Identification of Morphological and Genetic Markers Related to Male Budless Characters on Kepok Banana Mutant.

IDENTIFIKASI MORFOLOGI DAN MARKA GENETIK
TERPAUT SIFAT TIDAK BERBUNGA JANTAN PADA MUTAN
PISANG KEPOK

NETTYANI NAIPOSPOS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Morfologi
dan Marka Genetik Terpaut Sifat Tidak Berbunga Jantan pada Mutan Pisang
Kepok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013
Nettyani Naipospos
NIM G353110161

*

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB
harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
NETTYANI NAIPOSPOS. Identifikasi Morfologi dan Marka Genetik
Terpaut Karakter Tidak Berbunga Jantan pada Mutan Pisang Kepok. Dibimbing
oleh MIFTAHUDIN dan SOBIR.
Pisang merupakan komoditi hortikultura yang penting di Indonesia. Akan
tetapi, kapasitas produksi terkendala akibat adanya serangan penyakit darah
Blood Disease Bacterium (BDB) pada pisang olahan. Pisang tipe cooking banana
seperti pisang kepok merupakan komoditi yang penting di beberapa daerah
Indonesia Timur sebagai makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Pada akhir tahun

1990, produksi pisang kepok asal Kalimantan secara drastis menurun akibat
adanya penyakit darah yang disebabkan oleh BDB. Akibatnya, banyak petani
yang kehilangan sumber pendapatannya. Penyebaran penyakit ini sangat cepat,
hampir 100 km per tahun yang ditularkan melalui perantaraan serangga. Infeksi
penyakit ini dapat dikurangi dengan menghindari terjadinya kontak antara
serangga dengan kumpulan bunga jantan (male bud). Cara yang dapat dilakukan
adalah dengan memotong male bud atau dengan menghasilkan pisang kepok yang
tidak memiliki kumpulan bunga jantan (male budless).
Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) Institut Pertanian Bogor (IPB)
telah mengoleksi beberapa pisang kepok mutan male budless yang enak dimakan,
dan diberi nama Unti Sayang (US-1). Stabilitas genetik dari mutan ini masih
belum diketahui. Oleh karena itu, diperlukan sebuah penanda DNA yang terpaut
dengan sifat male budless. Penanda ini dapat digunakan untuk menetapkan sistem
perbanyakan pisang mutan male budless yang stabil dan juga untuk mempelajari
mekanisme tidak terbentuknya male bud.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakter morfologi dan
marka ISSR dan RAPD serta mengembangkan marka molekuler yang
dikembangkan dari gen Pistillata dan Agamous terpaut karakter male budless
pada mutan pisang kepok Unti Sayang (US-1).
Identifikasi karakter morfologi berdasarkan panduan deskriptor pisang

International Plant Genetic Research Institute (IPGRI). Pengamatan morfologi
menunjukkan tidak ada variasi morfologi antara tipe liar, mutan dan mutan yang
kembali memiliki kumpulan bunga jantan (revertrant mutant). Revertrant mutant
ditemukan dari perbanyakan planlet sub kultur ke-6 dan dari perbanyakan anakan
generasi kedua.
Polymerase Chain Reaction (PCR) digunakan untuk mengamplifikasi DNA
dari 24 tanaman hasil sub kultur ke-1 sampai sub kultur ke-6 dengan
menggunakan kombinasi dari 20 primer RAPD dan 12 primer ISSR. Primer
RAPD dan ISSR menghasilkan pita DNA monomorfik dengan rata-rata pita yang
dihasikan dari primer RAPD berkisar antara 2 sampai 6 pita dan primer ISSR
berkisar antara 6 sampai 8 pita per tanaman. Tidak ada polimorfisme antara male
budless mutant dan revertrant mutant. Tidak adanya variasi genetik antara tipe
liar, mutan dan revertrant juga telah dilaporkan terjadi pada beberapa kasus
perbanyakan in vitro tanaman pisang, meskipun secara morfologi ditemukan
adanya variasi. Berdasarkan hasil analisis PCR dapat disimpulkan bahwa tidak
ada perubahan genetik antara tipe liar dan mutan, akan tetapi memungkinkan
terjadinya mutasi titik diluar situs penempelan primer.

Sifat male budless diduga berhubungan dengan fungsi gen Pistillata yang
mengontrol pembentukan petal dan stamen dan gen Agamous yang mengontrol

pembentukan karpel. Oleh karena itu, dikembangkan primer dari gen Pistillata
dan Agamous berdasarkan database dari tanaman Musa yang terdapat di
GeneBank. Hasil amplifikasi PCR dengan menggunakan kombinasi primer
tersebut juga tidak menghasilkan pita polimorfik. Analisis sekuen nukleotida
antara fragmen DNA menunjukkan adanya tiga nukleotida yang berbeda antara
tanaman tipe liar dan revertrant mutant pada posisi nukleotida ke-445, 461 dan
507. Variasi nukleotida tersebut terletak pada daerah 3’UTR (untranslated
region), dimana perbedaan nukleotida tersebut tidak menyebabkan perubahan
pada sekuen protein dari gen tersebut. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa kemungkinan terdapat gen lain yang mengontrol karakter male budless
atau kemungkinan adanya variasi epigenetik. Oleh karena itu, diperlukan studi
lebih lanjut untuk mengkaji latar belakang genetik terkait dengan terjadinya
fenomena male budless pada mutan pisang kepok.
Kata kunci: ISSR, Pisang kepok tidak berbunga jantan, Pistillata, RAPD

SUMMMARY
NETTYANI NAIPOSPOS. Identification of Morphological and Genetic
Markers Related to Male Budless Characters on Kepok Banana Mutant.
Supervised by MIFTAHUDIN and SOBIR.
Bananas is an important horticultural commodity in Indonesia. However, the

improvement of production capacity of cooking banana is hampered by Blood
Disease Bacterium (BDB). Cooking banana such as kepok banana is very
important commodity in several areas in eastern part of Indonesia for cash crop as
well as for daily consumption. Since late 90s, production of kepok banana from
Kalimantan drastically declined as a result of devastating outbreak of BDB. As a
result many farmers are losing their main source of income. The disease is quickly
spread at about 100 km distance per year as the bacterium is insect transmitted.
Disease infection could be reduced by avoiding direct contact between insect
vector and male bud by breaking peduncula supporting male bud or by cultivating
male budless kepok banana mutant.
Recently Centre for Tropical Horticultural Studies (PKHT) at Bogor
Agricultural University (IPB) already collected several male budless kepok
banana mutants with good eating quality named Unti Sayang (US-1). However,
the genetic stability of these mutants is still unknown. Therefore, discovering
DNA markers related to male budless character in kepok banana is very important
to establish a stable mass propagation system for male budless character on kepok
banana, and valuable for science to elucidate male budless mechanism in banana.
The objectives of this research were to identify morphological characters
and RAPD and ISSR markers and develop Pistillata and Agamous gene based
moleculer marker related to male budless characters in kepok banana mutant Unti

Sayang (US-1).
Identification of morphological characters were carried out based on the
International Plant Genetic Research Institute (IPGRI) descriptor for banana. The
results showed that there is no morphological variation among wild type, mutants
and revertrant other than a male bud character. The revertrant mutants were found
among planlets derived from the sixth sub culture and second generation of
suckers.
Polymerase Chain Reaction (PCR) was used to amplify DNA of 24 plants
derived from the first and sixth sub cultures using 20 RAPD and 12 ISSR primer
combinations. Those RAPD and ISSR primers produced monomorphic DNA
bands with the amount ranged from 2 to 6 and 6 to 8 per plant, respectively. No
polymorphism was found between male budless mutants and revertrant mutants.
The absence of genetic variation among wild type, mutants and revertrants has
been reported in several cases of molecular marker analysis in in vitro cultured
banana, although there was a variation in their morphology. Based on the PCR
analysis, it was suggested that there was no genetic change between wild type and
mutants. However, it is possible that some changes might occurred as point
mutation located outside of the priming sites.
Male budless characters was suggested to be controlled by Pistillata gene
that control petal and stamen formation and Agamous gene for karpel formation.

