Produksi dan Kualitas Telur Ayam Arab Umur 22-28 Minggu pada Suhu Kandang yang Berbeda

RINGKASAN
Furqan. D14070020. 2012. Produksi dan Kualitas Telur Ayam Arab Umur 22-28
Minggu pada Suhu Kandang yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc.Agr.
Pembimbing Anggota : Ahmad Yani, S. TP., M. Si.
Produktivitas ternak selain dipengaruhi oleh kualitas genetik ternak, juga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Suhu dan kelembaban merupakan salah satu
faktor lingkungan tersebut. Suhu dan kelembaban yang nyaman bagi ternak
menyebabkan ternak mampu berproduksi secara maksimal, akan tetapi Negara
Indonesia merupakan negara tropis dengan tingkatan suhu dan kelembaban tinggi
sehingga dapat menyebabkan ternak mengalami stres panas dan berakibat pada
penurunan produktivitas serta kualitas produk yang dihasilkan. Stres panas dapat
terjadi pada semua ternak termasuk pada layer (ayam petelur). Kondisi ini dapat
diatasi dengan upaya perbaikan mutu genetik salah satunya dengan mendatangkan
ternak unggul dari luar negeri untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Ayam Arab
merupakan salah satu upaya perbaikan mutu genetik pada ayam petelur.
Ayam Arab merupakan ayam dari Belgia yang sudah terseleksi sebagai
penghasil telur. Ayam ini memiliki ciri-ciri antara lain memiliki sifat lincah,
berpostur tubuh ramping, agak liar, keinginan mengeram rendah, daya seksual
pejantan tinggi, tingkat efisiensi pakan yang tinggi, dan kemampuan memproduksi

telur yang tinggi. Ayam ini memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil sehingga
konsumsi pakan relatif rendah dan lebih ekonomis untuk dikembangkan oleh
peternakan rakyat. Kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dan daya tahan akan
penyakit membuat ayam ini menjadi primadona di beberapa wilayah Indonesia.
Keunggulan yang dimiliki ayam Arab menyebabkan ayam tersebut sering
disilangkan dengan ayam jenis lain guna memperoleh bibit ternak unggul, khususnya
produksi telur. Keuntungan yang dapat diperoleh dari persilangan tersebut yakni
dapat memunculkan sifat unggul dari masing-masing ternak. Namun, perkawinan
alami yang tidak terkontrol dapat menyebabkan keragaman genetik yang tinggi pada
suatu populasi sehingga dapat menyebabkan menurunnya produktivitas ayam Arab
tersebut.
Ayam Arab mulai dikembangkan di Indonesia pada awal tahun 90-an (Kholis
dan Sitanggang 2002). Selama masa inroduksi tersebut ayam Arab telah diupayakan
untuk dikembangbiakan baik secara galur murni, maupun dikawinsilanglkan dengan
ayam lokal, artinya ayam Arab dapat dikatakan telah beradaptasi dengan baik
terhadap suhu di Indonesia. Interaksi yang baik antara faktor genetik dan faktor
lingkungan akan memberikan sifat fenotipe yang baik. Sampai saat ini, penelitian
ayam Arab masih terbatas terutama pencatatan produksi dan kualitas telur yang
dikaitkan dengan suhu kandang, sehingga diperlukan diperlukan penelitian dengan
variabel pengamatan tersebut.Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan (Juli

sampai September 2011) bertempat di Laboratorium Lapang Blok B bagian Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan Unggas, dan di Laboratorium Unggas Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Ternak yang digunakan adalah ayam Arab berumur 22 minggu sebanyak 150 ekor.

i

Peubah yang diamati meliputi produksi telur, berat telur, indeks telur, berat kerabang,
ketebalan kerabang, kebersihan kerabang, haugh unit, berat putih telur, indeks
kuning telur, berat kuning telur, dan warna kuning telur. Percobaan ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap dengan tiga taraf perlakuan dan dua kali ulangan.
Perlakuan suhu kandang tersebut meliputi suhu netral (24,7 oC), suhu panas (27,9
o
C), dan suhu lingkungan (fluktuatif) (27,4 oC).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suhu kandang yang berbeda
tidak berpengaruh terhadap produksi dan kualitas telur ayam Arab, baik kualias
eksternal maupun kualitas eksternal.
Kata-kata kunci : ayam arab, produksi telur, kualitas telur, suhu kandang.

ii


ABSTRACT
The Production, and egg quality of 22-28 weeks age Arab chicken
at different temperatures
Furqan., R, Afnan., and A, Yani
The production and quality of Arab chicken’s egg are influenced by the quality of
parent stock, feed, and also environment. The aim of this research was to determine
the production level, and egg quality of chicken’s egg from Arab chicken age 22-28
weeks at different level of temperatures. The experimental design used was
completely randomized design (CRD) with three different level of temperatures as
the treatment (netral, hot, and environment). The repetition was did 2 times. The
results obtained at netral (24,7 oC), hot (27,9 oC), and environment (27,4 oC)
temperatures were henday (43,6 ± 16,3 %; 39,3 ± 12,6 %; 26,3 ± 10,9 %), egg’s
weight (37,60 ± 3,19 gram; 37,95 ± 3,20 gram; 37,83 ± 4,03 gram), egg’s shape
index (0,79 ± 0,19; 0,78 ± 0,04; 0,78 ± 0,06), cleanliness (30,3 ± 31,7 %; 29,4 ± 26,0
%; 21,4 ± 30,4 %), eggshell’s weight (5,14 ± 0,51; 5,28 ± 0,53; 5,20 ± 0,65),
eggshell’s thickness (0,29 ± 0,03; 0,30 ± 0,03; 0,30 ± 0,03), haugh unit of albumin
(83,94 ± 7,96a; 84,05 ± 7,68a; 78,94 ± 9,09b), albumin’s weight (20,73 ± 2,53; 20,70
± 2,35; 20,71 ± 2,50), indeks of yolk (0,46 ± 0,04; 0,45 ± 0,03; 0,45 ± 0,04), yolk’s
weight (10,78 ± 1,84; 10,83 ± 1,34; 11,13 ± 1,80), and the colour of yolk (6-10; 4-10;

5-10).
Keywords: arab chicken, egg production, egg quality traits, temperatures

iii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produktivitas ternak selain dipengaruhi oleh kualitas genetik ternak, juga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Suhu dan kelembaban merupakan salah satu
faktor lingkungan tersebut. Suhu dan kelembaban yang nyaman bagi ternak
menyebabkan ternak mampu berproduksi secara maksimal, akan tetapi Negara
Indonesia merupakan negara tropis dengan tingkatan suhu dan kelembaban tinggi
sehingga dapat menyebabkan ternak mengalami stres panas dan berakibat pada
penurunan produktivitas serta kualitas produk yang dihasilkan. Stres panas dapat
terjadi pada semua ternak termasuk pada layer (ayam petelur). Kondisi ini dapat
diatasi dengan upaya perbaikan mutu genetik salah satunya dengan mendatangkan
ternak unggul dari luar negeri untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Ayam Arab
merupakan salah satu upaya perbaikan mutu genetik pada ayam petelur.
Ayam Arab merupakan ayam dari Belgia yang sudah terseleksi sebagai
penghasil telur. Ayam ini memiliki ciri-ciri antara lain memiliki sifat lincah,

