Potensi ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat dalam ransum dan pengaruhnya terhadap kadar kolesterol serta kualitas karkas babi

(1)

POTENSI AMPAS SAGU DAN LIMBAH UDANG SEBAGAI

SUMBER SERAT DALAM RANSUM DAN PENGARUHNYA

TERHADAP KADAR KOLESTEROL SERTA KUALITAS

KARKAS BABI

TABITA NAOMI RALAHALU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “ Potensi Ampas Sagu dan Limbah Udang sebagai Sumber Serat dalam Ransum dan Pengaruhnya terhadap Kadar Kolesterol serta Kualitas Karkas babi” adalah karya saya sendiri dibawah arahan dan bimbingan komisi pembimbing. Karya ini belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Tabita Naomi Ralahalu


(3)

ABSTRACT

TABITA NAOMI RALAHALU

. P

otential of Sago Waste andShrimp Waste as a Source of Fiber in the Ration and their Effect on Swine Cholesterol Level and Carcass Quality. SUPERVISED by KARTIARSO, AMINUDDIN PARAKKASI, KOMANG G. WIRYAWAN, and RUDY PRIYANTO

Cholesterol is required for the proper function of the body. However, if it is excessive in the body, it will cause artherosclerosis. This experiment was conducted in three stages : (1). fermentation of sago waste consisting of six treatments namely 0, 3, 4, 5, 6 and 7 weeks. (2). giving of sago waste, shrimp waste and their combination at different levels in ration of white rat, namely : R0, 10% of sago waste, 20% of sago waste, 10% of shrimp waste, 20% of shrimp waste, 10% of fermented sago waste and 20% of fermented sago waste (experiment IIa).

E

xperiment IIb

:

R0, 2.5% of sago waste + 17.5% of shrimp waste, 5% of sago waste + 15% of shrimp waste, 7.5 of sago waste + 12.5 % of shrimp waste, 10% of sago waste +10% of shrimp waste, 12.5% of sago waste + 7.5% of shrimp waste, 15% of sago waste + 5% of shrimp waste, 17.5% of sago waste + 2.5% of shrimp waste, 20% of sago waste + 0% of shrimp waste and 0% of sago waste + 10% of shrimp waste; (3). giving of sago waste, and shrimp waste at different levels in swine ration consisting of six treatments namely R0, 0% of sago waste + 10% of shrimp waste, 10% of sago waste + 10% of shrimp waste, 12.5% of sago waste + 7.5% of shrimp waste, 17.5% of sago waste + 2.5% of shrimp waste, 20% of sago waste + 0% of shrimp waste. The results showed that fermentation time has a significant effect (P<0.05) on all parameters measured. In conclusion, the content of crude protein, true protein and cellulose of sago waste increased for 5 weeks of fermentation. The results of experiment IIa showed that the treatments had significant effects on live weight gain, feed efficiency and blood cholesterol (P<0.05). It can be concluded that the use of sago waste up to 20% in the ration results in high live weight gain and feed efficiency, and low blood cholesterol. The results of experiment IIb indicated that the treatments affected blood cholesterol and triglyceride significantly (P<0.05). It can be concluded that ration supply of 15% of sago waste + 5% of shrimp waste affects blood cholesterol and triglyceride. The results from experiment III showed that the treatments had effect on the rate of passage, carcass weight and carcass percentage of swine. It can be concluded that ration 0% of sago waste + 10% of shrimp waste results in faster rate of passage, rations R0 and 17.5% of sago waste + 2.5% of shrimp waste result in greater carcass weight. The higher carcass percentage result from ration of 10% of sago waste + 10% of shrimp waste. The use of sago waste as much as 20% results in the highest level of unsaturated fatty acid.

Key words: sago waste, fermentation, Pleurotus ostreatus, shrimp waste, rat, swine.


(4)

TABITA NAOMI RALAHALU. Potensi Ampas Sagu dan Limbah Udang sebagai Sumber Serat dalam Ransum dan Pengaruhnya terhadap Kadar Kolesterol serta Kualitas karkas Babi. Dibimbing oleh KARTIARSO, AMINUDDIN PARAKKASI, KOMANG G. WIRYAWAN dan RUDY PRIYANTO.

Penggunaan serat dalam ransum sebagai salah satu upaya untuk menurunkan kadar kolesterol dan memperbaiki kualitas karkas ternak terus dilakukan melalui pemberian serat diantaranya selulosa, kitin, kitosan dan pektin. Beberapa hasil penelitian pemberian selulosa dan kitin dapat menurunkan kadar kolesterol, seperti yang disimpulkan oleh Horigome et al. (1992) bahwa bagian serat baik yang bersifat larut maupun yang tidak larut menurunkan kolesterol. Selain itu, laporan hasil penelitian van Bennekum et al. (2005) tentang pengaruh serat tidak larut terhadap kolesterol mencit juga menyatakan bahwa pemberian 7,5% selulosa dan khitosan dalam ransum berpengaruh nyata terhadap akumulasi kolesterol mencit. Serum kolesterol pada mencit yang mendapatkan perlakuan tersebut masing-masing 1,6 dan 2,2 mg lebih rendah daripada kontrol (4,3 mg). Dilanjutkan Zacour et al. (1992) yang menyatakan bahwa pemberian 5% kitin dalam ransum tikus yang mengandung 7% lemak sapi dan 1% kolesterol menurunkan taraf trigliserida dan kolesterol hati. Terkait dengan manfaat serat yang dapat menurunkan kolesterol, maka penggunaan ampas sagu dan limbah udang dalam ransum untuk tujuan menurunkan kolesterol dan memperbaiki kualitas karkas pun dapat dilakukan. Hal ini disebabkan kedua bahan tersebut masing-masing memiliki selulosa dan kitin serta terdapat dalam jumlah yang banyak. Penggunaan ampas sagu dan kombinasinya dengan limbah udang untuk menurunkan kolesterol dan memperbaiki kualitas karkas ternak babi sampai saat ini belum dilakukan. Untuk memperoleh informasi mengenai hal tersebut dilakukan suatu penelitian dengan judul: potensi ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat dalam ransum dan pengaruhnya terhadap kadar kolesterol dan kualitas karkas babi. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan penelitian. Menyadari kualitas ampas sagu yang rendah, maka pada penelitian tahap pertama dilakukan fermentasi ampas sagu dengan menggunakan jamur Pleurotus ostreatus

untuk meningkatkan kualitas nutrisi ampas sagu. Untuk mempelajari penggunaan serat ampas sagu dan limbah udang terhadap kolesterol dan kualitas karkas babi dilakukan penelitian pendahuluan pada tikus yang terdiri atas dua bagian. Penelitian tahap akhir dilakukan pada ternak babi.

Penelitian tahap I: “pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar nutrien ampas sagu” dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember 2008 Penelitian tahap II: “performa, profil lipida darah dan kolesterol daging tikus putih (Rattus

norvegicus) yang diberi ransum dengan level ampas sagu, ampas sagu fermentasi

dan limbah udang yang berbeda” dilaksanakan pada bulan Pebruari–Agustus 2009. Penelitian tahap III: “performa, profil lipida darah dan kualitas karkas babi yang diberi ransum mengandung ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya”dilaksanakan pada bulan Pebruari-Sepetember 2010.

Bahan yang digunakan dalam penelitian tahap I (fermentasi ampas sagu) adalah ampas sagu (Metroxylon spp) kering, urea, FeSO4, ZnSO4 dan jamur


(5)

sagu adalah autoclave, laminar air flow, plastik PP. Penelitian pada tahap II menggunakan hewan tikus putih (Rattus norvegicus) strain Spraque dowley

dewasa berumur satu bulan, sebanyak 28 ekor dengan rataan berat badan awal 56 ± 4,99 g (tahap II a) dan berumur dua bulan sebanyak 40 ekor dengan rataan berat badan awal 195,62 ± 6,93 g pada tahap IIb. Ransum yang digunakan terdiri atas, ampas sagu, ampas sagu fermentasi, limbah udang, jagung kuning, dedak padi, bungkil kelapa, tepung ikan, minyak kelapa garam dan premix (vitamin dan mineral). Ransum disusun iso protein dan iso energi metabolisme dimana proporsi tiap bahan makanan dalam tiap perlakuan ditentukan setelah diketahui hasil analisis tiap bahan makanan.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian tahap II adalah 68 unit kandang metabolis, tempat makan dan minum, timbangan untuk menimbang tikus dan ransum serta separangkat peralatan analisa proksimat untuk mengetahui kandungan nutrien bahan makanan, dan seperangkat peralatan untuk analisis profil lipida darah, kolesterol jaringan lemak dan kolesterol daging.

Penelitian tahap III menggunakan ternak babi jantan kastrasi lokal keturunan VDL berumur lima bulan sebanyak 18 ekor dengan kisaran bobot badan awal 16-21 kg dengan rataan bobot badan 18 ± 1,57 kg. Ransum yang digunakan terdiri atas, ampas sagu, limbah udang, jagung kuning, dedak padi, bungkil kelapa, tepung ikan, minyak kelapa, garam dan premix.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian III adalah 18 unit kandang yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum, timbangan untuk menimbang ternak dan ransum serta seperangkat peralatan analisis profil lipida darah, penggaris, plastik transparan dan planimeter.

Rancangan yang digunakan dalam penelitian tahap I, II dan III adalah rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan pada tahap I sebanyak enam perlakuan waktu fermentasi, yakni 0, 3, 4, 5, 6, dan 7 minggu masing-masing tiga ulangan. Peubah yang diamati adalah protein kasar, protein murni, serat kasar, NDF, ADF, selulosa dan lignin. Uji lanjut yang digunakan pada tahap I dan II adalah uji Duncan. Perlakuan yang diuji pada penelitian tahap IIa, sebanyak tujuh perlakuan masing-masing empat ulangan dengan taraf ampas sagu (ASA), ampas sagu fermentasi (ASAF), dan limbah udang (LU) masing-masing 0, 10 dan 20%. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan ransum, kolesterol, HDL, LDL, trigliserida darah dan kolesterol daging. Penelitian pada tahap IIb menggunakan 10 perlakuan masing-masing empat ulangan dengan taraf ampas sagu (ASA) dan limbah udang (LU) yang berbeda. Perlakuan yang diberikan adalah R0 (ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang); R1 (2,5% ASA + 17,5% LU); R2 (5% ASA + 15% LU); R3 (7,5% ASA+ 12,5% LU); R4 (10% ASA+ 10% LU); R5 (12,5% ASA + 7,5% LU); R6 (15% ASA + 5% LU); R7 (17,5% ASA + 2,5% LU); R8 (20% ASA + 0% LU) dan R9 (0% ASA + LU 10%). Perlakuan yang diuji pada tahap III sebanyak enam perlakuan masing-masing tiga ulangan, yakni R0 (ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang); R1 (0% ASA + 10% LU); R2 (10% ASA + 10% LU); R3 (12,5% ASA + 7,5% LU); R4 (17,5% ASA + 2,5% LU) dan R5 (20% ASA + 0% LU). Data dianalisis menggunakan analisis kovariat dan uji lanjut yang digunakan adalah uji T.

