Kualitas Telur Tetas dan Perkembangan Somite (Tulang Belakang) pada Embrio Ayam Arab dari Umur Induk yang Berbeda

RINGKASAN
Fauzia Ningsih. D14080158. 2012. Kualitas Telur Tetas dan Perkembangan
Somite (Tulang Belakang) pada Embrio Ayam Arab dari Umur Induk yang
Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Maria Ulfah, Spt., M.Sc.Agr.
Pembimbing Anggota : Prof. drh. Arief Boedioni, PhD.
Ayam Arab merupakan salah satu ayam lokal pendatang yang berkembang
pesat di Indonesia karena memiliki produktivitas yang tinggi. Telur yang dihasilkan
ada yang dimanfaatkan sebagai telur konsumsi maupun telur tetas. Kualitas telur
tetas salah satunya dipengaruhi oleh umur induk. Telur tetas yang berkualitas baik
mampu menghasilkan telur tetas berkualitas dengan viabilitas yang baik, yaitu sehat,
aktif dan baik untuk dijadikan ayam Arab penghasil telur konsumsi maupun
pedaging. Umur induk juga mempengaruhi sehubungan nutrien yang dibutuhkan
embrio selama masa inkubasi. Perkembangan somite (tulang belakang) merupakan
perkembangan awal embrio sebelum berkembang menjadi tulang belakang dan otot
skeletal. Perkembangan somite pada tiga hari pertama inkubasi merupakan salah satu
masa kritis dalam penetasan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh umur induk terhadap
kualitas telur tetas dan perkembangan somite pada embrio ayam Arab serta
mengetahui umur induk optimum yang baik untuk menghasilkan telur tetas yang

berkualitas dan perkembangan somite optimum pada tahap awal perkembangan
embrio. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2012.
Sembilan puluh sembilan butir telur tetas digunakan pada penelitian ini, sembilan
butir telur untuk pengujian kualitas telur dan sembilan puluh butir telur untuk
pengamatan kualitas fisik telur dan perkembangan somite. Rancangan Acak Lengkap
digunakan pada penelitian ini untuk mengetahui pengaruh umur induk terhadap berat
telur, indeks bentuk telur, berat kerabang, dan ketebalan kerabang. Data pengamatan
jumlah somite dan perkembangan awal embrio dianalisis secara deskriptif. Peubah
lainnya yang diamati adalah kualitas pakan induk dan suhu serta kelembaban
inkubator.
Kualitas pakan yang diberikan memenuhi standar minimal pakan ayam lokal
petelur. Umur induk memiliki pengaruh yang nyata (P0,05).
Suhu mesin tetas berada pada suhu optimum penetasan (37 °C), sedangkan
kelambaban mesin tetas umumnya lebih tinggi dari kelembaban optimum penetasan
(kisaran 59%-79%). Embrio pada induk yang berumur 54 minggu memiliki kematian
embrio tertinggi (22,22%). Keterlambatan perkembangan somite yang tertinggi
terdapat pada embrio dari induk yang berumur 42 minggu (15,38%). Induk yang
berumur 36 dan 42 minggu diduga lebih baik dalam menghasilkan telur tetas jika

i


dibandingkan dengan 54 minggu. Telur tetas dari induk yang berumur 36 minggu
memiliki perkembangan somite yang lebih baik dibandingkan dengan telur tetas dari
induk yang berumur 42 dan 54 minggu.
Kata-kata kunci: ayam Arab, umur induk, kualitas telur tetas, somite

ii

ABSTRACT
The Hatching Egg Qualities and Somite Development in
Arab Chicken Embryos on Different Hen Age
Ningsih, F., M. Ulfah and A. Boediono
Arab chicken is one of the most favorite local layer chicken developed in Indonesia
due to their high productivities. The egg qualities are highly influenced by the hen
age. Somitogenesis is an early step in chick embryo development. The data of somite
development on chick embryo is very limited, especially in Arab chicken. Therefore
this research aimed to analyze the influence of hen breeder age on formation of
somites. There were 99 eggs from 36, 42, and 54 weeks of hen age will be used in
this study. The embryo samples were harvested in 24, 33, and 48 hours after
incubation. The Complete Randomized Design was used to analyze exterior and

interior of egg qualities such as the egg weight, egg shape index, shell weight and
shell thickness. The number of somites will be analyzed descriptively. The results
show that hen age had effect significantly the egg weight and the shell thickness
(P0,05).
There were died embryos from hen age of 54 weeks (22%) and 42 weeks (15,38%).
The embryo from 42 week of hen age developed slower (15,38%) than embryo from
36 and 54 weeks.
Keywords: Arab chicken, hen age, hatching egg qualities, somite

iii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam Arab merupakan salah satu ayam lokal pendatang di Indonesia yang
mengalami perkembangan pesat sebagai ayam petelur dengan sifat produksi telur
yang tinggi mencapai 300 butir per tahun. Ayam Arab yang berkembang saat ini
merupakan ayam Arab hasil persilangan ayam lokal atau lebih dikenal dengan ayam
Arab Hibrid (Sulandari et al., 2007).
Ayam Arab ada yang menghasikan telur untuk ditetaskan ataupun yang
dikonsumsi. Ayam Arab penghasil telur tetas diharapkan mampu menghasilkan telur

tetas berkualitas dengan viabilitas yang baik, yaitu sehat, aktif dan baik untuk
dijadikan ayam Arab penghasil telur konsumsi maupun pedaging.
Umur induk memiliki peranan penting untuk menghasilkan telur tetas
berkualitas yang baik. Umur induk yang berbeda menghasilkan telur tetas dengan
kandungan nutrien yang berbeda (Peebles et al., 2001). Hal ini tentu mempengaruhi
perkembangan embrio sehubungan dengan ketersediaan nutrien untuk perkembangan
embrio lebih lanjut. Perkembangan somite atau tulang belakang merupakan
perkembangan dasar pada embrio ayam sebelum berkembang lebih lanjut menjadi
tulang belakang dan otot skeletal (Pourquie, 2004). Somite yang tidak baik
perkembangannya akan menghambat proses perkembangan embrio. Perkembangan
somite pada tiga hari inkubasi merupakan salah satu masa kritis dalam penetasan.
Semakin banyak embrio yang mati pada saat inkubasi akan menurunkan daya
tetasnya. Embrio yang berkembang dengan baik tidak hanya menetas tetapi juga
mampu menghasilkan viable chick yang baik pula. Oleh karena itu, umur induk dapat
berpengaruh pada kualitas telur, proses embriogenesis, daya tetas telur, dan
viabilitasnya.
Sampai saat ini, data mengenai kualitas telur tetas dan perkembangan awal
embrio khususnya somite ayam Arab di Indonesia masih terbatas. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kualitas telur tetas dan somite guna
melengkapi data sebelumnya. Penelitian ini diharapkan dapat membantu peternak

pembibit dalam menentukan umur induk yang optimal guna menghasilkan telur tetas
dengan perkembangan awal embrio yang baik dan viabilitas yang baik pula. Data

1

perkembangan

somite

juga

dapat

membantu

peneliti

selanjutnya

dalam


mengidentifikasi standar perkembangan awal embrio pada ayam Arab.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh

perbedaan umur induk

terhadap kualitas telur tetas dan perkembangan somite pada embrio ayam Arab.
Tujuan lain dari penelitian ini adalah mengetahui umur induk optimum untuk
menghasilkan telur tetas yang berkualitas dan perkembangan somite optimum pada
tahap awal perkembangan embrio.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Arab
Ayam Arab merupakan ayam lokal pendatang yang berasal dari Belgia,
Eropa. Ayam Arab yang merupakan keturunan Braekels bersifat gesit, aktif, dan
daya tahan tubuh kuat (Sulandari et al., 2007). Secara genetik ayam Arab merupakan
ayam petelur unggul karena memiliki kemampuan memproduksi telur yang tinggi.