Therefore, the primers based Pistillata and Agamous genes were developed using

Musa GeneBank database. PCR analysis using those primer combination have
also produced no polymorphic bands among the analyzed banana plants. Carefull
nucleotide sequence analysis of both DNA fragments showed three single
nucleotide polymorphism between wild type and revertrant mutants at the position
of 445, 461 and 507. Unfortunately, the nucleotide variation was located at
3‘UTR (untranslated region), which no any interference into protein sequence
expressed by the genes. This result suggested that there might be other genes
controlling the male budless variation or possibly an epigenetic variation
occurred behind the variation. Further study needs to be conducted to clarify the
genetic background underlaying male budless phenomenon occurred in kepok
banana mutants.
Key words: ISSR, Male budless kepok banana, Pistillata, RAPD

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

IDENTIFIKASI MORFOLOGI DAN MARKA GENETIK
TERPAUT SIFAT TIDAK BERBUNGA JANTAN PADA MUTAN
PISANG KEPOK

NETTYANI NAIPOSPOS

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Rita Megia, DEA

Judul Tesis : Identifikasi Morfologi dan Marka Genetik Terpaut Sifat Tidak
Berbunga Jantan pada Mutan Pisang Kepok
Nama
: Nettyani Naipospos
NIM
: G353110161

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Miftahudin, MSi
Ketua

Prof Dr Ir Sobir, MSi
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Miftahudin, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Juli 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Yesus
Kristus atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2012
ini ialah identifikasi morfologi dan molekular, dengan judul Identifikasi

Morfologi dan Marka Genetik Terpaut Sifat Tidak Berbunga Jantan pada Mutan
Pisang Kepok
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Miftahudin MSi dan
Bapak Prof Dr Ir Sobir MSi selaku pembimbing. Ucapan terima kasih penulis
kepada Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) IPB yang telah mendanai
penelitian ini atas nama Bapak Prof Dr Ir Sobir MSi. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) melalui
program Beasiswa Unggulan (BU) yang diberikan. Selain itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada staff pengajar Biologi Tumbuhan (BOT) dan kepada
teman-teman 2011 BOT serta kepada kak Sulasih dan Pipit beserta semua
keluarga besar PKHT. Terimakasih kepada seluruh keluarga, orang tua Ayahanda
Birma Naipospos dan Ibunda Kezia Juliana, Adik Hevyana Naipospos dan Richy
Rinad Naipospos, serta sahabat Ennie Chahyadi dan seluruh keluarga Wisma
Rosa atas segala doa, dukungan moral dan materil serta kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.

Bogor, September 2013
Nettyani Naipospos

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

vii
vii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Pisang (Musa spp.)
Penyakit Darah (Blood Disease) pada Tanaman Pisang
Variasi Somaklonal Kultur Jaringan
Pisang Kepok Unti Sayang (US-1)
Bulk Segregation Analysis (BSA)
Penanda Molekuler Random Amplified polymorphic DNA (RAPD) dan
Inter Simple Sequence Repeat (ISSR)
Gen Pembungaan

4
4
4
5
6
8
9
10

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan Penelitian
Identifikasi Morfologi
Isolasi DNA
Teknik PCR
Analisis Sekuen DNA

11
11
11
12
12
13
13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakter Morfologi Mutan Pisang Kepok Unti Sayang
Marka Molekular RAPD dan ISSR Terpaut Sifat Male Budless
Analisis Marka Molekular dan Sekuen DNA dari Primer Gen
Pistillata (PI) dan Agamous (AG)

14
14
21

SIMPULAN
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

29
29
29
33
41

24

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

7
8
9

Deskripsi pisang kepok varietas Unti Sayang (US-1)
Primer Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) yang digunakan
untuk amplifikasi PCR
Primer Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) yang digunakan untuk
amplifikasi PCR
Primer yang digunakan untuk amplifikasi gen PI dan AG
Karakter morfologi male bud pada mutan pisang kepok Unti Sayang
(US-1)
Karakter morfologi pada mutan pisang kepok Unti Sayang (US-1)
male budless hasil perbanyakan kultur jaringan sub kultur ke-1, ke-4
dan revertrant dari sub kultur ke-6 dan anakan
Total pita yang dihasilkan dari 20 primer RAPD
Total pita yang dihasilkan dari 12 primer ISSR
Homologi antara sekuen fragmen DNA gen Pistillata tanaman pisang
male budless mutant dengan aksesi-aksesi yang telah dideposit pada
pangkalan data dari bank gen NCBI

7
11
12
12
16

16
21
22

24

DAFTAR GAMBAR
1

2

3
4

5

Bercak coklat pada beberapa bagian. (A) bagian pembungaan, (B)
daging buah, (C) jaringan pembuluh kulit buah, (D) pseudostem, (E)
jaringan pembuluh tengah peduncula, (F) jaringan pembuluh tepian
tengah peduncula, (G) jaringan pembuluh tepian dasar peduncula, (H)
pelepah, (I) permukaan tangkai daun, (J) jaringan pembuluh petiole,
(K) tepian helaian daun menguning, (L) akar
Pisang kepok Unti Sayang (US-1) male budless. (A) munculnya
bunga, (B) munculnya buah pisang pada setiap tandan, (C) lepasnya
braktea seiring dengan munculnya buah pada tiap tandan, (D) buah
pisang terbentuk sampai pada bagian ujung tanpa menyisakan male
bud
ABC model dan identitas organ pembungaan pada mutan Arabidopsis
(Robles & Pelaz 2005)
Pisang kepok Unti Sayang (US-1). 1=Male budless mutant;
2=Revertrant mutant. (A) munculnya jantung, (B) terbukanya braktea,
(C) jatuhnya braktea, (D1) tidak ada male bud yang tersisa, (D2) male
bud tersisa pada bagian ujung
Morfologi batang semu. (A) ketegaran batang, (B) bercak pada batang
semu, (C) warna bagian dalam batang semu, (D) warna bercak
pelepah dekat daun

