Detection and Identification of Root Knot Nematodes in Chrysanthemum Based on Morphological and Molecular Characters

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI NEMATODA PURU AKAR
PADA TANAMAN KRISAN BERDASARKAN
KARAKTER MORFOLOGI DAN MOLEKULER

NURUL DWI HANDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Deteksi dan Identifikasi
Nematoda Puru Akar pada Tanaman Krisan Berdasarkan Karakter Morfologi dan
Molekuler” adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Mei 2012

Nurul Dwi Handayani
NRP A352100074

ABSTRACT

NURUL DWI HANDAYANI. Detection and Identification of Root Knot
Nematodes in Chrysanthemum Based on Morphological and Molecular
Characters. Supervised by ABDUL MUNIF and GEDE SUASTIKA.
Chrysanthemum (Dendranthema grandiflorum Tzvelev) is a horticultural
commodity that has significant economic value for Indonesia. One of the
constraints in the production of chrysanthemum is infection of root knot
nematodes (Meloidogyne spp.). The objective of this research was to identify
species of Meloidogyne associated with chrysanthemum in West Java based on
morphological and molecular characters. Morphological identification method is
based on the shape and size of eggs, second stage juveniles, males and females
perineal pattern of nematodes. Molecular identification was done through
polymerase chain reaction (PCR) using primer pairs specific to M. incognita, M.
javanica and M. arenaria. The result showed identification morphologically was

found three species of Meloidogyne namely M. javanica, M. incognita and M.
arenaria based on the molecular characterization, M. javanica is the only one of
species that associated with chrysanthemum in West Java.
Keywords: Meloidogyne spp., chrysanthemum, morphology, molecular.

2

RINGKASAN

NURUL DWI HANDAYANI. Deteksi dan Identifikasi Nematoda Puru Akar
pada Tanaman Krisan Berdasarkan Karakter Morfologi dan Molekuler. Dibimbing
oleh ABDUL MUNIF dan GEDE SUASTIKA.
Nematoda puru akar (NPA) merupakan nematoda parasit yang menyebabkan
penyakit pada tanaman dan mengakibatkan penurunan produktivitas maupun
kualitas tanaman. Gejala tanaman krisan yang terinfeksi NPA tampak pada bagian
tanaman di atas permukaan tanah yaitu pertumbuhan tanaman terhambat, daun
menguning dan layu, sedangkan gejala pada bagian akar adalah terbentuknya
puru.
Penelitian ini dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi NPA yang
menginfeksi tanaman krisan. Sampel tanaman diperoleh dari tiga lokasi sentra

produksi krisan di Jawa Barat yaitu Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Dari setiap
lokasi diambil dua varietas krisan sebagai sampel. Pengambilan sampel tanaman
untuk mengetahui gejala, kejadian penyakit dan identifikasi spesies NPA.
Identifikasi NPA berdasarkan karakter morfologi dilakukan di Laboratorium
Nematologi Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Laboratorium Fitopatologi Balai
Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian, Bekasi. Identifikasi NPA
berdasarkan karakter molekuler dilakukan di Laboratorium Virologi IPB.
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai dengan Maret 2012.
Identifikasi NPA menggunakan karakter morfologi dilakukan dengan
mengamati dan mengukur panjang dan lebar telur; panjang tubuh dan panjang
stilet larva; panjang tubuh, panjang stilet, ukuran knob dan panjang spikula
nematoda jantan; dan pola perineal (perineal pattern) nematoda betina dewasa.
Hasil identifikasi morfologi digunakan untuk menentukan primer spesifik spesies
yang akan digunakan pada identifikasi NPA berdasarkan karakter molekuler.
Identifikasi spesies NPA berdasarkan karakter molekuler dilakukan dengan
metode Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer spesifik spesies
untuk M. javanica, M. incognita dan M. arenaria. DNA diekstraksi dari puru akar
krisan sejumlah 1, 3, 5 7, 9 puru dan nematoda betina dewasa sejumlah 1, 3, 5, 7,
9 ekor. Bufer yang digunakan untuk ekstraksi DNA dari puru adalah
hexadecyltrimethylammonium bromide (CTAB), sedangkan ekstraksi DNA

nematoda betina dewasa digunakan bufer sodium dodecyl sulfate (SDS). Hasil
PCR digunakan untuk sikuen nukleotida DNA, selanjutnya dilakukan analisis
homologi dan pembentukan pohon filogeni menggunakan metode Neighbour
Joining dengan program Mega 5.05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nematoda puru akar yang berasosiasi
dengan tanaman krisan pada sentra produksi krisan di Jawa Barat, berdasarkan
karakter morfologi adalah M. javanica (76-96%), M. incognita (4-24%) dan M.
arenaria (0-4%). Dari 100 puru akar dan 100 nematoda betina dewasa yang
diidentifikasi berdasarkan karakter molekuler, hanya M. javanica yang berasosiasi
dengan tanaman krisan di Jawa Barat. Hasil analisis homologi sikuen nukleotida
DNA M. javanica dari Bogor dan Cianjur mempunyai homologi sebesar 92.1%
dengan sikuen nukleotida DNA M. javanica yang ada di Gen Bank yaitu dari

Cina. Pohon filogeni menggambarkan bahwa M. javanica yang menginfeksi
krisan di Jawa Barat memiliki hubungan kekerabatan dengan M. javanica yang
ada di Cina. Deteksi NPA menggunakan metode PCR dapat dilakukan dengan
sampel dari satu nematoda betina dewasa atau tiga puru akar krisan.
Kata kunci: Nematoda puru akar, Meloidogyne javanica, PCR, karakter
morfologi, krisan.


2

©Hak Cipta milik Insitut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

2

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI NEMATODA PURU AKAR
PADA TANAMAN KRISAN BERDASARKAN
KARAKTER MORFOLOGI DAN MOLEKULER

NURUL DWI HANDAYANI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

2

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr. Ir. Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, MS.

Judul Tesis

Nama Mahasiswa
NRP


Deteksi dan ldentifikasi Nematoda Puru Akar pada
Tanaman Krisan Berdasarkan Karakter Morfologi dan
Molekuler
Nurul Dwi Handayani
A352100074

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Abdul Munif. MSc. Ag[.

Dr. Ir. Qede Suastika. MSc.
Anggota

Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi Fitopatologi


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc.

