi terletak di zonasi Pesisir,
yaitu sebesar 12,53 (Tabel 2). Indeks ini
memiliki kecenderungan yang semakin
menurun seiring dengan bertambahnya
kedalaman laut (Gambar 9).
Kelimpahan Marga tertinggi berdasarkan
zonasi terdapat di zona Lereng Kontinental I,
sebesar 23.422,14 individu per gram sedimen
(Tabel 2). Kelimpahan Marga berdasarkan
zonasi memiliki kecenderungan semakin
menurun seiring dengan semakin tingginya
kedalaman laut (Gambar 10).
10000
20000
30000
Pesisir-1
Paparan Dalam-2
Kontinental I-3
Kontinental II-4
-5
Abisal
Kelimpahan marga
Gambar 10 Hubungan Kelimpahan Marga (A)
dengan kedalaman laut berdasarkan
zonasi.
Tabel 2 Hasil analisis data struktur komunitas Foraminifera berdasarkan zonasi kedalaman
Nilai rata-rata
Zonasi
Kelimpahan Marga
(individu/ g sedimen)
Pesisir
12,53
0,88
5,24
6.044,00
Paparan Dalam
5,60
0,89
4,08
15.152,67
Lereng Kontinental I
5,45
0,82
3,60
23.422,14
Lereng Kontinental II
5,81
0,92
4,23
11.379,40
Abisal
4,75
0,84
3,31
5.488,85
Keterangan: (1) d = Indeks Margalef, (2) J’ = Indeks Pielou, (3) H’(Log2) = Indeks Shannon-Wiener
d
J'
H'(log2)
7
Tabel 3 Dominansi Marga (%Fatela) berdasarkan zonasi kedalaman laut
Zonasi
Pesisir
Paparan Dalam
Lereng Kontinental I
Lereng Kontinental II
Abisal
1
Tubinella
(19,17)
Cibicides
(15,89)
Uvigerina
(52,30)
Bolivina
(31,39)
Cibicides
(15,70)
Marga Dominan ke- (% Fatela)
2
3
4
Spiroloculina
Bolivina
Cibicides
(8,33)
(6,67)
(5,83)
Quinqueloculina
Gavelinonion
Spiroloculina
(13,13)
(11,47)
(11,27)
Euuvigerina
Neouvigerina
Rectobolivina
(16,24)
(3,50)
(2,18)
Uvigerina
Dentalina
Sphaerogypsina
(10,30)
(7,58)
(5,52)
Quinqueloculina
Uvigerina
Streblus
(7,90)
(6,81)
(4,97)
Foraminifera bentik dominan menurut
dominansi Fatela
Marga Foraminifera bentik dominan di
Selat Makassar secara umum adalah
Uvigerina (27,05%). Selanjutnya berturutturut adalah Bolivina (8,82 %), Euuvigerina
(8,00 %), dan Cibicides (7,02 %) yang
termasuk ke dalam kategori marga aksesoris.
Seratus sembilan belas marga lainnya
merupakan marga Foraminifera bentik
kategori langka/jarang/kebetulan.
Marga Foraminifera bentik dominan
berdasarkan zonasi kedalaman laut yaitu
berbeda-beda sesuai dengan zonasinya,
kecuali pada zona Paparan Dalam dan Abisal
yang memiliki 2 marga tertinggi yang sama
(Tabel 3).
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil identifikasi, ditemukan
258 jenis Foraminifera bentik yang termasuk
ke dalam 123 marga. Setelah diidentifikasi
berdasarkan Graham & Militante (1959),
umumnya, jenis Foraminifera bentik di Selat
Makassar serupa dengan kawasan Samudera
Pasifik, khususnya kawasan Filipina.
