Keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat di Taman Wisata Alam Madapangga Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANGAN DAN OBAT
DI TAMAN WISATA ALAM MADAPANGGA
KABUPATEN BIMA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

YAYU YULIATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN
MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Tumbuhan
Pangan dan Obat di Taman Wisata Alam Madapangga Kabupaten Bima Provinsi
Nusa Tenggara Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor,

Februari 2013

Yayu Yuliati
NIM E351100111

RINGKASAN

YAYU YULIATI. Keanekaragaman Tumbuhan Pangan dan Obat di Taman
Wisata Alam Madapangga Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Dibimbing oleh ERVIZAL A.M. ZUHUD dan AGUS PRIYONO KARTONO.
Taman Wisata Alam (TWA) Madapangga merupakan salah satu kawasan
konservasi di Kabupaten Bima yang memiliki sumberdaya tumbuhan yang cukup
tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis dan
pola sebaran tumbuhan pangan dan obat di TWA Madapangga, jenis tumbuhan
pangan dan obat yang dimanfaatkan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat
sekitar kawasan serta pengembangannya. Analisis vegetasi dilakukan untuk
menentukan keanekaragaman jenis, dominansi jenis, pola sebaran dan kesamaan

komunitas. Wawancara dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman jenis
berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat.
Tumbuhan pangan ditemukan 36 jenis yang berasal dari 20 famili dan 4
habitus yang terdiri atas 25 jenis pohon, 1 jenis perdu, 9 jenis herba dan 1 jenis
liana. Famili yang ditemukan dengan jumlah jenis terbanyak yaitu Anacardiaceae
dan Leguminosae masing-masing 4 jenis, sedangkan Amaranthaceae, Myrtaceae
dan Rutaceae masing-masing ada 3 jenis. Tumbuhan pangan yang ditemukan
dalam kawasan TWA Madapangga diketahui dimanfaatkan yaitu sebagai buahbuahan (17 jenis), sayuran (15 jenis), sebagai lalapan dan bumbu masak (masingmasing 5 jenis) serta sumber karbohidrat (3 jenis). Bagian dari tumbuhan tersebut
yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan sebagian besar berupa buah (25 jenis),
daun (18 jenis), biji (4 jenis), bunga (3 jenis), umbi dan batang (masing-masing 2
jenis) dan seluruh bagian tanaman (1 jenis).
Tumbuhan obat ditemukan 76 jenis yang berasal dari 40 famili dan 6
habitus yang terdiri atas 38 jenis pohon, 10 jenis perdu, 23 jenis herba, 3 jenis
liana, masing-masing 1 jenis epifit dan parasit. Famili yang ditemukan dengan
jumlah jenis terbanyak yaitu Leguminosae sebanyak 7 jenis, Euphorbiaceae
sebanyak 6 jenis, Amaranthaceae, Anacardiaceae dan Rutaceae masing-masing 4
jenis serta Asteraceae, Moraceae dan Myrtaceae masing-masing 3 jenis.
Tumbuhan obat yang ditemukan dalam kawasan TWA Madapangga diketahui
dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit. Pemanfaatan jenis-jenis
tersebut dikategorikan ke dalam 15 kelompok penyakit/penggunaan. Bagian dari

tumbuhan tersebut yang banyak dimanfaatkan yaitu daun (48 jenis), kulit batang
(24 jenis), akar (19 jenis), buah (17 jenis), bunga (8 jenis), biji (21 jenis), rimpang,
kulit buah dan umbi (masing-masing 2 jenis) serta seluruh bagian (11 jenis).
Indeks kekayaan Margalef tumbuhan obat dan pangan tertinggi terdapat
pada blok pemanfaatan intensif yaitu masing-masing 10.29 dan 6.09; sedangkan
terendah pada blok perlindungan yaitu masing-masing 4.97 dan 2.77. Indeks
keragaman Shannon-Wiener tertinggi juga terdapat pada blok pemanfaatan
intensif yaitu masing-masing 3.66 dan 3.12; sedangkan terendah pada blok
perlindungan yaitu masing-masing 2.66 dan 2. Indeks kemerataan jenis pada
ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga cenderung tinggi dengan nilai
evenness masing-masing lebih dari 0.7.

Tumbuhan pangan berhabitus pohon didominasi oleh jenis Tamarindus
indica, Ziziphus mauritiana, Shcleicera oleosa, Protium javanicum, Psidium
guajava, Syzygium cumini, dan Aleurites moluccana; sedangkan tumbuhan obat
terdiri atas Alstonia scholaris, Strychnos ligustrina, Alstonia spectabilis,
Lagerstroemia speciosa dan Jatropha curcas. Tumbuhan pangan berhabitus
semak dan herba didominasi oleh jenis Solanum indicum, Amaranthus spinosus,
Portulaca oleracea, Ocimum sanctum dan Lantana camara; sedangkan tumbuhan
obat didominasi oleh jenis Zingiber aromaticum, Achyranthes aspera, Justicia

gendarussa, S.indicum dan Amorphophallus variabilis. Liana yang tergolong
tumbuhan pangan yang sering dijumpai di lokasi penelitian yaitu jenis Momordica
charantia, sedangkan yang tergolong tumbuhan obat yaitu Tinospora crispa dan
Piper retrofractum. Epifit dan parasit masing-masing hanya ditemukan Asplenium
nidus dan Dendropthoe sp.
Pola sebaran tumbuhan pangan dan obat sebagian besar mengelompok
(76.32%), namun terdapat beberapa jenis yang memiliki pola sebaran seragam
antara lain Ficus benjamina, Ceiba pentandra, M. charantia, Swietenia mahagoni,
Melia azederach, P.retrofractum dan Spondias dulcis. Nilai IS (indeks kesamaan)
tumbuhan pangan dan obat antar blok perlindungan dan blok pemanfaatan terbatas
serta antar blok pemanfaatan terbatas dan blok pemanfaatan intensif yaitu masingmasing 0.69 dan 0.64. Sebaliknya, nilai IS tumbuhan pangan dan obat antar blok
perlindungan dan blok pemanfaatan intensif kurang dari 0.3.
Tumbuhan pangan yang ditemukan dalam kawasan TWA Madapangga
dikelompokkan berdasarkan pengetahuan masyarakat sekitar ke dalam tiga
kategori pemanfaatan yaitu jenis-jenis yang jarang dimanfaatkan (minor)
sebanyak 13 jenis, jenis-jenis yang sering dimanfaatkan dan telah memiliki nilai
ekonomi (sudah dijual ke pasar) sebanyak 10 jenis, serta jenis-jenis yang
berpotensi untuk dikembangkan sebanyak 13 jenis. Jenis tumbuhan pangan yang
sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TWA Madapangga yaitu T.indica,
Mangifera sp., M.charantia, Syzygium aqueum, Anacardium occidentale, Citrus

