Rantai Pasok Bawang Merah Di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah

RANTAI PASOK BAWANG MERAH
DI KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH

TIMBUL RASOKI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Rantai Pasok Bawang
Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Nopember 2016
Timbul Rasoki
NIM H351130261

RINGKASAN
TIMBUL RASOKI. Rantai Pasok Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa
Tengah. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan AMZUL RIFIN.
Bawang merah merupakan komoditas sayuran unggulan nasional yang
selalu menjadi perhatian para pemangku kepentingan terkait keragaan produksi
dan konsumsinya. Di sisi lain, kesenjangan produksi dan konsumsi masih sering
terjadi dari sisi kuantitas maupun dari sisi waktu, sehingga menyebabkan impor
bawang merah terus terjadi. Musim tanam bawang merah umumnya dilakukan
pada musim kemarau, sehingga pada musim hujan produksi menjadi fluktuatif
yang berdampak terjadinya fluktuasi harga yang sangat cepat. Permasalahan
lainnya pada bawang merah juga dihadapkan pada kendala ketersediaan benih
bermutu saat dibutuhkan petani dengan harga terjangkau. Pasokan benih melalui
produksi benih bersertifikat masih sangat rendah dibandingkan dengan non
sertifikat. Diskontinuitas produksi dan fluktuasi harga mengindikasikan masih
adanya permasalahan rantai pasok bawang merah baik untuk konsumsi maupun
benih. Kabupaten Brebes, sebagai sentra utama bawang merah Indonesia perlu

mendapat perhatian prioritas dalam penyusunan strategi perbaikan rantai pasok
bawang merah nasional.
Penelitian ini bertujuan menganalisis rantai pasok bawang merah untuk
konsumsi dan benih menggunakan pendekatan kerangka Food Supply Chain
Network (FSCN) dan menganalisis kinerja rantai pasok bawang merah konsumsi
dan benih di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan April – Desember 2015 menggunakan data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner secara
langsung dengan responden sebanyak 30 orang petani bawang merah yang dipilih
secara purposive sampling serta pedagang bawang merah sebanyak 18 orang
dengan metode snowball sampling. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara
deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk
menguraikan gambaran rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih
dengan pendekatan FSCN dan metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis
kinerja rantai pasok bawang merah yang diukur dengan margin pemasaran dan
farmer’s share.
Hasil penelitian melalui pendekatan Food Supply Chain Network
menunjukkan bahwa rantai pasok pada bawang merah untuk konsumsi sudah
memiliki sasaran yang jelas, hubungan antar pelaku yang sudah terstruktur,
namun belum terkelola dengan baik dilihat dari proses bisnis yang belum

terintegrasi jangka panjang. Pada bawang merah untuk benih kolaborasi antar
pelaku sudah terjalin dengan baik ditinjau dari keterbukaan informasi, kerjasama
dan integrasi antar pelaku rantai pasok. Selain itu, proses bisnis yang berjalan
sudah terstruktur dengan manajemen yang baik. Pada pengukuran kinerja rantai,
margin pemasaran pada bawang merah untuk konsumsi memiliki nilai yang lebih
besar dibandingkan dengan margin pemasaran bawang merah untuk benih.
Selanjutnya melalui analisis farmer’s share, bagian yang diterima petani pada
bawang merah untuk konsumsi lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang
diterima petani bawang merah untuk benih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

rantai pasok bawang merah benih lebih efisien dibandingkan rantai pasok bawang
merah untuk konsumsi.
Rekomendasi yang bisa disarankan sebagai bahan pertimbangan dari hasil
penelitian yang dilakukan berupa perbaikan rantai pasok pada bawang merah
konsumsi yakni pembentukan dan penguatan peran kelompok dalam menjalin
kerjasama dan keterbukaan informasi dalam jaringan rantai pasok. Sedangkan
pada rantai pasok bawang merah untuk benih, pembinaan dan pengembangan
jumlah petani dan penangkar benih bersertifikat di Kabupaten Brebes perlu
diupayakan untuk mencapai sasaran pengembangan rantai pasok bawang merah di
Kabupaten Brebes yakni peningkatan produktivitas bawang merah secara umum.

Diperlukan kebijakan perbaikan manajemen rantai pasokan bawang merah yang
berorientasi pada penyediaan benih bermutu/bersertifikat dengan harga yang
terjangkau, sehingga diharapkan produktivitas bawang merah melalui penggunaan
benih bermutu oleh petani dalam negeri meningkat serta pemenuhan pasokan
bawang merah dalam negeri segera tercapai dengan harga yang lebih stabil baik
ditingkat produsen maupun konsumen.
Kata kunci: Bawang merah, efisiensi pemasaran, FSCN, rantai pasok

SUMMARY
TIMBUL RASOKI. The Supply Chain of Shallot in Brebes, Central Java.
Supervised by ANNA FARIYANTI and AMZUL RIFIN.
Shallot, as one of the main staple foods in Indonesia, always obtain big
concern from all stakeholders, both the production and consumption performance.
Unfortunately, the gaps between supply and demand in quantity and time still
occur that cause social-economic problems and impose government to import in
fulfilling the demand. In addition, as a seasonal commodity, the price fluctuation
is very high. Another constraint in the development od shallot is availability highquality seeds at an affordable price. The supply of certified seeds is not able to
meet farmers' need. These situations indicate there are problems in the supply
chain, both for consumption and seed. Brebes, as the main production centre of
shallot Indonesia, should receive priority attention in supply chain improvement

strategies.
This study aims to analyse the performance of the shallot for consumption
and seeds supply chain in Brebes, Central Java by using Food Supply Chain
Network (FSCN) framework approach. This research was conducted in April –
December 2015. The primary data was obtained through interviews using a
questionnaire directly to 30 farmers that selected by purposive sampling and 18
traders with a snowball sampling method. The qualitative descriptive analysis was
applied to reveal broad understanding about shallots supply chain shallots, both
consumption and seed. While, quantitative methods were used to analyse the
performance of the supply chain by measuring the marketing margin and farmer's
share.
The results showed that supply chain for consumption had had clear goals
and structured relationships between actors. However, it was not manageable
because the business process was not integrated into a long term. For shallot
seeds, the collaboration between stakeholders was well established regarding
disclosure of information, cooperation and integration. In addition, business
processes were running in structured and measurable with good management. For
the chain performance, marketing margin of consumption shallot was higher than
seed. While, the farmers‟ share of shallot for consumption is smaller than seed. It
could be concluded that the supply chain of shallot for seed more efficient than

the consumption.
This research recommends the improvement of the consumption shallot
supply chain through the strengthening of the role of the farmers group in
cooperation and disclosure of information in the supply chain network. While for
seed shallot, it needs extension and development of farmers and breeders to
encourage them to produce certified seeds, that substantial to enhance
productivity. The government needs to make a policy to improve the supply chain
management, particularly for high-quality seeds.
Keywords: FSCN, marketing efficiency, shallot, supply chain

