Kejadian Cold Surge dan Hubungannya dengan Curah Hujan Indonesia.

KEJADIAN COLD SURGE DAN HUBUNGANNYA
DENGAN CURAH HUJAN INDONESIA

DWIPUTRA HADI UTOMO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kejadian Cold Surge
dan Hubungannya dengan Curah Hujan Indonesia adalah benar karya saya
dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.


Bogor, Juni 2015

Dwiputra Hadi Utomo
NIM G24090061

ABSTRAK
DWIPUTRA HADI UTOMO. Kejadian Cold Surge dan Hubungannya
dengan Curah Hujan Indonesia. Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT.
Cold surge adalah aliran udara dingin lapisan permukaan yang menjalar dari
bumi bagian utara ke arah selatan melewati garis ekuator melalui wilayah Asia
Timur dan Tenggara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
kejadian cold surge khususnya pada bulan Desember hingga Februari terhadap
intensitas curah hujan di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data kecepatan angin meridional (utara-selatan) menggunakan
NCEP/NCAR Reanalysis serta data curah hujan harian menggunakan Tropical
Rainfall Measuring Mission (TRMM) 3B42 bulan Desember, Januari, Februari
tahun 2011-2014. Selain itu, dalam penelitian ini juga digunakan data anomali Sea
Surface Temperature (SST) wilayah Niño3.4 (indeks Nino3.4) tahun 1979-2014.
Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi kejadian cold surge, dimana

terjadinya cold surge ditentukan dengan menggunakan indikator kecepatan ratarata angin meridional melebihi 8 m/s. Kemudian dilakukan analisis hubungan
antara kejadian cold surge dengan curah hujan. Dilakukan juga analisis hubungan
antara cold surge dan El Nino-Southern Oscillation (ENSO).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara
kejadian cold surge dengan keragaman curah hujan di wilayah Indonesia.
Kejadian cold surge dapat meningkatkan intensitas curah hujan di wilayah
Indonesia, khususnya pada Laut Jawa peningkatannya berkisar 20-80%. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa total keragaman jumlah hari cold surge yang
dapat dijelaskan oleh nilai indeks El Nino-Southern Oscillation (ENSO) sebesar
� 2 = ,38. Terdapat hubungan negatif antara jumlah kejadian cold surge dengan
ENSO dengan tingkat keeratan hubungan � = − , . Pada waktu nilai ENSO
positif (El Nino) maka jumlah cold surge cenderung menurun sedangkan pada
waktu nilai ENSO negatif (La Nina) maka jumlah cold surge cenderung naik.
Kata Kunci : Curah Hujan, Cold Surge, El Nino-Southern Oscillation (ENSO),
Angin Meridional

ABSTRACT
DWIPUTRA HADI UTOMO. Cold Surge Event and its Relationship to
Indonesia Rainfall. Supervised by RAHMAT HIDAYAT.
Cold surge is low-level cold air flow that extends from the northern

hemisphere to the south toward the equator through East Asia and Southeast Asia
region. The purpose of this study is to analyze the effect of cold surge, especially
in December until February to the variability of rainfall in Indonesia. The data
used in this study are meridional wind speed data (north-south) using the NCEP /
NCAR Reanalysis and daily rainfall data using Tropical Rainfall Measuring
Mission (TRMM) 3B42 in December, January, February 2011-2014. In addition,
this study also used the data anomaly of Sea Surface Temperature (SST) in
Niño3.4 region (Nino3.4 index) for period of 1979-2014.
This study begins by identifying the occurrence of cold surge, using the
average speed indicator meridional winds exceeding 8 m/s. Then analyzing the
relationship between the cold surge event and rainfall in Indonesia. Furthermore,
continued by analyzing the relationship between cold surges and El NinoSouthern Oscillation (ENSO).
The result of this study indicate that there is a positive relationship
between the cold surge events to the variability of rainfall in Indonesia. The
existence of cold surges is able to increase the intensity of rainfall in Indonesia,
especially in Java Sea the rainfall intensity is increased about 20-80%. The result
of this study also showed that the total variation of cold surge events that
explained by the total variation of El Nino-Southern Oscillation (ENSO) index is
� 2 = .38. The number of cold surge has a negative relationship with ENSO
index, with the value of correlation coeffient � = − , . When ENSO value is

positive (El Nino), the number of cold surges tend to decrease. Otherwise when
ENSO value is negative (La Nina), the number of cold surges tend to increase.
Keywords: Rainfall, Cold Surge, El Nino-Southern Oscillation (ENSO), Meridional Wind

KEJADIAN COLD SURGE DAN HUBUNGANNYA
DENGAN CURAH HUJAN INDONESIA

DWIPUTRA HADI UTOMO

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
Pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Judul Skripsi : Kejadian Cold Surge dan Hubungannya dengan Curah Hujan
Indonesia
Nama
: Dwiputra Hadi Utomo
NIM
: G24090061

Disetujui oleh

Dr Rahmat Hidayat, M.Sc
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :


PRAKATA
Alhamdulillah. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Karya ilmiah yang berjudul Kejadian Cold Surge dan Hubungannya
dengan Curah Hujan Indonesia dapat diselesaikan dengan kendala dan
keterbatasan yang dihadapi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Rahmat Hidayat selaku
pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan ide, saran dan masukan
sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan
kepada Prof Dr Ahmad Bey dan Dr. Ir. Rini Hidayati selaku dosen penguji yang
telah memberikan banyak saran dan nasihat kepada penulis. Terima kasih juga
penulis ucapkan kepada seluruh dosen yang telah memberikan bimbingan dan
ilmu dan juga kepada staf departemen GFM atas bantuannya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga, terutama ayah, ibu, kakak,
adik dan mbak Astri yang memberikan banyak dukungan dan doa dalam
melaksanakan penelitian ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua
teman-teman GFM 46 dan GFM 47 yang telah memberikan dukungan motivasi
dan bantuan selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Juni 2015
Dwiputra Hadi Utomo