5

6
10

14

18

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
6

7

8

9

10

11

12
13
14

Morfologi tangkai dan helai daun. (A) bentuk pangkal helai daun, (B)
bentuk ujung daun, (C) warna permukaan atas daun, (D) warna
permukaan bawah daun, (E) warna tepian daun, (F) warna permukaan
bawah tulang daun, (G) bentuk kanal tangkai daun, (H) bentuk
tangkai daun dekat pelepah
Morfologi struktur bunga betina dan buah. (A) bentuk bunga, (B)
warna tepal lekat, (C) bentuk tangkai putik, (D) warna tepal lepas, (E)
bentuk anter, (F) sisa tangkai bunga pada buah, (G) bentuk buah, (H)
susunan bakal biji
Pola pita ISSR yang dihasilkan oleh primer PKBT-2 pada 24 tanaman
pisang hasil kultur jaringan sub kultur 1-6. M=marker (1 kb DNA
ladder, Promega), 1-3=sub kultur ke-1, 4-5=sub kultur ke-2, 6-10=sub
kultur ke-3, 11-14=sub kultur ke-4, 15-21=sub kultur ke-5, 22-24=sub
kultur ke-6
Pola pita DNA hasil amplifikasi dengan primer RAPD. (A) OPA 2,
(B) OPA 12 dan OPA 13, (C) OPA 16, (D) OPJ 9 dan OPJ 16.
M=marker (1 Kb DNA ladder, Promega), WT=tipe liar, S1=sub kultur
ke-1 male budless mutant, S6=sub kultur ke- 6 revertrant mutant,
A=anakan revertrant mutant
Pola pita DNA hasil amplifikasi dengan primer ISSR. (A) PKBT 2,
(B) PKBT 11, (C) PKBT 9, (D) PKBT 8, (E) PKBT 6. M=marker (1
Kb DNA ladder, Promega), WT=tipe liar, S1=sub kultur ke-1 male
budless mutant, S6=sub kultur ke- 6 revertrant mutant, A=anakan
revertrant mutant
Amplifikasi primer spesifik. (A) Amplifikasi primer dari gen PI, (B)
amplifikasi primer dari gen AG. M=marker (1 Kb DNA ladder,
Promega), WT=tipe liar, S1=sub kultur ke-1 male budless, S6=sub
kultur ke-6 revertrant, A=anakan revertrant
Contoh bagian kromatogram hasil sekuensing DNA male budless
mutant sub kultur ke-1 dengan primer gen PI reverse
Contoh bagian kromatogram hasil sekuensing DNA male budless
mutant sub kultur ke-1 dengan primer gen AG reverse
Hasil penyejajaran sekuen DNA dengan primer gen PI pada tanaman
pisang kepok kuning (wild), male budless mutant dan revertrant
mutant. Simbol (.)=basa DNA yang sama, simbol (_)=basa DNA yang
berbeda

18

19

22

23

23

25
26
26

28

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Kromatogram sekuen gen
pisang kepok wild type
Kromatogram sekuen gen
pisang kepok wild type
Kromatogram sekuen gen
pisang kepok male budless
Kromatogram sekuen gen
pisang kepok male budless
Kromatogram sekuen gen
pisang kepok revertrant
Kromatogram sekuen gen
pisang kepok revertrant

Pistillata forward pada sampel tanaman
33
Pistillata reverse pada sampel tanaman
34
Pistillata forward pada sampel tanaman
35
Pistillata reverse pada sampel tanaman
37
Pistillata forward pada sampel tanaman
38
Pistillata reverse pada sampel tanaman
39

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pisang (Musa spp.) merupakan buah yang banyak dikonsumsi dan mendapat
prioritas pemerintah untuk dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi
dalam maupun luar negeri. Salah satu kendala dalam pengembangan tanaman
pisang adalah adanya serangan penyakit darah (blood disease) yang disebabkan
oleh Blood Disease Bacterium (BDB). Nama latin dari bakteri BDB masih belum
ada kesepakatan, sering disebut Pseudomonas celebensis Gauman 1923
(Hadiwiyono 2011). Penyakit darah ditularkan oleh serangga pengunjung bunga
yang membawa BDB, menginfeksi kumpulan bunga jantan (male bud) melalui
celah ketika bunga rontok dan menyebar kesemua bagian tanaman (Rustam 2005).
Penyakit BDB lebih banyak menyerang pisang olahan (cooking banana) seperti
pisang kepok yang memiliki genom ABB. Pisang ini mudah terserang BDB
karena male bud memiliki kandungan gula yang tinggi sehingga menjadi sumber
makanan bagi serangga pengunjung bunga. Gejala penyakit darah yang terlihat
adalah apabila buah dipotong maka bagian dalam buah kelihatan berwarna merah
kecokelatan atau menjadi busuk berlendir (Hadiwiyono 2011).
Penyakit darah pertama kali dilaporkan sejak 80 tahun yang lalu di
Sulawesi. Pada tahun 1980 menyebar dengan cepat di Jawa. Akhir tahun 1990,
menyebabkan penurunan produksi pisang Kalimantan secara drastis dan sekarang
menjadi masalah di Sumatera. Serangan penyakit ini menurunkan produksi buah
pisang sebesar 140.135 ton, yaitu dari 5.177.607 ton di tahun 2005 menjadi
5.037.472 ton di tahun 2008 (Deptan 2010). Penelitian sebelumnya (Rustam
2005) mengupayakan pengendalian penyakit ini dengan menggunakan agens
antagonis, khususnya kelompok bakteri yang mengoloni perakaran tanaman
(rizobakteria) sehingga memacu pertumbuhan tanaman dan menginduksi
ketahanan tanaman terhadap patogen.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit darah adalah dengan
menghasilkan pisang yang tidak memiliki kumpulan bunga jantan (male budless).
Pisang male budless dapat terhindar dari BDB yang terbawa oleh serangga
pengunjung bunga (Sobir et al. 2008). Kumpulan bunga jantan (Male bud) kurang
berperan untuk pembentukan buah, karena buah dapat terbentuk tanpa adanya
fertilisasi yang disebut partenokarpi. Pusat Kajian Hortikultura Tropis (PKHT)
Institut Pertanian Bogor (IPB) telah mengoleksi beberapa pisang kepok mutan,
diberi nama Unti Sayang (US-1) yang bersifat male budless. Mutan ini memiliki
kualitas baik, enak dimakan, produksi buah tinggi dan tahan terhadap penyakit
darah (Sobir et al. 2008). Mutan ini juga telah diperbanyak dengan kultur jaringan
hingga sub kultur ke-6 dan telah ditanam di Kebun Koleksi. Perbanyakan pisang
dengan kultur jaringan digunakan karena teknik ini mampu menghasilkan bibit
secara massal dalam waktu yang relatif singkat, masa non reproduktif yang lebih
singkat dan produktivitasnya lebih tinggi. Banyaknya sub kultur yang dilakukan
diharapkan bisa menghasilkan tanaman dalam jumlah yang banyak, akan tetapi
menurut Skirvin et al. (1993) banyaknya sub kultur dapat menyebabkan terjadinya
variasi somaklonal. Perbanyakan hingga sub kultur ke-6 diperkirakan dapat
menginduksi munculnya male bud kembali (revertrant mutant) akibat adanya
mutasi balik. Timbulnya abnormalitas pada organ reproduktif hanya dapat

