Pengaturan Intensitas Larutan Hara terhadap Pertumbuhan Tanaman Akar Wangi (Vetiveria zizanioides L.) yang Dibudidayakan Secara Aeroponik

PENGATURAN INTENSITAS LARUTAN HARA TERHADAP
PERTUMBUHAN TANAMAN AKAR WANGI (Vetiveria
zizanioides L.) YANG DIBUDIDAYAKAN SECARA
AEROPONIK

ENDRO PRIHERDITYO

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaturan Intensitas
Larutan Hara terhadap Pertumbuhan Tanaman Akar Wangi (Vetiveria zizanioides
L.) yang Dibudidayakan Secara Aeroponik adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Endro Priherdityo
NIM A24090038

ABSTRAK
ENDRO PRIHERDITYO. Pengaturan Intensitas Larutan Hara terhadap
Pertumbuhan Tanaman Akar Wangi (Vetiveria zizanioides L.) yang
Dibudidayakan Secara Aeroponik. Dibimbing oleh SLAMET SUSANTO dan
YUDI CHADIRIN.
Percobaan ini dilaksanakan guna mempelajari respon pertumbuhan
tanaman akar wangi atau vetiver (Vetiveria zizanioides L.) secara aeroponik.
Aplikasi aeroponik dilaksanakan di greenhouse University Farm Cikabayan
Kampus IPB Dramaga pada bulan Februari–Mei 2013. Percobaan menggunakan
Rancangan Kelompok Lengkap Teracak, 4 perlakuan 3 ulangan. Perlakuan yang
dilakukan adalah 1 menit pemberian durasi (On) 4 menit jeda (Off) 1 bibit per
lubang, 1 menit On 4 menit Off 2 bibit per lubang, 2 menit On 8 menit Off 1 bibit
per lubang, dan 2 menit On 8 menit Off 2 bibit per lubang. Hasil menunjukkan

bahwa perlakuan 2 menit On 8 menit Off 1 bibit per lubang dan perlakuan 2 menit
On 8 menit Off 2 bibit per lubang berpengaruh pada panjang akar tanaman vetiver.
Perlakuan 1 menit On 4 menit Off 2 bibit per lubang memiki jumlah akar
terbanyak. Seluruh perlakuan tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman vetiver,
kandungan klorofil, dan kehijauan daun vetiver. Secara keseluruhan, sistem
aeroponik menghasilkan pertumbuhan akar vetiver lebih baik dibandingkan
budidaya di lahan.
Kata kunci: akar wangi, aeroponik, hara, lingkungan mikro, vegetatif

ABSTRACT
ENDRO PRIHERDITYO. Nutrients Solution Intesity Control of Vetiver
(Vetiveria zizanioides L.) Growth in Aeroponic Cultivation. Supervised by
SLAMET SUSANTO and YUDI CHADIRIN.
The experiment was conducted to study the growth respons of vetiver
(Vetiveria zizanioides L) in aeroponic cultivation. Aeroponic application
implemented in greenhouse of University Farm IPB Dramaga, Bogor in FebruaryMay 2013. Experiment was using Randomized Complete Block Design, 4
treatments 3 replications. The treatments were 1 minute nutrients application (On)
4 minutes pause (Off) 1 seed per planting hole, 1 minutes On 4 minutes Off 2
seeds per planting hole, 2 minute On 8 minutes Off 1 seed per planting hole, 2
minutes On 8 minutes Off 2 seeds per planting hole. The result showed that the

treatment of 2 minutes On 8 minutes Off 1 seed per planting hole and the
treatment of 2 minutes On 8 minutes Off 2 seeds per planting hole affect on
vetiver root length. The treatment of 1 minute On 4 minutes Off 2 seeds per
planting hole had a highest number of roots result. All treatments did not affect to
plant height, chlorophyll content, and vetiver leafes greenness. Over all, aeroponic
system resulted root growth better than fields.
Key words: aeroponics, micro environments, nutrients, vegetative, vetiver

PENGATURAN INTENSITAS LARUTAN HARA TERHADAP
PERTUMBUHAN TANAMAN AKAR WANGI (Vetiveria
zizanioides L.) YANG DIBUDIDAYAKAN SECARA
AEROPONIK

ENDRO PRIHERDITYO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura


DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pengaturan Intensitas Larutan Hara terhadap Pertumbuhan
Tanaman Akar Wangi (Vetiveria zizanioides L.) yang
Dibudidayakan Secara Aeroponik
Nama
: Endro Priherdityo
NIM
: A24090038

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Slamet Susanto, MSc
Pembimbing I


Dr Yudi Chadirin, STP, MAgr
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah
budidaya akar wangi, dengan judul Pengaturan Intensitas Larutan Hara terhadap
Pertumbuhan Tanaman Akar Wangi (Vetiveria zizanioides L.) yang
Dibudidayakan Secara Aeroponik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Prof Dr Ir Slamet Susanto, MSc dan Dr Yudi Chadirin, STP, MAgr
selaku pembimbing skripsi,

2. Dr Ir Sudradjat, MS selaku dosen penguji yang telah banyak
member masukan dan saran terhadap skripsi ini,
3. Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP, MSi, dan Dr Ir Anas
Dinurrohman Susila, MSi yang juga telah banyak memberi saran
selama penelitian,
4. PT Indesso Aroma yang telah mendanai penelitian ini,
5. Prof Dr Ir Roedhy Poerwanto, MSc selaku pembimbing akademik
penulis,
6. Dr Yusuf Hendrawan dari Universitas Brawijaya,
7. Dr Muhammad Syukur, SP, MS dari Departemen Agronomi dan
Hortikultura IPB,
8. Ibu D. Seswita dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat,
9. Ibu Endang beserta staf Stasiun Klimatologi Klas I Darmaga,
10. Bapak Mamat beserta staf University Farm Kebun Percobaan
Cikabayan IPB,
11. Ulya Zulfa, SP; Resti Putri, SP; dan Nurul Fauziah, SP yang telah
dengan baik hati membantu selama penelitian,
12. Ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya,
13. Juga kepada seluruh sahabat penulis dan Socrates AGH 46 atas

semangat yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013
Endro Priherdityo

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN




Latar Belakang



Tujuan Penelitian



Hipotesis



TINJAUAN PUSTAKA

2

Tinjauan Botani, Ekologi, dan Ekonomi Tanaman Akar Wangi




Teknik Budidaya Akar Wangi di Indonesia



Teknologi Aeroponik dalam Budidaya Tanaman



METODE



Waktu dan Tempat



Bahan dan Alat




Analisis Data

4

Prosedur Penelitian

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Perumbuhan Vegetatif




Perkembangan Fisiologis Tanaman

10 


Kondisi Mikro Lingkungan Aeroponik

11 

KESIMPULAN DAN SARAN

16 

Kesimpulan

16 

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16 

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR TABEL
1 Tabel pengamatan parameter pertumbuhan vegetatif 10 MSP tanaman
vetiver yang dibudidayakan secara aeroponik
2 Tabel analisis kehijauan daun tanaman vetiver yang dibudidayakan
secara aeroponik
3 Tabel analisis kandungan klorofil tanaman vetiver pada sistem
aeroponik