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

v

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODE

2

Bahan dan Alat

2

Prosedur Analisis Data

2


HASIL DAN PEMBAHASAN

3

Cold Surge

4

Cold Surge dan Curah Hujan Wilayah Indonesia

8

Cold Surge dan Curah Hujan di Bogor

11

Cold Surge dan El Nino-Southern Oscillation (ENSO)

13


SIMPULAN DAN SARAN

15

Simpulan

15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

17


DAFTAR TABEL
1 Jumlah hari terjadi dan tidak terjadi cold surge pada bulan DJF
tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14
2 Tanggal hari terjadi cold surge

5
6

DAFTAR GAMBAR
1 Rata-rata tekanan permukaan laut (hPa) dan vektor angin meridional
(1.000 hPa) pada bulan DJF tahun 2011/12 – 2013/14
2 Rata-rata kecepatan angin meridional ketinggian 1.000 hPa pada
110°BT - 117.5°BT dan 15°LU tahun (a) 2011/12, (b) 2012/13, dan
2013/14
3 Peta komposit rata-rata kecepatan angin meridional bulan DJF pada
tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14 (a) rata-rata pada bulan DJF,
(b) rata-rata pada saat terjadi cold surge, dan (c) rata-rata pada saat
tidak terjadi cold surge
4 Peta rata-rata curah hujan (TRMM 3B42) bulan DJF pada tahun
2011/12, 2012/13, dan 2013/14 (a) rata-rata pada bulan DJF, (b) ratarata pada saat terjadi cold surge, dan (c) rata-rata pada saat tidak
terjadi cold surge
5 Kenaikan/penurunan curah hujan pada saat terjadi cold surge
terhadap rata-rata klimatologi (DJF) pada (a) tahun 2011/12, (b)
tahun 2012/13, dan (c) tahun 2013/14
6 Kenaikan/penurunan curah hujan pada saat tidak terjadi cold surge
terhadap rata-rata klimatologi (DJF) pada (a) tahun 2011/12, (b)
tahun 2012/13, dan (c) tahun 2013/14
7 Curah hujan harian Bogor (TRMM) dan Bogor (Observasi) bulan
DJF serta kecepatan angin meridional pada indeks cold surge, pada
tahun (a) 2011/12, (b) 2012/13, dan (c) 2013/14
8 Jumlah kejadian cold surge (biru), bulan DJF dari tahun 1979 hingga
2014, indeks Nino3.4 (garis merah)

3

5

7

9

10

10

12
13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Scripting language ektrak angin di ketinggian 1000 hPa, 110-117,5
BT dan 15 LU tahun 2011
2 Scripting language peta angin bulan DJF tahun 2011-2012
3 Scripting language angin saat cold surge tahun 2011-2012

17
17
18

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu fenomena penting dalam bidang meteorologi adalah fenomema
yang berkaitan dengan angin monsoon. Monsoon adalah angin berskala besar
yang terjadi ketika terdapat perbedaan suhu di daratan dan lautan yang terjadi
pada waktu musim dingin maupun musim panas. Menurut Yamamoto et al.
(2013) Asian monsoon merupakan monsoon system terbesar di bumi. Asian
monsoon terbagi menjadi dua bagian, yaitu Indian monsoon dan East Asian
monsoon dan secara dinamik berhubungan dengan Australian monsoon dan
African monsoon. Kecepatan angin pada Indian summer monsoon lebih kuat
dibandingkan dengan East Asian summer monsoon. Sebaliknya, kecepatan angin
pada East Asian winter monsoon lebih kuat dibandingkan dengan Indian winter
monsoon.
Pada saat Asian winter monsoon, kondisi suhu daratan di wilayah Asia
Timur yang lebih dingin dibandingkan di lautan, menyebabkan hembusan angin
dingin menuju Laut Cina Selatan, yang terus menuju ke daerah ekuator. Menurut
Krishnamurti dalam Chang et al. (2006), sumber panas Asian winter monsoon
berasal dari daerah ekuator. Selain itu sirkulasi pada Asian winter monsoon
meliputi daerah yang lebih luas mencakup wilayah tropis dan subtropis. Asian
winter monsoon tersebut dicirikan oleh adanya kejadian aliran udara lapisan
permukaan dari arah utara-timur laut (low-level north-northeasterly flow) pada
waktu musim dingin di Belahan Bumi Utara (BBU), khususnya di Asia Timur dan
Asia Tenggara, yang dikaitkan dengan antisiklon dari permukaan SiberianMongolian High (SMH) (Hattori et al. 2011; Chang et al. 2006). Siberian-High
atau yang disebut sebagai Siberian anticyclone merupakan fenomena tekanan
permukaan yang tinggi di bagian tengah dan timur laut Siberia pada waktu musim
dingin.
Dalam cuaca dingin yang terus menerus selama Asian winter monsoon
tersebut, terkadang terjadi variasi tekanan, suhu, dan kecepatan angin yang
ekstrim yang dikenal dengan cold surge (Yen dan Chen 2002; Chen et.al. 2002;
Hattori et al., 2011). Menurut Zhang et al. (1997) cold surge ditandai dengan
pergerakan antisiklon Siberian-High ke arah tenggara. Menurut Chen et.al. 2002
daerah yang dilalui cold surge umumnya mengalami penurunan suhu udara,
peningkatan tekanan permukaan serta peningkatan angin lapisan bawah yang
bertiup arah selatan.
Penelitian ini dilakukan karena penelitian-penelitian terdahulu hanya
berfokus pada fenomena perubahan angin, tekanan dan suhu di wilayah Laut Cina
Selatan, khususnya perbedaan tekanan di Danau Baikal, Siberia, dan Danau
Balkash. Sementara penelitian yang menekankan pada pengaruh terjadinya cold
surge terhadap kondisi perubahan cuaca di Pulau Jawa dan sekitarnya belum
banyak dilakukan (Aldrian dan Utama, 2007; Hattori et al., 2011). Oleh karena
itu, kajian ini bermaksud untuk mempelajari fenomena cold surge Laut Cina
Selatan dan keterkaitannya dengan fenomena terjadinya hujan di wilayah
Indonesia.