2
diketahui setelah tanaman tersebut berbunga yaitu selama 1 sampai 2 tahun.
Jaligot et al. (2000) menemukan bahwa abnormalitas terjadi pada rata-rata 5
sampai 10% dari populasi bibit kelapa sawit hasil kultur jaringan dan
abnormalitas tersebut bersifat epigenetik. Mutasi balik yang diperkirakan terjadi
dapat menimbulkan genotipe yang bervariasi untuk sifat tertentu, tetapi sifat
lainnya tidak berubah dan berpotensi sebagai Near Isogenic Lines (NIL).
Untuk mengembangkan teknik kultur jaringan sebagai alat perbanyakan
klonal tanaman pisang kepok Unti Sayang (US-1) diperlukan suatu teknik yang
mampu mendeteksi adanya abnormalitas, diantaranya pada tingkat morfologi dan
DNA. Informasi tersebut dapat digunakan untuk menentukan banyaknya sub
kultur yang dapat digunakan untuk perbanyakan pisang varietas kepok US-1,
sehingga ada jaminan jika mutan ini diperbanyak maka tidak menghasilkan
revertrant mutant yang bermanfaat untuk usaha pemuliaan tanaman. Identifikasi
melalui pendekatan morfologi dilakukan untuk melihat apakah ada variasi lain
yang timbul akibat munculnya revertrant mutant, akan tetapi pendekatan
morfologi mudah berubah akibat pengaruh lingkungan sehingga digunakan juga
analisis molekuler menggunakan marka genetik. Identifikasi molekuler
berdasarkan pola pita DNA digunakan karena karakter ini didasarkan pada sifat
genetik tanaman dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Marka molekuler yang digunakan adalah Random Amplified Polimorphic
DNA (RAPD) dan Inter Simple Sequence Repeats (ISSR). Teknik RAPD telah
banyak digunakan untuk menganalisis hasil improvement pisang dan analisis
kelompok genom pisang (Crouch et al. 1998) serta analisis integritas genetik
planlet pisang dari kultur in vitro (Mathius & Hutabarat 1997). RAPD adalah
teknik amplifikasi fragmen DNA dengan menggunakan primer pendek yang
panjangnya 10-20 pb. Dengan menggunakan teknik ini polimorfisme antar
genotipe dapat terdeteksi jika ada mutasi titik atau inversi pada tempat melekatnya
primer dan adanya penyisipan atau delesi dalam satu fragmen amplifikasi. ISSR
melibatkan amplifikasi segmen DNA yang berada pada jarak yang dapat
teramplifikasi antara dua daerah mikrosatelit berulang yang identik tetapi dengan
orientasi arah yang berbeda (Narayanan et al. 2007). ISSR terdistribusi secara
melimpah dan merata dalam genom dengan target multiple-locus genomik,
variabilitasnya sangat tinggi dengan panjang primer (16-25 pb). Lokasi ISSR pada
genom juga dapat diketahui dengan ketepatan yang sangat tinggi sehingga akurat
untuk membedakan genotipe (Azrai 2005). Umumnya metode ini digunakan
untuk mengetahui adanya penyimpangan genetik, hubungan kedekatan secara
genetik ataupun variasi genetik yang ada (Kumar et al. 2006).
Adanya sifat male budless pada mutan tersebut diduga berhubungan dengan
berfungsi atau tidaknya gen Pistillata (PI) yang terkait dalam pembentukan petal
(mahkota) dan stamen (benang sari) serta gen Agamous (AG) pada pembentukan
karpel (putik). Adam et al. (2007) menemukan adanya abnormalitas pada kelapa
sawit yang menyebabkan sterilitas yang melibatkan gen AG2, dimana gen ini
mengontrol identitas bunga jantan dan betina. Oleh karena itu, digunakan juga
marka DNA yang dikembangkan dari gen Pistillata dan Agamous yang dirancang
berdasarkan informasi sekuen yang tersedia di GeneBank.

3
Perumusan Masalah
Permasalahan utama yang sering dihadapi dalam pengembangan tanaman
pisang kepok adalah adanya serangan dari penyakit darah yang disebabkan oleh
Blood Disease Bacterium (BDB). Bakteri ini ditularkan melalui perantaraan
serangga pengunjung bunga yang mencari nektar. Salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk mencegah penularan penyakit ini adalah dengan menghasilkan
tanaman pisang mutan yang bersifat male budless. Mutan ini telah diperbanyak
dengan kultur jaringan, akan tetapi stabilitas genetik dari mutan ini belum
diketahui dengan baik. Tingginya sub kultur hingga sub kultur ke-6 diduga dapat
menyebabkan munculnya revertrant mutant sehingga mempengaruhi karakter
morfologi dari tanaman tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik yang
dapat mendeteksi adanya abnormalitas dengan cara mengembangkan marka
molekular yang terpaut dengan sifat male budless.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi karakter morfologi, (2)
mengidentifikasi marka ISSR dan RAPD, dan (3) mengidentifikasi marka
molekuler yang terpaut dengan sifat male budless pada mutan pisang kepok Unti
Sayang (US-1) yang dikembangkan dari gen Pistillata (PI) dan Agamous (AG).

Manfaat Penelitian
Informasi dari penelitian ini dapat digunakan untuk menetapkan banyaknya
sub kultur yang dapat digunakan untuk perbanyakan mutan pisang kepok male
budless. Penanda morfologi dan genetik yang terpaut dengan sifat male budless
bermanfaat sebagai informasi dasar untuk memperoleh penanda pola pita DNA
atau Marker Assisted Selection (MAS) yang dapat digunakan sebagai penanda
pisang yang memiliki sifat male budless pada fase bibit sehingga bermanfaat
dalam pemuliaan tanaman dalam memenuhi kebutuhan bibit seragam dalam
jumlah banyak.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Pisang (Musa spp.)
Tanaman pisang termasuk kedalam tanaman monokotil, berbentuk pohon
yang tersusun atas batang semu (pseudostem). Batang semu merupakan tumpukan
pelepah daun yang tersusun secara rapat teratur. Percabaangan tanaman bertipe
simpodial dengan meristem ujung memanjang dan membentuk bunga lalu buah.
Bagian bawah batang menggembung berupa umbi yang disebut bonggol.
Tanaman pisang mempunyai bonggol yang dapat membentuk 2-5 mata tunas.
Anakan (suckers) muncul dari mata tunas pada bonggol yang selanjutnya tumbuh
menjadi tanaman pisang. Daun yang paling muda terbentuk dibagian tengah
tanaman, keluarnya menggulung dan terus tumbuh memanjang, kemudian secara
progresif membuka. Helaian daun bentuknya lanset memanjang, mudah koyak,
permukaan bawah daun berlilin, tulang tengah penopang daun dapat terlihat
dengan jelas, pertulangan daun tersusun sejajar dan berwarna hijau.
Tunas pucuk terletak pada ujung atas tanaman dan tumbuh dari bonggol
ditanah. Ketika tunas dewasa, bentuk tunas pucuk berubah menjadi struktur bunga
semu dan muncul dipermukaan sebagai sebuah bunga raksasa. Pada saat
pembungaan dan produksi buah selesai, tunas mati karena pucuk telah digunakan
secara maksimal, tetapi tunas baru akan segera terbentuk pada bonggol ditanah.
Bunga pada tanaman pisang merupakan bunga majemuk, tiap kuncup bunga
dibungkus oleh seludang berwarna merah kecoklatan (braktea). Seludang akan
lepas dan jatuh jika bunga telah membuka. Bunga betina akan berkembang secara
normal, sedangkan kumpulan bunga jantan (male bud) yang berada diujung
tandan tidak berkembang dan tetap tertutup oleh seludang dan biasa disebut
sebagai jantung (Ortiz & Vuylsteke 1995).
Tanaman pisang memiliki sifat partenokarpi, yaitu buah bisa terbentuk
tanpa adanya fertilisasi pollen (Simmonds & Shepherd 1995). Sebagian besar
kultivar banana dan plantain mempunyai kromosom triploid (2n=3x=33)
(Retnoningsih et al. 2010). Ovul yang ada pada ovari akan mendukung
pembentukan buah. daging buah (pulp) dihasilkan oleh sebagian besar jaringan
ovari, khususnya dari permukaan dalam kulit, sebagian besar lagi dari septa dan
aksis bagian tengah (Rohmah 2004).

