Budidaya Tanaman Akar Wangi (Vetiveria zizanioides (L.) Nash) dalam Wadah: Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Jumlah Bibit.

BUDIDAYA TANAMAN AKAR WANGI
(Vetiveria zizanioides (L.) Nash) DALAM WADAH:
PENGARUH KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN
JUMLAH BIBIT

RESTI PUTRI SEPTYANI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Budidaya Tanaman
Akar Wangi (Vetiveria zizanioides (L.) Nash) dalam Wadah: Pengaruh Komposisi
Media Tanam dan Jumlah Bibit adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Resti Putri Septyani
NIM A24090015

ABSTRAK
RESTI
PUTRI
SEPTYANI.
Budidaya
Tanaman
Akar
Wangi
(Vetiveria zizanioides (L.) Nash) dalam Wadah: Pengaruh Komposisi Media
Tanam dan Jumlah Bibit. Dibimbing oleh SINTHO WAHYUNING ARDIE dan
SLAMET SUSANTO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi media tanam
dan jumlah bibit dalam budidaya tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides)

secara hidroponik menggunakan polybag terhadap pertumbuhan tanaman akar
wangi varietas Verina 2. Penelitian dilakukan di rumah kaca Kebun Percobaan
Cikabayan Bawah, IPB dengan elevasi 240 m di atas permukaan laut (dpl) mulai
dari bulan November 2012 hingga Juli 2013. Penelitian disusun berdasarkan
rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan dua faktor dan lima ulangan.
Faktor pertama adalah komposisi media tanam (v/v) yang terdiri atas tiga taraf,
yaitu 100% arang sekam, arang sekam : styrofoam (2:1), dan
arang sekam : styrofoam (1:1). Faktor kedua adalah jumlah bibit dalam satu
polybag yang terdiri atas dua taraf yaitu satu bibit dan dua bibit. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa interaksi antara komposisi media tanam dan jumlah bibit per
polybag tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman dan
pertumbuhan akar tanaman akar wangi. Tanaman yang ditanam pada media
arang sekam : styrofoam (1:1) memiliki jumlah daun, jumlah anakan, jumlah akar,
panjang akar, kandungan klorofil, dan karotenoid yang lebih tinggi dibandingkan
tanaman yang ditanam pada media lainnya. Penanaman dua bibit per polybag
menghasilkan jumlah daun, jumlah anakan, bobot basah dan kering tajuk, dan
jumlah akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan satu bibit per polybag. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa penanaman dua bibit per polybag pada media arang
sekam : styrofoam (1:1) menghasilkan pertumbuhan vegetatif dan pertumbuhan
akar terbaik pada tanaman akar wangi.

Kata kunci: akar wangi, budidaya dalam wadah, jumlah bibit, media

ABSTRACT
RESTI PUTRI SEPTYANI. Vetiver (Vetiveria zizanioides (L.) Nash) Cultivation
in Container: Effect of Media Composition and Number of Seedling Planted.
Supervised by SINTHO WAHYUNING ARDIE and SLAMET SUSANTO.
The objectives of this experiment were to determine the effect of media
composition and the number of seedlings planted on the growth of hydroponically
grown vetiver (Vetiveria zizanioides). Vetiver ‘Verina β’ variety was grown in
polybags in a greenhouse of the Cikabayan Bawah Experimental Farm
(240 m above sea level) started from November 2012 to July 2013. This
experiment was arranged in a randomized complete block design with two factors
and five replications. The first factor was media composition (v/v), consisted of
three levels i.e. 100% charchoal husk, charcoal husk : styrofoam (2:1), and
charcoal husk : styrofoam (1:1). The second factor was the number of seedlings in
one polybag consisted of one seedling and two seedlings. The results showed that

there were no interaction effects of media composition and number of seedlings
planted to plant growth and root growth of vetiver. Plants grown in charcoal
husk : styrofoam (1:1) medium had significantly higher number of plants per

cluster, higher number of leaves, higher chlorophyll and carotenoid contents,
higher number of roots, and longer primary roots than those in other media
compositions. Planting two seedlings per polybag resulted in higher number of
plant per cluster, higher number of leaves, higher shoot fresh and dry weight, and
higher number of roots than one seedlings per polybag. These results showed that
planting two seedlings in polybag containing charcoal husk : styrofoam (1:1)
resulted in the best vegetative growth and root growth of vetiver.
Key words: cultivation in container, number of seedling, media, vetiver

BUDIDAYA TANAMAN AKAR WANGI
(Vetiveria zizanioides (L.) Nash) DALAM WADAH:
PENGARUH KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN
JUMLAH BIBIT

RESTI PUTRI SEPTYANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Budidaya Tanaman Akar Wangi (Vetiveria zizanioides (L.) Nash)
dalam Wadah: Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Jumlah
Bibit.
Nama
: Resti Putri Septyani
NIM
: A24090015

Disetujui oleh

Dr Sintho Wahyuning Ardie, SPMSi
Pembimbing I


Prof Dr Ir Slamet Susanto, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Budidaya Tanaman Akar Wangi (Vetiveria zizanioides (L.) Nash)
dalam Wadah: Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Jumlah
Bibit.
Nama
NIM

: Resti Putri Septyani

: A24090015


Disetujui oleh

Dr Sintho Wahyuning Ardie, SPMSi
Pembimbing I

Tanggal Lulus:

I

0 5 SEP 2013'

Prof Dr lr Slamet Susanto, MSc
Pembimbing II

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat,
hidayah dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
Budidaya Tanaman Akar Wangi (Vetiveria zizanioides (L.) Nash) dalam Wadah:
Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Jumlah Bibit. Skripsi ini merupakan

laporan hasil penelitian yang telah penulis laksanakan. Penelitian ini dilaksanakan
karena terdorong keinginan untuk mengetahui pengaruh komposisi media tanam
dan jumlah bibit terhadap budidaya tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides)
dan hasil penelitian diajukan sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan moril dan
materil serta doa yang tulus kepada penulis.
2. Dr Sintho Wahyuning Ardie, SPMSi sebagai dosen pembimbing skripsi I dan
Prof Dr Ir Slamet Susanto, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi II yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam pelaksanaan penelitian
dan penyusunan skripsi.
3. Prof Dr Ir M A Chozin, MAgr selaku dosen pembimbing akademik atas
arahan dan masukannya selama penulis melaksanakan studi.
4. Juang Gema Kartika, SPMSi selaku dosen penguji atas masukan, motivasi dan
revisi yang diberikan terhadap skripsi penulis.
5. PT Indesso Aroma yang telah mendanai penelitian ini.
6. Rekan-rekan Agronomi 46 (Socrates) khususnya Muhamad Subhi Huzaifi,
Annisa, Mayang Sari, Reisha Septiani, Kak Ulya, dan Pak Mamat yang selalu
memberikan dukungan dan bantuannya selama pelaksanaan penelitian.
7. Seluruh dosen dan karyawan Departemen Agronomi dan Hortikultura yang

telah memberikan bantuannya.
8. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan secara langsung
maupun tidak langsung selama pelaksanaan studi, penelitian dan penyusunan
skripsi.
Semoga skripsi ini akan bermanfaat bagi mahasiswa atau sivitas akademik
Institut Pertanian Bogor khususnya dan semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2013