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


RANTAI PASOK BAWANG MERAH
DI KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH

TIMBUL RASOKI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suharno, MADev

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana Wa Ta‟ala atas

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Rantai Pasok
Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah” berhasil diselesaikan. Tesis
ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan
bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:
1. Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MSi, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak
Dr Amzul Rifin, SP., MA, selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala
bimbingan, motivasi, arahan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis
mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.
2. Ibu Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan
Kolokium, Bapak Dr Ir Suharno, MADev selaku penguji luar komisi dan
Bapak Dr Ir Burhanuddin, MM selaku penguji wakil program studi pada ujian
tesis yang telah memberikan banyak masukan dan arahan dalam perbaikan tesis
ini.
3. Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS, selaku Ketua Program Studi dan Bapak Dr
Ir Suharno, MADev selaku Sekretaris Program Studi, seluruh dosen dan staf
Program Studi Magister Sains Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan

kemudahan selama penulis menjalani pendidikan.
4. Bapak Joko Canggah Wirayuda, Bapak Hadi Sutomo, Bapak Dulladi, dan
seluruh responden yang membantu penulis memperoleh data selama penelitian.
5. Rekan-rekan Magister Sains Agribisnis Angkatan IV IPB khususnya keluarga
besar sahabat-sahabat “Rumah Agribisnis” atas segala kerjasama, bantuan,
motivasi serta masukan selama mengikuti pendidikan.
6. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang tinggi
penulis sampaikan kepada kedua orangtua Ayahanda H. Kohar Hasibuan dan
Ibunda Hj. Saelan Harahap atas Do‟a, kasih sayang, motivasi dan pengorbanan
yang diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Mertua Bapak Drs. Endar Muda Nasution dan Ibu Erlina Siregar, SPd.,
Saudara/i tercinta kakak Nur Hasanah Hasibuan, SP., abang Abdul Muis
Hasibuan, MSi., kakak Aprilaila Sayekti, MSi., kakak Rosmala Dewi
Hasibuan, SPi., abang Irsan Sihombing, SPd., serta abang Dodi Afrizal
Hasibuan, SH.
7. Terima kasih khusus penulis sampaikan kepada istriku tercinta Erika Linda
Yani Nasution, MSi., yang telah memberikan dukungan penuh, kasih sayang
dan pengorbanannya selama penulis mengikuti pendidikan.
Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Nopember 2016


Timbul Rasoki

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

v

DAFTAR GAMBAR

v

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1

1
4
6
6
6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kajian Rantai Pasok Komoditi Pertanian
Kinerja Rantai Pasok Komoditi Pertanian

7
7
8

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional

10
10
23

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Responden
Metode Pengolahan dan Analisis Data

26
26
26
26
27

5 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Gambaran Umum Kabupaten Brebes
Karakteristik Responden Bawang Merah di Kabupaten Brebes

29
29
30

6 RANTAI PASOK BAWANG MERAH DI KABUPATEN BREBES
Sasaran Rantai Pasok
Struktur Rantai Pasok
Manajemen Rantai Pasok
Sumber Daya Rantai Pasok
Proses Bisnis Rantai Pasok

33
34
36
42
45
48

7 KINERJA RANTAI PASOK BAWANG MERAH DI KABUPATEN
BREBES
Analisis Margin Pemasaran
Analisis Farmer’s Share

57
57
66

8 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

67
67
68

DAFTAR PUSTAKA

69

RIWAYAT HIDUP

74

DAFTAR TABEL

1

Luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia
tahun 2010 – 2014
2 Ekspor dan impor bawang merah konsumsi di Indonesia
tahun 2010 – 2014
3 Karakteristik responden petani bawang merah di Kabupaten Brebes
4 Karakteristik responden pedagang bawang merah di Kabupaten Brebes
5 Fungsi-fungsi pemasaran pada lembaga-lembaga bawang
merah untuk konsumsi di Kabupaten Brebes
6 Margin pemasaran bawang merah untuk konsumsi di Kabupaten Brebes
7 Fungsi-fungsi pemasaran pada lembaga-lembaga bawang merah untuk
benih di Kabupaten Brebes
8 Margin pemasaran bawang merah untuk benih di Kabupaten Brebes
9 Total margin masing-masing jenis pada tiap saluran pemasaran
bawang merah di Kabupaten Brebes
10 Farmer’s share pada saluran pemasaran bawang merah konsumsi
dan benih di Kabupaten Brebes

2
2
31
32
58
62
63
65
65
66

DAFTAR GAMBAR
1

Perkembangan harga bawang merah di tingkat produsen dan
konsumen di Indonesia tahun 2005-2014
2 Perkembangan harga bulanan bawang merah konsumsi di tingkat
petani dan konsumen di Kabupaten Brebes tahun 2014
3 Tiga tingkat kompleksitas rantai pasok
4 Diagram skematik rantai pasok dari perspektif pengolah dalam FSCN
5 Kerangka analisis rantai pasok berdasarkan FSCN
6 Diagram margin pemasaran
7 Kerangka pemikiran operasional
8 Struktur hubungan rantai pasok bawang merah untuk konsumsi
9 Struktur hubungan rantai pasok bawang merah untuk benih
10 Proses bisnis rantai pasok bawang merah di Kabupaten Brebes