Masyarakat memanfaatkan ayam ini sebagai penghasil telur, bukan daging. Ayam
Arab memiliki kulit yang kehitaman dan daging yang tipis jika dibandingkan ayam
lokal lainnya sehingga dagingnya kurang disukai oleh konsumen di Indonesia
(Sulandari et al., 2007).
Ayam Arab juga memiliki sifat mengeram yang rendah, oleh karena itu
keuntungan ini dijadikan sebagai potensi yang baik sebagai penghasil telur
(Binawati, 2008). Ayam Arab dibedakan atas dua jenis yaitu ayam Arab Silver dan
ayam Arab Golden, perbedaan ini didasarkan pada warna bulunya (Sulandari et al.,
2007).
Ayam Arab Silver
Ayam Arab Silver memiliki wana bulu putih hitam lurik dan bulu leher
berwarna putih seperti jilbab (Gambar 1). Warna bulu dari kepala hingga leher putih
keperakan dan warna bulu badan total hitam putih/lurik hitam putih. Warna hitam
juga dijumpai pada lingkar mata, kulit, shank, dan paruh. Ayam ini memiliki bobot
dewasa berkisar antara 1,4-2,3 kg pada jantan dan 0,9-1,8 pada betina. Ayam ini
merupakan ayam Arab yang banyak dikembangkan di Indonesia (Sulandari et al.,
2007).
Ayam Arab Golden
Ayam Arab Golden memiliki ciri sebagai berikut: warna bulu merah lurik
kehitaman dan bulu leher berwarna merah seperti jilbab (Gambar 2). Warna hitam

dapat dijumpai pada lingkar mata, shank, kulit, dan paruh. Bobot dewasa ayam ini
sekitar 1,4-2,1 kg pada jantan dan 1,1-1,6 kg pada betina. Ayam ini juga memiliki
keunggulan dalam produksi telur namun kurang dikembangkan di Indonesia
(Sulandari et al., 2007).

3

A

B
Gambar 1. Ayam Arab Silver Jantan (A) dan Betina (B)
Sumber: Robert (2008)

Gambar 2. Ayam Arab Golden Betina
Sumber: Association for Promotion of Belgian Poultry(2003)

Telur Tetas Ayam Arab
Karakteristik Fisik Telur Tetas
Karakteristik fisik telur merupakan parameter dalam menentukan kualitas
fisik telur. Hal-hal yang dapat diamati secara fisik, yaitu kebersihan telur, bentuk

telur, indeks telur, berat telur, kedalaman kantung udara, dan kerabang telur. Telur
yang kotor dapat dibersihkan dengan air bersih dan hangat (Williamson dan Payne,
1993). Karakteristik fisik telur yang berhubungan dengan penetasan adalah bentuk
telur dan ukuran telur (indeks telur) (Ensminger et al., 2004). Karakteristik fisik telur
tetas ditunjukkan pada Tabel 1.

4

Tabel 1. Karakteristik Fisik Telur Tetas
Standar kualitas

Karakteristik

Ayam ras

Ayam Lokal

57,5-68,8

Minimal 37a


-

76-78

7b

7a

Ovala

Ovala

Tebal kerabang (mm)

0,32-0,34c

0,35-0,39d

Suhu penyimpanan (°C)


12,5e-18f

22-25a

Berat telur (g)
Indeks telur (%)
Penyimpanan telur maksimal (hari)
Bentuk telur

Sumber: Zakaria et al. (2005), aKementrian Pertanian (2006), bWilliamson dan Payne (1993),
c
Fasenko et al. (2009), dDewi (2006), eOluyemi dan Robert (1979), fReijrink et al. (2009)

Telur yang memiliki bentuk tidak normal tidak akan menetas dengan baik
karena akan mempengaruhi perkembangan embrio di dalamnya (Ensminger et al.,
2004). Bentuk telur secara visual menurut Robert (2008) ditunjukkan pada Gambar
3.

Gambar 3. Bentuk-bentuk Telur
Sumber: Robert (2008)

Indeks telur berkaitan dengan ukuran telur. Ukuran telur sangat berkaitan
dengan daya tetas telur pada semua spesies unggas. Telur yang memiliki bentuk
terlalu besar atau kecil tidak akan menetas dengan baik (Ensminger et al., 2004).
Indeks bentuk telur menurut Romanoff dan Romanoff (1949) yaitu sebesar 79%.
Indeks telur ayam Arab berkisar antara 0,77-0,93 mm (Sodak, 2011).
Berat telur pada ayam Arab berkisar antara 42,47-45,89 gram (Sodak, 2011).
Peningkatan umur induk dapat menyebabkan berat telur meningkat (Roberts, 2010).
Berat telur yang digunakan untuk tujuan penetasan berkisar antara 50-71 gram
(Williamson dan Payne, 1993). Perbedaan dalam manajemen pemberian pakan
berpengaruh terhadap berat telur yang dihasilkan (Sodak, 2011; Iriyanti et al., 2005).
5

Berat telur ayam Arab pada umur induk 52 sampai dengan 58 minggu memiliki
perbedaan yang tidak nyata (Sodak, 2011).
Kedalaman kantung udara sangat berkaitan dengan umur penyimpanan telur
(Sodak, 2011). Penyimpanan telur tetas yang baik adalah pada suhu 12,8 °C dengan
kelembaban relatif 60%-70% (Williamson dan Payne, 1993).
Karakteristik Kimia Telur Tetas
Telur unggas mengandung nutrien yang sangat lengkap terdiri dari protein
yang seimbang, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang menunjang
perkembangan ayam di dalam kerabang selama 21 hari (Ensminger et al., 2004).
Protein pada telur memiliki keseimbangan asam amino dan nilai biologis yang
hampir sempurna. Karbohidrat merupakan sumber energi utama pada empat hari
pertama inkubasi (North dan Bell, 1990). Komponen lemak sebagian besar diperoleh
dari demobilisasi lemak tubuh dan memiliki asam lemak yang tidak jenuh. Mineral
yang terkandung pada telur seperti kalsium dan fosfor merupakan komponen utama
dalam pembentukan tulang sedangkan vitamin A dan D juga dapat dijumpai pada
telur (Oluyemi dan Robert, 1979). Komposisi kimia telur ayam Arab ditunjukkan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Telur Ayam
Komponen

Kuning

Putih

Kerabang

Campuran Kuning

Telur

Telur

Telur

dan Putih Telur1

Bahan Kering (%)

76,48

12,09

-

21,67-24,17

Kadar Abu (%)

1,95

0,60

84,26

0,75-0,92

Protein (%)

18,93

10,25

-

10,67-11,67

Lemak (%)

32,24

0,01

-

10,17-11,5

Kalsium (%)