Resti Putri Septyani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Hipotesis

2

TINJAUAN PUSTAKA

2


Taksonomi dan Morfologi Akar Wangi

2

Akar Wangi varietas Verina 2

3

Syarat Tumbuh Akar Wangi

3

Budidaya Akar Wangi

4

Hidroponik

5

METODE

7

Bahan

7

Alat

7

Lokasi dan Waktu

7

Prosedur Percobaan

7

Analisis Data

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

11

Kondisi Umum Penelitian

11

Pengaruh Media Tanam terhadap Pertumbuhan Tanaman Akar Wangi

13

Pengaruh Jumlah Bibit terhadap Pertumbuhan Tanaman Akar Wangi

18

SIMPULAN

21

DAFTAR PUSTAKA

22

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
1 Mutu minyak akar wangi yang baik berdasarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI)
2 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh komposisi media tanam dan jumlah
bibit per polybag terhadap karakter agronomi dan fisiologi tanaman
akar wangi
3 Pengaruh media tanam terhadap tinggi tanaman, saat muncul anakan
pertama, jumlah daun, jumlah anakan, bobot basah dan kering tajuk
pada 16 MSP
4 Pengaruh media tanam terhadap nilai EC
5 Pengaruh media tanam terhadap warna daun pada 7 MSP dan
kandungan klorofil daun pada 6 MSP
6 Pengaruh media tanam terhadap jumlah akar besar, akar kecil, akar total,
akar baru, panjang akar, dan diameter akar pada 20 MSP
7 Pengaruh jumlah bibit terhadap jumlah daun, jumlah anakan, bobot
basah, dan kering tajuk per individu tanaman pada 16 MSP
8 Pengaruh jumlah bibit terhadap tinggi tanaman, saat muncul anakan
pertama, jumlah daun, jumlah anakan, bobot basah, dan kering tajuk
total per polybag pada 16 MSP
9 Pengaruh jumlah bibit terhadap warna daun pada 7 MSP dan
kandungan klorofil daun pada 6 MSP
10 Pengaruh jumlah bibit terhadap jumlah akar besar, akar kecil, akar total,
dan akar baru per individu tanaman pada 20 MSP
11 Pengaruh jumlah bibit terhadap jumlah akar besar, akar kecil, akar total,
akar baru, panjang akar, dan diameter akar total per polybag pada 20
MSP

5

13

14
15
16
17
18

19
20
20

21

DAFTAR GAMBAR
1 Kategori akar tanaman akar wangi
2 Intensitas radiasi matahari, suhu, dan kelembaban harian rumah kaca
saat penelitian
3 Pertumbuhan tanaman akar wangi selama 16 MSP
4 Perbandingan keragaan tajuk tanaman akar wangi pada komposisi
media tanam dan jumlah bibit yang berbeda pada 16 MSP
5 Perbandingan keragaan akar tanaman akar wangi pada komposisi media
tanam dan jumlah bibit yang berbeda pada 20 MSP
6 Perbandingan akar besar, akar kecil, dan akar baru tanaman akar wangi

9
11
12
14
17
18

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides (L.) Nash) merupakan anggota
famili Graminae penghasil minyak atsiri penting di dunia. Indonesia merupakan
salah satu dari tiga produsen minyak akar wangi dunia dan pada saat ini
kebutuhan minyak akar wangi dunia mencapai 300 ton tiap tahun. Akan tetapi,
Indonesia hanya mampu memenuhi sekitar 28% saja dari kebutuhan minyak akar
wangi dunia (Mulyati et al. 2009). Hal tersebut dikarenakan produktivitas akar
wangi yang masih rendah. Rendemen minyak akar wangi yang sangat rendah
yaitu 1.5 - 2% bobot kering, semakin menghambat peningkatan ekspor minyak
akar wangi (Sani 2011). Belum terstandarnya mutu minyak akar wangi yang
dihasilkan oleh petani Indonesia juga menyebabkan harga minyak akar wangi
yang sangat fluktuatif (Kardinan 2005). Usaha peningkatan produksi dan kualitas
minyak akar wangi dapat dilakukan dengan perbaikan teknologi budidaya akar
wangi. Dalam perbaikan teknik budidaya, kegiatan pemanenan merupakan tahap
penting yang menentukan hasil minyak akar wangi berkualitas tinggi. Kehilangan
hasil pada proses pasca panen primer (pencucian dan pengeringan) dapat
mencapai 65% (Mulyono et al. 2012). Nilai kehilangan hasil tersebut belum
memperhitungkan kehilangan hasil akibat tertinggalnya akar di dalam tanah pada
saat pemanenan. Untuk menanggulangi kendala tersebut diperlukan suatu
teknologi budidaya yang tepat guna.
Salah satu teknologi budidaya yang dapat digunakan adalah teknologi
hidroponik. Hidroponik merupakan satu teknik budidaya tanaman tanpa
menggunakan tanah sebagai media tumbuh tetapi menggunakan media inert
seperti kerikil, pasir, gravel, arang sekam, peat, vermiculite, styrofoam, atau
sawdust yang diberi larutan nutrisi (Resh 2004). Penelitian ini menggunakan dua
jenis media tanam yaitu arang sekam dan styrofoam. Hardjanti (2005)
mengungkapkan bahwa kelebihan penggunaan arang sekam dan styrofoam adalah
sama-sama memiliki porositas yang baik bagi perkembangan akar, ringan, dan
gembur sehingga tidak menghambat pertumbuhan akar. Menurut Ermina (2010)
kekurangan dari penggunaan arang sekam dan styrofoam adalah sama-sama
memiliki kandungan hara yang rendah, sehingga kebutuhan hara tanaman perlu
disuplai 100%. Penggunaan teknologi hidroponik dalam budidaya tanaman akar
wangi diharapkan dapat menekan kehilangan hasil pada proses pemanenan.
Pemanfaatan arang sekam dan styrofoam sebagai media tanam dalam teknologi
hidroponik diharapkan menjadi media tanam alternatif selain tanah, sehingga
dapat mengurangi masalah limbah yang melimpah dari sektor pertanian dan non
pertanian. Penelitian ini difokuskan pula untuk mendapatkan informasi mengenai
jumlah bibit yang sesuai bagi pertumbuhan dan hasil akar wangi, sehingga dapat
meningkatkan efisiensi input yang dibutuhkan untuk budidaya akar wangi tetapi
dengan tetap menghasilkan produksi akar wangi yang tinggi. Aplikasi teknologi
hidroponik pada tanaman akar wangi diharapkan dapat menjadi salah satu solusi
untuk mendapatkan akar wangi bermutu tinggi dengan input yang seminimal
mungkin namun output yang maksimal dengan pemanenan yang mudah.

2
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan memperoleh teknik budidaya dalam
wadah untuk tanaman akar wangi sehingga dapat memudahkan proses panen dan
menghasilkan biomassa akar dengan kandungan bahan aktif yang tinggi. Secara
khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi media
tanam dan jumlah bibit dalam budidaya tanaman akar wangi yang ditanam secara
hidroponik menggunakan polybag terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman akar
wangi varietas Verina 2.