aurantifolia, P.guajava, A.moluccana, Annona squamosa dan Moringa oleifera.
Tumbuhan obat yang ditemukan dalam kawasan TWA Madapangga
dikelompokkan berdasarkan pengetahuan masyarakat sekitar ke dalam tiga
kategori pemanfaatan yaitu jenis-jenis yang jarang dimanfaatkan (minor)
sebanyak 57 jenis, jenis-jenis yang sering dimanfaatkan sebanyak 13 jenis dan
jenis-jenis yang berpotensi untuk dikembangkan sebanyak 8 jenis. Jenis tumbuhan
obat yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu S.ligustrina, P.retrofractum,
T.indica, T.crispa, P.guajava, J.curcas, A.moluccana, A.scholaris, Areca catechu,
Hibiscus tiliaceus, A.aspera dan Z.aromaticum.
Tingkat pengetahuan masyarakat sekitar (Desa Ndano dan Monggo) tentang
pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat yang cukup baik (48.33%). Terdapat
perbedaan tingkat pengetahuan yang signifikan antar kelas umur responden (X2
2
hitung = 6.100 dan X (0,05;2) = 5.991). Pengembangan tumbuhan pangan dan obat
dapat dilakukan secara insitu dan eksitu; melibatkan masyarakat, LSM dan
perguruan tinggi sebagai mitra dalam kegiatan pengelolaan; meningkat
pengetahuan dan kesadaran konservasi masyarakat; pemanfaatan secara lestari;
dan meningkatkan nilai ekonominya.
Kata Kunci: keanekaragaman, obat, pangan, TWA Madapangga


SUMMARY

YAYU YULIATI. Diversity of food and medicinal plants in Madapangga
Tourism Park Bima District of West Nusa Tenggara Province. Under direction by
ERVIZAL A.M. ZUHUD and AGUS PRIYONO KARTONO.
Madapangga Tourism Nature Park is one of the conservation area in Bima
District that has a high plants resources. This study aims to identify the species
diversity of food and medicine plants, utilization by people around the area and its
development. Vegetation analysis was conducted to determine species diversity,
species dominance, distribution patterns and community similarity. Interviews
were conducted to determine the common species used and the level knowledge
of people about the use of food and medicinal plants.
Food plants are found 36 species from 20 families and 4 habitus consisting
of 25 species of trees, 1 species of shrubs, 9 species of herbs and 1 species of
liana. Anacardiaceae and Leguminosae were found with the highest number of
species respectively 4 species, whereas Amaranthaceae, Myrtaceae and Rutaceae
respectively 3 species. That food plants used as fruits (17 species), vegetables (15
species), fresh vegetables and spices (respectively 5 species), the source of
carbohydrate (3 species). Part of the plants are used as food mostly fruits (25
species), leaves (18 species), seeds (4 species), flowers (3 species), bulbs and

stems (respectively 2 species) and all parts of the plant (1 species).
Medicinal plants are found 76 species from 40 families and 6 habitus
consisting of 38 species of trees, 10 species of shrubs, 23 species of herbs, 3
species of lianas, respectively 1 species from epiphyte and parasite. Leguminosae
were found with the highest number of species are 7 species; Euphorbiaceae are 6
species; Amaranthaceae, Anacardiaceae and Rutaceae respectively 4 species;
Asteraceae, Moraceae, and Myrtaceae respectively 3 species. That medicinal
plants are used to treat a variety of illness. Utilization of these species are
categorized into 15 groups of diseases / usage. Part of the plants used are the
leaves (48 species), bark (24 species), roots (19 species), fruits (17 species),
flowers (8 species), beans (21 species), roots, bark fruit and tubers (respectively 2
species) and all parts (11 species).
The highest richness and diversity of food and medicinal plants found in
intensive utilization block. Margalef richness index food and medicinal plants in
that block respectively 10.29 and 6.09, whereas Shannon-Wiener diversity index
respectively 3.66 and 3.12. The lowest Margalef richness index of food and
medicinal plants found in protection block respectively 4.97 and 2.77, whereas
Shannon-Wiener diversity index respectively 2.66 and 2. Evenness value in the
third block in the management tend to be higher with value each more than 0.7.
Tree habitus of food plants dominated by Tamarindus indica, Ziziphus

mauritiana, Shcleicera oleosa, Protium javanicum, Psidium guajava, Syzygium
cumini, and Aleurites moluccana; whereas medicinal plants consist of Alstonia
scholaris, Strychnos ligustrina, Alstonia spectabilis, Lagerstroemia speciosa and
Jatropha curcas. Shrub and herb habitus dominated by Solanum indicum,
Amaranthus spinosus, Portulaca oleracea, Ocimum sanctum and Lantana
camara; whereas medicinal plants are dominated by Zingiber aromaticum,

Achyranthes aspera, Justicia gendarussa, S.indicum and Amorphophallus
variabilis. Liana habitus belonging food plants are found in the study site is
Momordica charantia, whereas those belonging medicinal plants are Tinospora
crispa and Piper retrofractum. Epiphyte and Parasite habitus are found
respectively Asplenium nidus and Dendropthoe sp.
Distribution pattern of food and medicinal plants in mostly clustered
(76.32%), but there are some species that have uniform distribution pattern
include Ficus benjamina, Ceiba pentandra, M.charantia, Swietenia mahagoni,
Melia azederach, P.retrofractum and Spondias dulcis. Community similarity
index (IS) of food and medicinal plant inter protection block and limited
utilization block; and inter limited utilization block and intensive utilization block
respectively 0.69 and 0.64. In contrast, the IS value of food and medicinal plants
inter protection block and intensive utilization block less than 0.3.