TanggaI Vjian : 3 Mei 20 I 2

Tanggal Lulus :

28 MAY 2012

PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim,
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis dengan judul “Deteksi dan Identifikasi Nematoda Puru Akar pada Tanaman
Krisan Berdasarkan Karakter Morfologi dan Molekuler”. Tesis ini disusun sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Fitopatologi Sekolah Pascasarjana IPB.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang tak

terhingga kepada Dr. Ir. Abdul Munif, MSc. Agr. dan Dr. Ir. Gede Suastika, MSc.
atas bimbingan, kesabaran, tambahan wawasan, saran, kritik dan dukungan moril
yang sangat besar perannya dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada Ir. Banun Harpini, MSc., selaku Kepala Badan
Karantina Pertanian, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti program magister di IPB.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Bonny Poernomo
Wahyu Soekarno, MS. sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis serta Dr. Ir.
Kikin H. Mutaqin MSi., sebagai perwakilan dari Program Studi Fitopatologi yang
telah memberikan saran dalam perbaikan penulisan tesis ini. Tak lupa pula ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Antardjo Dikin, MSc., Ir. Ummu
Salamah Rustiani, MSi serta rekan-rekan di Balai Uji Terap Teknik dan Metode
Karantina Pertanian (BUTTMKP) atas bantuan dan dukungannya. Kepada rekanrekan kuliah Jony Hidayat, Sri Setyowati, Selamet, Aulia Nusantara, Aprida
Cristin, Dwi Wahidati Oktarima, Catur Yoga Hendro Utomo, Ratih Rahayu, Arif
Kurniawan, Yuli Fitriati, Nur Fitriawati, Erna Maryana, Rahma Susila Handayani
dan Lulu Sugiarto, terima kasih atas persahabatan dan kerjasamanya. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Abdul Mu’in Adnan MSi., Pak Gatut
dan rekan-rekan dari laboratorium Nematologi IPB serta Dr. Ir. Sri Hendrastuti
Hidayat, MSc., Mbak Tuti dan rekan-rekan dari laboratorium Virologi IPB atas
persahabatan dan bantuannya selama penelitian.

Rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang
tua tercinta, ayahanda Darmayana, ibunda Haryati yang telah memberikan kasih
sayang, do’a dan nasihat. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada suami
tercinta Rohadyan Hanantyo Seno dan ananda tercinta Muhammad Dharil
Pradipta atas do’a, kesabaran, kasih sayang dan dukungannya. Ucapan terima
kasih disampaikan pula kepada keluarga Bapak Soeseno atas do’a dan
dukungannya selama ini.
Akhir kata penulis haturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan tesis ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat
untuk kepentingan umat manusia dan ilmu pengetahuan.
Bogor, Mei 2012
Nurul Dwi Handayani

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pati, Jawa Tengah pada tanggal 21 Juni 1975 sebagai
anak kedua dari tiga bersaudara, pasangan H. Darmayana dan Hj. Haryati. Penulis
menikah dengan Rohadyan Hanantyo Seno, ST pada tahun 1999 dan dikaruniai
anak bernama Muhammad Dharil Pradipta pada tahun 2005.
Pada tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta pada jurusan Agronomi, lulus pada tahun 1998.
Tahun 2000 penulis diterima sebagai tenaga teknis pada Badan Karantina
Pertanian, Departemen Pertanian dan ditempatkan di Balai Besar Karantina
Pertanian (BBKP) Soekarno Hatta. Pada tahun 2004 hingga 2007 penulis
berkesempatan mengambil pendidikan sarjana pada jurusan Hama dan Penyakit
Tanaman di Universitas Islam Nusantara Bandung sebagai syarat untuk menjadi
petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) Karantina.
Tahun 2010 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke
Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
Program Studi Fitopatologi. Beasiswa pendidikan pasccasarjana diperoleh dari
Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian. Sejak Januari 2011, penulis
bertugas di Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian (BUTTMKP)
Bekasi hingga saat ini.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………
PENDAHULUAN ……………………………………………………….
Latar Belakang …………………………………………………….
Tujuan Penelitian ..………………………………………………...
Hipotesis .…..……………………………………………………...
Manfaat Penelitian …...…………………………………………....
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………....
Klasifikasi Nematoda Puru Akar (NPA) ………………………….
Biologi, Ekologi dan Distribusi Geografis NPA ……………….....
Biologi NPA …...…………………………………………....
Ekologi NPA …...…………………………………………...
Distribusi Geografis NPA …...……………………………...
Morfologi NPA ……………………….……………………….…..
Morfologi M. javanica ...……………………………………
Morfologi M. arenaria ...……………………………………
Morfologi M. hapla …………………………………………
Morfologi M. incognita ..……………………………………
Karakterisasi NPA Berdasarkan Molekuler …………………….....
BAHAN DAN METODE …………………………………………........
Tempat dan Waktu ...................……………………………………
Metode penelitian …………..…………………………………….
Pengamatan Gejala Penyakit Tanaman ……………………..
Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter
Morfologi ………………..………………………………….
Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter
Molekuler …………..………………………………….....…
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………….……
Gejala Penyakit NPA di Jawa Barat …………..………………..…
Identifikasi Meloidogyne spp. Berdasarkan Karakter Morfologi ..
Identifikasi Meloidogyne spp. Berdasarkan Karakter Molekuler ..
Deteksi Meloidogyne spp. secara Molekuler……..……………..…
KESIMPULAN DAN SARAN ....……………………………………….
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...
LAMPIRAN ……………………………………………………..............

xii
xiii
1
1
3
3
3
4
4
4
4
8
8
9
10
10
11
11
11
15
15
15
15
18
19
23
23
26
32
34
37
38
43

DAFTAR TABEL

Halaman
Indeks massa telur Meloidogyne spp. berdasarkan jumlah massa
telur per tanaman (Shurtleff & Averre 2000) ................................

17

2

Ukuran telur, larva dan nematoda jantan Meloidogyne spp. .........

31

3

Persentase populasi Meloidogyne spp. berdasarkan identifikasi
pola perineal nematoda betina dewasa ...........................................

32

Homologi sikuen nukleotida DNA M. javanica dari Bogor dan
Cianjur dengan sikuen DNA yang ada di Gen Bank .....................

33

1

4

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

2

Siklus hidup Meloidogyne spp. : Telur (A), Larva I (B), Larva II
(C), Larva III (D), Larva IV (E), Larva V (dewasa) (F), Nematoda
jantan dan betina (G)
(http://plpnemweb.ucdavis.edu/nemaplex/taxadata/G076.HTM) ...
Pola perineal M. javanica, M. arenaria, M. hapla, M. incognita
(http://plpnemweb.ucdavis.edu/nemaplex/taxadata/G076.HTM) ...

6

3

Pola pengambilan sampel tanaman krisan …...................................

10
14

4

Gejala infeksi NPA pada pertanaman krisan di daerah Bogor (A)
dan Cianjur (B), Pertumbuhan tanaman menjadi terhambat dan
layu (C) dan bagian akar terdapat puru (D dan E) ...........................

23

Pertanaman krisan di Sukabumi (A), Akar krisan tidak
menunjukkan gejala puru (B) ........................................................

25

Telur Meloidogyne dengan perbesaran mikroskop 200x terdapat
pada krisan varietas 04 (A), Puma (B), Elza (C) dan Karyushi (D)

27

Bagian anterior (A) dan posterior (B) larva Meloidogyne spp.,
dengan perbesaran mikroskop 400x ...............................................