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta
hubungannya dengan kedalaman laut
secara umum
Menurut Rositasari (komunikasi pribadi
2007), keragaman Foraminifera bentik di
Selat Makassar termasuk kedalam kategori
tinggi. Namun, berdasarkan rata-rata indeks
Keragaman Shannon-Wiener (H’(log2)), diketahui bahwa keragaman jenis di Selat
Makassar termasuk kategori sedang (H’(log2) =
3,81). Meskipun demikian, nilai rata-rata
H’(log2) yang mendekati nilai 4 menunjukkan
bahwa keragaman jenis di Selat Makassar
adalah cukup tinggi.
Nilai indeks Kemerataan Pielou (J’)
menunjukkan bahwa kelimpahan jenis
5
Uvigerina
(5,00)
Bolivina
(10,79
Cibicides
(2,07)
Archaias
(4,296)
Pyrgo
(4,84)
Foraminifera bentik di Selat Makassar adalah
merata. Hal tersebut didukung dengan nilai
rata-rata indeks sebesar 0,86 yang berarti
mendekati kemerataan sempurna.
Berdasarkan grafik hubungan indeks
keragaman
Shannon-Wiener
(H’(log2)),
kemerataan Pielou (J’), dan kekayaan
Margalef (d) dengan kedalaman laut, terlihat
adanya kecenderungan nilai indeks H’(log2)
dan nilai indeks d menurun seiring dengan
bertambahnya kedalaman laut. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa jenis-jenis bentik yang
berhasil beradaptasi di laut dalam adalah
terbatas. Dengan kata lain, jenis-jenis
Foraminifera bentik yang hidup di Selat
Makassar dibatasi oleh tingkat kedalaman
laut.
Hubungan indeks J’ dengan kedalaman
laut memperlihatkan kecenderungan yang
meningkat seiring bertambahnya kedalaman
laut. Hal tersebut berarti penyebaran jenisjenis Foraminifera bentik di Selat Makassar
adalah semakin merata seiring dengan
bertambahnya kedalaman laut.
Hubungan Kelimpahan Marga dengan
kedalaman laut secara umum (Gambar 6)
memperlihatkan kecenderungan yang semakin
menurun seiring dengan semakin tinggi
kedalaman laut. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Haq & Boersma (1978), menyatakan
bahwa semakin besar kedalaman air laut,
maka jenis bentik akan semakin berkurang.
Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta
hubungannya dengan kedalaman laut
berdasarkan zonasi kedalaman
Murgese & Deckker (2005); serta
Rathburn & Corliss (1994) telah melakukan
pembagian zona pada penelitian mereka.
Meskipun pembagian zona dan pendekatan
analisis pada penelitian ini berbeda dengan
yang mereka lakukan, pada dasarnya menggunakan prinsip yang sama. Kesamaannya
yaitu melihat hubungan struktur dan
kelimpahan Foraminifera dengan faktor-faktor
8
lingkungan yang mempengaruhinya berdasarkan zonasi kedalaman laut.
Perbandingan pembagian zona yang
dilakukan di Selat Makassar dengan lokasi
penelitian yang dilakukan oleh Murgese &
Deckker (2005); serta Rathburn & Corliss
(1994) dapat dilihat pada Tabel 4. Adapun
perbandingan marga-marga yang ditemukan
pada ketiga lokasi penelitian tersebut dapat
dilihat pada Tabel 5.
Beberapa marga yang disebutkan Murgese
& Deckker (2005); serta Rathburn & Corliss
(1994), seperti Oridorsalis, Epistominella, dan
Siphonina tidak ditemukan dalam penelitian
di Selat Makassar (Tabel 5). Hal ini diduga
karena perbedaan lokasi penelitian, sehingga
terjadi perbedaan faktor-faktor lingkungan
yang berpengaruh terhadap beberapa marga
Foraminifera bentik.
Hasil perhitungan beberapa indeks yang
dikaji di Selat Makassar menunjukkan
kecenderungan sama, baik pada analisis
secara umum maupun secara zonasi, kecuali
pada Indeks Kemerataan Pielou. Pada Indeks
Pielou
pada
analisis
secara
umum
memperlihatkan peningkatan seiring dengan
kedalaman laut (Gambar 4). Indeks Pielou
pada
analisis
zonasi
memperlihatkan
kecenderungan penurunan seiring ber-
tambahnya kedalaman laut (Gambar 8).