3
4
11
14
15
22
25
36
42
49

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sektor pertanian memegang peranan yang sangat strategis dalam
pembangunan perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan sebagian besar
masyarakat Indonesia bergantung pada sektor pertanian. Sektor ini terdiri dari
beberapa sub sektor, yaitu sub sektor hortikultura, tanaman pangan, perkebunan,
perikanan, kehutanan dan peternakan. Salah satu sub sektor yang cukup penting
adalah hortikultura. Sub sektor ini meliputi sayuran, buah-buahan, tanaman hias,
dan biofarmaka atau obat-obatan. Sub sektor hortikultura merupakan bahan
pemasok bahan pangan yang kaya akan vitamin dan mineral yang diperlukan oleh
tubuh.
Sub sektor hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup penting
bagi sektor pertanian maupun perekonomian nasional, dilihat dari kontribusinya
terhadap pembentukan produk domestik bruto, jumlah rumah tangga yang
mengandalkan sumber pendapatan dari sub sektor hortikultura, peningkatan
pendapatan masyarakat, perdagangan internasional dan sumber pangan
masyarakat. Di samping tanaman pangan, komoditas hortikultura merupakan
komoditas yang penting karena perannya sebagai penghasil kebutuhan pangan
pokok masyarakat. Pasar produk-produk hortikultura di Indonesia sangat besar
dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sejalan dengan peningkatan
laju pertumbuhan penduduk Indonesia (Ditjen Hortikultura 2014).
Salah satu bagian dari komoditas hortikultura tersebut adalah kelompok
tanaman sayuran. Dari sisi ekonomi, sayuran merupakan tanaman hortikultura
yang penting karena mampu memberikan sumbangan kepada produk domestik
bruto hortikultura terbesar kedua setelah buah-buahan (Ditjen Hortikultura 2014).
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang cukup strategis
mengingat fungsinya yang hampir digunakan dalam seluruh menu makanan di
Indonesia. Sebagai sayuran unggulan nasional, keragaan produksi dan
konsumsinya selalu menjadi perhatian para pemangku kepentingan. Pada tahun
2014, konsumsi bawang merah per kapita mencapai 2.48 kilogram per tahun,
mengalami peningkatan sebesar 20 persen dibandingkan tahun 2013 yang hanya
sebesar 2.06 kilogram (BPS 2015). Di sisi lain, permintaan bawang merah juga
terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Kondisi tersebut
perlu diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan produksi bawang merah
dalam memenuhi kebutuhan nasional.
Produksi bawang merah di Indonesia menunjukkan kecenderungan
meningkat dari tahun 2010 hingga 2014 dengan pertumbuhan sebesar 4.85 persen
per tahun. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 2014 yaitu sebesar 1 227 839 ton.
Produktivitas bawang merah juga mengalami peningkatan dari 10.22 ton per
hektar pada tahun 2013 menjadi 10.23 ton pada tahun 2014. Sama halnya dengan
luas panen bawang merah yang juga mengalami peningkatan tahun 2014 sebesar
21.25 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel 1) (BPS 2015).
Namun demikian, kesenjangan antara produksi dan konsumsi bawang merah
masih sering terjadi.

2

Tabel 1 Luas panen, produksi, dan produktivitas bawang merah di Indonesia
tahun 2010–2014
Luas Panen
Pertum(Ha)
buhan (%)
2010
109 634
0.00
2011
93 667
-14.56
2012
99 519
6.25
2013
98 937
-0.58
2014
119 966
21.25
Sumber: BPS (2015)
Tahun

Produksi
Pertum(Ton)
buhan (%)
1 048 934
0.00
893 124
-14.85
964 221
7.96
1 010 773
4.83
1 227 839
21.48

Produktivitas
Pertum(Ton/Ha)
buhan (%)
9.57
0.00
9.54
-0.31
9.69
1.57
10.22
5.47
10.23
0.15

Peningkatan permintaan ditandai dengan meningkatnya konsumsi per kapita
penduduk Indonesia dari tahun ke tahun. Peningkatan ini juga mengindikasikan
bahwa bawang merah memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan dan
memiliki pasar yang menjanjikan sebagai motivasi bagi petani sebagai produsen
untuk meningkatkan produksi bawang merah. Meskipun demikian, hal ini belum
sepenuhnya dimanfaatkan oleh petani bawang merah di Indonesia.
Kesenjangan produksi dan konsumsi tidak hanya terjadi dari sisi kuantitas,
namun juga dari sisi waktu, sehingga menyebabkan impor bawang merah terus
terjadi. Sampai saat ini Indonesia masih tergantung dan membuka kran impor
bawang merah untuk memenuhi kebutuhan bawang merah secara nasional. Selain
melakukan impor bawang merah, Indonesia juga melakukan ekspor bawang
merah yang volumenya jauh lebih sedikit dibandingkan volume impor.
Perkembangan ekspor dan impor bawang merah Indonesia pada tahun 2010
hingga 2014 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Ekspor dan impor bawang merah konsumsi di Indonesia tahun 2010–
2014
Ekspor
Impor
Tahun
Volume
Nilai
Volume
Nilai
(ton)
(000 US$)
(ton)
(000 US$)
2010
3 234
1 814
73 270
33 862
2011
13 792
6 594
160 467
77 444
2012
19 196
8 875
123 315
55 130
2013
4 982
2 985
96 139
54 711
2014
4 439
2 978
74 903
28 309
Sumber: Pusdatin (2015)

Bawang merah masuk ke Indonesia melalui impor yang berasal dari
beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, India, Filipina, Malaysia, dan
Tiongkok. Masuknya bawang merah impor ke Indonesia khususnya di daerah sentra
produksi menyebabkan terjadinya permasalahan harga di tingkat produsen. Harga
bawang merah impor yang lebih murah mendorong harga bawang merah di tingkat
petani juga mengalami penurunan, sehingga potensi pendapatan menjadi berkurang.
Pusat produksi bawang merah Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau
Jawa, dimana tiga daerah penyumbang produksi tertinggi yang menguasai lebih
dari 70 persen produksi nasional yaitu Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Jawa Barat (BPS 2015). Pada tahun 2014, Provinsi Jawa Tengah menyuplai

3

sebesar 42 persen kebutuhan bawang merah nasional yang tersebar di beberapa
kabupaten dengan Kabupaten Brebes merupakan sentra produksi utama. Luas
panen dan produksi bawang merah di Kabupaten Brebes tiap tahun menunjukkan
peningkatan. Pada tahun 2014 produksi bawang merah di Kabupaten Brebes
mengalami peningkatan 23.29 persen dari tahun 2013. Hal senada juga terlihat
pada peningkatan luas panen yang mencapai sebesar 24.26 persen pada tahun
yang sama (BPS Kabupaten Brebes 2015).
Bawang merah merupakan tanaman yang bersifat musiman dan mudah
busuk (perishable) sehingga ketersediaannya di pasaran sangat bervariasi yang
menyebabkan terjadinya fluktuasi harga (Ariningsih dan Tentamia 2004; Sukesi et
al. 2014). Salah satu sebab dari masalah ini adalah adanya ketergantungan
produksi terhadap musim. Pada musim panen jumlah produksi melimpah,
sedangkan pada musim paceklik terjadi sebaliknya. Jumlah produksi yang
melimpah akan menyebabkan turunnya harga di pasaran karena tingkat penawaran
yang lebih besar dari permintaan. Keadaan akan berubah sebaliknya jika jumlah
produksi lebih rendah dari yang dibutuhkan sehingga mengakibatkan harga naik.
Fluktuasi harga pada komoditi bawang merah tidak hanya terjadi di tingkat
konsumen, akan tetapi juga ditingkat petani sebagai produsen. Namun,
kesenjangan harga di tingkat produsen dan konsumen cenderung besar dan tidak
seimbang. Gambar 1 menjelaskan bagaimana perkembangan harga di tingkat
produsen yang cenderung stabil dan di tingkat konsumen lebih fluktuatif.

