Pengeringan Gula Semut Kelapa Menggunakan Prototipe Pengering Tipe Rak (Tray Dryer)

(1)

PENGERINGAN GULA SEMUT KELAPA MENGGUNAKAN

PROTOTIPE PENGERING TIPE RAK

(TRAY DRYER)

HUDA ADHIYAKSA

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul

Pengeringan Gula Semut Kelapa Menggunakan Prototipe Pengering Tipe Rak (Tray Dryer) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor,

Huda Adhiyaksa F34070068


(4)

ABSTRACT

The main focus of this study are to determine the best drying conditions by observing physical and chemical changes in Coconut palm sugar during the drying process. Drying coconut palm sugars aims to reduce the amount of excess water in the coconut palm sugar and improve the taste of coconut palm sugar. Coconut palm sugar has dried golden brown to brown a bit dark. Analysis of coconut palm sugar that has been dried at different drying conditions obtained

water content between 2.01% - 6.33%, ash content of between 1.66% - 2.38%;

insoluble matter content between 0.67% - 0.79%; levels reducing sugar content between 7.84% - 8.27%; sucrose levels between 74.99% - 75.62% and total sugar content between 87.16% - 87.47%. Coconut palm sugar is the most preferred by the panelists Coconut palm sugar are dried using a temperature of 70 °C for 60 min. Coconut palm sugar are dried in this condition has the highest assessment score for color, aroma, texture and flavor. Results of chemical analysis of the dried coconut palm sugar also shows that the product is the best coconut palm sugar are dried using a temperature of 70 °C for 60 min to yield 72.24. %; Water content 2.76%; ash content 1.88%; levels of insoluble materials 0.7%, total sugar 87.17 %; sucrose content of 75.23%; and reducing sugar content of 7.99%.

Keyword: Coconut Palm Sugar, tray dryer ABSTRAKSI

Fokus utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi pengeringan dengan mengamati perubahan fisik dan kimia gula semut kelapa selama proses pengeringan. Pengeringan Gula semut kelapa bertujuan untuk mengurangi kelebihan air dan meningkatkan cita rasa gula semut kelapa. Gula semut kelapa yang telah kering memilki warna cokelat keemasan sampai cokelat agak gelap. Analisis kimia gula semut kelapa yang telah dikeringkan pada berbagai kombinasi kondisi pengeringan diperoleh kadar air antara 2,01% - 6,33%, kadar abu antara 1,66% - 2,38%, kadar bahan tak larut antara 0,67% - 0,79%, kadar gula reduksi 7,84% - 8,27%, kadar sukrosa 74,99% - 75,62% dan kadar gula total antara 87,16% - 87,47%. Gula semut kelapa yang paling disukai oleh panelis adalah gula kelapa dengan pengeringan menggunakan suhu 70 °C selama 60 menit. Gula semut kelapa yang dikeringkan pada kondisi ini memiliki skor penilaian tertinggi untuk warna, aroma, tekstur dan rasa. Hasil analisis kimia gula semut kelapa yang dikeringkan juga menunjukan bahwa produk gula semut kelapa terbaik adalah gula semut yang dikeringkan menggunakan suhu 70 °C selama 60 menit dengan rendemen 72,24 %; kadar air 2,76%; kadar abu 1,88%; kadar bahan tak larut 0,7%; kadar total gula 87,17%; kadar sukrosa 75,23%; dan kadar gula pereduksi 7,99 %.


(5)

PENGERINGAN GULA SEMUT KELAPA MENGGUNAKAN

PROTOTIPE PENGERING TIPE RAK

(TRAY DRYER)

HUDA ADHIYAKSA

Skripsi

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(6)

(7)

Judul Skripsi : Pengeringan Gula Semut Kelapa Menggunakan Prototipe Pengering Tipe Rak (Tray Dryer)

Nama : Huda Adhiyaksa

NRP : F34070068

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ir. Ade Iskandar, MSi NIP. 19630205 198803 1 001

Mengetahui: Ketua Departemen,

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP. 19621009 198903 2 001


(8)

PRAKATA

Puji dan sukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini bertema pengeringan dengan judul Pengeringan Gula Semut Kelapa Menggunakan Prototipe Pengering Tipe Rak (Tray Dryer).

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ir. Ade Iskandar, MSi selaku dosen pembimbing yang telah sabar memberikan bimbingan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Damiri, Mang Kusnadi, dan Mang Agus selaku tim teknisi yang membantu dalam pembuatan prototipe mesin pengering rak. Ungkapan terima kasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada kedua orang tua, kakak, dan kedua adik tersayang atas dorongan semangat dan do’a untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana di IPB.

Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, 2013 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

METODE PENELITIAN 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Bahan Penelitian 2

Peralatan Penelitian 3

Prosedur Penelitian 3

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Penelitian Pendahuluan 7

Karakteristik awal gula semut kelapa 7

Waktu pengadukan 8

Proses Pengeringan 9

Rendemen 10

Sifat Kimia Gula Semut Kelapa Kering 11

Kadar Air 11

Kadar abu 14

Kadar bahan tak larut 15

Kadar gula 16

Organoleptik 19

Warna 20

Aroma 21

Tekstur 21

Rasa 22

PENUTUP 23

Kesimpulan 23

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Hasil uji karakterisasi awal gula semut kelapa 7 Tabel 2 Waktu terbentuknya gumpalan selama proses pengeringan 9

Tabel 3 Rendemen gula semut kelapa 10

Tabel 4 Karakteristik gula semut kelapa setelah proses pengeringan 12

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Desain prototipe pengering gula semut kelapa tipe rak 4 Gambar 2 Diagram Alir Proses Pengeringan Gula Semut. 6 Gambar 3 Grafik penurunan kadar air terhadap waktu pengeringan 13 Gambar 4 Grafik perubahan laju pengeringan terhadap waktu

pengeringan 14

Gambar 5 Histogram hubungan antara suhu dan waktu pengeringan

terhadap kadar abu 15

Gambar 6 Histogram hubungan antara suhu dengan waktu pengeringan

terhadap kadar bahan tak larut 16

Gambar 7 Histogram hubungan antara suhu dengan waktu pengeringan

terhadap kadar gula total 17

Gambar 8 Histogram hubungan antara suhu dengan waktu pengeringan

terhadap kadar sukrosa 18

Gambar 9 Histogram hubungan antara suhu dengan waktu pengeringan

terhadap kadar gula pereduksi 18

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur analisis 26

Lampiran 2 Hasil pengukuran sifat udara pengering 29 Lampiran 3 Syarat mutu gula palma (SNI 01-3743-1995) 30 Lampiran 4 Analisis statistik rendemen gula semut kelapa kering 30 Lampiran 5 Analisis statistik sifat kimia gula semut kelapa kering 31 Lampiran 6 Analisis statistik organoleptik gula semut kelapa kering 33


(11)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Ketergantungan pemerintah, masyarakat dan sektor industri terhadap gula tebu yang sebagian besar masih diimpor harus segera diatasi. Selain meningkatan produksi gula tebu, pemanfaatkan sumber pemanis non tebu seperti nira tanaman palmae yaitu kelapa, aren, siwalan, dan nipah dapat menjadi salah satu alternatif bahan pemanis. Diversifikasi gula ini dirasa sangat strategis karena Indonesia memiliki perkebunan kelapa terluas di dunia yang mencapai 3,813 juta ton yang tersebar di Sumatra, Pulau Jawa, Sulawesi dan Kalimantan (Deptan 2007).

Sejauh ini pemanfaatan tanaman kelapa di Indonesia masih sangat terbatas. Umumya kelapa hanya digunakan sebagai bahan makanan dan minuman atau bahan setengah jadi seperti kopra. Hal ini sangat disayangkan, karena potensi tanaman kelapa sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peluang pengembangan agribisnis kelapa dengan produk bernilai ekonomi tinggi sangat besar. Alternatif produk yang dapat dikembangkan antara lain Virgin

Coconut Oil (VCO), Oleochemical (OC), Desicated Coconut (DC), Coconut

Milk/Cream (CM/CC), Coconut Charcoal (CCL), Activated Carbon (AC), Brown

Sugar (BS), Coconut Fiber (CF) dan Coconut Wood (CW), yang diusahakan

secara parsial maupun terpadu. Pelaku agribisnis produk-produk tersebut mampu meningkatkan pendapatannya 5-10 kali dibandingkan dengan bila hanya menjual produk kopra.

Produk usaha tani yang dihasilkan saat ini masih bersifat tradisional, yaitu kelapa butiran dan kopra berkualitas rendah. Selain itu pemanfaatan hasil samping belum banyak dilakukan oleh petani, sehingga nilai tambah dari usaha tani belum diperoleh secara optimal. Sebagian kecil petani yang telah memanfaatkan hasil samping seperti sabut dan tempurung (Brotosunaryo 2003; Jamaludin 2003; Nogoseno 2003).

Pemanfaatan buah kelapa menjadi kopra dirasa kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan pemanfaatan nira kelapa untuk pembuatan gula kelapa. Hal ini dilihat dari waktu pematangan buah kelapa siap panen yang cukup lama yaitu 11 – 12 bulan (Rindengan et al. 1995). Sementara pada pemanfaatan nira kelapa, tiap mayang dapat dipanen selama ± 15 – 35 hari dan mampu menghasilkan 2 – 3 liter nira /pohon/hari dengan konsentrasi gula 7,5 – 20 % (Dyanti 2002).

Program diversifikasi gula berbasis tanaman kelapa (palmae) sangatlah tepat untuk dikembangkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan disamping jumlah bahan baku gula kelapa yang melimpah, teknologi dan biaya yang digunakan untuk membuat gula kelapa juga cukup murah dan sederhana (low cost and low tech).

Seiring dengan perkembangan teknologi, saat ini gula kelapa tidak hanya dikenal dalam bentuk gula cetak, namun juga sudah dikenal gula kelapa dalam bentuk serbuk atau biasa dikenal dengan gula semut. Menurut Dewan Standarisasi Nasional (1995) gula semut kelapa merupakan produk hasil olahan nira tanaman familia palmae yang berbentuk serbuk atau granula. Dalam proses pembuatannya gula semut kelapa memiliki perbedaan dengan gula kelapa cetak. Gula semut kelapa tidak dilakukan pencetakkan seperti gula kelapa cetak, tetapi dilakukan pemutaran (sentrifuge) hingga menghasilkan gula kelapa dengan bentuk serbuk atau granula.


(12)

Gula semut kelapa memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan gula kelapa cetak. Kelebihan gula semut kelapa yaitu lebih mudah larut, memiliki daya simpan yang lebih lama, bentuknya lebih menarik, pengemasan dan pengangkutan yang lebih mudah, rasa dan aroma lebih khas serta dapat diperkaya dengan bahan lain seperti rempah-rempah, vitamin dan iodium (Mustofik dan Dwiyanti 2007). Gula semut kelapa dapat dimanfaatkan sebagai bahan pemanis minuman seperti kopi, softdrink, sirup, susu dan lain-lain, makanan, bumbu masak dan lain-lain.

Produksi gula semut kelapa saat ini masih terbatas baik dalam segi kualitas maupun kuantitas. Kurangnya pemahaman teknologi dan akses pasar menyebabkan para pengrajin lebih memilih memproduksi gula kelapa cetak. Sementara dari aspek kualitas, gula semut yang dihasilkan oleh pengrajin masih memilki keragaman dan penyimpangan kualitas seperti kadar air dari gula semut yang dihasilkan masih tinggi dan ukuran granula yang tidak seragam.