Penyakit Darah (Blood Disease) pada Tanaman Pisang
Penyakit darah (blood disease) pertama kali mewabah tahun 1910 di pulau
Selayar (Sulawesi Selatan) yang disebabkan oleh Blood Disease Bacterium
(BDB) (Eden-Green & Sastraatmadja 1990). Gejala penyakit ini ditunjukkan oleh
pelepah daun yang melemah (flaccid) kemudian patah pada bagian pangkalnya
sehingga daun terlihat patah menggantung. Warna daun menjadi kuning kemudian
nekrosis dan kering. Kulit buah sering terlihat normal, kadang-kadang ada yang
tampak kuning terlalu awal dan menghitam. Kalau buah dipotong bagian dalam
buah kelihatan berwarna merah kecoklatan atau menjadi busuk berlendir
(Gambar 1) (Hadiwiyono 2011).

5

Gambar 1

Bercak coklat pada beberapa bagian. (A) bagian pembungaan, (B)
daging buah, (C) jaringan pembuluh kulit buah, (D) pseudostem, (E)
jaringan pembuluh tengah peduncula, (F) jaringan pembuluh tepian
tengah peduncula, (G) jaringan pembuluh tepian dasar peduncula,
(H) pelepah, (I) permukaan tangkai daun, (J) jaringan pembuluh
petiole, (K) tepian helaian daun menguning, (L) akar

Menurut Leiwakabessy (1999) patogen dapat ditularkan melalui bibit yang
terinfeksi, alat-alat pemangkasan, tanah yang dihanyutkan air, kontak akar dan
paling banyak melalui serangga pengunjung bunga (inflorescense). Serangga
tersebut terdiri dari beberapa ordo yaitu Diptera (family Chloropidae,
Platypezidae,
Drosophilidae,
Tephritidae,
Dolichopodidae,
Cilicidae,
Calliphoridae, Anthomylidae dan Muscidae); ordo Lepidoptera (family
Coleophoridae); ordo Hymenoptera (family Apidae); ordo Blattaria (family
Blattidae).

Variasi Somaklonal Kultur Jaringan
Variasi somaklonal merupakan keragaman genetik dari tanaman yang
dihasilkan melalui kultur sel, baik sel somatik seperti sel daun, akar, dan batang,
maupun sel gamet. Penyebab munculnya variasi somaklonal ada dua
kemungkinan yaitu variasi genetik yang memang sudah ada pada eksplan dan
variasi induksi atau variasi epigenetik. Variasi genetik bersifat stabil baik melalui
perbanyakan seksual dan aseksual, sedangkan variasi induksi atau variasi
epigenetik tidak stabil walaupun melalui perbanyakan aseksual. Variasi yang
terjadi merupakan hasil kumulatif dari mutasi genetik pada eksplan dan yang
diinduksi pada kondisi in vitro. Variasi ini bukan disebabkan oleh segregasi atau
rekombinasi gen, seperti yang biasa terjadi akibat proses persilangan. Keragaman
ini dapat muncul akibat penggandaan dalam kromosom, perubahan jumlah
kromosom, perubahan struktur kromosom, perubahan gen, dan perubahan
sitoplasma (Kumar & Mathur 2004).

6
Variasi somaklonal dapat terjadi akibat adanya induksi selama proses kultur.
Faktor-faktor penginduksi tersebut seperti penggunaan berbagai macam zat
pengatur tumbuh, perlakuan tingkat konsentrasi zat pengatur tumbuh, lama fase
pertumbuhan kalus dalam media, umur kultur, frekuensi sub kultur, tipe kultur
yang digunakan (sel, protoplasma, kalus, jaringan), klon atau kultivar tanaman
yang digunakan, sumber eksplan yang digunakan, kondisi fisik selama kultur serta
digunakan atau tidaknya media seleksi dalam kultur in vitro. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa frekuensi sub kultur yang terlalu tinggi serta
penggunaan zat pengatur tumbuh dalam konsentrasi yang tinggi diketahui dapat
menyebabkan terjadinya variasi somaklonal. Penggunaan zat pengatur tumbuh
kelompok auksin sinetik 2,4-D dan 2,4,5-T biasanya dapat menyebabkan
terjadinya variasi somaklonal. Pada tanaman kelapa sawit, perlakuan 2,4-D pada
kultur kalus yang mampu beregenerasi membentuk tunas diketahui dapat
menyebabkan variasi somaklonal saat aklimatisasi di lapangan (Linacero &
Vazquez 1992).

Pisang Kepok Unti Sayang (US-1)
Pisang kepok Unti Sayang (US-1) merupakan pisang mutan yang tidak
memiliki kumpulan bunga jantan (male budless). Pisang ini pertama kali
ditemukan di pulau Selayar, Sulawesi pada tahun 1992 (Gambar 2). Karakteristik
pisang mutan ini adalah bersifat male budless sehingga terhindar dari penyakit
darah (blood disease). Selain itu, pisang ini memiliki buah dengan kulit yang
halus, warna menarik, ukuran lebih besar, warna daging buah kuning, memiliki
rasa manis 20,2 sampai 23,8 briks, produktivitas tinggi (lebih dari 40 kg per
tandan), penampilan buah menarik dan buah tidak mudah lepas dari sisirnya serta
memiliki perakaran yang kuat sehingga tahan rebah (Sobir et al. 2008).

Gambar 2 Pisang kepok Unti Sayang (US-1) male budless. (A) munculnya
bunga, (B) munculnya buah pisang pada setiap tandan, (C) lepasnya
braktea seiring dengan munculnya buah pada tiap tandan, (D) buah
pisang terbentuk sampai pada bagian ujung tanpa menyisakan male
bud
Identifikasi karakter morfologi pisang kepok Unti Sayang (US-1) telah
dilakukan oleh tim Pusat Kajian Hortikultura Tropis (PKHT) (Sobir et al. 2008).
Deskripsi pisang kepok varietas US-1 terlihat pada Tabel 1.