35000
Harga (Rp/Kg)

30000
Harga di
tingkat
Konsumen

25000
20000

Harga di
tingkat
Produsen

15000
10000
5000
0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Tahun

Gambar 1 Perkembangan harga bawang merah di tingkat produsen dan konsumen
di Indonesia tahun 2005–2014
Sumber: Pusdatin (2015)

Permasalahan diskontinuitas produksi dan fluktuasi harga mengindikasikan
masih adanya persoalan rantai pasok bawang merah di Indonesia. Upaya efisiensi
rantai pasok diperlukan untuk memaksimalkan nilai yang diterima petani dan
kepuasan pelaku rantai pasok. Kabupaten Brebes sebagai sentra utama bawang
merah Indonesia perlu mendapat perhatian prioritas dalam penyusunan strategi
perbaikan rantai pasok bawang merah nasional.

4

Perumusan Masalah

Harga (Rp/Kg)

Kabupaten Brebes memegang predikat sebagai penghasil utama bawang
nasional, namun masih dihadapkan dalam masalah yang cukup menarik terutama
dalam hal pemasarannya. Kesenjangan harga bawang merah dapat terjadi pada
bawang merah untuk konsumsi, juga pada bawang merah untuk benih. Akan
tetapi, fluktuasi harga pada benih cenderung dipengaruhi oleh musim tanam, lain
halnya harga untuk konsumsi yang bisa terjadi setiap hari. Perkembangan harga
bawang merah untuk konsumsi per kilogram di tingkat petani dan konsumen di
Kabupaten Brebes pada tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 2.
20000
18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0

Harga di
tingkat
Konsumen
Harga di
tingkat
Petani

Bulan

Gambar 2 Perkembangan harga bulanan bawang merah konsumsi di tingkat petani
dan konsumen di Kabupaten Brebes tahun 2014
Sumber :

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Brebes (2015)
Dinas Pertanian Tan. Pangan dan Hortikultura Kab. Brebes (2015)

Tingginya fluktuasi harga bawang merah menyebabkan tingginya risiko
harga diterima petani. Menurut Irawan (2007) fluktuasi harga yang terjadi sering
kali lebih merugikan petani daripada pedagang karena petani umumnya tidak
dapat mengatur waktu penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih
menguntungkan. Di samping itu, fluktuasi harga yang tinggi juga memberi
peluang kepada pedagang untuk memanipulasi informasi harga di tingkat petani
sehingga transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani cenderung bersifat
asimetris. Jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka kenaikan harga
tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, namun yang
terjadi adalah kondisi sebaliknya jika terjadi penurunan harga (Simatupang 1999).
Sifat produk bawang merah mudah rusak (perishable) serta puncak produksi
hanya terjadi pada musim tertentu. Dengan konsumsi yang terus sepanjang tahun
menyebabkan harga cenderung fluktuatif dengan perubahan yang sangat cepat
(Sukesi et al. 2014). Di sisi lain, hasil penelitian Nuraeni et al. (2015)
menunjukkan tidak terjadi integrasi antara pasar produsen dengan pasar grosir
maupun eceran dalam jangka panjang. Hal ini berimplikasi pada peningkatan
harga yang terjadi di pasar konsumen tidak secara otomatis meningkatkan harga
di tingkat petani.

5

Masalah lain pada komoditas bawang merahadalah masih terkendala
ketersediaan benih bermutu saat dibutuhkan petani (Putrasemedja dan Permadi
2001). Hasil penelitian Basuki (2010) menunjukkan bahwa komposisi petani yang
memperoleh benih dari hasil panen bawang konsumsi periode sebelumnya yang
sudah diseleksi secara mandiri mencapai 94 persen. Di sisi lain, kebutuhan benih
bawang merah nasional setiap tahunnya cukup tinggi. Pasokan benih pada tahun
2014 yang dapat dipenuhi melalui produksi benih bersertifikat hanya sebesar 26.6
persen, sedangkan sisanya dipenuhi dari impor benih sebesar 1.4 persen dan benih
dari sektor non formal jaringan arus benih antar lapang (Jabal) sebesar 72 persen
(Ditjen Hortikultura 2015). Rendahnya pemenuhan benih bermutu disebabkan
harga benih bermutu/bersertifikat lebih mahal dibandingkan benih belum
bersertifikat sehingga penggunaan benih dari hasil panen sendiri dapat
menghemat biaya produksi (Basuki 2009).
Fenomena yang terjadi pada bawang merah baik untuk konsumsi maupun
untuk benih di atas menggambarkan bahwa sistem rantai pasok yang terjadi dalam
pemasaran bawang merah belum efisien. Kabupaten Brebes sebagai sentra utama
produsen bawang merah untuk konsumsi maupun benih terbesar di Indonesia
masih dihadapkan pada permasalahan yang sama. Pada saat musim tanam bawang
merah (in season) pada bulan April–Juni petani dihadapkan pada harga benih
yang tinggi. Naiknya harga benih dikarenakan pada musim tanam sebelumnya (off
season) pada bulan Desember–Februari hasil panen petani cenderung menurun
karena tingginya serangan penyakit dan jamur. Petani di Kabupaten Brebes yang
mayoritas menggunakan benih Jabal harus mengeluarkan biaya lebih karena
ketersediaan benih menurun sehingga harga benih cenderung naik. Menurut
pengalaman petani, musim tanam pada bulan Juli–Agustus merupakan waktu
tanam terbaik karena kondisi cuaca yang lebih kering namun pasokan air tetap
tersedia. Senada dengan hasil penelitian Purba dan Astuti (2014) yang
menyatakan bahwa penanaman bawang merah pada bulan Juli – September
merupakan waktu terbaik yang dapat memberikan hasil optimal.
Pengaruh musim tidak hanya menyebabkan produksi yang fluktuatif, akan
tetapi juga berdampak terjadinya fluktuasi harga (Irawan 2007; Asmara dan
Ardhiani 2010; Susanawati et al. 2015). Hasil panen pada off season yang
cenderung menurun karena kerusakan pada daun dan busuk umbi bawang merah
menyebabkan kualitasdan harga jual di tingkat petani menurun. Selain itu,
pedagang pengumpul yang datang mengunjungi lahan petani untuk melakukan
tawar menawar lebih sedikit sehingga nilai tawar petani semakin rendah.
Permasalahan yang terjadi pada bawang merah untuk konsumsi maupun benih di
Kabupaten Brebes menunjukkan bahwa masih perlunya penguatan sistem rantai
pasok dalam pemasaran bawang merah.
Rantai pasok pada dasarnya memiliki tiga tujuan utama yaitu penurunan
biaya (cost reduction), penurunan modal (capital rediction), dan perbaikan
pelayanan (service improvement). Van der Vorst (2006) menyusun sebuah
kerangka kerja Food Supply Chain Network (FSCN) untuk menggambarkan rantai
pasok yang kompleks, yang terdiri dari sasaran rantai, struktur rantai, manajemen
rantai, sumber daya rantai, proses bisnis rantai dan kinerja rantai pasok. Pada
elemen terakhir dari kerangka FSCN, yakni kinerja rantai pasok perlu dilakukan
pengukuran. Penilaian kinerja rantai pasok bawang merah baik untuk konsumsi
dan benih penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana upaya yang dilakukan