Hipotesis
1. Terdapat pengaruh komposisi media tanam terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman akar wangi.
2. Terdapat pengaruh jumlah bibit terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman akar
wangi.
3. Terdapat interaksi antara komposisi media tanam dan jumlah bibit terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman akar wangi.

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Morfologi Akar Wangi
Tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides (L.) Nash) berasal dari India,
Afrika bagian Tropika, dan Asia Tenggara. Tanaman ini ditemukan tumbuh secara
liar, setengah liar, dan sengaja ditanam di berbagai negara beriklim tropis dan
subtropik (Hartati et al. 2006). Akar wangi merupakan salah satu tanaman tahunan
penghasil minyak atsiri yang termasuk ke dalam anggota famili Graminae
(Tasma et al. 1990). Berdasarkan taksonominya, tanaman akar wangi termasuk ke
dalam kingdom Plantae (tumbuhan), sub kingdom Tracheobionta
(tumbuhan berpembuluh), super divisi Spermatophyta (menghasilkan biji), divisi
Magnoliophyta (tumbuhan berbunga), kelas Liliopsida (berkeping satu atau
monokotil), sub kelas Commelinidae, ordo Poales, famili Graminae
(suku rumput-rumputan), genus Vetiveria, dan spesies Vetiveria zizanioides
(Plantamor 2012).
Morfologi akar wangi terdiri atas daun, akar, bunga, serta batang. Bunga
akar wangi berwarna hijau atau ungu. Daun akar wangi berwarna kelabu,
berbentuk garis, pipih, kaku dengan permukaan bawah daun licin, panjangnya
mencapai 100 cm dan tidak mengandung minyak (Ditjen Perkebunan 2011). Akar
wangi termasuk tanaman dengan rumpun menahun yang lebat, besar, padat,
tumbuh tegak lurus, dan kompak. Rumpunnya terdiri atas beberapa anak rumpun
yang nantinya dapat dijadikan bibit untuk perbanyakan vegetatif dengan
memisahkan anak rumpun atau memecah akar yang telah bertunas. Rumpun
tersebut dapat tumbuh hingga ketinggian 1 - 3 m. Akar wangi merupakan tanaman
dengan sistem perakaran serabut (Hartati et al. 2006).

3
Bagian akar tanaman akar wangi menghasilkan vetiver oil yang banyak
digunakan dalam pembuatan parfum, pewangi sabun, kosmetik, obat-obatan, serta
pembasmi dan pencegah serangga (Tarigan 2006). Vetiver oil mempunyai aroma
yang lembut dan halus karena ester dari asam vetivenat dan adanya senyawa
vetivenol (Departemen Pertanian 1989). Kardinan (2005) menyatakan bahwa
komponen utama yang terdapat dalam minyak akar wangi adalah vetiverol, yakni
sebanyak 60% dari total minyak yang terkandung dalam akar wangi. Senyawa
lainnya adalah asam vetivenat, trisiklovetiven, vetiverol ester, asam benzoate,
asam palmitat, serta α dan vetiverone. Umumnya akar wangi yang dipasarkan
memiliki kandungan vetiverol 39 – 59% dan mempunyai kelarutan dalam etanol
95% dengan perbandingan 1:1 dengan hasil warna cairan yang jernih.

Akar Wangi varietas Verina 2
Karakteristik penting yang menjadikan akar wangi unggul adalah
produktivitas akar, produktivitas minyak, dan kadar bahan aktif (vetiverol)
(Ditjen Perkebunan 2011). Melalui Sidang Pelepasan Varietas ke-3 pada tahun
2011, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) telah melepas dua
varietas unggul akar wangi dengan nama varietas Verina 1 dan varietas Verina 2.
Varietas Verina 2 memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi dibandingkan
dengan varietas Verina 1. Varietas Verina 2 memiliki potensi produktivitas akar
basah sebesar 10.6 ton ha-1, produktivitas akar kering tertinggi 3.9 ton ha-1,
produktivitas minyak sebesar 60.5 kg ha-1, dan kadar vetiverol di atas standar
yaitu sebesar 55.5% dari total minyak yang terkandung dalam akar wangi.
Deskripsi dari daun varietas Verina 2 antara lain bentuk habitus daun
merumbai, panjang 121.7 ± 20.4 cm, lebar 1.1 ± 0.1 cm, tebal 0.5 ± 0.1 mm,
jumlah daun 12.5 ± 1.4, warna daun yellow green 145 A, diameter kanopi utaraselatan 136.9 ± 27.0 cm, diameter kanopi barat-timur 145.4 ± 24.3 cm. Deskripsi
dari batang varietas Verina 2 adalah tinggi tanaman 144.6 ± 26.8 cm, diameter
rumpun 53.7 ± 9.7 cm, jumlah anakan 81.0 ± 25.8 anakan, bobot bonggol
0.9 ± 0.3 kg, dan dengan warna batang yellow green 145 B. Deskripsi akar
meliputi panjang akar 67.6 ± 16.8 cm, bobot basah akar per rumpun
379.0 ± 161.4 g, bobot kering akar per rumpun 137.3 ± 1.9 g, produktivitas akar
basah 10.6 ± 4.5 ton ha-1, produktivitas akar kering 3.8 ± 1.4 ton ha-1,
produktivitas minyak 60.5 kg ha-1, kadar minyak 1.8 ± 0.6%,
kadar vetiverol 55.5 ± 1.5%, dan perakaran serabut sedikit (Ditjen Perkebunan
2011).

Syarat Tumbuh Akar Wangi
Menurut Santoso (1993) pertumbuhan, umur tanaman, rendemen dan mutu
minyak akar wangi yang dihasilkan berpengaruh terhadap keadaan tanah dan
iklim dimana akar wangi tumbuh. Minyak akar wangi yang berasal dari daerah
yang berbeda akan memiliki karakteristik yang berbeda pula. Oleh sebab itu,
untuk mendapatkan hasil yang optimal maka faktor tanah dan iklim perlu
mendapatkan perhatian yang khusus.

4
Tanah yang baik untuk pertumbuhan akar wangi adalah tanah gembur (tidak
padat) atau tanah yang berpasir seperti tanah yang mengandung abu vulkanik.
Tanah yang padat, keras, dan berlempung kurang baik untuk budidaya akar wangi
karena pada tanah tersebut akan menyebabkan akar tanaman akar wangi sulit
untuk dicabut pada saat panen dan dapat menghasilkan akar dengan rendemen
minyak yang rendah (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi 2010).
Hartati et al. (2006) mengemukakan bahwa rentang pH tanah untuk pertumbuhan
tanaman akar wangi sangat luas yaitu 3 - 11.5, akan tetapi (pH) yang baik untuk
pertumbuhan dan produksi yang optimal terdapat pada tanah dengan pH 6 - 7.
Menurut Santoso (1993) tanaman akar wangi akan tumbuh menjadi kerdil pada
pH tanah yang terlalu masam (pH < 5.5), sedangkan pH tanah yang terlalu basa
dapat akan menyebabkan Mangan (Mn) tidak dapat terserap tanaman sehingga
akan menyebabkan akar tanaman kurus kecil.
Budidaya tanaman akar wangi membutuhkan sinar matahari yang cukup dan
tidak terlindung oleh tanaman lain. Sinar matahari berperan sebagai sumber energi
untuk proses fotosintesis bagi tanaman. Menurut Kardinan (2005) bila tanaman
akar wangi dibudidayakan di tempat yang teduh akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan sistem akar yang menyebabkan mutu minyak akar wangi merosot.
Akar wangi dapat dibudidayakan pada suhu udara lingkungan antara
17 – 27 oC. Hartati et al. (2006) mengemukakan bahwa tanaman ini dapat tumbuh
mulai dari dataran rendah dengan ketinggian 200 - 1 000 m dpl, akan tetapi akar
wangi dapat menghasilkan kandungan vetiverol yang baik bila ditanam pada
ketinggian di atas 750 m dpl dan curah hujan 2 000 - 3 000 mm per tahun.