Untuk memaksimalkan nilai tambah, perlu dilakukan penyeragaman kualiatas gula semut yang dihasilkan oleh para pengrajin. Upaya penyeragaman kualitas ini dapat dilakukan dengan proses pengeringan untuk menyeragamkan kadar air, warna, dan tekstur dari gula semut kelapa serta proses penyaringan untuk memperoleh ukuran granula yang seragam.

Saat ini proses pengeringan di tingkat pengrajin gula semut kelapa masih menggunakan sinar matahari. Pengeringan menggunakan metode ini membutuhkan waktu yang relatif lama karena sangat bergantung pada cuaca. Alternatif pengeringan yang mampu memberikan nilai tambah adalah dengan menggunakan pengering tipe rak. Pengeringan dengan tipe rak memiliki kelebihan yaitu waktu pengeringan lebih singkat karena panas yang dihasilkan stabil dan proses pengeringan lebih bersih. Namun demikian, pengering tipe rak kurang cocok untuk mengeringkan bahan dalam jumlah yang banyak.

Tujuan

Mempelajari proses pengeringan gula semut kelapa menggunakan prototipe pengering tipe rak dengan mengamati perubahan sifat fisik dan kimia selama proses pengeringan. Menentukan kombinasi suhu dan waktu pengeringan gula semut kelapa terbaik menggunakan prototipe pengering tipe rak.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Juni 2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Peralatan Industri, Laboratorium Organoleptik Departemen Teknologi Industri Pertanian dan Laboratorium Kimia Ilmu dan Teknologi Pangan.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gula semut kelapa yang diperoleh dari pengarajin gula semut kelapa di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta.


(13)

Peralatan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain prototipe pengering tipe rak dengan dimensi 140 × 44 × 46 cm serta rak yang berdimensi 40 cm × 40 cm. Adapun sejumlah peralatan pembantu lainnya terdiri dari timbangan digital, termometer bola basah dan bola kering serta pengaduk. Alat yang digunakan untuk analisa meliputi oven, tanur, cawan porselen, tabung reaksi, gelas ukur, biuret dan tabung erlenmeyer.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari pembuatan prototipe mesin pengering rak, karakterisasi awal gula semut kelapa, dan penentuan waktu pengadukan selama proses pengeringan. Penelitian utama merupakan kajian mengenai proses pengeringan gula semut kelapa untuk mengetahui penggunaan suhu dan waktu pengeringan terbaik untuk pengeringan gula semut kelapa serta mengamati perubahan fisik dan kimia selama proses pengeringan.

Pembuatan prototipe mesin pengering

Prinsip kerja pada pengeringan bahan dengan menggunakan pengering rak terdiri dari dua proses yaitu kontak bahan dengan udara panas yang mengalir secara konveksi dan kontak bahan dengan rak yang telah panas secara konduksi, namun yang paling dominan adalah pindah panas yang mengalir secara konveksi (Maroulis dan Saravacos 2003). Proses yang terjadi selama pengeringan adalah masuknya udara dari luar yang kemudian dipanaskan dengan kompor gas dan udara ini dialirkankan ke seluruh bagian pengering rak dengan bantuan blower.

Prototipe mesin pengering tipe rak untuk pengeringan gula semut kelapa ini terdiri dari beberapa bagian fungsional yaitu unit pemanas udara, blower listrik, saluran udara, dan ruang pengering.

1. Unit pemanas udara

Unit pemanas ini terdiri dari ruang pemanas berukuran 30 × 30 cm dan tinggi 40 cm yang terbuat dari pelat besi. Ruang pemanas dilengkapi dengan

burner dan gas LPG sebagai sumber panas yang digunakan. Unit pemanas

udara ini akan memanaskan udara yang nantinya akan dihisap dan ditiupkan ke ruang pengering menggunakan blower. Pada unit ini terdapat katup yang dapat mengatur besarnya udara yang digunakan.

2. Blower Listrik

Blower listrik berfungsi untuk menghisap udara panas yang dihasilkan oleh unit pemanas udara dan dihembuskan ke ruang pengering melalui saluran udara. Blower listrik yang digunakan memiliki diameter 2,5 inch dengan putaran 3000 rpm. Blower sentrifugal ini menggunakan blade yang melengkung ke belakang.

3. Saluran udara

Udara yang ditiupkan oleh blower listrik kemudian dialirkan melewati saluran udara menuju ruang pengering. Dalam saluran udara, udara akan melewati pelat besi berlubang agar udara yang masuk ke ruang pengering


(14)

terdistribusikan secara merata melewati rak-rak yang ada dalam ruang pengering.

4. Ruang pengering

Ruang pengering memilki dimensi panjang 40 cm, lebar 40 cm dan tinggi 50 cm dan dilengkapi dengan pintu dengan ukuran 40 × 50 cm untuk memasukkan dan mengeluarkan rak-rak bahan. Rangka ruang pengering ini terbuat dari besi sedangkan dinding ruang pengering terbuat dari pelat besi ukuran 2 mm.

Dalam ruang pengering terdapat 6 rak yang terbuat dari bahan stainless

steel dengan ukuran 40 × 35 cm. Tiap rak dapat menampung 800 gr gula

semut kelapa dengan ketebalan gula sebesar 2 cm.

Gambar 1 Desain prototipe pengering gula semut kelapa tipe rak

Persiapan bahan

Persiapan bahan baku dilakukan dengan pengadukan gula semut kelapa pada nampan stainless steel agar bahan yang akan dikeringkan memiliki karakteristik yang seragam. Gula semut kelapa kemudian dilakukan analisa awal untuk mengetahui kadar air, kadar abu, kadar bahan tak larut, kadar gula reduksi, kadar sukrosa, total gula, serta penampakan gula semut kelapa secara visual dan indrawi, yang meliputi tekstur, rasa, warna serta aroma. Karakterisasi ini merupakan panduan awal dari analisa yang akan dilakukan terhadap gula semut kelapa yang sudah dikeringkan, sehingga pada akhirnya dapat mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pengeringan.

1

2

4

3

5

6

7

1. Tungku pemanas udara 2. Blower listrik

3. Saluran udara masuk 4. Ruang pengering

5. Rak pengering 6. Pintu


(15)

Waktu pengadukan

Pengadukan selama proses pengeringan perlu dilakukan untuk membebaskan uap air yang terperangkap dalam tumpukan gula semut kelapa. Pengadukan juga dilakukan untuk mengurangi proses terbentuknya gumpalan gula semut kelapa selama proses pengeringan. Oleh karena itu penentuan waktu pengadukan yang tepat dilakukan berdasarkan mulai terbentuknya gumpalan pada gula semut. Penentuan waktu pengadukan dilakukan dengan pemanasan pada suhu 50, 60, 70, dan 80 oC. Pengamatan dilakukan pada selang waktu 5 menit untuk melihat ada tidaknya gumpalan pada gula yang dikeringkan.

Pengeringan

Pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengering tipe rak (tray

dryer) dengan menggunakan sumber panas gas LPG untuk memanaskan udara.

Udara panas ini kemudian dialirkan ke bahan yang akan dikeringkan menggunakan blower dengan kecepatan udara 2,9 m/s. Pengeringan dilakukan pada suhu 50, 60, 70, dan 80 oC dan waktu pengeringan selama 45, 60 dan 75 menit. Pengeringan dilanjutkan hingga menit ke-100 untuk mengamati penurunan kadar air. Kelembaban udara pengering, suhu ruang pengering dapat dilihat pada lampiran.

Sebanyak 800 gr gula semut kelapa yang akan dikeringkan ditimbang dan diukur kadar air awal. Tebal gula semut pada rak pengering kurang lebih 2 cm. Kadar air gula semut kelapa yang dikeringkan diamati setiap 10 menit sekali hingga proses pengeringan selesai. Selama proses pengeringan dilakukan pengadukan untuk membebaskan uap air yang terperangkap di tengah tumpukan gula yang dikeringkan.

Pengukuran suhu selama proses pengeringan dilakukan dengan menggunakan termometer standar. Pengukuran suhu dilakukan untuk mengetahui suhu bahan, ruang pengering, suhu udara masuk dan suhu udara yang keluar dari ruang pengering. Diagram alir proses pengeringan secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua kali ulangan untuk masing-masing perlakuan. Faktor-faktor yang dikaji pengaruhnya adalah A faktor suhu pengeringan dengan A1, A2, A3, A4 adalah 50, 60, 70, dan 80 oC, dan B adalah faktor waktu pengeringan dengan B1, B2, dan B3 yaitu 45, 60, dan 75 menit.

Model matematis Rancangan Percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yijk= μ + Ai + Bj + AB(ij)+ ε(ijk) Yijk = Variabel respon yang diukur

μ = Nilai tengah populasi

Ai = Pengaruh faktor suhu pengeringan pada taraf ke-i Bj = Pengaruh faktor waktu pengeringan pada taraf ke-j

AB(ij) = Pengaruh interaksi dari faktor suhu pengeringan taraf ke-i dengan faktor waktu pengeringan taraf ke-j


(16)

Gambar 2 Diagram Alir Proses Pengeringan Gula Semut.

Rancangan percobaan dilakukan pada parameter rendemen, kadar air, kadar sukrosa, dan uji organoleptik. Data tersebut kemudian diolah menggunakan SPSS dan data analisis Microsoft Excel untuk melihat keragaman yang terjadi pada setiap faktor pengeringan yang diamati serta interaksinya. Uji lanjut yang digunakan adalah uji lanjut Duncan, uji ini dilakukan jika perlakuan suhu dan waktu pengeringan atau interaksi anatara suhu dan waktu memberikan pengaruh yang signifikan terhadapa parameter mutu yang diamati.

Gula Semut Kelapa Kering kasar Gula Semut

Kelapa Basah

Penimbangan

Pengeringan (T : 50, 600C, 700C, dan

800C t : 45, 60 , dan 75 menit )

Pengadukan

Penirisan selama 5-10 menit

Pencampuran dan pengadukan

Penyaringan (18 mesh)

Analisis Gula Semut Gula Semut Kelapa


(17)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Pendahuluan Karakteristik awal gula semut kelapa

Karakteristik awal gula semut kelapa dilakukan dengan melakukan analisis proksimat yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar bahan tak larut, kadar gula total, sukrosa, dan kadar gula reduksi. Karakterisasi awal gula semut kelapa ini bertujuan untuk mengetahui mutu gula semut kelapa sebelum proses pengeringan. Hasil analisis awal selanjutnya dibandingkan dengan hasil analisis setelah proses pengeringan untuk mengetahui pengaruh pengeringan terhadap mutu gula semut kelapa yang dihasilkan. Hasil analisis awal disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil uji karakterisasi awal gula semut kelapa

Komposisi Hasil Pengujian Pustakaa

Kadar air (bb)% 7,99 1,77 – 6,23

Kadar Abu (bk)% 1,74 0,37 – 3,85

Kadar bahan tak larut (bk) % 0,89 0,22 –1,74

Kadar gula total % 87,25 81,7 – 84,89

-Kadar sukrosa % 75,64 76,92 – 83,30

-Kadar gula reduksi % 7,64 1,70 – 6,05

a

Tegar (2010)

Pada Tabel 1, dapat dilihat kadar air gula semut yang digunakan pada penelitian ini dan hasil penelitian lain yang telah dilakukan. Jika dibandingkan dengan kadar air gula semut hasil penelitian Tegar (2010) dengan kadar air 1,77 – 6,23%, kadar air gula semut yang digunakan pada penelitian ini lebih tinggi yaitu sebesar 7,99 %. Tingginya kadar air dari gula semut baik yang digunakan pada penelitian ini ataupun dari pustaka menujukan beragamnya kualitas dari gula semut yang ada. Beragamnya mutu gula semut kelapa dapat disebabkan oleh kesegaran dari nira yang digunakan.