Hasil yang diperoleh pada penelitian berturut-turut, tahap I: waktu fermentasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar nutrien ampas sagu;


(6)

penggunaan ransum; penelitian tahap IIb: pemberian taraf ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya tidak mempengaruhi performa tikus akan tetapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kolesterol dan trigliserida darah. Penelitian tahap III: taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum, bobot karkas, persentase karkas dan laju digesta sedangkan peubah yang lain tidak berpengaruh nyata.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Penelitian tahap I: fermentasi ampas sagu yang diperkaya dengan mineral urea, FeSO4, ZnSO4 dan menggunakan jamur Pleurotus ostreatus berpengaruh sangat nyata pada semua peubah yang diamati. Persentase kadar protein kasar, protein murni dan selulosa ampas sagu pada waktu fermentasi lima minggu, berturut-turut meningkat 7,23; 4,37 dan 40,61% sebaliknya persentase kadar lignin menurun secara drastis, yakni 33,17%. Penelitian tahap IIa: pemberian ampas sagu dan limbah udang tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum, akan tetapi pemberian ransum R2 (20% ampas sagu) menghasilkan pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum yang tertinggi, masing-masing 3,55 g dan 0,31. Kadar kolesterol darah terendah terdapat pada 20% pemberian ampas sagu, yakni 59,75 mg/dl, sedangkan profil lipida darah lainnya dan kolesterol daging tidak dipengaruhi oleh pemberian ampas sagu dan limbah udang. Penelitian tahap IIb: perlakuan tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum; kadar kolesterol darah tikus yang terendah masing-masing pada perlakuan R6 = 45,95 mg/dl, R3 = 46,26 mg/dl dan R4 = 48,74 mg/dl; pemberian perlakuan dalam ransum tidak meningkatkan dan menurunkan kadar HDL dan LDL darah tikus; kadar trigliserida darah tikus menurun pada ransum R6 dan R5 masing-masing 43,81 mg/dl dan 54,57 mg/dl dan pemberian perlakuan dalam ransum tidak meningkatkan kadar kolesterol daging. Penelitian tahap III: konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan ransum, profil lipida darah, kolesterol jaringan lemak dan kolesterol daging babi tidak dipengaruhi oleh perlakuan; ransum R9 menghasilkan laju digesta yang lebih cepat, yakni 17,04 jam; bobot karkas yang tertinggi diperoleh pada ransum R0 dan R7, masing-masing 31,80 dan 30,19 kg; persentase karkas tertinggi pada ransum R4, yakni 76,52%; Ransum R1 lebih ekonomis dengan harga Rp. 2776,3 dan harga ransum untuk menaikkan tiap kilogram bobot badan Rp. 12656,60. Kesimpulan umum yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: waktu optimum fermentasi ampas sagu adalah 5 minggu dengan kadar protein kasar, protein murni, selulosa dan lignin berturut-turut 7,23%, 4,37%, 40,61% dan 2,71%; ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat berpotensi menurunkan kolesterol darah dan memperbaiki kualitas karkas babi serta persentase pemberian ampas sagu dan limbah udang yang baik dalam ransum sebesar 17,5 dan 2,5%.

Kata kunci: ampas sagu, fermentasi, Pleurotus ostreatus, tikus, limbah udang, babi


(7)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

TERHADAP KADAR KOLESTEROL SERTA

KUALITAS

KARKAS BABI

TABITA NAOMI RALAHALU

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Pollung H Siagian, MS 2. Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS


(10)

Judul Disertasi : Potensi Ampas Sagu dan Limbah Udang sebagai Sumber Serat dalam Ransum danPengaruhnya terhadap Kadar Kolesterol sertaKualitas Karkas Babi

Nama : Tabita Naomi Ralahalu

NIM : D061060021

Program Studi : Ilmu Ternak

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc

Ketua Anggota

Prof. Dr. drh. Aminuddin Parakkasi, M.Sc

Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan

Anggota Anggota Dr. Ir. Rudy Priyanto

Diketahui,

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc,Agr Dr. Ir.Dahrul Syah, M.Sc,Agr


(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas segala bimbingan dan karuniaNYA sehingga penelitian dan karya ilmiah dengan judul “Potensi Ampas Sagu dan Limbah Udang sebagai Sumber Serat dalam Ransum dan Pengaruhnya terhadap Kadar Kolesterol serta Kualitas karkas Babi” berhasil diselesaikan.

Penelitian yang dilaksanakan dari bulan Oktober 2008 sampai September 2010 mempunyai arti penting mengingat: (1) ampas sagu sampai saat ini belum dimanfaatkan sebagai komponen dalam ransum, (2) ampas sagu dan limbah udang berpotensi sebagai sumber serat dan (3) kadar kolesterol daging babi yang masih tinggi sehingga diperlukan upaya melalui formulasi ransum untuk menurunkan kolesterol dan sekaligus memperbaiki kualitas karkas babi.

Bagian dari disertasi ini telah ditelaah dan disetujui masing-masing tanggal 27 Juni dan 13 Juli 2011 untuk diterbitkan pada jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan (JITP) Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin dengan judul Pengaruh Ampas Sagu, Limbah Udang dan Kombinasinya terhadap Kadar Kolesterol dan Pertumbuhan Tikus Putih. Artikel lain yang berjudul Kolesterol Plasma dan Pertumbuhan Tikus Putih yang Diberi Ampas Sagu dan Limbah Udang dengan Level yang Berbeda pada jurnal Forum Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dapat terselesaikan karena dukungan dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Anggota Komisi Pembimbing masing-masing Prof. Dr. drh. Aminuddin Parakkasi, M,Sc, Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan dan Dr. Ir. Rudy Priyanto yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya dalam membimbing penulis sejak munculnya ide penelitian, penulisan proposal, kegiatan penelitian, penulisan artikel sampai selesainya penulisan disertasi. Kiranya para pembimbing diberikan kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk terus berkarya.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor, Dekan Fakultas Pertanian dan Pimpinan Jurusan, Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Rektor Institut Pertanian Bogor, Pengelola Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan dan wakil Dekan Fakultas Peternakan, Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi, Ketua Program Studi Ilmu Ternak IPB beserta staf dan pegawainya dan Program Hibah Doktor Dikti, Program Hibah Bersaing Dikti, Pemerintah Daerah Provinsi Maluku, Yayasan Dana Beasiswa Maluku yang telah memberikan kepercayaan dan dorongan kepada penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang Program S3 di sekolah Pascasarjana, Institut pertanian Bogor dan telah


(12)

Terima kasih penulis ucapkan kepada penguji luar komisi pada ujian kualifikasi doktor dan ujian tertutup serta ujian terbuka.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, M.Sc, Ir. S.E. Ajawaila, Ir. M. Taihutu, Ir. A. Kastanya, , Ir. C.Ch.E. Latupeirissa, M.App, Sc, Dr. Ir. I. Sangaji, M.Si, Dr. Ir. J. Salamena, M,Si, Dr. Ir. D. Selanno, M.Sc, dan Ir. E. Jambormias, M.Si, Dr.Ir. S. Syahrir, M.Si, Zubir, SPt, MS, Sayuti, SPt, M.Si, Dr. Ir. F. Agustin, Ir. P.R. Matitaputty, M.Si, teman-teman Persekutuan Mahasiswa Maluku yang memberikan dukungan, semangat, doa dan berbagi wawasan.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ir. F. Hangewa, M.Si dan keluarga, Ir. I. Dilago, Ir. Marce Nurwan, Ir. Jefry Bobaya, Mourits Papoto, Fendy, Rius, Martonis, Felmi Gaza, pak Tony, pak Sutiwa, Endang, Rahmat, pak Sofyan, pak Taufik, ibu Willy dan ibu Neh yang telah membantu penulis pada pelaksanaan kegiatan penelitian.

Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar atas dukungan doa dan kasih sayang yang selalu diberikan. Akhirnya terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada suami tercinta Ir. Elisa Joseph Gaspersz, SU dan ananda Yogi Victor Gaspersz, ST atas segala doa, pengorbanan dan semangat yang selalu diberikan selama penulis dalam melaksanakan studi.

Semoga disertasi ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan bahan acuan khususnya di dalam bidang peternakan.

Bogor, Januari 2012

Tabita Naomi Ralahalu


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kotamadya Ambon, Provinsi Maluku pada tanggal 16 Mei 1960. Penulis adalah anak ke enam dari enam bersaudara dari pasangan ayah Kho Keng Leng (almarhum) dan ibu Maria Ralahalu (almarhumah).

Pada tahun 1979 penulis melanjutkan studi pada Fakultas Pertanian, Jurusan Peternakan Universitas Pattimura. Penulis mengikuti pendidikan Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor tahun 1995 dan menyelesaikannya pada tahun 1998 dan pada tahun 2006 melanjutkan studi ke Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon sejak bulan Maret 1988 sampai sekarang. Penulis menikah dengan Ir. Elisa Joseph Gaspersz, SU pada tahun 1983 dan dikaruniai seorang putra yang bernama Yogi Victor Gaspersz, lahir tahun 1985.


(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ... ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

Ruang Lingkup Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Ternak Babi ... 9

Pertumbuhan Ternak Babi ... 10

Pencernaan dan Metabolisme Lemak ... 12

Kolesterol ... 13

Serat dan Pencernaannya ... 14

Serat pangan ... 16

Ampas Sagu ... 19

Kandungan Nutrien Ampas Sagu ... 20

Usaha Meningkatkan Nilai Nutrien Ampas Sagu ... 23

Limbah Udang ... 26

Potensi Produksi Limbah Udang ... 26

Kandungan Nutrien Limbah Udang ... 27

Sifat Fisiko Kimiawi Kitin ... 27

Kitin ... 27

Pemanfaatan Limbah Udang sebagai Pakan Ternak ... 29

Karakteristik Karkas Babi ... 31

Bobot Potong dan Bobot Karkas ... 33

Persentase karkas ... 34

Tebal Lemak Punggung ... 34

Luas Urat Daging Mata Rusuk ... 36

Karakteristik Daging Babi ... 37


(15)

PENGARUH WAKTU FERMENTASI TERHADAP KADAR NUTRIEN AMPAS SAGU

Abstract ... 41

Pendahuluan ... 41

Bahan dan Metode ... 42

Hasil dan Pembahasan ... 45

Simpulan ... 55

Daftar Pustaka ... 56

PERFORMA, PROFIL DARAH DAN KOLESTEROL DAGING TIKUS PUTIH YANG DIBERI RANSUM DENGAN LEVEL AMPAS SAGU, AMPAS SAGU FERMENTASI DAN LIMBAH UDANG YANG BERBEDA Abstract ... 59

Pendahuluan ... 60

Bahan dan Metode ... 61

Hasil dan Pembahasan ... 67

Simpulan ... 86

Daftar Pustaka ... 86

PERFORMA, PROFIL DARAH DAN KUALITAS KARKAS BABI YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG AMPAS SAGU, LIMBAH UDANG DAN KOMBINASI NYA Abstract ... 89

Pendahuluan ... 89

Bahan dan Metode ... 91

Hasil dan Pembahasan ... 97

Simpulan ... 120

Daftar Pustaka ... 120

PEMBAHASAN UMUM ... 129

SIMPULAN UMUM DAN SARAN ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 131


(16)

Halaman

1 Komposisi kimia ampas sagu ... 22

2 Komposisi nutrien tepung limbah udang dan tepung ikan ... 27

3 Kadar serat kasar pada berbagai konsentrasi HCl dan lama waktu pemasakan dengan pressure cooker ... 29

4 Standar ternak babi siap potong untuk ekspor hubungan tebal lemak punggung, presentase daging dan penggolongan kelas ... 35