berpostur tubuh ramping, agak liar, keinginan mengeram rendah, daya seksual
pejantan tinggi, tingkat efisiensi pakan yang tinggi, dan kemampuan memproduksi
telur yang tinggi. Ayam ini memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil sehingga
konsumsi pakan relatif rendah dan lebih ekonomis untuk dikembangkan oleh
peternakan rakyat. Kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dan daya tahan akan
penyakit membuat ayam ini menjadi primadona di beberapa wilayah Indonesia.
Keunggulan yang dimiliki ayam Arab menyebabkan ayam tersebut sering
disilangkan dengan ayam jenis lain guna memperoleh bibit ternak unggul, khususnya
produksi telur. Keuntungan yang dapat diperoleh dari persilangan tersebut yakni
dapat memunculkan sifat unggul dari masing-masing ternak. Namun, perkawinan
alami yang tidak terkontrol dapat menyebabkan keragaman genetik yang tinggi pada
suatu populasi sehingga dapat menyebabkan menurunnya produktivitas ayam Arab
tersebut.
Ayam Arab mulai dikembangkan di Indonesia pada awal tahun 90-an (Kholis
dan Sitanggang 2002). Selama masa inroduksi tersebut ayam Arab telah diupayakan
untuk dikembangbiakan baik secara galur murni, maupun dikawinsilanglkan dengan
ayam lokal, artinya ayam Arab dapat dikatakan telah beradaptasi dengan baik

1


terhadap suhu di Indonesia. Interaksi yang baik antara faktor genetik dan faktor
lingkungan akan memberikan sifat fenotipe yang baik. Sampai saat ini, penelitian
ayam Arab masih terbatas terutama pencatatan produksi dan kualitas telur yang
dikaitkan dengan suhu kandang, sehingga diperlukan diperlukan penelitian dengan
variabel pengamatan tersebut.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui produksi telur dan
kualitas telur pada ayam Arab umur 22-28 minggu pada suhu kandang yang berbeda.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Arab
Ayam Arab yang dikenal juga dengan ayam Silver brakel kriel merupakan
ayam yang banyak dikembangkan karena memiliki potensi sebagai ayam petelur
unggul dan memiliki karakteristik telur yang menyerupai ayam Kampung. Ayam ini
bukan ayam asli Indonesia melainkan berasal dari Belgia (Natalia et al., 2005).
Ayam Arab mulai dikembangkan di Indonesia pada awal tahun 90-an (Kholis dan
Sitanggang 2002). Ayam Arab memiliki daya adaptasi yang baik dengan lingkungan
Indonesia yang beriklim tropis dan tahan terhadap penyakit dan perubahan cuaca

(Yusdja et al., 2005), sehingga berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia dan
dapat disilangkan dengan ayam lokal lain untuk memperoleh produksi telur yang
lebih tinggi dengan kualitas daging yang lebih baik (Sulandari et al., 2007).
Ayam Arab merupakan ayam petelur unggul yang digolongkan ke dalam
ayam tipe ringan dengan berat badan umur 52 minggu mencapai 2.035,60 ± 115,7 g
pada jantan dan 1.324,70 ± 106,47 g pada betina (Nataamijaya et al., 2003). Produksi
telur ayam Arab yang tinggi yaitu 190-250 butir/ tahun dengan berat telur 30-35 g
dan hampir tidak memiliki sifat mengeram sehingga waktu bertelur menjadi lebih
panjang (Natalia et al., 2005; Sulandari et al., 2007). Telur yang dihasilkan memiliki
karakteristik warna dan bentuk kerabang seperti telur ayam Kampung sehingga
banyak diminati konsumen.

(a)

(b)

Sumber: Aryanti (2011)

Gambar 1. Ayam Arab Betina Golden (a) dan Ayam Arab Betina Silver (b)


3

Pambudhi (2003) menyatakan bahwa ayam Arab yang berada di Indonesia
terdiri dari dua jenis, yaitu ayam Arab Silver dan ayam Arab Merah (Golden Red).
Namun, di kalangan masyarakat, ayam Arab yang lebih dikenal adalah ayam Arab
Silver. Menurut asal usulnya, ayam Arab Silver diduga merupakan hasil persilangan
antara ayam Arab asli (Silver Braekels) dengan ayam betina lokal petelur. Asal usul
keberadaan ayam Arab Merah (Golden Red) terdiri dari dua versi. Versi pertama,
ayam Arab Merah (Golden Red) merupakan hasil persilangan antara ayam jantan
Arab asli (Silver Breakels) dengan ayam betina ras petelur (Leghorn). Versi kedua,
ayam Arab Merah (Golden Red) merupakan hasil persilangan antara ayam jantan
Arab asli (Silver Braekels) dengan ayam betina Merawang.
Ayam Arab merupakan ayam tipe petelur yang memiliki ciri-ciri antara lain
memiliki sifat lincah, agak liar, tidak mengeram, daya seksual pada jantan tinggi,
tingkat efisiensi pakan yang tinggi, kemampuan memproduksi telur yang tinggi, dan
berpostur tubuh ramping (Triharyanto, 2001; Pambudhi, 2003). Nataamijaya et al.
(2003) menambahkan, ayam Arab Silver memiliki sifat kualitatif antara lain
berjengger tunggal (single) dan berwarna merah, pial berwarna merah, memiliki
warna bulu seragam dengan warna dasar hitam dihiasi warna putih di daerah kepala,
leher, dada, punggung dan sayap, dan berwarna putih pada paruh, kulit dan sisik

kaki. Secara umum ayam Arab di Indonesia mampu menghasilkan telur sebanyak
300 butir/tahun (Natalia et al., 2005 ), dengan berat telur 42,5 g/ butir (Sulandari et
al., 2007).
Telur dan Komposisi Fisik Telur
Telur konsumsi merupakan salah satu produk unggas yang mempunyai nilai
tinggi dan lengkap, harga relatif murah serta merupakan bahan pangan yang tidak
ditolak oleh hampir semua orang. Telur kaya akan kandungan asam amino esensial
seperti lisin, tritofan, dan khususnya metionin yang merupakan asam amino terbatas.
Telur juga mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh berantai ganda lebih dari
satu, vitamin, dan mineral serta mikromineral yang sangat baik untuk kebutuhan
manusia (Yuwanta, 2010).
Telur ayam segar konsumsi menurut Dewan Standardisasi Nasional (2008)
dalam SNI 0l-3926-2008 adalah telur ayam yang tidak mengalami proses
pendinginan dan tidak mengalami penanganan pengawetan serta tidak menunjukkan

4

tanda-tanda pertumbuhan embrio yang jelas, kuning telur belum tercampur dengan
putih telur, utuh dan bersih. Kuning telur dikelilingi oleh putih telur dan dibungkus
oleh kerabang (United States Department of Agriculture, 2000). Telur terdiri atas

beberapa bagian yang mempunyai komposisi berbeda sehingga jumlah dan jenis
mikroorganisme yang tumbuh pada masing-masing bagian tersebut juga berbedabeda (Fardiaz, 1992).
Komposisi Fisik Telur
Secara garis besar komposisi fisik telur dapat dibagi menjadi tiga yakni:
kerabang telur, putih telur, dan kuning telur. Anatomi susunan telur ayam dari dalam
ke luar adalah kuning telur (29%), putih telur (61,5%), kerabang tipis dan kerabang
telur (9,5%) (Romanoff dan Romanoff, 1963). Proporsi dan komposisi telur ini dapat
bervariasi, bergantung dari umur ayam, pakan, temperatur, genetik, dan cara
pemeliharaan (Yuwanta, 2010). Sebanyak 90,5% bagian dari telur dapat dikonsumsi
dan 98% dapat dicerna oleh tubuh. Komposisi fisik telur ayam, dan telur ayam Arab
dapat dilihat pada tabel-tabel berikut.
Tabel 1. Komposisi
Ayam Telur
Arab Ayam Arab
Tabel 1.Telur
Komposisi
Parameter