Kadar abu menunjukan kandungan mineral atau bahan organik pada bahan yang tidak ikut terbakar pada saat bahan organik tersebut dibakar pada suhu tinggi. Pada Tabel 1, kadar abu gula semut yang digunakan pada penelitian ini adalah 1,74%. Kadar Abu ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tegar (2010). Kandungan mineral pada gula semut kelapa dapat dipengaruhi oleh jenis lahan tempat kelapa pohon tumbuh. Kadar abu yang tinggi mengindikasikan bahwa gula semut kelapa memiliki mutu yang buruk.

Kadar bahan tak larut merupakan parameter yang dapat menunjukan baik atau tidaknya suatu proses pengolahan produk pertanian. Kadar bahan tak larut pada penelitian ini sebesar 0,89 %. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan Tegar (2010) yang memilliki hasil kadar bahan tak larut berkisar antara 0,22 - 1,74 %. Nilai kadar bahan tak larut ini melebihi standar mutu yang ditetapkan oleh SNI yaitu nilai maksmial untuk kadar bahan tak larut sebesar 0,2%. Hal ini menunjukan proses pembuatan gula semut kelapa belum baik karena kandungan pengotor seperti pasir dan kotoran yang ukurannya sangat kecil masih terdapat pada gula semut kelapa.


(18)

Kadar total gula merupakan jumlah sukrosa dan gula pereduksi yang terkandung dalam gula semut kelapa. Nilai total gula pada penelitian ini lebih tinggi dari nilai total gula pada penelitian Tegar (2010), pada penilitian ini nilai total gula sebesar 87,25 % sedangkan pada penelitian yang dilakukan Tegar (2010) nilai total gula hanya sebesar 81,7 % – 84,89 %.

Sukrosa merupakan sumber nutrisi yang dibentuk oleh tumbuhan. Sukrosa terdiri dari monomer-monomer berupa glukosa dan fruktosa yang terikat oleh ikatan glikosidik. Kadar sukrosa pada gula semut kelapa lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar sukrosa gula pasir (gula tebu) yang mencapai kadar sukrosa 99,3% (SNI 01-3140-1992) atau biasa disebut gula sukrosa murni. Kadar sukrosa gula semut kelapa sebelum proses pengeringan pada penelitian ini adalah sebesar 75,64 %. Menurut Tegar (2010), hasil pengukuran kadar sukrosa rata-rata 79,65% dengan kadar sukrosa paling rendah 76,92% dan kadar sukrosa tertinggi adalah 83,30%. Beragamnya kadar sukrosa dipengaruhi oleh kualitas nira yang digunakan atau penambahan gula pasir pada pemasakan nira yang biasa dilakukan oleh pengrajin gula semut kelapa.

Kadar gula reduksi pada penelitian ini adalah 7,64%, kadar gula reduksi ini lebih tinggi dari standar yang ditetapkan SNI yaitu maksimal kadar gula reduksi sebesar 6 %. Hasil pengukuran kadar gula reduksi ini juga lebih tinggi dari nilai pada penelitian Tegar (2010) yaitu sebesar 1,70 – 6,05 %. Kadar gula reduksi yang tinggi dapat disebabkan oleh penggunaan suhu pemasakan nira yang terlalu tinggi, penggunaan nira yang sudah tidak segar, penggunaan gula kelapa cetak sebagai bahan baku. Penampakan warna gula semut kelapa yang digunakan pada penelitian ini berwarna cokelat muda.

Waktu pengadukan

Proses pengadukan selama pengeringan dilakukan agar gula semut kelapa yang dikeringkan memiliki tingkat kekeringan yang merata. Pengadukan berfungsi untuk membebaskan uap air yang terperangkap di dalam tumpukan gula yang dikeringkan. Pengadukan juga berfungsi untuk mengurangi terbentuknya gumpalan-gumpalan gula semut selama proses pengeringan. Pada proses pengeringan, penggunaan suhu udara yang tinggi dan kelembaban udara yang relatif rendah dapat mengakibatkan air pada bagian permukaan bahan yang dikeringkan menjadi lebih cepat menguap. Hal ini dapat berakibat terbentuknya suatu lapisan yang tidak dapat ditembus dan menghambat difusi air secara bebas. Kondisi ini lebih dikenal dengan case hardening (Desrosier 1988).

Penentuan selang waktu pengadukan dilakukan dengan menentukan waktu terbentuknya gumpalan pada gula semut yang dikeringkan. Adapun suhu yang digunakan yaitu 50, 60, 70, dan 80 oC. Hasil pengamatan selang waktu penggumpalan pada gula semut kelapa yang dikeringkan dapat dilihat pada Tabel 2.

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa pada pengeringan menggunakan suhu 50oC mulai terbentuk gumpalan pada menit ke-15 sedangkan pada pengeringan menggunakan suhu 60, 70 dan 80 oC gumpalan akibat proses pengeringan mulai terbentuk dari menit ke-10 dan jumlah gumpalan semakin meningkat hingga pengeringan selama 30 menit. Waktu terbentuknya gumpalan pada pengeringan menggunakan suhu 50 oC cenderung lebih lambat, hal ini disebabkan oleh


(19)

peningkatan suhu bahan yang terjadi secara perlahan sehingga air pada permukaan bahan diuapkan sedikit demi sedikit.

Tabel 2 Waktu terbentuknya gumpalan selama proses pengeringan

Waktu (menit)

Suhu (oC)

50 60 70 80

5 - - - -

10 - + + +

15 + + ++ ++

20 + ++ ++ +++

25 ++ ++ +++ +++

30 +++ +++ +++ ++++

+ = sedikit gumpalan ++ = cukup banyak +++ = banyak ++++ = sangat banyak

Hasil pengamatan pada Tabel 2 menunjukan waktu pengadukan gula semut selama proses pengeringan sebaiknya dilakukan pada selang waktu 15 menit untuk pengeringan menggunakan suhu 50 oC dan selang waktu pengadukan 10 menit untuk pengeringan pada suhu 60, 70,dan 80 oC.

Proses Pengeringan

Proses pengeringan merupakan proses pemindahan panas dan uap air secara simultan, yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari permukaan bahan yang dikeringkan oleh media pengering seperti udara dan panas. Pengeringan juga disebut dengan penghidratan atau penghilangan sebagian atau seluruh uap air pada suatu bahan (Hasibuan 2005). Pada dasarnya tujuan utama pengeringan adalah untuk pengawetan. Tujuan lebih lanjut, pengeringan dilakukan untuk mengurangi biaya pengemasan, mengurangi bobot pengangkutan, memperbaiki cita rasa bahan, dan mempertahankan kandungan nutrisi bahan (Achanta dan Okos 2000).

Proses pengeringan dapat dilakukan dengan beberapa cara, baik secara alami maupun buatan. Secara alami, proses pengeringan dapat dilakukan dengan metode penjemuran di bawah sinar matahari, dengan metode ini biaya yang dibutuhkan sangat murah, namun proses pengeringan memerlukan waktu yang cukup lama karena bergantung pada keadaan cuaca.

Pada proses pengeringan buatan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengeringan. Faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor yang berhubungan dengan udara pengering yakni suhu, kecepatan volumetrik udara, dan kelembaban udara. Kelompok faktor kedua merupakan faktor yang berhubungan dengan bahan seperti kadar air bahan, ukuran bahan, dan tekanan parsial bahan.

Suhu udara, kecepatan udara dan kelembaban udara pengering merupakan faktor utama yang mempengaruhi proses pengeringan. Waktu pengeringan dan laju pengeringan akan semakin cepat sejalan dengan meningkatnya suhu udara dan kecepatan udara. Semakin tinggi suhu dan kecepatan udara pengering, maka laju pengeringan akan semakin cepat, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan gula semut kelapa akan semakin cepat. Sementara kelembaban


(20)

udara yang rendah akan dapat mempercepat proses pengeringan. Namun pengeringan yang terlalu cepat akan merusak bahan, hal ini akan mengakibatkan permukaan bahan akan cepat kering dan tidak sebanding dengan pergerakan air dari dalam bahan ke permukaan. Keadaan demikian mengakibatkan pengerasan pada permukaan bahan, sedangkan bagian dalam bahan masih basah karena proses penguapan air di bagian dalam bahan terhalang oleh pengerasan bagian permukaan bahan. Suhu yang terlalu tinggi selain dapat merusak sifat fisiologi juga dapat merusak kandungan kimiawi pada bahan yang dikeringkan. Pada penelitian ini suhu pengeringan yang digunakan adalah 50, 60, 70, dan 80 °C.

Faktor penting lainnya dalam proses pengeringan adalah waktu pengeringan, semakin lama waktu pengeringan maka kandungan air yang dikelurakan akan semakin banyak. Lama pengeringan harus diselaraskan dengan suhu pengeringan yang digunakan. Apabila suhu yang digunakan tinggi dan waktu yang digunakan panjang, maka keadaan fisiologis dan kandungan bahan akan mengalami kerusakan. Oleh karena itu, penggunaan suhu dan waktu pengeringan yang digunakan harus selaras. Pada penelitian ini, waktu pengeringan yang digunakan adalah 45, 60, dan 75 menit. Pengeringan dilanjutkan hingga menit ke-100 untuk mengamati penurunan kadar air setiap 10 menit.

Rendemen

Gula semut yang telah dikeringkan kemudian disaring menggunakan screen

stainless stell berukuran 18 mesh. Pengayakan ini bertujuan untuk mendapatkan

ukuran granula yang seragam. Dalam standar nasional gula semut kelapa tidak ditentukan berapa ukuran granula yang diperbolehkan, namun di pasaran gula semut kelapa dengan ukuran mesh tinggi atau ukuran granul yang kecil dan halus memilki harga yang cukup tinggi. Rendemen gula semut kelapa yang dihasilkan setelah proses pengeringan dan pengayakan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Rendemen gula semut kelapa Suhu

(°C)

Waktu

(menit) Total Rendemen (%) Rendemen pengayakan/500gr 50

45 98,44 68,22

60 97,88 69,2

75 97,69 70,06

60

45 96,25 70,64

60 95,96 71,97

75 95,75 71,46

70

45 95,38 72,42

60 95,38 72,24

75 94,99 72,11

80

45 96,75 69,77

60 95,63 70,42

75 94,88 69,64

Total rendemen cenderung semakin menurun seiring penambahan waktu dan suhu pengeringan. Total rendemen tertinggi yaitu sebesar 98,44 % terdapat


(21)

pada pengeringan suhu 50 °C dengan waktu pengeringan selama 45 menit, hal ini dikarenakan kadar air yang terkandung pada bahan masih tinggi yaitu 6,33 %.