11 
11 

DAFTAR GAMBAR
1 Pola pertumbuhan panjang akar (cm) vetiver secara aeroponik selama
10 MSP [n = 18]
2 Pola pertumbuhan jumlah akar (unit) vetiver secara aeroponik selama
10 MSP [n = 18]
3 Pola pertumbuhan jumlah daun (unit) vetiver secara aeroponik selama
10 MSP [n = 18]
4 Pola pertumbuhan jumlah anakan (unit) vetiver secara aeroponik
selama 10 MSP [n = 18]
5 Pola pertumbuhan tinggi tanaman (cm) vetiver secara aeroponik selama
10 MSP [n = 18]
6 Pola intensitas radiasi matahari (MJ m-2) selama perlakuan aeroponik
7 Pola suhu [°C] dan kelembaban nisbi (RH) [%] greenhouse tanaman
vetiver secara aeroponik pada 0–10 MSP
8 Pola suhu daerah perakaran (°C) tanaman vetiver secara aeroponik pada
0–10 MSP
9 Pola kehilangan air (liter hari-1 tanaman-1) pada 0–10 MSP.
10 Pola nilai EC (mmhos cm-1) pada 0–10 MSP
11 Pola nilai derajat keasaman (pH) larutan hara





10 
13 
13 
14 
14 
15 
15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai tengah dan sidik ragam parameter panjang akar (cm)
selama 10 MSP
2 Nilai tengah dan sidik ragam parameter jumlah akar (unit)
selama 10 MSP
3 Nilai tengah dan sidik ragam parameter jumlah daun (helai)
selama 10 MSP
4 Nilai tengah dan sidik ragam parameter jumlah anakan (unit)
selama 10 MSP
5 Nilai tengah dan sidik ragam parameter tinggi tanaman (cm)
selama 10 MSP

vetiver
19 
vetiver
19 
vetiver
20 
vetiver
21 
vetiver
21 

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Akar wangi (Vetiveria zizanioides L.) atau vetiver adalah tanaman tahunan
yang termasuk famili Graminae. Tanaman ini telah lama diketahui kegunaan dan
manfaatnya berupa akar dan minyak atsiri yang terkandung pada tanaman vetiver.
Santoso (1993) mengungkapkan bahwa vetiver telah menjadi komoditas yang
paling dicari oleh orang eropa sejak Perang Dunia I sebagai bahan baku dari
parfum. Terdapat tiga produsen utama vetiver di dunia, yaitu Haiti, Bourbon
Perancis di Pasifik, dan Garut di Indonesia. Setiap tahunnya, kebutuhan minyak
vetiver terus meningkat. Akan tetapi, kebutuhan ini masih terkendala dari segi
kuantitas dan kualitas produksi dari tanaman vetiver. Santoso (1993) serta Lutony
dan Rahmayanti (1994) menyatakan bahwa produksi tanaman vetiver dari
Indonesia hanya mampu memenuhi sekitar 20% dari kebutuhan minyak vetiver
dunia. Rendahnya kemampuan Indonesia dalam memasok kebutuhan tanaman
vetiver ini diduga karena teknik budidaya vetiver yang diterapkan oleh petani
vetiver di Indonesia masih tergolong tradisional.
Damanik (1995) menemukan permasalahan dalam agroindustri vetiver di
Indonesia, khususnya di Garut, adalah masalah pada tingkat produsen atau petani
yang masih terkedala dengan produktivitas vetiver yang rendah dan masih
menggunakan bibit jenis lokal tanpa adanya seleksi. Selain dari produktivitas,
masalah vetiver lainnya dinyatakan Kardinan (2005) adalah hasil minyak vetiver
yang masih belum seragam dan bermutu rendah. Salah satu solusi yang dapat
dilakukan guna mengatasi masalah tersebut adalah dengan penerapan teknologi
budidaya yang lebih maju. Teknologi yang lebih maju ini penting untuk
diterapkan guna meningkatkan produktivitas dan kualitas dari produksi tanaman
vetiver.
Salah satu teknologi maju dalam teknik budidaya adalah dengan
menggunakan sistem aeroponik. Aeroponik adalah sistem bercocok tanam dalam
media tanpa tanah dimana akar ditempatkan dalam media dan akar digantung serta
disemprotkan larutan hara (Resh 2004). Sistem aeroponik selama ini digunakan
dalam budidaya sayuran seperti selada, kubis, dan melon, serta jarang digunakan
pada tanaman selain sayuran. Sistem aeroponik populer diterapkan di Israel, Itali,
dan Amerika Serikat (Harris 1994).
Penerapan sistem aeroponik pada budidaya vetiver sangat memiliki peluang
besar untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas produk vetiver. Sistem
aeroponik yang tanpa menggunakan tanah dapat meminimalisir kerusakan akar
saat pemanenan. Roberto (2003) menjelaskan pada sistem aeroponik, tanaman
memiliki kesempatan mendapatkan oksigen hingga batas maksimum yang baik
dalam pertumbuhan akar, sehingga dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan
produktifitas tanaman vetiver.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendapatkan informasi pengaturan
rentang waktu pengairan yang sesuai untuk tanaman vetiver; (2) mendapatkan
informasi produktivitas dan kualitas produk tanaman vetiver yang dibudidayakan
secara aeroponik.
Hipotesis
1. Pemberian unsur hara secara terus menerus setiap 4 menit lebih baik dari 8
menit.

TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Botani, Ekologi, dan Ekonomi Tanaman Akar Wangi
Santoso (1993) menjelaskan bahwa tanaman akar wangi atau vetiver
(Vetiveria zizanioides L.) adalah tanaman yang berasal dari India, Birma, dan Sri
Lanka. Tanaman yang sudah digunakan di berbagai negara Asia, Amerika, Afrika,
dan Australia ini tidak diketahui secara pasti kapan mulai dibudidayakan di
Indonesia. Tanaman vetiver masih termasuk golongan Graminae dan mempunyai
bentuk berupa rumpun yang lebat, akar tunggal bercabang banyak, dan berwarna
kuning pucat atau abu-abu sampai merah tua. Rumpun pada vetiver memiliki anak
rumpun yang dapat dijadikan bibit. Panjang tangkai daun vetiver dapat mencapai
sekitar 1.5–2 meter. Tanaman vetiver mempunyai karakter daun yang kaku,
berwarna hijau sedang hingga kelabu, panjang sekitar 70–100 cm. Bunga tanaman
vetiver berwarna hijau atau ungu serta berada di pucuk tangkai daun.
Kardinan (2005) menerangkan vetiver tumbuh pada daerah dengan kisaran
curah hujan antara 200–6000 mm setiap tahun. Tanaman vetiver memiliki
toleransi terhadap cekaman kekeringan dan dapat tumbuh dari dataran rendah
hingga ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Meski dapat tumbuh
hingga 1000 mdpl, elevasi optimum tanaman vetiver untuk menghasilkan minyak
dengan kualitas baik adalah 700 mdpl dengan suhu optimum 17–27 ºC. Santoso
(1993) menyebutkan bahwa derajat keasaman [pH] optimum untuk tanaman akar
wangi adalah 6–7. Tanah yang terlalu masam akan menyebabkan pertumbuhan
tamaman menjadi kerdil, sedangkan tanah yang terlalu basa dapat menyebabkan
mineral Mg tidak dapat terserap sehingga bentuk akarnya kurus kecil. Trubus
(2009) menambahkan bahwa kondisi tanah yang optimum dengan tanaman vetiver
adalah tanah jenis berpasir atau tanah abu vulkanik. Jenis tanah berpasir dan abu
vulkanik akan mempermudah dalam kegiatan pemanenan tanaman vetiver karena
tidak merusak akar saat dicabut. Jenis tanah yang padat dapat menyebabkan
kerusakan saat pemanenan akar vetiver dan menghasilkan rendemen minyak yang
rendah. Tanaman vetiver membutuhkan kondisi intensitas penyinaran yang cukup
tinggi sehingga tidak sesuai apabila ditanam di bawah tanaman naungan karena
dapat menyebabkan pertumbuhan akar yang kurang baik.