Budidaya Akar Wangi
Waktu penanaman akar wangi adalah setiap saat sepanjang tahun, namun
yang terbaik adalah pada saat awal musim penghujan. Tanaman akar wangi dapat
pula ditanam di luar musim penghujan, asalkan tanaman tersebut disiram dengan
cukup air pada pagi dan sore hari. Penanaman bibit akar wangi adalah dengan
mengambil beberapa anak rumpun yang dapat dijadikan bibit untuk perbanyakan
vegetatif, dengan memisahkan anak rumpun atau memecah akar tinggal yang telah
bertunas namun tidak berbunga (Ditjen Perkebunan 2011).
Pemeliharaan tanaman akar wangi meliputi penyulaman, penyiangan,
pembumbunan, pemupukan, pemangkasan, dan pengendalian hama dan penyakit.
Sekitar dua sampai tiga minggu setelah tanam, penyulaman dilakukan terhadap
pertumbuhan akar wangi yang mati. Penyulaman berguna untuk mengetahui
jumlah tanaman yang sesungguhnya, yang nantinya akan digunakan untuk
memprediksi produk yang dihasilkan dari akar wangi. Penyiangan bertujuan untuk
mencegah hama yang biasanya menjadikan gulma lain sebagai tempat hidupnya.
Pada umur tiga bulan sejak penanaman, penyiangan merupakan hal yang penting
untuk dilakukan, agar tumbuhan akar wangi tidak kerdil dan terhambat akibat
hama yang menyerang. Pembumbunan perlu dilakukan agar aerasi dan drainase
tetap terjaga dengan baik (Santoso 1993). Pemangkasan dilakukan pada saat usia
tanaman akar wangi mencapai enam bulan agar mendapatkan akar yang rimbun
dan panjang (Ditjen Perkebunan 2011).

5
Pemanenan dapat dilakukan pada saat tanaman akar wangi telah berumur
delapan bulan. Akar wangi yang dipanen lebih dari 14 bulan akan mengakibatkan
banyaknya akar-akar yang mati dan tumbuh akar-akar yang baru. Apabila akar
tersebut disuling, maka kadar dan mutu minyak atsirinya akan menurun. Oleh
sebab itu, tanaman akar wangi hendaknya dipanen pada umur 12 - 14 bulan
setelah tanam (Hartati et al. 2006).
Pasca panen tanaman akar wangi dilakukan dengan cara disuling
menggunakan gas kromatografi. Menurut Hartati et al. (2006) tahapan pasca
panen akar wangi adalah akar tanaman yang baru dipanen dibersihkan kemudian
dikeringkan. Sebelum dilakukan penyulingan, bagian bonggol dibuang dan bagian
akarnya dipotong-potong lalu dibersihkan dari tanah yang menempel dan
dikeringkan. Rendemen minyak yang dihasilkan berkisar 2 – 3% dari akar kering.
Lama penyulingan 12 – 20 jam tergantung dengan jumlah bahan. Cara pengolahan
dan penyulingan tersebut menyebabkan volume yang disuling akan jauh lebih
rendah, sehingga bahan bakar yang dibutuhkan hanya sedikit dan menghasilkan
mutu minyak yang lebih baik karena tanah tidak ikut tersuling. Minyak akar
wangi untuk dipasarkan harus memenuhi Standar Nasional Indonesia
(SNI 06-2386-2006) harus mengandung vetiverol minimum 50% (Tabel 1).
Tabel 1

Mutu minyak akar wangi yang baik berdasarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI)

Karakteristik minyak
Warna

Syarat
: Kuning muda - coklat kemerahan

Bau

: Khas akar wangi
o

o

Bobot jenis 20 C/20 C

: 0.980 – 1.003

Indeks bias pada 20 C

: 1.520 – 1.530

Kelarutan dalam alkohol 95%

: 1:1 jernih, seterusnya jernih

Bilangan asam

: 10 – 35

Bilangan ester

: 5 – 26

Bilangan ester setelah asetilasi

: 100 – 150

o

Vetiverol total
Sumber: SNI 06-2386-2006

: Minimum 50%

Hidroponik
Hidroponik berasal dari kata hydros yang berarti air dan ponos yang berarti
pekerja berasal dari bahasa Yunani Kuno. Hidroponik merupakan suatu teknik
budidaya tanaman pada media tanam selain tanah dan menggunakan campuran
nutrisi esensial yang dilarutkan di dalam air (Resh 1999).
Keuntungan yang diperoleh dari budidaya secara hidroponik anatara lain
produksi tanaman lebih tinggi, terbebas dari hama dan penyakit, tanaman tumbuh
lebih cepat, pemakaian pupuk lebih hemat, hasil panen kontinu, dapat ditanam di
luar musim, hara tanaman homogen dan dapat dikendalikan, tidak dibatasi dengan
ketersediaan unsur hara oleh tanah sehingga memungkinkan penambahan populasi
per unit area, serta terhindar dari resiko banjir, erosi, dan kekeringan (Resh 1999).
Kelemahan dari sistem budidaya dengan hidroponik yaitu membutuhkan biaya

