Takwa dan Gerakan Seribu

Takwa dan Gerakan Seribu
Jejen Musfah

Melihat foto-foto para sahabat yang sedang umroh di laman facebook bukan hal baru dan
asing lagi bagi kita. Tawaran umroh berseliweran melalui media cetak dan media sosial. Hasilnya,
ibadah umroh sudah menjadi tren di kalangan kelas menengah muslim. Fenomena baru ini layak
disambut positif, tetapi juga patut dikritisi dari aspek makna takwa, khususnya dalam konteks
keindonesiaan.
Singkatnya, apakah muslim yang sering pergi umroh sudah bisa dikatakan sebagai orang yang
bertakwa? Demikian juga, apakah fenomena antusiasme muslim Indonesia dalam berhaji
menandakan ketakwaan—sebagaimana yang dimaksudkan dalam ajaran Islam? Jika tidak, apa alasan
dan bagaimana meluruskan paham muslim Indonesia ini?
Dimensi Takwa
Di antara dimensi ketakwaan seorang muslim adalah kesalehan spiritual dan kesalehan sosial.
Indikator kesalehan spiritual adalah menjalankan salat, puasa, zakat, haji, dan umroh. Sedangkan di
antara indikator kesalehan sosial adalah infak, sodakoh, dan menyantuni anak yatim. Tidak sempurna
ketakwaan seseorang jika hanya memiliki kesalehan spiritual, namun lemah dalam kesalehan sosial.
Umat muslim Indonesia yang mampu sangat antusias menjalankan ibadah haji dan umroh.
Meski wajib haji hanya satu kali, muslim kaya bisa berangkat ke tanah suci dua kali, tiga kali, bahkan
lebih. Muslim kaya tidak perlu antri lama, seperti jamaah haji reguler yang harus menunggu sembilan
hingga 12 tahun, karena mampu membayar di atas rata-rata.

Antusiasme muslim dalam berhaji dan berumroh—terutama di Ramadhan, tidak berbanding
lurus dengan antusiasme mereka dalam menjawab problem-problem kemasyarakatan, seperti
kemiskinan dan mutu madrasah. Berapa banyak anak-anak yang tidak bisa madrasah karena faktor
ekonomi, dan berapa banyak fasilitas belajar madrasah yang sangat tidak memadai, seperti ruang
kelas belajar, papan tulis, perpustakaan, dan toilet?
Ketimpangan sikap keberagamaan umat muslim itu karena pemahaman mereka yang keliru
tentang makna takwa. Seolah sudah menjadi hamba saleh dengan menjalankan ritual spiritual,
padahal abai terhadap problem-problem sosial. Takwa adalah kesediaan muslim menyelesaikan
persoalan sosial di samping kepatuhan dalam menjalankan ritual spiritual.
Inilah tantangan muslim Indonesia abad ini. Paradigma muslim seperti ini harus berubah atau
diubah ke pemahaman Islam yang holistik atau komprehensif. Bahwa Islam mendorong umatnya
untuk memecahkan problem-problem sosial dan pendidikan. Memberikan beasiswa, membangun
toilet, dan membangun perpustakaan lebih bermakna daripada pergi haji dan umroh berkali-kali.
Meluruskan Paham
Para dai dan daiah perlu meluruskan paham umat muslim yang lebih mementingkan

kesalehan spiritual daripada kesalehan sosial ini, mulai dari majlis taklim, khutbah Jumat, tabligh
akbar, hingga program keagamaan di televisi. Bukan tidak ada dai yang menjelaskan pentingnya
kesalehan sosial, tetapi seperti apa dan bagaimana wujudnya memerlukan penjelasan yang lebih
kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat dan pendidikan Nusantara.