0,43

0,27

45,89

-

Fosfor (%)

0,57

0,31

0,90

-

0,06

-

-

3526

-

-

NaCl (%)
Energi Bruto (EB) kkal/kg

3886

Sumber: Sodak (2011); 1Yuwanta (2010)

Kandungan nutrien dalam telur ditentukan oleh ransum induk dan umur induk
(Iriyanti et al., 2005; Bennet, 1992). Peningkatan umur induk akan meningkatkan

6

berat telur, berat kering, dan persentase kuning telur, sehingga persentase kerabang,
putih telur, padatan putih telur menurun (North dan Bell, 1990).
Peningkatan umur induk dapat menyebabkan mobilisasi kalsium (Ca) dan
Fosfor (P) semakin rendah karena banyaknya jumlah kerabang yang dihasilkan oleh
ayam (Sodak, 2011). Hal ini sangat mempengaruhi perkembangan embrio
selanjutnya sehubungan dengan Ca dan P yang banyak disuplai dari kerabang. Oleh
karena itu, suplemen Ca dan P dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kerabang
telur pada induk tua (Roberts, 2010).
Inkubasi Telur
Inkubasi merupakan suatu manajemen

yang sangat penting untuk

perkembangan embrio untuk menjadi seekor ayam yang normal. Ada dua metode
inkubasi yang selama ini diketahui, yaitu inkubasi alami dan inkubasi dengan mesin
tetas. Menurut Ensminger et al. (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas
adalah fertilitas, genetik, nutrien pakan, penyakit, seleksi telur, dan manajemen.
Fertilitas
Telur menjadi fertil apabila terjadi pembuahan antara sperma dan sel telur
pada oviduct. Beberapa telur yang ditelurkan pada 24 jam setelah kopulasi akan fertil
dan apabila dalam waktu dua minggu setelah kelompok dikawinkan maka fertilitas
yang baik dapat diperoleh (Funk dan Irwin, 1955).
Genetik
Closebreeding atau perkawinan antara tetua dengan anaknya, tanpa seleksi
pada ayam dapat menurunkan daya tetas karena adanya gen lethal. Gen lethal dan
semi lethal juga dapat menyebabkan kematian pada embrio sebelum akhir inkubasi
berlangsung (Ensminger et al., 2004). Crossbreeding dapat meningkatkan daya tetas,
hal itu dapat terlihat dari strain produksi, fertilitas, dan daya tetes telur yang lebih
tinggi (Oluyemi dan Robert, 1979).
Nutrien
Telur harus memiliki seluruh nutrien yang diperlukan embrio. Nutrien sangat
tergantung pada ransum yang diberikan oleh peternak pembibit. Induk harus
mendapatkan ransum pakan yang sesuai dengan kebutuhan nutrien yang diperlukan

7

untuk menyuplai nutrien yang diperlukan untuk perkembangan embrio (Ensminger et
al., 2004). Protein, karbohidrat, dan lemak merupakan kebutuhan umum yang harus
tersedia lebih banyak guna menghasilkan telur tetas yang baik (Funk dan Irwin,
1955). Kebutuhan lain yang harus dipenuhi adalah vitamin A, D, E, B12, riboflavin,
asam pantothenis, niacin, dan mineral mangan (Ensminger et al., 2004).
Anggorodi (1985) berpendapat bahwa tahap produksi merupakan salah satu
faktor penentu kebutuhun protein pakan. Defesiensi protein akan mengakibatkan
ayam rontok bulu, produksi telur akan terhenti, dan penurunan bobot badan. Lemak
dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi tambahan apabila nilai energi bahan
makanan lainnya tidak tercapai untuk induk. Serat berfungsi hanya sebagai bulk,
tidak essensial bagi ransum ayam (Anggorodi, 1985).
Kalsium merupakan komponen mineral yang perlu diperhatikan dalam
ransum ayam Arab (Dewi, 2006). Nutrien pakan induk harus mampu mencukupi
kebutuhan pokoknya dan ketebalan kerabang yang dihasilkan guna memenuhi
kebutuhan embrio selama inkubasi. Komposisi nutrrien ransum pada ayam lokal
betina periode bertelur ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Ransum Ayam Lokal Periode Bertelur
Komposisi nutrient
Kadar air (KA) maksimal (%)
Energi metabolis (kkal/kg ransum)

Kandungan
14
2600

Protein kasar (%)

15

Serat Kasar maksimal (%)

5

Kalsium (%)

3,4

Phosphor (%)

0,34

Aflatoksin maksimal (ppb)

50

Lysin (%)

0,7

Metionin (%)

0,3

Sumber: Kementrian Pertanian (2006)

Penyakit
Penyakit pullorum disebabkan oleh S. pullorum. Mycoplasma gallisepticum.
merupakan organisme penyebab penyakit Chronic Respiratory Disease (CRD).

8

Contoh penyakit lain yang mempengaruhi penetasan yang dapat mempengaruhi
embrio secara langsung adalah Newcastle Disease (ND) dan infeksi bronchitis. Telur
yang berasal dari induk yang terinfeksi pada umumnya tidak akan menetas dengan
baik (Ensminger et al., 2004).
Seleksi Telur
Seleksi telur untuk tujuan ditetaskan meliputi seleksi kualitas eksterior
seperti: bentuk telur, indeks telur, berat telur, dan besarnya rongga udara telur
kerabang telur dan kualitas interior seperti berat kerabang, tebal kerabang dan
komposisi kimia telur ayam Arab. Telur yang besar akan menyebabkan penetasan
yang terjadi berjalan lambat, sedangkan telur yang kecil akan menyebabkan telur
menetas lebih cepat (Ensminger et al., 2004). Berat telur ayam Arab menurut Sodak
(2011) berkisar antara 33,33-53,27 g/butir. Bentuk yang tidak normal juga akan
menyebabkan telur menetas tidak baik. Kualitas kerabang menunjukkan jumlah
kalsium dan vitamin D yang dapat dimanfaatkan embrio untuk pertumbuhan dan
perkembangan tulang. Kerabang telur pada saat cuaca panas cenderung lebih tipis
dari pada cuaca dingin (Ensminger et al., 2004). Penipisan kerabang juga akan
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia induk (Bennet, 1992).
Komposisi kimia telur ayam pada umur yang berbeda juga memiliki kandungan
nutrien dalam telur yang berbeda (Peebles et al., 2001).
Sistem Inkubasi Telur
Terdapat enam faktor penting pada inkubasi telur yaitu suhu, kelembaban,
ventilasi, posisi telur, peneropongan, dan waktu inkubasi. Suhu merupakan hal yang
paling kritis untuk menentukan keberhasilan penetasan (Ensminger et al., 2004).
Pada pengeraman alami, telur tetas memanfaatkan panas dari tubuh induknya untuk
proses inkubasi (Ensminger et al., 2004).
Suhu
Telur fertil akan melanjutkan perkembangannya ketika ditempatkan pada
mesin tetas. Suhu yang dapat digunakan untuk inkubasi berkisar 35-40 °C dengan
suhu optimumnya adalah 37-38 °C (Card dan Nasheim, 1972). Suhu optimum pada
penetasan menurut Ensminger et al. (2004) berkisar antara 37,2-39,4 ºC. Suhu yang
terlalu rendah menyebabkan telur lambat menetas, sedangkan suhu yang tinggi
9