Rendemen gula semut halus tertinggi terdapat pada pengeringan suhu 70 °C selama 45 menit yaitu sebesar 72,42%. Rendemen gula semut kelapa hasil pengayakan pada suhu 50 dan 80 °C cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pengeringan pada suhu 60 dan 70 °C. Hal ini dikarenakan pada pengeringan suhu 50 °C, gula semut kelapa masih memilki kadar air yang cukup tinggi, sehingga ketika dilakukan pengayakan terdapat gula semut kelapa yang menempel pada ayakan. Gula semut kelapa yang menempel dan menumpuk pada ayakan akan menyumbat bahan. Pada pengeringan menggunakan suhu 80 °C rendemen gula semut kelapa halus cukup rendah dan rendemen gula kasar cukup tinggi. Hal ini dikarenakan pada pengeringan suhu tinggi granula cenderung membentuk gumpalan-gumpalan dengan permukaan yang keras, sehingga gula semut yang tidak lolos saring menjadi lebih banyak dibandingkan dengan kondisi pengeringan lain.

Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rendemen gula kelapa pada taraf α = 0,05, sedangkan waktu pengeringan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rendemen gula semut kelapa. Berdasarkan uji lanjut Duncan yang dapat dilihat pada lampiran, suhu pengeringan 70 °C memiliki rendemen tertinggi namun tidak berbeda nyata dengan pengeringan pada suhu 60 °C. Hal ini berarti pengeringan menggunakan suhu 60 dan 70°C dapat dipilih sebagai alternatif pengeringan terbaik karena kedua suhu ini menghasilkan rendemen gula semut kelapa yang tinggi.

Berdasarkan rendemen gula semut kelapa, proses pengeringan yang dianjurkan adalah pengeringan pada suhu 70 °C selama 75 menit karena pada pengeringan ini gula semut yang dihasilkan memilki ukuran granula yang tidak terlalu besar dengan kadar air yang rendah sehingga gula tidak menempel pada ayakan.

Sifat Kimia Gula Semut Kelapa Kering

Analisis yang dilakukan setelah proses pengeringan meliputi uji kadar air, kadar abu, bahan tak larut, gula pereduksi, gula total, dan sukrosa. Hasil pengamatan terhadap sifat kimia dari gula semut kelapa setelah proses pengeringan dapat dilihat pada Tabel 4.

Kadar Air

Kadar air merupakan sejumlah air yang terkandung pada bahan dan dinyatakan dalam persen. Air yang terkandung pada suatu bahan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas berada di bagian permukaan dan air terikat berada di dalam bahan. Kadar air suatu bahan menunjukkan jumlah air yang dikandung bahan tersebut, baik berupa air bebas maupun air terikat yang berada di dalam bahan (Winarno, 1992).

Kandungan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas enzim, aktivitas mikroba, dan aktivitas kimiawi dalam bahan pangan. Perubahan aktivitas enzim, mikroba dan kimia ini dapat menimbulkan perubahan karakteristik bahan secara fisik seperti rasa, aroma, dan tekstur, serta perubahan nilai gizi dari bahan pangan tersebut. Menurut Winarno


(22)

(1997), Kandungan air dalam bahan pangan berhubungan dengan daya simpan dan ketahanan suatu produk pangan terhadap kerusakan. Untuk memperpanjang umur simpan maka sebagian air dalam bahan harus dihilangkan. Untuk menghilangkan kandungan air dalam bahan, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan proses pengeringan sesuai dengan karakteristik bahan.

Tabel 4 Karakteristik gula semut kelapa setelah proses pengeringan

Perlakuan Parameter Kadar air (%) Kadar abu (%) Bahan tak larut (%) Gula pereduksi (%) Gula total (%) Sukrosa (%) A1B1 6,33a 1,66a 0,76a 7,84a 87,24a 75,43a A1B2 5,42b 2,29a 0,73a 7,89a 87,17a 75,32a A1B3 4,27e 1,96a 0,75a 7,94a 87,16a 75,26a A2B1 5,13c 2,14a 0,71a 7,90a 87,26a 75,39a A2B2 4,45de 1,99a 0,71a 7,87a 87,47a 75,62a A2B3 3,21f 1,91a 0,78a 7,97a 87,30a 75,36a A3B1 4,62d 1,77a 0,72a 7,90a 87,27a 75,41a A3B2 2,76g 1,88a 0,70a 7,99a 87,17a 75,23a A3B3 2,47h 2,01a 0,71a 8,22a 87,28a 75,11a A4B1 3,32f 2,21a 0,72a 7,91a 87,23a 75,35a A4B2 2,88g 1,95a 0,79a 8,24a 87,28a 75,09a A4B3 2,01i 2,38a 0,67a 8,27a 87,21a 74,99a

A = Suhu pengeringan B = Lama pengeringan

A1 = 50°C B1 = 45 menit

A2 = 60 °C B2 = 60 menit

A3 = 70 °C B3 = 75 menit

A4 = 80 °C a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Hasil analisis kadar air pada Tabel 4 menunjukan bahwa penggunaan suhu yang semakin tinggi serta waktu pengeringan yang semakin lama menghasilkan gula semut dengan kadar air yang semakin rendah. Kadar air setelah proses pengeringan pada berbagai kondisi pengeringan berkisar antara 2,01 – 6,33 %, dengan kadar air tertinggi dihasilkan oleh pengeringan pada suhu 50 °C selama 45 menit dan kadar air terendah dihasilkan oleh pengeringan pada suhu 80 °C selama 75 menit. Kadar air yang dihasilkan pada penelitian ini sebagian besar tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI yaitu sebesar 3 %.

Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa penggunaan suhu dan waktu pengeringan serta interaksi dari kedua faktor pengeringan ini memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air akhir gula semut kelapa pada selang kepercayaan 95% ( α = 0,05). Uji lanjut Duncan yang dilakukan pada tiap kombinasi perlakuan yang dapat dilihat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa hampir seluruh kondisi pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf α= 0,05. Berdasarkan analisis kadar air gula semut kelapa ini, alternatif proses pengeringan yang dianjurkan adalah menggunakan suhu 70 °C selama 60 menit.


(23)

Penurunankadar air terhadap waktu

Kurva penurunan kadar air terhadap waktu secara umum berbentuk eksponensial. Menurut Hall (1980), penurunan kadar air terdiri dari fase pertama dimana penurunan kadar air cepat teradi pada awal proses pengeringan. Hal ini terjadi karena massa air yang terdapat pada permukaan bahan (air bebas) jumlahnya cukup besar. Air bebas akan lebih dahulu menguap karena letaknya yang berada di permukaan bahan. Menguapnya massa uap air ke udara terjadi karena adanya perbedaan tekanan uap di permukaan bahan yang tinggi dengan tekanan udara pengering yang rendah. Pada fase kedua, penurunan kadar air terjadi semakin lambat, hal ini terjadi karena air yang diuapkan berada pada bagian dalam bahan. Pada fase ini terjadi perpindahan air dan uap secara difusi dari bagian dalam bahan ke permukaan bahan akibat perbedaan konsentrasi atau tekanan uap antara bagian dalam bahan dan bagian luar bahan. Fase ketiga berjalan sangat lambat karena uap air yang diuapkan adalah uap air yang terikat secara kimiawi sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menguapkan air. Berdasarkan pengamatan kadar air selama proses pengeringan, diperoleh grafik perubahan kadar air terhadap waktu pengeringan adalah sebagai berikut.

Gambar 3 Grafik penurunan kadar air terhadap waktu

Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa penggunaan suhu yang tinggi dapat menurunkan kadar air dengan cepat, hal ini dapat dilihat dari grafik yang lebih curam pada penggunaan suhu tinggi. Namun jumlah air yang diuapkan selama pengeringan semakin menurun seiring waktu pengeringan yang ditunjukan dengan semakin landainya grafik pada waktu pengeringan menit 40 hingga menit ke-100.

Perubahan laju pengeringan terhadap waktu

Laju pengeringan merupakan jumlah kandungan air pada bahan yang diuapkan tiap satuan berat kering bahan per satuan waktu (Earle 1983; Mujumdar

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

K

adar

A

ir

(%

)

Waktu (menit)

Pengeringan 50 °C Pengeringan 60 °C Pengeringan 70 °C Pengeringan 80 °C


(24)

2006). Umumnya laju pengeringan meningkat pada awal pengeringan kemudian bergerak konstan hingga menurun seiring bertambahnya waktu pengeringan.

Rata-rata laju pengeringan gula semut terendah terdapat pada penggunaan suhu 50 °C yaitu sebesar 3,04 % bk/jam, sedangkan rata-rata laju pengeringan tertinggi terdapat pada pengeringan menggunakan suhu 80 °C yaitu sebesar 4,11 % bk/jam. Pada pengeringan menggunakan suhu 60 dan 70 °C didapatkan laju pengeringan sebesar 3,76 dan 4,06 % bk/jam. Dari hasil pengukuran laju pengeringan dapat dilihat bahwa penggunaan suhu tinggi menyebabkan jumlah total uap air yang diuapkan perjamnya semakin tinggi. Jumlah massa cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan dipengaruhi oleh penggunaan suhu dan kecepatan aliran udara pengering. Semakin tinggi suhu udara pengering, maka semakin besar energi panas yang dibawa udara untuk menguapkan air pada bahan.

Gambar 4 Grafik perubahan laju pengeringan terhadap waktu.

Dari grafik laju pengeringan gula semut kelapa, periode kecepatan konstan tidak terlihat dengan jelas, hal ini dikarenakan jumlah kadar air awal yang sudah cukup rendah dan waktu pengeringan yang relatif singkat. Menurut Henderson dan Perry (1976), kecepatan pengeringan konstan berlangsung cepat dan dapat diabaikan, pengeringan tetap dapat terlihat jika bahan yang dikeringkan memiliki air bebas yang cukup besar pada permukaaan bahannya.

Kadar abu

Abu merupakan zat-zat anorganik atau mineral yang terdapat pada bahan pangan. Zat-zat anorganik tersebut dapat berupa logam ataupun mineral-mineral yang tidak diharapkan masuk ke dalam gula semut kelapa. Menurut Winarno (1997) mineral yang terdapat pada bahan pangan dapat berupa garam organik dan anorganik. Garam organik dapat berupa garam dari asam malat, oksalat, asetat, pektat dan lain-lain, sedangkan garam anorganik dapat berupa fosfat, karbonat, klorida, sufat nitrat dan logam alkali.

0 2 4 6 8 10 12 14

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

L

aj

u

pengeri

ngan

(%

bk

/j

am

)

Waktu (menit)

Pengeringan 50 °C Pengeringan 60 °C


(25)

Pengukuran kadar abu dapat menjadi parameter baik atau tidaknya suatu proses pengolahan dan kemurnian dari gula semut kelapa. Penentuan kadar abu dalam suatu bahan dapat diukur dengan metode pengabuan langsung yaitu menggunakan panas yang tinggi dan oksigen yang bertindak sebagai oksidator. Penggunaan suhu yang tinggi akan membakar bahan-bahan organik dan menyisakan residu berupa zat anorganik atau mineral. Kadar abu dihitung dengan menimbang sisa hasil pembakaran bahan pada suhu tinggi (550 °C).