People around the site classifying food and medical plants are found in the
site into 3 categories, namely the utilization of rare species used (minor), is often
used and has economic value (already sold on the market) as well as the potential
to be developed. Food plants are rarely used (minor) 13 species, is often used as
many as 10 species and has the potential to be developed as many as 13 species.
Food plants commonly used by the people such as T.indica, Mangifera sp.,
M.charantia, Syzygium aqueum, Anacardium occidentale, Citrus aurantifolia,
P.guajava, A.moluccana, Annona squamosa and Moringa oleifera.. Medicinal
plants are rarely used (minor) as many as 57 species, 13 species are often
exploited and potential to develop as many as 8 species. Medicinal plants
commonly used by the people such as S.ligustrina, P.retrofractum, T.indica,
T.crispa, P.guajava, J.curcas, A.moluccana, A.scholaris, Areca catechu, Hibiscus
tiliaceus, A.aspera dan Z.aromaticum.
There are significant differences level knowledge between respondents age
class about the use of food and medicinal plants Development of food and
medicinal plants that can be made are in situ and eksitu; involving local people,
NGOs and university as partners in management activity, improve the knowledge
and conservation awareness of people; sustainable use, and increase its economic
value.


Keywords: diversity, food, medicinal, Madapangga Tourism Nature Park

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANGAN DAN OBAT
DI TAMAN WISATA ALAM MADAPANGGA
KABUPATEN BIMA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

YAYU YULIATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Agus Hikmat, MScF

Judul Tesis

Nama
NIM

: Keanekaragaman Tumbuhan Pangan dan Obat di Taman
Wisata Alam Madapangga Kabupaten Bima Provinsi Nusa
Tenggara Barat
: Yayu Yuliati
: E351100111

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud, MS
Ketua

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 22 Januari 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi
Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan kepada:
1. Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS dan Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi
selaku dosen pembimbing atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran, saran
dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan sehingga
penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.
2. Dr Ir Agus Hikmat, MScF selaku dosen penguji atas saran yang membangun
demi perbaikan tesis ini.
3. Bapak/Ibu di Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara
Barat dan Kantor Seksi Konservasi Wilayah III Bima Balai Konservasi
Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Barat (Arap S.P, Faizin S.Hut, Maulana
Ustadz, Marmo, Devi Natalia dan khususnya keluarga besar pak Rajiman atas
bantuannya selama di lapangan).
4. Dosen-dosen Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
atas ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang telah diberikan.
5. Ayahanda Muhammad Nur dan Ibunda Siti Atni, suami tercinta Fahmi
A.Wahab, adik-adik serta keluarga besar yang selalu memberikan motivasi
dan doanya setiap waktu sampai saat ini.
6. Teman-teman Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
dan Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan angkatan 2010 atas diskusi
dan motivasi-motivasinya.
7. Sekretariat Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika atas
bantuan dan dukungan administratif yang telah diberikan.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor,

Februari 2013

Yayu Yuliati
E351100111

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Perumusan Masalah
Kerangka Pikir

1
1
2
2
2
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan Pangan
Tumbuhan Obat
Kedaulatan Pangan dan Obat
Kearifan Lokal

5
5
6
7
9

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Keadaan Fisik Kawasan
Pengelolaan Kawasan TWA Madapangga
Potensi Biotik dan Abiotik
Potensi Wisata
Aksesibilitas
Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya

11
11
13
15
16
16
16

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Bahan dan Alat
Jenis Data yang Dikumpulkan
Pengumpulan Data
Analisis Data

20
20
20
20
20
23

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pangan dan Obat
di TWA Madapangga
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pangan dan Obat
Berdasarkan Pengetahuan Lokal Masyarakat
Pengembangan Potensi Tumbuhan Pangan dan Obat

27

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

66
66
66

DAFTAR PUSTAKA

67

LAMPIRAN

74

27
43
56

DAFTAR TABEL
1 Rata-rata hari hujan, curah hujan dan suhu harian di wilayah
Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima tahun 2009 – 2011
2 Jumlah penduduk Desa Ndano dan Monggo pada tahun 2009 dirinci
menurut jenis kelamin
3 Kepadatan penduduk Desa Ndano dan Monggo tahun 2009
4 Jumlah penduduk Desa Ndano dan Monggo yang bekerja di sektor
pertanian tahun 2009
5 Luas dan fungsi hutan yang ada di Kabupaten Bima
6 Jumlah tempat ibadah di Desa Ndano dan Monggo tahun 2009
7 Alokasi responden pada pengumpulan data pemanfaatan tumbuhan
pangan dan obat
8 Rekapitulasi lima (5) jenis tumbuhan pangan yang memiliki INP
tertinggi secara keseluruhan di TWA Madapangga
9 Rekapitulasi lima (5) jenis tumbuhan obat yang memiliki INP tertinggi
secara keseluruhan di TWA Madapangga
10 Rekapitulasi jenis tumbuhan pangan dan obat yang memiliki pola
sebaran seragam di TWA Madapangga
11 Daftar tiga belas (13) jenis tumbuhan pangan yang jarang dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga
12 Daftar sepuluh (10) jenis tumbuhan pangan yang sering dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga
13 Daftar tiga belas (13) jenis tumbuhan pangan yang berpotensi untuk
dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga
14 Daftar sepuluh (12) jenis tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga
15 Tabel tingkat pengetahuan pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat
dengan kelas umur responden

12
16
17
17
18
19
23
37
38
41
43
44
45
48
55

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Skema kerangka pikir penelitian
Strategi pengembangan kedaulatan pangan dan obat
Kegiatan wisata di TWA Madapangga
Skema penempatan petak-petak contoh pada tiap transek
Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan famili
Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan habitus
Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan bagian yang dimanfaatkan
Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan kelompok pemanfaatan
Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pangan pada ketiga blok
pengelolaan di TWA Madapangga
10 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pangan berdasarkan habitus
dan tingkat pertumbuhannya di TWA Madapangga
11 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan famili

4
8
13
21
28
28
29
29
30
31
32

12 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan habitus
13 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan bagian yang dimanfaatkan
14 Jumlah
jenis
tumbuhan
obat
berdasarkan
kelompok
penyakit/penggunaan
15 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan obat pada ketiga blok
pengelolaan di TWA Madapangga
16 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan obat berdasarkan habitus dan
tingkat pertumbuhannya di TWA Madapangga
17 Jenis-jenis pohon yang ditemukan mendominasi di TWA Madapangga
18 Jenis-jenis herba yang mendominasi di TWA Madapangga
19 Jenis-jenis liana yang mendominasi di TWA Madapangga
20 Indeks kesamaan komunitas antar blok pengelolaan
di TWA Madapangga
21 Jenis-jenis tumbuhan pangan yang dijual ke pasar
22 Jenis-jenis tumbuhan obat yang dijual ke pasar
23 Kegiatan pengelolaan kawasan TWA Madapangga
24 Lahan pertanian di sekitar TWA Madapangga
25 Salah satu sumber mata air di TWA Madapangga
26 Hubungan antara pengelola dan masyarakat dalam usaha
pengembangan potensi TWA Madapangga
27 Kondisi TWA Madapangga dan sekitarnya