mempercepat penetasan telur, namun suhu yang terlalu randah maupun terlalu tinggi
dapat menyebabkan kematian embrio pada saat inkubasi berlangsung (Oluyemi dan
Robert, 1979).
Kelembaban
Kelembaban relatif tergantung pada jenis mesin tetas dan telur pada mesin
tetas. Suhu dan ventilasi pada mesin tetas menyebabkan kelembaban dan gas yang
hilang dari telur keluar melalui pori-pori telur. Kehilangan air berlebih disebabkan
karena adanya kelembaban yang rendah, mengganggu proses chorio allantoic yang
berperan penting pada proses pertukaran udara. Kelembaban yang perlu dijaga
selama inkubasi selama 18 hari pertama adalah sekitar 60% dan selama tiga hari pada
periode penetasan kelembaban harus 70% (Ensminger et al., 2004).
Ventilasi
Ventilasi pada mesin tetas diperlukan untuk membersihkan mesin tetas dari
ammonia dan bahan berbahaya lainnya yang dapat menyebabkan pembusukan pada
telur setelah mesin tetas difumigasi (Oluyemi dan Robert, 1979). Konsentrasi
oksigen dan karbondioksida sangat mempengaruhi penetasan (Card dan Nasheim,
1972).
Posisi Telur
Telur pada umumnya diinkubasi pada bagian tumpul di atas. Embrio akan
berkembang pada bagian ini, mendekati kantung udara. Apabila telur diletakkan pada
bagian runcing di atas, kepala embrio tidak akan berkembang sehingga embrio tidak
akan menetas (Card dan Nasheim, 1972).
Peneropongan
Beberapa telur yang diinkubasi sebagian merupakan telur fertil atau embrio
mati, untuk mengetahui perbedaannya dapat dilakukan dengan cara peneropongan
(Ensminger et al., 2004). Peneropongan pada saat seleksi juga dapat dilakukan untuk
mengetahui tinggi rongga udara telur ayam Arab.

10

Waktu Inkubasi
Waktu inkubasi pada ayam adalah 21 hari. Telur yang berukuran lebih besar
maka waktu penetasan yang diperlukan juga semakin lama, begitu juga dengan telur
yang berukuran kecil maka waktu penetasan juga semakin cepat seperti puyuh yang
hanya membutuhkan waktu inkubasi selama 18 hari (Ensminger et al., 2004).
Perkembangan Awal Embrio
Pembelahan blastodisc dimulai sejak telur fertil masuk ke saluran isthmus,
kurang lebih 3,5 jam setelah fertilisasi. Sel-sel hasil pembelahan ini disebut
blastomer. Blastodisc yang telah membelah disebut blastoderm. Embrio dapat terlihat
seperti sebuah piringan sel tipis kecil (blastoderm) yang menutupi kuning telur dan
menempel pada membran vitelin (Marshall, 1960). Blastoderm ditunjukkan pada
Gambar 4.

Gambar 4. Telur Fertil
Sumber: Cobb Vantress (2011)

Pembelahan pertama terjadi di tengah blastodic menghasilkan dua blastomer,
pembelahan

kedua

menghasilkan

empat

blastomer.

Proses

ini

kemudian

berkelanjutan sehingga membentuk banyak sel dan menyebar (Marshall, 1960).
Blastomer daerah sentral telah membelah sempurna dan blastomer daerah perifer
membelah parsial. Daerah sentral blastoderm disebut area pellucida dan daerah
perifer disebut area opaca (Gambar 5) (Marshall, 1960).
Perkembangan struktur terjadi setelah telur fertil mengalami inkubasi. Setelah
inkubasi berlangsung, germ layer atau mesoderm terdeferensiasi dengan tumbuh
menjadi blastocoele, antara ektoderm dan endoderm, entoderm lebih awal terdorong
ke dalam blastocoele. Blastoderm pada tahap ini terdiri dari tiga lapisan terang yang

11

menyebar mengelilingi kuning telur dan berdeferensiasi menjadi beberapa bagian,
yaitu ektoderm, endoderm, dan mesoderm (Card dan Nasheim, 1972).

Gambar 5. Germinal Disc.
Keterangan : ap= area pellucida ao= area opaca; ps= primitive streak
Sumber

: Radbound University Nijmegan (2011)

Proses pembentukan ketiga lapisan kecambah, ektoderm, mesoderm dan
endoderm disebut proses gastrulasi. Gambar 6 menunjukkan perpindahan pada
proses gastrulasi pada embrio ayam. Tiga bagian tersebut akan berkembang menjadi
organ dan sistem perkembangan tubuh (Card dan Nasheim, 1972). Ektoderm akan
berkembang menjadi kulit, bulu, paruh, cakar, sistem syaraf, lensa dan retina mata,
dan lapisan lubang mulut. Tulang, otot, darah, organ reproduksi dan ekskresi
berkembang dari mesoderm. Entoderm berkembang menjadi sistem pencernaan dan
organ pernafasan (Card dan Nasheim, 1972).

Gambar 6. Diagram Sistematik Perpindahan pada Proses Gastrulasi Embrio Ayam.
Keterangan

Sumber

: ap= Area pellucida; ao= Area opaca; ps= Primitive streak, 1= Epiblast (Pembentuk
Ektoderm); 2= Blastosul; 3= Hipoblast (Pembentuk Endoderm); 4= Subgerminal
Cavity; 5= Kuning Telur
: Radbound University Nijmegan (2011)

Proses gastrulasi dimulai dengan adanya migrasi sel-sel epiblas yang
berkumpul di daerah kaudal area pellucida yang terlihat sebagai sebuah penebalan.
Penebalan ini memanjang membentuk garis lurus di tengah area pellucida yang
disebut dengan garis primitif (primitive streak). Tahap ini dapat dilihat pada Gambar
12

5. Pembentukan garis primitif membagi embrio menjadi sisi kiri dan kanan. Garis
primitif merupakan perubahan struktur pertama yang terlihat setelah telur diinkubasi
(Card dan Nasheim, 1972).
Sel kemudian masuk ke dalam embrio melalui primitive streak dengan cara
menyebar antara epiblast dan hipoblast, pada tahap ini sel-sel menggantikan sel
hipoblast dengan mendorongnya ke periphery (Kardong, 2009). Pergerakan ke dalam
(ingresi) mengakibatkan garis primitif mengalami pelekukan (Gambar 6) (Patten,
1920). Sel-sel epiblas bermigrasi kontak dengan hipoblas dan menggantikan sel-sel
hipoblas untuk membentuk lapisan endoderm. Migrasi terus berlanjut sehingga selsel di garis primitif masuk ke dalam blastosul, digantikan dengan sel lain. Mesoderm
tumbuh ke luar diantara hipoblas dalam (endoderm) dan superficial epiblast
(ektoderm) (Kardong, 2009).
Sel-sel epiblas di anterior tumbuh lebih cepat dibandingan di daerah posterior
sehingga area pellucida terlihat membentuk buah pear (Gambar 7). Garis primitif
pada tahap ini tumbuh mencapai garis maksimum (Card dan Nasheim, 1972). Tahap
selanjutnya, garis primitif regresi ke arah kaudal (ekor), notokorda yang terbentuk
akan semakin panjang. Pada tahap inilah neurasi atau proses pembentukan buluh
syaraf dari lapis kecambah ektoderm tumbuh (Kardong, 2009).