Hasil pengamatan kadar abu gula semut kelapa yang diperoleh berkisar antara 1,66 – 2,38 %. Histogram hubungan antara suhu dan waktu pengeringan terhadap kadar abu pada Gambar 5 menunjukan kadar abu terendah terdapat pada gula semut kelapa yang dikeringkan menggunakan suhu 50°C selam 45 menit, sedangkan kadar abu tertinggi diperoleh pada pengeringan menggunakan suhu 80 °C selama 75 menit. Hasil analisis sidik ragam terhadap kadar abu pada tiap kondisi pengeringan menunjukkan bahwa penambahan suhu dan waktu pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu gula semut kelapa. Kadar abu yang diperoleh sebagian besar sudah memenuhi standar menurut SNI yaitu kurang dari 2%.

Gambar 5 Histogram hubungan antara suhu dan waktu pengeringan terhadap kadar abu.

Kadar bahan tak larut

Kadar bahan tidak larut dalam air pada gula semut kelapa menunjukkan kualitas mutu gula semut kelapa. Semakin kecil jumlah bahan yang tidak larut dalam air dari gula semut kelapa maka kualitas gula semut akan semakin baik karena bahan yang tidak larut umumnya berupa padatan atau kotoran berupa pasir dan kerikil yang ukurannya sangat kecil.

Pengukuran kadar bahan tak larut dari gula semut kelapa setelah dikeringkan berkisar antara 0,67 – 0,79 %. Pada Gambar 6 dapat dilihat histogram kadar bahan tak larut gula semut kelapa pada tiap kondisi pengeringan. Kadar bahan tak larut terendah terdapat pada suhu pengeringan 80°C selama 75 menit dan kadar bahan tak larut tertinggi diperoleh dari kondisi pegeringan pada suhu 80°C selama 60

0,00 1,00 2,00 3,00

45 60 75

K

adar

A

bu

(

%

)

Waktu ( menit)

Pengeringan 50 °C Pengeringan 60 °C Pengeringan 70 °C Pengeringan 80 °C


(26)

menit. Analisis sidik ragam menunjukan tidak ada pengaruh yang nyata dari penambahan suhu dan waktu pengeringan pada selang kepercayaan 95 %.

Gambar 6 Histogram hubungan antara suhu dengan waktu pengeringan terhadap kadar bahan tak larut.

Meskipun pengaruh suhu dan lama pengeringan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar bahan tidak larut, namun proses pengeringan dan pengayakan yang dilakukan mampu menurunkan kadar bahan tidak larut meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Hal ini dapat dilihat dari kadar bahan tidak larut air sebelum proses penggeringan yaitu sebesar 0,89%. Penurunan kadar bahan tak larut ini terjadi karena proses pengayakan pada ayakan berukuran 18 mesh mampu mengurangi padatan yang tak larut dalam air.

Kadar Gula

Analisis kadar gula pada gula semut kelapa dapat dinyatakan dalam beberapa kelompok berdasarkan kemampuan untuk mereduksi ion logam dalam keadaan basa. Kelompok gula pereduksi dan gula non pereduksi, serta total gula yang menyatakan jumlah gula baik gula pereduksi dan gula non pereduksi. Gula pereduksi merupakan golongan gula yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron. Yang termasuk gula preduksi adalah semua monosakarida (glukosa, fruktosa, dan galaktosa) dan disakarida (laktosa dan maltosa). Sementara gula non pereduksi merupakan gula yang tidak memiliki kemampuan mereduksi ion logam. Gula non pereduksi dapat berupa sukrosa dan pati (polisakarida).

Hasil analisis sidik ragam terhadap kadar gula total menujukkan bahwa peningkatan penggunaan suhu dan waktu pada proses pengeringan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 % (α = 0,05). Histogram pengaruh suhu dan waktu pengeringan terhadap kadar gula total pada Gambar 7 menunjukkan bahwa kadar total gula tidak menunjukan perubahan yang signifikan selama proses pengeringan. Kadar total gula dari gula semut kelapa setelah dikeringkan pada kondisi pengeringan yang berbeda, didapatkan nilai kadar total gula yaitu 87,16 – 87,47 %.

0,00 0,40 0,80 1,20

45 60 75

K

adar

bah

an

tak

larut

(

%

)

Waktu (menit)

Pengeringan 50 °C Pengeringan 60 °C Pengeringan 70 °C Pengeringan 80 °C


(27)

Tidak signifikannya perubahan kandungan total gula selama proses pengeringan ini terjadi karena proses pengeringan menggunakan udara panas menyebabkan perubahan jenis gula sukrosa melalui reaksi hidrolisis yang terjadi pada kadar air rendah. Menurut pendapat Buckle (1985), sukrosa sebagai penyusun utama gula kelapa merupakan molekul gula yang sifatnya tidak stabil. Pemanasan yang dilakukan selama pengolahan gula kelapa mengakibatkan terjadinya inversi sukrosa menjadi gula-gula reduksi. Inversi sukrosa ini terjadi karena putusnya ikatan glikosidik menghasilkan monomer-monomer gula berupa glukosa dan fruktosa.

Gambar 7 Histogram hubungan antara suhu dengan waktu pengeringan terhadap kadar gula total

Inversi sukrosa menghasilkan monomer glukosa dan fruktosa akan menyebabkan penurunan kadar sukrosa dan meningkatkan kandungan gula pereduksi pada gula semut kelapa. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. Histogram kadar sukrosa pada Gambar 8 menunjukkan penurunan kadar sukrosa akibat proses pengeringan. Penurunan kadar sukrosa terlihat pada penggunaan suhu 70 dan 80 °C. Penurunan kadar sukrosa ini berbanding terbalik dengan kadar gula pereduksi. Pada histogram kadar gula pereduksi (Gambar 9) menunjukan bahwa proses pengeringan mengakibatkan nilai kadar gula pereduksi meningkat. Kadar gula pereduksi meningkat pada pengeringan menggunakan suhu 70 dan 80 °C selama 60 dan 75 menit.

Sukrosa memiliki peranan penting dalam prosses pengolahan makanan. Sukrosa merupakan oligosakarida yang terdiri dari molekul glukosa dan fruktosa. Sukrosa termasuk gula non reduksi karena tidak memilki gugus OH yang reaktif karena kedua gugus tersebut sudah saling berikatan. Jumlah sukrosa pada gula semut kelapa mempengaruhi tekstur dan pembentukan serbuk/granula. Semakin tinggi kadar sukrosa maka serbuk gula yang terbentuk semakin keras.

Kadar sukrosa gula semut kelapa yang diperoleh berkisar antara 74,99 – 75,62 %. Kadar Sukrosa terendah terdapat pada pengeringan menggunakan suhu 80 °C selama 75 menit , sedangkan kadar sukrosa tertinggi diperoleh pada kondisi pengeringan menggunakan suhu 60 °C selama 60 menit. Hasil analisis ragam

86,00 86,50 87,00 87,50 88,00

45 60 75

K

adar

gula

tot

al

(

%

)

Waktu (menit)

Pengeringan 50 °C Pengeringan 60 °C Pengeringan 70 °C Pengeringan 80 °C


(28)

menunjukkan bahwa peningkatan suhu dan waktu pengeringan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf α=0.05.

Gambar 8 Histogram hubungan antara suhu dengan waktu pengeringan terhadap kadar sukrosa

Berbeda dengan kadar sukrosa yang merupakan komponen utama gula semut kelapa, kadar gula pereduksi terdapat dalam jumlah yang sedikit. Gula pereduksi merupakan hasil hidroslisis sukrosa yang terjadi secara acak, sehingga pengukuran kadar gula pereduksi dapat dijadikan sebagai alat pengontrol kualitas hasil (Tjokroadikoesoemo, 1986). Semakin tinggi kadar gula pereduksi pada gula semut kelapa, maka mutu gula semut kelapa tersebut semakin rendah. Hal ini karena gula pereduksi akan mempengaruhi warna, tekstur dan kadar air gula semut kelapa.

Gambar 9 Histogram hubungan antara suhu dengan waktu pengeringan terhadap kadar gula pereduksi

74,50 75,00 75,50 76,00

45 60 75

K

adar

Su

krosa

(%

)

Waktu (menit)

Pengeringan 50 °C Pengeringan 60 °C Pengeringan 70 °C Pengeringan 80 °C

7,00 7,50 8,00 8,50

45 60 75

K

adar

gula

pere

du

ksi

(

%

)

Waktu (menit)

Pengeringan 50 °C Pengeringan 60 °C Pengeringan 70 °C Pengeringan 80 °C


(29)

Kadar gula pereduksi yang yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 7,84 – 8,27%. Kadar gula reduksi terendah sebesar 7,84 % diperoleh pada pengeringan gula semut kelapa menggunakan suhu 50°C selama 45 menit, sedangkan kadar gula reduksi tertinggi sebesar 8,27% diperoleh pada suhu pengeringan 80°C dengan waktu pengeringan 75 menit. Kadar gula reduksi yang dihasilkan pada penelitian ini tidak memenuhi standar mutu gula semut yang ditetapkan pada SNI yaitu sebesar 6%. Hasil analisis ragam menunjukan bahwa peningkatan suhu dan waktu pengeringan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar gula pereduksi pada taraf α = 0.05.

Hasil uji lanjut Duncan terhadap pengaruh suhu pengeringan menunjukkan pada suhu 50, 60, dan 70 °C tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar gula pereduksi, sedangkan pengeringan pada suhu 80°C memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar gula reduksi gula semut kelapa. Uji lanjut Duncan terhadap pengaruh waktu pengeringan menunjukkan bahwa pengeringan 45 menit dan 75 menit memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar gula pereduksi pada taraf α = 0.05.

Organoleptik

Uji organoleptik merupakan pengujian yang didasarkan pada proses pengindraan penguji atau panelis. Oleh karena itu pengujian organoleptik lebih bersifat subyektif karena penilaian sangat ditentukan oleh pelaku atau yang melakukan pengujian. Uji kesukaan atau hedonik merupakan penilaian subjektif panelis terhadap sifat sensoris atau cita-rasa (penampakan, bau, rasa, dan tekstur) suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi atau tidak menyenangi dengan memberikan skala tingkat kesukaan. Pengujian pada penelitian ini dilakukan oleh 20 orang panelis yang bertugas untuk menilai sifat atau mutu berdasarkan kesan subjektif yang ditimbulkan oleh rangsangan dari bahan yang diuji. Pada penelitian ini uji hedonik digunakan untuk mengetahui tingkat kesukaan gula semut kelapa secara sensorik (warna, rasa, aroma dan tekstur) setelah dilakukan pengeringan pada berbagai kondisi pengeringan.

Selama proses pengeringan gula semut, reaksi maillard memberikan pengaruh yang sangat penting untuk penampilan atau tekstur dan warna suatu produk pangan (Borelli et al. 2003). Menurut Eskin (1990) proses pencokelatan melalui reaksi maillard berawal dari kondensasi antara α-amino dari asam amino atau protein dengan gugus karbonil dari gula pereduksi yang disebut reaksi karbonil amino, produk yang dihasilkan pada reaksi ini akan kehilangan air dan membentuk basa schiff diikuti dengan siklisasi menghasilkan glikosilamin yang tersubstitusi N. Senyawa ini sangat labil sehingga mengalami isomerisasi menjadi asam fruktosamino (1-amino-1-deoksi-1-ketosa). Reaksi ini disebut amadori

rearrangement. Selanjutnya, setidaknya terdapat 3 jalur pembentukan warna

cokelat melanoidin dalam reaksi maillard. Pertama, melalui senyawa amadori yang diubah menjadi 1,2-eneaminol dan 2,3-enediol. Kedua, kondensasi aldol yang merupakan jalur alternatif. Ketiga, degradasi strecker yang tidak secara langsung membentuk pigmen, namun menyediakan senyawa pereduksi penting untuk pembentukan warna cokelat .