5 Tingkat marbling, skor dan status penerimaan ... 38

6 Warna daging, skor dan status penerimaan ... 40

7 Kepadatan daging, skor dan status penerimaan ... 40

8 Kandungan nutrien ampas sagu pada waktu fermentsi yang berbeda ... 45

9 Kadar pati ampas sagu hasil dari waktu fermentasi yang berbeda ... 52

10 Ransum tikus penelitian tahap IIa ... 63

11 Ransum tikus penelitian tahap IIb ... 65

12 Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum tikus yang diberi ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang ... 67

13 Kecernaan nutrien ransum yang diberi ampas sagu, ampa sagu fermentasi dan limbah udang ... 69

14 Kadar kolesterol, trigliserida, HDL dan LDL darah serta kolesterol daging tikus yang diberi ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang ... 70

15 Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum tikus yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya ... 77

16 Kecernaan nutrien ransum yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya ... .... 79

17 Profil darah, kolesterol daging dan jaringan lemak tikus yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya ... 80


(17)

19 Konsumsi ransum babi yang diberi ampas sagu, limbah udang

dan kombinasinya ... 97 20 Pertambahan bobot badan babi yang diberi ampas sagu, limbah

udang dan kombinasinya ... 99 21 Kecernaan nutrien ransum yang diberi ampas sagu, limbah udang dan

kombinasinya ... 101 22 Efisiensi penggunaan ransum babi yang diberi ampas sagu,

limbah udang dan kombinasinya ... 101 23 Profil lipida darah, kolesterol daging, kolesterol jaringan lemak, laju

digesta, bilangan iodium lemak punggung,dan bilangan iodium daging babi yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya ... 103

24 Karakteristik karkas babi yang diberi ampas sagu, limbah udang

dan kombinasinya ... 112 25 Berat komponen empedu babi yang diberi ampas sagu, limbah udang

dan kombinasinya ... 116 26 Komposisi asam lemak daging babi yang diberi ampas sagu, limbah

udang dan kombinasinya ... 118 27 Harga tiap kilogram ransum, jumlah dan biaya ransum untuk kenaikan per kilogram bobot badan ... 119


(18)

Halaman

1a Diagram alir penelitian tahap I ... 5

1b Diagram alir penelitian tahap IIa ... 6

1c Diagram alir penelitian tahap IIb ... 7

1d Diagram alir penelitian tahap III ... 8

2 Kurva pertumbuhan ... 11

3 Struktur trigliserida ... 12

4 Struktur kolesterol ... 14

5 Sintesa kolesterol ... . 15

6 Mekanisme selulosa menghambat sintesa kolesterol ... 18

7 Skema pembuatan tepung sagu ... 21

8 Struktur kitin ... 28

9 Mekanisme kitin terhadap kolesterol dan tebal lemak punggung babi ... 32

10 Pemurnian dan pembuatan stok bibit jamur tiram serta produk ampas sagu fermentasi ... 44


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Analisis ragam kadar protein kasar ampas sagu fermentasi ... 143

2 Analisis ragam kadar protein murni ampas sagu fermentasi ... 143

3 Analisis ragam kadar serat kasar ampas sagu fermentasi ... 143

4 Analisis ragam kadar NDF ampas sagu fermentasi ... 143

5 Analisis ragam kadar ADF ampas sagu fermentasi .. ... 144

6 Analisis ragam kadar selulosa ampas sagu fermentasi ... 144

7 Analisis ragam kadar lignin ampas sagu fermentasi . ... 144

8 Analisis ragam kadar silika ampas sagu fermentasi .. ... 144

9 Analisis ragam konsumsi ransum tikus putih ... ... 145

10 Analisis ragam pertambahan bobot badan tikus putih ... 145

11 Analisis ragam efisiensi penggunaan ransum tikus putih ... 145

12 Analisis ragam kolesterol darah tikus putih ... ... 145

13 Analisis ragam HDL darah tikus putih ... ... 146

14 Analisis ragam LDL darah tikus putih ... ... 146

15 Analisis ragam trigliserida darah tikus putih .. ... 146

16 Analisis ragam kolesterol daging tikus putih . ... 146

17 Analisis ragam konsumsi ransum tikus putih ... 147

18 Analisis ragam pertambahan bobot badan ... ... 147

19 Analisis ragam efisiensi penggunaan ransum tikus putih ... 147

20 Analisis ragam kolesterol darah tikus putih ... ... 147

21 Analisis ragam HDL darah tikus putih ... ... 148


(20)

24 Analisis ragam kolesterol daging tikus putih ... ... 148

25 Analisis ragam kolesterol jaringan lemak tikus putih ... 149

26 Analisis peragam (Ancova) rataan konsumsi ransum babi ... 149

27 Analisis peragam (Ancova) pertambahan bobot badan babi ... 149

28 Analisis peragam (Ancova) rataan efisiensi penggunaan ransum babi ... ... 149

29 Analisis peragam (Ancova) kolesterol darah babi ... 150

30 Analisis peragam (Ancova) HDL darah babi ... ... 150

31 Analisis peragam (Ancova) LDL darah babi ... ... 150

32 Analisis peragam (Ancova) trigliserida darah babi ... 150

33 Analisis peragam (Ancova) kolesterol daging babi ... 151

34 Analisis peragam (Ancova) kolesterol jaringan lemak babi ... 151

35 Analisis peragam (Ancova) bilangan iodium daging babi ... 151

36 Analisis peragam (Ancova) bilangan iodium lemak punggung babi ... 151

37 Analisis peragam (Ancova) laju digesta ... ... 152

38 Analisis peragam (Ancova) bobot karkas babi . ... 152

39 Analisis peragam (Ancova) persentase karkas babi ... 152

40 Analisis peragam (Ancova) tebal lemak punggung babi ... 152

41 Analisis peragam (Ancova) luas udamaru babi ... 153

42 Analisis peragam (Ancova) berat empedu babi ... 153

43 Analisis peragam (Ancova) berat isi empedu babi ... 153

44 Analisis peragam (Ancova) berat kantung empedu ... 153

45 Bobot badan babi (kg/ekor/2 mgg) yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya ... ... 154


(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ampas sagu adalah limbah yang diperoleh dari proses pengolahan batang sagu menjadi tepung sagu, banyak dijumpai di daerah penghasil sagu (Metroxylon spp). Limbah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, campuran briket arang, campuran papan partikel, media jamur, dan media pembuatan kompos. Kebiasaan masyarakat peternak dalam memanfaatkan ampas sagu sebagai pakan ternak telah dilakukan sejak dahulu. Hal ini dikarenakan sebagai limbah, ampas sagu masih mengandung zat makanan. Namun, pemanfaatannya banyak dijumpai hanya pada peternakan yang berdekatan dengan tempat pengolahan sagu atau dengan membiarkan ternak memperolehnya secara langsung di tempat penumpukan ampas sagu. Kondisi ini menggambarkan pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan alternatif sumber energi oleh peternak sampai saat ini belum banyak dilakukan. Hal ini disebabkan jarak lokasi pengolahan tepung sagu dan peternakan babi umumnya berjauhan. Selain itu ketersediaan bahan pakan sumber energi konvensional seperti jagung, dedak padi dan bahan pakan lainnya sampai saat ini belum menjadi kendala. Keadaan ini menyebabkan peternak hanya bergantung pada bahan-bahan tersebut, meskipun cenderung mempunyai harga yang fluktuatif dan ketersediaannya yang terkadang tidak menentu di pasaran .

Perbandingan ampas sagu yang dihasilkan dalam proses pengolahan tepung sagu adalah 1 : 6 (Rumalatu 1981), artinya jika produksi tepung sagu dari satu pohon sagu masak tebang seberat 220 kg dapat diperoleh 1320 kg ampas sagu (berat basah) atau 396 kg ampas sagu kering. Menurut Louhenapessy (1988) dalam satu hektar lahan tumbuhan sagu diperoleh 20 pohon sagu masak tebang. Jika masing-masing pohon mempunyai berat rata-rata 220 kg, maka akan menghasilkan 26400 kg ampas sagu basah atau 7920 kg ampas sagu kering atau 6843 kg (bahan kering). Jumlah tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Untuk satu ton ampas sagu, dengan taraf pemberian ampas sagu dalam ransum 20%, dapat memenuhi kebutuhan 10 ekor babi sedang tumbuh (2,5-5 bulan) sampai penggemukan (5-9 bulan). Pemanfataan tersebut dapat mengurangi penggunaan bahan pakan lain seperti jagung dan dedak padi. Akibat


(22)

lain dari pemanfaatan ampas sagu adalah mengurangi pencermaran lingkungan di sekitar daerah pemrosesan tepung sagu terutama di daerah aliran sungai (DAS).

Ditinjau dari kandungan nutrisi, ampas sagu mempunyai kualitas yang sangat rendah karena rendahnya protein kasar, sebaliknya kadar serat kasarnya tinggi. Kandungan serat kasar ampas sagu bervariasi dari 11,02 sampai dengan 27,08% dan kadar selulosa adalah 21,62 sampai dengan 23,92%. Selain itu ampas sagu mempunyai kandungan karbohidrat struktural terutama lignin yang tinggi yang merupakan faktor pembatas bagi ternak babi. Kondisi seperti ini menyebabkan pengggunaan ampas sagu dalam ransum ternak monogastrik menjadi terbatas. Meskipun demikian penggunaan ampas sagu dalam ransum mempunyai kelebihan dan kekurangan. Energi yang terdapat dalam ampas sagu cukup tinggi sehingga penggunaannya dalam ransum dapat mengurangi penggunaan bahan makanan sumber energi antara lain jagung yang sampai saat ini masih kompetitif dengan kebutuhan manusia dan proporsi penggunaannya dalam ransum lebih tinggi daripada bahan pakan lain. Selain itu selulosa yang terdapat dalam ampas sagu merupakan komponen penting yang berpotensi menurunkan kadar kolesterol. Sebaliknya kekurangan dari penggunaan ampas sagu adalah menyebabkan meningkatnya penggunaan bahan makanan sumber protein antara lain tepung ikan karena rendahnya kandungan zat makanan tersebut. Oleh karena itu perlu diberikan sentuhan teknologi sebagai upaya pengolahan untuk meningkatkan kualitas nutrisi dari ampas sagu. Beberapa cara yang sering digunakan dalam pengolahan limbah adalah perlakuan secara fisik, kimia dan biologis yang mana masing-masing cara memiliki kekurangan dan kelebihan. Pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perlakuan biologis (fermentasi) dimana perlakuan ini memberikan keuntungan, yakni mendegradasi lignoselulosa yang merupakan komponen serat utama yang dapat menurunkan nilai cerna (Sundstol dan Owen 1984) dan meningkatkan kadar protein pakan dengan protein mikroorganisme, asam amino dan beberapa vitamin, misalnya riboflavin, vitamin B12, dan provitamin A (Santoso, 1987).

Beberapa penelitian tentang pemanfaatan ampas sagu sebagai bahan sumber energi dalam ransum ternak ayam, babi dan ruminansia telah dilakukan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, ampas sagu dapat digunakan dalam ransum


(23)

3 ayam pedaging sampai 12,5%; ayam kampung 25% (Kompiang et al. 1995) dan ternak babi 22,5% (Ralahalu 1998). Kenyataannya sampai saat ini orientasi hasil-hasil penelitian pemanfaatan ampas sagu baik yang difermentasi maupun yang tidak difermentasi hanya terbatas untuk pertumbuhan dan mengetahui kondisi saluran pencernaan ternak, sedangkan penggunaan ampas sagu sebagai sumber serat yang bertujuan menurunkan kolesterol belum diteliti dengan demikian dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih bermanfaat.