2

Tujuan Penelitian
Meneliti fenomena kejadian cold surge pada bulan Desember hingga
Februari terhadap pola curah hujan di Indonesia serta meneliti hubungan antara
cold surge dengan El Nino-Southern Oscillation (ENSO).

METODE
Bahan dan Alat
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) data kecepatan angin
meridional (utara-selatan) harian tahun 2011-2014 menggunakan NCEP/NCAR
Reanalysis dengan resolusi spasial 2,5°×2,5°, yang diperoleh dari website
http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/, 2) data curah hujan harian bulan
Desember, Januari, dan Februari (DJF) tahun 2011-2014 menggunakan TRMM
3B42 v7, yang diperoleh dari website http://mirador.gsfc.nasa.gov/, 3) data
anomaly Sea Surface Temperature (SST) wilayah Niño3.4 periode 1979-2014,
yang diperoleh dari website http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/
3mth.nino34.81-10.ascii.txt, dan 4) data curah hujan harian stasiun Baranangsiang
Bogor bulan Desember, Januari dan Februari tahun 2011-2013. Adapun alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dan perangkat lunak
Microsoft Office untuk analisis data dan penyajian teks, tabel, dan grafik. Selain
itu, digunakan pula GrADS versi 2.0.2.oga.2 untuk menampilkan peta kecepatan
angin meridional dan curah hujan.
Prosedur Analislis Data
Dalam penelitian ini, dilakukan prosedur sebagai berikut:
1. Melakukan identifikasi kejadian cold surge.
a. Mengekstrak data kecepatan angin meridional harian di ketinggian 1.000
hPa pada indeks cold surge yaitu di 110°BT - 117,5°BT dan 15°LU pada
bulan DJF tahun 2011-2014.
b. Melakukan identifikasi untuk menentukan terjadinya cold surge.
Kejadian cold surge ditentukan dengan menggunakan indikator
kecepatan rata-rata angin meridional melebihi 8 m/s.
2. Melakukan analisis hubungan antara cold surge dengan curah hujan.
a. Mengelompokkan data curah hujan menjadi tiga kondisi:
1) Rata-rata curah hujan pada hari-hari keseluruhan DJF (hari terjadi
maupun tidak terjadi cold surge).
2) Analisis komposit curah hujan pada hari-hari terjadi cold surge.
3) Analisis komposit curah hujan pada hari-hari tidak terjadi cold
surge.
b. Membuat peta komposit kecepatan angin meridional pada tiga kondisi
tersebut.

3

Melakukan analisis hubungan antara kejadian cold surge dengan curah
hujan.
Melakukan analisis hubungan antara cold surge dan El Nino-Southern
Oscillation (ENSO).
a. Mengekstrak data kecepatan angin meridional harian di ketinggian 1.000
hPa pada indeks cold surge yaitu di 110°BT - 117,5°BT dan 15°LU pada
bulan DJF tahun 1979-2014.
b. Mengidentifikasi kejadian cold surge berdasarkan data kecepatan angin
meridional.
c. Memplot banyaknya kejadian cold surge dengan anomaly Sea Surface
Temperature (SST) wilayah Niño3.4 periode 1979-2014.
c.

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tekanan permukaan laut pada bulan DJF mencapai 1.036 hPa. Tekanan
tersebut berpusat di daerah Siberia-Mongolia pada koordinat (50°LU, 90°BT) dan
(50°LU, 100°BT). Dari peta kontur tekanan permukaan laut, dapat dilihat pula
bahwa semakin ke selatan tekanan akan semakin menurun sampai ke wilayah
Laut Cina Selatan dengan radius yang lebih luas. Dari pusat tekanan di daratan
tinggi Siberia-Mongolia, angin berhembus menuju ke arah timur sampai 130°BT,
kemudian berubah ke arah selatan sampai ke daerah Laut Cina Selatan, bahkan
sampai ke daerah tropis (Gambar 1).

Gambar 1 Rata-rata tekanan permukaan laut (hPa) dan vektor angin meridional
(1.000 hPa) pada bulan DJF tahun 2011/12 – 2013/14.

4

Cold Surge
Istilah cold surge digunakan untuk mendefinisikan peristiwa penurunan
suhu udara yang cepat di wilayah Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan. Hal
tersebut disebabkan oleh udara dingin yang menjalar dari benua Asia ketika
musim dingin di belahan bumi utara. Berdasarkan kajian literatur, cold surge
memiliki beberapa definisi yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Dalam
penelitian ini cold surge didefinisikan sebagai hari dimana rata-rata kecepatan
harian angin meridional ketinggian 1000hPa sepanjang 110°BT – 117,5°BT dan
15°LU melebihi 8 m/s ke arah selatan (Chang et al. 2005).
Untuk keperluan identifikasi cold surge, data grid angin meridional
diekstrak menjadi data teks menggunakan perangkat lunak GrADS versi
2.0.2.oga.2. Selanjutnya dilakukan identifikasi penentuan terjadinya cold surge.
Mengacu pada Chang et al. (2005) indeks cold surge dapat dilihat pada Gambar 1
yang ditunjukkan oleh garis hitam tebal dari arah barat ke timur sepanjang
lintasan 110°BT – 117,5°BT dan 15°LU. Dikatakan terjadi cold surge, jika ratarata kecepatan angin meridional di indeks cold surge melebihi 8 m/s ke arah
selatan (Chang et al. 2005).
Gambar 2 menyajikan kecepatan rata-rata angin meridional pada indeks
cold surge yang berada disekitar wilayah Laut Cina Selatan yaitu 110°BT –
117,5°BT dan 15°LU dengan ketinggian 1.000 hPa pada bulan DJF tiga tahun
terakhir yaitu tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14. Pada Gambar 2 dapat dilihat
bahwa kondisi kecepatan angin setiap tahunnya memiliki pola yang berbeda, pada
tahun 2011/12 dan 2012/13 lama terjadinya cold surge terlihat pendek, sedangkan
pada tahun 2013/14 terjadinya cold surge berlangsung lama. Pada tahun 2012/13
kecepatan angin meridional pada indeks cold surge lebih lemah dibandingkan
dengan tahun 2011/12 dan 2013/14.
Selanjutnya dilakukan identifikasi untuk menentukan hari terjadinya cold
surge. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa jumlah hari cold surge pada tahun
2011/12 dan 2013/14 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2012/13.
Lebih lanjut, dilakukan pengelompokan kondisi terjadi dan tidak terjadi cold
surge berdasarkan rata-rata kecepatan angin meridional dan curah hujan, yang
disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, jumlah hari cold surge pada tahun
2011/12 sebanyak 36, artinya dalam rentang waktu 1 Desember 2011 hingga 29
Februari 2012 terjadi 36 hari cold surge. Jumlah hari cold surge pada tahun
2012/13 sebanyak 22 hari artinya dalam rentang waktu 1 Desember 2012 hingga
28 Februari 2013 terjadi 22 hari cold surge. Jumlah hari cold surge pada tahun
2013/14 sebanyak 37 hari artinya dalam rentang waktu 1 Desember 2013 hingga
28 Februari 2014 terjadi 37 hari cold surge. Lebih lanjut, keterangan tanggal
terjadinya cold surge disajikan dalam Tabel 2.