Gambar 7. Embrio Ayam
Sumber: Patten (1920)

Perkembangan Somite (Tulang Belakang)
Somitogenesis

merupakan

proses

pembagian

anterior-posterior

pada

embryonic axis hewan bertulang belakang menjadi unit morfologi yang umumnya
lebih dikenal dengan sebutan somite (Nurunnabi et al., 2010). Kardong (2009)
membagi secara umum mesoderm ke dalam tiga bagian, yaitu: epimere, mesomere
(intermediate mesoderm), dan hypomere. Somite merupakan bagian dari epimere.

13

Somite terbagi menjadi tiga komponen: dermatome (dermis), myotome (otot skeletal),
dan sclerotome (vertebral colomn dan rusuk) (Stern dan Keynes, 1987).
Perkembangan awal morfologi embrio pada ayam menurut Radbound
University Nijmegan (2011) dibagi kedalam beberapa tahap, yaitu 18-20, 22-28, 3336, 48, dan 72 jam setelah inkubasi (Radbound University Nijmegan, 2011). Tahap
72 jam adalah tahap penyempurnaan jumlah somite.
Tabel 4. Morfologi Embrio Ayam
Periode
18 jam

Perubahan
Struktur

Morfologi Embrio

Keterangan

Garis

1= Proamnion;

primitive

2= Area Opaca (Bagian Gelap);
3= Area Pellucida (Transparan);
4= Wilayah Embrional;
5= Neural Plate; 6= Chorda;
7= Node Hensen;
8= Garis Primitif

20 jam

3

pasang

somite

1= Proamnion;
2= Area Opaca (Bagian Gelap);
3= AreaPellucida (Transparan);
4= Wilayah Embrional;
5= Head Fold,
6= Neural Groove;
7= Neural Plate; 8= Chorda,
9= Hensen's Node;
10 = Primitive Streak

24 jam

4-5 pasang

1= Area Opaca (Bagian Gelap);

somite

2= Area Pelucida (Transparan);
3= Neural Fold;
4= Head Foldin;
5= Foregut;
6= Neural Groove;
7= Somite; 8= Chorda;
9= Unsegmented Mesoderm;
10= Node Hensen;
11= Primitive Streak

14

Tabel 5. Morfologi Embrio Ayam (Lanjutan)
Periode
33 jam

Perubahan
Struktur
12

pasang

somite

Morfologi Embrio

Keterangan
1= Proamnion;
2= Prosencephalon;
3= Mesencephalon;
4= Rhombencephalon;
5= Somite;
6= Eye vesicle;
7= Foregut;
8= Chorda (translucent);
9= Jantung;
10= Lateral mesoderm;
11= Spine;
12= Sinus rhomboidalis;
13= Primitive streak;
14= Blood islands

36 jam

13

pasang

somite

1= Prosencephalon;
2= Eye vesicle;
3= Mesencephalon;
4= Rhombencephalon;
5= Heart;
6= Lateral mesoderm;
7= Somite;
8= Spine;
9= Sinus rhomboidalis;
10= Primitive streak;
11= Small blood
vessel;12 = Blood islands

15

Tabel 4. Morfologi Embrio Ayam (Lanjutan)
Periode
48 jam

Perubahan
Struktur

Morfologi Embrio

Keterangan

21-22

1= Amnion; 2= Metencephalon;

pasang

3= Mesencephalon;

somite

4= Optic cup + lens;
5= Prosencephalon;
6= Otic vesicle;
7= Branchial arches; 8= Atrium;
9= Ventricle;
10= Lateral fold;
11= Lateral mesoderm;
12= Vitelline arteria /
vein;13= Somite;
14= Spine;
15= Tail fold

72 jam

43-44

1= Auditive (otic) vesicle;

pasang

2= Myelencephalon;

somite

3= Metencephalon; 4= Amnion;
5= Mesencephalon;
6= Optic vesicle + lens;
7= Diencephalon; 8= Epiphyse;
9= Telencephalon; 10= Branchial
arches; 11= Heart;
12= Forelimb (wing) bud;
13= Vitelline arteria/vein;
14= Hindlimb (leg) bud; 15= Tail

Sumber: Radbound University Nijmegan (2011)

Hasil penelitian Nurunnabi et al. (2010) pada ayam Plymouth Rock (Broiler)
menunjukkan bahwa jumlah pasang somite pada embrio tahap 24, 36, 48, 60, dan 72
jam berturut-turut adalah 0,86±0,65; 10,24±2,58; 18,62±0,84; 29,82±2,72; dan
39,89±2,95 pasang, sedangkan pada ayam lokal deshi adalah 1,02±0,34; 12,26±2,14;
21,34±2,57; 32,14±2,31; dan 41,66±2,24 pasang. Jumlah somite ayam Plymouth
Rock berevolusi lebih lambat dibandingkan dengan ayam lokal (Deshi) pada setiap
jam perkembangannya (Nurunnabi et al., 2010). Berbeda dengan hasil penelitian
Dronca (2008) bahwa ayam Plymouth Rock yang berevolusi lebih cepat somite
16

dibandingkan dengan ayam Transylvanian Naked Neck pada tahap 26, 30, 40, 50 dan
60 jam inkubasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan secara genetik dapat
mempengaruhi laju perkembangan embrio (Dronca, 2008; Nurunnabi et al., 2010).
Perbedaan evolusi somite dari jenis induk yang berbeda juga memiliki perbedaan
pada kualitas telur, selang pelontaran telur, perbedaan suhu yang diterima telur pada
posisi inkubasi telur, suhu, dan ukuran masing-masing telur (Nurunnabi et al., 2010).

17

MATERI DAN METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2012.
Persiapan telur tetas dan penetasan dilaksanakan di Laboratorium Penetasan Telur,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pengamatan perkembangan somite dan embrio ayam dilakukan di Laboratorium
Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian kualitas nutrien telur dilakukan di
Laboratorium Industri dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian kualitas pakan
dilakukan di Laboratorium Pusat Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Pusat Antar
Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Materi
Telur Tetas Ayam Arab
Materi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 99 telur tetas ayam
Arab Hibrid berumur 0 hari. Telur tetas ayam Arab diperoleh dari breeder ayam
Arab “Trias Farm”, Leuwiliang, Bogor. Telur berasal dari induk yang berbeda, yaitu
induk berumur 36, 42, dan 54 minggu masing-masing sebanyak 30 telur untuk
pengamatan kualitas telur dan somite serta tiga butir telur untuk pengujian kualitas
nutrien dalam telur pada masing-masing umur induk.
Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan mesin tetas manual. Peralatan yang digunakan
adalah termometer bola kering bola basah, mesin tetas manual Lyon Rural
Electric™, timbangan digital model BL-1500, jangka sorong, candler, mikrometer
Mitutoyo™ 0,01 mm, kamera digital, pemanas, alat bedah (pinset, gunting bengkok,
dan lurus), pipet, cawan petri kaca (diameter 9 cm), cawan petri plastik (diameter 5
dan 3,5 cm), gelas piala 30 ml, kertas saring, object glass, cover glass 22 mm, dan
mikroskop Olympus model CH20.
Bahan yang digunakan pada pengamatan somite adalah embrio ayam (24, 33
dan 48 jam inkubasi), NaCl 0,72% (123 mM), larutan Bouin (asam pikrat jenuh :