Meninjau kembali fakta bahwa penggunaan ampas sagu sebagai pakan ternak masih memerlukan bahan pakan ternak lain sebagai sumber protein, maka limbah udang diharapkan dapat menjadi bahan alternatif penunjang sumber protein yang tepat. Hal ini didukung dengan potensi produksi udang di Indonesia yang cukup tinggi. Produksi udang pada tahun 2009 dan 2010 masing-masing 338.060 ton menjadi 352.600 ton (Anonim 2011). Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60 – 70% dari berat udang menjadi limbah, yaitu bagian kepala dan kulit, sehingga diperkirakan dari data diatas akan dihasilkan limbah udang sebesar 229.190 ton/tahun. Kandungan kitin pada limbah udang dapat dimanfaatkan pada berbagai jenis industri maupun pada bidang kesehatan (Setyahadi 2006). Ditinjau dari pemanfaatannya sebagai pakan ternak, jika satu ton limbah udang diperuntukkan sebagai pakan ternak babi dengan taraf pemberiannya dalam ransum 10%, maka jumlah limbah udang tersebut dapat memenuhi kebutuhan 20 ekor ternak babi pada periode pertumbuhan ( 2,5-5 bulan) sampai penggemukan (5-9 bulan).

Dibandingkan dengan ampas sagu, limbah udang mempunyai kandungan nutrisi yang jauh lebih baik walaupun kadar serat kasar limbah udang termasuk tinggi, yakni 17,57% (Poultry Indonesia 2001) dan kadar kitin sekitar 15 – 20% (Setyahadi 2006). Penggunaan limbah udang dalam ransum mempunyai nilai tambah dalam arti sebagai kontributor nutrien sehingga penggunaan bahan makanan sumber protein yang umumnya mempunyai harga yang mahal, dapat dikurangi. Beberapa hasil penelitian menyatakan penggunaan limbah udang dalam ransum adalah sangat terbatas, hal ini disebabkan tidak adanya enzim kitinase dalam saluran pencernaan (Hawab 2006). Walaupun demikian didalam lambung,


(24)

dapat terjadi hidrolisis khitin bukan disebabkan oleh kerja enzim tetapi akibat kondisi cairan lambung yang sangat asam (pH=1). Kandungan kitin dalam limbah udang merupakan komponen penting dalam penurunan kolesterol. Taraf Pemberian limbah udang dalam penelitian pada hewan percobaan tikus, ayam dan babi, bervariasi, yakni untuk limbah udang yang diproses dengan HCL pemberiannya berkisar antara 5-30% pada unggas (Sudibya 1998; Septinova et al. 2009) dan limbah udang yang tidak terolah pemberiannya sampai 20% pada tikus (Widyaningrum 2004).

Berdasarkan hasil penelitian dan komponen yang terdapat dalam ampas sagu dan limbah udang, maka akan dilakukan suatu kajian pemanfaatan kedua bahan tersebut baik yang diberikan secara tunggal maupun yang dikombinasikan dalam ransum terhadap kemampuan hipokolesterolemik dan kualitas karkas babi.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Meningkatkan kualitas nutrisi ampas sagu dengan teknologi fermentasi.

2. Menentukan taraf penggunaan ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang yang terbaik dalam ransum.

3. Menentukan kombinasi terbaik yang mampu menghasilkan pertambahan bobot badan dan karkas babi yang baik serta menurunkan kadar kolesterol daging.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan ransum yang berkualitas terhadap pertumbuhan dan memperbaiki kualitas karkas babi, mengurangi kadar kolesterol daging babi dengan menggunakan sumber daya alam berupa ampas sagu hasil pengolahan tepung sagu dan limbah udang sebagai pakan sumber serat.

Hipotesis

Kombinasi penggunaan ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat pada tingkat pemberian tertentu dalam ransum dapat memperbaiki kualitas karkas dan mengurangi kadar kolesterol daging babi.


(25)

5

Penelitian Tahap I

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi peningkatan kualitas nutrisi ampas sagu dengan teknologi fermentasi menggunakan jamur Pleurotus ostreatus dan mengkaji pengaruh pemanfaatan ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat terhadap kadar kualitas karkas dan kolesterol daging babi. Kajian ini dapat dilihat pada diagram alir penelitian pada Gambar 1a-1d.

Output: menghasilkan produk ampas sagu fermentasi yang akan diuji pada penelitian tahap IIa

Metode: RAL enam perlakuan (waktu fermentasi: 0, 3, 4, 5, 6 dan 7 minggu) dengan tiga ulangan.

Tujuan: mengetahui waktu fermen- tasi yang tepat terhadap kualitas nutrien ampas sagu

Judul: Pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar nutrien ampas sagu

Peubah yang diamati: protein kasar, protein murni, serat kasar, NDF, ADF, selulosa, lignin dan silika


(26)

Output: menghasilkan beberapa perlakuan yang akan diuji pada penelitian tahap IIb

Penelitian Tahap IIa (tikus)

Judul: Performa, profil lipida darah dan kolesterol daging tikus putih yang diberi ransum dengan taraf ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang yang

Tujuan: mengetahui taraf penggunaan ampas sagu, ampas sagu fermentasi, limbah udang terhadap pertumbuhan, profil lipida darah dan kolesterol daging tikus

Metode: RAL tujuh perlakuan dengan empat ulangan. Perlakuan: R0, R1(10% ampas sagu), R2 (20% ampas sagu), R3 (10% limbah udang), R4 (20% limbah udang), R5 (10% ampas sagu fermentasi), R6 (20% ampas sagu fermentasi)

Peubah yang diamati : konsumsi ransum, PBB, efisiensi penggunaan ransum,

kolesterol, HDL, LDL, trigliserida darah dan kolesterol daging


(27)

7

Output: menghasilkan beberapa perlakuan yang akan diuji pada penelitian tahap III.

Judul: performa, profil darah dan kolesterol daging tikus putih yang diberi ransum dengan taraf ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya yang berbeda

Tujuan: mengetahui taraf penggunaan ampas sagu dan limbah udang terhadap pertumbuhan, profil darah, kolesterol daging dan jaringan lemak tikus

Metode: RAL 10 perlakuan dengan empat ulangan. Perlakuan: R0, R1 (2,5 % ampas sagu + 17,5% limbah udang), R2 (5% ampas sagu + 15% limban udang), R3 (7,5% ampas sagu + 12,5% limbah udang), R4 (10% ampas sagu + 10% limbah udang), R5 (12,5 % + 7,5% limbah udang), R6 (15% ampas sagu + 5% limbah udang), R7 (17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang), R8 (20% ampas sagu + 0% limbah udang), R9 (0% ampas sagu + 10% limbah udang)

Peubah yang diamati : konsumsi ransum, PBB, efisiensi penggunaan ransum, kolesterol, HDL, LDL, trigliserida darah, kolesterol daging dan kolesterol jaringan lemak

Gambar 1c Diagram alir penelitian tahap IIb Penelitian


(28)

Gambar 1d Diagram alir penelitian tahap III Penelitian

Tahap III (babi)

Output:menghasilkanransum yang dapat menurunkan kolesterol dan memperbaiki kualitas karkas babi

Judul : performa, profil lipida darah dan kolesterol daging tikus putih yang diberi ransum dengan taraf ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang yang berbeda

Tujuan: mengetahui taraf ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya terhadap performa, profil lipida darah dan kualitas karkas babi

Metode: RAL enam perlakuan dengan tiga ulangan. Perlakuan: R0, R1 (0 % ampas sagu + 10% limbah udang), R2 (10% ampas sagu + 10% limbah udang), R3 (12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang), R4 (17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang), R5 (20 % ampas sagu + 0% limbah udang).

Peubah yang diamati : konsumsi ransum, PBB, efisiensi penggunaan ransum, profil lipida darah, kolesterol daging dan kolesterol jaringan lemak


(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Ternak Babi

Ternak babi merupakan ternak dengan perkembangbiakan relatif lebih cepat daripada ternak lain sehingga babi termasuk ternak penghasil daging yang berpotensi untuk dikembangkan dalam usaha pemenuhan daging. Hal ini didukung oleh sifatnya yang mempunyai pertumbuhan cepat, prolifik dan efisien dalam mengkonversi pakan menjadi daging dengan persentase karkas yang tinggi. Dengan demikian kapasitas ternak babi untuk mengubah sejumlah bahan-bahan makanan penguat menjadi daging sangat penting artinya, terutama di daerah yang mempunyai produksi bahan makanan penguat yang cukup atau berlebihan. Pada konversi ransum yang sama ternak babi lebih banyak menghasilkan pertambahan bobot badan dibanding ternak lainnya, kecuali broiler. Selain itu ternak babi dapat menggunakan bahan-bahan makanan yang relatif rusak bukan oleh penyakit atau racun dengan hasil yang sama atau hampir sama seperti pemberian dengan biji-bijian yang masih utuh (Parakkasi 1990).

Umumnya dikenal tiga tipe babi yaitu tipe lemak (lard type), tipe sedang (bacon type) dan tipe daging (meat type). Namun penggolongan ini sudah hampir lenyap di negara-negara yang peternakan babinya telah maju, karena bertujuan untuk menghasilkan daging yang berkualitas baik tanpa melihat apapun tipe babi yang dipelihara. Adapun babi yang digunakan dalam penelitian adalah babi lokal keturunan VDL (Veredeld Duits Landvarken) dan merupakan tipe daging yang tidak dapat dikelompokkan dalam satu tipe yang umumnya dikenal, sehingga dapat dikatakan tipe babi yang digunakan adalah tipe campuran.

Pemberian ransum yang baik pada babi dara, maka babi tersebut dapat dikawinkan pada umur delapan bulan, beranak pada umur satu tahun dan anak-anaknya dapat mencapai berat badan 100 kg pada umur enam bulan bila dipelihara dalam keadaan sehat. Parakkasi (1990) menyatakan bahwa berat karkas babi kurang lebih 73% dari berat hidup. Karkas tersebut masih berisi tulang, kepala, kulit dan kaki.


(30)

Pertumbuhan Ternak Babi

Pertumbuhan ternak merupakan fenomena universal yang bermula dari suatu telur yang telah dibuahi dan berlanjut sampai ternak menjadi dewasa. Dalam pertumbuhan tersebut terjadi dua hal yang mendasar, yaitu peningkatan bobot badan sampai mencapai bobot badan dewasa, yang disebut pertumbuhan dan terjadinya perubahan konformasi dan bentuk tubuh serta berbagai fungsi dan kesanggupan, yang disebut perkembangan (Lawrie 2003).