33
34
34
35
36
39
39
40
42
46
49
57
58
59
60
62

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta lokasi penelitian
2 Keanekaragaman jenis tumbuhan pangan yang ditemukan di TWA
Madapangga
3 Keanekaragaman jenis tumbuhan obat yang ditemukan di TWA
Madapangga
4 Keanekaragaman pemanfaatan jenis tumbuhan pangan berdasarkan
pengetahuan lokal masyarakat sekitar TWA Madapangga dan hasil
penelusuran literatur
5 Keanekaragaman pemanfaatan jenis tumbuhan pangan berdasarkan
pengetahuan lokal masyarakat sekitar TWA Madapangga dan hasil
penelusuran literatur
6 Hasil analisis data kenekaragaman jenis tumbuhan pangan pada blok
perlindungan di TWA Madapangga
7 Hasil analisis data kenekaragaman jenis tumbuhan pangan pada blok
pemanfaatan terbatas di TWA Madapangga
8 Hasil analisis data kenekaragaman jenis tumbuhan pangan pada blok
pemanfaatan intensif di TWA Madapangga
9 Hasil analisis data kenekaragaman jenis tumbuhan obat pada blok
perlindungan di TWA Madapangga
10 Hasil analisis data kenekaragaman jenis tumbuhan obat pada blok
pemanfaatan terbatas di TWA Madapangga

75
76
77

79

82
89
90
92
94
96

11 Hasil analisis data kenekaragaman jenis tumbuhan obat pada blok
permanfaatan intensif di TWA Madapangga
12 Daftar indeks nilai penting (INP) tumbuhan pangan secara keseluruhan
berdasarkan habitus dan tingkat pertumbuhannya di TWA Madapangga
13 Daftar indeks nilai penting (INP) tumbuhan obat secara keseluruhan
berdasarkan habitus dan tingkat pertumbuhannya di TWA Madapangga
14 Pola sebaran jenis tumbuhan pangan dan obat di TWA Madapangga
15 Hasil analisis chi-square tentang tingkat pengetahuan pemanfaatan
tumbuhan pangan dan obat masyarakat sekitar kawasan TWA
Madapangga
16 Daftar panduan pertanyaan wawancara

99
102
106
109

113
114

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan mempunyai potensi sebagai penyedia keanekaragaman plasma nutfah
sumber pangan dan obat. Berbagai bahan pangan dan obat teridentifikasi berasal
dari kawasan hutan, baik jenis-jenis yang masih liar maupun yang sudah
dibudidayakan. Keanekaragaman hayati tersebut merupakan potensi yang dapat
dimanfaatkan untuk mendukung rediversifikasi pangan dan pengadaan bahan
baku obat. Melalui rediversifikasi pangan diharapkan konsumsi pangan
masyarakat menjadi bervariasi (Sinta 2000), sedangkan dalam hal pengadaan
bahan baku obat semakin beragamnya jenis tumbuhan yang digunakan berarti
bertambahnya bahan baku (Pribadi 2009).
Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan rediversifikasi
pangan adalah menggali kembali potensi pangan lokal yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat suatu daerah (Ariani 2006). Potensi pangan lokal yang dimiliki
tersebut dapat dikembangkan untuk memenuhi keanekaragaman pangan
masyarakat pada daerah yang bersangkutan. Semakin beragamnya sumber
pangan, kedaulatan sekaligus ketahanan pangan nasional diharapkan dapat
terwujud.
Pengadaan bahan baku obat selama ini sebagian besar masih dipanen
langsung dari alam, sementara usaha budidaya yang dilakukan masih terbatas
(Kemala et al. 2003). Akibatnya jenis-jenis tumbuhan obat yang biasa digunakan
sebagai bahan baku industri tradisional semakin langka dan sulit didapatkan.
Semakin beragamnya jenis-jenis tumbuhan yang diketahui berpotensi sebagai
obat, bahan baku juga menjadi semakin bervariasi (Sari 2006). Jenis-jenis
berpotensi tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai bahan baku obat
baik untuk usaha skala kecil, menengah maupun industri.
Kajian mengenai keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat pada kawasan
hutan perlu terus dilakukan, khususnya di kawasan-kawasan konservasi yang
masih ada. Data yang diperoleh dari kajian tersebut sangat dibutuhkan dalam
kegiatan pelestarian dan pemanfaatannya.
Taman Wisata Alam (TWA) Madapangga merupakan kawasan konservasi
keanekaragaman hayati di Kabupaten Bima sekaligus sebagai penyedia sumber air
bagi wilayah sekitarnya. Salah satu sumber air terbesar di TWA Madapangga
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai objek wisata (BKSDA NTB 2010).
Informasi ilmiah yang berkaitan dengan keanekaragaman tumbuhan yang terdapat
dalam kawasan TWA Madapangga masih sangat sedikit. Oleh karena itu perlu
dilakukan kegiatan penelitian tentang keanekaragaman tumbuhan di kawasan
tersebut, khususnya yang berpotensi sebagai bahan pangan dan obat. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi ilmiah yang bermanfaat
bagi penelitian lanjutan, pengelolaan, maupun konservasi jenis-jenis tumbuhan
pangan dan obat di TWA Madapangga.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkaji:
1. Keanekaragaman jenis dan pola sebaran tumbuhan pangan dan obat di TWA
Madapangga
2. Keanekaragaman jenis tumbuhan pangan dan obat berdasarkan pengetahuan
lokal masyarakat sekitar TWA Madapangga
3. Pengembangan potensi tumbuhan pangan dan obat di sekitar TWA
Madapangga
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat :
1. Memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan berupa ketersediaan
informasi tentang keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat
2. Menjadi bahan informasi bagi masyarakat yang berminat mengembangkan
usaha di bidang agribisnis pangan dan obat
3. Menjadi bahan pertimbangan bagi pengelola kawasan dalam kegiatan
pengelolaan khususnya pelestarian tumbuhan pangan dan obat di TWA
Madapangga Kabupaten Bima
Perumusan Masalah
Perhatian pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan pangan akhir-akhir ini
terus meningkat, salah satunya dengan dikeluarkannya kebijakan rediversifikasi
pangan. Rediversifikasi pangan merupakan usaha penganekaragaman kembali
sumber-sumber pangan. Melalui kebijakan ini diharapkan konsumsi pangan
masyarakat menjadi bervariasi (Sinta 2000). Salah satu usaha yang dilakukan
untuk mewujudkan rediversifikasi pangan adalah menggali potensi pangan lokal
yang telah biasa dikonsumsi oleh masyarakat suatu daerah, baik yang sudah
dibudidayakan maupun yang masih liar di hutan (Ariani 2006). Namun usaha
tersebut terkendala dengan semakin terkikisnya kearifan pengetahuan
pemanfaatan pangan lokal masyarakat, sehingga perlu digiatkan kembali kegiatan
eksplorasi dan inventarisasi sumberdaya pangan lokal di suatu wilayah. Kegiatan
tersebut diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keragaman sumber
pangan, mengamankan jenis dari kepunahan dan memanfaatkannya sebagai
sumber dalam perbaikan atau pembentukan varietas baru yang unggul dengan
sifat-sifat yang diinginkan (Rais 2004).
Peningkatan permintaan akan produk dari tumbuhan obat tidak hanya
sebatas peningkatan kuantitas tumbuhan yang telah biasa digunakan, tetapi juga
berkembang ke arah horizontal yaitu bertambahnya jenis tumbuhan yang
digunakan dan secara vertikal berupa bertambahnya ragam produk yang
dihasilkan (Kemala et al. 2003). Tumbuhan obat yang dimanfaatkan sebagai
bahan baku obat selama ini sebagian besar masih dipanen langsung dari alam,
sementara usaha budidaya yang dilakukan masih terbatas.