5

(a)

(b)

(c)
Gambar 2 Rata-rata kecepatan angin meridional ketinggian 1.000 hPa pada
110°BT – 117,5°BT dan 15°LU tahun (a) 2011/12, (b) 2012/13, dan
2013/14.
Tabel 1 Jumlah hari terjadi dan tidak terjadi cold surge pada bulan DJF tahun
2011/12, 2013/13, dan 2013/14
Hari terjadi
Hari tidak terjadi
Total hari pada
cold surge (hari)
cold surge (hari)
bulan DJF (hari)
2011-2012
36
55
91
2012-2013
22
68
90
2013-2014
37
53
90

6

Tabel 2 Tanggal hari terjadi cold surge
Tanggal hari terjadi cold surge pada bulan DJF
Tahun 2011/12
Tahun 2012/13
Tahun 2013/14
1-Des-11
23-Des-12
1-Des-13
2-Des-11
24-Des-12
2-Des-13
3-Des-11
30-Des-12
4-Des-13
8-Des-11
31-Des-12
5-Des-13
9-Des-11
1-Jan-13
17-Des-13
10-Des-11
3-Jan-13
18-Des-13
11-Des-11
4-Jan-13
19-Des-13
12-Des-11
5-Jan-13
20-Des-13
13-Des-11
6-Jan-13
21-Des-13
15-Des-11
9-Jan-13
22-Des-13
16-Des-11
10-Jan-13
23-Des-13
17-Des-11
11-Jan-13
24-Des-13
18-Des-11
12-Jan-13
25-Des-13
19-Des-11
13-Jan-13
26-Des-13
21-Des-11
14-Jan-13
27-Des-13
22-Des-11
17-Jan-13
28-Des-13
23-Des-11
18-Jan-13
29-Des-13
24-Des-11
27-Jan-13
30-Des-13
25-Des-11
20-Feb-13
31-Des-13
26-Des-11
21-Feb-13
4-Jan-14
27-Des-11
22-Feb-13
9-Jan-14
28-Des-11
23-Feb-13
12-Jan-14
31-Des-11
13-Jan-14
1-Jan-12
14-Jan-14
6-Jan-12
15-Jan-14
7-Jan-12
16-Jan-14
8-Jan-12
17-Jan-14
9-Jan-12
18-Jan-14
10-Jan-12
19-Jan-14
11-Jan-12
20-Jan-14
25-Jan-12
21-Jan-14
30-Jan-12
22-Jan-14
31-Jan-12
23-Jan-14
17-Feb-12
11-Feb-14
18-Feb-12
14-Feb-14
19-Feb-12
19-Feb-14
20-Feb-14
Total :

36

22

37

7

Setelah dilakukan identifikasi terjadinya cold surge, selanjutnya dilakukan
analisis visual peta komposit kecepatan angin meridional menggunakan perangkat
lunak GrADS. Analisis dilakukan terhadap tiga kondisi, yaitu:
1.
Rata-rata kecepatan angin meridional pada hari-hari keseluruhan DJF (bulan
Desember, Januari, Feburari baik hari terjadi maupun tidak terjadi cold
surge).
2.
Rata-rata kecepatan angin meridional pada hari-hari terjadi cold surge.
3.
Rata-rata kecepatan angin meridional pada hari-hari tidak terjadi cold surge.
Hasil analisis kecepatan dan arah angin terhadap tiga kondisi tersebut
disajikan pada Gambar 3. Pada gambar tersebut, nilai positif diwakili oleh warna
coklat dan kuning yang menunjukkan arah angin menuju ke utara sedangkan nilai
negatif diwakili oleh warna hijau dan biru yang menunjukkan arah angin menuju
ke selatan. Gradasi warna mewakili kecepatan angin.

(a)
DJF 2011/12

DJF 2012/13

CS 2011/12

CS 2012/13

DJF 2013/14

(b)

CS 2013/14

(m/s)

(c)

Tanpa CS 2011/12

Tanpa CS 2012/13

Tanpa CS 2013/14

Gambar 3 Peta komposit rata-rata kecepatan angin meridional bulan DJF pada
tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14 (a) rata-rata pada bulan DJF, (b)
rata-rata pada saat terjadi cold surge dan (c) rata-rata pada saat tidak
terjadi cold surge.