Perbedaan kecenderungan tersebut disebabkan
adanya perbedaan indeks di zona Lereng
Kontinental II (Tabel 2).
Nilai indeks Pielou berdasarkan analisis
zonasi memiliki keunikan, yaitu nilai indeks
Pielou mulai dari zona Pesisir hingga Lereng
Kontinental I berada pada kisaran 0,8.
Kemudian, pada zona Lereng Kontinental II
nilainya naik pada kisaran 0,9. Indeks Pielou
turun kembali hingga kisaran 0,8 di zona
Abisal (Tabel 2).
Indeks Pielou ditujukan untuk mengukur
meratanya kelimpahan jenis yang tersebar
dalam suatu komunitas. Berdasarkan indeks
ini, habitat ideal bagi Foraminifera bentik di
Selat Makassar yaitu area yang berada pada
zona Lereng Kontinental II. Hal ini
disebabkan oleh tingkat kemerataan yang
tinggi di zona ini.
Di sisi lain, Kelimpahan Marga tertinggi
bukan pada zona Lereng Kontinental II,
melainkan di zona Lereng Kontinental I
(Tabel 2). Hal ini juga berarti zona Lereng
Kontinental I merupakan habitat ideal bagi
Foraminifera bentik.
Tabel 4 Perbandingan pembagian zonasi penelitian
Nama peneliti
(Lokasi
penelitian)
Murgese &
Deckker
(Samudera
Hindia
sebelah Timur)
Rathburn &
Corliss
(Laut Sulu)
Zonasi di Selat Makassar
Lereng
Lereng
Kontinental I
Kontinental II
Pesisir
Paparan
Dalam
-
-
700
-
-
Core 510 m dpl
hingga
4.335
Core 1.005 dan
2.000 m dpl
Abisal
m
dpl.
Core 3.000 dan
4.000 m dpl
Tabel 5 Perbandingan marga-marga
Nama Jenis
Nummoloculina
Epistominella
Pyrgo
Oridorsalis
Cibicidoides
Murgese &
Deckker (2005)
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Rathburn &
Corliss (1994)
Ada
Ada
Penelitian di Selat Makassar
Ada, tapi tidak termasuk 5 dominan
Tidak Ada
Dominan ke-5 di Abisal
Tidak Ada
Cibicides, termasuk 5 dominan di semua
zonasi kecuali di Lereng Kontinental II
Uvigerinid
Ada
Ada
Sangat dominan di Lereng Kontinental I, ke-5
di pesisir, dan ke-3 di Abisal
Dominan ke-3 di Pesisir dan ke-1 di Lereng
Bolivina
Ada
Kontinental II
Siphonina
Ada
Tidak Ada
Gyroidinoides
Ada
Gyroidina, tidak termasuk ke dalam 5
dominan
Catatan: Uvigerinid adalah kelompok marga Foraminifera bentik yang mirip dengan Uvigerina.
9
Adanya 2 zona yang berpotensi menjadi
habitat ideal bagi Foraminifera bentik diduga
disebabkan oleh dua faktor yang berbeda.
Zona Lereng Kontinental II dapat dijadikan
habitat ideal karena ditunjukkan dengan nilai
indeks kemerataan Pielou yang tinggi. Indeks
Pielou yang tinggi tersebut diduga lebih
banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik
seperti kuat arus air, salinitas, kandungan
oksigen terlarut dan sebagainya. Pada zona
Lereng Kontinental I, diduga lebih banyak dipengaruhi oleh sumber nutrisi yang terdapat
pada sedimen, terutama sedimen yang berasal
dari Sungai Mahakam. Pada zona Lereng
Kontinental I diketahui bahwa Kelimpahan
Marganya merupakan yang tertinggi diantara
zona lainnya.