3
Keberadaan kawasan hutan sebagai salah satu areal penyebaran jenis-jenis
tumbuhan pangan dan obat sangat penting diperhatikan, agar eksistensi alami
jenis-jenis tersebut tetap terjaga dan dapat terus memberikan manfaat bagi
kesejahteraan masyarakat sekitar. TWA Madapangga merupakan salah satu
kawasan konservasi di Kabupaten Bima yang diduga memiliki potensi
keanekaragaman plasma nutfah tumbuhan. Penelitian mengenai keanekaragaman
tumbuhan pangan dan obat yang terdapat di TWA Madapangga perlu dilakukan
untuk merumuskan kegiatan konservasinya ke depan. Berdasarkan hal-hal yang
diuraikan di atas, maka permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana keanekaragaman jenis dan pola sebaran tumbuhan pangan dan obat
di TWA Madapangga?
2. Bagaimana keanekaragaman jenis tumbuhan pangan dan obat berdasarkan
pengetahuan lokal masyarakat sekitar TWA Madapangga?
3. Bagaimana pengembangan potensi tumbuhan pangan dan obat di TWA
Madapangga?
Kerangka Pikir
Saat ini, pasokan pangan dunia telah mengandalkan hasil budidaya. Terdapat 12
jenis tanaman budidaya yang memberikan kontribusi lebih dari 85-90% dari
kebutuhan pangan dunia. Pemanfaatan tumbuhan pangan lokal yang berasal dari
hutan di berbagai belahan dunia tidak dapat diabaikan (Grivetti & Ogle 2000).
Teridentifikasi sekitar 26 jenis tumbuhan yang berasal dari areal hutan dan
perkebunan di Indonesia yang telah dijadikan sebagai sumber karbohidrat. Jenisjenis yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber karbohidrat
antara lain Metroxylon spp., Marantha arundinacea, C.edulis dan Dioscorea
esculenta. Namun, pemanfaatan tumbuhan pangan lokal yang berasal dari hutan
masih terbatas pada masyarakat sekitar kawasan hutan. Potensi tersebut masih
dipandang rendah oleh sebagian masyarakat karena dianggap sebagai bahan
pangan yang dikonsumsi oleh golongan menengah ke bawah/miskin (Sinta 2000).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengangkat citra bahan pangan lokal melalui
penerapan teknik budidaya yang sesuai sehingga memiliki produktifitas yang
tinggi dan
mengolahnya produk-produk yang akan dihasilkan dengan
menggunakan aplikasi teknologi. Adanya aplikasi teknologi terhadap proses
produksi, produk-produk pangan tersebut diharapkan dapat diminati oleh
masyarakat. Dukungan pemerintah, akademisi dan pihak swasta juga sangat
dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Perkembangan zaman dan terknologi menyebabkan permintaan bahan baku
obat terus meningkat. Bahan baku obat selama ini sebagian besar masih dipasok
langsung dari alam, sementara usaha budidaya yang dilakukan masih terbatas.
Akibatnya jenis-jenis tumbuhan obat yang biasa digunakan sebagai bahan baku
industri semakin langka dan sulit didapatkan. Semakin meningkatnya konversi
hutan menjadi areal penggunaan lain juga dapat mengancam keberadaan jenisjenis tumbuhan yang berpotensi sebagai obat. Faktor yang dapat mengancam
keberadaan tumbuhan obat di alam adalah deforestasi (90%), perluasan areal
pertanian (85%) dan kebakaran hutan (53%). Potensi tumbuhan obat di berbagai
kawasan hutan belum banyak diketahui dan pengembangannya belum banyak

4
dilakukan. Kondisi ini dapat menyebabkan tumbuhan obat rentan terhadap resiko
kepunahan Lulekal et al. ( 2008).
Kekayaan plasma nutfah tumbuhan pangan dan obat dalam suatu kawasan
hutan akan dapat dimanfaatkan secara optimal apabila telah diketahui potensinya.
Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan eksplorasi terhadap tumbuhan pangan
dan obat di dalam suatu kawasan hutan untuk mengetahui keanekaragamannya.
Data keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat dapat diperoleh melalui analisis
vegetasi sedangkan kajian pengetahuan pemanfaatannya oleh masyarakat sekitar
kawasan dilakukan dengan wawancara terhadap responden terpilih.
Data/informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar
pertimbangan dalam menyusun strategi konservasi dan pemanfaatan potensi
kawasan TWA Madapangga. Skema kerangka pikir penelitian ini disajikan pada
Gambar 1.
Ancaman :
 Konversi lahan hutan menjadi areal
penggunaan lainnya meningkat
 Pengetahuan tradisional pemanfaatan
tumbuhan pangan dan obat
masyarakat terkikis
 Potensi jenis tumbuhan pangan dan
obat belum banyak diketahui
 Pengembangan tumbuhan pangan
dan obat belum dilakukan

Tumbuhan Pangan
dan Obat

Pemanfaatan Diduga
akan Meningkat

Pasokan Kebutuhan
Masih Mengandalkan
dari Alam
Tumbuhan Pangan dan Obat
Rentan Terhadap Resiko
Kepunahan