8

Angin meridional di Laut Cina Selatan umumnya bergerak ke selatan,
seperti disajikan pada Gambar 3. Peta rata-rata kecepatan angin meridional dari
data hari keseluruhan DJF disajikan pada Gambar 3a, hari-hari terjadi cold surge
disajikan pada Gambar 3b, dan hari-hari tidak terjadi cold surge disajikan pada
Gambar 3c. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa kecepatan angin memiliki
intensitas yang berbeda, yakni rata-rata kecepatan angin meridional pada saat
terjadi cold surge (Gambar 3b) memiliki intensitas kecepatan angin ke arah
selatan kuat, dan lemah saat tidak terjadi cold surge (Gambar 3c).
Angin meridional yang berhembus ke arah selatan pada bulan DJF tahun
2011/12 dan tahun 2013/14 cenderung lebih kuat dibandingkan dengan tahun
2012/13. Hal ini terlihat bahwa daerah di Laut Cina Selatan yang memiliki
kecepatan angin meridional di atas 6 m/s arah selatan pada tahun 2011/12 dan
2013/14 lebih luas dibandingkan dengan tahun 2012/13. Ketika cold surge, angin
meridional yang berhembus ke arah selatan di Laut Cina Selatan menguat, yang
artinya cold surge menjalar ke selatan.
Cold Surge dan Curah Hujan Wilayah Indonesia
Setelah dilakukan analisis kecepatan angin meridional, selanjutnya untuk
melihat karakteristik cold surge dan keterkaitannya dengan kondisi curah hujan di
wilayah Indonesia, dilakukan analisis komposit peta curah hujan. Analisis
dilakukan terhadap tiga kondisi, yaitu:
1. Rata-rata curah hujan pada hari-hari keseluruhan DJF (bulan Desember,
Januari, Feburari baik hari terjadi maupun tidak terjadi cold surge).
2. Rata-rata curah hujan pada hari-hari terjadi cold surge.
3. Rata-rata curah hujan pada hari-hari tidak terjadi cold surge.
Hasil analisis curah hujan terhadap tiga kondisi tersebut selanjutnya
disajikan pada Gambar 4. Peta rata-rata curah hujan dari data hari keseluruhan
DJF (klimatologi DJF) disajikan pada Gambar 4a, hari-hari terjadi cold surge
disajikan pada Gambar 4b, dan hari-hari tidak terjadi cold surge disajikan pada
Gambar 4c.
Menurut Johnson dan Houze (1987), cold surge cenderung kering. Namun,
dalam perjalanan menuju ekuator, cold surge akan membawa uap air di sepanjang
lintasan di atas Laut China Selatan yang cenderung lebih hangat sehingga menjadi
lembab.
Aldrian dan Utama (2007) menyatakan bahwa penjalaran cold surge ke
selatan mempengaruhi posisi ITCZ (Intertropical Convergen Zone) lebih ke
selatan. ITCZ membentuk awan hujan yang berakibat pada naiknya intensitas
curah hujan di wilayah tersebut.
Berdasarkan Gambar 4, curah hujan yang tinggi berada pada Laut Jawa,
selatan Pulau Sumatera dan utara Pulau Kalimantan. Secara umum pola sebaran
secara spasial rata-rata curah hujan tahun 2011/12 dan 2013/14 tidak jauh
berbeda, kecuali pada tahun 2012/13 yang memiliki intensitas curah hujan yang
lebih tinggi pada beberapa wilayah Indonesia, seperti di Laut Jawa dan di selatan
Pulau Sumatera.
Pada tahun 2011/12 saat terjadi cold surge (Gambar 4b), hujan terjadi di
wilayah Laut Jawa, utara Kalimantan, perairan selatan Pulau Jawa dan barat
Sumatera. Di utara Kalimantan curah hujan berkisar antara 30-50 mm/hari. Pada

9

wilayah lainnya, seperti Pulau Jawa, Laut Jawa dan perairan selatan Jawa curah
hujan sekitar 10-20 mm/hari. Pada tahun berikutnya 2012/13, di wilayah perairan
di selatan Sumatera, Laut Jawa, dan perairan utara Kalimantan, curah hujan
berkisar antara 20-50 mm/hari. Sama dengan tahun 2012/13, pada tahun 2013/14
curah hujan juga terjadi di wilayah perairan di selatan Sumatera, Laut Jawa, dan
perairan utara Kalimantan, namun dengan intensitas hujan yang lebih rendah yaitu
sekitar 15-30 mm/hari.
a. Rata-rata DJF (Klimatologi)

b. Cold Surge

c. Tanpa Cold Surge

(mm/hari)

Gambar 4 Peta rata-rata curah hujan harian (TRMM 3B42) bulan DJF pada tahun
2011/12, 2012/13, dan 2013/14 (a) rata-rata pada bulan DJF, (b) ratarata pada saat terjadi cold surge, dan (c) rata-rata pada saat tidak
terjadi cold surge.
Peta komposit curah hujan saat cold surge (Gambar 4b) menunjukkan
intensitas hujan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peta klimatologi rata-rata
curah hujan bulan DJF (Gambar 4a) maupun peta komposit curah hujan saat tidak
terjadi cold surge (Gambar 4c). Kondisi ini terjadi pada ketiga tahun yang
diamati. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan cold surge meningkatkan
curah hujan di wilayah Indonesia. Sejalan dengan yang dinyatakan oleh Tangang
et al. (2008) bahwa pada saat adanya angin dari utara yang kuat di Wilayah Laut
Cina Selatan mengakibatkan hujan yang amat lebat di Semenanjung Malaysia.
Peta anomali saat terjadi cold surge (Gambar 5) menggambarkan perbedaan
antara curah hujan pada saat terjadi cold surge dengan rata-rata klimatologi (DJF)
tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14.

10

(a)

(b)

(c)
(%)

Gambar 5 Kenaikan/penurunan curah hujan pada saat terjadi cold surge terhadap
rata-rata klimatologi (DJF) pada (a) tahun 2011/12, (b) tahun 2012/13,
dan (c) tahun 2 013/14

(a)

(b)

(c)
(%)

Gambar 6 Kenaikan/penurunan curah hujan pada saat tidak terjadi cold surge
terhadap rata-rata klimatologi (DJF) pada (a) tahun 2011/12, (b) tahun
2012/13, dan (c) tahun 2013/14