3
Santoso (1993) menyebutkan bahwa nilai ekonomi tanaman vetiver
terdapat pada akarnya. Santoso (1993) dan Kardinan (2005) menjelaskan bahwa
60% dari bagian akar tanaman vetiver mengandung senyawa vetivenol (vetiverol).
Senyawa lain yang terdapat pada akar tanaman akar wangi adalah asam vetivenat,
trisiklovetiven, vetiverol ester, asam benzoate, asam palmitat, serta α dan β
vetiverone. Minyak dari akar wangi secara umum digunakan sebagai bahan baku
dari parfum, kosmetik, pewangi sabun, obat-obatan, dan pembasmi serangga.
Selain itu, minyak vetiver diketahui sebagai pengikat aktif (fiksatif) yang kuat.
Trubus (2009) menyatakan bahwa dalam 1 Hektar lahan tanaman vetiver dapat
menghasilkan 10 ton akar dan dipanen pada umur 18 bulan. Akar tersebut
kemudian diolah guna menghasilkan minyak vetiver dengan rendemen 1–1.5%.
Apabila penyulingan dilakukan dengan akar yang kering tanpa bonggol,
menghasilkan minyak dengan rendemen 0–1.5%. Harga minyak tanaman vetiver
dari penyulingan antara Rp800 000–Rp825 000 per kilo.
Teknik Budidaya Akar Wangi di Indonesia
Damanik (1995) menyatakan bahwa budidaya tanaman vetiver di
Indonesia secara umum masih diusahakan dalam skala usaha yang kecil. Para
petani tanaman vetiver masih menggunakan teknik budidaya tradisional dengan
sistem monokultur ataupun tumpang sari dengan sayuran. Bahan tanam tanaman
vetiver yang umumnya dipakai oleh para petani di Kabupaten Garut adalah
berasal dari bonggol jenis lokal tanpa adanya seleksi. Jarak tanam yang digunakan
sangatlah bervariasi, yaitu 20 × 20 cm, 25 × 30 cm, 30 × 30 cm, 30 × 40 cm, 40 ×
40 cm, 40 × 60 cm, dan 40 × 80 cm. Kegiatan budidaya tanaman vetiver secara
monokultur dilakukan praktis tanpa adanya kegiatan pemupukan ataupun
pemeliharaan lainnya. Kegiatan pemupukan dan pemeliharaan dilakukan apabila
tanaman vetiver dibudidayakan secara tumpang sari dengan sayuran.
Santoso (1993) mendeskripsikan teknik budidaya tanaman vetiver dengan
menggunakan sistem tanam di lapang. Tanaman vetiver ditanam menggunakan
bahan tanam berupa bonggol akar. Bonggol tanaman vetiver kemudian dipecahpecah sehingga setiap pecahan bonggol mempunyai mata tunas kemudian dapat
langsung ditanam di lapang atau melalui penyemaian terlebih dahulu guna
menumbuhkan tunas dan akar. Tanah sebelum dilakukan penanaman, terlebih
dahulu diolah dengan cara penggemburan. Setelah tanah gembur, baru kemudian
dibuat lubang tanam dengan ukuran panjang 30 cm, lebar 30 cm, dan kedalaman
10 cm. Pupuk kandang diberikan setelah pembuatan lubang tanam dengan dosis ±
1 kg setiap lubang dan dibiarkan terbuka selama 2 minggu guna mendapat sinar
matahari. Masa awal tanam yang baik adalah pada awal musim penghujan
dikarenakan pada fase awal pertumbuhan, tanaman vetiver membutuhkan air yang
cukup. Setelah tanah siap digunakan, bonggol yang sudah siap tanam kemudian
ditanam ke dalam lubang tanam yang sudah dibuat. Kegiatan pemeliharaan
budidaya vetiver dilakukan dengan cara penyulaman pada 2–3 minggu setelah
tanam (MST), penyiangan gulma pada 3 bulan awal sejak tanam, pembumbunan
yang dilakukan bersamaan dengan penyiangan, pemupukan pada umur 3, 9, dan
15 bulan, pemangkasan daun setelah berumur 6 bulan dan dilakukan setiap 3 atau
6 bulan sekali, dan pengendalian hama.

4
Teknologi Aeroponik dalam Budidaya Tanaman
Resh (2004) menjelaskan bahwa aeroponik adalah usaha bercocok tanam
dalam media tanpa tanah dimana akar ditempatkan dalam media dan akar
digantung serta disemprotkan larutan hara dalam bentuk kabut. Cara budidaya
seperti ini biasa dilakukan pada tanaman sayuran dan buah, seperti selada,
mentimun, melon dan tomat.
Pagliarulo dan Hayden (2002) menerangkan bahwa keunggulan sistem
budidaya aeroponik dibandingkan dengan budidaya konvensional adalah dalam
hal pertumbuhan akar. Selain pertumbuhan akar, keunggulan aeroponik yang lain
adalah: 1) akar bersih dari partikel-partikel tanah, organisme tanah, atau hal-hal
yang dapat mengkontaninasi tanaman; 2) aeroponik dapat meningkatkan
pertumbuhan akar dan pematangan fisiologi akar; 3) aeroponik berpotensi
menngkatkan produktivitas akar dan kandungan fitokimia karena ketersediaan
hara dan air pada aeroponik; 4) pertumbuhan akar dapat dimanipulasi dengan
pengaturan asupan hara, suhu, dan aplikasi aeroponik.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di greenhouse Kebun Percobaan Cikabayan Kampus
IPB Dramaga (240 mdpl) pada bulan November hingga Juli 2013. Perlakuan
dilaksanakan dari bulan Februari hingga Mei 2013. Pengamatan analisis
kandungan klorofil dilakukan di Laboratorium Spektofotometer-UV Departemen
Agronomi dan Hortikultura pada bulan Maret 2013. Pengambilan data intensitas
radiasi matahari dilakukan di Stasiun Klimatologi BMKG Dramaga, Bogor pada
bulan Mei 2013.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah 18 bibit tanaman vetiver varietas Verina 2
yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro),
Larutan nutrisi AB Mix Yoshida et al. (1979), dan styrofoam. Bibit berumur 3
bulan setelah tanam. Alat yang digunakan adalah mesin aeroponik, EC meter, pH
meter, busa tanam, termometer ruangan dan RH meter, termometer akar,
penggaris 30 cm, meteran, alat Soil Plant Analysis Development (SPAD). Mesin
aeroponik terdiri atas: tangki reservoir larutan hara, pompa air listrik, power
button, timer, selang air, pipa PVC, nozzel, dan rangka alat.