Pertumbuhan postnatal dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode pertumbuhan sebelum penyapihan dan sesudah penyapihan. Pada saat lahir hingga pubertas terjadi tahapan pertumbuhan yang cepat dan tahapan pertumbuhan yang lambat yang terjadi pada saat dewasa tubuh tercapai (Soeparno 2005). Keadaan seperti ini menyebabkan terjadinya perubahan organ-organ dan jaringan yang berlangsung secara gradual hingga tercapainya ukuran dan bentuk karakteristik masing-masing organ dan jaringan tersebut. Perubahan ini terjadi mengikuti tiga proses utama didalam pertumbuhan, yakni (1) proses dasar pertumbuhan seluler yang meliputi perbanyakan sel atau produksi sel-sel baru (hyperplasia) dan pembesaran sel dan akresi atau pertambahan material struktural nonseluler (nonprotoplasmik), misalnya deposisi lemak, glikogen, plasma darah dan kartilago, (2) diferensiasi sel-sel induk di dalam embrio menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm. Diferensiasi selanjutnya menghasilkan sel-sel khusus antara lain sel-sel syaraf dan epidermal berasal dari ektoderm, sel-sel penyususn saluran pencernaan atau gastrointestinal beserta kelenjar-kelenjar atau glandula sekresinya berasal dari endoderm, dan (3) kontrol pertumbuhan dan deferensiasi yang melibatkan banyak proses. Pada kondisi lingkungan yang ideal pola pertumbuhan postnatal untuk semua spesies ternak adalah serupa, yakni mengikuti kurva pertumbuhan sigmoidal (Gambar 2, Soeparno 2005). Bentuk kurva ini mencerminkan dua fenomena yang berarti yakni pertumbuhan yang dipercepat dan diperlambat. Pada waktu kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting lainnya mulai berhenti, sedangkan perletakan lemak mulai dipercepat. Kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda sejak lahir sampai dewasa berpengaruh pada komponen penting yang terdapat dalam jaringan tubuh ternak, yakni tulang, urat daging dan lemak.


(31)

11 Diantara ketiga komponen tersebut tulanglah yang pertama tumbuh dan berkembang terlebih dahulu dari otot dan yang terakhir adalah lemak (Williams 1982).

Selama pertumbuhan, lemak menumpuk diberbagai depot yang berbeda dan pada ternak muda deposisi lemak terjadi disekitar jeroan dan ginjal kemudian dengan bertambahnya umur serta konsumsi energi, deposisi lemak juga terjadi diantara otot (lemak intermuskular), lapisan bawah kulit (lemak subkutan) dan terakhir diantara ikatan serabut otot (lemak intramuskular atau marbling). Setelah otot mencapai pertumbuhan yang maksimal, pertambahan berat otot terjadi karena deposisi lemak (intramuskular). Dengan demikian selama pertumbuhan dan perkembangan lemak akan ditimbun dan karkas ternak dewasa dapat mengandung 30 - 40% lemak. Keadaan ini dibuktikan pada persentase lemak karkas babi, sapi dan domba yang semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Diantara ketiga ternak tersebut peningkatan persentase lemak karkas babi yang paling tinggi (Soeparno 2005).

Gambar 2 Kurva pertumbuhan (Soeparno 2005)

B

er

at

ba

d

an

dewasa konsepsi


(32)

Pencernaan dan Metabolisme Lemak

Lemak merupakan substansi yang dapat ditemukan pada jaringan tanaman dan hewan, dan terdiri dari unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Lemak

didalam makanan yang memegang peranan penting adalah lemak netral atau trigliserida yang molekulnya terdiri atas satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak yang terikat pada gliserol tersebut dengan ikatan ester (Gambar 3).

Lemak yang dikonsumsi mempunyai beberapa fungsi yaitu memberikan rasa kenyang lebih lama daripada makanan dengan kandungan lemak yang kurang. Hal ini disebabkan absorpsi lemak dalam saluran pencernaan lebih lambat daripada karbohidrat dan protein. Selain itu fungsi utama lemak adalah untuk mensuplai sejumlah enersi dengan volume yang relatif tinggi. Lemak juga berfungsi untuk meningkatkan absorpsi vitamin-vitamin yang larut dalam lemak dan sebagai sumber asam-asam lemak esensial yang tidak dapat disintesa oleh tubuh melainkan harus disuplai dalam makanan (Piliang dan Djojosoebagio 2006).

Pencernaan lemak mulai terjadi didalam duodenum setelah lemak makanan terlebih dahulu diubah menjadi emulsi yang partikelnya masih besar dalam lambung. Terbentuknya emulsi ini oleh adanya pergerakan-pergerakan lambung yang mencampurnya dengan fospolipid, dan komponen chyme. Dua komponen utama yang merupakan zat pengemulsi (emulsifier) adalah asam empedu dan lesitin. Segera setelah lemak sampai di duodenum terjadi pencernaan oleh adanya empedu dan cairan lipase. Garam empedu berfungsi sebagai deterjent anion yang bersama-sama fospolipid dan kolesterol membentuk misel. Kemudian oleh gerakan-gerakan khusus yang sifatnya mengaduk empedu dan lipida yang bersifat polar (sebagai detergent) terbentuklah mikro emulsi yang terutama berisi trigliserida dengan sedikit lemak lainnya. Setelah itu oleh lipase dari pankreas

H2C – O - COR

H2C – O - COR

H2C – O - COR


(33)

13 terjadi hidrolisa trigliserida menjadi beta-monogliserida dan asam-asam lemak bebas (Parakkasi 1990).

Gliserol kemudian diserap secara pasif masuk melalui vena mesentrikum; sebagian kecil mengalami proses phosporilase oleh enzim dari sitoplasma usus kecil. Asam-asam lemak berantai pendek sampai C10 yang lebih larut dalam air cenderung juga diserap kedalam pembuluh darah balik mesentrikum. Monogliserida dan asam lemak berantai panjang dari micelle campuran masuk ke mikrovilli dan daerah apex dari sel mukosa secara difusi. Dalam sel epitel, asam-asam lemak berantai panjang diubah menjadi asetil-KoA. Penyerapan lemak tergantung oleh beberapa faktor, yakni panjang rantai asam lemak, berat molekul dari lemak, asam lemak jenuh/tidak jenuh, monogliserida lebih mudah diserap dibanding asam lemak bebas dan faktor umur (Parakkasi 1990).

Ransum yang mengandung lemak terutama asam lemak jenuh dalam proses metabolisme akan menghasilkan kolesterol. Oleh karena itu perlu diberikan pakan berserat untuk menurunkan kolesterol. Mekanisme serat menurunkan kolesterol serum adalah menunda pengosongan lambung yang berpengaruh terhadap masuknya chyme kedalam usus kecil, hal ini berefek terhadap penyerapan karbohidrat, dan lipid. Selain itu serat juga berfungsi mengganggu enzym-enzym pencernaan, mengganggu pembentukan misel, mengganggu kandungan isi usus dan menghambat biosintesis kolesterol. Dengan demikian pemberian serat berpengaruh bukan saja terhadap kolesterol tetapi juga terhadap penimbunan lemak tubuh (Stipanuk 2000).

Kolesterol

Kolesterol merupakan komponen terbesar dari senyawa yang banyak ditemukan pada turunan steroid yaitu pada struktur organ tubuh hewan dan manusia dengan berbagai fungsi biologis yang terkait. Komponen ini disintesis di banyak jaringan dari asetil-KoA dan secara khas adalah produk metabolisme hewan oleh karenanya terdapat didalam makanan yang berasal dari hewan seperti otak, hati, daging dan kuning telur (Murray et al. 2003). Struktur kolesterol dapat dilihat pada Gambar 4. Menurut Piliang dan Djojosoebagio (2006) kolesterol tubuh berasal dari dua sumber yaitu kolesterol yang berasal dari sintesa tubuh yang disebut kolesterol endogenous dan yang berasal dari makanan yang disebut


(34)

kolesterol eksogenous. Kolesterol yang disintesa dalam tubuh terutama oleh sel-sel hati, usus halus dan kelenjar adrenal. Kolesterol dalam tubuh digunakan oleh kelenjar adrenal untuk sintesis hormon adrenokortikal, ovarium untuk sintesis progesteron dan estrogen serta oleh testis untuk sintesis testosterone, garam-garam empedu, dan vitamin D (Guyton dan Hall 1997). Zat-zat tersebut ditranspor diantara jaringan yang terikat pada lipoprotein, terutama chylomicron dan lipoprotein dengan densitas rendah (low density lipoprotein). Biosintesis kolesterol dapat dibagi menjadi lima tahap yakni; 1). Mevalonat yang merupakan senyawa enam-karbon disintesis dari asetil-KoA, 2). Unit isoprenoid dibentuk dari mevalonat dengan menghilangkan CO2, 3). Enam isoprenoid mengadakan kondensasi untuk membentuk intermediat skualin, 4). Skualin mengalami siklisasi untuk menghasilkan senyawa steroid induk, yaitu lanosterol, dan 5). Kolesterol dibentuk dari lanosterol setelah melewati beberapa tahap lebih lanjut, termasuk menghilangnya tiga gugus metal (Murray et al. 2003). Secara umum sintesis kolesterol dapat dilihat pada Gambar 5.

Serat dan Pencernaannya

Pencernaan babi mengikuti pola pencernaan ternak nonruminansia, yakni tidak mempunyai tempat khusus untuk berlangsungnya proses mikroorganisme/fermen-tasi yang intensif seperti pada ternak ruminansia karena memiliki lambung sederhana. Kalaupun ada hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit dalam sekum dimana proses pencernaan telah berlangsung. Kondisi seperti ini menyebabkan babi mempunyai toleransi terhadap serat kasar yang rendah dibandingkan dengan ternak ruminansia, sehingga jika kadar serat kasar dalam ransum meningkat maka

HO


(35)

15

Acetyl-CoA

Thiolase

3-hydroxy-3methylglutaryl-CoA (HMG-CoA)

Phospomevalonate kinase HMG-CoA

synthase Mevalonic acid

Mevalonate-5-phospate ATP

Mevalonate kinase HMG-CoA reductase

Isopentenyl-5-pyrophospate (PP) Mevalonate-5-pyrophospate

Mevalonate-5phyphosphate decarboxylase

Farnesyl-PP

Farnesyl-PP synthase Geranyl PP

Farnesyl-PP synthase

Squalene

2.3 oxidosqualene

Squalene monooxygenase

Lanosterol

Cholesterol

NADP Squalene epooxydase Heme A

Dolichol Ubiquinon Prenylated

proteins Geranylgeranyl-PP

Geranylgeranyl- PP synthase Acetoacetyl-CoA

Dymethylallyl- (PP)

Isopentenyl-PP isomerase

CO2

Gambar 5 Sintesa Kolesterol


(36)

kecernaan nutrien akan menurun (Parakkasi 1990).

Ternak babi dapat mentolerir kadar serat kasar sampai dengan 6% dan daya cerna serat kasar tersebut oleh ternak babi berkisar antara 10 – 90%. Variasi tersebut antara lain disebabkan oleh komposisi serat kasar (Parakkasi 1990). Beberapa hasil penelitian dengan taraf kadar serat kasar yang berbeda memperlihatkan bahwa komposisi serat kasar merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap koefisien cerna dan pertambahan berat badan. Penelitian dengan kadar serat kasar yang bervariasi yaitu 8,40; 9,48; 10,7 dan 11,6% berpengaruh nyata terhadap pertambahan berat badan babi per hari masing-masing 446, 433, 350, dan 341g/e/h. Demikian pula terhadap koefisien cerna bahan kering dimana kadar serat kasar yang tinggi, yaitu 10,7 dan 11,6% mempunyai koefisien cerna bahan kering yang lebih rendah masing-masing 13,2 dan 13,5% dibandingkan dengan serat kasar 8,40 dan 9,48% dimana penurunan koefisien cerna masing-masing sebesar 14,43 dan 14,73% (Sikka 2007).