Dengan tidak adanya data sekunder
mengenai sedimen dan faktor-faktor fisik/
lingkungan, maka penulis hanya mampu
menduga penyebab keunikan nilai indeks
Kemerataan Pielou dan Kelimpahan Marga
berdasarkan zonasi tersebut di atas. Namun,
secara keseluruhan terlihat bahwa nilai indeks
Kemerataan Pielou, baik berdasarkan hasil
analisis secara umum maupun berdasarkan
zonasi kedalaman laut, berada pada kisaran
yang lebih besar dari nilai 0,8. Hal tersebut
menunjukkan bahwa tingkat kemerataan jenis
di Selat Makassar adalah tinggi.
Secara keseluruhan, kedua analisis, baik
secara umum maupun zonasi kedalaman,
menunjukkan hasil struktur komunitas yang
sama di Selat Makassar.
Foraminifera bentik dominan menurut
dominansi Fatela
Uvigerinid mendominasi seluruh area di
Selat Makassar, terdiri dari 3 marga yaitu,
Uvigerina, Euuvigerina, dan Neouvigerina.
Uvigerinid ditemukan dalam jumlah besar
hanya di stasiun 24, yaitu sebesar 106.569
individu per gram sedimen. Adapun beberapa
contoh spesimen dapat dilihat di Lampiran 2.
Barker (1960), menyatakan bahwa
uvigerinid tidak ditemukan pada laut dangkal
(0-180 m dpl). Namun, di Selat Makassar
uvigerinid juga ditemukan di laut dangkal,
yaitu di St. 17, 18, 25, dan 27. Guimerans &
Currado (1999) menemukan bahwa pola
sebaran uvigerinid dipengaruhi oleh faktor
sedimen, yaitu pada sedimen lumpur-pasiran.
Mendes et al (2004) menemukan Uvigerinid
pada jenis sedimen lumpuran pasiran
bioklastik berkerakal (ciri khas sedimentasi
sungai) di laut dangkal (sekitar -95 m).
Mendukung kedua pernyataan tersebut,
Rositasari
(2007
komunikasi
pribadi)
menyatakan bahwa uvigerinid merupakan
Foraminifera bentik oportunis, ditemukan
pada setiap tingkat kedalaman laut, bahkan
ditemukan juga pada perairan keruh dengan
tingkat oksigen rendah.
Di Selat Makassar, uvigerinid ditemukan
melimpah di laut dangkal dan diduga
bersedimen lumpur-pasiran bioklastik (area
utara dan timur laut Selat Makassar), yang
berasal dari hasil sedimentasi aktif Sungai
Sangkulirang. Uvigerinid merupakan spesimen umum di Selat Makassar yang pola
sebarannya lebih dipengaruhi tipe sedimen
daripada kedalaman laut.
Pola sebaran uvigerinid di Selat Makassar
berdasarkan analisis zonasi terlihat sangat
dominan di Lereng Kontinental I. Hal tersebut
wajar karena stasiun 24 berada pada zonasi
Lereng Kontinental I. Uvigerinid ditemukan
sebagai peringkat ke 5 paling dominan pada
zona Pesisir, peringkat ke 2 pada zona Lereng
Kontinental II, peringkat ke 3 pada zona
Abisal. Uvigerinid tidak termasuk ke dalam 5
peringkat paling dominan di zona Paparan
Dalam (Tabel 3). Hal ini membuktikan bahwa
pola sebaran uvigerinid di Selat Makassar
tidak tergantung kepada kedalaman laut. Pola
sebaran uvigerinid di Selat Makassar
merupakan salah satu keunikan struktur
komunitas Foraminifera bentik.
Secara umum, pola sebaran Foraminifera
bentik pada laut dalam disebabkan oleh
rendahnya energi air pasang dan kandungan
oksigen, serta butiran sedimen, dan lapisan air
dingin yang berhubungan dengan arus naik
(upwelling) musiman (Mendes et al. 2004).