Telur Ayam Arab


Berat Telur (g/butir)

31-52

Indeks Telur

0,75

Persentase Putih Telur (%)

51,07

Persentase Kuning Telur (%)

35,74

Persentase Kerabang Telur (%)

13,19

Sumber: Abubakar et al. (2005)

Tabel 2. Komposisi Nutrisi Telur Segar
Komposisi (%)
Komponen Telur
Kadar Air

Protein

Lemak

Karbohidrat

Mineral

Telur Utuh (100%)

66,1

12,8-13,4

10,5-11,8

0,3-1,0

0,8-1,0

Kerabang (9-11 %)

1,6

6,2-6.4

0,03

-

91-92

Putih Telur (60-63%)
KuningTelur (28-29%)

87,6
48,7

9,7-10,6
15,7-16,6

0,03
31,8-35,5

0,4-0,9
0,2-1,0

0,5-0,6
1,1

Sumber: Mine (2008)

5

Kualitas Telur
Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa definisi kualitas adalah
ciri-ciri atau sifat yang sama dari suatu produk yang menentukan derajat
kesempurnaan yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen. Mutu telur utuh
dinilai secara candling yaitu dengan meletakkan telur dalam jalur sorotan sinar yang
kuat

sehingga

memungkinkan

pemeriksaan

bagian

dalam.

Kondisi

ini

memungkinkan penemuan keretakan pada kulit telur, ukuran serta gerakan kuning
telur, ukuran kantung udara, bintik-bintik darah, bintik-bintik daging, kerusakan oleh
mikroorganisme dan pertumbuhan embrio.
Komponen kualitas telur secara umum dapat dibagi menjadi tiga yakni
kualitas fisik, kimia, dan biologi. Komponen kualitas fisik terdiri dari keutuhan telur,
berat telur, bentuk telur, indeks telur, berat putih telur, berat kuning telur, indeks
putih telur, indeks kuning telur, warna kuning telur, haugh unit, berat kerabang,
kebersihan telur, dan ketebalan kerabang serta kekuatan kerabang. Kualitas telur
secara kimia yakni kandungan gizi yang terkandung di dalam telur yang meliputi
protein, lemak, karbohidrat, asam amino, mineral, vitamin, serta kadar air. Cakupan
lain dari kualitas telur secara kimia yakni ada tidaknya zat-zat kimia berbahaya yang
terkandung dalam telur akibat deposisi dari pakan seperti hormon, logam berat, dan
antibiotik. Cakupan selanjutnya adalah kualitas telur secara biologi yang meliputi
aspek cemaran mikrobiologi yang ada di dalam telur yang berasal dari dalam organ
reproduksi sebelum telur dikeluarkan ataupun cemaran mikrobiologi ketika telur
sudah dikeluarkan (Yuwanta, 2010).
Berdasarkan komponennya, kualitas telur dapat dibagi menjadi dua yakni
kualitas internal dan kualitas eksternal. Berikut ini merupakan tabel acuan
standarisasi mutu / kualitastelur yang di keluarkan oleh Dewan Standarisasi Nasional
(2008) dan United States Depertement of Agriculture (2000).

6

Tabel 3. Persyaratan Tingkatan Mutu Telur
No.
1

2

3

4

5

Faktor mutu

Faktor mutu
Mutu I

Mutu II

Mutu III

Normal
Halus
Tebal
Utuh
Bersih

Normal
Halus
Sedang
Utuh
Sedikit noda kotor
(stain)

Abnormal
Sedikit kasar
Tipis
Utuh
Banyak noda dan
sedikit kotor

0,5-0,9 cm
Bebas bergerak

Lebih dari 0,9 cm
Bebas bergerak
dan dapat terbentuk busa

Bebas bercak darah,
atau benda asing
lainnya

Bebas
bercak
darah, atau benda
asing lainnya

B. Kekentalan

Kental

Sedikit encer

C. Indeks

0,134-0,175

0,092-0,133

Ada
sedikit
bercak
darah,
tidak ada benda
asing lainnya
Encer,
tetapi
putih telur belum
bercampur
dengan
kuning
telur
0,050-0,091

Kondisi kuning telur
A. Bentuk
B. posisi

Bulat
di tengah

C. penampakan batas
D. kebersihan

Tidak jelas
Bersih

Agak pipih
Sedikit bergeser
dari tengah
Agak jelas
Bersih

E. Indeks

0,0458-0,521

0,394-0,457

Jelas
ada sedikit bercak
darah
0,330-0,393

Bau

Khas

Khas

Khas

Kondisi kerabang
A. Bentuk
B. Kehalusan
C. Ketebalan
D. Keutuhan
E. Kebersihan

Kantung udara (dilihat dengan peneropangan)
A. Kedalaman
Kurang dari 0,5 cm
B. Kebebasan bergerak
Diam di tempat

Kondisi putih telur
A. Kebersihan

Pipih
Agak ke pinggir

Sumber: SNI 01-3926-2008 (Dewan Standarisasi Nasional, 2008)

7

Tabel 4. Klasifikasi Persyaratan Kualitas Telur Ayam
Bagian telur yang
diamati
Kerabang

AA
Bersih, tapi:
- boleh ada bintik noda
kecil, noda atau bekas
kandang tetapi tidak
mengganggu tampilan
kebersihan dari telur
- boleh ada bekas
minyak pemprosesan
Tidak retak
Shape indeks normal
Tidak ada material
asing yang melekat
Tekstur kerabang boleh
terdapat area yang
kasar dan deposit
kalsium kecil asalkan
tidak mempengaruhi
Shape indeks dan
kekuatan kerabang telur

Tidak terjadi
perpindahan
Bersih
Kental
HU > 72
Terpusat
Tidak terlihat batas
bayangan

Tidak ada material
asing yang melekat
Tekstur kerabang boleh
terdapat area yang
kasar dan deposit
kalsium kecil asalkan
tidak mempengaruhi
Shape indeks dan
kekuatan kerabang
telur
Kerabang boleh sedikit
bergelombang asalkan
tidak mempengaruhi
Shape indeks dan
kekuatan kerabang
telur
Kerabang tidak boleh
memiliki spot tipis
Antara 1/8 Inch dan
3/16 Inch
Tidak terjadi
perpindahan
Bersih
Kental
HU= 60 - 72
Terpusat
Batas bayangan agak
terlihat

Tidak bernoda

Tidak bernoda

Cembung
Tidak ada pertumbuhan
embrio

Cembung
Tidak ada pertumbuhan
embrio

Kerabang boleh sedikit
bergelombang asalkan
tidak mempengaruhi
Shape indeks dan
kekuatan kerabang telur
Kerabang tidak boleh
memiliki spot tipis
Kantung udara

Putih telur

Kuning telur

Kualitas
A
Bersih, tapi:
- boleh ada bintik noda
kecil, noda atau bekas
kandang tetapi tidak
mengganggu tampilan
kebersihan dari telur
boleh
ada
bekas
minyak pemprosesan
Tidak retak
Shape indeks Normal

< 1/8 Inch

B
Noda terlihat dari
ringan hingga
sedang dengan 1/32
bagian permukaan
yang terpusat atau
sampai 1/16 bagian
permukaan yang
menyebar
Tidak retak
Shape indeks
abnormal
Ada material asing
yang melekat
Sangat jelas area
yang kasar dan
deposit kalsium
besar yang
mempengaruhi
Shape indeks dan
kekuatan kerabang
telur
Kerabang
bergelombang

Kerabang memiliki
spot tipis
> 3/16 Inch
Bebas
Bersih
Encer dan berair
HU= < 60
Nyata tidak berpusat
Batas bayangan
terlihat jelas
Terdapat noda darah,
dan daging < 1/8
Inch (diameter)
Mendatar
Ada pertumbuhan
embrio

Sumber: United States Department of Agriculture (2000).