7
Tabel 1 Deskripsi pisang kepok varietas Unti Sayang (US-1)
No
1

Karakter
Asal tanaman

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55

Umur tanaman
Umur berbunga (dari bibit anakan)
Umur panen (dari bibit anakan)
Nama
Nama local
Propinsi
pH tanah
Suhu
RH
CH
Tinggi tanaman
Diameter batang
Spot batang
Warna batang semu
Warna batang bagian dalam
Pigmentasi batang dalam
Bentuk penampang batang
Tekstur kulit batang semu
Lilin pada batang semu
Pigmentasi merah dipangkal batang
Warna getah
Warna pangkal batang
Tipe pertumbuhan daun
Warna permukaan atas daun
Warna Permukaan bawah daun
Bentuk daun
Bentuk ujung daun
Tepi daun
Warna tulang daun
Warna bibir pelepah daun
Tipe daun/letak daun
Jumlah daun
Panjang helai daun
Lebar helai daun
Rasio panjang lebar
Panjang tangkai daun
Lebar tepi tangkai daun
Lebar bibir tangkai daun
Bercak dipangkal tangkai daun
Banyak bercak
Warna bercak
Pigmentasi tepi tangkai daun
Pigmentasi tulang daun
Tipe lekuk tangkai daun
Tipe sayap
Warna tepi tangkai daun
Ujung tepi tangkai daun
Titik pangkal helai daun
Bentuk pangkal helai daun
Perkembangan anakan
Posisi tandan buah
Bunga pembentuk buah
Bentuk pangkal braktea
Bentuk ujung braktea

Hasil
Desa Bontobangun, Kecamatan Bontoharu,
Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan
17 bulan
12-13 bulan
16-17 bulan
Unti Sayang
Loka Nipah
Sulawesi Selatan
6,2
18-28oC (rata-rata 26,7oC)
35,5-75%
200 mm
5,0-6,5 m
35-43 cm
Sedikit
Hijau-kuning
Hijau terang
Hijau kekuningan
Bulat
Halus
Berlilin
Ada
Bening
Hijau kemerahan
Tegak
Hijau tua
Hijau muda
Jorong memanjang dengan ujung tumpul
Tumpul
Rata
Hijau kekuningan sedikit bintik ungu
Merah keunguan
Tegak
1 cm
Sedikit sekali
Jarang
Sedikit
Hitam-ungu
Ada
Ada
Lurus dengan tepi tegak
Kering
Hijau
Tidak berwarna
Simetris
Hati
¾ sama dengan induk
Vertical
Bunga betina
Bahu besar
Runcing

8
Tabel 1 (Lanjutan)
No
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101

Karakter
Pola pelepasan brakrea
Tekstur braktea
Warna luar braktea
Warna dalam braktea
Warna ujung luar braktea
Warna pangkal dalam braktea
Lapisan lilin pada braktea
Panjang tangkai bunga (tandan)
Jumlah buku kosong
Diameter tangkai bunga
Warna tangkai bunga
Umur berbunga hingga panen
Umur panen
Posisi tandan
Bentuk tandan
Kenampakan tandan
Panjang tandan
Diameter tandan
Jumlah sisir/tandan
Jumlah buah/sisir
Jumlah baris/sisir
Bobot tandan
Arah puntiran daun
Panjang buah dari sisir pangkal
Panjang buah dari sisir tengah
Panjang buah dari sisir ujung
Diameter buah
Bobot/buah
Jumlah segi buah
Bentuk buah
Bentuk melintang
Ujung buah
Sisa stylus
Panjang tangkai buah
Diameter tangkai buah
Fusi tangkai buah
Warna kulit buah sebelum masak
Warna kulit bua masak
Tebal kulit
Tekstur kulit hijau
Tekstur kulit matang
Kemudahan mengupas
Warna daging mentah
Warna daging masak
Brix
Kandungan vitamin C

Hasil
Tidak menggulung
Berombak tumpul
Ungu kecoklatan
Merah keunguan
Kuning
Warna berubah
Ada
36 cm
2
5-6 cm
Hijau muda
4-5 bulan
120-150 hari
Sedikit menyudut
Silinder
Kompak
96-110 cm
34-45 cm
13-15 sisir
20-22
2 baris
40-41 kg
Memuntir berlawanan putaran jam
15-16 cm
14-15
10-11
4,1-4,5 cm
105-158 gr
5
Lurus
Tonjolan jelas
Leher botol
Masih ada
3-4 cm
1,5-1,7
Tidak ada
Hijau
Kuning
2-2,5 mm
Halus
Halus
Mudah
Putih kekuningan
Kuning
20,29o-23,8o brix
3,5-7,2 mg/100g

Bulk Segregation Analysis (BSA)
Bulk Segregation Analysis (BSA) merupakan metode seleksi marka yang
didasarkan atas pengelompokan DNA dari individu-individu tanaman pada
populasi segregasi. Metode ini dapat menyeleksi marka-marka molekuler yang
terpaut erat dengan lokus yang dituju secara lebih cepat dan tepat (Michelmore et
al. 1991). Metode BSA secara luas telah digunakan sebagai alat untuk

9
menemukan penanda yang terpaut dengan gen tertentu. Metode ini akan
menghasilkan suatu fenotipe atau genotipe tertentu, dimana akan muncul suatu
alel yang spesifik yang tidak muncul pada bulk lainnya.

Penanda Molekuler Random Amplified polymorphic DNA (RAPD) dan Inter
Simple Sequence Repeat (ISSR)
Teknik RAPD merupakan metode analisis DNA genom dengan cara melihat
pola pita DNA yang dihasilkan setelah DNA genom diamplifikasi menggunakan
primer acak. RAPD menggunakan primer tunggal atau sekuen nukleotida pendek
(10 sampai 20 pb) yang susunan basanya dibuat secara acak dengan kandungan
molekul GC minimal 50%. Primer ini mempunyai banyak kelebihan, diantaranya
adalah tidak dipengaruhi oleh lingkungan, membutuhkan sedikit DNA dengan
kemurnian yang tidak terlalu tinggi, prosedurnya sederhana tanpa radioaktif serta
dapat mendeteksi perubahan basa tunggal dalam DNA genom jika cukup banyak
primer yang digunakan. Primer tersebut akan berpasangan dengan utas tunggal
DNA genom yang satu dan pada utas DNA pasangannya dengan orientasi yang
berlawanan. Selama situs penempelan primer masih berada dalam jarak yang
dapat diamplifikasi, maka akan diperoleh produk DNA amplifikasi. Jarak tersebut
umumnya tidak lebih dari 5000 pb. Deng (1995), menggunakan teknik RAPD dan
hasil yang diperoleh teknik tersebut mampu membedakan mutan dan tanaman
normal dalam satu genotipe lemon. Rata-rata jumlah fragmen DNA yang
dihasilkan sebuah primer tunggal tergantung pada kekomplekan genom. Makin
kompleks suatu genom akan makin kompleks pola fragmen DNA yang dihasilkan
dari teknik RAPD. Jumlah dan kualitas fragmen DNA yang dihasilkan bergantung
pada panjang dan komposisi nukleotida penyusun primer, konsentrasi dan
kemurnian DNA cetakan, dan suhu penempelan pada reaksi PCR.
Marka ISSR (Inter Simple Sequence Repeat) pertama kali dipublikasikan
pada tahun 1994. Marka ini dikembangkan dari daerah di antara lokus mikrosatelit
atau yang disebut juga SSR (Single Sequence Repeat). ISSR merupakan daerah
yang berada di antara dua daerah SSR dan biasanya berupa mono, di atau
trinukleotida. ISSR merupakan bagian mikrosatelit yang tidak mengkode protein
(non coding region). Marka ISSR memperbaiki kekurangan teknik RAPD, dimana
ISSR lebih sensitif mendeteksi diversitas genetik pada tingkat rendah namun
relatif mudah dan sama ekonomisnya dengan teknik RAPD (Narayanan et al.
2007). ISSR melibatkan amplifikasi segmen DNA yang berada pada jarak yang
dapat teramplifikasi antara dua daerah mikrosatelit berulang yang identik tetapi
dengan orientasi arah yang berbeda. Penanda ISSR merupakan penanda dominan,
tidak memerlukan desain primer karena bekerja secara acak, memiliki panjang
primer (16-25 pb) lebih panjang jika dibandingkan RAPD (10 pb) (Trojanowska
& Balibok 2004). Penanda ISSR telah banyak digunakan di antaranya pada
analisis mandul jantan, jantan fertil dan hibrid tanaman pearlmillet (Pennisetum
glaucum (L.) (Kumar et al. 2006). Penanda ISSR juga telah digunakan untuk
mempelajari keanekaragaman DNA polimerisme tanaman jati (Narayanan et al.
2007) dan mengetahui adanya penyimpangan genetik, hubungan dekat secara
genetik, ataupun variasi genetik yang ada (De vienne 2003).