Sebelumnya Kass et al. (1980) melaporkan bahwa pemberian serat kasar 7 sampai 10% dalam ransum menghambat pertumbuhan, walau Cunha (1970) menyatakan bahwa 3,5% sampai 13,5% kadar serat kasar dalam ransum babi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan. Perbedaan kecernaan serat kasar pada babi kemungkinan disebabkan komposisi komponen serat kasar yang terkandung dalam ransum berbeda-beda. Keys et al. (1970) dan Farrell (1973) menyatakan bahwa penggunaan serat kasar pada ransum babi yang sedang bertumbuh tergantung pada taraf dan sumber serat kasar ransum serta kematangan tanamannya.

Serat Pangan

Secara umum serat bahan makanan didefinisikan sebagai kelompok polisakarida dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem enzim dalam saluran gastrointestinal bagian atas pada manusia (Mc Allan 1985) sehingga oleh Linder (1985) tidak digolongkan sebagai zat makanan. Termasuk dalam kategori serat adalah selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lignin. Lignin termasuk serat tetapi bukan karbohidrat.

Dalam ilmu pangan serat dibedakan atas kelarutannya dalam air, sehingga dikenal serat yang tidak larut dan yang larut dalam air. Serat yang tidak larut


(37)

17 dalam air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut adalah komponen nonstruktural. Serat pangan yang tidak larut (Insoluble Dietary Fiber atau IDF) diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas maupun air dingin. Serat ini (IDF) merupakan komponen terbesar dari serat pangan total atau Total Dietary Fiber (TDF) dalam diet, sedangkan serat yang larut dalam air atau Soluble Dietary Fiber (SDF) hanya merupakan sepertiga bagian (Prosky et al. 1984; Prosky dan De Vries 1992). Serat pangan total (TDF) mengandung gula-gula dan asam-asam gula-gula sebagai bahan pembangun utama serta grup fungsional yang dapat mengikat dan terikat atau bereaksi satu sama lain dengan komponen lain. Semua komponen TDF memberikan karakteristik fungsional meliputi kemampuan daya ikat air, kapasitas untuk mengembang, meningkatkan densitas kamba, membentuk gel dengan viskositas berbeda-beda, mengabsorsi minyak, pertukaran kation, warna dan flavor.

Peran utama serat dalam makanan ialah pada kemampuannya mengikat air. Dengan adanya serat akan membantu mempercepat sisa-sisa makanan melalui saluran pencernaan untuk diekskresi keluar. Tanpa bantuan serat, feses dengan kandungan air rendah akan lebih lama tinggal dalam saluran usus dan mengalami kesukaran untuk dapat diekskresi keluar dari usus karena gerakan-gerakan peristaltik usus besar menjadi lamban (Piliang dan Djojosoebagio 2006).

Menurut Supadmo (1997) serat yang larut dapat menurunkan kadar kolesterol sedangkan serat tidak larut mempunyai efek melancarkan pembuangan sisa makanan secara alami. Serat-serat yang bersifat larut dalam air seperti pektin dan gum menurut sejumlah peneliti secara nyata menurunkan kadar kolesterol plasma (Yamada et al. 1999). Demikian halnya dengan serat yang tidak larut.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nishina dan Freedland (1990), menemukan bahwa selulosa yang merupakan serat tidak larut ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap metabolisme lipid, tetapi juga dapat menurunkan kadar gliserida gliserol dan kadar kolesterol plasma. Horigome et al. (1992) menyim-pulkan bahwa bagian serat baik yang bersifat larut maupun yang tidak larut menurunkan kolesterol. Hasil penelitian van Bennekum et al. (2005) tentang pengaruh serat tidak larut terhadap kolesterol mencit menyatakan bahwa pemberian 7,5% selulosa dan kitosan dalam ransum berpengaruh nyata terhadap


(38)

akumulasi kolesterol mencit. Serum kolesterol pada mencit yang mendapatkan perlakuan tersebut masing-masing 1,6 dan 2,2 mg lebih rendah daripada kontrol (4,3 mg). Demikian halnya dengan kolesterol hati total masing-masing 41 dan 30 mg lebih rendah daripada kontrol (72 mg). Dari hasil penelitian tersebut dinyatakan bahwa selulose dan kitosan cukup menstabilkan serum kolesterol. Hal ini terlihat, konsumsi selulosa dan kitosan memberikan kontribusi nyata terhadap

Lobus kiri hati

Usus halus

Gambar 6 Mekanisme selulosa menghambat sintesa kolesterol SELULOSA

Kolon Kolon

Vena porta Hati Kerja enzim HMG-CoA

reduktase biosin- tesa kolesterol dihambat

Selulosa

Selulosa difer-mentasi oleh mikroorganisme

Asam asetat, propionat,

butirat

Asam propionat diangkut ke hati

Kolesterol, LDL darah rendah, HDL darah meningkat


(39)

19 efek kekenyangan (Burton-Freeman 2000). Peran serat dalam menurunkan kolesterol dilaporkan juga oleh William (1985) bahwa serat pangan memiliki sifat mengikat bahan organik lain, misalnya asam empedu kemudian terbuang bersama feses. Dengan adanya serat pangan yang mengikat asam empedu maka jumlah asam empedu bebas akan berkurang sehingga perlu dibentuk asam empedu baru. Asam empedu baru ini dibentuk dari kolesterol yang terdapat dalam darah. Dengan demikian konsentrasi kolesterol dalam darah akan menurun. Selain itu mekanisme lain dalam menurunkan kolesterol darah oleh perlakuan serat pangan dilaporkan oleh Nishimura et al. (1993) yaitu melalui penghambatan sintesis kolesterol hepatik oleh metabolit fermentasi mikroflora usus. Mekanisme selulosa menghambat sintesis kolesterol dapat dilihat pada Gambar 6.

Ampas Sagu

Pohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon, berasal dari kata Yunani yang terdiri dari kata Metra berarti isi batang atau empulur dan Xylon berarti xylem (Flach 1977). Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, genus Metroxylon dan Ordo Arecales, berkembang- biak melalui tunas, akar atau biji sehingga tumbuh membentuk rumpun dan berkelompok (Louhenapessy et al. 2010).

Pada umumnya dikenal lima jenis sagu di Maluku, yakni: sagu Tuni (Metroxylon rumphii Mart), sagu Ihur (Metroxylon sylvester Mart), sagu Makanaru (Metroxylon longispinum Mart), sagu Duri Rotan (Metroxylon micro-canthum Mart) merupakan sagu berduri dan satu jenis sagu yang tidak berduri yakni sagu Molat (Metroxylon sagu Rottb) (Louhenapessy 2006).

Menurut Alfons (2006), luas areal sagu potensial di Maluku diperkirakan sebesar 31.360 ha. Jumlah pohon masak tebang untuk kondisi hutan sagu di Indonesia adalah antara 8–36 pohon/ha dimana untuk kondisi hutan sagu di Maluku rata-rata pohon sagu masak tebang berbagai jenis sagu adalah 20 pohon/ha dan rataan produksi tiap pohon adalah 220 kg, sehingga dalam luasan

Taksiran luas lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Luas lahan sagu di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku (provinsi Maluku dan Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha (Balitbanghut 2005).


(40)

satu ha dapat diproduksi 4400 kg tepung sagu (Louhenapessy 1988). Dari jumlah produksi tepung sagu diperoleh limbah padat berupa ampas sagu dalam jumlah yang besar dengan perbandingan tepung sagu dan ampas sagu 1 : 6. Hal ini berarti potensi ampas sagu tersedia cukup besar yaitu 1320 kg per pohon yang terdiri dari campuran ampas dan sisa pati yang tidak terekstraksi (Rumalatu 1981). Pada dasarnya proses ekstraksi pati adalah pemisahan pati dari empulur batang sagu dengan bantuan air. Proses penghancuran empulur ini di Maluku dapat dilakukan dengan dua cara, yakni penghancuran empulur dengan menokok (menggunakan nani) dan dengan cara mekanik (penghancuran empulur dengan menggunakan mesin). Tahapan proses tersebut dapat dilihat pada skema pembuatan tepung sagu dalam Gambar 7.

Kandungan Nutrien Ampas Sagu

Nutrien yang terkandung dalam ampas sagu umumnya sangat rendah dan tidak banyak dipengaruhi oleh spesies, habitat atau pengolahan agronomi. Variasi nutrien ampas sagu dapat disebabkan oleh sistem pengolahannya. Kandungan nutrisi ampas sagu dari dua cara pengolahan ini belum diketahui secara jelas, namun berdasarkan cara pengolahan yang berbeda dapat dikatakan bahwa ampas sagu yang diperoleh melalui pengolahan tradisional kemungkinan mempunyai pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan secara mekanik. Kandungan nutrien terutama protein kasar (Tabel 1) yang rendah dari ampas sagu ini merupakan faktor pembatas penggunaannya dalam ransum karena umumnya selain rendah protein, lemak, vitamin dan mineral juga mengandung serat kasar dan komponen dinding sel yang tinggi.

Kadar selulosa ampas sagu Metroxylon silvester adalah 21,62% (Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, IPB 2008). Berdasarkan berbagai penelitian pada ternak monogastrik penggunaan ampas sagu hanya terbatas dalam jumlah kecil. Penggunaan ampas sagu dalam ransum ternak monogastrik seperti unggas dan babi sangat bervariasi tergantung fase hidup dari ternak tersebut. Taraf pemberian ampas sagu yang tinggi dalam ransum secara langsung menurunkan penggunaan bahan makanan sumber energi, yakni jagung dan dedak padi dalam ransum disebabkan tingginya energi yang dimiliki ampas


(41)

21 sagu. Disisi lain penggunaan ampas sagu dalam proporsi yang tinggi dalam ransum berdampak menaikkan penggunaan bahan sumber protein. Penggunaan

Gambar 7 Skema pembuatan tepung sagu ampas

sagu Pengupasan kulit

Pemotongan batang sagu Persiapan bahan

mentah

Penebangan

Penghancuran empulur menggunakan nani

Penghancuran empulur menggunakan mesin

Pengemasan tepung basah Ekstraksi (peremasan)


(42)

ampas sagu tanpa difermentasi masing-masing 7,5; 15 dan 22,5% dalam ransum babi lepas sapih mengakibatkan penggunaan jagung menurun dari 53% menjadi 40% dan dedak padi dari 7% menjadi 0,50%, sedangkan penggunaan tepung ikan Tabel 1 Komposisi kimia ampas sagu

Komposisi kimia Metroxylon Metroxylon

1) 2)

---%---

Bahan kering 73,66 86,65

Protein kasar 2,30 3,36

Lemak 0,41 -

Serat kasar 18,86 25,41

Abu 18,19 7,99

Pati - -

NDF 49,96 87,40

ADF 36,26 42,11

Selulosa - 29,52

Lignin - -

NDF = Neutral Detergent Fiber; ADF = Acid Detergent Fiber; (-) = tidak diteliti, 1) Nurkurnia

(1989), 2) Tisnowati (1991). sebagai sumber protein hewani sebesar 10% untuk semua persentase pemberian

ampas sagu (Ralahalu 1998).

Hal inipun tergantung pada banyaknya keragaman jenis bahan ransum yang digunakan. Pertambahan berat badan yang diperoleh pada 7,5; 15 dan 22,5% pemberian ampas sagu berturut- turut adalah 746, 705 dan 694 g/e/h. Terlihat bahwa pertambahan berat badan babi menurun seiring dengan meningkatnya persentase pemberian ampas sagu. Penggunaan ampas sagu juga telah diteliti pada ayam dan itik dimana pertambahan berat badan yang baik pada itik alabio jantan diperoleh pada penggunaan ampas sagu fermentasimaksimum 7,5% (Biyatmoko 2002).