Keberadaan Tumbuhan Pangan dan
Obat dalam Kawasan Konservasi

Analisis vegetasi

Keanekaragaman Tumbuhan
Pangan dan Obat

Wawancara dengan Masyarakat

Pemanfaatan Tumbuhan Pangan dan
Obat oleh Masyarakat Sekitar

Pengembangan Potensi Tumbuhan Pangan dan Obat

Gambar 1 Skema kerangka pikir penelitian.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tumbuhan Pangan
Menurut Poerwadarminto (1983) tumbuhan pangan adalah segala sesuatu
yang tumbuh, berdaun, berbatang, berakar dan dapat dimakan atau dikonsumsi
oleh manusia (apabila dikonsumsi oleh hewan disebut pakan). Bahan pangan yang
dapat diperoleh dari hasil hutan berupa buah-buahan, kacang-kacangan, sayuran,
dan tumbuhan yang mengandung karbohidrat. Berbagai potensi jenis tumbuhan
pangan tersebut telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan untuk
memenuhi kebutuhan pangan mereka (Sunarti et al. 2007). Tumbuhan pangan
dapat dikelompokkan menjadi tiga (Moeljopawiro & Manwan 1992) yaitu:
a. Komoditas utama yaitu Oriza sativa, Zea mays, Glycine max, Arachis
hipogaea, Phaseolus radiatus, Manihot utilissima dan Ipomoea batatas
b. Komoditas potensial yaitu Andopogon sorgum, Vigna sinensis, Cajanus cajan,
Sesamum orientale, Colocasia esculenta, Dioscorea alata dan Metroxylon spp.
c. Komoditas introduksi yaitu C.edulis, Panicum viridae, Triticum sativum dan
kara Dolichos lablab
Hutan tropika Indonesia yang terdiri dari berbagai tipe ekosistem
merupakan gudang keanekaragaman hayati termasuk tumbuhan yang dapat
dijadikan sebagai sumber pangan yaitu 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis
sumber lemak/minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 89 jenis buah-buahan, 228 jenis
sayuran, 40 jenis bahan minuman, 110 jenis rempah-rempah dan bumbu masak.
Potensi tersebut apabila dikelola dengan baik dapat kontribusi yang besar terhadap
pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Kawasan hutan dan lahan perkebunan
yang kita miliki diperkirakan dapat menghasilkan pangan sebanyak 1560 juta ton
per tahun, sehingga Indonesia dapat menjadi pusat cadangan pangan dunia. Hasil
tumpangsari dalam hutan sebenarnya cukup banyak dan dapat dikembangkan
untuk menghadapi kondisi rawan pangan yaitu M. utilissima, M. arundinacea, C.
edulis dan D.esculenta (Sinta 2000).
Berbagai penelitian yang telah dilakukan di daerah-daerah sekitar hutan
menunjukan bahwa masih terdapat ketergantungan masyarakat terhadap hutan
dalam memenuhi kebutuhan akan bahan pangan. Salah satu contoh adalah
masyarakat yang mendiami kawasan penggunungan di Papua memanfaatkan
umbi-umbian, serelia, buah-buahan dan sayuran dari dalam hutan untuk
memenuhi kebutuhan pangan. Selain di Papua, di beberapa kawasan pegunungan
di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Nusa Tenggara juga
menyimpan berbagai potensi sumberdaya pangan lokal (Hidayat et al. 2010).
Sejak dulu secara turun temurun masyarakat sekitar hutan terbiasa
memanfaatkan sumber-sumber pangan yang beragam untuk memenuhi kebutuhan
pangan sehari-hari. Keragaman pangan yang dikonsumsi juga mengandung
keragaman gizi, bahkan diantara bahan pangan tersebut berkhasiat sebagai obat.
Bahan pangan lokal dapat dikembangkan secara maksimal untuk memenuhi
kebutuhan pangan dan mengatasi ancaman krisis pangan pada suatu daerah.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut yaitu meningkatkan
produktifitasnya dengan penerapan teknik budidaya yang sesuai serta bagaimana

6
mengolah produk-produk pangan tersebut agar memiliki nilai tambah sehingga
diminati masyarakat. Selain itu perlu dukungan pemerintah, pihak swasta dan
kalangan akademisi dalam pengembangan potensi pangan lokal tersebut sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Misra et al. 2008).
Penganekaragaman konsumsi pangan dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi penganekaragaman konsumsi
pangan yaitu pendapatan, preferensi, keyakinan (budaya dan religi) serta
pengetahuan gizi, sedangkan faktor eksternal yaitu faktor agroekologi, produksi,
ketersediaan dan distribusi, anekaragam pangan yang tersedia dan promosi/iklan.
Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup dan seimbang merupakan salah satu
faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia masyarakat
(Ariani 2006).
Tumbuhan Obat
Tumbuhan obat adalah semua tumbuhan baik yang sudah maupun belum
dibudidayakan, dapat digunakan sebagai obat, berkisar dari yang terlihat dengan
mata hingga yang hanya nampak dibawah mikroskop (Hamid et al. 1991).
Menurut Zuhud & Haryanto (1994), tumbuhan obat adalah seluruh spesies
tumbuhan yang diketahui mempunyai khasiat obat yang dikelompokkan menjadi:
(1) tumbuhan obat tradisional yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau
dipercaya masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan
baku obat tradisional, (2) tumbuhan obat modern yaitu spesies tumbuhan yang
secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif dan
penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis, dan (3) tumbuhan
obat potensial yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa/bahan
bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah atau
penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit ditelusuri.
Beberapa etnis di Indonesia telah memanfaatkan tumbuhan yang ada di
lingkungan sekitar tempat tinggal mereka untuk mengobati berbagai jenis
penyakit yang diderita. Etnis Sunda diketahui memanfaatkan tumbuhan obat
sebanyak 305 jenis, Etnis Melayu memanfaatkan 131 jenis, Etnis Jawa
memanfaatkan 114 jenis, Etnis Dayak memanfaatkan 213 jenis dan Etnis Bali
memanfaatkan 105 jenis. Pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan obat tersebut
umumnya dilakukan secara tradisional dan diwariskan secara turun temurun dari
generasi ke generasi (Darusman 2004).
Tumbuhan obat dimanfaatkan antara lain untuk bahan baku industri obat
tradisional, industri makanan, minuman, farmasi dan kosmetik, bahan untuk
bumbu masak serta komoditi ekspor (Pribadi 2009). Peluang bisnis tumbuhan
yang berkhasiat obat sangat menjanjikan karena selain digunakan oleh bangsa
sendiri juga diminati oleh pasar dunia. Hal ini menyebabkan kecenderungan
permintaan produk obat herbal meningkat dengan cepat (Dwiyanto 2000). Jumlah
spesies tumbuhan obat yang telah berhasil diidentifikasi di Indonesia sekitar 2.039
spesies. Berdasarkan jumlah tersebut, tidak kurang dari 95 spesies diantaranya
merupakan tumbuhan obat liar yang saat ini dieksploitasi dalam jumlah besar dari
hutan maupun lahan lain sebagai bahan baku industri obat tradisional (Zuhud
2009).