Kualitas Eksterior Telur
Komponen kualitas eksterior telur terdiri dari keutuhan telur, berat telur,
bentuk telur, indeks telur, kebersihan telur, berat kerabang, ketebalan kerabang, dan
kekuatan kerabang. Kualitas kerabang telur menjadi penentu utama dalam menjaga

8

kualitas internal telur selama masa penyimpanan. Kerabang telur meskipun memiliki
ketebalan yang yang cukup akan tetapi masih sangat rentan akan kontaminasi dari
mikroba pasca oviposisi karena kerabang telur mengandung sebanyak 7.000-15.000
pori-pori (rata-rata 70-200/cm2) (Yuwanta, 2010). Pori-pori ini juga memungkinkan
terjadinya pertukaran gas dari luar ke dalam selama penyimpanan dan begitu juga
sebaliknya.
Berat Telur
Berat telur menjadi salah satu indikator kualitas telur, akan tetapi variasi
selera dan kepentingan konsumen juga mempengaruhi permintaaan akan berat telur
itu sendiri. Produsen dan konsumen umumnya akan lebih menyukai telur dengan
berat yang tinggi, akan tetapi berbeda halnya dengan pembibit yang akan memilih
telur dengan berat yang ideal untuk ditetaskan (Yuwanta, 2010). Secara umum, berat
telur dipengaruhi oleh tiga faktor utama yakni: ternak, pakan, dan lingkungan (Tabel
5).
Tabel 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Berat Telur
Ternak
- Umur ayam

Pakan

Lingkungan

- Protein total

- Dewasa kelamin

- Cara pemeliharaan (baterai
vs litter)
- Lisin, Metionin, Treonin - Pencahayaan panjang

- Saat peneluran

- Asam lemak esensial

- Pencahayaan pendek

- Genetik

- Fosfor

- Temperatur

- Faktor efisiensi
Sumber: Yuwanta (2010)

Bell dan Weaver (2002) mengemukakan hal serupa, beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap berat telur ayam adalah umur ayam, suhu lingkungan, strain
dan breed ayam, umur ayam, nutrisi pakan, berat induk, waktu peneluran, dan
penyakit. Umur induk akan mempengaruhi berat telur yang dihasilkan, semakin tua
umur induk maka berat telur yang dihasilkan semakin meningkat hingga mencapai
nilai proposional dengan berat ayam. Kenaikan berat telur akibat meningkatnya umur
ayam ini lebih dominan disebabkan oleh meningkatnya berat dan ukuran kuning telur
(Yuwanta, 2010). Amrullah (2002) mengemukakan hal yang sama yakni ukuran
telur, berat telur, berat kering, dan persentase kuning telur akan bertambah seiring

9

menuanya induk petelur. Selain faktor umur, waktu dewasa kelamin juga
mempengaruhi berat telur yang dihasilkan oleh ayam, dimana berat telur akan
berkurang 2 gram bila dewasa kelamin 10 hari lebih awal dari kondisi normal
(Yuwanta, 2010).
Telur konsumsi yang diproduksi oleh ayam merupakan deposisi nutrisi dari
pakan, oleh karena itu kualitas telur akan sangat dipengaruhi oleh kualitas nutrisi dari
pakan. Ayam dengan kualitas genetik yang baik tidak akan mampu menampilkan
performa produksi yang maksimal bila tidak ditopang oleh kualitas pakan yang baik
pula (Amrullah, 2002). Energi merupakan faktor utama di dalam regulasi pakan pada
ayam. Meningkatnya kandungan energi 2,42-3,3 kkal/g dalam pakan akan
meningkatkan 3,8% berat telur (Yuwanta, 2010). Level protein 13-17% tidak
berpengaruh terhadap berat telur, akan tetapi bila level protein lebih dari 17%
mampu meningkatkan berat telur. Tahun 2006 pemerintah mengeluarkan kebijakan
berupa Peraturan Menteri Pertanian Nomor49/Permentan/OT.140/10/2006 tentang
Pedoman Pembibitan Ayam Lokal Yang Baik (Good Native Chicken Breeding
Practice) dengan standar kualitas minimum pakan untuk ayam lokal periode bertelur
yang tercantum pada Tabel 6.
Tabel 6. Persyaratan Teknis Minimal Pakan Untuk Ayam Lokal Periode Bertelur
No

Gizi

Kandungan

1

Kadar air (KA) maksimal

14 %

2

Energi metabolis (ME)

2600 kkal ME/kg ransum

3

Protein kasar (PK)

15 %

4

Kalsium (Ca)

3,4 %

5

Fosfor (P)

0,34 %

6

Serat kasar (SK) maksimal

5%

7

Aflatoksin (maksimal)

50 ppb

8

Asam amino lisin

0,7 %

9

Asam amino metionin

0,3 %

Sumber: Departemen Pertanian (2006)

Suhu lingkungan akan sangat mempengaruhi berat telur, karena ayam akan
menurunkan konsumsi pakan (feed intake) dan meningkatkan konsumsi air sebagai
upaya untuk menjaga suhu tubuh. Telur ayam yang diteliti oleh Islam et al. (2001)

10

pada suhu lingkungan diatas 27 oC umumnya memiliki berat yang lebih rendah
dibandingkan suhu lingkungan dibawah 20 oC. Yuwanta (2010) menyatakan bahwa
setiap kenaikan 1 oC temperatur kandang akan menyebabkan penurunan 0,4 gram
berat telur dan penurunan berat telur akan terjadi bila suhu lingkungan lebih dari 28
o

C . Berat telur Ayam Arab umumnya berkisar 31-52 gram / butir (Abubakar et al.,

2005). Dewi (2006) menjelaskan bahwa berat telur ayam Arab umur 15 bulan
berkisar 42-46 gram/butir, sedangkan Sodak (2011) mengemukakan bahwa berat
telur ayam Arab umur 52-58 minggu berkisar 33,33-53,27 gram / butir. Tabel 7
merupakan klasifikasi berat telur yang dikeluarkan oleh United States Department of
Agriculture (2000).
Tabel 7.Tabel
Standar
Klasifikasi
UkuranUkuran
atau Berat
7. Standar
Klasifikasi
atauTelur
Berat Telur
Klasifikasi berat atau
ukuran telur

Berat bersih minimum/lusin, kg (ons)

Jumbo

0,86 (30)

Extra large

0,77 (27)

Large

0,68 (24)

Medium

0,60 (21)

Small

0,51 (18)

Peewee

0,42 (15)

Sumber: United States Department of Agriculture (2000)

Indeks Telur
Nilai indeks telur merupakan perbandingan antara lebar dan panjang telur.
Nilai indeks telur akan mempengaruhi penampilan dari telur itu sendiri. Nilai indeks
telur yang ideal berkisar 0,70-0,74. Semakin tinggi nilai indeks telur maka telur akan
semakin bulat, sebaliknya bila nilai indeks telur rendah telur akan semakin lonjong.
Yuwanta (2010) berpendapat bahwa indeks telur

bervariasi antara 0,65-0,82.