Mengacu pada hasil-hasil penelitian yang telah dikemukakan maka dapat dikatakan bahwa ampas sagu bukan saja dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan makanan sumber energi tetapi juga sebagai bahan makanan yang dapat membantu menurunkan kolesterol. Kontribusi ampas sagu dalam ransum sebagai


(43)

23 sumber serat (selulosa) efeknya terhadap kolesterol hasilnya berbeda

diban-dingkan sumber serat lainnya terutama serat yang larut dalam air. Hasil penelitian Burton-Freeman (2000) menyatakan bahwa konsumsi selulosa

memberikan kontribusi nyata terhadap efek kekenyangan, bukan disebabkan pada asam empedu karena selulosa bersifat bulky atau voluminous. Pernyatan ini diperkuat dengan hasil penelitian Nishina dan Freeland (1990) bahwa ransum yang mengandung pektin mempunyai aktivitas enzim 7-α- Hydroxylase yaitu suatu enzim yang berperan dalam sintesis asam empedu lebih tinggi daripada ransum yang mengandung selulosa, yakni masing-masing 72,2 dan 48,2. Hal ini berarti fungsi selulosa menurunkan kolesterol melalui sintesis asam empedu sangat rendah. Selain itu kontribusi selulosa juga telah diteliti dalam pangan manusia sebagai makanan tambahan terhadap kolesterol. Walaupun tidak dijelaskan persentase selulosa yang diberikan sebagai makanan tambahan. Shurpalekar et al. (1971) melaporkan bahwa selulosa yang diberikan menurunkan kolesterol serum sekitar 25%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat dikatakan mekanisme selulosa menurunkan kolesterol adalah memberikan efek kekenyangan, nutrien yang dicerna dan diabsorpsi lebih sedikit karena pendeknya waktu transit makanan dalam saluran pencernaan dan biosintesis kolesterol dihambat.

Usaha Meningkatkan Nilai Nutrien Ampas Sagu

Ampas sagu merupakan salah satu diantara limbah-limbah pertanian yang

rendah nilai gizinya (Tabel 1), cara pemanfaatan ampas sagu untuk ternak babi sampai saat ini berdasarkan pengamatan dilapang (di Ambon), yakni dengan cara

peternak membiarkan ternaknya mengkonsumsi ampas sagu langsung ditempat penumpuk-an dilokasi pengolahan. Menyadari kandungan nutrisi ampas sagu yang rendah, maka perlu dilakukan suatu upaya untuk meningkatkan nutrien dari ampas sagu tersebut. Usaha untuk menaikkan nilai gizi pada umumnya dapat dilakukan melalui perlakuan fisik, kimia dan biologis atau kombinasi diantaranya. Perlakuan fisik mencakup pemotongan, penggilingan, perendaman, pengeringan atau pembuatan pelet dan perlakuan dengan penambahan larutan basa atau asam, penambahan kapur dan amonia merupakan usaha kimia, sedangkan secara


(44)

biologis seperti fermentasi dan perlakuan enzim. Usaha meningkatkan nilai gizi ampas sagu telah banyak dilakukan terutama melalui perlakuan fermentasi.

Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa ampas sagu yang difermentasi dengan Aspergillus niger meningkatkan kadar protein kasar. Ralahalu (1998) dan Biyatmoko (2002) mendapatkan kadar protein kasar ampas sagu fermentasi masing-masing 12,31 dan 13,95%. Manfaat perlakuan fermentasi ampas sagu terlihat dengan semakin rendahnya penggunaan bahan makanan sebagai sumber protein seperti tepung ikan dalam ransum. Penggunaan 7,5; 15 dan 22,5% ampas sagu fermentasi sebesar berpengaruh terhadap jumlah peng-gunaan tepung ikan dalam ransum, yakni dari 9,50% menjadi 8,30%. Selain itu penggunaan jagung pun menurun dari 59% menjadi 50% dan dedak padi dari 8% menjadi 0,025% (Ralahalu 1998). Pada ternak itik alabio jantan penggunaan

ampas sagu fermentasi maksimum 7,5% (Biyatmoko 2002). Mengacu pada hasil-hasil penelitian yang telah dikemukakan, maka

dikatakan bahwa peningkatan nutrien ampas sagu dapat dilakukan secara biologis melalui perlakuan fermentasi. Sampai sekarang pengolahan ampas sagu secara biologis masih terbatas dengan kapang Aspergillus niger, berbeda dengan limbah-limbah pertanian lain yang telah menggunakan berbagai jenis mikroorganisme untuk peningkatan nutriennya. Beberapa jenis White Rot Fungi diketahui dapat merombak lignin, selulosa dan komponen dinding sel lainnya dari spesies sel

berkayu (Kirk dan Moore 1972). Proses fermentasi adalah suatu aktivitas mikroorganisme terhadap

senyawa molekul organik kompleks seperti protein, karbohidrat dan lemak yang mengubah senyawa-senyawa tersebut menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana, mudah larut dan kecernaannya tinggi (Shurtleff dan Aoyagi 1979). Menurut Pederson (1971) selama fermentasi terjadi perubahan kandungan asam amino, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Keadaan ini membuktikan bahwa proses fermentasi dapat mengubah nutrien bahan asalnya karena selain terjadi perombakan bahan kompleks menjadi lebih sederhana, didalam proses fermentasi juga terjadi sintesis beberapa vitamin, misalnya riboflavin, vitamin B12 dan provitamin A. Selain itu proses fermentasi menimbulkan aroma dan flavor yang


(45)

25 Prinsip yang digunakan dalam melakukan fermentasi adalah pengaturan kondisi pertumbuhan mikroorganisme sehingga dicapai suatu keadaan yang menghasilkan laju pertumbuhan spesifik yang optimum. Sehubungan dengan hal itu perlu diperhatikan beberapa faktor antara lain substrat (media fermentasi), mikroorganisme yang digunakan dan kondisi fisik pertumbuhan. Ketiga faktor tersebut akan berpengaruh pada massa sel dan komposisi sel (Tannenbaum et al.

1978).

Pleurotus ostreatus dikenal sebagai jamur tiram atau oyster mushroom dan merupakan jamur pelapuk putih (white rot fungi) genus Pleurotus, famili Tricholomataceae, ordo Agaricales, subdivisi Basidiomycota, divisi Amastigomy -cota. Jamur Pleurotus ostreatus dikenal sebagai jamur tiram karena bentuk tudungnya agak membulat, lonjong dan melengkung seperti cangkang tiram. Jamur ini merupakan salah satu jenis jamur yang enak dimakan dan diterima masyarakat umum (Lukitasari 2003). Sel jamur tidak mengandung khlorofil sehingga tidak dapat berfotosintesis seperti tumbuhan. Jamur memperoleh makanan secara heterotrof dengan mengambil makanan dari bahan organik. Pleurotus ostreatus termasuk jenis jamur dengan pertumbuhan miselium yang cepat dan kemampuan berkoloninya tinggi. Sifat ini memudahkan miselium jamur dapat dengan cepat merambat pada permukaan dan masuk kedalam substrat (Cooke 1979).

Pertumbuhan Pleurotus ostreatus dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kadar air substrat, suhu lingkungan, kelembaban udara, pH substrat, proses pasteurisasi substrat dan kandungan nutrisi substrat. Untuk pertumbuhan miselium dan pembentukan tubuh buah jamur yang baik diperlukan kadar air lebih kurang 70%, suhu antara 25 sampai 30 oC, kelembaban udara diatas 80%, pH substrat antara 5,1 sampai 7,0. Jamur Pleurotus ostreatus menghasilkan enzim endo-1,4 -glucanase, ekso-1,4-β glucanase, 1,4-β-glucosidase, endo-1,4-β-xylanase, 1,4-β -xylosidase, endo-1,4-β-mannanase dan 1,4-β-mannosidase dan enzim ligninolitik. Selain itu juga menghasikan enzim peroksidase dan laccase (Baldrian et al. (2005). Jamur pelapuk putih menghasilkan enzim oksidatif, yakni enzim selobiosa quinon oksidorektudase yang penting dalam degradasi selulosa (Erikson 1981). Kemudian oleh Komarayanti dan Nurhayati (1992) dilaporkan bahwa ada


(1)

152

Lampiran 37 Analisis peragam (Ancova) laju digesta

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

F hitung Peluang Perlakuan ransum 5 24,66 4,93 5,02* 0,0223

Berat awal 1 0,03 0,03 0,03 0,8641

Galat 8 7,85

Total 14 42,03

Koefisien keragaman : 4,92%; *) Berbeda nyata (P< 0,05)

Lampiran 38 Analisis peragam (Ancova) bobot karkas babi Sumber

keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

F hitung Peluang Perlakuan ransum 5 102,98 20,60 5,10* 0,0214 Berat awal 1 139,80 139,80 34,61 0,0004

Galat 8 32,31

Total 14 275,28

Koefisien keragaman : 7,05%; *) Berbeda nyata (P< 0,05)

Lampiran 39 Analisis peragam (Ancova) persentase karkas babi Sumber

keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

F hitung Peluang

Perlakuan ransum 5 56,95 11,39 4,89* 0,0240

Berat awal 1 13,01 13,01 5,59 0,0457

Galat 8 18,63

Total 14 91,42

Koefisien keragaman : 2,08%; *) Berbeda nyata (P< 0,05)

Lampiran 40 Analisis peragam (Ancova) tebal lemak punggung babi

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

F hitung Peluang

Perlakuan ransum 5 2,02 0,40 1,88tn 0,2037

Berat awal 1 0,60 0,60 2,80 0,1326

Galat 8 1,72

Total 14 4,42


(2)

153 Lampiran 41 Analisis peragam (Ancova) luas udamaru babi

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

F hitung Peluang

Perlakuan ransum 5 57,04 11,41 0,67tn 0,6549

Berat awal 1 61,70 61,70 3,65 0,0926

Galat 8 135,33

Total 14 213,42

Koefisien keragaman : 23,21%; tn) tidak nyata

Lampiran 42 Analisis peragam (Ancova) berat empedu babi Sumber

keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

F hitung Peluang Perlakuan ransum 5 814,00 162,80 0,70tn 0,6386

Berat awal 1 262,73 262,73 1,13 0,3187

Galat 8 1859,27

Total 14 3257,73

Koefisien keragaman : 45,01%; tn) tidak nyata

Lampiran 43 Analisis peragam (Ancova) berat isi empedu babi Sumber

keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

F hitung Peluang Perlakuan ransum 5 166,00 33,20 0,63tn 0,6812

Berat awal 1 6,41 6,41 0,12 0,7357

Galat 8 419,59

Total 14 585,60

Koefisien keragaman: 41,62%; tn) tidak nyata

Lampiran 44 Analisis peragam (Ancova) berat kantung empedu Sumber

keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

F hitung Peluang Perlakuan ransum 5 280,58 56,12 0,46tn 0,7944

Berat awal 1 351,20 351,20 2,89 0,1273

Galat 8 970,80

Total 14 1831,73


(3)

154

Lampiran 45 Bobot badan babi (kg/ekor/2mgg) yang diberi ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya

Perlakuan (%) BB M1 BB M2 BB M3 BB M4 BB M5 BB M6

R0 22,92 27,90 32,77 36,60a 40,14a 42,81

R1 21,91 26,01 25,47 27,72c 29,93c 32,12

R2 21,67 25,63 29,02 31,90abc 34,42abc 35,84 R3 21,34 24,74 28,28 31,40bc 34,19bc 35,63 R4 22,28 26,42 30,22 33,88ab 36,86ab 39,39 R5 22,11 26,77 31,03 34,37ab 37,13ab 38,96

Dikoreksi pada rataan bobot awal 18 kg. R0= ransum tanpa ampas sagu dan tanpa limbah udang; R1= 0% ampas sagu + 10% limbah udang, R2 = 10% ampas sagu + 10% limbahj udang, R3 = 12,5% ampas sagu + 7,5% limbah udang, R4 = 17,5% ampas sagu + 2,5% limbah udang, R5 = 20% ampas sagu + 0% limbah udang. Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).