18

formalin 37% : asam asetat glacial= 15 : 5 : 1), ethanol 70%, alkohol 96%, alkohol
absolute, xylol, entellan, dan pewarna carmin.
Prosedur
Persiapan Mesin Tetas dan Telur Tetas
Persiapan mesin tetas diantaranya adalah fumigasi mesin tetas. Fumigasi
bertujuan meminimalkan jumlah mikroorganisme patogen penyebab kematian
embrio. Fumigasi mesin tetas dilakukan sehari sebelum inkubasi. Bahan yang
digunakan untuk fumigasi mesin tetas adalah formalin dan kalium permanganat.
Fumigasi mesin tetas menggunakan tiga kali kekuatan yaitu dengan dosis 120 ml
formalin 40%, kalium permanganat (KMnO4) 60 gram untuk setiap volume ruang
sebesar 2,83 m3.
Sampel telur tetas yang digunakan segera dikoleksi setelah ditelurkan oleh
ayam. Telur tetas kemudian diseleksi berdasarkan kebersihan dan bentuk telur tetas
menurut Robert (2008). Telur tetas diamati karakteristik eksteriornya seperti: indeks
bentuk telur, kedalaman kantung udara dan berat telur. Telur kemudian disanitasi.
Sanitasi telur tetas menggunakan fumigasi telur tetas dengan satu kali kekuatan.
Dosis satu kali kekuatan adalah 40 ml formalin 40%, kalium permanganat (KMnO4)
20 gram untuk setiap volume ruang sebesar 2,83 m3.
Koleksi Embrio Ayam
Embrio dipanen pada jam ke 24-26 jam untuk embrio tahap 24 jam, 33-36
jam untuk embrio tahap 33 jam, dan 48-52 jam untuk embrio tahap 48 jam. NaCl
0,72% dipanaskan pada suhu 32-37 °C. Telur kemudian diletakkan di atas gelas piala
dengan posisi ujung tumpul diatas. Kerabang telur dikupas setengahnya secara
perlahan dengan mengetuk secara perlahan ujung atas telur dengan ujung pinset,
kemudian putih telur dibuang, lalu kuning telur dituangkan ke cawan petri besar.
Kuning telur digulingkan hingga posisi embrio tepat di atas. Embrio diambil dengan
cara menempelkan kertas saring berbentuk raket pada permukaan embrio, selaput
vitelin kemudian digunting pada daerah di sekeliling kertas saring, lalu kertas saring
diangkat sehingga embrio menempel pada kertas saring.
Kuning telur yang melekat pada embrio dibersihkan dengan NaCl hangat di
dalam cawan petri kecil, setelah itu embrio dipindahkan ke cawan petri bersih yang

19

berisi NaCl hangat. Selaput vitelin dipisahkan dari embrio dengan menggoyanggoyangkan kertas saring sampai embrio (blastoderm) terlepas. Embrio dicuci
beberapa kali dengan NaCl hangat dengan cara memipet NaCl dari cawan petri lalu
NaCl baru ditambahkan tanpa memindahkan embrio. Setelah embrio bersih, NaCl
yang tersisa dipipet sambil diatur posisi embrio agar terentang sempurna (tidak
terdapat lipatan).
Fiksasi embrio menggunakan larutan Bouin (Bellairs, 1963). Larutan ini
diteteskan secara perlahan hingga embrio terendam dengan cukup (2/3 tinggi cawan
petri). Larutan Bouin diganti setelah 24 jam dengan ethanol 70%, kemudian diganti
2-3 kali dengan selang 24 jam dengan ethanol 70% sampai warna kuning dari pikrat
hilang. Embrio dapat disimpan sampai proses pembuatan preparat selanjutnya selama
larutan ethanol 70% dijaga agar tidak habis menguap.
Pembuatan Preparat Whole Mount
Embrio yang telah difiksasi dan dicuci dengan ethanol 70%, diwarnai dengan
pewarna carmin selama 18-24 jam (Nurunnabi et al., 2010). Embrio kemudian dicuci
sebanyak 3-6 kali dalam larutan ethanol 70% dengan selang 15-30 menit hingga
intensitas warna sesuai kebutuhan. Embrio dibandingkan dengan preparat yang telah
jadi untuk perbandingan warna. Pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan
0,5% HCl dalam ethanol 70%. Embrio kemudian diganti berturut-turut ke dalam
ethanol 96% sebanyak dua kali, ethanol absolute sebanyak dua kali dan xylol
sebanyak tiga kali dengan selang masing-masing 15-30 menit.
Perekat entellan digunakan pada mounting embrio dengan meneteskan pada
gelas obyek dan ditutup dengan kaca penutup berukuran 18x18 mm (untuk embrio
18-24 jam) dan gelas obyek cekung untuk embrio 48-72 jam. Pembuatan preparat ini
dijaga agar jangan sampai terbentuk gelembung udara. Setelah satu minggu, preparat
diperiksa kembali untuk melihat ada atau tidaknya gelembung udara pada preparat.
Embrio dapat di-mounting ulang dengan merendam ke dalam xylol hingga embrio
terlepas dan mengulangi kembali tahap mounting embrio. Preparat dapat diamati
pada mikroskop.

20

Peubah yang diamati pada penelitian ini antara lain:
1) Kualitas Telur Tetas
a) Kualitas Eksterior
i)

Bentuk telur diamati secara visual disesuaikan dengan bentuk telur
menurut Robert (2008) (Gambar 3). Telur diseleksi berdasarkan
bentuknya.

ii) Indeks bentuk telur diperoleh dari perhitungan lebar dan panjang telur.
Rumus perhitungan indeks telur adalah sebagai berikut:
Indeks Bentuk Telur = Lebar Telur / Panjang Telur
iii) Besarnya rongga udara dilihat dengan cara peneropongan atau candling.
Rongga udara diukur dengan memberi tanda menggunakan pensil,
kemudian diukur kedalaman atau tinggi menggunakan official egg air
cell gauge. Besar rongga 1/8 inchi masuk dalam kriteria AA, 3/16 inchi
masuk ke dalam kriteria A, dan 3/8 inchi ataulebih besar masuk ke
dalam kriteria B (United States Department of Agriculture, 2002).
iv) Berat telur diperoleh dengan cara menimbang telur dengan timbangan
digital.
b) Kualitas Interior
i) Berat kerabang diperoleh dengan cara menimbang kerabang yang telah
dikeringkan dengan timbangan digital.
ii) Tebal kerabang telur diukur menggunakan mikrometer setelah selaput
putih dalam kerabang dilepas.
iii) Komposisi kimia telur ayam Arab seperti kandungan abu, protein kasar,
lemak kasar dianalisis menggunakan metode Association of Official
Analytical Chemistis (2005). Kandungan Ca dan P kerabang dianalisis
dengan Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS) dan fotometri.
2) Kualitas Pakan
Pakan ayam Arab dianalisis komposisi kimianya (kandungan abu, protein
kasar, lemak kasar, serat kasar) menggunakan metode Association of Official
Analytical Chemistis/AOAC (2005). Kandungan Ca dan P pakan dianalisis