6

untuk memperbaiki permasalahan. Selain itu pengukuran kinerja diperlukan untuk
mengetahui sejauh mana optimalisasi kegiatan pemasaran yang dilakukan anggota
rantai pasok dan apabila struktur rantai pasok telah terkoordinasi dengan baik
diharapkan dapat memberikan keuntungan yang tinggi bagi petani, tingkat harga
dan stabilitas harga. Efisiensi pemasaran bagian dari indikator pengukuran kinerja
rantai pasok dalam menentukan sistem pemasaran yang lebih efisien.
Berdasarkan uraian permasalahan tersebut maka pertanyaan yang mendasari
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih di
Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan kerangka Food
Supply Chain Network (FSCN)?
2. Bagaimana kinerja rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih di
Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan,
maka tujuan dari penelitian ini meliputi:
1. Menganalisis rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih di
Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah.
2. Menganalisis kinerja rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih di
Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat memberikan
rekomendasi kebijakan dalam perbaikan rantai pasok bawang merah untuk
konsumsi dan benih di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian
ini juga diharapkan mampu menjadi masukan dalam pengembangan rantai pasok
bawang merah di Kabupaten brebes yakni peningkatan produktivitas bawang
merah secara umum. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi
peneliti yang melakukan penelitian mengenai rantai pasok.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakup beberapa aspek yang dinilai penting untuk
dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk mengetahui kondisi rantai pasok
untuk konsumsi dan benih di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah digunakan
kerangka Food Supply Chain Network (FSCN). Pengukuran kinerja rantai pasok
dapat dilakukan dengan pengukuran efisiensi rantai pasok dengan menghitung
nilai margin pemasaran dan farmer’s share. Lokasi penelitian dibatasi untuk
petani produsen bawang merah konsumsi dan benih di wilayah Kecamatan
Wanasari sebagai produsen tertinggi di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah.
Adapun untuk rantai pasok bawang merah konsumsi, daerah pemasaran dibatasi
untuk wilayah Bandung dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kajian Rantai Pasok Komoditi Pertanian
Menurut Chopra and Meindl (2007), rantai pasok memiliki sifat yang
dinamis namun melibatkan tiga aliran yang konstan, yaitu aliran informasi,
produk dan uang. Tujuan utama dari setiap rantai pasok adalah untuk memenuhi
kebutuhan konsumen dan menghasilkan keuntungan. Van der Vost (2000)
mendefinisikan rantai pasok sebagai sebuah rangkaian dari aktivitas-aktivitas
(fisik dan pengambilan keputusan) yang terhubung oleh saluran barang dan
informasi serta terkait dengan aliran-aliran uang dan hak milik yang
berseberangan dengan batasan organisasi. Oleh karena itu manajemen terhadap
rantai pasok penting untuk menciptakan integrasi dari perencanaan, koordinasi,
dan pengawasan dari semua proses bisnis dan aktivitas di dalam rantai pasok
untuk menyampaikan nilai yang diharapkan konsumen dengan biaya sekecil
mungkin terhadap rantai pasok secara keseluruhan yang pada saat bersamaan
memenuhi berbagai persyaratan dari pelaku lain dalam rantai pasok (Van der Vost
2000). Pengelolaan dan integrasi antar anggota rantai pasok menjadi salah satu
cara yang efektif untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dan kinerja suatu
rantai pasok dalam menghadapi lingkungan bisnis dengan tingkat persaingan yang
semakin tinggi (Salazar 2012).
Setiap anggota rantai pasok merupakan bagian dari satu bisnis secara
keseluruhan, sehingga penting adanya praktik bisnis yang baik dan komitmen
antar anggota rantai pasok. Hasil penelitian Sridharan dan Simatupang (2009),
Mathuramaytha (2011), serta Ahmad dan Ullah (2013) mengenai kolaborasi rantai
pasok menyatakan bahwa aliran dan keterbukaan informasi yang baik antar
anggota rantai pasok menjadi kunci suksesnya kolaborasi rantai pasok, karena
dapat membantu meningkatkan hubungan antar anggota rantai pasok melalui
integrasi sistem informasi dan sistem pengambilan keputusan, sehingga mengarah
pada peningkatan kinerja dan penghapusan inefisiensi dalam rantai pasok.
Integrasi dan kolaborasi dalam suatu rantai pasok dapat memberikan
keuntungan bagi setiap anggota yang tergabung di dalamnya. Sridharan dan
Simatupang (2009) dan Mathuramaytha (2011) mengungkapkan bahwa kolaborasi
rantai pasok akan memberikan keuntungan lebih bagi anggotanya, meningkatkan
penerimaan dan pangsa pasar, serta mempercepat proses pengambilan keputusan
dalam menghantarkan produk yang tepat ke lokasi yang tepat pada waktu dan
kondisi yang tepat dengan biaya yang rendah. Adanya kolaborasi dalam rantai
pasok juga dapat menekan kelebihan persediaan dan memberikan respons yang
cepat atas permintaan konsumen akhir (Rigatto et al. 2004; Sridharan dan
Simatupang 2009).
Kohli dan Jensen (2010) dalam hasil penelitiannya mengenai kolaborasi
rantai pasok di kalangan anggota Council of Supply Chain Management
Professionals (CSCMP) menyatakan bahwa selain meminimumkan biaya dan
memaksimumkan kepuasan konsumen atas kecepatan layanan, kolaborasi rantai
pasok juga memberikan keuntungan berupa kontinuitas persediaan yang lebih
stabil, ketersediaan informasi yang lebih terbuka, peningkatan daya saing, dan
pembagian tanggung jawab yang jelas di antara anggota rantai pasok. Hasil