Apabila telur oval memanjang maka indeks telur berkisar 0,65, sedangkan telur oval
bulat indeksnya akan mencapai 0,82. Yuwanta (2010) menambahkan indeks telur
akan menurun secara progresif seiring bertambahnya umur, pada awal peneluran
indeks telur berkisar 0,77 dan pada akhir peneluran 0,74.
Yuwanta (2010) menjelaskan bahwa nilai indeks telur sangat bervariasi
antara individu dalam suatu kelompok dan peneluran dari satu seri peneluran, selain

11

itu penyebab perbedaan nilai indeks telur belum dapat diterangkan secara jelas
namun diduga karena perputaran telur di dalam alat reproduksi, ritme tekanan alat
reproduksi, atau ditentukan oleh lumen alat reproduksi. Telur dengan nilai indeks
yang menyimpang disamping mempengaruhi penampilan, juga akan sulit dalam
pengemasan, dan sangat rentan mengalami kerusakan selama transportasi dan
penyimpanan. Berikut ini merupakan beberapa gambar telur yang diturunkan
kualitasnya oleh United States Department of Agriculture ke grade B karena
indeksnya menyimpang.

(a)

(b)

(c)

Sumber: Pescatore dan Jacob (2011)

Gambar 2. Indeks Telur Kualitas B. (a) Sangat Lonjong; (b) Tidak Beraturan;
.
(c) Bulat
Komposisi, Berat dan Ketebalan Kerabang
Pembentukan kerabang telur merupakan proses terlama dalam reproduksi
sebutir telur. Kerabang telur terbentuk hampir sekitar 21 jam lamanya. Kerabang
telur merupakan pertahanan utama bagi telur terhadap kerusakan selama transportasi
dan masa penyimpanan, sehingga kualitasnya menjadi salah satu indikator penting
dari kualitas telur baik dari segi berat maupun ketebalannya. Secara umum susunan
kerabang telur terdiri dari 2 bagian yakni kerabang tipis (membran) baik membran
luar mapun membran dalam dalam yang dibentuk di isthmus dan kerabang telur
keras yang terbentuk di uterus (Yuwanta, 2010). Gambar 3 menjelaskan susunan
kerabang dan bagian-bagian telur.

12

Sumber: Pescatore dan Jacob (2011)

Gambar 3. Bagian-bagian Telur
Kerabang telur disusun oleh air (1,6%) dan bahan kering (98,4%) yang terdiri
dari mineral (95,1%) dan protein (3,3%). Mineral yang menyusun kerabang meliputi
CaCO3 (98,43%), MgCO3 (0,84%), dan Ca3(PO4)2 (0,75%) (Yuwanta, 2010). Selain
itu, kerabang telur dilapisi oleh kutikula yang diproduksi 1,5 jam sebelum peneluran.
Kutikula berfungsi untuk menutupi pori-pori kerabang telur sehingga mampu
menjaga telur dari kontaminasi mikroba dan evaporasi air dari dalam telur selama
masa penyimpanan, akan tetapi kutikula hanya bersifat sementara dan hanya
bertahan 100 jam lamanya (Yuwanta, 2010). Kutikula tersusun oleh protein (90%),
gula (4%), lipida (3%), dan abu (3,5%) (Yuwanta, 2010).
Berat dan tebal kerabang merupakan variabel yang menentukan kualitas
kerabang. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa kerabang telur sebagian besar
tebentuk dari kalsium karbonat (CaCO3). Sumber Ca untuk pembentukan CaCO3
berasal dari pakan dan tulang meduler. Yuwanta (2010) menjelaskan bahwa sekitar
35%-75% kalsium untuk pembentukan kerabang telur berasal dari pakan, sedangkan
kalsium yang bersumber dari tulang meduler akan digunakan bila kalsium dari pakan
untuk kalsifikasi tidak mencukupi. Kalsium dari tulang meduler bersifat terbatas,

13

oleh karena itu bila suhu tinggi dan konsumsi pakan menurun maka kalsium yang
dibutuhkan untuk pembentukan kerabang akan berkurang dan kerabang telur menjadi
tipis dan lembek. Berat dan tebal kerabang juga dipengaruhi juga oleh faktor genetik,
umur induk, molting, kesehatan ayam, dan umur dewasa kelamin (Yuwanta, 2010).
Rataan berat kerabang telur ayam Arab yang berumur 52 minggu mencapai
4,69 gram / butir (Sodak, 2011). Sodak (2011) menjelaskan bahwa rataan tebal
kerabang telur ayam Arab 52 minggu meencapai 0,34 mm, sedangkan tebal kerabang
telur optimum yakni 0,31 mm (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Pescatore
dan Jacob (2011), secara umum kerabang telur yang tipis dapat terlihat dalam ukuran
yang besar, dan terlihat dalam bentuk yang kecil sehingga kualitasnya masuk dalam
kategori B (Gambar 4).

(a)

(b)

Sumber: Pescatore dan Jacob (2011)

Gambar 4. Telur Grade B Berkerabang Tipis. (a) Areal Luas; (b) Areal Kecil
Kebersihan Kerabang Telur Ayam
Kebersihan kerabang telur menjadi salah satu indikator kualitas ekterior dari
telur ayam. Kontaminasi dari ekskreta ayam pada kerabang akan menyebabkan
perubahan warna, telur menjadi kotor, dan bau. Ekskreta tersebut kemungkinan besar
akan menjadi media bagi bakteri untuk berkembang sehingga telur terkontaminasi
melalui kerabang telur dan menurunkan kualitas telur selama masa penyimpanan.
Kontaminan lain yang mungkin bisa menempel pada kerabang telur ialah sekam dan
bulu ayam. Telur dengan kerabang yang bersih akan masuk dalam kategori kualitas
AA dan A (United States Department of Agriculture, 2000) dan kualitas mutu kelas

14

pertama (Dewan Standarisasi Nasional, 2008), sementara telur dengan kerabang
yang terkontaminasi hanya masuk kategori kualitas B dan mutu kelas ketiga.
Selain kontaminasi berupa ekskreta, kontaminan lain yang bisa menempel
pada kerabang telur selama distribusi dan masa penyimpanan yakni kerabang, yolk
(kuning telur), dan putih telur (albumen). Kontaminan tersebut kemungkinan bisa
berasal dari telur lain yang pecah selama distribusi dan penyimpanan. Berikut
merupakan gambar telur yang masuk kategori kualitas B karena kerabang telur yang
kotor.

(a)

(b)

(c)

(d)

Sumber: Pescatore dan Jacob (2011)

Gambar 5. Telur kualitas B dengan Bermacam Kontaminan: (a). Kerabang;
.
(b). Kuning Telur; (c). Putih Telur; (d). Bulu Ayam
Kualitas Interior Telur
Komponen kualitas interior telur secara umum terdiri dari kualitas putih telur
dan kuning telur. Kualitas putih telur meliputi HU dan berat putih telur, sedangkan
kualitas kuning telur meliputi indeks kuning telur, berat kuning telur, dan warna
kuning telur. Kualitas interior dari telur sangatlah penting karena bagian dari telur
yang akan dikonsumsi oleh manusia adalah putih dan kuning telur.
Kualitas Putih Telur
Putih telur terdiri atas merupakan sumber protein telur (9,7%-10,8 %), selain
itu juga mengandung fraksi gula (0,4%-0,9 %), garam mineral (0,5%-0,6%), lemak
(0,03%), abu (0,5%-0,6%), dan berat kering dari putih telur berkisar antara 10,612,1%. Air merupakan komponen terbesar dari putih telur. Berat kering putih telur
bervariasi tergantung dari strain, umur ayam, berat telur, dan lama penyimpanan telur
(Yuwanta, 2010). Putih telur tersusun atas empat lapisan yang berbeda yaitu lapisan
encer luar (hampir dekat dengan membran luar kerabang) sebesar 23%, lapisan