SIMPULAN
Di Selat Makassar, Foraminifera bentik
pada contoh sedimen ditemukan sedikitnya
258 jenis yang termasuk kedalam 123 marga.
Secara umum, keragaman dan kekayaan
jenis Foraminifera bentik termasuk kategori
sedang (rata-rata nilai H’(log2) sebesar 3,82)
dengan tingkat kemerataan sebesar 0,86.
Marga Foraminifera bentik dominan
secara umum berturut-turut adalah Uvigerina,
Bolivina, Euuvigerina, dan Cibicides,
sedangkan Foraminifera bentik dominan
berdasarkan zonasi kedalaman yaitu Tubinella
(Pesisir), Cibicides (Paparan Dalam dan
Abisal), Uvigerina (Lereng Kontinental I) dan
Bolivina (Lereng Kontinental II).
Struktur komunitas Foraminifera di Selat
Makassar memperlihatkan pola sebaran yang
dipengaruhi oleh kedalaman laut.
10
Secara keseluruhan, kedua analisis, baik
secara umum maupun zonasi kedalaman,
menunjukkan hasil struktur komunitas yang
sama di Selat Makassar.
SARAN
Diperlukan
penelitian
lebih
lanjut
mengenai keunikan-keunikan komunitas
Foraminifera bentik di beberapa area sehingga
dapat diketahui penyebab keunikan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Albani DA. 1979. Recent Shallow Water
Foraminiferida from New South Wales,
AMSA Handbook No. 3. Australia:
Australian Marine Sci. Ass.
Anonim. 2003. Draft Benthic Survey Report
Anacosta River, Washington DC. Los
Angeles: Horne Engineering Services, Inc.
Anonim. 2004. Studi Dinamika Selat
Makassar serta Interaksinya dengan
Daratan Pulau Kalimantan dan Pulau
Sulawesi. Hadikusuma, Koord. Jakarta:
P2O, LIPI.
Barker RW. 1960. Taxonomic Notes, Special
Publication No. 9. Tulsa: Society of
Economic
Paleontologists
and
Mineralogists.
Burone L, Pires-vanin AMS. 2006.
Foraminiferal assemblages in Ubatuba
Bay, South-Eastern Brazilian Coast.
Scientia Marina 70: 203-217.
Burone L, Lessa G, Machado A, Figuêredo J.
2006. Benthic foraminiferal assemblages
and morphological abnormalities in the
Subaé Estuarine System, Bahia – Brazil.
Anuário do Instituto de Geociências-UFRJ.
29: 405-406.
Clarke KR, Warwick RM. 2001. Change in
Marine Communities, An Approach to
Stastical Analysis and Interpretation, 2nd
Ed. Plymouth: PRIMER-E Ltd.
Drinia H, Antonarakou A, Tsaparas N. 2004.
Diversity and abundance trends of benthic
foraminifera from the southern part of the
Iraklion Basin, Central Crete. Bulletin of
the Geological Society of Greece 36: 772781.
Guimerans PV, Currado JLC. 1999. The
recent uvigerinids (benthic foraminifera) in
the Northeastern Gulf of Cadiz. Bol. Inst.
Esp. Oceanogr. 15: 191-202.
Graham JJ, Militante PJ. 1959. Recent
Foraminifera from The Puerto Galera
Area, Northern Mindoro, Philipines.
Stanford: Stanford University Pub.
Hallock P, Lidz BH, Cockey-Burkhard EM,
KB Donnelly. 2003. Foraminifera as
bioindicators in coral reef assessment and
monitoring: the FORAM index. Env.
Monitoring & Assess. J. 81: 221-238.
[terhubung berkala].
http://www.springerlink.com/content/rg728
1310u174w28/. [26 Januari 2008].
Haq BU, Boersma A Ed. 1984. Introduction
to Marine Micropaleontology. New York:
Elsevier Biomedical.