Analisis Data
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap
Teracak dengan 4 perlakuan 3 ulangan. Perlakuan yang dilakukan adalah :
A1
:1 menit pemberian durasi (On) 4 menit jeda (Off) 1 bibit per
lubang,

5
A2
:1 menit On 4 menit Off 2 bibit per lubang,
B1
:2 menit On 8 menit Off 1 bibit per lubang, dan
B2
:2 menit On 8 menit Off 2 bibit per lubang.
Total keseluruhan satuan percobaan adalah 12 satuan percobaan. Model
rancangan yang digunakan adalah:
     
(i = 1, … a; j = 1, …r)
Keterangan:
= respon pengamatan pertumbuhan akar wangi terhadap perlakuan
= nilai tengah umum
= pengaruh perlakuan α ke-i
= pengaruh kelompok
= pengaruh galat percobaan.
Data agronomis dan fisiologis diolah dengan menggunakan SAS 9.0.1 guna
mengetahui pengaruh perlakuan dengan menggunakan uji-F dan dilanjutkan
dengan uji Duncan dengan taraf 5% jika F-hitung berbeda nyata. Data lingkungan
mikro diolah menggunakan Microsoft Excel 2007 guna mengetahui pola
perkembangan tanaman vetiver selama penelitian berlangsung.
Prosedur Penelitian
Persiapan penelitian yang dilakukan berupa pemilihan bibit, penyemaian dan
pembibitan, pembuatan larutan hara, penelitian pendahuluan, dan uji coba alat
aeroponik. Pemilihan bibit dilakukan dengan menentukan bibit akar wangi yang
akan digunakan dan diperbanyak. Perbanyakan bibit akar wangi Verina 2
dilakukan dengan menggunakan anakan dan ditanam pada kompos sebagai media
tanam. Penyemaian dan pembibitan dilakukan di Kebun Percobaan Cikabayan
dimana satu anakan ditanam pada satu polybag berisi media tanam. Pembibitan
dilakukan hingga memiliki kondisi akar yang cukup baik. Pembuatan larutan hara
dilakukan dengan membuat larutan stok A dan B dengan konsentrasi berdasarkan
komposisi larutan AB Mix Yoshida et al. (1979) dan dimodifikasi berdasarkan
kebutuhan tanaman vetiver. Komponen hara yang digunakan adalah N (102.45
ppm), P (31.92 ppm), K (80.62 ppm), Ca (118.95 ppm), Mg (45.52 ppm), S (83.2
ppm), Fe (5 ppm), Mn (1.25 ppm), Zn (0.25 ppm), Mo (0.25 ppm), dan B (1 ppm).
Kisaran pH larutan adalah 5–6. Uji coba alat dilakukan dengan cara
mengoperasikan mesin sebelum aplikasi. Uji coba alat aeroponik ini guna mencari
efisiensi penggunaan air dan kebutuhan penggunaan hara selama masa aplikasi.
Tahap penelitian selanjutnya adalah pemindahan tanam serta penerapan
aplikasi aeroponik. Bahan tanam yang digunakan adalah bibit yang telah berumur
2 bulan dan dipilih dengan kriteria bibit sehat sebanyak 18 unit. Masing-masing
bibit yang telah siap kemudian ditanam di antara busa tanam sebagai penahan
bibit pada rangka lubang tanam mesin. Bibit yang telah ditanam pada busa,
kemudian digatung di antara rangka lubang tanam dengan akar menjulur ke bawah.
Jumlah bibit per lubang tanam disesuaikan dengan desain letak perlakuan. Setelah
tanaman tergantung dan sesuai dengan perlakuan, penyemprotan dilakukan sesuai
dengan durasi yang telah ditentukan pada mesin.
Selama perlakuan, dilakukan pemeliharaan terhadap kondisi tanaman dan
alat aeroponik. Pemeliharaan dilaksanakan selama periode tertentu, yaitu setiap

6
hari, seminggu sekali, dan sebulan sekali. Pemeliharaan pada setiap harinya
berupa pengecekan tanaman pengamatan lingkungan mikro, dan pengecekan
larutan hara. Pemeliharaan periode seminggu sekali berupa pengecekan nozzle,
sanitasi, pergantian larutan hara, pengamatan agronomis, dan pengendalian
organisme pengganggu tanaman (OPT) jika ditemukan. Pemeliharaan pada
periode bulanan adalah pengecekan mesin aeroponik dan pengamatan fisiologis
berupa warna hijau daun dengan alat SPAD. Peubah pengamatan agronomis yang
diamati adalah sebagai berikut:
1. Panjang akar (cm), diukur panjang ajar vetiver dengan
penggaris/meteran dari pangkal akar hingga unjung akar terpanjang
2. Jumlah akar (unit), diukur dengan cara menghitung jumlah akar primer
yang telah memiliki anak akar dan memiliki diameter > 2 mm.
3. Jumlah daun (helai), diukur dengan cara menghitung jumlah daun
vetiver yang telah terbuka sempurna
4. Jumlah anakan (unit), diukur berdasarkan anakan yang muncul.
5. Tinggi tanaman (cm), diukur dari pangkal batang hingga ujung daun
vetiver terpanjang dengan meteran.
Pengukuran kehijauan daun menggunakan alat SPAD dengan satuan nilai
adalah unit. Pengamatan kehijauan daun dilakukan setiap bulan hingga aplikasi
berakhir. Pengambilan data suhu greenhouse dilakukan setiap hari pada pagi
(07.00 WIB), siang (13.00 WIB), dan sore hari (18.00 WIB). Data suhu yang
diperoleh kemudian dibuat menjadi rata-rata suhu harian mengacu kepada
Tjasyono (2004). Pengukuran data kehilangan air dilakukan dengan menghitung
nisbah volume kehilangan larutan pada tangki selama 1 hari selama aplikasi
aeroponik. Pengukuran EC dilaksanakan setiap pagi dan sore hari dengan satuan
ppm, kemudian dikonversikan ke satuan mmhos cm-1 mengacu kepada Whipker
dan Cavins (2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Vegetatif
Peubah vegetatif digunakan guna melihat respon pertumbuhan tanaman
vetiver yang dibudidayakan secara aeroponik. Peubah vegetatif yang diamati
meliputi panjang akar (cm), jumlah akar (unit), jumlah daun (helai), jumlah
anakan (unit), dan tinggi tanaman (cm). Hasil uji statistik untuk pengamatan
panjang akar pada 10 minggu setelah perlakuan (MSP) menunjukkan perlakuan
durasi 2 menit On 8 menit Off 1 bibit per lubang dan perlakuan 2 menit On 8
menit Off 2 bibit per lubang berbeda secara nyata dibandingkan dengan perlakuan
lainnya (Tabel 1). Secara umum, panjang akar tanaman vetiver secara aeroponik
memiliki rentang panjang 81.33–106 cm (Tabel 1) dan memiliki pertumbuhan
yang baik selama 10 MSP (Gambar 1). Pengukuran jumlah akar dilakukan secara
manual dan dengan kriteria akar yang dihitung adalah akar yang sudah
berdiferensiasi dan memiliki rambut akar, serta berdiameter 1–3 mm. Perlakuan
yang memiliki jumlah akar terbanyak (Tabel 1) adalah perlakuan 1 menit On 4
menit Off 2 bibit per lubang dimana jumlah akar yang dimiliki adalah 133 unit.