11

Pada tahun 2011/12 pada saat cold surge, terjadi anomali positif yang
tinggi di perairan sebelah timur Sumatera dengan peningkatan curah hujan lebih
dari 100% dibandingkan dengan rata-rata curah hujan DJF. Sementara di laut
Jawa anomali positif hanya berkisar antara 20-60%. Pada tahun 2012/13 di
perairan sebelah timur Sumatera dan bagian barat Pulau Kalimantan terjadi
anomali negatif antara 40-80% yang artinya di wilayah tersebut curah hujan lebih
rendah dibanding rata-rata curah hujan DJF dengan selisihnya mencapai 0.8 kali
rata-rata curah hujan DJF. Sementara di laut Jawa anomali positif berkisar antara
40-80%, di beberapa wilayah mencapai 80-100%. Pada tahun 2013/14 kondisi
curah hujan di laut Jawa terjadi anomali positif yang kurang lebih sama dengan
tahun 2012/13, dengan cakupan wilayah yang lebih luas, yaitu hingga perairan
sekitar Pulau Kalimantan. Sebaliknya, di wilayah daratan Pulau Jawa, terutama di
bagian tengah, terjadi anomali negatif paling tinggi dibanding dengan tahun 2
tahun sebelumnya. Dari tiga tahun pengamatan terjadi anomali positif berkisar 2080% di wilayah Laut Jawa, hal ini mengindikasikan bahwa curah hujan di Laut
Jawa meningkat pada saat terjadi cold surge (Gambar 5).
Peta anomali saat tidak terjadi cold surge (Gambar 6) menggambarkan
perbedaan antara rata-rata curah hujan pada saat tidak terjadi cold surge dengan
rata-rata klimatologi (DJF) tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14. Pada Gambar 6
dapat dilihat bahwa saat tidak terjadi cold surge anomali curah hujan secara
umum berkebalikan dengan saat terjadi cold surge, seperti pada tahun 2011/12 di
perairan sebelah timur Sumatera terjadi anomali negatif hingga 40-80% dibanding
dengan rata-rata curah hujan DJF yang berkebalikan dengan saat terjadi cold
surge. Anomali negatif juga terjadi di wilayah Laut Jawa. Pola yang serupa terjadi
untuk tahun 2012/13 dan 2013/14.
Cold Surge dan Curah Hujan Di Bogor
Analisis komposit peta curah hujan yang dilakukan sebelumnya
menunjukkan bahwa curah hujan di beberapa wilayah Indonesia lebih tinggi saat
terjadi cold surge dibandingkan saat tidak terjadi cold surge maupun rata-rata
klimatologinya (DJF). Untuk mengetahui keterkaitan antara kejadian cold surge
dan curah hujan di Bogor, disajikan pada Gambar 7 grafik kecepatan angin
meridional indeks cold surge dan curah hujan Bogor (TRMM dan Observasi).
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa selama tiga tahun berturut-turut curah
hujan di Bogor (data TRMM) dan Bogor (observasi) semakin meningkat. Pada
tahun 2011/12 jumlah curah hujan pada bulan DJF di Bogor (data TRMM)
meningkat dari 900 mm menjadi 1.183 mm pada tahun 2012/13, kemudian
meningkat lagi menjadi 1.474 mm pada tahun 2013/14. Dan pada tahun 2011/12
jumlah curah hujan DJF di Bogor (observasi) meningkat dari 1.211 mm menjadi
1.394 mm pada tahun 2012/13.

12

DJF 2011/12

(a)
DJF 2012/13

(b)
DJF 2013/14

(c)
Angin Meridional
Cold Surge

CH Bogor TRMM
CH Bogor Observasi

Gambar 7 Curah hujan harian Bogor (TRMM) dan Bogor (observasi) bulan DJF
serta kecepatan angin meridional pada indeks cold surge, pada tahun
(a) 2011/12, (b) 2012/13 dan (c) 2013/14
Gambar 7 juga menunjukkan bahwa curah hujan di Bogor cenderung tinggi
pada saat cold surge atau beberapa hari setelah cold surge. Terlihat juga pada
Gambar 7 ada kecenderungan bahwa pola curah hujan di wilayah Bogor
mengikuti pola kecepatan angin meridonal pada indeks cold surge. Hal ini sejalan

13

dengan penelitian Aldrian dan Utama (2007) mengenai karakteristik cold surge
terhadap iklim musim hujan di wilayah Indonesia bagian barat laut, yang
menemukan bahwa perambatan cold surge ke daerah selatan ekuator terjadi
setelah 4-6 hari kenaikan indeks cold surge di Hongkong.
Cold Surge dan El Nino-Southern Oscillation (ENSO)
Untuk melihat variasi tahunan jumlah cold surge, dilakukan analisis data
angin meridional (indeks cold surge) dari tahun 1979 hingga tahun 2014. Jumlah
kejadian cold surge dari tahun 1979 hingga tahun 2014 disajikan pada Gambar 8.
�=− ,

Gambar 8 Jumlah kejadian cold surge (biru), bulan DJF dari tahun 1979 hingga
2014, indeks Nino3.4 (garis merah)
Kejadian cold surge memiliki variasi yang cukup besar antara tahun 1979
hingga tahun 2014. Selama 35 tahun, jumlah kejadian cold surge terendah yaitu
sebanyak 8 kejadian cold surge saat tahun 1997/98, sedangkan jumlah kejadian
cold surge tertinggi yaitu sebanyak 40 kejadian cold surge saat tahun 2010/11
(Gambar 8).
Fenomena ENSO dapat dilihat dengan menganalisis anomali suhu
permukaan laut (ASPL) Nino3.4 (Trenberth, 1997). El Nino terjadi jika ASPL
pada wilayah Nino 3.4 di atas 0,5°C dan La Nina terjadi jika ASPL di bawah
− , .
Menurut penelitian Irawan (2006), saat El Nino terjadi penurunan intensitas
curah hujan Indonesia. Hal ini sejalan dengan jumlah cold surge rendah pada saat
terjadi El Nino. Begitu juga saat La Nina, terjadi peningkatan intensitas curah
hujan Indonesia yang sejalan dengan jumlah cold surge yang tinggi.
Pada tahun-tahun El Nino, yaitu 1982, 1986, 1987, 1991, 1997, 2002, dan
2009 jumlah cold surge cenderung rendah, sedangkan pada tahun La Nina 1988,
1995, 1999, 2007, dan 2010 jumlah cold surge cenderung tinggi. Pernyataan ini
sesuai dengan yang dinyatakan oleh Zhang (1997) bahwa aliran angin kuat dari