10
Gen Pembungaan
Gen-gen dalam pengaturan proses pembungaan tergolong kedalam
kelompok gen MADS-box yang berperan sebagai identitas organ-organ bunga.
Gen pembungaan berfungsi dari mulainya fase awal pembentukan identitas
pembungaan hingga pembentukan bunga. Bunga terdiri dari empat organ dasar
yaitu sepal, petal, stamen dan carpels yang dapat dijelaskan dengan model ABC.
Model ini pertama kali ditemukan oleh E. Coen dan Elliot Mayerowitz pada tahun
1991. Ekspresi dari gen A berfungsi terhadap pembentukan sepal dan petals, gen
B berfungsi terhadap pembentukan petals dan stamens dan gen C berfungsi
terhadap pembentukan stamens dan carpels. Pada tanaman model Arabidopsis
aktivitas dari fungsi gen A diatur oleh APETALA1 (AP1) dan (AP2), fungsi gen B
diatur oleh APETALA3 (AP3) dan PISTILLATA (PI) bunga dan gen C yang diatur
oleh AGAMOUS (AG) selama masa perkembangan (Robles & Pelaz 2005).
Berdasarkan hubungan antara masing-masing gen ABC diperoleh tiga
bentuk fenotipik bunga yaitu, (1) apabila gen pembungaan yang bekerja hanya
gen A dan B saja maka bunga yang terbentuk hanya memiliki sepal dan petal saja,
sehingga bunga tersebut tidak memiliki stamen dan carpel, (2) bila hanya gen B
dan C saja yang bekerja maka bunga yang terbentuk hanya memiliki stamen dan
carpel saja dan tidak memiliki sepal dan petal, (3) apabila gen yang bekerja hanya
gen A dan C maka bunga yang terbentuk hanya memilii sepal dan carpel saja dan
tidak memiliki petal dan stamen (Gambar 3). Semakin pesatnya penelitian gen
pembungaan pada tanaman, maka model gen ABC berkembang menjadi model
ABCDE, yang disebut dengan model MADS-box. Tipe D dibutuhkan untuk
perkembangan bakal buah (ovule), dan tipe E dibutuhkan untuk perkembangan
seluruh organ bunga dari tanaman. Tipe A terdiri dari APETALLA1 (AP1), tipe B
terdiri dari kelas gen APETALLA3 (AP3) dan PISTILLATA (PI), tipe C terdiri dari
AGAMOUS (AG), tipe D terdiri dari SEEDSTICK (STK), SHATERPROOF1
(SHP1) dan SHP2, tipe E terdiri dari SEPALLATA1 (SEP1), SEP2, SEP3, SEP4.

Gambar 3

ABC model dan identitas organ pembungaan pada mutan Arabidopsis
(Robles & Pelaz 2005)

11

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2012 sampai Mei 2013. Identifikasi
morfologi dilaksanakan di Kebun Koleksi PKHT Ciomas, Bogor. Analisis
molekuler dilaksanakan di Laboratorium Molekuler PKHT.

Bahan Penelitian
Bahan tanaman yang digunakan adalah mutan pisang kepok Unti Sayang
yang tidak memiliki kumpulan bunga jantan (Male budless mutant). Jumlah bahan
tanaman sebanyak 24 tanaman dari hasil sub kultur ke-1 sampai ke-6. Jumlah tiap
sub kultur adalah sub kultur ke-1 sebanyak 3 tanaman, sub kultur ke-2 sebanyak 2
tanaman, sub kultur ke-3 sebanyak 5 tanaman, sub kultur ke-4 sebanyak 4
tanaman, sub kultur ke-5 sebanyak 7 tanaman dan sub kultur ke-6 sebanyak 3
tanaman, serta satu tanaman mutan yang kembali memiliki kumpulan bunga
jantan (revertrant mutant) dari perbanyakan anakan dan tipe liarnya yaitu pisang
kepok kuning.
Primer yang digunakan sebanyak 32 primer yang diperoleh dari PKHT
(Tabel 2 dan Tabel 3), yang terdiri dari 20 primer RAPD dan 12 primer ISSR.
Dua pasang primer yang dikembangkan dari sekuen gen Pistillata (PI) dan
Agamous (AG) dari Musa acuminata menggunakan program primer3
(http://frodo.mit.edu) juga digunakan dalam penelitian ini (Tabel 4)
Tabel 2 Primer Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) yang digunakan
untuk amplifikasi PCR
No

Nama Primer

Sekuen 5’ – 3’

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

OPA 1
OPA 2
OPA 3
OPA 4
OPA 7
OPA 8
OPA 9
OPA 11
OPA 12
OPA 13
OPA 15
OPA 16
OPA 17
OPA 18
OPA 19
OPJ 4
OPJ 9
OPJ 11
OPJ 13
OPJ 16

CAG
TGC
AGT
AAT
GAA
GTG
GGG
CAA
TCG
CAG
TTC
AGC
GAC
AGG
CAA
CCG
TGA
ACT
CCA
CTG

GCC
CGA
CAG
CGG
ACG
ACG
TAA
TCG
GCG
CAC
CGA
CAG
CGC
TGA
ACG
AAC
GCC
CCT
CAC
CTT

CTT
GCT
CCA
GCT
GGT
TAG
CGC
CCG
ATA
CCA
ACC
CGA
TTG
CCG
TCG
ACG
TCA
GCG
TAC
AGG

Annealing (0C)
C
G
C
G
G
G
C
T
G
C
C
A
T
T
G
G
C
A
C
G

36
36
36
36
36
36
36
36
36
36
36
36
36
36
36
36
36
36
36
36

12

Tabel 3

Primer Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) yang digunakan untuk
amplifikasi PCR

No

Nama primer

Sekuen 5’ - 3’