(4)

RINGKASAN

TABITA NAOMI RALAHALU. Potensi Ampas Sagu dan Limbah Udang sebagai Sumber Serat dalam Ransum dan Pengaruhnya terhadap Kadar Kolesterol serta Kualitas karkas Babi. Dibimbing oleh KARTIARSO, AMINUDDIN PARAKKASI, KOMANG G. WIRYAWAN dan RUDY PRIYANTO.

Penggunaan serat dalam ransum sebagai salah satu upaya untuk menurunkan kadar kolesterol dan memperbaiki kualitas karkas ternak terus dilakukan melalui pemberian serat diantaranya selulosa, kitin, kitosan dan pektin. Beberapa hasil penelitian pemberian selulosa dan kitin dapat menurunkan kadar kolesterol, seperti yang disimpulkan oleh Horigome et al. (1992) bahwa bagian serat baik yang bersifat larut maupun yang tidak larut menurunkan kolesterol. Selain itu, laporan hasil penelitian van Bennekum et al. (2005) tentang pengaruh serat tidak larut terhadap kolesterol mencit juga menyatakan bahwa pemberian 7,5% selulosa dan khitosan dalam ransum berpengaruh nyata terhadap akumulasi kolesterol mencit. Serum kolesterol pada mencit yang mendapatkan perlakuan tersebut masing-masing 1,6 dan 2,2 mg lebih rendah daripada kontrol (4,3 mg). Dilanjutkan Zacour et al. (1992) yang menyatakan bahwa pemberian 5% kitin dalam ransum tikus yang mengandung 7% lemak sapi dan 1% kolesterol menurunkan taraf trigliserida dan kolesterol hati. Terkait dengan manfaat serat yang dapat menurunkan kolesterol, maka penggunaan ampas sagu dan limbah udang dalam ransum untuk tujuan menurunkan kolesterol dan memperbaiki kualitas karkas pun dapat dilakukan. Hal ini disebabkan kedua bahan tersebut masing-masing memiliki selulosa dan kitin serta terdapat dalam jumlah yang banyak. Penggunaan ampas sagu dan kombinasinya dengan limbah udang untuk menurunkan kolesterol dan memperbaiki kualitas karkas ternak babi sampai saat ini belum dilakukan. Untuk memperoleh informasi mengenai hal tersebut dilakukan suatu penelitian dengan judul: potensi ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat dalam ransum dan pengaruhnya terhadap kadar kolesterol dan kualitas karkas babi. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan penelitian. Menyadari kualitas ampas sagu yang rendah, maka pada penelitian tahap pertama dilakukan fermentasi ampas sagu dengan menggunakan jamur Pleurotus ostreatus

untuk meningkatkan kualitas nutrisi ampas sagu. Untuk mempelajari penggunaan serat ampas sagu dan limbah udang terhadap kolesterol dan kualitas karkas babi dilakukan penelitian pendahuluan pada tikus yang terdiri atas dua bagian. Penelitian tahap akhir dilakukan pada ternak babi.

Penelitian tahap I: “pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar nutrien ampas sagu” dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember 2008 Penelitian tahap II: “

p

erforma

,

profil lipida darah dan kolesterol daging tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberi ransum dengan level ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang yang berbeda” dilaksanakan pada bulan Pebruari–Agustus 2009. Penelitian tahap III: “performa, profil lipida darah dan kualitas karkas babi yang diberi ransum mengandung ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya”dilaksanakan pada bulan Pebruari-Sepetember 2010.

Bahan yang digunakan dalam penelitian tahap I (fermentasi ampas sagu) adalah ampas sagu (Metroxylon spp) kering, urea, FeSO4, ZnSO4 dan jamur


(5)

sagu adalah autoclave, laminar air flow, plastik PP. Penelitian pada tahap II menggunakan hewan tikus putih (Rattus norvegicus) strain Spraque dowley

dewasa berumur satu bulan, sebanyak 28 ekor dengan rataan berat badan awal 56 ± 4,99 g (tahap II a) dan berumur dua bulan sebanyak 40 ekor dengan rataan berat badan awal 195,62 ± 6,93 g pada tahap IIb. Ransum yang digunakan terdiri atas, ampas sagu, ampas sagu fermentasi, limbah udang, jagung kuning, dedak padi, bungkil kelapa, tepung ikan, minyak kelapa garam dan premix (vitamin dan mineral). Ransum disusun iso protein dan iso energi metabolisme dimana proporsi tiap bahan makanan dalam tiap perlakuan ditentukan setelah diketahui hasil analisis tiap bahan makanan.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian tahap II adalah 68 unit kandang metabolis, tempat makan dan minum, timbangan untuk menimbang tikus dan ransum serta separangkat peralatan analisa proksimat untuk mengetahui kandungan nutrien bahan makanan, dan seperangkat peralatan untuk analisis profil lipida darah, kolesterol jaringan lemak dan kolesterol daging.

Penelitian tahap III menggunakan ternak babi jantan kastrasi lokal keturunan VDL berumur lima bulan sebanyak 18 ekor dengan kisaran bobot badan awal 16-21 kg dengan rataan bobot badan 18 ± 1,57 kg. Ransum yang digunakan terdiri atas, ampas sagu, limbah udang, jagung kuning, dedak padi, bungkil kelapa, tepung ikan, minyak kelapa, garam dan premix.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian III adalah 18 unit kandang yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum, timbangan untuk menimbang ternak dan ransum serta seperangkat peralatan analisis profil lipida darah, penggaris, plastik transparan dan planimeter.

Rancangan yang digunakan dalam penelitian tahap I, II dan III adalah rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan pada tahap I sebanyak enam perlakuan waktu fermentasi, yakni 0, 3, 4, 5, 6, dan 7 minggu masing-masing tiga ulangan. Peubah yang diamati adalah protein kasar, protein murni, serat kasar, NDF, ADF, selulosa dan lignin. Uji lanjut yang digunakan pada tahap I dan II adalah uji Duncan. Perlakuan yang diuji pada penelitian tahap IIa, sebanyak tujuh perlakuan masing-masing empat ulangan dengan taraf ampas sagu (ASA), ampas sagu fermentasi (ASAF), dan limbah udang (LU) masing-masing 0, 10 dan 20%. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan ransum, kolesterol, HDL, LDL, trigliserida darah dan kolesterol daging. Penelitian pada tahap IIb menggunakan 10 perlakuan masing-masing empat ulangan dengan taraf ampas sagu (ASA) dan limbah udang (LU) yang berbeda. Perlakuan yang diberikan adalah R0 (ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang); R1 (2,5% ASA + 17,5% LU); R2 (5% ASA + 15% LU); R3 (7,5% ASA+ 12,5% LU); R4 (10% ASA+ 10% LU); R5 (12,5% ASA + 7,5% LU); R6 (15% ASA + 5% LU); R7 (17,5% ASA + 2,5% LU); R8 (20% ASA + 0% LU) dan R9 (0% ASA + LU 10%). Perlakuan yang diuji pada tahap III sebanyak enam perlakuan masing-masing tiga ulangan, yakni R0 (ransum tanpa ampas sagu dan limbah udang); R1 (0% ASA + 10% LU); R2 (10% ASA + 10% LU); R3 (12,5% ASA + 7,5% LU); R4 (17,5% ASA + 2,5% LU) dan R5 (20% ASA + 0% LU). Data dianalisis menggunakan analisis kovariat dan uji lanjut yang digunakan adalah uji T.

Hasil yang diperoleh pada penelitian berturut-turut, tahap I: waktu fermentasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar nutrien ampas sagu;


(6)

penelitian tahap IIa: pemberian ampas sagu dan limbah udang berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan, kolesterol darah tikus dan efisiensi penggunaan ransum; penelitian tahap IIb: pemberian taraf ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya tidak mempengaruhi performa tikus akan tetapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kolesterol dan trigliserida darah. Penelitian tahap III: taraf pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum, bobot karkas, persentase karkas dan laju digesta sedangkan peubah yang lain tidak berpengaruh nyata.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Penelitian tahap I: fermentasi ampas sagu yang diperkaya dengan mineral urea, FeSO4, ZnSO4 dan menggunakan jamur Pleurotus ostreatus berpengaruh sangat nyata pada semua peubah yang diamati. Persentase kadar protein kasar, protein murni dan selulosa ampas sagu pada waktu fermentasi lima minggu, berturut-turut meningkat 7,23; 4,37 dan 40,61% sebaliknya persentase kadar lignin menurun secara drastis, yakni 33,17%. Penelitian tahap IIa: pemberian ampas sagu dan limbah udang tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum, akan tetapi pemberian ransum R2 (20% ampas sagu) menghasilkan pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum yang tertinggi, masing-masing 3,55 g dan 0,31. Kadar kolesterol darah terendah terdapat pada 20% pemberian ampas sagu, yakni 59,75 mg/dl, sedangkan profil lipida darah lainnya dan kolesterol daging tidak dipengaruhi oleh pemberian ampas sagu dan limbah udang. Penelitian tahap IIb: perlakuan tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum; kadar kolesterol darah tikus yang terendah masing-masing pada perlakuan R6 = 45,95 mg/dl, R3 = 46,26 mg/dl dan R4 = 48,74 mg/dl; pemberian perlakuan dalam ransum tidak meningkatkan dan menurunkan kadar HDL dan LDL darah tikus; kadar trigliserida darah tikus menurun pada ransum R6 dan R5 masing-masing 43,81 mg/dl dan 54,57 mg/dl dan pemberian perlakuan dalam ransum tidak meningkatkan kadar kolesterol daging. Penelitian tahap III: konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan ransum, profil lipida darah, kolesterol jaringan lemak dan kolesterol daging babi tidak dipengaruhi oleh perlakuan; ransum R9 menghasilkan laju digesta yang lebih cepat, yakni 17,04 jam; bobot karkas yang tertinggi diperoleh pada ransum R0 dan R7, masing-masing 31,80 dan 30,19 kg; persentase karkas tertinggi pada ransum R4, yakni 76,52%; Ransum R1 lebih ekonomis dengan harga Rp. 2776,3 dan harga ransum untuk menaikkan tiap kilogram bobot badan Rp. 12656,60. Kesimpulan umum yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: waktu optimum fermentasi ampas sagu adalah 5 minggu dengan kadar protein kasar, protein murni, selulosa dan lignin berturut-turut 7,23%, 4,37%, 40,61% dan 2,71%; ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat berpotensi menurunkan kolesterol darah dan memperbaiki kualitas karkas babi serta persentase pemberian ampas sagu dan limbah udang yang baik dalam ransum sebesar 17,5 dan 2,5%.

Kata kunci: ampas sagu, fermentasi, Pleurotus ostreatus, tikus, limbah udang, babi