6
produksi dan investasi yang tinggi, serta dibutuhkan keterampilan khusus untuk
mengoperasikan peralatan hidroponik.
Tanaman yang dibudidayakan secara hidroponik dapat tumbuh optimal bila
didukung dengan penggunaan media tanam yang baik. Media tanam yang baik
mendukung perakaran untuk memperoleh nutrisi, air, dan oksigen sehingga dapat
digunakan untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Media yang digunakan dalam
hidroponik bisa berupa media organik dan media anorganik. Media tanam organik
memiliki struktur fisik dan kimia yang berbeda dibandingkan dengan media tanam
anorganik. Media ini memiliki daya tahan sebagai penyangga yang kuat dimana
berpengaruh baik untuk tanaman seperti sebagai tempat penyimpanan unsur hara
yang baik (Jones dan Jones 2005).
Persyaratan media tanam hidroponik antara lain bebas racun dan hama
penyakit, steril dan bersih, dapat menyimpan air sementara, porous, memiliki pH
netral, tidak mudah lapuk, serta tidak menimbulkan reaksi kimia yang
mengganggu pertumbuhan tanaman. Media tanam hidroponik dapat menggunakan
berbagai macam bahan seperti gravel, rockwoll, pasir, peat, vermiculite, pumice,
sawdust, styrofoam, arang sekam, air bahkan udara yang diberi larutan nutrisi
yang mengandung semua elemen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan normal tanaman (Resh 1999).
Resh (1999) menyatakan bahwa media tanam yang digunakan dalam
hidroponik bisa berupa media substrat dan non substrat. Media substrat
hidroponik antara lain arang sekam, pasir, gambut, serbuk sabuk kelapa, zeolit dan
rockwoll. Syarat terpenting untuk media hidroponik substrat adalah porus dan
ringan. Menurut Hardjanti (2005) media arang sekam memiliki porositas yang
baik bagi perkembangan akar, berbahan dasar ringan yang mengakibatkan
sirkulasi udara pada media tinggi dan berwarna kehitaman. Arang sekam berasal
dari sekam yaitu bagian dari bulir padi-padian berupa lembaran yang kering,
bersisik, dan tidak dapat dimakan. Pembakaran sekam yang tidak sempurna dan
berwarna hitam telah banyak digunakan sebagai media tanam secara komersial
pada sistem hidroponik. Media ini memiliki kadar C-organik dan N berturut-turut
adalah 15.2% dan 1.1%. Berdasarkan hasil analisis kimia media, arang sekam
memiliki pH sebesar 6.9 (Yanti 2005).
Styrofoam merupakan media tanam hidroponik yang termasuk ke dalam
media anorganik. Santoso et al. (2011) menyatakan bahwa styrofoam terbuat dari
bahan copolimer styren. Beberapa pembibitan menggunakan styrofoam sebagai
campuran media tanam untuk meningkatkan porositas media. Media styrofoam
memiliki porositas yang baik bagi perkembangan akar serta berbahan dasar ringan.
Styrofoam yang digunakan untuk media tanam antara lain sudah dihancurkan
menjadi bola-bola kecil dan dibentuk dengan ukuran kotak-kotak yang digunakan
untuk menopang agar tanaman dapat tumbuh dengan tegak.

7

METODE

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit akar wangi
varietas Verina 2 yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
(Balittro), arang sekam, styrofoam, aquades, air bersih, larutan hara
Yoshida et al. (1979) yang dimodifikasi. Komponen hara terdiri atas
N (102.5 ppm), P (31.9 ppm), K (80.6 ppm), Ca (118.9 ppm), Mg (45.5 ppm),
S (83.2 ppm), Fe (5 ppm), Mn (1.3 ppm), Zn (0.3 ppm), Cu (0.1 ppm),
Mo (0.3 ppm), dan B (1 ppm). Kisaran pH larutan hara adalah 5 - 6.

Alat
Peralatan yang digunakan antara lain polybag berukuran 60 cm x 70 cm,
instalasi irigasi tetes untuk mengalirkan larutan hara ke tanaman, kontainer
kapasitas 90 l untuk menampung larutan hara stok A dan B, kontainer kapasitas
2 000 l untuk menampung larutan hara irigasi tetes yang telah diencerkan,
kontainer kapasitas 120 l untuk menampung larutan hara penyiraman manual yang
telah diencerkan, termo-hygrometer bola basah-bola kering untuk mengukur suhu
dan kelembaban udara (RH) di dalam rumah kaca, EC meter portable AD-310 dan
pH meter portable AD-110 untuk mengukur pH dan EC pada media,
SPAD (soil plant analysis development) untuk kuantifikasi kehijauan daun,
timbangan analitik, oven, dan alat ukur.

Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan
Bawah, University Farm, Fakultas Pertanian IPB dengan elevasi 240 m di atas
permukaan laut (dpl), Molecular Marker and Spectrophotometry UV-VIS
Laboratory IPB, dan Post Harvest Laboratory IPB. Kegiatan penelitian
berlangsung selama sembilan bulan mulai dari bulan November 2012 hingga Juli
2013.
Prosedur Percobaan
Penanaman
Bibit akar wangi varietas Verina 2 berupa anakan yang diperoleh dari Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) diperbanyak dan diadaptasikan
dengan lingkungan tumbuh sebelum digunakan dalam percobaan. Persiapan bibit
meliputi pemisahan bibit menjadi satu anakan, pemangkasan daun, dan
penanaman dalam polybag berisi kompos. Selama pemeliharaan, bibit dipupuk
dengan pupuk NPK mutiara 16:16:16 setiap satu minggu sekali dengan

8
konsentrasi 15 g l-1. Bibit dipelihara di dalam rumah naungan hingga 11 minggu
setelah tanam (MST). Bibit dengan jumlah daun 10 - 40 helai dipangkas hingga
tingginya seragam, yaitu 30 cm. Bibit kemudian dipindahtanamkan ke dalam
polybag berukuan 60 cm x 70 cm. Perlakuan komposisi media tanam 100% arang
sekam disiapkan dengan cara mengisi polybag dengan 8.5 kg arang sekam,
sedangkan perlakuan komposisi media tanam arang sekam : styrofoam (2:1) (v/v)
disiapkan dengan cara mengisi polybag dengan 6.4 kg arang sekam dan 0.4 kg
styrofoam. Perlakuan komposisi media tanam arang sekam : styrofoam (1:1) (v/v)
disiapkan dengan cara mengisi polybag dengan 4.3 kg arang sekam dan 0.4 kg
styrofoam. Jumlah bibit akar wangi ditanam ke dalam polybag sesuai dengan
perlakuan. Polybag diletakkan dalam lima baris di dalam rumah kaca dengan
jarak 30 cm antar polybag. Pada tiap polybag ditancapkan dua buah emiter irigasi
tetessebagai jalur fertigasi. Fertigasi dilakukan dengan frekuensi 2 kali/hari
dengan volume siram 1 000 ml/tiap kali siram pada pukul 10.00 WIB dan 13.00
WIB. Penyiraman secara manual juga dilakukan sebanyak 2 kali/hari dengan
volume siram 1 000 ml/polybag pada pukul 07.00 WIB dan 16.00 WIB.

Pemeliharaan dan Panen
Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi penyiraman rutin, sanitasi
lingkungan tumbuh, serta pengendalian hama secara manual. Pada minggu ke-16
setelah perlakuan dilakukan pengurangan frekuensi irigasi menjadi hanya
penyiraman secara manual sebanyak 2 kali/hari dengan volume siram
1 000 ml/polybag pada pukul 07.00 WIB dan 16.00 WIB. Pada minggu tersebut
juga dilakukan pemangkasan tajuk hingga menyisakan tinggi tajuk 30 cm. Pada
minggu ke-20 setelah perlakuan atau pada saat sebagian besar tanaman sudah
memiliki lebih dari tiga anakan, dilakukan pengambilan contoh destruktif
sebanyak tiga ulangan dengan cara membuka polybag agar tidak ada akar yang
tertinggal. Sisa tanaman (dua ulangan) tetap dipelihara hingga pertumbuhan
tanaman (massa akar) tidak dapat ditopang lagi oleh media tanam yang digunakan
(maksimal sampai 12 bulan setelah perlakuan/BSP).

Pengamatan
Pengamatan pertumbuhan dilakukan terhadap parameter agronomi dan
parameter fisiologi, sedangkan pengamatan data lingkungan dilakukan pada
parameter suhu dan kelembaban udara lingkungan rumah kaca dan parameter pH
dan EC larutan hara pada media.
A. Parameter agronomi. Pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, saat
muncul anakan pertama, dan jumlah anakan dilakukan setiap satu minggu
sekali setelah perlakuan sampai 16 MSP, kecuali parameter panjang akar,
jumlah akar besar, jumlah akar kecil, jumlah akar baru, jumlah akar total,
dan diameter akar total yang hanya dilakukan pada 20 MSP. Bobot basah
dan bobot kering tajuk diamati pada 16 MSP saat dilakukan pemangkasan
tajuk.