8

penelitian Demir (2013) mengenai rantai pasok berjaring pada produk organik di
Turki juga menyebutkan bahwa dengan adanya integrasi dalam rantai pasok
memberikan keuntungan berupa peningkatan kepercayaan pelanggan atas
kontinuitas produk.
Pelaksanaan aktivitas kolaborasi dalam rantai pasok memiliki beberapa
hambatan yang meliputi ketakutan akan terjadinya kegagalan, kompetisi yang
ketat di antara rantai pasok, krisis kepercayaan, kompleksitas kegiatan
operasional, ketidakmampuan mengakses teknologi, dan kurangnya standar proses
komunikasi dalam rantai pasok (Kohli dan Jensen 2010; Ronchi 2011). Hambatan
dalam pelaksanaan aktivitas rantai pasok tersebut apabila tidak diantisipasi dapat
mengakibatkan struktur rantai pasok kurang terintegrasi dengan baik dan
menimbulkan inefisiensi dalam proses penyaluran produk atau jasa.
Manajemen rantai pasok produk pertanian mewakili manajemen
keseluruhan proses produksi dari kegiatan pengolahan distribusi, pemasaran,
hingga produk yang diinginkan sampai ke tangan konsumen (Marimin dan
Maghfiroh 2010). Manajemen rantai pasok pertanian memiliki cara penanganan
yang berbeda (kompleks, probalistik, dan dinamis) dibanding dengan manajemen
rantai pasok non pertanian. Perbedaan terdapat pada karakteristik produk
pertanian yang perishable (mudah rusak) dan ukuran produk yang bervariasi
(tidak seragam), proses produksi yang tergantung pada musim dan iklim, serta
perubahan perilaku konsumen terhadap keamanan pangan. Begitu pula sifat dan
karakteristik produk pertanian yang secara luas adalah mudah rusak, volume
besar, dan mengambil ruang besar (perishable, voluminous, dan bulky).
Van der Vorst (2000) dan Van der Spiegel (2004) menyimpulkan beberapa
karakteristik rantai pasok pertanian secara khusus yaitu: umur simpan produk
yang singkat; produk yang mudah rusak dan busuk; waktu produksi yang panjang;
produksi tergantung musim; panen raya dan paceklik; penanganan terhadap
penyimpanan; kualitas dan kuantitas produksi dipengaruhi oleh musim, cuaca,
hama dan penyakit tanaman; dan permintaan konsumen terhadap keamanan
pangan. Sistem pengukuran rantai pasok dalam perkembangannya perlu
mengutamakan untuk mempertimbangkan rantai pasok sesuai dengan
karakteristik yang spesifik. Karakteristik rantai pasok pangan berbeda dengan
rantai pasok pada umumnya. Oleh karena itu, rantai pasok pangan memiliki
sistem pengukuran rantai pasok yang disesuaikan dengan karakteristiknya. Pelaku
dan aktivitas rantai pasok bawang merah sangat kompleks dan memiliki beberapa
rantai pasok yang terdiri dari beragam pelaku yang terlibat (petani, penangkar
benih, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer, dan konsumen
akhir).
Kinerja Rantai Pasok Komoditi Pertanian
Keberhasilan rantai pasok dapat dilihat dari tingkat kinerja yang
dimilikinya. Pengukuran kinerja rantai pasok yang umum digunakan yaitu melalui
pengukuran biaya atau pengukuran dengan kombinasi antara pengukuran biaya
dan respons pelanggan. Menurut Pettersson (2008), yang melakukan penelitian
tentang pengukuran kinerja rantai pasok komoditas biji-bijian di India, bahwa
kinerja rantai pasok diukur dengan menggunakan perhitungan biaya total rantai
pasok yang meliputi penjumlahan harga di tingkat petani, biaya tambahan total

9

(biaya transportasi dan pengemasan), total mark up, dan jumlah pemborosan
(biaya kerugian akibat barang usang dan biaya akibat kehilangan dalam
transportasi).
Indikator berhasilnya suatu pengelolaan rantai pasok khususnya pada
komoditi pertanian dikemukakan oleh Roekel et al. (2002) yaitu (1) meningkatnya
margin dan pengetahuan pasar bagi produsen, (2) penurunan hilangnya produk
selama penyimpanan dan transportasi, (3) kualitas produk meningkat, (4)
meningkatnya produk pangan yang terjamin aman, (5) penjualan meningkat
signifikan, (6) peningkatan nilai tambah produk yang dapat menghasilkan
penerimaan. Dalam konteks manajemen rantai pasok pengukuran tidak hanya
melibatkan proses internal pelaku bisnis, tetapi terhadap seluruh pihak yang
terlibat dalam rantai pasoknya (Pujawan 2005).
Menurut Lokollo (2012) terdapat enam hal pokok yang harus diperhatikan
dalam manajemen rantai pasok (memerhatikan aliran barang/komoditi, aliran
jasa/servis, maupun aliran informasi). Keenam hal tersebut yaitu (1) aktivitas yang
dilakukan apakah menghasilkan nilai tambah atau tidak, (2) bagaimana atau
dimana peranan servis atau jasa di setiap titik simpul atau mata rantai, (3) apa dan
siapa yang menentukan harga, (4) hubungan kesepadanan diantara tiap pelaku, (5)
bagaimana sampai nilai tambah di tiap simpul itu (how value is created), dan (6)
siapa saja pemeran utama atau penentu (key decison-makers).
Relasi dengan konsumen akhir adalah sebuah keharusan dalam meraih
kesuksesan dalam rantai pasokan. Rantai pasokan harus dekat dengan konsumen
akhir mereka untuk membentuk hubungan kerjasama dalam perencanaan.
Sementara perusahaan bersaing melalui penyesuaian produk, kualitas yang tinggi,
pengurangan biaya, dan kecepatan mencapai pasar diberikan penekanan tambahan
terhadap rantai pasokan.
Van der Vost (2006) telah mendiskusikan sebuah kerangka untuk
menggambarkan rantai pasok, pelaku yang terlibat, proses, produk, sumber daya
dan manajemen, hubungan, dan ciri khas untuk memahami rantai pasok yang
kompleks yang disebut kerangka Food Supply Chain Network (FSCN). Awal
pembahasan dalam kerangka FSCN yaitu sasaran rantai (chain objectives) dengan
mengidentifikasi karakteristik spesifik dari rantai pasok, pengintegrasian kualitas
dan pengoptimalan rantai. Selanjutnya dimulai dengan membahas struktur rantai
untuk menjawab pertanyaan siapa anggota dalam FSCN dan perannya dan apa
saja aturannya. Demikian pula proses bisnis rantai untuk menjawab pertanyaan
yaitu siapa pelaku yang terlibat dalam proses FSCN dan bagaimana tingkat
integrasi proses. Sedangkan manajemen rantai menekankan manajemen diantara
setiap proses, kontrak yang terjalin dan sejauh mana dukungan pemerintah.
Sumber daya rantai yaitu sumber daya yang digunakan dalam setiap proses.
Penjelasan Kerangka FSCN secara deskriptif tidak cukup untuk menjelaskan
kondisi rantai pasok. Oleh karena itu pengukuran kinerja rantai pasok penting
untuk melihat sejauh mana efisiensi dan efektifitas rantai pasok.
Beberapa peneliti yang menggunakan kerangka FSCN untuk mengetahui
kondisi rantai pasok pangan diantaranya; Fajar (2014), Qhoirunisa (2014), dan
Purba (2015). Fajar (2014) mengukur kinerja rantai pasok jagung di Jawa Barat
dengan menggunakan analisis efisiensi pemasaran dan analisis nilai tambah,
Qhoirunisa (2014) mengenai rantai pasok padi di Kabupaten Bogor mengukur
kinerja rantai pasok juga menggunakan analisis efisiensi pemasaran, serta Purba