15

kental luar sebesar 57%, lapisan encer dalam sebesar 19%, dan lapisan kental sebesar
11% dengan chalaziferus. Perbedaan kekentalan ini disebabkan oleh perbedaan
kandungan air pada masing-masing lapisan tersebut. Bagian putih telur yang
mengikat putih telur dengan kuning telur adalah khalaza. Khalaza adalah serabutserabut protein telur yang membentuk spiral. Susunan putih telur mungkin berubah,
tergantung pada induk, kondisi lingkungan, ukuran telur, dan tingkat produksi (Mine,
2008).
Pengukuran kualitas putih telur secara fisik merupakan teknik yang sering
digunakan, dalam pengukurannya telur dipecahkan di atas meja kaca yang memiliki
cermin serta menggunakan alat mikrometer. Pengamatan yang dilakukan meliputi:
a). proporsi putih telur kental dan encer khususnya tinggi atau ketebalan putih telur
setelah putih telur dipecah; b). indeks albumen yang merupakan perbandingan antara
tinggi albumen dengan panjang putih telur encer dengan korelasi mencapai 0,98; c).
perbandingan secara visual antara telur yang sudah dipecah dengan pada kaca
tersebut dengan standar yang telah dikeluarkan oleh United States Department of
Agriculture; d). Haugh Unit yang merupakan satuan nilai dari putih telur dengan cara
menghitung secara logaritma terhadap tinggi putih telur kental dan kemudian
ditransformasikan ke dalam nilai koreksi dari fungsi berat telur (Yuwanta, 2010).
Gambar 7 berikut ini merupakan alat dan cara pengukuran kualitas telur, serta
Gambar 8 merupakan standar kualitas HU yang dikeluarkan oleh United States
Department of Agriculture (2000).

(a)

(b)

Sumber: United States Department of Agriculture (2000)

Gambar 6. (a) Tripod Mikrometer dan Meja Kaca; (b) Teknik Pengukuran
.
Kualitas Putih Telur

16

Sumber: United States Department of Agriculture (2000)

Gambar 7. Kualitas Telur Berdasarkan Haugh Unit. (1) High AA; (2) Average
AA; (3) Low AA; (4) High A; (5) Average A; (6) Low A; (7) High
B; (8)Average B; (9) Low B
.
Haugh unit (HU) merupakan rumusan yang dikemukakan Haugh pada tahun
1939. Nilai HU bervariasi antara 20-110 dan pada telur yang baik antara 50-100
(Yuwanta, 2010). Buckle et al. (1987) berpendapat bahwa nilai HU untuk telur yang
baru ditelurkan adalah 100, sedangkan untuk telur dengan mutu terbaik nilainya 75
serta telur yang busuk biasanya rnemiliki nilai HU dibawah 50. Penurunan nilai HU
pada telur akan mempengaruhi kualitas telur. Tingkatan kualitas telur berdasarkan
nilai HU yaitu jika >72 termasuk kualitas AA, nilai HU antara 60-72 termasuk
kualitas A, dan nilai HU kurang dari 60 termasuk kualitas B (United States
Department of Agriculture, 2000). Hasil penelitian Sodak (2011) yakni HU telur

17

ayam Arab umur 58 minggu dengan kisaran suhu pemeliharaan 23,5-33,1 oC adalah
63,76 dengan berat putih telur mencapai 20,75 gram/ butir.
Kualitas Kuning Telur
Kuning telur merupakan makanan dan sumber makanan bagi embrio, yang
hampir 66% tersusun dari lipoprotein. Susunan kuning telur dari dalam ke luar
adalah: a). Letebra adalah bagian kuning yang paling dalam berdiameter 6mm; b).
kuning telur yang berwarna putih (white yolk) dan kuning telur yang berwarna
kuning (yellow yolk) yang tersusun secara konsentris berselang seling serta bagian
kuning telur yang paling dalam adalah oosit (vitelus) yang kaya akan xantofil; c).
Membran vitelina yang membatasi kuning telur dengan putih telur (Yuwanta, 2010).
Indeks kuning telur digunakan untuk mengetahui kondisi kuning telur secara
umum dengan membandingkan lebar dan panjang kuning telur, atau dengan kata lain
indeks kuning telur merupakan perhitungan matematis yang secara umum
menggambarkan bentuk dari kuning telur itu sendiri. Bentuk kuning telur secara
umum dipengaruhi oleh kekuatan membran vitelin dan lapisan khalaza di sekitar
kuning telur. Pasca oviposisi membran vitelin dan lapisan khalaza ini akan
mengalami perubahan fisik dan kimia yang akan menurunkan kemampuannya untuk
mempertahankan bentuk kuning telur tetap bulat (Yuwanta, 2010; Bell dan Weaver,
2002).
Perubahan yang terjadi yakni perpindahan kadar air dari putih telur ke kuning
telur sehingga meningkatkan ukuran kuning telur dan selanjutnya melemahkan
membran. Permukaan kuning telur yang telah megalami perubahan tersebut akan
menjadi datar ketika dipecahkan (Bell dan Weaver, 2002). Membran vitelin terdiri
atas 87% protein, 3% lemak, dan 10% karbohidrat yang sangat dipengaruhi oleh
asupan pakan (Yamamoto et al., 2007). Nilai indeks kuning telur sangat berkisar dari
0,33 sampai 0,50 dengan nilai rata-rata (Buckle et al., 1987) dan nilai indeks kuning
telur ayam Arab berkisar 0,39-0,42 (Binawati, 2008). Rataan nilai indeks kuning
telur, berat kuning telur, dan warna kuning telur ayam Arab yang dikemukakan
Sodak (2011) umur 52 minggu masing-masing secara berturut-turut 0,32; 16,97
gram/ butir; dan 6,61, sedangkan untuk ayam Arab umur 58 minggu yakni 0,40;

18

19,01 gram/ butir; dan 6,92. Ukuran telur, berat telur, berat kering, dan persentase
kuning telur akan bertambah seiring menuanya induk petelur (Amrullah, 2002).
Warna kuning telur menentukan juga kualitas kuning telur karena umumnya
konsumen di Indonesia cenderung lebih menyukai telur dengan warna kuning telur
dari kuning hingga kemerahan. Kuning telur berwarna mulai dari kuning pucat sekali
sampat orange tua kemerahan. Hal ini disebabkan oleh pigmen dalam pakan ternak
ayam, seperti xantofil (Brown, 2000). Kuning telur mengandung zat warna (pigmen)
yang umumnya termasuk dalam golongan karotenoid yaitu xantofil, lutein dan
zeaxantin serta sedikit betakaroten dan kriptosantin. Warna atau pigmen yang
terdapat dalarn kuning telur sangat dipengaruhi oleh jenis pigmen yang terdapat
dalam ransum yang dikonsumsi (Winarno, 2002), oleh karena itu manipulasi pakan
sering digunakan untuk memperoleh warna kuning telur sesuai dengan yang
diinginkan oleh konsumen (Yuwanta, 2010). Manipulasi pakan yang dimaksud
antara lain menambahkan 20 ppm xantofil/ kg pakan bisa mengubah warna kuning
telur menjadi 10 skala Roche, dan pemberian pigmen sintetis seperti Ester ApoKaroten dapat digunakan untuk meningkatkan warna kuning telur (Yuwanta, 2010).
Pewarnaan lain selain warna kuning dapat pula dilakukan misalnya pemberian
ekstrak paprikana, canthaxantin sintetik dan citraxantin bisa menghasilkan warna
merah pada kuning telur. Warna hijau menggunakan natrium chlorophilin,
nicarbazine untuk warna cokelat, dan abu-abu oleh chlortetrasiklin (Yuwanta, 2010).
Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Telur
Kualitas telur umumnya bergantung pada saat sebelum dan atau sesudah
oviposisi telur itu sendiri. Telur ketika berada dalam saluran reproduksi induk ayam
selama lebih dari 24 jam lamanya dan mengalami banyak proses yang mempengaruhi
kualitasnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas telur sebelum oviposisi
antara lain faktor genetik, umur dan berat induk, nutrisi pakan, penyakit, dan suhu
lingkungan. Produksi dan kualitas telur merupakan penampilan fenotipik dari induk
ayam sebagai akumulasi dari pengaruh genetik dan lingkungan induk ayam itu
sendiri. Faktor genetik merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kualitas
telur yang meliputi ukuran dan berat telur, warna dan ketebalan kerabang, adanya
noda darah, dan banyaknya putih telur kental yang berbeda antara tiap kelas, strain,
family, dan individu ayam (Islam et al., 2001). Bell dan weaver (2002)