28

Nematoda jantan Meloidogyne spp. dengan perbesaran mikroskop
50x ........................................................……………….………..…

28

Bagian anterior nematoda jantan M. javanica (A), Bagian anterior
nematoda jantan M. incognita (B), Bagian posterior nematoda
jantan (C) dengan perbesaran mikroskop 400x ..............................

29

10 Nematoda betina dewasa Meloidogyne yang terdapat pada
pertanaman krisan di Bogor dan Cianjur (A), Pola perineal M.
javanica (B), M. incognita (C), M.arenaria (D) ............................

30

11 Visualisasi hasil PCR Meloidogyne spp. dari empat varietas krisan
di Bogor dan Cianjur dengan primer M. javanica (720 bp) pada
1% gel agarose: M = marker 100 bp, 1 = varietas 04, 2 = varietas
Puma, 3 = varietas Elza, 4 = varietas Karyushi .............……..........

32

12 Visualisasi hasil PCR Meloidogyne spp. dari empat varietas krisan
di Bogor dan Cianjur dengan primer M. arenaria (420 bp) dan M.
incognita (999 bp) pada 1% gel agarose, M = marker 100 bp dan 1
Kb ; 1 = varietas 04, 2 = varietas Puma, 3 = varietas Elza, 4 =
varietas Karyushi ...........................................………………..........

33

13 Pohon filogeni M. javanica yang menginfeksi krisan di Jawa Barat
(Indo-5E-F dan Indo 7H-F) dengan M. javanica yang ada di Cina
dan M. arenaria yang ada di USA menggunakan metode
Neighbour Joining dengan program Mega 5.05...............................

34

5
6
7
8
9

14 Visualisasi fragmen DNA hasil PCR Meloidogyne spp. dari empat
varietas krisan di Bogor dan Cianjur menggunakan primer M.
javanica pada elektroforesis gel agarose 1%. K(+) = DNA 5♀, K
(-) = DNA tanaman, M = marker 100 bp;1P, 3P, 5P, 7P dan 9P =
DNA Meloidogyne dari puru akar krisan; 1♀, 3♀, 5♀,7♀dan 9♀=
DNA Meloidogyne dari nematoda betina (♀) ..................................

35

15 Frekuensi nematoda betina Meloidogyne spp. dalam setiap puru ...

35

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Krisan (Dendranthema grandiflorum Tzvelev) merupakan komoditas
hortikultura penting yang menempati urutan kedua setelah Gerbera dalam tiga
besar trend komoditas ekspor tanaman hias di Indonesia selama tahun 2010
(Barantan 2011). Kebutuhan masyarakat terhadap bunga krisan semakin
meningkat dari tahun ke tahun ditandai dengan peningkatan produksi selama
sebelas tahun terakhir. Pada tahun 2000 produksi krisan tercatat 2.3 juta tangkai.
Pada tahun 2001 dan 2002 meningkat menjadi masing-masing 7.4 dan 25.8 juta
tangkai, dan hingga pada tahun 2010 tercatat 185.3 juta tangkai. Namun demikian,
selama periode 2009-2010 terjadi penurunan luas panen krisan di beberapa sentra
produksi krisan di Indonesia seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat
dan Sulawesi Utara (BPS 2011).
Sistem usaha pertanian krisan di Indonesia menghadapi berbagai kendala
yang berkaitan dengan produktivitas dan kualitas tanaman. Salah satu
penyebabnya adalah infeksi penyakit oleh nematoda parasit tanaman, yaitu
nematoda puru akar (NPA). NPA adalah nama umum untuk spesies Meloidogyne.
Nematoda ini mampu menyerang lebih dari 2000 spesies tanaman dan
mengakibatkan kehilangan hasil panen sebesar 5-20% (Agrios 2005). Kehilangan
hasil pada berbagai tanaman pertanian yang disebabkan oleh Meloidogyne spp.
sendiri maupun kombinasi dengan penyakit lain diperkirakan sebesar 10-12% per
tahun, terutama di daerah tropis dan subtropis (Sasser et al. 1981). Philis (1997)
melaporkan bahwa kehilangan hasil panen carnation (Dianthus caryophillus) di
Cyprus yang diakibatkan oleh infeksi NPA mencapai 25%.
Kerusakan tanaman karena nematoda parasit sering kurang disadari baik
oleh petani maupun petugas yang bekerja di bidang pertanian. Hal ini mungkin
disebabkan tanda penyakit nematoda sulit diamati secara kasat mata karena
ukurannya sangat kecil. Sedangkan perkembangan gejala yang tampak di atas
permukaan tanah sangat lambat, tidak spesifik, mirip atau bercampur dengan
gejala kekurangan unsur hara dan air. Selain itu, gejala infeksi nematoda pada

2
tanaman tidak drastis, bahkan sering tertutup oleh gejala infeksi penyakit lain
(Mustika 2010).
Berdasarkan

pada

lampiran

Peraturan

Menteri

Pertanian

Nomor

93/Permentan/OT.140/12/2011, Tanggal 29 Desember 2011, Tentang Jenis-jenis
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) Golongan I Kategori A1
dan A2, Golongan II Kategori A1 dan A2, Tanaman Inang, Media Pembawa dan
Daerah Sebarnya, terdapat enam OPTK A2 yang berpotensi menurunkan
produktivitas dan kualitas tanaman krisan, yaitu : Meloidogyne hapla Chitwood,
Chaetanaphothrips orchidii, Liriomyza trifolii Burgess, Erwinia chrysanthemi
(Bulkholder, Mc. Fadden & Dimock), Pseudomonas cichorii, Tomato spotted wilt
tospovirus. OPTK A2 adalah organisme pengganggu tumbuhan yang sudah ada di
Indonesia dan keberadaannya masih terbatas.
Indonesia mengekspor krisan berupa bibit maupun bunga potong ke
beberapa negara seperti Jepang, Belanda, Thailand, Saudi Arabia dan Timor Leste
(Barantan 2011). Menghadapi era pasar global yang ditandai oleh persaingan yang
ketat antar negara, segenap pelaku pada sistem agribisnis harus mengetahui,
memahami dan mempraktekkan berbagai peraturan Sanitary and Phytosanitary
Measures (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT) dalam rangka perencanaan
dan pelaksanaan ekspor produk pertanian. Salah satunya dengan memenuhi
persyaratan kesehatan tanaman yang disertifikasi oleh Badan Karantina Pertanian.
International Plant Protection Convention (IPPC) dan SPS Agreement
memberlakukan kewajiban pada negara pengekspor untuk menyediakan informasi
tentang daftar Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang berpotensi
berasosiasi dengan komoditas yang diekspor kepada negara pengimpor (Barantan
2009). Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai NPA
yang berasosiasi dengan tanaman krisan menggunakan metode deteksi yang cepat
dan akurat sehingga dapat memberikan informasi yang benar tentang nematoda
yang berasosiasi dengan komoditas krisan yang diekspor kepada negara
pengimpor.