7
Parameter jumlah akar (unit) tanaman vetiver berdasarkan hasil uji statistik
menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak berbeda nyata secara signifikan
terkecuali perlakuan 2 menit On 8 menit Off 1 bibit per lubang (Tabel 1)
meskipun terjadi pertambahan jumlah akar cukup signifikan pada 9–10 MSP
(Gambar 2).
Jumlah daun dihitung berdasarkan kriteria daun yang sudah terbuka.
Perlakuan 1 menit On 4 menit Off 2 bibit per lubang dan 2 menit On 8 menit Off
2 bibit per lubang berbeda nyata dibanding perlakuan lainnya dengan jumlah daun
195 dan 178 helai (Tabel 1). Pola pertumbuhan jumlah daun tanaman vetiver
selama 10 MSP menunjukkan peningkatan jumlah, terutama pada perlakuan yang
memiliki jumlah bibit 2 per lubang (Gambar 3). Jumlah anakan pada tanaman
vetiver yang dibudidayakan secara aeroponik memiliki rentang sekitar 12–32 unit
(Tabel 1). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan 1 menit On 4 menit
Off 1 bibit per lubang tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan. Perlakuan 1
menit On 4 menit Off 2 bibit per lubang tidak berbeda nyata dengan 2 menit On 8
menit Off 2 bibit per lubang, tetapi berbeda nyata bila dibandingkan dengan
perlakuan 2 menit On 8 menit Off 1 bibit per lubang. Pola pertumbuhan anakan
tanaman vetiver (Gambar 4) menunjukkan seluruh perlakuan memiliki
pertumbuhan yang baik. Hasil uji statistik pada parameter tinggi tanaman vetiver
menujukkan bahwa pada seluruh perlakuan tidak memiliki perbedaan yang
signifikan (Tabel 1).
Tabel 1 Pertumbuhan vegetatif tanaman vetiver yang dibudidayakan secara
aeroponik pada 10 MSP
Perlakuan

Panjang
akara
(cm)

Jumlah
akara
(unit)

Jumlah
dauna
(helai)

1 menit On, 4 menit Off, 1 bibit per lubang
1 menit On, 4 menit Off, 2 bibit per lubang
2 menit On, 8 menit Off, 1 bibit per lubang
2 menit On, 8 menit Off, 2 bibit per lubang

81.33b
83.33b
100.33a
106.00a

90.67b
133.00a
51.33c
101.33ab

125.33b
195.00a
84.00b
178.33a

Jumlah
anakana
(unit)
21.33ab
32.00a
12.33b
26.33a

Tinggi
tanamana
(cm)
142.33a
138.33a
129.67a
142.67a

Probabilitas
0.00
0.01
0.00
0.02
0.34
KK (%)
7.35
20.03
18.40
26.09
6.68
a
angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α=5%

Pertumbuhan panjang akar tanaman vetiver secara aeroponik (Tabel 1) lebih
panjang dibandingkan dengan penanaman di lapang, dimana rata-rata panjang
akar vetiver dengan budidaya lapang adalah 30–50 cm pada umur panen 12–14
bulan (Santoso 1993, Lutony dan Rahmayati 1994). Pemberian hara secara
intensif diduga mempengaruhi pertumbuhan panjang akar vetiver. Selain itu,
aplikasi aeroponik juga mendukung untuk pertumbuhan panjang akar seperti pada
pule pundak (Hamid 2000), kentang (Ritter et al. 2000), tomat dan selada
(Ziegler 2005). Roberto (2003) menyatakan aeroponik mempunyai peluang
meningkatkan produksi hingga 10 kali lipat dibandingkan budidaya di lahan. Pola
pertumbuhan panjang akar selama 10 MSP ditunjukkan pada Gambar 1. Secara
umum, seluruh perlakuan memiliki pola pertumbuhan panjang yang baik.
Pertumbuhan jumlah akar cenderung bervariasi antar masing-masing perlakuan

8
(Tabel 1). Respon masing-masing tanaman vetiver yang berbeda-beda pada
masing-masing perlakuan diduga menjadi sebab dari jumlah akar yang dihasilkan
bervariasi. Ruang tumbuh akar yang lebih luas pada sistem aeroponik juga diduga
mendukung pertumbuhan akar vetiver dengan baik.
140

Panjang akar (cm)

120
100
80
60
40
20
0
0

1

2

3

4
5
6
Minggu perlakuan

7

8

9

10

Gambar 1 Pola pertumbuhan panjang akar (cm) vetiver secara aeroponik selama 10
MSP [n = 18];
—◊— perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 1 bibit per lubang;
—฀— perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 2 bibit per lubang;
—∆— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 1 bibit per lubang;
—○— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 2 bibit per lubang.

140

Jumlah akar (unit)

120
100
80
60
40
20
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Minggu perlakuan
Gambar 2 Pola pertumbuhan jumlah akar (unit) vetiver secara aeroponik selama 10
MSP [n = 18];
—◊— perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 1 bibit per lubang;
—฀— perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 2 bibit per lubang,
—∆— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 1 bibit per lubang,
—○— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 2 bibit per lubang.

8
(Tabel 1). Respon masing-masing tanaman vetiver yang berbeda-beda pada
masing-masing perlakuan diduga menjadi sebab dari jumlah akar yang dihasilkan
bervariasi. Ruang tumbuh akar yang lebih luas pada sistem aeroponik juga diduga
mendukung pertumbuhan akar vetiver dengan baik.
140

Panjang akar (cm)

120
100
80
60
40
20
0
0

1

2

3

4
5
6
Minggu perlakuan

7

8

9

10

Gambar 1 Pola pertumbuhan panjang akar (cm) vetiver secara aeroponik selama 10
MSP [n = 18];
—◊— perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 1 bibit per lubang;
— — perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 2 bibit per lubang;
—∆— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 1 bibit per lubang;
—○— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 2 bibit per lubang.

140

Jumlah akar (unit)

120
100
80
60
40
20
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Minggu perlakuan
Gambar 2 Pola pertumbuhan jumlah akar (unit) vetiver secara aeroponik selama 10
MSP [n = 18];
—◊— perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 1 bibit per lubang;
—฀— perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 2 bibit per lubang,
—∆— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 1 bibit per lubang,
—○— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 2 bibit per lubang.

9

250

Jumlah daun (unit)

200
150
100
50
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Minggu perlakuan
Gambar 3 Pola pertumbuhan jumlah daun (unit) vetiver secara aeroponik selama 10
MSP [n = 18];
—◊— perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 1 bibit per lubang;
—฀— perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 2 bibit per lubang;
—∆— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 1 bibit per lubang;
—○— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 2 bibit per lubang.

35

Jumlah anakan (unit)

30
25
20
15
10
5
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Minggu perlakuan
Gambar 4 Pola pertumbuhan jumlah anakan (unit) vetiver secara aeroponik selama
10 MSP [n = 18];
—◊— perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 1 bibit per lubang;
—฀— perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 2 bibit per lubang;
—∆— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 1 bibit per lubang;
—○— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 2 bibit per lubang.

10

160

Tinggi tanaman (cm)

140
120
100
80
60
40
20
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Minggu perlakuan
Gambar 5 Pola pertumbuhan tinggi tanaman (cm) vetiver secara aeroponik selama
10 MSP [n = 18];
—◊— perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 1 bibit per lubang;
—฀— perlakuan 1 menit On 4 menit Off dan 2 bibit per lubang;
—∆— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 1 bibit per lubang;
—○— perlakuan 2 menit On 8 menit Off dan 2 bibit per lubang.