14

utara di Laut Cina Selatan lebih sering terjadi saat La Nina dibandingkan saat El
Nino. Saat La Nina, terjadi peningkatan intensitas curah hujan Indonesia.
Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa terdapat hubungan negatif antara
fenomena ENSO dengan jumlah kejadian cold surge. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai korelasi negatif yaitu � = − , . Selanjutnya untuk melihat seberapa besar
proporsi dari total variasi jumlah hari cold surge dapat dijelaskan oleh nilai indeks
ENSO digunakan koefisien determinasi. Koefisien determinasi (� 2 ) dapat
dihitung dari kuadrat koefisien korelasi (Koopmans, 1987). Berdasarkan data
tahun 1979 – 2014 nilai koefisien determinasi � 2 = ,38. Artinya total variasi
jumlah hari cold surge yang dapat dijelaskan oleh nilai indeks ENSO adalah
sebesar 38%.

15

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1.
Terdapat hubungan antara kejadian cold surge dengan curah hujan di
wilayah Indonesia. Terlihat peningkatan curah hujan saat terjadi cold surge
dibandingkan saat tidak terjadi cold surge maupun rata-rata klimotologi
DJF. Dengan demikian, keberadaan cold surge merupakan salah satu faktor
yang meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia.
2.
Terdapat kecenderungan bahwa pola curah hujan di wilayah Bogor
mengikuti pola kecepatan angin di indeks cold surge.
3.
Terdapat hubungan negatif antara jumlah kejadian cold surge dengan El
Nino-Southern Oscillation (ENSO) dengan � = − ,
dan � 2 = ,38.
Pada waktu nilai ENSO positif maka jumlah cold surge cenderung menurun
sedangkan pada waktu nilai ENSO negatif maka jumlah cold surge
cenderung naik.

Saran
Dalam penelitian ini, telah dikaji dampak cold surge terhadap curah hujan
di wilayah Indonesia. Disarankan melengkapi kajian lebih lanjut mengenai
dampak cold surge terhadap parameter lain seperti suhu permukaan laut, suhu
daratan, dan tekanan permukaan.

16

DAFTAR PUSTAKA
Aldrian E dan Utama G S A. 2007. Identifikasi dan Karakteristik Seruak Dingin
(Cold Surge) Tahun 1995-2003. Jurnal Sains Dirgantara. 4(2): 107-127.
Chang C P, Wang Z dan Hendon H. 2006. The Asian winter monsoon. In The
Asian Monsoon. Wang, B.( ed.). Springer. Berlin.
Chang C P, P A Harr dan Chen H J. 2005. Synoptic disturbances over the
equatorial South Cina Sea and western maritime continent during boreal
winter. Monthly Weather Review. 133 : 489-503.
Chen T C, Yen M C, Huang W R, dan Gallus W A .2002. An East Asian cold
surge: case study. Monthly Weather Review 130(9): 2271-2290
Hattori M, Mori S dan Matsumoto J. 2011. The Cross-Equatorial Northerly Surge
over the Maritime Continent and Its Relationship to Precipitation Patterns.
Journal of the Meteorological Society of Japan. Vol. 89A: 27-47.
Irawan, B. 2006. Fenomena Anomali Iklim El Nino dan La Nina: Kecenderungan
Jangka Panjang dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Pangan. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. 24(1): 28-45.
Johnson R H dan Houze Jr R. 1987. Precipitating cloud systems of the Asian
monsoon. In Monsoon Meteorology. C.P. Chang and T.N. Krishnamurti
(Eds.). Oxford University Press. 298-353.
Koopmans L H. 1987. Introduction to Contemporary Statistical Methods. 2nd Ed.
Boston : Duxbury Press.
Tangang F T, Juneng L, Salimun E, Vinayachandran P N, Seng Y K, Reason C J
C, Behera S K, dan Yasunari T. 2008. On the roles of the northeast cold
surge, the Borneo vortex, the Madden-Julian Oscillation, and the Indian
Ocean Dipole during the extreme 2006/2007 flood in southern Peninsular
Malaysia. Geophysical Research Letters. VOL. 35. L14S07.
Trenberth K E. 1997. The Definition of El Niño. Bull. Amer. Met. Soc.. 78: 27712777 [Internet]. [diunduh 2015 Jan 20]. Tersedia pada:
http://www.cgd.ucar.edu/cas/papers/clivar97/en.dfn.html.
Yen M C dan Chen T C. 2002. A Revisit of the Tropical-midlatitude Interaction in
East Asia Caused by cold surges. Journal of the Meteorological Society of
Japan. Vol. 80. No. 5: 1115-1128.
Yamamoto M, Sai H, Chen M T, dan Zhao M. 2013. The East Asian winter
monsoon variability in response to precession during the past 150 000 yr.
Clim. Past. 9(6): 2777-2788.
Zhang Y, Sperber K R, dan Boyle J S. 1997. Climatology and interannual
variation of East Asian winter monsoon: Result from the 1979-95 NCEPNCAR reanalysis. Monthly Weather Review.125: 2605-2610.

17

LAMPIRAN
Lampiran 1 Scripting language ektrak angin di ketinggian 1000 hPa, 110-117,5
BT dan 15 LU tahun 2011
#******************************************************************
# Scripting language ektrak angin di ketinggian 1000 hPa,
# 110-117,5 BT dan 15 LU tahun 2011
# Oleh : Dwiputra Hadi Utomo G24090061
# Departemen Geofisika dan Meteorologi
# Institut Pertanian Bogor
#******************************************************************
'sdfopen D:\datanc\uvwind\vwnd.2011.nc'
'set lon 110 117.5'
'set lat 15'
'set lev 1000'
'set t 1 365'
'fprintf vwnd D:\vwind2011.txt %g 4 1'
'reinit'
#******************************************************************

Lampiran 2 Scripting language peta angin bulan DJF tahun 2011-2012
#******************************************************************
# Scripting language peta angin bulan DJF tahun 2011-2012
# Oleh : Dwiputra Hadi Utomo G24090061
# Departemen Geofisika dan Meteorologi
# Institut Pertanian Bogor
#******************************************************************
cl='-12,
'sdfopen
'sdfopen
'set lon
'set lat
'set lev