Jika pahala dan manfaat umroh misalnya, hanya untuk muslim yang melaksanakannya, maka
manfaat memperbaiki dan menyediakan fasilitas pendidikan adalah untuk masyarakat luas yang
pahalanya jelas tidak sedikit. Muslim kelas menengah saatnya merangkul (atau dirangkul) madrasah
yang kondisi fasilitasnya sangat jauh dari standar.
Kepala sekolah atau yayasan membuka diri terhadap kontribusi masyarakat yang bertujuan
memajukan pendidikan madrasah, bukan sebaliknya menutup diri. Kepercayaan masyarakat harus
diikuti dengan pengelolaan madrasah dengan prinsip-prinsip tanggung jawab, transparan, keadilan,
dan sesuai aturan.
Gerakan Seribu
Ketika negara tidak sanggup menyediakan fasilitas pendidikan yang layak, maka peran serta
masyarakat merupakan suatu kewajiban yang tak bisa ditawar sedikitpun. Bukan karena Indonesia
negara miskin (sungguh Indonesia negara kaya-raya), tetapi karena para eksekutif dan legislatifnya
hanya berpikir kepentingan pribadi dan golongannya saja. Rakyat dilupakan, meski dalam bicaranya
selalu mengatasnamakan rakyat.
Sebagai aktualisasi kesalehan sosial, saya menyerukan pentingnya banyak gerakan yang
muncul dari bawah (bottom up), di mana masyarakat mulai peduli dan berkontribusi terhadap mutu
pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Sebut saja misalnya, “Gerakan Seribu Toilet Madrasah”,
“Gerakan Seribu Perpustakaan Madrasah”, “Gerakan Seribu Ruang Kelas Baru”, dan “Gerakan Satu
Juta Papan Tulis”.
Saya yakin ini bukan ide baru. Di luar sana, entah di mana, yang pasti di Bumi Pertiwi kita,

sudah ada gerakan peduli mutu pendidikan. Hanya saja, di Ramadhan kali ini, bersama kita
mewujudkan cita mulia peduli mutu pendidikan dasar ini melalui aktualisasi kesalehan sosial yang
lebih nyata, sebagai wujud ketakwaan kepada Allah Swt.
Di negeri yang jamaah haji dan umrohnya besar ini kita menemukan fakta fasilitas madrasah
yang jauh di bawah standar—negeri maupun swasta. Ironis, padahal Islam mengajarkan
keseimbangan dalam perilaku saleh, dimensi spiritual dan dimensi sosial. Bersediakah seorang
muslim menukar biaya umroh yang kedua dan ketiga mereka dengan satu perpustakaan madrasah
atau satu toilet madrasah?
Bila diperlukan, perpustakaan diberi nama sesuai dengan nama penyandang dananya. Bukan
untuk riya atau pamer, tetapi penghargaan kepada sang dermawan. Ini tidak akan menghapus pahala
kebaiknnya di sisi Allah Swt. Ditulis atau tidak, Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati
setiap hamba-Nya. Karena itu, lebih baik ditulis atau diberi nama, sebagai bukti gerakan peduli
pendidikan dari umat muslim Indonesia.
Siapa peduli mengawali kampanye gerakan-gerakan ini semasif ajakan agen-agen travel untuk

umroh dan haji ke tanah suci? Ada banyak pilihan paket, dari hotel bintang dua hingga hotel bintang
lima. Semakin banyak bintang, semakin nyaman pelayanan dan fasilitasnya, tentu harganya juga lebih
mahal. Karena yang berminat banyak, anda harus rela antri. Setor uang down payment dulu, berangkat
tahun depan atau dua tahun kemudian.
Untuk gerakan seribu di atas, bisa menyodorkan konsep paket A, B, hinga C, di mana setiap

paket punya harganya sendiri-sendiri. Untuk Gerakan Seribu Toilet misalnya, paket A = Rp
12.000.000, paket B = Rp 10.000.000, dan paket C = Rp 8.000.000. Ini sekedar contoh, di mana
hitungan pasti perpaket disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing.
Demikianlah, tidak ada yang salah dengan antusiasme muslim terhadap haji dan umroh.
Uang-uang mereka, hasil jerih payah mereka. Untuk apa uang mereka adalah hak mereka. Dikatakan
banyak orang, bahwa setiap orang yang pernah ke Tanah Suci pasti rindu untuk pergi lagi ke sana.
Tetapi, apa kata dunia, muslim Indonesia banyak yang kaya (buktinya rajin haji dan umroh), tetapi
fasilitas madrasahnya sangat kurang dan memprihatinkan. Jangankan fasilitas, gaji gurunya pun dalam
sebulan hanya Rp 250.000. What?!