9
1. Tinggi tanaman (cm). Pengamatan tinggi tanaman dengan mengukur
dari pangkal tanaman (pada permukaan media) sampai bagian ujung
rumpun tanaman terpanjang.
2. Jumlah daun (helai). Pengamatan jumlah daun dilakukan dengan
menghitung daun yang sudah terbuka sempurna.
3. Saat muncul anakan pertama (hari setelah tanam/HST). Pengamatan
saat muncul anakan pertama dilakukan dengan melihat saat anakan
muncul pertama kali.
4. Jumlah anakan. Pengamatan jumlah anakan dilakukan sesuai jumlah
anakan yang muncul.
5. Bobot basah tajuk (g). Pengamatan bobot basah tajuk dilakukan
dengan menimbang tajuk dengan menggunakan timbangan analitik
setelah pemangkasan.
6. Bobot kering tajuk (g). Pengamatan bobot kering tajuk dilakukan
dengan menimbang tajuk setelah dikeringkan menggunakan oven
selama 24 jam pada suhu 80 oC.
7. Panjang akar (cm). Pengamatan panjang akar diukur dengan
menggunakan penggaris dari pangkal akar hingga ujung akar
terpanjang.
8. Jumlah akar besar (buah). Pengamatan jumlah akar besar dihitung
berdasarkan jumlah akar dengan diameter > 3 mm yang muncul
(Gambar 1A).
9. Jumlah akar kecil (buah). Pengamatan jumlah akar kecil dihitung
berdasarkan jumlah akar dengan diameter < 3 mm yang muncul
(Gambar 1B).
10. Jumlah akar baru (buah). Pengamatan jumlah akar baru dihitung
berdasarkan jumlah akar yang baru muncul berwarna putih tanpa
adanya akar tersier.
11. Jumlah akar total (buah). Pengamatan jumlah akar total dihitung
berdasarkan akar besar dijumlahkan dengan akar kecil.
12. Diameter akar total (cm). Pengamatan diameter akar total diukur
dengan menggunakan jangka sorong pada bagian tengah total akar.

Gambar 1 Kategori akar tanaman akar wangi. (A) akar besar berdiameter > 3mm,
ditunjukkan oleh panah putih dan (B) akar kecil berdiameter < 3 mm,
ditunjukkan oleh panah hitam

10
B. Parameter fisiologi
1. Warna daun. Pengamatan warna daun dilakukan pada 2, 5, dan 7 MSP
dengan alat SPAD (soil plant analysis development) pada daun
termuda kedua.
2. Kandungan klorofil daun. Analisis kandungan klorofil (klorofil a, b,
dan klorofil total), karotenoid, dan antosianin dianalisis pada 6 MSP
dengan
alat
spektrofotometer
UV
menggunakan
metode
Sims dan Gamon (2002).
C. Pengukuran data lingkungan
1. Suhu (oC) dan kelembaban (%). Pengamatan dilakukan dengan
mengukur suhu dan kelembaban rata-rata harian di dalam rumah kaca
setiap hari pada pukul 08.00, 12.00, dan 17.00 WIB. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan termo-hygrometer bola basah-bola
kering. Data suhu dan kelembaban yang diperoleh kemudian dibuat
menjadi rata-rata suhu dan kelembaban harian (Tjasyono 2004).
Pengukuran suhu rata-rata harian dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut (Handoko 1993):
Trata-rata harian = ((2 T08.00) + T12.00 + T17.00) / 4
T08.00 = suhu pada pengamatan pukul 08.00
T12.00 = suhu pada pengamatan pukul 12.00
T17.00 = suhu pada pengamatan pukul 17.00
2. pH dan EC larutan hara pada media. Kondisi larutan hara pada media
dimonitor dengan mengukur pH menggunakan pH meter portable
AD-110 dan EC menggunakan EC meter portable AD-310 setiap satu
bulan sekali.
Analisis Data
Penelitian ini disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak
(RKLT) dua faktor. Faktor pertama adalah komposisi media tanam (v/v) dengan
tiga taraf, yaitu 100% arang sekam, arang sekam : styrofoam (2:1), dan
arang sekam : styrofoam (1:1). Faktor kedua adalah jumlah bibit dalam satu
polybag yang terdiri atas dua taraf yaitu satu bibit dan dua bibit. Percobaan terdiri
atas enam kombinasi dengan lima ulangan sehingga terdapat 30 satuan percobaan.
Tiap satu satuan percobaan terdiri atas polybag berukuran 60 cm x 70 cm. Data
yang diperoleh dianalisis menggunakan uji F dengan perangkat lunak SAS 9.1.3.
Jika terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf α = 5%.
Model rancangan percobaan yang digunakan adalah:
Yijk = µ +αi + ßj + (α )ij + k+ εijk
Yijk
: Pengamatan pada perlakuan komposisi media ke-i, jumlah bibit ke-j, dan
kelompok ke-k
µ
: Nilai rataan umum hasil pengamatan
αi
: Pengaruh komposisi media ke-i
�j
: Pengaruh jumlah bibit ke-j

11
(α )ij : Pengaruh interaksi antara perlakuan komposisi media ke-i, jumlah bibit
ke-j
k
: Pengaruh kelompok ke-k
�ijk
: Pengaruh galat percobaan perlakuan komposisi media ke-i, jumlah bibit
ke-j, dan kelompok ke-k

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Penelitian
Parameter iklim mikro yang diamati selama penelitian berlangsung adalah
intensitas radiasi matahari, suhu, dan kelembaban udara harian di dalam rumah
kaca. Secara umum, intensitas radiasi matahari tertinggi yang diperoleh dari
(Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) BMKG Dramaga dicapai pada
saat 4, 5, 6, 7 MSP sekitar 1.5 × 10-7 MJ.cm-2.10-3 (Gambar 2A). Suhu rata-rata di
dalam rumah kaca pada bulan November 2012 hingga Juli 2013 saat penelitian
cukup tinggi, yaitu 30.0 oC. Rata-rata suhu dan kelembaban udara pada pagi hari
(08.00 WIB) adalah 27.0 oC dan 83.5%, siang (12.00 WIB) 35.6 oC dan 69.2%,
dan pada sore hari (17.00 WIB) 27.8 oC dan 82.2%. Kondisi suhu dan kelembaban
udara rumah kaca cenderung stabil dan sefluktuatif intensitas radiasi matahari
(Gambar 2B).