Hasil pengamatan jumlah daun (Tabel 1) menunjukkan bahwa minim terjadi
persaingan hara antar individu dalam satu lingkungan tumbuh selama penelitian
ini berlangsung. Faktor morfologi daun vetiver yang menyirip dan mempunyai
tajuk yang tegak sehingga memberikan ruang untuk tanaman tumbuh tanpa ada
kompetisi yang nyata, serta sistem aeroponik yang menyediakan ruang untuk akar
menyerap hara dengan bebas, diduga menjadi penyebab mengapa persaingan antar
individu tanaman vetiver dalam satu lingkungan tumbuh dapat diminimalisir
(Fitter dan Hay 1991, Pagliarulo dan Hayden 2002). Respon yang bervariatif
masing-masing individu tanaman vetiver terhadap perlakuan ditunjukkan dengan
jumlah anakan yang dihasilkan. Perbedaan yang tidak nyata pada pengamatan
tinggi tanaman diduga disebabkan respon tanaman tidak terpengaruh oleh
perlakuan yang diberikan. Seluruh pertumbuhan tinggi tanaman vetiver terus
tumbuh selama 10 MSP dan tidak menunjukkan perbedaan yang signifkan antar
perlakuan (Gambar 5).
Perkembangan Aspek Fisiologis Tanaman
Kehijauan daun atau intensitas warna daun merupakan indikator tanaman
mendapat nutrisi yang cukup. Pengamatan kehijauan daun (Tabel 2) pada bulan
pertama, nilai kehijauan daun tanaman vetiver memiliki rentang 36.06–43.3 unit.
Pengamatan pada bulan kedua, nilai kehijauan daun memiliki rentang 32.69–39.6
unit. Pengamatan pada bulan ketiga didapat rentang kehijauan daun vetiver aalah
54.17–70.69 unit. Seluruh perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
baik antar perlakuan ataupun hingga aplikasi berakhir (Tabel 2).

11
Tabel 2 Kehijauan daun tanaman vetiver yang dibudidayakan secara aeroponik
Perlakuan

Bulan 1

Bulan 2
Bulan 3
Unit a
1 menit On, 4 menit Off, 1 bibit per lubang
38.52a
38.80a
54.17a
1 menit On, 4 menit Off, 2 bibit per lubang
42.99a
38.20a
62.57a
2 menit On, 8 menit Off, 1 bibit per lubang
36.06a
32.69a
58.53a
2 menit On, 8 menit Off, 2 bibit per lubang
43.30a
39.60a
70.69a
Probabilitas
0.51
0.41
0.34
KK (%)
16.51
13.96
17.30
a
angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT pada taraf α=5%

Hasil pengukuran kandungan klorofil selama aplikasi aeroponik yang
diperoleh menunjukkan perbandingan kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil
total, antosianin, dan karotenoid (Tabel 3). Hasil uji statistik kandungan klorofil
pada seluruh perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, total klorofil,
karotenoid, dan antosianin pada tanaman vetiver. Klorofil a yang terdapat pada
tanaman vetiver memiliki rentang 2.25–2.45 mg g-1. Kandungan klorfil b pada
tanaman vetiver mempunyai rentang 0.78–1.38 mg g-1. Karotenoid yang terdapat
pada tanaman vetiver berkisar 0.48–0.53 mg g-1. Antosianin yang terdapat pada
tanaman vetiver sebesar 0.41–0.53 mmol g-1.
Tabel 3 Kandungan klorofil tanaman vetiver pada sistem aeroponik
Perlakuan
1 menit On, 4 menit Off,
1 bibit per lubang
1 menit On, 4 menit Off,
2 bibit per lubang
2 menit On, 8 menit Off,
1 bibit per lubang
2 menit On, 8 menit Off,
2 bibit per lubang

Klorofil aa
(mg g-1)

Klorofil ba
(mg g-1)

Klorofil
totala
(mg g-1)

Karotenoida
(mg g-1)

Antosianina
(mmol g-1)

2.25a

0.78a

3.03a

0.48a

0.47a

2.40a

0.84a

3.24a

0.50a

0.49a

2.38a

1.38a

3.76a

0.53a

0.41a

2.45a

0.87a

3.32a

0.53a

0.53a

Probabilitas
0.94
0.43
0.64
0.81
0.82
KK (%)
17.14
20.55
20.80
11.99
32.00
a
angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α=5%

Kondisi Mikro Lingkungan Aeroponik
Tjasyono (2004) menjelaskan bahwa pertumbuhan tanaman juga ikut
diperngaruhi oleh iklim mikro sekitar lingkungan tumbuh tanaman. Unsur-unsur
iklim yang mempengaruhi pertumbuhan tanman ialah curah hujan, suhu, angin,
sinar matahari, kelembaban, dan evapotranspirasi. Parameter iklim mikro yang
diamati pada penelitian ini adalah intensitas radiasi matahari, suhu lingkungan
greenhouse, suhu daerah perakaran, electrical conductivity (EC), derajat
keasaman larutan hara, kehilangan air pada sistem aeroponik.
Gambar 6 merupakan gambaran pola intensitas radiasi matahari yang
diterima selama penelitian aeroponik yang diperoleh dari BMKG Stasiun

12
Klimatologi Dramaga. Pola radiasi matahari ini tidak menunjukkan keterkaitan
apabila dibandingkan dengan pola pertumbuhan vegetatif tanaman vetiver.
Intensitas radiasi matahari tertinggi sekitar 1.8 × 10-7 MJ m-2 dicapai saat 0, 3, 4, 6
MSP. Pertumbuhan tanaman vetiver berlangsung stabil 0–10 MSP (Gambar 1–5).
Kondisi suhu rata-rata harian dan kelembaban rumah kaca tempat
pelaksanaan penelitian (Gambar 7) menunjukkan bahwa suhu rata-rata selama
penelitian adalah berkisar 23–34 °C sedangkan kelembaban greenhouse berkisar
69–90%. Santoso (1993), Lutony dan Rahmayanti (1994) menerangkan bahwa
tanaman akar wangi (vetiver) tumbuh optimum pada kisaran suhu 17–27 °C.
Kondisi suhu selama penelitian yang
berada di kisaran suhu optimum
menyebabkan tanaman vetiver masih dapat tumbuh dengan baik. Meskipun pada
beberapa kondisi suhu greenhouse melebihi suhu optimum pertumbuhan vetiver,
akan tetapi kondisi suhu green house masih cenderung stabil dan tidak sefluktuatif
intensitas radiasi matahari. Kestabilan suhu dapat disebabkan sistem konstruksi
dan kaca greenhouse yang menjaga fluktuasi suhu di dalam greenhouse menjadi
lebih stabil dibandingkan di luar greenhouse (Kartasapoetra 2008, Suhardiyanto
2009). Suhardiyanto (2009) menjelaskan bahwa greenhouse di daerah tropika
dibangun dengan tujuan melindungi tanaman dari hujan, serangan hama dan angin,
mengurangi intensitas radiasi matahari yang berlebihan, serta mengurangi
penguapan air dari daun dan media. Handoko (2009) mengungkapkan bahwa
radiasi matahari dapat menyebabkan pemanasan udara di atas permukaan bumi
dan menyebabkan terjadinya penguapan. Penguapan yang meningkat
menyebabkan nisbah kelembaban di udara menjadi tinggi. Struktur bangunan
greenhouse yang berfungsi mengurangi intensitas radiasi matahari berlebihan
inilah yang menyebabkan kelembaban udara dan suhu di dalam greenhouse
menjadi cenderung stabil.
Secara umum, daerah perakaran (Gambar 8) berfluktuasi sekitar 22–34 °C
dan tidak berbeda dengan suhu greenhouse (Gambar 7). Suhu perakaran yang baik
seharusnya berada di bawah suhu lingkungan, karena apabila suhu akar terlalu
tinggi dapat menyebabkan kekeringan akar akibat cepatnya kehilangan air dalam
jaringan tanaman sehingga dapat menjadi cekaman bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman (Kartasapoetra 2008). Selama penelitian, blower untuk
penurun suhu panas daerah perakaran tidak mampu menurunkan suhu diakibatkan
tingginya pengaruh suhu greenhouse terhadap suhu di dalam chamber. Meskipun
suhu daerah perakaran cukup tinggi, hal tersebut tidak menghambat pertumbuhan
tanaman vetiver secara signifikan (Gambar 1–5).
Gambar 9 menunjukkan pola kehilangan air pada sistem aeroponik. Secara
umum, kehilangan air pada aplikasi aeroponik ini berada pada kisaran 0.5–1.5
liter per hari. Kehilangan air dapat disebabkan oleh metabolisme, evapotranspirasi,
ataupun kebocoran system aeroponik yang menyebabkan kehilangan air.
Kehilangan terbanyak terjadi pada minggu ke-4 dimana alat yang digunakan
terjadi kebocoran. Pada 0–5 MSP kondisi alat masih kurang stabil sehingga
menyebabkan kehilangan air cukup banyak. Setelah melewati 5 MSP, alat sudah
dapat diperbaiki sehingga menyebabkan kehilangan air karena kebocoran sistem
dapat dikurangi. Secara umum, kehilangan air dapat dikatakan stabil dikarenakan
evapotranspirasi yang terkendali. Struktur dan konstruksi greenhouse yang
menyeimbangkan radiasi dari luar yang masuk membuat pola radiasi yang
menyebar di dalam greenhouse menjadi stabil.