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

PKBT-1
PKBT-2
PKBT-3
PKBT-4
PKBT-5
PKBT-6
PKBT-7
PKBT-8
PKBT-9
PKBT-10
PKBT-11
PKBT-12

(AC)8TG
(AC)8TT
(AG)8T
(AG)8AA
(AG)8TA
(AG)8TT
(GA)9A
(GA)9C
(CTC)5GC
(GT)9A
(GT)9C
(GT)9T

Annealing (oC)
54
53
53
53
53
53
53
54
54
54
54
54

Tabel 4 Primer yang digunakan untuk amplifikasi gen PI dan AG
No

Primer

Sekuen primer
(5’ - 3’)

Annealing
(oC)

F: GCA AGA TGT CGG AGT ACT GCA
R: CTC CTT GGG GTT GAG TGA GTT
F: GGG GTA AGA TTG AGA TCA AGA G
2
AG
R: TGA GCT GCT GCC TCC AAT ATG T
Keterangan: PI = Pistillata; AG = Agamous; F = Forward; R = Reverse
1

PI

65
65
58
58

%
GC

52.4
52.4
45.5
50.0

Perkiraan
ukuran
produk
PCR
500-750 pb
500-750 pb

Identifikasi Morfologi
Identifikasi morfologi menggunakan panduan deskriptor pisang dari
International Plant Genetik Resources Institute (IPGRI 1996).
Isolasi DNA
Isolasi DNA mengikuti prosedur CTAB (Doyle & Doyle 1987) dengan
modifikasi, yaitu menaikkan konsentrasi CTAB dari 2% menjadi 10% dan dengan
penambahan polyvinil phenolphthalaein (PVP) dan -mercaptanol pada saat awal
penggerusan (Couch & Fritz 1990). Daun yang digunakan adalah daun muda yang
masih menggulung yang kemudian digerus didalam buffer CTAB. Purifikasi
DNA dilakukan dengan penambahan campuran Chloroform:Isoamil Alkohol (24:1
v/v) sebanyak 500 μl yang kemudian disentrifugasi pada 11000 rpm selama 10
menit, tahapan ini dilakukan sebanyak dua kali. Supernatan yang diperoleh
kemudian dipindahkan kedalam tabung baru dan ditambah dengan 1 volume
isopropanol dingin dan disimpan pada suhu -200C selama 3 jam atau lebih.
Setelah itu disentrifugasi (Cubota Sigma USA) pada 11000 rpm selama 10 menit.
Pelet DNA yang diperoleh kemudian dicuci dengan 100 μl etanol 70% dan
dikering-anginkan selama 1-2 jam. Selanjutnya pelet dilarutkan dengan 50-100 μl

13
air bebas ion steril sebagai stok DNA. Pemurnian DNA dapat dilakukan dengan
menambahkan 5μl RNAse (10 mg/ml) dan diinkubasikan pada suhu 370C selama
1 sampai 2 jam. Penentuan konsentrasi DNA dilakukan dengan elektroforesis
(Takara USA) yang dimigrasikan bersamaan dengan DNA standar (λ) (Promega
USA) 10 dan 50 ng/ml pada gel agarosa 1.2% dalam buffer TBE 1 X dengan
tegangan 50 volt selama 15 menit.

Teknik PCR
Amplifikasi PCR mengikuti metode Kurokawa et al. (2003). Seleksi primer
dilakukan dengan mengunakan metode Bulk Segregant Analysis (BSA)
(Michelmore et al. 1991.) Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan mesin
PCR (Applied Biosystem USA) sebanyak 35 siklus setelah pra-denaturasi selama
4 menit 940C. Setiap siklus terdiri atas 30 detik 940C denaturasi, 30 detik
annealing (36-650C), 1 menit pada 720C elongasi dan elongasi akhir 5 menit pada
720C. Fragmen DNA hasil amplifikasi kemudian dielektroforesis selama 47 menit
pada tegangan 50 volt bersama DNA standar 1 kb DNA ladder (Promega USA)
pada gel agarosa 1.2%. Gel kemudian divisualisasi dengan cara direndam dalam
ethidium bromida 10% selama 15 menit dan dibilas dengan akuades. Pola pita
hasil amplifikasi kemudian didokumentasi menggunakan alat dokumentasi gel.

Analisis Sekuen DNA
Analisis sekuen DNA dilakukan dengan menggunakan hasil amplifikasi
PCR dari primer yang dikembangkan dari gen Pistillata (PI) dan Agamous (AG).
Amplikon kemudian dikirim ke perusahaan penerima jasa sekuen. Hasil sekuen
DNA kemudian dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak dari program
Basic Local Alignment Search Tools-Nucleotide (BLAST-N) National Centre for
Biotechnology Information (NCBI) (www.ncbi.nlm.nih.gov/Blast/cgi), Bioedit,
Clustal-X versi 2.1 (Thompson et al. 1997), TextPad versi 4.0, Genetyx Win versi
4.0 dan MEGA versi 5.0 (Tamura et al. 2011).

14

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakter Morfologi Mutan Pisang Kepok Unti Sayang
Identifikasi morfologi dilakukan pada 24 tanaman pisang kepok Unti
Sayang (US-1) male budless mutant yang telah diperbanyak dengan kultur
jaringan sub kultur ke-1 sampai ke-6. Dari tanaman yang telah diperbanyak hanya
beberapa tanaman saja yang telah berbunga dan berbuah yaitu dari sub kultur ke-1
sebanyak dua tanaman, sub kultur ke-4 sebanyak satu tanaman dan sub kultur ke-6
sebanyak satu tanaman. Selain itu, juga digunakan male budless mutant dari
perbanyakan anakan serta pisang kepok kuning male bud yang juga telah
berbunga dan berbuah sebagai tipe liar. Hasil pengamatan pada beberapa tanaman
menunjukkan bahwa terdapat tanaman yang memunculkan fenotipe kembali
memiliki kumpulan bunga jantan (revertrant mutant), yaitu dari perbanyakan sub
kultur ke-6 dan juga dari perbanyakan anakan (Gambar 4).

Gambar 4

Pisang kepok Unti Sayang (US-1). 1=Male budless mutant;
2=Revertrant mutant. (A) munculnya jantung, (B) terbukanya
braktea, (C) jatuhnya braktea, (D1) tidak ada male bud yang tersisa,
(D2) male bud tersisa pada bagian ujung

Pisang kepok kuning (male bud) digunakan sebagai tanaman tipe liar, yaitu
untuk membandingkannya dengan male budless mutant dan revertrant mutant.
Ada atau tidaknya male bud hanya mempengaruhi beberapa karakter, yaitu
panjang tangkai tandan, panjang tandan, jumlah sisir per tandan, jumlah buah per
sisir, jarak antar sisir buah serta tipe gagang bunga. Berdasarkan karakter tersebut
maka karakter yang paling berpengaruh dari ada atau tidaknya male bud adalah
banyaknya buah yang dihasilkan. Pada male budless mutant buah yang dihasilkan
adalah sebanyak 14 sampai 16 buah per sisir dengan jumlah sisir per tandan
sebanyak 6 sampai 8 sisir. Jumlah buah yang dihasilkan pada male budless mutant
lebih banyak jika dibandingkan dengan pisang kepok kuning yang memiliki buah
sebanyak 13 sampai 16 buah per sisir dengan jumlah sisir per tandan adalah

15
sebanyak 6 sampai 7 sisir. Jumlah buah pada male budless mutant juga lebih
banyak daripada revertrant mutant yang menghasilkan jumlah sisir