7
Beberapa hasil penelitian di India menunjukkan walaupun aksesibilitas
terhadap pengobatan modern semakin mudah tetapi masih banyak masyarakat
yang bergantung pada pengobatan tradisional dengan tumbuhan obat. Tumbuhan
obat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit yang tergolong ringan seperti
penyakit kulit, demam, masuk angin, batuk, sakit kepala, gigitan serangga beracun
dan sakit gigi. Hal ini dilakukan karena pengobatan tradisional masih dianggap
murah, bahkan untuk mendapatkan obat yang dibutuhkan dapat langsung
memungutnya dari kebun atau hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Umumnya
pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan tumbuhan obat hanya dimiliki oleh
dukun atau tokoh-tokoh masyarakat yang usianya tergolong tua. Para generasi
muda mulai meninggalkan tradisi pengobatan secara tradisional dan beralih ke
pengobatan modern (Muthu et al. 2006)
Menurut Purwandari (2001) beberapa industri obat tradisional mengalami
kesulitan mendapatkan bahan baku tumbuhan obat di pasaran. Terdapat empat hal
yang menyebabkan sulitnya tumbuhan obat tersebut diperoleh di pasaran, yaitu:
1. Tumbuhan obat memang sudah mulai langka keberadaannya di alam, sehingga
pasokannya menurun dan sulit didapatkan di pasaran
2. Adanya jalur distribusi yang tidak normal
3. Bahan baku berupa buah/biji hanya ditemukan pada musim tertentu dan jika
bukan musimnya maka akan sulit ditemukan di pasaran
4. Adanya alih profesi masyarakat sekitar hutan yang bermata pencaharian
sebagai pencari/pemungut bahan baku tumbuhan obat ke profesi lain
Pengadaan bahan baku obat dari hutan merupakan tantangan di masa yang
akan datang. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi melonjaknya permintaan dan
mencegah kelangkaan bahan baku maka harus dilakukan usaha budidaya.
Kegiatan budidaya dapat dikembangkan dan dikelola dalam bentuk sentra-sentra
produksi tumbuhan obat potensial. Usaha tersebut harus berbasiskan potensi
wilayah dengan asas kelestarian dan pembagian keuntungan yang proporsional.
Dalam mengembangkan budidaya tumbuhan obat dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu (1) pengembangan pada lahan negara dan (2) pengembangan pada
lahan milik masyarakat. Pengembangan pada lahan negara adalah pengembangan
tumbuhan obat yang dilakukan pada lahan-lahan milik negara. Pengembangan
budidaya tumbuhan obat pada lahan milik masyarakat dapat dilakukan pada lahan
kebun, pekarangan, tegalan, sawah dan lain-lain. Kegiatan utama yang harus
dilakukan di dalam usaha pengembangan tumbuhan obat adalah (1) pembentukan
kemitraan dengan pihak swasta, (2) bimbingan, pendampingan dan pembinaan
kepada masyarakat petani tumbuhan obat, (3) teknik budidaya tumbuhan obat, (4)
pemanenan dan penanganan pasca panen tumbuhan obat, dan (5) pemasaran
hasil/produk (Direktorat Aneka Usaha Kehutanan & Fakultas Kehutanan IPB
2000).
Kedaulatan Pangan dan Obat
Definisi kedaulatan pangan menurut Deklarasi Nyéléni tahun 2007 adalah
hak masyarakat untuk mendapatkan pangan yang sehat dan sesuai dengan budaya
yang diproduksi melalui proses ekologis dan menggunakan metode berkelanjutan.
Deklarasi ini juga mengakomodir hak masyarakat untuk menentukan jenis-jenis

8
pangan yang akan dikomsumsi dan sistem pertaniannya. Kedaulatan pangan
mengindikasikan terjadi hubungan sosial baru yang bebas dari penindasan dan
ketidaksetaraan antara laki-laki dengan perempuan, masyarakat, kelompok ras,
sosial dan kelas ekonomi serta generasi. Mulvany (2010) dalam Zuhud (2011)
menyatakan bahwa deklarasi Nyéléni menghasilkan rumusan enam pilar
ketahanan pangan yaitu: (1) makanan diperuntukan bagi manusia sebagai hak
pangan bukan untuk komoditas ekspor, (2) menghormati nilai dan hak petani
sebagai penyedia makanan bukan mengusir petani dari lahan, (3) membuat sistem
pangan lokal, bukan mempromosikan perdagangan global yang tidak adil, (4)
membangun lokal kontrol, bukan pengekangan dengan Trans National
Coorperate, (5) membangun pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal,
bukan tergantung pada teknologi asing, dan (6) bekerja sesuai kaidah lingkungan,
bukan menggunakan metode yang membahayakan manfaat fungsi ekosistem
seperti pertanian monokultur yang intensif dan perusahaan peternakan.
Berikut ini akan ditunjukan gambaran strategi pengembangan kedaulatan
pangan dan obat yang diungkapkan oleh pakar tersebut yang sudah disesuaikan
dengan kondisi Indonesia. Konsep ini diharapkan dapat membangkitkan
produktifitas suatu kawasan hutan melalui pengembangan potensi tumbuhan
pangan dan obat yang terdapat di dalamnya.
Ketersediaan pangan dan obat
pada suatu kawasan hutan

C
A=Industri(simplified,
high external input
production)
B=Tingkat
Produktifitas yang
sedang berjalan
saat ini

C=Pemanfaatan pangan dan obat
oleh masyarakat
(low internal input production)

A

B

IPTEKS
(Pro rakyat, ramah lingkungan
dan eko-teknologi)

Rendah ...................Keanekaragaman dan daya lenting.................... Tinggi
Tinggi ................................Biaya karbon.................................... Rendah
Tinggi ..............................Coorperate control............................... Rendah
Rendah ....................Kedaulatan pangan dan obat........................... Tinggi
Rendah ..........................Kesejahteraan rakyat............................... Tinggi