10

(2015) menganalisis rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun juga
menggunakan analisis efisiensi pemasaran. Pendekatan yang digunakan untuk
menganalisis rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih di Kabupaten
Brebes Provinsi Jawa Tengah ini menggunakan kerangka FSCN dan pengukuran
kinerja rantai pasok menggunakan pendekatan efisiensi operasional pemasaran
yang berdasarkan analisis margin pemasaran dan farmer’s share. Penelitian ini
melihat bagaimana rantai pasok bawang merah dilihat dari dua sisi pokok utama
yang saling terkait yakni tidak hanya pada bawang merah konsumsi, akan tetapi
menganalisis bagaimana rantai pasok bawang merah untuk benih di Kabupaten
Brebes.
Penelitian Sumaiyah et al. (2013) tentang analisis integrasi pasar bawang
merah di Kabupaten Pamekasan melihat bagaimana efisiensi pemasaran pada
komoditi bawang merah juga diukur dari margin pemasaran dan farmer’s share.
Analisis yang sama juga digunakan Karyawan et al. (2014) mengenai analisis
penampilan pasar bawang merah di Kabupaten Lombok Barat, dan Ngodu et al.
(2015) tentang margin pemasaran bawang merah di Desa Pangian Kecamatan
Passi Timur. Melalui indikator margin pemasaran, Dhewi (2013) yang melakukan
penelitian tentang analsisis efisiensi pemasaran bawang merah di Kabupaten
Probolinggo mengungkapkan margin pemasaran yang tinggi menunjukkan belum
efisiennya pemasaran yang terjadi dan semakin pendek saluran pemasaran maka
nilai farmer’s share akan semakin besar.
Nurasa dan Darwis (2007) yang melihat analisis usahatani dan keragaan
margin pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes menyimpulkan bahwa
tujuan utama pemasaran lebih dominan ke pedagang pengumpul dengan margin
terbesar terdapat pada pedagang pasar induk dengan farmer’s share terbesar
terhadap pedagang pengumpul yang mencapai 80 persen. Selanjutnya Mayrowani
dan Darwis (2009) mengemukakan bahwa margin pasar cenderung lebih
mengelompok pada pedagang besar dan supplier. Hal ini menunjukkan bahwa
tingginya harga tidak dinikmati petani, tetapi pada saat harga turun harga tersebut
ditransmisikan dengan baik ke tingkat petani. Artinya petani tetap menerima
harga yang rendah dan berfluktuasi.

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Rantai Pasok
Rantai pasok terdiri dari semua pihak yang terlibat, baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam pemenuhan permintaan pelanggan, tidak hanya
meliputi produsen dan pemasok, tetapi juga transportasi, pergudangan, pengecer,
bahkan pelanggan itu sendiri (Chopra dan Meindl 2007). Hudson (2007)
mengungkapkan bahwa rantai pasok merupakan proses interaksi yang terjadi pada
setiap tingkat lembaga pemasaran antara produsen, pengolah, distributor,
pedagang grosir (wholesaler), pedagang pengecer (retailer), dan konsumen.
Selain itu, Jacoby (2009) mendeskripsikan rantai pasok sebagai suatu rangkaian

11

kegiatan yang terlibat dalam mengalirkan produk beserta pelayanan tambahan dari
pemasok utama hingga ke konsumen akhir.
Mentzer et al. (2001) menjabarkan tingkat kompleksitas rantai pasok yang
terdiri dari tiga tingkat meliputi rantai pasok langsung (direct supply chain), rantai
pasok yang diperpanjang (extended supply chain), dan rantai pasok utama
(ultimate supply chain) (Gambar 3). Rantai pasok langsung terdiri dari pemasok,
perusahaan, dan konsumen yang terlibat dalam aliran hulu dan hilir dari suatu
produk, pelayanan, keuangan, dan informasi. Rantai pasok yang diperpanjang
memiliki anggota rantai pasok yang lebih banyak, meliputi pemasok utama yang
menjadi sumber penyedia produk bagi pemasok, pemasok, perusahaan, konsumen
antara, dan konsumen akhir yang juga terlibat dalam aliran hulu dan hilir dari
suatu produk, pelayanan, keuangan, dan informasi di sepanjang rantai pasok.