19

menambahkan bahwa strain dan breed ayam akan mempengaruhi berat telur yang
dihasilkan. Umumnya tipe ayam petelur cokelat menghasilkan telur yang lebih besar
dengan kualitas kerabang yang lebih baik daripada tipe ayam petelur putih.
Berat dan umur induk merupakan faktor yang mempengaruhi produksi dan
kualitas telur. Ayam akan menghasilkan telur dengan ukuran dan berat yang semakin
besar seiring dengan bertambahnya umur ayam karena semakin meningkatnya
ukuran kuning telur dan lebar isthmus, namun sebaliknya produksi telur akan
semakin menurun karena degradasi organ reproduksi. Ayam petelur berdasarkan
beratnya dapat dibagi menjadi tiga tipe, yakni ayam petelur tipe besar, sedang, dan
kecil. Ayam petelur tipe besar, dan sedang akan mengahasilkan telur yang relatif
lebih besar jika dibandingkan dengan ayam petelur tipe kecil, namun sebaliknya
ayam petelur tipe kecil akan mampu mengahasilkan telur yang relatif lebih banyak
daripada ayam petelur tipe sedang, dan besar.
Telur konsumsi yang diproduksi oleh ayam merupakan deposisi nutrisi dari
pakan, oleh karena itu maka kualitas telur akan sangat dipengaruhi oleh kualitas
nutrisi dari pakan. Ayam dengan kualitas genetik yang baik tidak akan mampu
menampilkan performa produksi yang maksimal bila tidak ditopang oleh kualitas
pakan yang baik pula (Amrullah, 2002). Secara umum, nutrisi penting yang wajib
terkandung dalam pakan yang dibutuhkan oleh ayam saat bertelur yakni protein,
energi, asam amino, kalsium, fosfor, vitamin, dan beberapa mineral penting lainnya
(Amrullah, 2002). Pakan yang kekurangan kandungan kandungan kalsium dan fosfor
akan mengakibatkan kerabang yang tipis dan rapuh. Peningkatan kandungan protein,
asam linoleat, dan energi pakan akan meningkatkan ukuran dan berat telur (Bell dan
Weaver, 2002; Lesson dan Summers, 2005). Selain itu pemberian hijauan segar atau
kering yang berkualitas akan menambah daya tarik dari kuning telur yang dihasilkan
(Romanoff dan Romanoff, 1963).
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi ayam
untuk memproduksi telur yang berkualitas. Selain mempengaruhi kualitas telur yang
dihasilkan, masalah kesehatan dan stres juga akan menurunkan produksi telur.
Beberapa penyakit yang sering menyerang ayam buras antara lain tetelo, gumboro,
fowl fox, snot, pulorum, dan koksidiosis (Tabbu, 2002). Penyakit yang sangat
mempengaruhi kualitas kerabang yakni jenis penyakit pernapasan seperti tetelo dan

20

infeksi bronkhitis (IB) (Jacob et al., 2003). Stres atau cekaman merupakan suatu
kondisi yang mengganggu kenyamanan ayam, sehingga proses produksi telur
menjadi terganggu.
Pasca ovoposisi, telur ayam harus mendapatkan penanganan yang cepat dan
tepat, guna menjaga kualitas telur. Kontaminasi dari ekskreta ayam akan sangat
berpengaruh kepada kualitas telur. Kebersihan kandang dan frekuensi pengoleksian
telur akan mengurangi kemungkinan kontaminasi ekskreta pada kerabang telur.
Penanganan selanjutnya yakni pengemasan dan suhu penyimpanan telur.
Pengemasan bertujuan untuk menghindari telur pecah sehingga telur tidak
mengalami kerusakan komponen dan sifat fisikokimia lainnya (Romanoff &
Romanoff, 1963), selain itu pengemasan bermanfaat untuk mempermudah
pengangkutan, mengurangi evaporasi, menghindari kontaminasi, dan penyerapan bau
yang tidak diinginkan (Winarno, 2002). Suhu penyimpanan telur akan berpengaruh
signifikan pada tingkat evaporasi telur. Telur akan lebih bertahan lama bila disimpan
pada penyimpanan dingin (refrigerator) dan penyimpanan beku (freezer).
Respon Fisiologis dan Tingkah Laku Ayam Terhadap Cekaman
Stres/ cekaman merupakan respon dari tubuh yang mempengaruhi kondisi
emosional dan fisiologis terhadap stimulus (terutama kondisi lingkungan) yang
dinilai sebagai ancaman (Sherman dan Cohen, 2006). Penyebab atau stimulus dari
stres itu sendiri bisa berasal dari internal maupun eksternal tubuh unggas yang
dikenal dengan stresor. Stresor internal antara lain defisiensi zat-zat nutrisi, dan
ketidakseimbangan hormon, sedangkan stresor eksternal meliputi cekaman panas,
penyakit, kebisingan, dan ancaman dari pemangsa. Respon dari cekaman itu sendiri
bisa dibagi menjadi dua yakni respon yang bersifat sintoksik (syntoxic response) dan
katatoksik (catatoxic response). Respon sintoksik umumnya bersifat menguntungkan,
sedangkan respon katatoksik bersifat merugikan (Habibie, 1993).
Cekaman yang sering dijumpai pada peternakan ayam di daerah tropis adalah
cekaman panas (heat stress). Saat kondisi heat stress, ayam akan melakukan
beberapa aktivitas/ tingkah laku unggas sebagai respon terhadap suhu yang tinggi,
diantaranya:
 Memperluas area permukaan tubuh yang ditunjukkan oleh ayam dengan
melebarkan atau menggantungkan sayapnya. Usaha ayam ini kurang memberikan