(30)

Warna

Penampakan visual dari suatu produk merupakan atribut mutu yang sangat penting karena penampakan visual menjadi perhatian utama konsumen dalam menilai produk yang akan dibeli. Meskipun penampakan warna tidak menunjukan nilai gizi, penampakan warna sangat penting terhadap penilaian konsumen serta memberikan kesan terhadap produk tersebut. Warna gula semut kelapa yang dihasilkan pada penelitian ini berwarna cokelat kekuning-kuningan hingga cokelat agak gelap.

Perbedaan warna yang diperoleh pada tiap kondisi pengeringan terbentuk karena adanya reaksi pencokelatan non enzimatik yaitu reaksi maillard. Reaksi maillard sangat bergantung pada keberadaan gula pereduksi dan protein. Hal ini karena reaksi maillard terjadi antara gugus aldehid dan keton pada gula pereduksi dengan gugus amino bebas (asam amino). Reaksi mailard akan menghasilkan polimer berwarna cokelat berupa berupa melanoidin yang akan semakin pekat seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu pengeringan (Jing and Kits, 2002; Yoo, 2004). Faktor yang mempengaruhi terjadinya reaksi maillard selama proses pengeringan adalah suhu, waktu pengeringan, dan kadar air bahan yang dikeringkan.

Reaksi maillard akan berlangsung semakin cepat pada pengeringan menggunakan suhu 80 °C, sementara waktu pengeringan mengakibatkan semakin intensifnya reaksi maillard yang terjadi. Hal ini terlihat dari warna gula semut yang semakin gelap seiring dengan peningkatan suhu dan waktu pengeringan.

Kadar air bahan juga mempengaruhi reaksi maillard yang terjadi selama proses pengeringan, kadar air yang optimal untuk reaksi maillard berkisar antara 10 - 15 %. Sementara kadar air yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat memperlambat terjadinya proses pencokelatan dengan reaksi maillard. Pada pengeringan ini reaksi berjalan cukup lambat karena kadar air gula semut yang dikeringkan sebesar 7,99 %. Lambatnya reaksi maillard terlihat dengan perubahan warna pada signifiakan yang rendah dari tiap kondisi pengeringan.

Hasil Uji hedonik warna gula semut kelapa kering menunjukkan bahwa pengeringan pada suhu 70 °C selama 60 menit memberikan respon tingkat kesukaan tertinggi dengan nilai kesukaan sebesar 3,6. Respon kesukaan terendah terdapat pada gula semut kelapa dengan pengeringan 80 °C selama 75 menit dengan nilai rata-rata yang diberikan panelis sebesar 2,85.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan penggunaan suhu dan waktu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk warna produk gula semut kelapa pada tingkat kepercayaan 95% (α=0,05). Hasil uji lanjut Duncan pada Lampiran 6, menunjukkan bahwa pengeringan pada suhu 60 °C selama 75 menit dan 70 °C selama 60 menit memberikan pengaruh tertinggi terhadap penilaian panelis terhadap warna gula semut kelapa yang dihasilkan. Sementara pengeringan pada suhu 80 °C selama 75 menit dan Pengeringan pada suhu 50 °C selam 45 menit memeberikan pengaruh respon terendah. Hasil pengeringan pada suhu 50 °C selama 60 dan 75 menit, 60 °C selama 45 menit, 70 °C selama 45 dan 75 menit, serta 80 °C selama 45 dan 60 menit tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap respon kesukaan panelis. Hal ini menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai gula semut kelapa dengan warna cokelat agak keemasan. Sementara warna gula semut yang terlalu gelap pada pengeringan suhu 80 °C selama 75 menit dan warna cokelat yang


(31)

terlalu terang pada pengeringan suhu 50 °C selama 45 menit lebih tidak disukai oleh panelis.

Kondisi pengeringan yang dianjurkan berdasarkan hasil analisis ragam dan respon panelis terhadap warna gula semut kelapa yang dikeringkan adalah menggunakan suhu 60 °C selama 60 menit karena pada kondisi pengeringan ini menghasilkan gula semut kelapa dengan warna cokelat keemasan yang disukai oleh panelis.

Aroma

Aroma merupakan zat kimia yang bercampur di udara dan diterima oleh indera penciuman. Gula semut kelapa memiliki aroma khas yang menjadi salah satu kelebihan gula semut kelapa.

Aroma khas gula semut kelapa ini dapat mengalami perubahan akibat proses pengeringan. Proses pengeringan gula semut kelapa menyebabkan terjadinya reaksi antara asam amino dengan gula pereduksi (maillard) yang mempengaruhi warna dan aroma gula semut kelapa yang dihasilkan. Reaksi maillard ini selain dapat menghasilkan polimer berwana cokelat (melanoidin), juga menghasilkan senyawa-senyawa seperti aldehid, keton, dan pirazin. Senyawa-senyawa ini menimbulkan aroma yang khas pada gula semut kelapa.

Hasil uji organoleptik terhadap aroma gula semut kelapa menunjukan bahwa panelis cenderung menerima aroma gula semut kelapa yang dikeringkan pada setiap kondisi pengeringan. Hal ini terlihat dari skor rata-rata tiap kondisi pengeringan yaitu antara 3,05 – 3,55. Tingkat kesukaan tertinggi dengan nilai 3,55 terdapat pada gula semut kelapa yang dikeringkan pada suhu 60 °C selama 45 menit dan pengeringan pada suhu 70 °C selama 60 menit. Pada gula semut kelapa ini memiliki aroma khas gula kelapa yang cukup kuat. Sementara tingkat kesukaan terendah terdapat pada pengeringan 80 °C selama 75 menit memiliki aroma gula kelapa yang sedikit gosong. Hal ini terjadi karena pengeringan pada gula semut ini cukup tinggi yaitu 80 °C dan waktu pengeringan yang lama 75 menit mengakibatkan reaksi pencokelatan berlebih yang menimbulkan bau gosong.

Hasil analisis sidik ragam terhadap aroma gula semut kelapa menunjukan bahwa kondisi pengeringan atau kombinasi suhu dan waktu pengeringan tidak memberikan pengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% terhadap tingkat kesukaan aroma oleh panelis.

Tekstur

Proses pengeringan gula semut kelapa dilakukan untuk mendapatkan kadar air yang rendah. Proses pengeringan ini juga dapat merubah jumlah sukrosa melalui hidrolisis pada kadar air rendah. Reaksi ini akan memecah ikatan glikosidik dari sukrosa dan menghasilkan gula pereduksi. Perubahan jumlah sukrosa, gula pereduksi dan kadar air selama proses pengeringan ini menentukan tekstur dari gula semut kelapa.

Kadar air yang rendah akan menghasilkan tekstur gula semut kelapa yang kering. Semakin rendah kadar air maka tekstur gula semut kelapa akan semakin baik. Sukrosa merupakan komponen utama gula semut kelapa yang mempengaruhi pembentukan granula pada prsoes pembuatan gula semut kelapa. Semakin tinggi kadar sukrosa maka tekstur gula semut kelapa akan semakin keras. Sementara kadar gula pereduksi yang tinggi akan mengakibatkan tekstur gula


(32)

semut kelapa menjadi lebih lembek. Hal ini karena kandungan gula pereduksi memiliki sifat higroskopik. Sifat higroskopik ini mengakibatkan gula semut kelapa mampu menyerap air dari udara luar.

Gula semut kelapa yang dihasilkan pada penelitain ini memiliki tekstur yang halus dengan tingkat kekerasan granula yang berbeda. Perbedaan tekstur dari gula semut kelapa ini terjadi karena perbedaan kadar air yang terkandung pada gula semut kelapa setelah porses pengeringan. Gula semut kelapa dengan kadar air tinggi cenderung memiliki tekstur gula semut yang agak lembek, sementara gula semut dengan kadar air yang rendah memiliki tekstur granula yang keras.

Meskipun proses pengeringan menghasilkan kadar air yang rendah, pengeringan yang diiringi peningkatan kadar gula pereduksi akibat terdegradasinya sukrosa menjadi gula pereduksi akan meningkatkan kadar air selama proses penyimpanan.

Hasil uji organoleptik terhadap tekstur gula semut kelapa menunjukkan bahwa respon kesukaan tertinggi berdasarkan skor yang diberikan oleh panelis sebesar 3,5 terdapat pada gula semut dengan pengeringan menggunakan suhu 70°C selama 60 menit. Gula semut pada pengeringan ini memiliki tekstur yang halus dengan kekeringan yang baik yaitu 2,76%. Respon kesukaan terendah berdasarkan skor hedonik dari panelis sebesar 2,80 terdapat pada pengeringan menggunakan suhu 60 °C selama 45 menit. ada pengeringan ini gula semut kelapa memiliki tekstur yang lembab dan agak lembek karena masih memiliki kadar air yang cukup tinggi yaitu 5,13 %. Hasil analisis sidik ragam pada lampiran menunjukan bahwa penggunaan suhu dan waktu pengeringan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05) terhadap tingkat kesukaan tekstur gula semut kelapa oleh panelis.

Rasa

Rasa merupakan atribut sensori yang tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan cita-rasa dari produk pangan. Rasa timbul karena senyawa yang larut dalam air berinteraksi dengan reseptor pada lidah dan indera perasa (trigeminal). Gula semut kelapa memiliki rasa manis yang khas. Rasa manis gula semut kelapa berasal dari kandungan sukrosa dan monomernya berupa gula pereduksi. Reaksi maillard yang terjadi selama proses pengeringan akan menghasilkan rasa khas. Namun pada pemanasan berlebih akan menimbulkan rasa pahit atau off flavor. Rasa pahit ini terbentuk karena intensifnya reaksi maillard yang mengakibatkan pemekatan polimer pembentuk warna cokelat (melanoidin) menjadi hitam yang memberikan rasa pahit.

Rasa gula semut yang dihasilkan pada penelitian ini didominasi oleh rasa manis khas gula kelapa. Proses pengeringan yang dilakukan tidak memberikan perubahan rasa yang terlalu berbeda. Hal ini ditunjukan oleh hasil analisis sidik ragam respon panelis terhadap rasa gula semut kelapa yang menunjukan bahwa perlakuan kondisi pengeringan tidak memberikan pengaruh nyata pada selang kepercayaan 95 % (α = 0,05). Nilai rata-rata yang diberikan panelis terhadap rasa gula semut kelapa berkisar antara 3,00 – 3,55. Nilai ini menunjukan bahwa rasa gula semut kelapa pada berbagai kondisi pengeringan cenderung disukai oleh panelis. Respon kesukaan tertinggi berdasarkan skor yang diberikan oleh panelis sebesar 3,55 terdapat pada gula semut yang dikeringkan pada suhu 60 dan 70°C selama 60 menit. Respon kesukaan terendah dengan skor 3,0 terdapat pada gula semut kelapa yang dikeringkan pada suhu 80 °C selama 60 menit.