3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi spesies NPA yang berasosiasi
dengan tanaman krisan di sentra produksi krisan di Jawa Barat menggunakan
karakter morfologi dan molekuler.
Hipotesis
1. Terdapat beberapa spesies Meloidogyne yang berasosiasi dengan tanaman
krisan.
2. Metode deteksi Meloidogyne spp. berdasarkan karakter molekuler memberikan
hasil yang cepat dan akurat.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi baru tentang NPA yang berasosisasi dengan tanaman
krisan yang terdapat di sentra produksi krisan di Jawa Barat.
2. Hasil identifikasi nematoda dapat digunakan sebagai dasar ilmiah dalam
menentukan tindakan karantina untuk tujuan ekspor.
3. Metode deteksi yang digunakan dapat dijadikan pedoman dalam deteksi OPTK
dari golongan nematoda.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Nematoda Puru Akar (NPA)
Nematoda puru akar adalah nama umum untuk spesies Meloidogyne. Kata
Meloidogyne berasal dari bahasa Yunani melon (apel atau labu) + oides, oid
(menyerupai) + gyne (betina) = betina berbentuk apel (apple-shaped female)
(Singh & Sitaramaiah 1994). Klasifikasi Meloidogyne spp. terdiri dari: super
kingdom Eukaryota, kingdom Metazoa, phylum Nematoda, kelas Chromadorea,
ordo Tylenchida, family Meloidogynidae, subfamili Meloidogyninae, genus
Meloidogyne (CABI 2007).
Meloidogyne spp. merupakan nematoda penyebab penyakit tanaman
(phytonematodes) paling dikenal di seluruh dunia karena gejala pada bagian akar
sangat menonjol dan spesifik yaitu menyebabkan puru pada akar tanaman. Hingga
saat ini sekitar 100 spesies Meloidogyne yang telah dideskripsikan (Mitkowski &
Abawi 2003). Sebanyak enam spesies diantaranya menjadi perhatian utama
karena dapat menurunkan produksi tanaman dan merugikan secara ekonomi, yaitu
M. incognita, M. javanica, M. arenaria , M. hapla, M. chitwoodi dan M. fallax
(Adam et al. 2007).
Biologi, Ekologi dan Distribusi Geografis NPA
Biologi NPA
Meloidogyne spp. termasuk nematoda endoparasit menetap dan bersifat
obligat pada bagian akar dan umbi tanaman monokotil, dikotil, perdu dan
berkayu. NPA termasuk penyebab penyakit utama pada tanaman pangan, sayuran,
buah dan tanaman hias yang tumbuh di daerah tropis, subtropis, dan iklim sedang
(Nickle 1991).
Cara reproduksi dan siklus hidup Meloidogyne spp. sangat bervariasi antar
spesies, beberapa bereproduksi secara amfimiksis (cross-fertilization), ada juga
yang bereproduksi secara partenogenesis (obligatory mitotic parthenogenesis),
dan yang lain dengan cross-fertilization dan partenogenesis (facultative meiotic
parthenogenesis) (Eisenback et al. 1981). M. incognita, M. arenaria, M. hapla
(ras B) dan M. javanica bereproduksi secara mitosis partenogenesis. M. chitwoodi,

6
M. exigua dan M. hapla (ras A) bereproduksi secara meiosis partenogenesis
(Trianthaphyllou 1982) dan M. carolinensis, M. microtyla bereproduksi secara
amfimiksis (Castagnone-Sereno 2006). Spesies NPA yang partenogenesis
mempunyai perbandingan jenis kelamin bersifat epigenetik, yaitu sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti kepadatan koloni, kualitas tanaman
inang dan suhu. Ketika kondisi lingkungan menguntungkan, larva berkembang
menjadi betina, tetapi dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan,
berkembang menjadi nematoda jantan (Trianthaphyllou 1982).
Pada dasarnya semua spesies Meloidogyne mempunyai siklus hidup yang
sama. Skema siklus hidup Meloidogyne spp. sebagai berikut:

Gambar 1 Siklus hidup Meloidogyne spp. : Telur (A), Larva I (B), Larva II (C),
Larva III (D), Larva IV (E), Larva V (dewasa) (F), Nematoda jantan
dan betina (G)
(http://plpnemweb.ucdavis.edu/nemaplex/taxadata/G076.HTM)

7
Tahap pertama siklus hidup dimulai dari telur. Nematoda betina dewasa
berada di dalam akar menghasilkan telur yang disimpan dalam massa gelatin
(paket telur), sebagian atau semuanya melekat pada jaringan akar, menyelubungi
telur dan bertindak sebagai penghalang kehilangan air (CABI 2007). Terdapat
sekitar 400-500 telur berbentuk oval dalam satu paket telur, bahkan menurut
Shurtleff dan Averre (2000) sampai 1000 atau lebih. Ukuran paket telur kadang
lebih besar dari ukuran nematoda betina dewasa (Singh & Sitaramaiah 1994).
Selain nematoda dewasa dan telur, ada empat fase larva dan empat kali ganti
kulit dalam siklus hidup M. incognita. Larva I berkembang dalam telur, dan ganti
kulit pertama biasanya terjadi di dalam cangkang, kemudian berkembang menjadi
larva II, yang menembus ke dalam tanah atau jaringan tanaman. Larva II bergerak
ke arah akar dan menumpuk di ujung akar, membuat luka kecil atau penetrasi
bagian akar. Selanjutnya masuk ke jaringan korteks akar, kemudian bergerak di
dalam akar secara interseluler untuk mencari tempat makan di dalam jaringan
vaskuler. Meloidogyne spp. dapat menyebabkan terjadinya pembesaran sel yang
merupakan respon tanaman terhadap sekresi nematoda (CABI 2007).
Setelah nematoda mulai makan pada jaringan tanaman inang, ganti kulit
kedua, ketiga dan keempat terjadi sehingga masing-masing menjadi larva stadia
ketiga, keempat dan kelima atau dewasa. Fase ganti kulit, pertumbuhan dan
perkembangan nematoda bersamaan dengan perkembangan sistem reproduksi
pada kedua jenis kelamin. Larva II berganti kulit sebanyak tiga kali untuk menjadi
imago jantan dengan tubuh seperti cacing (vermiform). Imago jantan hidup di luar
akar dan tidak menginfeksi akar. Nematoda betina berbentuk seperti buah
pir/bulat (pyriform), menetap di dalam jaringan tanaman dengan bagian posterior
tubuhnya berada di permukaan akar. Betina dewasa mampu menghasilkan telur
dalam jumlah banyak dan sebagian besar spesies NPA bereproduksi secara
partenogenesis (Bekal & Lambert 2002).
Siklus hidup terjadi selama 25 hari pada suhu 27 ºC, tetapi dapat lebih
panjang tergantung pada tinggi rendah suhu lingkungan (Agrios 2005) dan
tanaman inang (Shurtleff & Averre 2000). Suhu optimum untuk siklus hidup M.
hapla adalah 15-25 ºC. Nematoda M. hapla dapat bertahan hidup pada kondisi
dingin (telur dan larva dapat bertahan pada suhu di bawah 0 °C). Namun