13
10-7 2.0
1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Minggu pengamatan
Gambar 6 Pola intensitas radiasi matahari (MJ m-2) selama perlakuan aeroponik.
sumber: BMKG Klimatologi Dramaga.
— Intensitas radiasi matahari.
100
34

90

32

70

Suhu (°C)

30

60
28

50
40

26

Kelembaban (%)

80

30

24

20
22

10
0

20
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Minggu pengamatan
Gambar 7 Pola suhu [°C] dan kelembaban nisbi (RH) [%] greenhouse tanaman
vetiver secara aeroponik pada 0–10 MSP.
— suhu greenhouse ;
- - kelembaban nisbi greenhouse

14

34
Suhu perakaran ( °C)

32
30
28
26
24
22
20
0

1

3

4

5

6

7

8

9

10

Minggu pengamatan
Gambar 8 Pola suhu daerah perakaran (°C) tanaman vetiver secara aeroponik
pada 0–10 MSP.
— 1 menit On 4 menit Off;
- - 2 menit On 8 menit Off
8

Liter hari-1 tanaman-1

7
6
5
4
3
2
1

× ×

0
0

1

2

×

×
3

4

×
5

×

×
6

×
7

×

×

×

8

9

10

Minggu pengamatan
Gambar 9 Pola kehilangan air (liter hari-1 tanaman-1) pada 0–10 MSP.
—×— waktu pergatian larutan hara;
— 1 menit On 4 menit Off ;
- - 2 menit On 8 menit Off

Trejo-Tollez dan Gomez-Merino (2012) menjelaskan bahwa electrical
conductivity (EC) adalah metode tidak langsung pendugaan tekanan osmotik
larutan hara. EC menggambarkan indeks konsentrasi garam mineral yang
menggambarkan keseluruhan jumlah garam mineral pada suatu larutan. Kondisi
EC selama perlakuan (Gambar 10) menunjukkan angka yang fluktuatif. Hal
tersebut dapat disebabkan dari faktor pernguapan yang terjadi pada larutan hara
sehingga menyebabkan terjadinya pengendapan mineral hara di dalam larutan.
Gambar 10 menujukkan lonjakan EC pada 9 MSP. Lonjakan angka EC
diakibatkan dari penambahan set poin dari 0.7 mmhos cm-1 menjadi 1.4 mmhos

15
cm-1 guna menambah kandungan hara. Secara umum, grafik EC di atas
menandakan bahwa kondisi hara untuk tanaman di bawah 1.4 mmhos cm-1. Kadar
EC untuk tanaman vetiver pada kondisi normal yang pernah tercatat adalah
1.414–5.020 mmhos cm-1 (CCPL 2001). Meskipun berdasarkan pengamatan nilai
EC aeroponik untuk tanaman vetiver di bawah normal, akan tetapi pertumbuhan
tanaman seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1–5 menandakan bahwa
pertumbuhan tidak terganggu. Kondisi ini menandakan bahwa tanaman vetiver
tetap dapat tumbuh dengan baik meski dalam kondisi hara yang sedikit atau
terbatas. Selain dari keterbatasan kandungan hara, tanaman vetiver juga mampu
tumbuh dalam kondisi lingkungan tumbuh yang tercemar polutan (Brandt 2003,
Chiu et al. 2003, Liao et al. 2003).

1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2

×

0.0
0

1

×
2

×

×

4

×

4

×

5

6

×

×

7

8

×

× ×
9

9

10

Minggu pengamatan
Gambar 10 Pola nilai EC (mmhos cm-1) pada 0–10 MSP.
—×— waktu pergantian larutan hara;
— 1 menit On 4 menit Off ;
- - 2 menit On 8 menit Off.
9
8
7
6
Nilai pH

Nilai EC (mmhos cm-1)

1.4

5
4
3
2
1
0
0

1

2

3

4

5

5

6

7

8

9

Minggu pengamatan
Gambar 11 Pola nilai derajat keasaman (pH) larutan hara.
— 1 menit On 4 menit Off ;
- - 2 menit On 8 menit Off.

9

10

16

Derajat keasaman suatu media menandakan kandungan mineral yang
terdapat di dalamnya (Trejo-Tellez dan Gomez-Merino 2012). Berdasarkan
Gambar 11, kondisi pH larutan selama perlakuan aeroponik menunjukkan
fluktuasi yang beragam. Fluktuasi ini dapat disebabkan dari kondisi kandungan
ion H yang terdapat pada larutan. Akumulasi ion H terpengaruh dari aktivitas
kimiawi dalam larutan yang ditunjukkan dengan nilai EC (Gambar 10). Perubahan
konsentrasi ion H hampir mirip dengan perubahan intensitas radiasi matahari.
Puncak kebasaan terjadi pada 4 MSP dan kemudian pada 5 MSP turun berubah
cenderung asam. Secara umum, pH larutan dapat dikatakan cukup baik untuk
aplikasi aeroponik karena berkisar 5–8, sedangkan pH yang baik untuk tanaman
vetiver adalah 6–7 (Santoso 1994). Kondisi pH yang optimum untuk tanaman
dapat mencegah infeksi bakteri pada akar (Huang dan Tu 2001), membantu
penyediaan nitrogen di dalam larutan atau media tanam (Zhao dan Ling 2007),
yang kemudian akhirnya dapat meningkatkan produksi tanaman (Torres et al.
2010).

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pertumbuhan tanaman vetiver yang dibudidayakan secara aeroponik dengan
perlakuan 2 menit On 8 menit Off 2 bibit per lubang memiliki panjang akar,
jumlah daun, jumlah anakan, dan tinggi tanaman terbaik. Seluruh perlakuan yang
diberikan tidak memiliki pengaruh yang nyata untuk kandungan klorofil dan
kehijauan daun. Sistem budidaya aeroponik terbukti mendukung pertumbuhan
akar tanaman vetiver secara optimal.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai analisis kandungan
vetiverol pada tanaman vetiver yang dibudidayakan dengan sistem aeroponik.