Holme NA, McIntyre AD. 1984. Methods for
The Study of Marine Benthos, IBP
Handbook No. 16, Ed ke-2. Oxford:
Blackwell Scientific.
Lee JJ, Anderson OR. 1991. Biology of
Foraminifera. London: Academic Pr.
Luciani V. 2007. Test abnormalities in
Benthic Foraminifera and Heavy Metal
pollution at the Goro Lagoon (Italy): a
multy-year history. Geophysical Research
Abstract Vol 9. [terhubung berkala].
http://www.cosis.net/abstract/EGU2007/09
765/EGU2007-J-09765.pdf. [26 Januari
2007].
Mendes I, Gonzalez R, Dias J.M.A, Lobo F,
Martins V. 2004. Factors influencing
recent benthic foraminifera distribution on
the Guadiana Shelf (Southwestern Iberia).
J. Marine Micpal 51: 171-192.
Murgese DS, Deckker PD. 2005. The
distribution
of
deep-sea
benthic
foraminifera in core tops from the Eastern
Indian Ocean. J. Marine Micpal 56: 25-49.
[terhubung berkala].
http://www.sciencedirect.com/science?_ob
=ArticleURL&_udi=B6VCV-4GCX0C21&_user=10&_rdoc=1&_fmt=&_orig=sear
ch&_sort=d&view=c&_acct=C000050221
&_version=1&_urlVersion=0&_userid=10
&md5=9a84a1941f7fb7f68394ceb081bc9e
80. [23 Maret 2008].
Rathburn AE, Corliss BH. 1994. The ecology
of living (stained) deep-sea benthic
foraminifera from the Sulu Sea.
Aleoceanography 9: 87–150. [terhubung
berkala].
http://www.agu.org/pubs/crossref/1994/93
PA02327.shtml. [23 Maret 2008].
Rositasari R. 2002. Komunitas foraminifera di
Teluk Banten, Jawa Barat. Perairan
Indonesia: Oseanografi, Biologi, dan
Lingkungan: 47-52.
Ruppert EE, Barnes RD. 1991. Invertebrate
Zoology, 6th Ed. London: Saunders
College Pub.
11
Setiawati M. 2005. Komunitas Foraminifera
Bentik di Perairan Teluk Jakarta dan
Kepulauan Seribu Bagian Selatan (Pulau
Pari) dan Bagian Utara (Pulau Semak
Daun). [Skripsi] Jakarta: Universitas
Nasional Jakarta.
Waworuntu JM, Garzoli SL, Olson DB 2001.
Dynamics of the Makassar Straits. J. of
Marine Research 59: 313-325.
LAMPIRAN
13
Lampiran 1 Posisi sebaran stasiun di Selat Makassar
Stasiun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
17
16
15
14
21
22
23
24
25
18
19
20
13
12
10
28
26
27
Lintang, U/S
50
40
40
30
20
20
20
20
20
10
00
00
00
00
00
00
00
00
00
00
00
00
10
10
10
10
10
10
59.882’
45.124’
0.031’
0.015’
5.044’
5.014’
4.979’
5.051’
5.02’
10’
35.114’
35.023’
35.095’
35.004’
39.923’
39.967
40.009’
39.992’
40.038’
14.928’
14.978’
15.166’
10.012
9.974’
9.976
4.203’
18.973’
22.451’
Bujur Timur, T
1160
1170
1180
1180
1190
1180
1180
1170
1170
1170
1170
1180
1180
1190
1190
1190
1180
1180
1170
1170
1180
1180
1180
1180
1170
1170
1170
1160
49.911’
39.954’
19.975’
28.994’
7.984’
40.052’
15.031’
47.03’
19.962’
47.005’
47.027’
14.991’
39.941’
29.979’
47.056
27.028’
45.332’
15.029’
48.038’
47.005’
14.999’
39.969’
40.002’
14.989’
20.05’
16.777’
1.001’
55.05’
Kedalaman laut
(m)
-617
-1737
- 1994
-2161
-988
-1765
-2216
-1839
-474
-461
-83
-2074
-2399
-740
-1353
-2522
-559
-339
-17
-81
-2205
-2423
-2209
-2189
-54
-43
-38
-29
14
Lampiran 2 Contoh spesimen dan peralatan yang digunakan dalam penelitian
333 µm
333 µm
Flintina sp.