8
nematoda ini kurang toleran terhadap kondisi suhu yang tinggi. Suhu optimum
untuk siklus hidup M. javanica, M. incognita, dan M. arenaria sekitar 25-30 ºC.
M. javanica melengkapi siklus hidupnya selama 21-25 hari pada suhu 26-27 ºC
tetapi pada suhu 14-16 ºC

siklus hidupnya selama 50-60 hari (Singh &

Sitaramaiah 1994). Satu generasi M. arenaria berlangsung selama 3 minggu,
sedangkan pada kondisi dingin, siklus hidupnya berlangsung selama 2-3 bulan
(CABI 2007). Beberapa jam setelah dihasilkan telur oleh betina, terjadi
perkembangan embrio menjadi dua, empat, delapan sel dan seterusnya sampai
terbentuk larva melingkar di membran telur dengan dilengkapi stilet (Singh &
Sitaramaiah 1994).
Ekologi NPA
Nematoda parasit tanaman menggunakan kombinasi antara strategi bertahan
hidup dan perilaku fisiologis untuk mengatasi kendala faktor biotik dan abiotik.
Bagi nematoda endoparasit, bertahan di dalam jaringan tanaman atau membatasi
mobilitas di lingkungan tanah merupakan cara menghindari kendala faktor biotik
seperti serangan predator. Beberapa nematoda mempunyai kutikula yang tebal
untuk melindungi diri dari serangan predator. Nematoda ektoparasit mempunyai
strategi pertahanan diri dengan cara berpindah-pindah dari satu inang ke inang
yang lain. Faktor suhu dan ketersediaan air menjadi kendala faktor abiotik bagi
nematoda. Kemampuan cryptobiosis yang dimiliki nematoda menjadikan
nematoda mampu mengatasi kekeringan, panas dan dingin sehingga dapat
bertahan hidup (Bekal & Lambert 2002).
Distribusi Geografis
Kebanyakan NPA terdapat di daerah sekitar perakaran tanaman antara 5
sampai 25 cm dari permukaan tanah. Penyebaran NPA terutama oleh air atau
tanah yang menempel pada peralatan pertanian atau terinfeksi oleh bahan tanam
yang diangkut dari daerah terinfeksi ke daerah yang bebas infeksi (Agrios 2005).
M. incognita, M. javanica, M. arenaria terutama tersebar di daerah tropis,
sedangkan M. hapla, M. chitwoodi dan M. fallax terdapat di daerah dengan iklim
sedang dan dingin (Adam et al. 2007). M. arenaria, M. hapla, M. incognita dan

9
M. javanica sudah ditemukan di Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara dan Sulawesi.
Nematoda tersebut juga ditemukan dan tersebar di wilayah Asia, Amerika,
Oceania, Eropa dan Afrika. Keberadaan M. chitwoodi masih terbatas di Eropa,
Afrika Selatan dan Amerika sedangkan M. fallax terdapat di Eropa dan wilayah
Oceania (CABI 2007).
Delapan spesies NPA yang belum terdapat di Indonesia dan tercantum
dalam daftar OPTK A1 Badan Karantina Pertanian, yaitu : M. acronea, M.
brevicauda, M. chitwoodi, M. cofeicola, M. decalineata, M. exigua Goeldi, M.
naasi, M. oteifae (elm).
Morfologi NPA
Bentuk pola perineal (perineal pattern) nematoda betina dewasa merupakan
karakter utama dalam identifikasi spesies NPA secara morfologi. Karakter lain
yang dapat digunakan untuk idenfitikasi secara morfologi, yaitu bentuk nematoda
pada setiap tahap siklus hidup, bentuk bagian tubuh dan ukuran dari larva dan
nematoda jantan (Eisenback et al. 1980).
Larva nematoda fase pertama dan kedua berbentuk seperti cacing dan
berkembang di dalam telur masing-masing. Nematoda jantan dan betina dewasa
spesies NPA mudah dibedakan berdasarkan bentuknya. Nematoda jantan
berbentuk vermiform, yaitu bentuk tubuhnya seperti cacing dengan panjang tubuh
1.2-1.5 mm dan diameter 30-36 µm (Agrios 2005). Pada bagian kepala terdapat
lubang mulut, bibir, stilet, lubang kelenjar dorsal (Dorsal Esophageal Gland
Orifice/DEGO)

dan

median

bulb.

Bagian

tubuh

terdapat

oesophagus

(kerongkongan) dan intestine (usus) serta bagian ekor terdapat spikula dan
gubernakulum (Nickle 1991). Nematoda betina dewasa berbentuk pyriform, yaitu
bentuk tubuhnya seperti buah pir/bulat dengan panjang tubuh 0.40-1.30 mm dan
lebar 0.27-0.75 mm (Agrios 2005).
Metode pola perineal (perineal pattern) sering digunakan untuk
membedakan spesies NPA berdasarkan bentuk lengkungan pada bagian posterior
nematoda betina dewasa (Eisenback et al. 1980). Bentuk lengkungan pada bagian
posterior dijadikan penciri utama untuk membedakan spesies NPA (Gambar 2).

10

M. javanica

M. arenaria

M. hapla

M. incognita

Gambar 2 Pola perineal M. javanica, M. arenaria, M. hapla, M. incognita
(http://plpnemweb.ucdavis.edu/nemaplex/taxadata/G076.HTM)
Morfologi M. javanica
M. javanica memiliki telur berbentuk oval dengan panjang 71-89 (81) µm
dan lebar 27-35 (30) µm. Larva berbentuk vermiform dengan ukuran panjang
402-560 µm. Panjang ekor berukuran 51-63 µm dengan ujung ekor yang
membulat hingga runcing, panjang stilet 10-12 µm. Nematoda jantan berbentuk
vermiform memiliki panjang tubuh 757-1297 µm, stilet kuat dengan panjang
sekitar 18-22 µm. M. javanica betina berbentuk pyriform dengan ukuran panjang
541-804 (657) µm dan lebar 311-581 (431) µm. Memiliki stilet yang kuat dengan
panjang 14-18 (16) µm. Pola perineal dengan ciri utama adanya garis lateral yang
memisahkan lengkung dorsal dan lengkung ventral (Eisenback et al. 1991).
Morfologi M. arenaria
M. arenaria memiliki larva berbentuk vermiform dengan ukuran panjang
398-605 (504) µm dan lebar 13-18 (15) µm. Larva M. arenaria memiliki ekor
yang panjang, berukuran 44-69 (56) µm dengan ujung ekor yang membulat
hingga runcing, memiliki stilet yang panjang, berukuran 10-12 (11) µm.
Nematoda jantan berbentuk vermiform dengan panjang tubuh 0.9-2.3 mm dan
lebar 27-48 µm. Jantan memiliki stilet yang kuat dengan panjang 20-28 (23µm)
dan bagian ujungnya runcing. Betina. M. arenaria berbentuk pyriform, berwarna
putih mutiara dengan ukuran panjang 500-1000 µm dan lebar 400-600 µm.
Nematoda betina memiliki stilet yang kuat dengan ukuran panjang 13-17 (16) µm.
Pola perineal mempunyai ciri pertemuan lengkung dorsal dan ventral membentuk