DAFTAR PUSTAKA
Brandt R. 2003. Potential of vetiver (Vetiveria zizanioides (L.) Nash) for the use
in phytoremediation of petroleum hydrocarbon-contaminated soils in
Venezuela.
[thesis].
Münster
(DE):
Institut
für
Landschaftsökologie,Westfälische Wilhelms-Universität Münster
Chiu KK, Ye ZH, Wong MH. 2006. Growth of Vetiveria zizanioides and
Phragmities australis on Pb/Zn and Cu mine tailings amended with manure
compost and sewage sludge: a greenhouse study. Bioresource Technology.
97(2006): 158-170.

17
[CCPL] Codyhart Consulting Pty Ltd. 2001. Monto vetiver grass effectiveness
intreating sewage effluent. [internet]. [diunduh 2013 Juli 17]. Tersedia pada:
http://www.vetiver.com/AUS-Beelarong.pdf
Fitter AH, Hay RKM. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. S Andani, ED
Purbayanti, penerjemah; B Srigandono, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Pr. Terjemahan dari: Environmental Physiology of Plants
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Herawati S, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari: Physiology of
Crop Plants
Hamid H. 2000. Uji coba silva aeroponik untuk budidaya pule pandak (Rauwolfia
serpentine BENTH.). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Handoko. 2009. Unsur-unsur cuaca dan iklim. Di dalam: Erizal, Ibnul Q, Utomo
K, editor. Kumpulan Makalah Pengantar ke Ilmu-ilmu Pertanian. Bogor (ID):
IPB Pr. hlm 9-15.
Harris D. 1994. The Illustrated Guide to Hydroponics. London (GB): New
Holland Publishers, Ltd.
Huang R, Tu JC. 2001. Effect of nutrient solution pH on the survival and
transmission of Clavibacter michiganensis ssp. michiganensis in
hydroponically grown tomatoes. Plant Pathology. 2001(50): 503-508.
Kardinan A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Tangerang (ID):
Agromedia.
Kartasapoetra AG. 2008. Klimatologi: Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan
Tanaman. Jakarta (ID): Bumi Aksara
Liao X, Luo S, Wu Y, Wang Z. 2003. Studies on the abilities of Vetiveria
zizanioides and Cyperus alternifolius for pig farm wastewater treatment.
[internet].
[diunduh
2013
April
10].
Tersedia
pada:
http://www.vetiver.org/ICV3-Proceedings/CHN_pigwaste2.pdf
Lutony TL, Rahmayati Y. 1994. Produksi dan Perdagangan Minyak Asiri. Jakarta
(ID): Penebar Swadaya
Pagliarulo CL, Hayden AL. 2002. Potential for greenhouse aeroponic cultivation
of medicinal root crops. [internet]. [diunduh 2013 April 10]. Tersedia pada:
http://aerofarms.com/wordpress/wp-content/files_mf/1265411630
GrowingMedicinalCropswithAeroponics.pdf
Resh HM. 2004. Hydroponic Food Production: A Definitive Guidebook of
Soilless Food-Growing Methods. 6th Ed. New Jersey (US): Newconcept Pr, Inc.
Ritter E, Angulo B, Riga P, Herran C, Relloso J, Jose MS. 2001. Comparison of
hydroponic and aeroponic cultivation systems for the production of potato
minitubers. Potato Research 44 (2001): 127-135.
Roberto K. 2003. How to Hydroponics. 4th Ed. New York (US): The Futuregarden
Pr.
Santoso HB. 1993. Akar Wangi, Bertanam dan Penyulingan. Yogyakarta (ID):
Penerbit Kanisius.
Suhardiyanto H. 2009. Teknologi hidroponik untuk budidaya tanaman. Di dalam:
Erizal, Ibnul Q, Utomo K, editor. Kumpulan Makalah Pengantar ke Ilmu-ilmu
Pertanian. Bogor (ID): IPB Pr. hlm 27-40.
Tjasyono, B. 2004. Klimatologi. Bandung (ID): Penerbit ITB. Ed ke-2

18
Torres AP, Mickelbart MV, Lopez RG. 2010. Leachate volume effects on pH and
electrical conductivity measurements in containers obtained using the pourthrough method. HortTechnology. 20(3): 608-611.
Trejo-Tellez LI, Gomez-Merino FC. 2012. Nutrient solution for hydroponic
systems. Di dalam: Toshiki A, editor. Hydroponics-A Standard Methodology
for Plant Biological Researches. [internet]. [diunduh pada 2013 Juli 17].
Tersedia
pada:
http://cdn.intechopen.com/pdfs/33765/InTechNutrient_solutions_for_hydroponic_systems.pdf
[Trubus] Trubus. 2009. Minyak Asiri. Depok (ID): Penerbit Trubus
Whipker BE, Cavins TJ. 2000. Electrical conductivity (EC): units and convertions.
[internet].
[diunduh
pada
2013
Juli
17].
Tersedia
pada:
http://www.ces.ncsu.edu/depts/hort/floriculture/Florex/ EC%20Conversion.pdf
Yoshida S, Forno DA, Cook JH, Gomez KA. 1979. Laboratory Manual for
Physiological Studies of Rice. Los Banos (PH): IRRI.
Zhao T, Ling HQ. 2007. Effects of pH and nitrogen forms on expression profiles
of genes ivolved iniron homeostatis in tomato. Plant, Cell and Environment.
2007(30): 518-527. doi:10.1111/j.1365-3040.2007.01638.x.
Ziegler R. c2005. The vertical aeroponic growing system. [internet]. c2005;
[diunduh 2013 April 10]. Tersedia pada: http://www.synergyii.com/aeroponic/
VAP.pdf

19
Lampiran 1 Nilai tengah dan sidik ragam parameter panjang
akar (cm) vetiver selama 10 MSP
Perlakuan
A1
A2
B1
B2
Probabilitas
KK (%)
DB
JK
KT
F-hit
Perlakuan
A1
A2
B1
B2
Probabilitas
KK (%)
DB
JK
KT
F-hit

0
19.20a
25.60a
21.97a
23.40a
0.62
26.19
3
64.76
21.58
0.62

Minggu Setelah Perlakuana
1
2
3
4
22.67a 28.33a 28.33a 31.33a
27.00a 28.33a 29.33a 35.00a
24.67a 27.00a 29.67a 37.33a
25.33a 26.33a 31.67a 45.33a
0.82
0.94
0.92
0.24
22.35
18.00
20.14
21.14
3
3
3
3
28.91
9.00
17.58
316.25
9.63
3.00
5.86
105.41
0.31
0.12
0.16
1.70

6
60.33ab
63.67a
48.67b
61.33ab
0.12
12.22
3
404.33
134.77
2.64

Minggu Setelah Perlakuana
7
8
9
67.67ab 68.00a 74.33b
72.33a
73.00a 77.67b
57.00b
73.00a 89.67a
67.67ab 78.33a 94.67a
0.08
0.45
0.01
9.25
10.06
7.22
3
3
3
379.67
160.25 838.25
126.55
53.41 279.41
3.37
0.99
7.59

5
43.00a
48.33a
41.67a
51.33a
0.59
20.59
3
184.91
61.63
0.68

10
81.33b
83.33b
100.33a
106.00a
0.00
7.35
3
1356.25
452.08
9.72

a

angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada
taraf α=5%

Lampiran