Gambar 2 Strategi pengembangan kedaulatan pangan dan obat.
Pengembangan potensi tumbuhan pangan dan obat pada suatu kawasan
hutan diharapkan dapat dilakukan secara mandiri oleh pengelola dengan
melibatkan masyarakat sekitar kawasan. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan
pengembangan potensi kawasan diharapkan dapat memberikan manfaat yang
berarti bagi peningkatan kesejahteraannya. Masyarakat akan merasa diperhatikan
sehingga termotivasi untuk tetap menjaga keaslian kondisi kawasan dengan tidak
melakukan perambahan, memanen hasil hutan secara lestari dan membudidayakan
jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi pada lahan milik mereka. Apabila hal
tersebut diterapkan dengan baik, maka kondisi populasi jenis-jenis tumbuhan
pangan dan obat yang ada dalam kawasan tetap terjaga dan masyarakat dapat
memenuhi kebutuhannya dari hasil budidaya. Selain untuk memenuhi kebutuhan

9
sehari-hari, melalui kegiatan budidaya masyarakat juga mempunyai peluang untuk
mengembangkannya menjadi sebuah usaha yang dapat mendukung upaya
peningkatan kesejahteraannya.
Pemanfaatan potensi suatu kawasan hutan akan maksimal apabila dilakukan
pengelolaan yang tepat dan disertai dengan dukungan penuh dari masyarakat
sekitar hutan. Kegiatan pengelolaan yang yang akan dilakukan harus
mempertimbangkan kelestarian komponen biotik maupun abiotik dari kawasan.
Selain itu, diperlukan adanya kemitraan dengan berbagai pihak seperti perguruan
tinggi, LSM dan pihak swasta agar tujuan tersebut dapat tercapai. Perguruan
tinggi dan LSM dapat dilibatkan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan
potensi kawasan baik dalam aspek ekologi, ekonomi maupun sosial. Pihak swasta
dapat dilibatkan dalam kegiatan pengadaan transportasi untuk mengangkut hasil,
penyedia teknologi, distribusi produk, dan promosi.
Kearifan Lokal
Kearifan dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang dikembangkan oleh
suatu kelompok masyarakat yang terhimpun dari pengalaman panjang dalam
mengelola alam dalam ikatan yang saling menguntungkan bagi manusia dan
lingkungan secara berkelanjutan dan harmonis (Purba 2003). Zakaria (1994),
mendefinisikan kearifan lokal merupakan pengamatan dan pengalaman
masyarakat di dalam proses interaksi yang terus menerus dengan lingkungan yang
ada di sekitarnya. Oleh karena kearifan lingkungan itu merupakan pengetahuan
yang ada di dalam kebudayaan tertentu, maka corak kearifan lokal dicirikan oleh
corak kebudayaan dimana kearifan lingkungan (ecological wisdom) menjadi
bagian dari kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.
Pengetahuan lokal masyarakat yang mengandung nilai-nilai kearifan pada
dasarnya adalah hasil berbagai proses percobaan yang dilakukan secara turun
temurun dan terbukti berhasil. Pengetahuan lokal tersebut dikembangkan untuk
mendukung kelestarian lingkungannya. Kelestarian kehidupan masyarakat lokal
dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan terjadi karena mereka telah
menerapkan sistem pengelolaan yang memperhatikan aspek konservasi (Arafah
2002).
Konsep kearifan lokal menurut Mitchel et al. (2004), berakar dari sistem
pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Pengetahuan lokal adalah
kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu
kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan dalam kurung waktu yang
lama. Zakaria (1994) menyatakan bahwa pada dasarnya sistem pengetahuan lokal
atau kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang
dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan
kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam secara lestari. Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang
anggapan masyarakat akan hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan,
fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia dan
hubungan-hubungan yang sebaliknya tercipta antara manusia dan lingkungan
alamnya. Penerapan kearifan lokal masyarakat perlu memperhatikan beberapa hal
seperti: (1) kearifan tidak perlu dibatasi hanya pada masyarakat tradisional,

10
pinggiran, terasing, misikin dan sebagainya, (2) tidak perlu mempertentangkan
antara ilmu yang serba logis, rasional dan terstruktur karena pada dasarnya
manusia mempunyai kapasitas yang sama untuk bertindak rasional dan logis
berdasarkan fakta, asumsi-asumsi, peluang, hambatan dan nilai-nilai yang dianut
(Arafah 2002).
Interaksi kearifan masyarakat lokal dengan keanekaragaman hayati telah
menghasilkan sistem pengetahuan yang dinamis dan bermanfaat bagi kelestarian
sumberdaya hayati. Terdapat beberapa prinsip kearifan lokal yang dihormati dan
dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat yaitu: (1)
ketergantungan manusia pada alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan
dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga
keseimbangannya, (2) penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat ekslusif
sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas atau kolektif
yang dikenal dengan wilayah adat sehingga mengikat semua warga untuk menjaga
dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama serta
mengamankannya dari eksploitasi pihak luar, (3) sistem pengetahuan dan struktur
pengaturan pemerintahan adat memberikan kemanpuan untuk memecahkan
masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, (4)
sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik
bersama dari penggunaan berlebih baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh
orang luar komunitas, dan (5) mekanisme pemerataan distribusi hasil panen
sumberdaya alam milik bersama dapat meredam kecemburuan sosial ditengah
masyarakat (Nababan 2002).
Prinsip-prinsip yang dikemukan di atas berkembang secara evolusioner
sebagai akumulasi dari temuan-temuan/pengalaman masyarakat lokal selama
ratusan tahun. Oleh karena itu prinsip-prinsip tersebut bersifat multi dimensi dan
terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan pranata masyarakat
lokal yang bersangkutan. Masyarakat lokal telah membuktikan diri mampu
bertahan hidup dengan sistem-sistem lokal yang ada. Masyarakat lokal di
pedesaan secara berkelanjutan menerapkan kearifan lokal dalam kehidupannya,
termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan keanekaragaman hayati untuk
memenuhi kebutuhannya seperti penyedia sumber pangan, obat dan sebagainya.
Keberpihakan terhadap kearifan lokal dengan segala pranata sosial yang
mendukungnya merupakan modal awal yang utama bagi pengabdian kita terhadap
keberlanjutan kehidupan bangsa (Rudito et al. 2005).
Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal tidak statis tetapi
dinamis karena berkembang seiring dengan adanya interaksi dengan sistem
pengetahuan modern. Interaksi tersebut membentuk keseimbangan baru yang
diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan dalam pengelolaan s