Suhu rata-rata harian (°C)

B

1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
33
32
31
30
29
28
27
26
25
24

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Minggu setelah perlakuan (MSP)

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Minggu setelah perlakuan (MSP)
Gambar 2 Intensitas radiasi matahari (A), suhu rata-rata harian rumah kaca ( ) &
kelembaban udara harian rumah kaca (

) (B) lingkungan saat penelitian

Kelembaban udara harian (%)

Intensitas radiasi ,matahari
(MJ.cm-2. 10-3)

A

12
Handoko (2009) menjelaskan bahwa intensitas radiasi matahari dapat
menyebabkan pemanasan udara di atas permukaan bumi dan menyebabkan
terjadinya penguapan. Peningkatan penguapan dapat menyebabkan nisbah
kelembaban di udara menjadi tinggi. Struktur bangunan rumah kaca yang
berfungsi mengurangi intensitas radiasi matahari berlebihan inilah yang
menyebabkan kelembaban udara dan suhu di dalam rumah kaca menjadi
cenderung stabil. Menurut Kartasapoetra (2008) dan Suhardiyanto (2009)
kestabilan suhu di dalam rumah kaca disebabkan karena sistem konstruksi dan
kaca pada rumah kaca yang menjaga fluktuasi suhu di dalam rumah kaca menjadi
lebih stabil dibandingkan dengan di luar rumah kaca.
Menurut Surtiningsih (2009) akar wangi dapat tumbuh dengan baik pada
kisaran suhu 17 – 27 oC. Meskipun pada beberapa kondisi suhu rumah kaca
melebihi suhu optimum pertumbuhan tanaman akar wangi, namun kondisi
lingkungan di dalam rumah kaca selama penelitian ini cukup sesuai bagi
pertumbuhan tanaman akar wangi. Hal tersebut ditunjukkan oleh pertumbuhan
tanaman akar wangi terus meningkat hingga 16 MSP (Gambar 3A, B, dan C).
B

200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0

Jumlah daun (helai)

Tinggi tanaman (cm)

A

0

2

4

6

8

400
350
300
250
200
150
100
50
0
0

10 12 14 16

6

8 10 12 14 16

Keterangan:
= 100% arang sekam dengan 1 bibit
= 100% arang sekam dengan 2 bibit
= arang sekam :styrofoam (2:1) dengan
1 bibit

60

Jumlah anakan

4

Minggu setelah perlakuan (MSP)

Minggu setelah perlakuan (MSP)
C

2

50
40
30

x

20
10

= arang sekam :styrofoam (2:1) dengan
2 bibit

x = arang sekam :styrofoam (1:1) dengan

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516
Minggu setelah perlakuan (MSP)

1 bibit
= arang sekam :styrofoam (1:1) dengan
2 bibit

Gambar 3 Pertumbuhan tanaman akar wangi. (A) tinggi tanaman [cm], (B) jumlah daun [helai],
dan (C) jumlah anakan tanaman akar wangi selama 16 MSP

Penelitian ini menunjukkan bahwa interaksi antara komposisi media tanam
dan jumlah bibit per polybag tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tanaman dan pertumbuhan akar tanaman akar wangi (Tabel 2). Komposisi media
tanam berpengaruh terhadap parameter jumlah daun, jumlah anakan, jumlah akar,
panjang akar, kandungan klorofil dan karotenoid daun tanaman akar wangi.

13
Jumlah bibit menunjukkan pengaruh nyata terhadap parameter jumlah daun,
jumlah anakan, jumlah akar, bobot basah dan kering tajuk tanaman akar wangi.
Tabel 2 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh komposisi media tanam dan jumlah
bibit per polybag terhadap karakter agronomi dan fisiologi tanaman akar
wangi
Umur
tanaman
(MSP)

Media
tanam

Jumlah
bibit

Jumlah
bibit *
media
tanam

Tinggi tanaman (cm)

16

tn

tn

tn

Saat muncul anakan pertama (HST)

16

tn

tn

tn

Jumlah daun (helai)

16

**

**

tn

Jumlah anakan

16

**

**

tn

Bobot basah tajuk (g)

16

tn

*

tn

Bobot kering tajuk (g)

16

tn

*

tn

Akar besar (unit)

20

**

**

tn

Akar kecil (unit)

20

**

**

tn

Akar total (unit)

20

**

**

tn

Akar baru (unit)

20

tn

tn

tn

Panjang akar (cm)

20

**

tn

tn

Diameter akar (cm)

20

tn

tn

tn

2

tn

tn

tn

7

tn

tn

tn

15

tn

tn

tn

Parameter
A. Karakter agronomi:

B. Karakter fisiologi:
Warna daun

Klorofil a

6

*

tn

tn

Klorofil b

6

**

tn

tn

Klorofil total

6

*

tn

tn

Antosianin

6

tn

tn

tn

Karotenoid
6
tn
tn
tn
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata pada taraf α=1%, * = berbeda nyata pada taraf α=5%, tn =
tidak berbeda nyata.

Pengaruh Media Tanam terhadap Pertumbuhan Tanaman Akar Wangi
Media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah anakan dan jumlah
daun tanaman akar wangi pada 16 MSP, namun tidak berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman, saat muncul anakan pertama, bobot basah dan kering tajuk pada
16 MSP (Tabel 3). Perkembangan tanaman akar wangi ditandai dengan
munculnya anakan yang merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman. Media
tanam arang sekam : styrofoam (1:1) menghasilkan rata-rata jumlah anakan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan media arang sekam 100%, namun tidak berbeda
dibandingkan dengan media arang sekam : styrofoam (2:1). Rata-rata saat muncul
anakan pertama pada semua perlakuan media adalah 4 - 6 hari setelah tanam

14
(HST). Semakin banyak jumlah anakan, maka jumlah daun juga akan semakin
tinggi. Jumlah daun tanaman akar wangi yang ditanam pada media
arang sekam : styrofoam (1:1) juga lebih tinggi dibandingkan dengan media
arang sekam 100% maupun arang sekam : styrofoam (2:1). Secara visual,
keragaan tajuk tanaman akar wangi pada komposisi media yang berbeda dengan
jumlah bibit yang berbeda ditampilkan pada Gambar 4.
Tabel 3 Pengaruh media tanam terhadap tinggi tanaman, saat muncul anakan
pertama, jumlah daun, dan jumlah anakan, bobot basah dan kering tajuk
pada 16 MSP
Tinggi
tanaman
(cm)

Saat
muncul
anakan
pertama
(HST)

Jumlah
anakan
(anakan)

Arang sekam 100%

185.1

6.0

Arang sekam : styrofoam (2:1)

190.3

4.8

Media tanam

Jumlah
daun
(helai)

Bobot
basah
tajuk
(g)

Bobot
kering
tajuk
(g)

36.8b

247.5b

213.4

44.8

43.0b

285.6ab

238.4

50.5

Arang sekam : styrofoam (1:1)
182.6
4.8
50.0a
333.6a
289.8
62.4
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α=5%.