11
seperti bahu, ujung tonjolan kutikula bercabang seperti garpu (Eisenback et al.
1991).
Morfologi M. hapla
M. hapla memiliki telur berbentuk oval dengan ukuran panjang 71-91 (78)
µm dan lebar 26-40 (31) µm. Larva memiliki panjang tubuh berukuran 312-355
(337) µm, panjang ekor 33-48 (43) µ m dan panjang stilet 10-12 (11) µm.
Nematoda jantan memiliki panjang tubuh berukuran 791-1432 (1139) µm,
panjang stilet 17.3-22.7 (20.0) µm dan lebar pangkal stilet 2.5-5.0 (3.5) µm,
panjang spikula 21.6-28.1 (25.7) µm dan panjang gubernakulum 7.2-9.4 (8.2) µm.
Nematoda betina berbentuk pyriform dengan ukuran panjang 419-845 (612) µm
dan lebar 311-561 (430) µm, memiliki stilet yang panjangnya 10-13 (11) µm dan
lebar pangkal stilet 2-3 (2) µm. Pola perineal memiliki ciri adanya tonjolantonjolan seperti duri pada daerah ujung ekor (Eisenback et al. 1991).
Morfologi M. incognita
M. incognita memiliki telur berbentuk oval dengan panjang 63-90 µm dan
lebar 24-37 µm (32 µm). Larva berbentuk vermiform dengan ukuran panjang 346463 (405) µm. Panjang ekor berukuran 42-63 (52) µm dengan ujung ekor yang
membulat hingga runcing, panjang stilet 10-12 µm. Nematoda jantan berbentuk
vermiform, panjang tubuh 1108-1953 µm memiliki stilet yang kuat dengan
panjang 23-25 µm dan bagian ujungnya runcing. Nematoda betina berbentuk
pyriform, dengan ukuran panjang 500-723 (609) µm dan lebar 331-520 (415) µm.
Betina M. incognita dilengkapi stilet yang kuat dengan ukuran panjang 13-16 (14)
µm. Pola perineal memiliki ciri lengkung dorsal berbentuk persegi (Eisenback et
al. 1991).
Karakterisasi NPA Berdasarkan Molekuler
Metode identifikasi berdasarkan karakter morfologi memerlukan banyak
keterampilan dan sering tidak meyakinkan untuk suatu spesies karena mempunyai
variasi bentuk dan ukuran dalam suatu populasi. Identifikasi NPA berdasarkan
karakter molekuler dengan metode Polymerase Chain Reaction

(PCR)

merupakan alternatif deteksi untuk spesies Meloidogyne (Zijlstra et al. 2000).

12
Reaksi

berantai

PCR

adalah

suatu

metode

enzimatis

untuk

melipatgandakan secara eksponensial suatu sikuen nukleotida tertentu dengan cara
in vitro. Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan, yaitu
fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu
sikuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk
mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) terdiri
atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim
yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga
penting adalah senyawa bufer. Proses PCR terjadi di dalam mesin PCR yang
disebut thermocycler (Yuwono 2006).
PCR dilakukan untuk 30-40 siklus dalam mesin thermocycler dengan
program pemanasan dan pendinginan. Tiap siklus reaksi PCR terdiri atas tiga
tahap, yaitu pemisahan untai DNA (denaturation) terjadi pada suhu 95 °C selama
3-4 menit, penempelan primer (annealing) pada suhu 55-60 °C selama 1-2 menit
dan pembentukan untai DNA baru (extension) pada suhu 70 °C selama 1-2 menit
(Hooper et al. 2005).
Metode diagnosa berbasis PCR telah dikembangkan di Inggris dan Amerika
Serikat. Teknik ini cepat dan relatif mudah digunakan walaupun di laboratorium
terpencil dan laboratorium dengan fasilitas terbatas (Dickinson 2005). Kondisi ini
berbeda dengan di Indonesia, untuk deteksi dengan metode PCR diperlukan
persiapan sarana, prasarana dan sumber daya manusia (SDM) yang memadai.
Peralatan yang diperlukan dalam proses PCR adalah mesin PCR, gel
elektroforesis,

alat

dan

sistem

untuk

memvisualisasikan

hasil

(UV

transilluminator dan kamera). Sumber daya utama yang diperlukan adalah enzimenzim, bahan kimia dan peralatan plastik sekali pakai (Dickinson 2005).
Diagnosa berbasis DNA memberikan solusi yang menarik karena tidak
bergantung pada ekspresi genom yang dihasilkan, tidak terpengaruh oleh kondisi
lingkungan dan tahap siklus hidup nematoda, sehingga berpotensi sangat
diskriminatif (Zijlstra et al. 2000). Pada laporan yang lain Zijlstra (2000)
berpendapat bahwa identifikasi spesies NPA yang akurat adalah persyaratan
mendasar sebelum program penelitian atau strategi manajemen yang tepat dapat
diterapkan khususnya bagi organisme pengganggu tumbuhan karantina.

13
Menurut Adam et al. (2007) beberapa metode identifikasi molekuler yang
pernah dilakukan untuk mendeteksi Meloidogyne spp yaitu PCR oleh Harris et al.
(1990) berhasil melakukan amplifikasi DNA mitokondria dari larva dengan reaksi
PCR. Metode tersebut dikembangkan oleh Power dan Harris (1993) dengan
merancang primer untuk amplifikasi daerah antara kode gen mitokondria untuk
oksidasi sitokrom sub unit II dan primer 16S rRNA dan digunakan untuk
mengidentifikasi lima spesies Meloidogyne yaitu : M. incognita, M. javanica, M.
arenaria, M. hapla dan M. chitwoodi.
Metode identifikasi NPA berdasarkan PCR juga dilakukan oleh Cenis
(1993) dengan amplifikasi hasil random amplified polymorphic DNA (RAPD)
dari larva nematoda dalam dua reaksi terpisah berhasil menghasilkan amplifikasi
pita spesies diagnostik dengan beberapa pita minor, meskipun sebagian reaksi
tidak berhasil mengamplifikasi pita. Sementara itu Williamson et al. (1997)
berhasil mengidentifikasi M. hapla dan M. chitwoodi menggunakan primer khusus
sequence characterized amplified region (SCAR) untuk amplifikasi ekstrak DNA
dari larva nematoda menggunakan metode gabungan proteinase K. Pada tahun
2000, Ziljstra menggunakan metode nested PCR untuk mengidentifikasi M. hapla,
M. chitwoodi dan M. fallax dengan primer SCAR. Sedangkan Randig et al. (2001)
berhasil menggunakan empat reaksi PCR dari ekstrak individu betina NPA. Barubaru ini Meng et al. (2004) merancang primer khusus SCAR untuk
mengidentifikasi spesies Meloidogyne dari larva nematoda dan tiga reaksi PCR
diperoleh dari ekstraksi larva spesies ini. Adam et al. (2007) membuat kunci
identifikasi molekuler dan ukuran pita DNA untuk Meloidogyne spp. (Lampiran
2).