21

dengan Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS) dan fotometri. Kandungan
Energi Bruto dianalisis dengan metode Bomb Calorimetry.
3) Suhu dan Kelembaban
Suhu dan kelembaban dicatat pada pukul 07.00, 13.00, dan 19.00 WIB
selama dua hari inkubasi. Data suhu diambil dari suhu bola kering termometer.
Data kelembaban didapat dari tabel pada termometer bola kering dan bola basah.
Data suhu dan kelembaban disajikan dalam bentuk kisaran.
4) Somite
Pengamatan somite dilakukan dengan mengamati preparat embrio pada
tahap 24, 33, dan 48 jam. Perkembangan somite disesuaikan dengan Radbound
University Nijmegan (2011) dan Nurunnabi et al. (2010).
5) Perkembangan Awal Embrio
Pengamatan

perkembangan

embrio

pada

setiap

tahap

diamati

menggunakan mikroskop dengan perbesaran 4 x 10.
Rancangan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Lengkap (Gasperz, 2001). Setiap perlakuan terdiri atas tiga ulangan dengan
menggunakan sepuluh butir telur per ulangan (n=10)
Model matematikanya sebagai berikut:
Yij

= µ + Pi + €ij

Keterangan:
Yijk = hasil pengamatankualitas eksterior dan interior telur ayam Arab pada
umurinduk ke-i dan ulangan ke-j
µ

= rataan umum kualitas eksterior dan interior telur ayam Arab

Pi

= pengaruh perbedaan umur induk ke-i (36, 42, dan 54 minggu)

€ij = pengaruh galat pada umur induk ayam ke-i dan ulangan ke-j

22

Hipotesisnya sebagai berikut:
H0 : Umur induk yang berbeda (36, 42, dan 54 minggu) tidak berpengaruh terhadap
kualitas eksterior, dan kualitas interior telur ayam Arab.
H1 : Umur induk yang berbeda (36, 42, dan 54 minggu) berpengaruh terhadap
kualitas eksterior, dan kualitas interior telur ayam Arab.
Data indeks bentuk telur, berat telur, tebal kerabang, dan berat kerabang)
dianalisis ragam menggunakan ANOVA (Minitab 16), jika hasil menunjukkan
berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey menggunakan program Statistix 8. Data
perkembangan somite dan perkembangan awal embrio dianalisis secara deskriptif.

23

HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor-Faktor yang Menentukan Keberhasilan Penetasan
Kualitas Pakan
Pakan ayam Arab pada umur induk 36, 42, dan 54 minggu pada peternakan
ayam Trias Farm menggunakan pakan komplit ayam Ras Petelur UFEED umur 20
minggu hingga ayam diafkir (Tabel 5). Tidak terdapat perbedaan pemberian pakan
pada ketiga umur induk tersebut. Menurut Kementrian Pertanian (2006), perbedaan
manajemen pemberian pakan pada ayam lokal petelur diberikan ketika ayam berada
pada umur 0-6 minggu, 6-12 minggu, 12-22 minggu, dan periode bertelur.
Tabel 5. Komposisi Nutrien Pakan Komplit Ayam Petelur UFEED
Komposisi Nutrien

Kandungan
UFEED

Label5

Standar6

Kadar Air (%)1

10,57

13

14

Abu (%)1

11,92

14

-

Protein Kasar (%)1

20,67

16-18

15

Lemak Kasar (%)1

4,75

7

-

Serat Kasar (%)1

3,25

7

5

BETN (%)3

48,84

-

-

Ca (%)

4,67

3,25-4,25

3,4

P (%)2

0,31

0,5-1

0,34

Energi Bruto (kkal)

3309

-

-

2399,025

-

2600 kkal ME

2

Energi Metabolis (EM)4

Sumber: 1Hasil Analisa Lab. Pusat Sumberdaya Hayati & Bioteknologi, Pusat Antar Universitas IPB
(2012); 2Hasil analisis Lab. Industri dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2012);
3
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) = 100% - (abu+PK+LK+SK)%; 4EM= 0,725EB
National Research Council (1994); 5Hasil Analisa Pakan pada Label UFEED; 6Kementrian
Pertanian (2006)

Kandungan protein dalam pakan komplit yang diberikan lebih tinggi
(20,67%) dibandingkan dengan standar pakan komplit menurut Kementrian
Pertanian (2006) (Tabel 5). Defesiensi protein akan mengakibatkan ayam rontok
bulu, produksi telur akan terhenti, dan penurunan bobot badan. Sodak (2011) juga
berpendapat bahwa defesiensi protein dapat menyebabkan ukuran telur, berat, dan
ukuran kuning serta putih telur menjadi rendah. Hal ini sangat mempengaruhi

24

sehubungan dengan asupan nutrien telur tetas untuk embrio di dalamnya. Iriyanti et
al. (2005) juga berpendapat bahwa kandungan nutrien dalam telur ditentukan oleh
ransum induk. Kandungan nutrien pokok seperti karbohidrat, protein, lemak, dan
kalsium harus tersedia lebih banyak guna menghasilkan telur tetas yang berkualitas
(Funk dan Irwin, 1955). Telur tetas yang berkualitas mampu menyediakan nutrien
yang mencukupi guna perkembangan embrio di dalamnya.
Serat kasar dalam pakan komplit lebih rendah dari pada standar maksimum
menurut Kementrian Pertanian (2006) yaitu 5%. Serat kasar ini juga memenuhi label
standar analisis UFEED yaitu dengan kandungan maksimal 7%. Unggas tidak
membutuhkan serat yang tinggi dalam pakan. Serat kasar sulit dicerna oleh unggas
karena unggas tidak memiliki sistem pencernaan yang kompleks seperti ruminansia.
Serat berfungsi hanya sebagai bulk, tidak essensial bagi ransum ayam (Anggorodi,
1985).
Lemak dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi tambahan apabila nilai
energi bahan makanan lainnya tidak tercapai untuk induk. Lemak ini juga memenuhi
label standar analisis UFEED dengan kandungan maksimal 7%. Lemak juga dapat
mengurangi debu ransum dan meningkatkan palatabilitas, akan tetapi lemak yang
melebihi standar maksimal akan mempercepat proses ketengikan pakan (Anggorodi,
1985).
Energi metabolis menunjukkan besar energi yang dibutuhkan ayam untuk
pertumbuhan jaringan tubuh, produksi telur, dan mempertahanakan temperatur tubuh
(Anggorodi, 1985). Energi metabolis pada ransum UFEED berada di bawah standar
pakan komplit ayam lokal menurut Kementrian Pertanian (2006). Peningkatan energi
metabolis pakan dapat dilakukan dengan pemberian pakan dengan kandungan gross
energy yang tinggi.
Persentase BETN menunjukkan besarnya semua golongan karbohidrat
terpilih seperti, monosakarida, disakarida, trisakarida, dan polisakarida (terkecuali
selulosa) (Anggorodi, 1985). Karbohidrat memiliki peranan penting dalam
memenuhi kebutuhan energi dan panas bagi unggas. BETN dalam pakan komplit
UFEED adalah sebesar 48,84%. Kandungan tersebut berada sedikit dibawah standar
BETN menurut Anggorodi (1985) bahwa dalam bahan kering makanan ternak
umumnya sebesar 50-75% adalah karbohidrat.