21

hasil yang optimal. Alasannya ialah suhu tubuh ayam dengan suhu lingkungan
kandang tidak berbeda nyata, akibatnya aliran panas tubuh ke lingkungan kandang
(secara radiasi) menjadi kurang optimal.
 Dust bathing atau mandi debu, tujuannya untuk memindahkan panas dari tubuh ke
debu, tanah, lantai, atau litter. Tingkah laku ini memungkinkan terjadinya
perpindahan panas secara konduksi
 Panting atau bernapas melalui tenggorokan merupakan aktivitas khas yang
ditunjukkan oleh ayam pada saat mengalami heat stress. Mekanisme ini sama
halnya dengan mekanisme pelepasan panas pada manusia yang dilakukan melalui
kelenjar keringat. Oleh karena ayam tidak mempunyai kelenjar keringat, maka
panting menjadi mekanisme penggantinya. Ketika panting, ayam membuka mulut
dan menggerakkan tenggorokannya sehingga ada aliran udara keluar masuk
melalui kerongkongan, akibatnya evaporasi meningkat. Panting yang dilakukan
oleh ayam akan memberikan hasil yang efektif jika suhu udara panas dengan
tingkat kelembaban yang rendah (udara kering), namun kurang efektif jika terjadi
pada saat suhu tinggi namun udaranya basah (kelembaban tinggi).
Pengaruh cekaman terhadap respon fisiologis ayam yakni peningkatan
frekuensi pernapasan, peningkatan tekanan darah, kontraksi otot, melakukan
peripheral vasodilatation atau meningkatkan aliran darah perifer (tepi) (jengger, pial,
dan kaki), pembesaran pembuluh darah dan terjadinya difusi air secara pasif,
meningkatnya kadar glukosa darah, dan perubahan hormonal dan kelenjar (Habibie,
1993). Peningkatan frekuensi pernapasan atau panting merupakan upaya ayam untuk
membuang panas tubuh melalui mekanisme insensible heat loss yang menghabiskan
sekitar 574 kalori tenaga setiap gram air yang menguap (Yuwanta, 2010). Penurunan
produksi, berat badan, feed convertion ratio (FCR), dan bahkan meningkatnya
kemungkinan kematian merupakan akibat dari mekanisme pembuangan panas secara
insensible heat loss (panting) bila terjadi dalam waktu yang cukup lama.Penurunan
feed intake mengakibatkan asupan nutrisi berkurang, termasuk protein kasar, lemak
kasar (asam lemak linoleat) dan kalsium sehingga berat telur menurun bahkan
produksi telur berhenti (Amrullah, 2002). Kualitas kerabang telur juga terganggu
pada saat suhu tinggi. Aktivitas ayam melakukan panting mengakibatkan penurunan
konsentrasi CO2 dalam darah sehingga proses metabolisme di dalam tubuh ayam pun
berubah. Kondisi pH darah akan meningkat, menjadi bersifat alkalis dan kemampuan
mengikat dan membawa kalsium yang diperlukan untuk pembentukan kerabang telur
menjadi berkurang, akibatnya kerabang telur menjadi lebih tipis (Yuwanta, 2010).

22

Pengaruh cekaman panas selanjutnya adalah adanya perubahan komposisi
darah. Perubahan tersebut yakni kolesterolemia, nitrogen yang bukan protein
meningkat, Ca++ meningkat, imbangan Na+ dan K+ meningkat, lifopenian dan
heterofilia. Lebih lanjut, cekaman panas juga akan mempengaruhi respon dari
kelenjar adrenal dan kelenjar limfoid. Respon dari kelenjar adrenal antara lain:
mengalami hipertrofi, kandungan kolesterol menurun, sintesis kortikosteron
meningkat, dan kandungan asam askorbat (Vitamin C) menurun. Sementara respon
dari kelenjar limfoit yakni: terjadi degenerasi pada bursa fabrisius, degenerasi
thymus, dan degenerasi tingkat antibody. Akibat dari akumulasi cekaman panas
tersebut maka metabolisme tubuh akan terganggu sebagai akibat dari gangguan
keseimbangan organ penghasil hormon atau enzim (Rao dan Reddy, 2004). Gambar
9 merupakan respon fisiologis ayam terhadap pengaruh stres panas dan pengaruhnya
terhadap kualitas kerabang telur, sedangakan gambar 10 merupakan tahapan-tahapan
(fase) respon fisiologis ayam akibat stres (Rao dan Reddy, 2004).
Suhu tinggi

Panting (Hyperventilasi)

Penurunan feed intake

Permintaan untuk
regulasi suhu tubuh

Kehilangan metabolis CO2

Penyerapan Ca tulang

Banyak darah
mengalir pada
pembulu darah tepi

Unggas
mengalami
stres

Hypobicarbonaemia

Hyperphosphataemia

Menurunkan aliran
darah ke uterus

menurunkan
kemampuan
organ
lymphoid
(bursa, limpa,
and thymus)
meningkatkan
rasio dari
heterophils
dan
lymphocytes
dalam darah

Menurunkan kapasitas
buffer dari H+ selama
penyusunan kerabang telur
Penurunan konsentrasi dari
carbonic anhydrase

produksi ion bicarbonat
melemah di uterus

menurunkan kapasitas
uterus untuk menyusun
CaCO3

Mengurangi kualitas
kerabang

Mengurangi kualitas
kerabang

Stres and
immunitas

Mudah
terserang
penyakit

Mengurangi kualitas
kerabang

Gambar 8. Respon Fisiologis Ayam Terhadap Pengaruh Stres Panas

23

Tahap I

Tahap II

Reaksi
Alarm/peringatan
Adrenal medulla

Epinephrine
(adrenaline)

Peripheral
vasoconstriction

Jika stresor
berlanjut

Tahap
perlawanan/resistance
Adrenal cortex

Corticosteroids
(glucagon)

Stres terakomodasi

Tahap III
Jika stresor
berlanjut dan
cukup kuat

Tahap keletihan
Adrenal cortex

Kemampuan untuk
memproduksi
Corticosteroids
(glucagon) menurun

Ketidakmampuan
secara fisik

Respirasi
meningkat
Tekanan darah
meningkat
Feed intake
menurun
Aktifitas gonadal
menurun
Respon imun
menurun

Mati

Gambar 9. Tahapan Respon Fisilogis Ayam Akibat Stres

24

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian produksi telur ayam Arab dilaksanakan di Laboratorium Lapang
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (Blok B), sedangkan penelitian kualitas
internal dan eksternal telur ayam Arab dilakukan di Laboratorium Unggas Ilmu
Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
dilaksanakan selama tiga bulan dari bulan Juli sampai September 2010.
Materi
Ternak
Ayam Arab yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 150 ekor yang
telah diseleksi berdasarkan berat badan dengan rataan 1,172 ± 0,009 kg, sedangkan
ayam Arab yang memiliki berat badan di bawah 1 kg tidak dijadikan sebagai ternak
percobaan. Semua ayam Arab yang digunakan dalam penelitian ini akan memasuki
masa produksi. Ayam Arab kemudian dipisahkan ke dalam enam kandang yang
terbagi dalam tiga kelompok perlakuan suhu berbeda.
Pakan
Pakan yang digunakan pada penelitian ini merupakan pakan komersil untuk
ayam petelur produktif yang diproduksi oleh PT Gold Coin Indonesia dengan kode
produksi 105M. Kandungan nutrisi pakan ayam tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel Nutrisi
8. Komposisi
Tabel 8. Komposisi
Pakan Nutrisi Pakan
Zat Makanan

Komposisi (%)

Kadar air

Maks. 13,0

Protein

16,0-18,0

Lemak

Min. 3,0

Serat

Maks. 6,0

Abu

Maks. 14,0

Kalsium

Min. 3,0-4,2

Fosfor

Min. 0,6-1,0

Sumber: PT Gold Coin Indonesia (2010)

25

Alat dan Bahan
Peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian produksi dan kualitas telur ayam
Arab adalah timbangan digital dengan ketelitian 0,001, jangka sorong, tripod
mikrometer, yolk colour fan, mikrometer, meja kaca, spatula, candler, official