15

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nematologi, Laboratorium
Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor dan Laboratorium Fitopatologi Balai Uji Terap Teknik dan
Metode Karantina Pertanian (BUTTMKP) Bekasi, sejak Oktober 2011 hingga
Maret 2012.
Metode Penelitian
Pengamatan Gejala Penyakit Tanaman
Pemilihan lahan dan pendataan. Lahan yang digunakan untuk
pengambilan sampel krisan adalah sentra produksi krisan di daerah Jawa Barat,
yaitu: Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Pada saat pengambilan sampel dilakukan
pendataan untuk mendapatkan informasi tentang lokasi kebun, luas kebun,
ketinggian tempat, jenis tanah, suhu, kelembaban, varietas krisan yang ditanam
dan teknik budidaya.
Pengambilan sampel tanaman krisan. Pengambilan sampel tanaman
krisan dilakukan untuk mengetahui kejadian penyakit akibat infeksi NPA pada
lahan pertanaman dan untuk identifikasi nematoda dari tanaman bergejala NPA.
Sampel tanaman diambil secara sistematis (Gambar 3) berdasarkan pola
pengambilan sampel menurut Coyne et al. (2007).

Keterangan:

= sampel tanaman krisan

= tanaman krisan dalam bedengan

Gambar 3 Pola pengambilan sampel tanaman krisan

16
Jumlah sampel yang diambil untuk masing-masing varietas krisan sebanyak
20 tanaman, dari setiap sentra produksi yang mewakili kondisi lahan pada
pertanaman krisan.
Sampel yang diambil berupa akar dan tanah di daerah perakaran. Tanaman
yang bergejala dicabut kemudian dipisahkan antara bagian akar dan tanahnya.
Selanjutnya sampel dimasukkan dalam polybag, diberi label yang berisi
keterangan tentang lokasi kebun, umur tanaman, varietas dan tanggal pengambilan
sampel kemudian diletakkan dalam tempat terlindung untuk mencegah terjadinya
kerusakan akibat fluktuasi suhu dan kelembaban selama perjalanan ke
laboratorium Nematologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian IPB.
Menghitung kejadian penyakit akibat infeksi Meloidogyne spp.
Kerusakan tanaman oleh infeksi nematoda merupakan kerusakan mutlak atau
yang dianggap mutlak. Penilaian kejadian penyakit tanaman menurut Agrios
(2005):
Jumlah sampel tanaman yang terifeksi
Kejadian penyakit =

x 100%
Jumlah semua sampel tanaman

Tingkat keperidian Meloidogyne spp. Pengamatan terhadap tingkat
keperidian NPA bertujuan untuk mengetahui kemampuan nematoda dalam
menghasilkan keturunan. Tingkat keperidian diamati dengan menghitung jumlah
paket telur (massa telur) yang terdapat pada akar tanaman krisan. Penghitungan
paket telur pada akar tanaman krisan dengan mencuci akar perlahan-lahan untuk
membersihkan tanah yang menempel pada bagian akar kemudian direndam dalam
pewarna phloxine-B 0.15 g/l (15 mg phloxine B/100 ml aquades) selama 15 menit
(Luc et al. 2005). Selanjutnya akar tanaman dibilas dengan aquades dan ditiriskan.
Matriks gelatin paket telur akan terlihat berwarna merah jambu sampai merah
kemudian jumlah paket telur tersebut diamati menggunakan mikroskop stereo dan
dihitung dengan digital counter (Shoutey 1985). Hasil penghitungan dimasukkan
ke dalam tabel skala jumlah massa telur (Shurtleff dan Averre 2000) sehingga
didapatkan nilai indeks massa telur dari masing-masing varietas krisan.

17
Tabel 1 Indeks massa telur Meloidogyne spp. berdasarkan jumlah massa telur per
tanaman (Shurtleff & Averre 2000)
Jumlah massa telur

Indeks massa telur

0
1-2
3-10
11-30
31-100
>100

0
1
2
3
4
5

Ekstraksi sampel untuk mendapatkan nematoda Meloidogyne spp.
Sampel akar dan tanah yang didapatkan dari sentra produksi krisan diekstraksi
dengan metode pengabutan (Mistifier technique) dan metode corong Baermann
(Baermann Funnel) yang dimodifikasi (Luc et al. 2005).
Metode corong Baermann yang dimodifikasi dilakukan dengan mengambil
sampel tanah sebanyak 100 gram kemudian diletakkan di atas kertas tisu pada
corong Baermann. Selanjutnya diisi air bersih secara perlahan-lahan sampai
seluruh tanah di atas kertas tissue terendam dan diinkubasikan selama 48 jam.
Setelah 48 jam klem pada ujung selang dibuka dan air rendaman ditampung ke
dalam gelas Beaker. Apabila jumlah air terlalu banyak maka nematoda dapat
disaring melalui saringan Ø 20 µm (625≠), nematoda yang terperangkap pada
saringan diambil dengan cara menyemprotkan air dengan botol semprot, dan
airnya ditampung pada gelas beaker.
Metode pengabutan dilakukan untuk mendapatkan NPA. Bagian akar
tanaman yang telah diberi perlakuan pewarna phloxine-B, kemudian dimasukkan
ke saringan yang diletakkan diatas corong. Aliran air berupa kabut halus
disemprotkan di atas akar tanaman. Nematoda yang keluar dari akar ditampung
dalam gelas. Sampel tersebut diinkubasi selama empat hari di dalam mistifier
chamber. Metode ini memerlukan waktu lama tetapi proses pertukaran oksigen
yang terjadi lebih baik dan jika terdapat getah, tanah, atau kotoran yang menempel
di akar akan tercuci dan melunakkan jaringan akar sehingga memudahkan pada
saat mengeluarkan nematoda betina dari dalam jaringan tanaman.