Supplier

Organization

Customer

DIRECT SUPPLY CHAIN
Supplier‟s
Supplier

Supplier

Organization

Customers

Customer‟s
Customers

EXTENDED SUPPLY CHAIN
Third party
Logistics supplier
Ultimate
Supplier

Supplier

Organization
Financial
Provider

Customers

Ultimate
Customers

Market
Research firm

ULTIMATE SUPPLY CHAIN

Gambar 3 Tiga tingkat kompleksitas rantai pasok
Sumber: Mentzer et al. (2001)

Rantai pasok utama mencakup seluruh organisasi yang terlibat dalam
seluruh aliran hulu dan hilir dari suatu produk, pelayanan, keuangan, dan
informasi mulai dari pemasok utama hingga konsumen akhir. Pada Gambar 3 juga
diilustrasikan kompleksitas yang dapat dicapai oleh rantai pasok utama. Sebagai
gambaran, penyedia keuangan pihak ketiga dapat menyediakan fasilitas
pembiayaan. Penyedia logistik pihak ketiga dapat melakukan kegiatan logistik
antara dua perusahaan. Sedangkan perusahaan riset pasar dapat memberikan
informasi mengenai konsumen akhir.
Anatan dan Ellitan (2008) menjelaskan bahwa perubahan lingkungan bisnis
yang berkembang secara cepat karena adanya tuntutan konsumen yang semakin
kritis akan produk dan jasa yang berkualitas dengan harga yang rendah serta dapat
diperoleh dengan mudah dan cepat, menjadi salah satu latar belakang munculnya
perubahan paradigma persaingan bisnis dari single alone competition menjadi

12

networked competition. Perubahan paradigma tersebut juga menimbulkan
perkembangan bentuk rantai pasok dari yang semula berbentuk linier (linear
supply chain) menjadi berjaring (networked supply chain). Melalui integrasi rantai
pasok pada suatu rantai pasok berjaring, perusahaan dapat menciptakan hubungan
dengan pasar, jaringan distribusi, dan proses pabrikan untuk memberikan
pelayanan terbaik bagi konsumen dengan biaya yang lebih rendah.
Jonsson (2008) menyatakan bahwa manajemen rantai pasok meliputi
perencanaan dan pengelolaan semua kegiatan yang terlibat dalam sumber dan
pengadaan, konversi, dan semua kegiatan manajemen logistik. Hal ini juga
mencakup koordinasi dan kolaborasi dengan masing-masing saluran seperti
pemasok, perantara, penyedia layanan pihak ketiga, dan pelanggan. Masalah
penawaran dan permintaan terjadi di seluruh rantai dan rantai pasok
menghubungkan semua komponen dengan tujuan untuk memenuhi permintaan
konsumen (Summer 2009). Lambert (2008) juga menyatakan bahwa manajemen
rantai pasok adalah integrasi dari proses bisnis utama dari pengguna akhir melalui
pemasok yang menyediakan produk, layanan, dan informasi yang meningkatkan
nilai tambah bagi pelanggan dan stakeholder lainnya. Menurut Pujawan (2005),
rantai pasok adalah jaringan perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk
menciptakan dan menghantarkan suatu produk sampai ke tangan pelanggan.
Perusahaan-perusahaan tersebut biasanya terdiri dari rangkaian supplier
(pemasok), pabrik, distributor, toko atau ritel serta perusahaan-perusahaan
pendukung seperti perusahaan jasa logistik.
Menurut Chopra dan Meindl (2007), terdapat dua cara pandang yang
berbeda untuk melihat proses yang terjadi dalam rantai pasok, yaitu cycle view
dan push or pull view. Pada cycle view dijelaskan bahwa proses dalam rantai
pasok merupakan rangkaian dari beberapa siklus, dimana masing-masing siklus
terjadi di antara dua tahap atau anggota rantai pasok yang berhadapan. Sedangkan
pada push or pull view dijelaskan bahwa proses dalam rantai pasok dibagi menjadi
dua kategori tergantung kepada tindakan anggota rantai pasok yang tergabung di
dalamnya, apakah tindakan tersebut untuk menanggapi atau mengantisipasi
pesanan (permintaan) konsumen. Proses pull (tarik) adalah proses yang diawali
dari respon terhadap permintaan konsumen, sementara proses push (dorong)
adalah proses yang diawali dan dilakukan dalam rangka mengantisipasi
permintaan konsumen.
Cycle view pada suatu rantai pasok terdiri dari empat siklus proses yang
terdiri dari siklus procurement, siklus manufacturing, siklus replenishment, dan
siklus customer order. Cycle view pada rantai pasok sangat bermanfaat dalam
pertimbangan keputusan operasional, karena dapat menentukan peran masingmasing anggota rantai pasok. Cycle view juga bermanfaat dalam pembentukan
sistem informasi yang mendukung operasi rantai pasok.
Kondisi permintaan konsumen pada push/pull view terbagi menjadi dua,
dimana pada proses pull permintaan konsumen diketahui dengan pasti, sedangkan
pada proses push permintaan konsumen tidak dapat diketahui dan harus
diramalkan. Proses pull juga dapat diartikan sebagai proses reaktif (reactive
processes) karena proses ini merupakan reaksi terhadap permintaan konsumen.
Sementara itu proses push dapat diartikan sebagai proses spekulatif (speculative
processes) karena proses ini muncul sebagai respon terhadap hasil spekulasi atau
peramalan, bukan terhadap permintaan aktual. Proses push beroperasi di

13

lingkungan yang tidak pasti karena permintaan konsumen tidak diketahui,
sedangkan proses pull beroperasi di lingkungan yang permintaan konsumennya
diketahui dengan pasti. Proses dalam push or pull view tersebut seringkali
terkendala oleh keputusan persediaan dan kapasitas yang dibuat pada fase
push.Push or pull view pada rantai pasok sangat bermanfaat dalam pertimbangan
keputusan strategis yang berkaitan dengan desain rantai pasok. Terutama dalam
kaitannya dengan tujuan untuk mengidentifikasi pendekatan batasan push or pull
yang dapat mencocokkan penawaran dan permintaan secara efektif (Chopra dan
Meindl 2007).
Jonsson (2008) menyatakan bahwa aktifitas dalam rantai pasok dilakukan
untuk memuaskan kebutuhan konsumen melalui penyaluran berbagai variasi
produk. Agar tujuan itu tercapai, terdapat empat tipe utilitas berbeda yang harus
dipenuhi dalam suatu rantai pasok. Pertama adalah utilitas bentuk yang
merepresentasikan nilai tambah yang dihasilkan melalui nilai perubahan wujud
mulai dari bahan input hingga menjadi produk akhir. Kedua adalah utilitas tempat
yang merepresentasikan nilai tambah yang dihasilkan dengan menjadikan produk
dapat diperoleh pada tempat yang tepat. Ketiga adalah utilitas waktu yang
merepresentasikan nilai tambah yang dihasilkan dengan menjadikan produk dapat
diperoleh di waktu yang tepat. Utilitas terakhir adalah utilitas kepemilikan yang
merepresentasikan nilai tambah yang dihasilkan ketika kepemilikan suatu produk
berpi