25

Kandungan mineral seperti kalsium dan fosfor berturut-turut pada pakan
komplit adalah 4,67 dan 0,31 (Tabel 5). Kandungan kalsium tersebut lebih tinggi
1,27% sedangkan kandungan fosfor lebih rendah 0,03% dibandingkan dengan
standar kandungan kalsium dan fosfor minimal pakan komplit pada ayam lokal
petelur umur 20 minggu. Kandungan kalsium hasil analisis juga melebihi kisaran
kandungan pada label standar analisis UFEED, berbeda dengan kandungan fosfor
yang bahkan lebih rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan kalsium
pada pakan komplit ayam Arab diatas umur 20 minggu pada peternakan Trias Farm
memenuhi standar minimal pakan komplit ayam lokal petelur sedangkan kandungan
fosfor berada sedikit di bawah standar pakan komplit ayam lokal petelur menurut
Kementrian Pertanian (2006).
Kalsium dan fosfor merupakan komponen mineral yang perlu diperhatikan
dalam ransum ayam Arab petelur (Dewi, 2006). Mineral tersebut harus tersedia
seimbang guna mencukupi kebutuhan pokok dan produksi telur terutama dalam
memproduksi

kerabang

telur.

Defesiensi

kalsium

mengakibatkan

induk

menggunakan cadangan kalsium tubuh untuk memproduksi kerabang telur.
Kekurangan kalsium juga akan menyebabkan pertumbuhan tulang pada induk tidak
sempurna dan menurunnya kualitas kerabang (Sodak, 2011). Kualitas kerabang yang
rendah akan menghambat perkembangan tulang pada embrio ayam, sehingga akan
menyebabkan DOC lumpuh bahkan kematian embrio. Hal ini dikarenakan kerabang
merupakan sumber kalsium terbesar untuk pembentukan struktur (khususnya tulang)
yang diperlukan embrio selama inkubasi berlangsung (Card dan Nasheim, 1972).
Faktor Lingkungan
Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor penentu yang penting
dalam sistem penetasan telur. Suhu bola kering pada mesin tetas selama penelitian
berlangsung adalah 37 °C (Tabel 6). Card dan Nasheim (1972) berpendapat bahwa
suhu yang dapat digunakan untuk inkubasi berkisar 35-40 °C dengan suhu
optimumnya adalah 37-38 °C. Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu pada inkubator
berada pada kisaran suhu optimum mesin tetas sehingga memungkinkan embrio
dapat berkembang dengan baik pada suhu ini. Menurut Oluyemi dan Robert (1979),
suhu yang rendah akan berakibat telur lambat menetas, sedangkan suhu yang tinggi
dapat mempercepat penetasan namun demikian, suhu yang terlalu rendah (kurang

26

dari 35 °C) maupun terlalu tinggi (lebih dari 40 °C) dapat menyebabkan kematian
embrio.
Tabel 6. Suhu dan Kelembaban Inkubator Selama Penelitian
Tanggal

Suhu (°C)

Pukul

Kelembaban

Bola Kering

Bola Basah

(%)

29 Maret 2012

19.08

37

33

73

30 Maret 2012

13.10

37

34

79

30 Maret 2012

18.00

37

34

79

31 Maret 2012

6.00

37

30

59

31 Maret 2012

13.00

37

32

66

31 Maret 2012

18.30

37

34

79

Perkembangan embrio akan sempurna apabila suhu dan kelembaban mesin
tetas sesuai dengan tumbuh kembang embrio di dalamnya. Kelembaban pada mesin
tetas manual yang digunakan selama penelitian berkisar 59%-79%. Terdapat
kelembaban yang cenderung rendah pada tanggal 31 Maret 2012, pukul 06.00 dan
13.00 WIB yaitu sebesar 59% dan 66%, namun hal ini sesuai dengan pendapat
Ensminger et al. (2004) bahwa kelembaban yang perlu dijaga selama inkubasi
selama 18 hari pertama adalah sekitar 60% dan selama tiga hari pada periode
penetasan kelembaban adalah 70%.
Mesin tetas pada penelitian ini menggunakan mesin tetas manual sehingga
kelembabannya perlu dijaga agar tidak terlalu tinggi maupun terlalu rendah.
Penggunaan air dalam bak dengan ketinggian ¾ pada mesin tetas manual bertujuan
untuk menjaga kelembaban mesin tetas agar tetap pada kisaran optimum penetasan.
Oluyemi dan Robert (1979) berpendapat bahwa kelembaban yang rendah
mengakibatkan kehilangan air berlebih yang berakibat mengganggu proses
pembentukan chorio allantoic yang memiliki peranan penting pada proses pertukaran
udara.

27

Karakteristik Eksterior Telur
Kantung Udara Telur
Telur tetas dari induk berumur 36 minggu yang memiliki kantung udara
sebesar 1/8 atau setara dengan klasifikasi kualitas AA adalah sebanyak 86,67%,
terdapat 13,33% (empat butir) telur tetas yang memiliki kantung udara sebesar 3/16
atau setara dengan kualitas United States Department of Agriculture (2002) (Tabel
7). Telur tetas dari induk berumur 42 dan 54 minggu memiliki kantung udara 1/8
atau setara dengan klasifikasi AA. Hal tersebut menunjukkan bahwa ditinjau dari
besar kantung udaranya telur tetas tersebut memiliki kualitas baik.
Tabel 7. Kondisi Kantung Udara Telur Tetas Ayam Arab yang dihasilkan Induk
Berumur 36, 42, dan 54 Minggu
Umur Induk
(minggu)

Jumlah Telur

Kantung Udara (%)
AA

A

36

30

86,67

13,33

42

30

100

0

54

30

100

0

Keterangan: Klasifikasi AA dengan tinggi kantung udara ≤ 1/8 inchi; klasifikasi A dengan tinggi
kantung udara ≤ 3/16 inchi (United States Department of Agriculture, 2002)

Besarnya kantung udara dipengaruhi oleh lama waktu penyimpanan dan
lingkungan (suhu dan kelembaban). Telur yang digunakan pada ketiga umur induk
merupakan telur berumur 0 hari. Telur sementara disimpan pada egg room yang
dengan suhu 16-20 °C dan kelembaban 80%. Hal tersebut menyebabkan penguapan
berlebihan dapat dicegah sehingga kualitas telur dapat dipertahankan. Penguapan
yang berlebihan dapat menyebabkan pelebaran kantung udara sehingga telur akan
kehilangan air dan gas (Sodak, 2011). Telur tetas dengan kantung udara yang besar
akan mempengaruhi ketersediaan air di dalamnya sehubungan dengan perkembangan
embrio yang juga membutuhkan air.
Berat Telur
Berat telur ayam Arab pada peternakan Trias Farm dengan tiga perlakuan
umur yang berbeda berkisar antara 46,57-51,86 g/butir (Tabel 8). Berat telur tetas
pada ayam lokal umumnya minimal 37 gram (Kementrian Pertanian, 2006).

28

Tabel 8. Rataan Berat Telur Ayam Arab yang dihasilkan Induk Berumur 36, 42, dan
54 Minggu
Umur Induk (minggu)

Ulangan

Berat Telur (g/butir)

36

3

46,570±0,915a

42

3

47,570±0,528a

54

3

51,860±0,283b

Keterangan : Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P