18
Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter Morfologi
Hasil ekstraksi puru akar tanaman krisan diperiksa menggunakan
mikroskop stereo. Identifikasi diawali dengan mengumpulkan massa telur yang
tampak

berwarna

merah

setelah

diberi

pewarna

phloxine-B

sehingga

memudahkan dan memperjelas dalam identifikasi. Sebanyak 25 massa telur
diambil kemudian dibuat preparatnya. Bagian akar yang membengkak dibedah
dengan jarum pengait untuk mendapatkan nematoda betina.
Pembuatan preparat untuk nematoda betina sebanyak 25 slide dengan cara
memotong bagian anterior dan posterior dengan scalpel kemudian bagian
posterior dibersihkan dengan 45% asam laktat menggunakan jarum pengait
nematoda. Setelah itu potongan nematoda betina dipindahkan ke atas gelas objek
yang telah ditetesi dengan lactophenol blue dan ditutup dengan gelas penutup.
Gelas penutup direkat dengan cat kuku kemudian preparat diamati menggunakan
mikroskop kompon dengan perbesaran 400 x (Southey 1985).
Pembuatan preparat untuk fase telur, larva dan nematoda jantan dilakukan
dengan mengumpulkan masing-masing 25 preparat untuk telur, larva dan
nematoda jantan pada tempat terpisah, kemudian nematoda jantan dan larva
difiksasi dengan formalin acetic acid (FAA) dan diletakkan pada gelas objek yang
telah ditetesi lactophenol blue atau lactoglycerol lalu ditutup dengan gelas
penutup. Gelas penutup direkat dengan cat kuku kemudian preparat diamati
menggunakan mikroskop kompon dengan perbesaran 400 x (Shouthey 1985).
Identifikasi spesies Meloidogyne secara morfologi berdasarkan bentuk dan
ukuran dari telur, larva, nematoda jantan dan pola perineal (perineal pattern)
nematoda betina dewasa. Karakter morfologi yang digunakan adalah panjang dan
lebar telur; panjang tubuh dan panjang stilet larva; serta panjang tubuh, spikula,
stilet, knob stilet dan lebar knob stilet nematoda jantan. Pengukuran karakter
morfologi (morfometri) dilakukan dengan mikroskop kompon Zeiss type Scope.
A1-Axio dengan program Axio vision Release 4.8.2.
Hasil pengukuran larva dan nematoda jantan dianalisis dengan sidik ragam.
Jika diantara varietas terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf
nyata 5% dengan bantuan program Minitab 16. Sedangkan identifikasi nematoda
betina dewasa berdasarkan bentuk lengkungan dari pola perineal. Konfirmasi

19
spesies nematoda berdasarkan kunci identifikasi pada http://nematode.unl.edu,
kunci identifikasi Meloidogyne spp. oleh Eisenback et al. (1981) dan kunci
identifikasi NPA oleh Eisenback et al. (1991).
Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter Molekuler
Identifikasi NPA berdasarkan karakter molekuler dilakukan dengan metode
PCR. Tahapan identifikasi terdiri dari ekstraksi dan isolasi DNA, PCR, sikuen
hasil PCR.
Ekstraksi dan Isolasi DNA. Pada tahap ini dilakukan persiapan bahan kimia
yang akan digunakan untuk PCR dan ekstraksi DNA nematoda. Isolasi DNA
dilakukan dari puru akar dan nematoda betina dewasa Meloidogyne berdasarkan
metode Zouhar et al. (2000) yang dimodifikasi. Bahan kimia yang digunakan
adalah bufer ekstrak hexadecyltrimethylammonium bromide (CTAB) untuk
ekstraksi DNA dari puru akar. Bufer ekstrak CTAB terdiri dari : 50 mM Tris HCl
pH 8.0, 0.7 M NaCl, 10 mM ethylene-diamine-tetraacetic acid (EDTA), 1%
CTAB, 1% ß-mercaptoethanol. Bufer ekstrak untuk ekstraksi DNA nematoda
betina terdiri dari : 200 mM Tris HCl pH 8.5, 250 mM NaCl, 25 mM EDTA pH
8.0 dan 0.5% sodium dodecyl sulfate (SDS). Cara pembuatan bufer dicantumkan
pada Lampiran 1.
Puru akar sebanyak 1, 3, 5, 7 dan 9 digerus di dalam nitrogen cair, pada
mortar kemudian dilisis dengan 1 ml bufer ekstrak CTAB pada suhu 60 ºC selama
2 jam. Setiap 10 menit tabung mikro dibolak-balik untuk membantu proses lisis.
Tabung mikro diambil dari penangas air dan didinginkan selama 3-5 menit pada
suhu ruangan. Sebanyak 750 µl Chloroform dan Isoamilalkohol (24 : 1 v/v)
ditambahkan ke dalam tabung mikro untuk memisahkan DNA dari protein dan
komponen lain. Suspensi divorteks selama ± 3 menit kemudian disentrifugasi
selama 20 menit pada kecepatan 11000 rpm. Supernatan hasil sentrifugasi
ditambah sodium asetat (CH3COONa 3 M, pH 5.2) dengan perbandingan 1 : 10
dan dihomogenkan. Sebanyak 2.5 x volume ethanol 96% ditambahkan untuk
presipitasi DNA kemudian diinkubasi pada suhu -20 ºC selama 60 menit atau
semalam. Setelah disentrifugasi pada kecepatan 12 000 rpm selama 15 menit,
cairan dibuang . Ethanol 80% sebanyak 1 ml ditambahkan untuk mencuci pelet

20
(endapan DNA) dan disentfifugasi pada kecepatan 12 000 rpm selama 10 menit.
Cairan ethanol dibuang dan endapan DNA dikeringkan. Bufer TE pH 8.0
sebanyak 30-100 µl ditambahkan sesuai ketebalan endapan DNA kemudian DNA
yang didapatkan disimpan pada suhu -20 ºC hingga digunakan.
Ekstraksi

DNA dari

nematoda

betina

dewasa

dilakukan

dengan

memasukkan masing-masing sebanyak 1, 3, 5, 7 dan 9 nematoda betina dewasa ke
dalam tabung mikro 2 ml. Sampel tersebut ditambah bufer ekstrak (200 mM Tris
HCl pH 8.5, 250 mM NaCl, 25 mM EDTA pH 8.0 dan 0.5% SDS) sebanyak 150
µl dan digerus sampai halus menggunakan conical grinder steril. Selanjutnya
ditambahkan CI sebanyak 150 µl kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 11
000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil 100 µl dimasukkan ke dalam
tabung mikro baru, ditambah larutan CH3COONa 3 M, pH 5.2 sebanyak 0.5
volume, dibolak-balik kemudian disimpan pada suhu -20 ºC selama 10 menit.
Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 20 menit.
Supernatan diambil dan ditambah isopropanol, dibolak-balik kemudian disimpan
pada suhu ruang selama 30 menit. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 12
000 rpm selama 20 menit, supernatan dibuang dan ditambahkan ethanol 80%.
Suspensi disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 12 000 rpm,
supernatan dibuang dan endapan DNA dikeringkan. Bufer TE pH 8.0 sebanyak
30-100 µl ditambahkan sesuai ketebalan endapan DNA kemudian disimpan pada
suhu -20 ºC hingga digunakan.
Polymerase Chain Reaction. Setiap reaksi PCR terdiri dari 9.5 µl air bebas
nuklease, 12.5 µl 2x GoTaq ® Green Master mix, 1 µl primer Forward 10 µM, 1
µl primer Reverse 10 µM ditambah 1 µl DNA template sehingga jumlah volume
25 µl.
DNA diamplifikasi menggunakan tiga primer spesifik spesies