Triloculina sp.
133 µm
333 µm
333 µm
Kumpulan Uvigerinid
Streblus schroeterianus
333 µm
333 µm
333 µm
Operculina sp.
Bulimina aculeata
Uvigerina sp.
333 µm
333 µm
Amphicoryna hirsuta
Amphicoryna hirsuta
Piston core di atas dek kapal.
Globorotalia menardii
KR Baruna Jaya VIII
Pengambilan sedimen
dengan Piston core
15
Lampiran 3 Peta zonasi kedalaman laut.
Keterangan:
St. 27
Î Pesisir
Î Paparan Dalam
Î Lereng Kontinental 1
Î Lereng Kontinental 2
Î Abisal
STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA BENTIK
DI SELAT MAKASSAR
BERDASARKAN KEDALAMAN LAUT
WISNU ADITHYA
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
WISNU ADITHYA. Struktur Komunitas Foraminifera Bentik di Selat Makassar Berdasarkan
Kedalaman Laut. Dibimbing oleh R.R. DYAH PERWITASARI dan RICKY ROSITASARI.
Foraminifera bentik merupakan organisme eukariot uniselular yang hidup di permukaan
dasar laut. Foraminifera mensekresi materi cairan mineral sehingga menghasilkan test (cangkang)
berongga. Foraminifera bentik membentuk sebuah struktur komunitas yang dipengaruhi terutama
oleh kedalaman laut, sedimen dan arus laut. Struktur komunitas Foraminifera bentik di Selat
Makassar dianalisis menggunakan analisis univariabel dengan PRIMER 5.0. Hasilnya berupa:
Indeks Shannon-Wienner(H’(log2)), Pielou (J’), dan Margalef (d). Analisis manual digunakan untuk
memperoleh Kelimpahan Marga (A). Untuk hasil spesifik, dilakukan analisis berdasarkan zonasi
kedalaman laut. Foraminifera bentik yang ditemukan yaitu sebanyak 258 jenis, yang tersebar di 26
stasiun pengambilan sedimen. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum, keragaman dan
kekayaan jenis Foraminifera bentik di Selat Makassar termasuk ke dalam kategori sedang dengan
tingkat kemerataan sebesar 0,863. Marga Foraminifera bentik dominan, secara umum, berturutturut yaitu Uvigerina, Bolivina, Euuvigerina, dan Cibicides. Berdasarkan zonasi kedalaman laut,
marga Foraminifera bentik dominan yaitu Tubinella (Pesisir), Cibicides (Paparan Dalam dan
Abisal), Uvigerina (Lereng Kontinental I) dan Bolivina (Lereng Kontinental II). Secara
keseluruhan, kedua analisis, baik secara umum maupun zonasi kedalaman, menunjukkan hasil
struktur komunitas yang sama di Selat Makassar.
ABSTRACT
WISNU ADITHYA. The Structure of Benthic Foraminifera Community in Makassar Straits
Based on Sea-Depth. Supervised by R.R. DYAH PERWITASARI dan RICKY ROSITASARI.
Benthic foraminifera are unicellular eukaryote organism. They inhabitated the sea-floor
surfaces. They secreted a material to form a test (shell-like form). These benthic foraminifera
made an assemblages to form a community structure which were influenced mostly by depth,
sediment, and sea-current. The structure of benthic foraminifera community in Makassar Straits
were determined using univariable analysis of PRIMER 5.0 to gain indexes, i.e. Shannon-Wienner
(H’(log2)), Pielou (J’), and Margalef (d). Genus Abun