Gambar 4 Perbandingan keragaan tajuk tanaman akar wangi pada komposisimedia tanam dan
jumlah bibit yang berbeda pada 16 MSP

15
Jumlah anakan dan jumlah daun pada media arang sekam : styrofoam (1:1)
yang lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan lain diduga disebabkan oleh
perbedaan sifat fisik media. Santoso et al. (2011) menyatakan bahwa styrofoam
terbuat dari bahan copolimer stryen yang tidak mengandung hara namun
mempunyai bobot yang sangat ringan yaitu 13 kg/m3 - 15 kg m3 -1. Styrofoam
memiliki bobot yang lebih ringan dibandingkan dengan arang sekam yaitu
125 kg m3 -1. Sifat media styrofoam yang ringan membuat campuran media antara
arang sekam dan styrofoam memiliki pori-pori media yang besar. Pori-pori besar
yang dimiliki oleh media arang sekam : styrofoam (1:1) memungkinkan akar
berkembang dengan baik sehingga menghasilkan tanaman yang lebih baik
pertumbuhannya dibandingkan dengan media arang sekam 100%. Suryanto dan
Dwi (2010) melaporkan bahwa kekurangan dari media arang sekam adalah media
tersebut lebih mudah hancur dan lapuk karena adanya proses dekomposisi secara
terus menerus yang pada akhirnya akan membuat media arang sekam menjadi
lebih padat. Diduga pemadatan pada media arang sekam 100% ini menyebabkan
pori-pori media mengecil. Pori arang sekam yang mengecil menyebabkan akar
sulit menembus media untuk melakukan penyerapan air dan hara sehingga
kebutuhan tanaman akan nutrisi tidak tercukupi yang mengakibatkan proses
fotosintesis dan petumbuhan tanaman terhambat. Sebaliknya pada media arang
sekam : styrofoam (1:1), struktur styrofoam tidak mengalami perubahan dari awal
hingga akhir perlakuan. Campuran media arang sekam : styrofoam (1:1)
memberikan hasil yang paling baik bagi pertumbuhan akar wangi. Menurut
Ginting (2008) penggunaan media campuran cenderung mendorong pertumbuhan
tanaman menjadi lebih baik dibandingkan dengan hanya satu media. Penggunaan
media campuran dapat memperbaiki kekurangan sifat dari masing-masing bahan
yaitu kecepatan pelapukan, tingkat tersedianya hara, dan kondisi kelembaban
dalam media tanam. Selain dipengaruhi oleh sifat fisik media, pertumbuhan
tanaman yang lebih baik pada media arang sekam : styrofoam (1:1) diduga karena
tanaman pada media tersebut menyerap hara lebih tinggi dibandingkan pada
perlakuan lainnya. Hal tersebut tampak dari nilai EC (electrical conductivity)
media arang sekam : styrofoam (1:1) yang lebih rendah dibandingkan media arang
sekam 100% pada 8 MSP (Tabel 4). Rata-rata nilai EC larutan hara yang
diaplikasikan ke tiap media adalah 512 ppm. Penurunan EC media seiring dengan
tumbuhnya tanaman diduga menggambarkan bahwa sebagian hara yang
diaplikasikan telah diserap oleh tanaman.
Tabel 4 Pengaruh media tanam terhadap nilai EC
Media tanam

EC (ppm)
4 MSP

8 MSP

12 MSP

Arang sekam 100%

178.5

634.7a

173.0

Arang sekam : styrofoam (2:1)

211.5

368.7b

181.7

Arang sekam : styrofoam (1:1)
231.2
340.2b
218.0
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α=5%.

Media tanam berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil a, klorofil b,
klorofil total, dan karotenoid daun tanaman akar wangi pada 6 MSP, namun tidak

16
berpengaruh nyata terhadap warna daun pada 7 MSP dan kandungan antosianin
pada 6 MSP (Tabel 5). Media tanam arang sekam : styrofoam (2:1) menghasilkan
rata-rata kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan karotenoid yang lebih
tinggi dibandingkan dengan media arang sekam 100%, namun tidak berbeda
dibandingkan dengan media arang sekam : styrofoam (1:1). Diduga penggunaan
media campuran arang sekam dan styrofoam mampu mendukung proses
metabolisme tanaman, termasuk pembentukan klorofil pada daun. Pori-pori media
pada campuran arang sekam dan styrofoam yang ideal, memudahkan pergerakan
akar dalam menyerap air dan hara sehingga kebutuhan tanaman akan hara
tercukupi untuk proses fotosintesis di daun. Menurut Li et al. (2006) klorofil
merupakan komponen kloroplas yang utama dan kandungan klorofil relatif
berkorelasi positif dengan laju fotosintesis. Hasil penelitian Prihastanti (2010)
menunjukkan bahwa pada tanaman kakao pembentukan klorofil akan berlangsung
optimal apabila kondisi media mampu mendukung proses fisiologi tanaman,
seperti ketersediaan air dan hara.
Tabel 5 Pengaruh media tanam terhadap warna daun pada 7 MSP dan kandungan
klorofil daun pada 6 MSP
Media tanam

Warna
daun

Klorofil Klorofil Klorofil
Antosianin
Karotenoid
total
a
b
(mmol g-1)
-1
…………….…....mg g daun segar………….

Arang sekam 100%

40.3

1.4b

1.0b

0.4b

0.2b

0.3

Arang sekam : styrofoam (2:1)

42.2

2.7a

2.0a

0.7a

0.5a

0.4

Arang sekam : styrofoam (1:1)
42.6
2.5a
1.8a
0.7a
0.4a
0.4
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α=5%.

Media tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah akar besar, akar kecil, akar
total, dan panjang akar tanaman akar wangi pada 20 MSP, namun tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah akar baru dan diameter akar pada 20 MSP
(Tabel 6). Media tanam arang sekam : styrofoam (1:1) menghasilkan rata-rata
jumlah akar besar, akar kecil, akar total, dan panjang akar yang lebih tinggi
dibandingkan
dengan
media
arang
sekam
100%
maupun
arang sekam : styrofoam (2:1). Media tanam dengan porositas tinggi dapat
memacu pertumbuhan akar dibandingkan media dengan porositas rendah.
Pelapukan arang sekam seiring berjalannya waktu (Suryanto dan Dwi 2010) dapat
menyebabkan penurunan porositas media dan menghambat perkembangan akar.
Pertumbuhan akar tanaman pada media arang sekam : styrofoam (1:1) lebih tinggi
dibandingkan pada media arang sekam 100% dikarenakan media lebih mudah
ditembus oleh akar untuk pengambilan air dan hara dari dalam media. Oleh karena
itu, keberadaan styrofoam dalam media tanam dapat membantu mempertahankan
porositas media dan menunjang pertumbuhan akar. Secara visual, keragaan akar
tanaman akar wangi pada komposisi media yang berbeda dengan jumlah bibit
yang berbeda ditampilkan pada Gambar 5.

17
Tabel 6 Pengaruh media tanam terhadap jumlah akar besar, akar kecil, akar total,
akar baru, panjang akar, dan diameter akar pada 20 MSP
Akar
besar
(unit)

Akar
kecil
(unit)

Akar
total
(unit)

Akar
baru
(unit)

Panjang
akar
(cm)

Diameter
akar (cm)

Arang sekam 100%

82.2b

44.3b

135.5b

3.3

110.5b

18.3

Arang sekam : styrofoam (2:1)

101.0b

43.8b

157.3b

3.6

133.3a

18.7

Media tanam

Arang sekam : styrofoam (1:1)
144.3a 80.0a 248.5a
4.7
153.3a
18.2
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α=5%.

Gambar 5 Perbandingan keragaan akar tanaman akar wangi pada komposisi media tanam dan
jumlah bibit yang berbeda pada 20 MSP

Salah satu fungsi utama akar adalah untuk menyerap air. Song (2005)
melaporkan bahw