(33)

PENUTUP

Kesimpulan

Karakteristik gula semut kelapa sebelum dikeringkan memiliki kadar air 7,99%; kadar gula total 87,25%; kadar sukrosa 75,64%; kadar gula pereduksi 7,64%; kadar abu 1,74%; kadar bahan tak larut 0,89%. Hasil karaketerisasi awal gula semut kelapa ini masih belum memenuhi standar yang ditetapkan SNI untuk gula semut kelapa.

Pada pengeringan dengan suhu 50°C gula semut kelapa mulai terbentuk gumpalan pada menit ke-15, sedangakan pada suhu 60, 70, dan 80 °C gumpalan mulai terbentuk pada menit ke-10. Penentuan waktu terbentuknya gumpalan pada gula semut digunakan sebagai selang waktu pengadukan selama proses pengeringan.

Pengeringan gula semut kelapa bertujuan untuk mengurangi sejumlah air berlebih pada gula semut kelapa dan meningkatkan cita rasa dari gula semut kelapa. Gula semut kelapa yang telah dikeringkan memiliki warna cokelat keemasan hingga cokelat agak gelap. Analisis gula semut kelapa yang telah dikeringkan pada berbagai kondisi pengeringan diperoleh kadar air antara 2,01 – 6,33 %; kadar abu antara 1,66 – 2,38 %; kadar bahan tak larut antara 0,67 – 0,79%; kadar gula reduksi antara 7,84 – 8,27 %; kadar gula total antara 87,16 – 87,47 %; dan kadar sukrosa antara 74,99 – 75,62 %.

Gula semut kelapa yang paling disukai oleh panelis yaitu gula semut yang dikeringkan menggunakan suhu 70°C selama 60 menit. Gula semut yang dikeringkan pada kondisi ini memiliki skor penilaian tertinggi untuk warna, aroma, dan rasa. Hasil analisa dari sifat kimia gula semut kelapa yang dikeringkan juga menunjukan bahwa produk gula semut kelapa terbaik adalah gula semut yang dikeringkan menggunakan suhu 70°C selama 60 menit dengan rendemen 72,24%; kadar air 2,76 %; kadar abu 1,88 %; kadar bahan tak larut 0,7 %; kadar gula total 87,17 %; kadar sukrosa 75,23 %; dan kadar gula pereduksi 7,99 %.

Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, perlu dilakukan penelitian labih lanjut terkait pengeringan gula semut kelapa, yaitu :

1. Perlu dilakukan pengujian tentang kinerja dari tray dryer yang digunakan. 2. Perlu dilakukan penelitian tentang jenis kemasan yang cocok untuk gula semut

kelapa.

3. Perlu dilakukan penelitian tentang umur simpan dari gula semut kelapa.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC, 1997. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist Inc, Washington DC.

Achanta, S. dan Okos, M.R. 2000. Drying Technology in Agriculture and Food Science : Quality Changes During Drying of Food Polymers. Science Publisher Inc, United States of Amerika.


(34)

Borelli R.C., Mennella C, Barba F., Russo, M., Russo, G.L., Krome, K., Erbersdobler, H.F., Faist, V., dan Fogliano, V. 2003. Characterization of coloured compounds obtained by enzymatic extraction of bakery products. Food and Chemical Toxicology 41, 1367-74.

Brotosunaryo, O.A.S. 2003. Pemberdayaan petani kelapa dalam kelembagaan perkelapaan di era otonomi daerah. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22−24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 10−16.

Buckle, K.A., Edwards, G. H. Fleet dan M. Wotton. 1985. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh Hari Purnomo dkk. Jakarta : Universitas Indonesia Dewan Standarisasi Nasional. 1982. SNI 01-2891-1992 : Cara uji makanan dan

minuman. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Dewan Dewan Standarisasi Nasional. 1995. SNI: Gula Palma SNI 01-3743-1995. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.

[Deptan].2005. Prospek dan Arah Perkembangan Agribisnis Kelapa. Jakarta. [Deptan].2013. Evaluasi Pelaksanaan Program 2012 dan Rambu-Rambu

Pelaksanaan Kegiatan 2013. Direktorat Jenderal Perkebunan .Jakarta. Earle, R.L. 1983. Unit Operations in Food Processing. 2nd ed. London: Pergamon

Press.

Eskin, N.A.M.1990. Biochemistry of food. Ed ke-2. New york: Academic Press Inc

Fellows P.J., (2000),Food Processing Technology,Second Edition,Ellis Horword Limited,England

Hall, C.W. 1980. Drying Farm Crops. Agricuture Process Engineering. Jhon Willey and Sonns Inc. New York. 334 hal.

Hasibuan, R. 2005. Proses Pengeringan. Fakultas Teknik Kimia. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Henderson, S.M. dan R.L. Perry. 1976. Agricultural Process Engineering 3th Edition. The AVI Publishing Company. Inc., Wesport Connecticut. USA. Ikan, R.1996. The Maillard reaction: consequences for the chemical and life

sciences, John Willeyand sons Ltd.: Chischester, England

Jamaludin. 2003. Keberhasilan dan kegagalan agribisnis kelapa di bidang on farm. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22−24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm.97−100.

Jing H dan Kits DD. Chemical and biochemical properties of caseinsugar Maillard reaction products. Food Chem Toxicol 2002; 40: 1007-15.

Maroulis ZB, Saravacos GD. 2003. Food Process Design. New York: Marcel Dekker.

Mujumdar, A.S., 2006, Handbook of Industrial Drying. National University of Singapore , CRC Press Online

Mustaufik dan H. Dwiyanti. 2007. Rekayasa Pembuatan Gula Kelapa Kristal yang Diperkaya dengan Vitamin A dan Uji Preferensinya kepada Konsumen. Jurusan Teknologi Pertanian Unsoed, Purwokerto.

Nogoseno. 2003. Reinventing agribisnis perkelapaan nasional. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22−24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 115−124.


(35)

Norman W.D. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan, Jakarta: Univeristas Indonesia.

Tegar, E.P. 2010. Mengkaji Mutu Keragaman dan Penyimpangan Mutu Gula Kelapa Kristal (Gula Semut) Di Kawasan Home Industri Gula Kelapa Kabupaten Banyumas. Skripsi pada Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Tjahjaningsih, J., 1996. Evaluasi Daya Simpan dan Prevalensi Berbagai Macam Gula Merah Palma Tradisional dari Beberapa Daerah Potensi Produksi di Karesidenan Banyumas. Laporan Hasil Penelitian. Lembaga Penelitian UNSOED, Purwokerto

Tjokroadikoesoemo, S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Yoo MA, Kim HW, Kim KH, dan Kang MH. 2004. Antioxidant effect of brown substances separated from defatted roastd sesame dregs. Food Sci Biotechnol. 13: 274-8.


(36)

Lampiran 1 Prosedur analisis Uji Kadar Air

Pengukuran kadar air dilakukan pada awal dan akhir proses pengeringan menggunakan oven. Gula semut yang telah diaduk diambil dan diletakan pada cawan yang telah diketahui bobotnya. Pengukuran kadar air dilakukan dengan memasukan contoh yang telah disiapkan ke dalam alat pengukur kadar air pada selang waktu kemudian ditimbang hingga perubahan bobotnya yang terjadi sangat kecil. Sebelum penimbangan contoh dimasukan ke dalam desikator hingga mencapai suhu kamar.

Dalam menentukan kadar air bahan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah (wet basis).

KA (db)= Wa ×100% Wk

KA (wb)= Wa ×100% Wa + Wk

Dimana :

KA(db) = Kadar air berdasarakan basis kering (%) KA(wb) = Kadar air berdasarkan basis basah (%) Wa = Bobot air bahan (g)

Wk = Bobot kering bahan (g)

Laju Pengeringan

Laju pengeringan menunjukan kecepatan kandungan air dalam bahan yang diuapkan per satuan waktu. Laju pengeringan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

% bk/jam = kadar air awal−kadar air akhir

lama pengeringan

kg air/jam = berat air awal−berat air akhir

lama pengeringan Kadar Abu (AOAC,1997)

Sebanyak 3 – 5 g contoh ditimbang dalam cawan porselen yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Cawan porselen berisi contoh kemudian dimasukan ke dalam tanur pengabuan pada suhu 600 °C hingga diperoleh abu berwarna abu-abu atau sampai bobotnya konstan. Cawan porselen kemudian didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan.

Kadar Abu (% bk) = Bobot abu


(37)

Kadar Bahan tak Larut (SNI 1992)

Kertas saring dikeringkan menggunakan oven pada suhu 105oC selama 3 menit, kemudian kertas saring didinginkan dalam desikator dan timbang. Sebanyak 20 gr sampel dimasukan dalam gelas piala 400 ml, kemudian ditambahkan 200 ml air panas dan diaduk hingga larut. Larutan kemudian disaring dengan kertas saring yang telah diketahui beratnya. Kertas saring kemudian dioven pada suhu 105oC selama 2 jam. Kertas saring didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Bahan tidak larut = � =�1−�2

� × 100%

W = bobot contoh

W1 = bobot kertas saring setelah penyaringan W2 = bobot kertas saring sebelum penyaringan

Kadar Gula

Kadar Gula Sebelum Inversi (Gula Pereduksi)

Bahan sebanyak 2,5 – 25 g ditimbang dan dimasukan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 50 ml aquades. Ditambahkan larutan timbal asetat (PbO) secara perlahan hingga tidak menimbulkan pengeruh lagi, kemudian ditambahkan aquades hingga tanda tera dan disaring. Filtrat ditambung dalam labu takar 200ml. Untuk menghilangkan kelebihan Pb dapat ditambahkan Na2CO3 anhidrat atau K atau Na-oksalat anhidrat atau larutan Na-fosfat 10% secukupnya hingga timbul endapan putih.

Sebanyak 25 ml filtrat bebas Pb diambil dan dimasukan dalam erlnmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan Luff-Schoorl. Penetapan blanko dilakukan dengan mencampurkan 25 ml aquades dengan 25 ml larutan luff-schoorl. Erlenmeyer kemudian ditambahkan beberapa batu didih dan dihubungkan dengan pendingin balik. Filtrat kemudian didihkan selama 10 menit. selanjutnya filtrat didinginkan dengan cepat dan ditambahkan 15 ml KI 20 % dan dengan hati-hati tambahkan 25 ml H2SO4 26,5%. Yodium yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na-thiosulfat 0,1 N memakai indikator pati sebanyak 2 -3 ml hingga warna biru hilang dan berwarna kuning gading.

Dengan mengetahui selisih antara titrasi blanko dan titrasi contoh kadar gula reduksi dalam bahan dapa dicari dengan menggunakan tabel luff-schoorl.

Kadar Gula Pereduksi = �� �

�� × 100 %

Dimana :

Mg = mg glukosa, fruktosa P = faktor pengenceran Ct = mg contoh

Kadar Gula sesudah Inversi (Total Gula)

Sebanyak 50 ml filtrat bebas Pb, 25 ml aquades dan 10 ml HCl 30 % dimasukan ke dalam labu ukur 100 ml. Kemudian dipanaskan di atas penangas air pada suhu 67-70 oC selama 10 menit dan didinginkan dengan cepat hingga


(38)

mencapai suhu 20 oC. Dinetralkan dengan NaOH 45 % dan ditambahkan aquades hingga tanda tera.