-10, -8, -6, -4, -2, 0, 2, 4, 6, 8, 10'
D:\datanc\uvwind\vwnd.2011.nc'
D:\datanc\uvwind\vwnd.2012.nc'
90 145'
-15 30'
1000'

'set dfile 1'
'define sum1112d = sum(vwnd,t=335,t=365)'
'set dfile 2'
'define sum1112jf=sum(vwnd, t=1, t=60)'
'define sum1112djf=sum1112d+sum1112jf'
'define ave1112djf=sum1112djf/91'
'sdfopen D:\datanc\uvwind\uwnd.2011.nc'
'sdfopen D:\datanc\uvwind\uwnd.2012.nc'
'set dfile 3'
'define sum1112du = sum(uwnd,t=335,t=365)'
'set dfile 4'
'define sum1112jfu=sum(uwnd, t=1, t=60)'
'define sum1112djfu=sum1112du+sum1112jfu'
'define ave1112djfu=sum1112djfu/91'
'set gxout shaded'
'set ccolor 0'
'set cint 2'
'set map 1 1 6'
'set mpdset mres'
'set clevs -12, -10, -8, -6, -4, -2, 0, 2, 4, 6, 8, 10'
'd ave1112djf'
'cbarn'
'set gxout vector'
'set ccolor 1'
'set gxout vector'

18

'set arrscl 0.6 15'
'set arrowhead 0.08'
'set cthick 6'
'd ave1112djfu; ave1112djf'
'draw title rata-rata v-wind Des 2011 - Feb 2012'
'printim D:\meridional_1112_djf_vektor.png white'
clear
#******************************************************************

Lampiran 3 Scripting language angin saat cold surge tahun 2011-2012
#******************************************************************
# Scripting language angin saat cold surge tahun 2011-2012
# Oleh : Dwiputra Hadi Utomo G24090061
# Departemen Geofisika dan Meteorologi
# Institut Pertanian Bogor
#******************************************************************
cl=' -12, -10, -8, -6, -4, -2, 0, 2, 4, 6, 8, 10'
'sdfopen D:\datanc\uvwind\vwnd.2011.nc'
'sdfopen D:\datanc\uvwind\vwnd.2012.nc'
'set lon 90 145'
'set lat -15 30'
'set lev 1000'
'set dfile 1'
'define
sum1112a=vwnd(t=335)+vwnd(t=336)+vwnd(t=337)+vwnd(t=342)+vwnd(t=34
3)+vwnd(t=344)+vwnd(t=345)+vwnd(t=346)+vwnd(t=347)+vwnd(t=349)+vwn
d(t=350)+vwnd(t=351)+vwnd(t=352)+vwnd(t=353)+vwnd(t=355)+vwnd(t=35
6)+vwnd(t=357)+vwnd(t=358)+vwnd(t=359)+vwnd(t=360)+vwnd(t=361)+vwn
d(t=362)+vwnd(t=365)'
'set dfile 2'
'define
sum1112b=vwnd(t=1)+vwnd(t=6)+vwnd(t=7)+vwnd(t=8)+vwnd(t=9)+vwnd(t=
10)+vwnd(t=11)+vwnd(t=25)+vwnd(t=30)+vwnd(t=31)+vwnd(t=48)+vwnd(t=
49)+vwnd(t=50)'
'define sum1112=sum1112a+sum1112b'
'define ave1112=sum1112/36'
'set dfile 2'
'define sum1213a=vwnd(t=358)+vwnd(t=359)+vwnd(t=365)+vwnd(t=366)'
'sdfopen D:\datanc\uvwind\uwnd.2011.nc'
'sdfopen D:\datanc\uvwind\uwnd.2012.nc'
'set dfile 3'
'define
sum1112au=uwnd(t=335)+uwnd(t=336)+uwnd(t=337)+uwnd(t=342)+uwnd(t=3
43)+uwnd(t=344)+uwnd(t=345)+uwnd(t=346)+uwnd(t=347)+uwnd(t=349)+uw
nd(t=350)+uwnd(t=351)+uwnd(t=352)+uwnd(t=353)+uwnd(t=355)+uwnd(t=3
56)+uwnd(t=357)+uwnd(t=358)+uwnd(t=359)+uwnd(t=360)+uwnd(t=361)+uw
nd(t=362)+uwnd(t=365)'
'set dfile 4'
'define
sum1112bu=uwnd(t=1)+uwnd(t=6)+uwnd(t=7)+uwnd(t=8)+uwnd(t=9)+uwnd(t
=10)+uwnd(t=11)+uwnd(t=25)+uwnd(t=30)+uwnd(t=31)+uwnd(t=48)+uwnd(t
=49)+uwnd(t=50)'
'define sum1112u=sum1112au+sum1112bu'
'define ave1112csu=sum1112u/36'
'set gxout shaded'
'set ccolor 0'
'set cint 2'
'set map 1 1 6'
'set mpdset mres'
'set clevs -12, -10, -8, -6, -4, -2, 0, 2, 4, 6, 8, 10'
'd ave1112'

19

'cbarn'
'set gxout vector'
'set ccolor 1'
'set gxout vector'
'set arrscl 0.6 15'
'set arrowhead 0.08'
'set cthick 6'
'd ave1112csu; ave1112'
'draw title rata-rata v-wind Des 2011 - Feb 2012(CS)'
'printim D:\meridional_1112_cs_djf_vektor.png white'
clear
#******************************************************************

20

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bogor pada tanggal 17 Juni 1990 sebagai anak kedua dari
bapak Hadi Sumarno dan ibu Dwi Ananingsih. Penulis menempuh pendidikan
sekolah menengah atas di SMA Kornita tahun 2006-2009. Tahun 2009 penulis
mengikuti Ujian Talenta IPB (UTMI), dan diterima sebagai mahasiswa di
Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematik dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani masa studi,
penulis sempat mengikuti berbagai kepanitiaan.