Filtrat diambil sebanyak 25 ml dan ditambahkan 25 ml larutan luff-schoorl. Dibuat pula blanko yaitu 25 ml aquades dan 25 ml larutan luff-schoorl dalam erlenmeyer. Setelah ditambahkan beberapa batu didih kemudian dihubungkan dengan pendingin balik dan didihkan selama 10 menit. Setelah mendidih, dinginkan dengan cepat dan tambahkan 15 ml KI 20 % dan 25 ml H2S04 26,5% secara hati-hati. Dilakukan titrasi dengan Na-thiosulfat 0,1 N dengan indikator pati sebanyak 2-3 ml.

Dengan mengetahui selisih antara titrasi blanko dan titrasi contoh kadar gula reduksi dalam bahan dapa dicari dengan menggunakan tabel luff-schoorl.

Kadar Gula Total = �� �

�� × 100 %

Kadar Sukrosa = (Kadar total gula – Kadar gula pereduksi) × 0,95 Dimana :

Mg = mg glukosa, fruktosa P = faktor pengenceran Ct = mg contoh

Tabel Luff Schoorl ml 0,1 N

Na-thiosulfat

Glukosa, Fruktosa, gula invert, mg

C6H12O6

ml 0,1 N Na-thiosulfat

Glukosa, Fruktosa, gula

invert, mg C6H12O6

Δ Δ

1 2,4 2,4 13 33 2,7

2 4,8 2,4 14 35,7 2,8

3 7,2 2,5 15 38,5 2,8

4 9,7 2,5 16 41,3 2,9

5 12,2 2,5 17 44,2 2,9

6 14,7 2,5 18 47,1 2,9

7 17,2 2,5 19 50 3

8 19,8 2,6 20 53 3

9 22,4 2,6 21 56 3,1

10 25 2,6 22 59,1 3,1

11 27,6 2,7 23 62,2 -

12 30,3 2,7 24 - -

Uji Organoleptik

Uji organoleptik yang digunakan meliputi uji kesukaan terhadap warna, tekstur, rasa dan aroma dari gula semut kelapa. Skala hedonik yang digunakan mempunyai rentang dari skala sangat suka sampai skala amat sangat tidak suka. Format lembar penilaian yang digunakan adalah sebagai berikut.


(39)

Nama Panelis : Tanggal Pengujian :

Jenis Contoh : Gula semut kelapa

Instruksi : Nyatakan penilaian anda pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian anda.

Penilaian Kode Sampel

252 965 175 231 121 383

Warna Tekstur Aroma Rasa

Penilaian Kode Sampel

456 234 166 345 232 882

Warna Tekstur Aroma Rasa

Keterangan:

1. Sangat Tidak Suka 2. Tidak Suka

3. Netral 4. Suka

5. Sangat Suka

Lampiran 2 Hasil pengukuran sifat udara pengering

Parameter A1 A2 A3 A4

Udara masuk

Suhu bola kering rata-rata oC 50,15 60,26 70,3 80 Suhu bola basah rata-rata oC 35,4 36,21 39,11 43,13 Kelembaban relatif rata-rata % 38,61 22,15 15,97 13,38

Entalpi (ho) kj/kg 131,14 136,05 157,1 191,98

Volume spesifik m3/kg 0,961 0,988 1,024 1,067

Ruang pengering

Suhu ruang pengering rata-rata(kosong) oC 49 60 70,1 80 Suhu ruang pengering rata-rata oC 47,5 58,5 68,33 88,3

Udara Keluar

Suhu bola kering rata-rata oC 46,6 53,6 61,2 68,73 Suhu bola basah rata-rata oC 34 35,44 38,4 42 Kelembaban relatif rata-rata % 43,33 31,21 25,25 22,06


(40)

Lampiran 3 Syarat mutu gula palma (SNI 01-3743-1995)

No Kriteria Uji Satuan Persyarat

Cetak Butiran/granula 1 Keadaan

1.1 Betuk Normal Normal

1.2 Rasa dan aroma Normal, khas Normal, khas

1.3 Warna

Kuning kecokelatan sampai

cokelat

Kuning kecokelatan sampai cokelat 2. Bagiaan yang tak

larut dalam air %b/b Maks. 1,0 Maks. 0,2

3. Air %b/b Maks.10,0 Maks.3,0

4. Abu %b/b Maks.2 Maks.2

5. Gula pereduksi %b/b Maks. 10 Maks.6,0

6. Jumlah gula

sebagai skarosa %b/b Maks. 77 Min.90,0

7. Cemaran logam

7.1 Seng (Zn) mg/kg Maks.40,0 Maks.40,0

7.2 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,0 Maks. 2,0

7.3 Tembaga (Cu) mg/kg Maks,10,0 Maks.10,0

7.4 Raksa mg/kg Maks,40,0 Maks.40,0

8. Arsen mg/kg Maks. 1,0 Maks.1,0

Lampiran 4 Analisis statistik rendemen gula semut kelapa kering

Sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (0,05) Kelompok (Ulangan) 1 6,594 6,594 5,237 4,84

Suhu (A) 3 34,781 11,594 9,208* 3,59

Waktu (C) 2 2,162 1,081 0,858 3,98

Suhu * Waktu (A*B) 6 3,825 0,638 0,506 3,09

Galat 11 13,849 1,259

Total 23 61,211

Analisis uji lanjut Duncan faktor suhu pengeringan terhadap rendemen gula semut kelapa

Perlakuan Rata-rata  = 0,05 A1 69,1600 A

A4 69,9433 A B

A2 71,3567 B C

A3 72,2567 C


(1)

Lampiran 5 Analisis statistik sifat kimia gula semut kelapa kering 1. Kadar Air

Sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (0,05)

Kelompok (Ulangan) 1 ,035 ,035 2,190 4,84

Suhu (A) 3 23,646 7,882 489,464* 3,59

Waktu (C) 2 13,811 6,906 428,846* 3,98

Suhu * Waktu (A*B) 6 1,426 0,238 14,761* 3,09

Galat 11 ,177 0,016

Total 23 39,096

Analisis uji lanjut Duncan interaksi faktor suhu dan waktu pengeringan terhadap kadar air

Perlakuan Rata-rata  = 0,05

A4B3 2,0100 A

A3B3 2,4700 B

A3B2 2,7600 C

A4B2 2,8750 C

A2B3 3,2100 D

A4B1 3,3150 D

A1B3 4,2700 E

A2B3 4,4450 E F

A3B1 4,6200 F

A2B1 5,1300 G

A1B2 5,4200 H

A1B1 6,3250 I

Huruf yang berbeda dalam satu kolom menyatakan berbeda nyata pada  = 0,05 2. Kadar abu

Sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (0,05)

Kelompok (Ulangan) 1 0,067 0,067 0,146 4,84

Suhu (A) 3 0,278 0,093 0,200 3,59

Waktu (C) 2 0,060 0,030 0,065 3,98

Suhu * Waktu (A*B) 6 ,627 0,105 0,227 3,09

Galat 11 5,077 0,462


(2)

3. Kadar bahan tak larut

Sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (0,05)

Kelompok (Ulangan) 1 0,007 0,007 1,224 4,84

Suhu (A) 3 0,004 0,001 0,270 3,59

Waktu (C) 2 7,500E-5 3,750E-5 0,007 3,98

Suhu * Waktu (A*B) 6 0,023 0,004 0,690 3,09

Galat 11 0,060 0,005

Total 23 0,094

4. Kadar sukrosa

Sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (0,05)

Kelompok (Ulangan) 1 0,000 0,000 0,000 4,84

Suhu (A) 3 0,318 0,106 2,586 3,59

Waktu (C) 2 0,189 0,094 2,303 3,98

Suhu * Waktu (A*B) 6 0,148 0,025 0,603 3,09

Galat 11 0,450 0,041

Total 23 1,105

5. Kadar gula pereduksi

Sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (0,05)

Kelompok (Ulangan) 1 0,000 0,000 0,014 4,84

Suhu (A) 3 0,239 0,080 4,133* 3,59

Waktu (C) 2 0,183 0,091 4,741* 3,98

Suhu * Waktu (A*B) 6 0,112 0,019 0,965 3,09

Galat 11 0,212 0,019

Total 23 0,746

Analisis uji lanjut Duncan faktor suhu pengeringan terhadap kadar gula pereduksi gula semut kelapa

Suhu Rata-rata  = 0,05

A1 7,8883 A

A2 7,9117 A

A3 8,0333 A B

A4 8,1367 B


(3)

pereduksi gula semut kelapa

Waktu Rata-rata  = 0,05

B1 7,8850 A

B2 7,9938 A B

B3 8,0988 B

Huruf yang berbeda dalam satu kolom menyatakan berbeda nyata pada  = 0,05 6. Total gula

Sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (0,05)

Kelompok (Ulangan) 1 0,000 0,000 0,018 4,84

Suhu (A) 3 0,073 0,024 1,618 3,59

Waktu (C) 2 0,005 0,002 0,155 3,98

Suhu * Waktu (A*B) 6 0,072 0,012 0,797 3,09

Galat 11 0,314

Total 23 1,105

Lampiran 6 Hasil analisis organoleptik gula semut kelapa kering 1. Warna

Sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (0,05)

Panelis 19 69,646 3,666 7,474 1,64

Perlakuan 11 10,246 0,931 1,899* 1,83

Galat 209 102,504 0,490

Total 239 182,396

Analisis uji lanjut Duncan organoleptik warna gula semut kelapa Perlakuan Rata-rata  = 0,05

A4B3 2,8500 A A1B1 2,9500 A A4B1 3,1000 A B A1B2 3,1500 A B A3B1 3,2000 A B A1B3 3,2000 A B A2B1 3,2000 A B A2B2 3,3000 A B A4B2 3,3000 A B A3B3 3,3500 A B

A3B2 3,5500 B


(4)

2. Aroma

Sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (0,05)

Panelis 19 38,733 2,039 3,633 1,64

Perlakuan 11 5,733 0,521 0,929 1,83

Galat 209 117,267 0,561

Total 239 161,733

3. Tekstur

Sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (0,05)

Panelis 19 76,333 4,018 7,166 1,64

Perlakuan 11 9,833 0,894 1,595 1,83

Galat 209 117,167 0,561

Total 239 203,333

4. Rasa

Sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (0,05)

Panelis 19 41,413 2,180 5,210 1,64

Perlakuan 11 7,146 0,650 1,553 1,83

Galat 209 87,437 0,418

Total 239 135,996

Lampiran 7 Dokumentasi penelitian


(5)

Persiapan pengeringan Hasil pengeringan


(6)

BIODATA PENULIS

Huda Adhiyaksa. Lahir di Yogyakarta, pada tanggal 21 April 1989 dari ayah Sri Murwanto dan ibu Rini Puji Astuti sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA di SMA Yayasan Wanita Kereta Api (YWKA) Bandung pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis ikut serta aktif

dalam keanggotaan Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN). Selain itu, penulis juga aktif sebagai anggota pada salah satu organisasi kedaerahan yang ada di IPB yaitu, Paguyuban Mahasiswa Bandung (PAMAUNG). Penulis melaksanakan Praktek Lapangan pada tahun 2010 di PT. Bio Greenland yang bergerak dibidang pengolahan biji jarak kepyar menjadi minyak jarak (castor oil) di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat.