Potensi Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) Isolat Lemah Sebagai Agens Pengendali Penyakit Daun Keriting Kuning pada Tanaman Tomat

POTENSI TOMATO YELLOW LEAF CURL VIRUS (TYLCV)
ISOLAT LEMAH SEBAGAI AGENS PENGENDALI
PENYAKIT DAUN KERITING KUNING PADA
TANAMAN TOMAT

DONNARINA SIMANJUNTAK

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Potensi Tomato yellow leaf curl
virus (TYLCV) Isolat Lemah Sebagai Agens Pengendali Penyakit Daun Keriting
Kuning pada Tanaman Tomat” adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Februari 2010
Donnarina Simanjuntak
A352070051

ABSTRACT

DONNARINA SIMANJUNTAK. Potential Mild Isolate of Tomato yellow leaf
curl virus (TYLCV) as Natural Agents to Control Yellow Leaf Curl Disease on
Tomato Plants. Under direction of GEDE SUASTIKA, ALI NURMANSYAH,
and DEWI SARTIAMI.
Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV, genus Begomovirus, family
Geminiviridae), vectored by the whitefly Bemisia tabaci, is one of the tomato
infecting viruses which is inducing the most obvious symptoms. The severe
growth reduction of the plants and the typical yellowing and curling of the leaves
due to TYLCV infection is easily detected by farmers, even not being familiar
with those symptoms. Control measures in infected areas usually rely on seclusion
of the whitefly vector, mainly through multiple applications of insecticides or
physical barriers. Due to the large populations of whiteflies, and their ability to
develop pesticide resistance, vector seclusion is not an ideal way of fighting the

spread and damage induced by TYLCV. Hence, cross protection using mild
isolate of TYLCV is the best solution for the virus problem, since it requires no
chemical input and/or plant seclusion. The first step towards the development of
cross protection is searching for mild isolate of TYLCV from the naturally
infected tomato plants in endemic area of yellow leaf curl disease in West Jawa.
Assessment by using enzyme linked immunoassay to 1.102 cutting samples from
tomato plants showing no any disease symptoms collected from Bogor, Cianjur
and Garut revealed that 13 cuttings contained TYLCV. Assessment by planting
the TYLCV-contained tomato plant cuttings in the field found 6 TYLCV isolates
having stable mild penotipic character (consistently induce no any symptom on
tomato plant). But among them, only 4 isolates of TYLCV having potencies of
cross protection to the challenge inoculation of TYLCV severe isolates in tomato
plants. These mild and protective isolates of TYLCV were able to be transmitted
to tomato seedlings to give protection against yellow leaf curl diseases during its
growth in the field.

Keywords: Tomato yellow leaf curl virus, mild isolate, cross-protection.

[Tiii


RINGKASAN

DONNARINA SIMANJUNTAK.
Potensi Tomato yellow leaf curl virus
(TYLCV) Isolat Lemah Sebagai Agens Pengendali Penyakit Daun Keriting
Kuning pada Tanaman Tomat. Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA, ALI
NURMANSYAH, DEWI SARTIAMI.
Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV), penyebab penyakit daun keriting
kuning, sudah banyak dilaporkan mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup
besar pada berbagai komoditas sayuran di banyak negara tropis dan subtropis di
seluruh dunia. Di Indonesia, serangan penyakit daun keriting kuning yang terjadi
terutama pada tanaman cabai dan tomat sudah dirasakan sejak tahun 2005. Di
Sleman (Yogyakarta) dan Magelang (Jawa Tengah), contohnya, tingkat infeksi
TYLCV diestimasi berkisar antara 20 hingga 100%. Kerugian yang ditimbulkan
oleh penyakit ini bervariasi dan tercatat dapat mencapai lebih dari 85%. TYLCV
memiliki partikel berbentuk ikosahedral kembar, bergenom DNA utas tunggal
berukuran sekitar 2,6-2,8 kb, merupakan salah satu anggota dari Begomovirus dari
famili Geminiviridae. TYLCV ditularkan oleh serangga vektornya, kutukebul
Bemisia tabaci. Mobilitasnya yang sangat tinggi dan inangnya yang banyak serta
dapat menularkan virus (TYLCV) secara persisten menyebabkan kutukebul

memegang peranan penting dalam epidemiologi penyakit daun keriting kuning,
mungkin hal ini pula yang menyebabkan usaha pengendalian penyakit ini yang
dilakukan dengan cara menekan populasi serangga vektor menggunakan
insektisida kurang berhasil. Di samping itu, efek samping penggunaan insektisida
terhadap kesehatan lingkungan seperti residu pada buah tomat dan matinya musuh
alami hama dan patogen sudah menjadi perhatian semua pihak. Cara lain yang
pernah diterapkan untuk mengendalikan penyakit daun keriting kuning yaitu
dengan menggabungkan pengendalian kutukebul dengan musuh alami, seperti
parasitoid; predator; dan varietas tomat tahan terhadap Begomovirus juga belum
dapat memberikan hasil yang diharapkan. Salah satu alternatif pengendalian yang
cukup memberi harapan keberhasilan dan memenuhi persyaratan untuk kesehatan
lingkungan adalah dengan melakukan proteksi silang (cross protection). Proteksi
silang dalam penelitian ini adalah penggunaan isolat lemah suatu virus (TYLCV)
untuk melindungi tanaman (tomat) dari kerusakan ekonomis yang ditimbulkan
oleh infeksi isolat ganas virus yang sama (TYLCV). Keberhasilan pengendalian
melalui proteksi silang sudah banyak dilaporkan terhadap berbagai jenis virus
pada berbagai komoditas tanaman. Namun demikian, penelitian mengenai
proteksi silang pada interaksi TYLCV dengan tanaman tomat belum pernah
dilakukan di Indonesia maupun di negara lain. Untuk itu dilakukan penelitian
mengeksplorasi TYLCV isolat lemah dari populasi alami dan menguji potensinya

sebagai agens pengendali penyakit daun keriting kuning pada tanaman tomat.

iv

Kegiatan yang dilakukan terdiri dari: (1) survei kejadian penyakit daun
keriting kuning pada pertanaman tomat di daerah Bogor dan Cianjur yang
mempunyai degradasi ketinggian tempat mulai dari 176 m sampai lebih dari 1300
m dpl; (2) pemeliharaan kutukebul B. tabaci; (3) eksplorasi TYLCV isolat lemah;
(4) deteksi virus dengan ELISA; (5) deteksi TYLCV dengan PCR; (6) seleksi
TYLCV isolat lemah stabil; (7) pengujian proteksi silang; (8) inokulasi TYLCV
isolat lemah protektif pada bibit tomat.
Pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa tanaman tomat yang
terserang penyakit daun keriting kuning mengalami gejala klorosis berat sehingga
nampak kuning. Daun-daun pucuk berukuran jauh lebih kecil dari normal,
sedangkan daun-daun bawah menjadi keriting, pertumbuhan tanaman sangat
terhambat sehingga menjadi kerdil dan umumnya tidak menghasilkan buah.
Kejadian penyakit daun keriting kuning pada tanaman tomat berdasarkan hasil
survei di daerah Bogor dan Cianjur berkisar antara 20-100% dan kutukebul yang
umum dijumpai adalah Bemisia tabaci dan umumnya semua varietas tomat yang
dibudidayakan petani, terutama di daerah Bogor dan Cianjur, diamati rentan

terhadap infeksi TYLCV.
Dari hasil eksplorasi TYLCV isolat lemah dari kebun-kebun tomat di daerah
Bogor, Cianjur, Garut yang 80% lebih populasi tanamannya memperlihatkan
gejala penyakit daun keriting kuning, telah didapatkan 1.102 stek pucuk dari
seluruh individu tanaman tomat yang tidak memperlihatkan gejala penyakit dan
secara konsisten di lapangan sampai sebulan lamanya, hanya ada 6 stek tanaman
yang tidak memperlihatkan gejala penyakit (T33, T105, T122, T131, T134,
T146). Keenam stek ini mengandung TYLCV isolat lemah (karena tidak
menginduksi gejala penyakit) yang bersifat stabil.
Hasil deteksi dengan PCR menunjukkan bahwa, keenam stek tomat tersebut
masing-masing menghasilkan pita PCR berukuran 760 bp yang sesuai dengan
desain primer yang digunakan. Dengan demikian sudah dikonfirmasi dengan
lebih cermat keberadaan masing-masing isolat TYLCV pada masing-masing stek
tomat tersebut.
Hasil pengujian inokulasi stek tanaman tomat yang sudah mengandung
TYLCV isolat lemah dengan TYLCV isolat ganas melalui kutukebul B. tabaci
(challenge inoculation) memperlihatkan bahwa tidak semua isolat lemah yang
diuji mempunyai sifat protektif terhadap isolat ganas, terdapat dua isolat TYLCV
yaitu T105 dan T146 memperlihatkan kenyataan yang berbeda. Kedua isolat
virus ini tidak mempunyai kemampuan perlindungan terhadap stek tomat dan

membiarkan lebih dari 70% stek tomat menjadi sakit dengan gejala daun keriting
kuning yang parah setelah diinokulasi TYLCV isolat ganas. Empat isolat lainnya,
yaitu TYLCV-T33, -T122, -T131 dan -T134, memperlihatkan kemampuan
protektif karena mampu melindungi stek tomat dari infeksi TYLCV isolat ganas
dan mencegah kemunculan gejala daun keriting kuning. Fenomena proteksi
silang nampak dengan jelas diperlihatkan oleh isolat TYLCV-T33, -T122, -T131
dan -T134 ini.

v

Inokulasi TYLCV isolat lemah pada 36 bibit tomat dengan menggunakan 60
ekor imago B. tabaci dalam tray tertutup (sekitar ± 2 ekor kutukebul/bibit
tanaman) memberikan hasil tingkat penularan yang cukup tinggi yaitu 85%. Hasil
ini sesuai dengan hasil penelitian Cohen & Lapidot (2007) yang mendapatkan
bahwa efisiensi penularan TYLCV melalui 3 ekor imago B. tabaci adalah sekitar
83%. Hasil penularan ini sudah dianggap mencukupi untuk memberikan
perlindungan tanaman bila ditanam di lapangan. Perlindungan tanaman tomat
melalui virus isolat lemah pada stadia bibit (sebelum ditanam di lapangan)
merupakan saat yang tepat karena infeksi TYLCV isolat ganas melalui B. tabaci
di lapangan dapat terjadi pada saat tanaman baru ditanam di lapangan (bahkan

dapat terjadi di pembibitan bila dilakukan pada tempat terbuka) sampai tanaman
tomat dewasa. Pengurangan produksi akan semakin tinggi bila semakin muda
tanaman tomat terinfeksi oleh TYLCV isolat ganas.

Kata kunci: Tomato yellow leaf curl virus, isolat lemah, proteksi silang.

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar bagi IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

POTENSI TOMATO YELLOW LEAF CURL VIRUS (TYLCV)
ISOLAT LEMAH SEBAGAI AGENS PENGENDALI
PENYAKIT DAUN KERITING KUNING PADA
TANAMAN TOMAT


DONNARINA SIMANJUNTAK

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. R. Yayi Munara Kusumah, M.Si.

Judul Tesis

: Potensi Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) Isolat Lemah
Sebagai Agens Pengendali Penyakit Daun Keriting Kuning pada
Tanaman Tomat


Nama

: Donnarina Simanjuntak

NIM

: A352070051

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc.
Ketua

Dra. Dewi Sartiami, M.Si.
Anggota

Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si.
Anggota


Diketahui

Ketua Program Studi
Mayor Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.

Tanggal Ujian: 9 Februari 2010

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Lulus: 25 Februari 2010

x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa atas segala berkat dan
penyertaan-Nya hari lepas hari sehingga karya ilmiah yang berjudul “Potensi
Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) Isolat Lemah Sebagai Agens Pengendali
Penyakit Daun Keriting Kuning pada Tanaman Tomat” dapat diselesaikan.
Terima kasih kepada Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional
(DITJEN DIKTI DEPDIKNAS) No. 343/SP2H/PP/DP2M/VI/2009 dan
Utsunomiya University, Japan atas kerjasamanya yang telah turut membantu
mendanai penelitian ini.
Ucapan terima kasih setulus hati kepada bapak Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc.,
Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si., dan ibu Dra. Dewi Sartiami, M.Si. atas bimbingan,
saran, bantuan, koreksi, dan nasihat selama saya melakukan penelitian dan proses
penulisan tesis.
Terima kasih kepada ibu Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. (Kepala
Laboratorium Virologi Tumbuhan) atas saran dan nasihat yang diberikan selama
penulis bekerja di Laboratorium dan kepada bapak Dr. Ir. R. Yayi Munara
Kusumah, M.Si. (Dosen Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis) atas saran dan
koreksi yang diberikan pada saat berlangsungnya Ujian Tesis.
Ungkapan terima kasih atas kasih sayang beserta doa yang tulus tiada
berhenti ditujukan kepada kedua orangtuaku : bapak Ir. D. Simanjuntak dan ibu R.
Tampubolon. Terima kasih atas doa dan dukungan Nangboru Sinambela, Mami,
dan kak Duma.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada David Parulian Sinambela, S.P.
untuk dukungan doa, semangat, dan kesabaran yang telah dijalani selama enam
tahun ini.
Dalam melakukan kegiatan penelitian yang mencakup pengambilan contoh
stek tomat di lapangan, pengerjaan penelitian di laboratorium, dan penulisan tesis,
Penulis mendapatkan banyak sekali bantuan, saran, dan semangat dari temanteman. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih dan salam persahabatan
yang tulus kepada:
1. Eva Dwi Fitriasari, M.Si., Dohar Simanjuntak, dan Dedi Hutapea, S.P. yang
telah membantu sebagian proses pengambilan contoh stek dan atas semangat
yang telah diberikan selama penelitian.
2. Pak Ateng, Pak Ing, Pak Sohib yang telah membantu perawatan stek tomat
selama di Pacet, kabupaten Cianjur dan Saung Mirwan, kabupaten Bogor.
3. Teknisi Laboratorium Biosistematika Serangga :
Ibu Aisyah, yang telah membantu pada saat identifikasi kutukebul.
4. Rekan-rekan Entomologi-Fitopatologi 2007 :
Ibu Rika Meliansyah, M.Si., bu Heri Harti, Weni Wilia, M.Si., Wartono, M.Si.,
Bruce O’Chieng atas semangat yang telah diberikan selama penelitian dan
penyelesaian tesis.
5. Teman, sahabat di Laboratorium Virologi dan Entomologi-Fitopatologi:
Ibu Ifa Manzila, M.Si., ibu Dr. Dwi Wahyuni G, mbak Tuti Legiastuti, Putri S,
kak Nilda Yanti, kak Tri, kak Julinda Henuk, Fitrianingrum K, S.P., Devi
Agustina, S.P., Budi Sri Utami, S.P., pak Irwan Lakani, M.Si., pak Dendi

xi

Juliandi, M.Si., Sri Maria atas semangat dan bantuan yang telah diberikan
selama penelitian dan penyelesaian tesis.
6. Adek angkatan, teman satu kost-an sekaligus sebagai sahabat penulis
menemani dalam suka dan duka selama belajar dan melakukan penelitian di
IPB: Jessi Linar Tambunan, S.Si., Ruly Duma Simanjuntak, S.TP., Rina
Patrycia, S.Hut., Setripa Silaban, S.P., Kade Kusuma Dewi, S.P., Mayang
Hayuning Astuti, S.TP., Sri Rahayu, Eka Rahelia Purba S.TP., dan Wulan.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kepentingan
pendidikan dan penelitian.

Bogor, Februari 2010
Donnarina Simanjuntak

RIWAYAT HIDUP

Donnarina Simanjuntak, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Januari 1985
dari ayah D. Simanjuntak dan ibu R. Tampubolon. Penulis merupakan anak
ketiga dari lima bersaudara.
Tingkat pendidikan Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas
diselesaikan penulis di Jakarta. Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 63
Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan tercatat
sebagai mahasiswi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan lulus tahun 2007,
kemudian pada tahun yang sama penulis mendapat kesempatan melanjutkan
pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB dengan program studi EntomologiFitopatologi pada mayor Fitopatologi.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................

xiv

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................

xv

PENDAHULUAN ......................................................................................
Latar Belakang ...................................................................................
Tujuan Penelitian ...............................................................................

1
1
3

TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
Tomat (Lycopersicon esculentum L.) .................................................
Geminivirus .......................................................................................
Morfologi .................................................................................
Gejala Infeksi Geminivirus pada Tanaman Tomat .....................
Penularan Geminivirus ..............................................................
Bemisia tabaci ...................................................................................
Taksonomi ................................................................................
Bioekologi ................................................................................
Teknik Pengendalian ..........................................................................
Proteksi Silang ...................................................................................

4
4
4
4
5
6
8
8
8
11
12

BAHAN DAN METODE ...........................................................................
Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................
Metode Penelitian ..............................................................................
Survei Kejadian Penyakit Daun Keriting Kuning pada
Pertanaman Tomat ....................................................................
Pemeliharaan Kutukebul Bemisia tabaci ...................................
Eksplorasi Tomato Yellow Leaf Curl Virus Isolat Lemah ...........
Prosedur ELISA ........................................................................
Ekstraksi DNA ..........................................................................
Prosedur PCR ...........................................................................
Seleksi TYLCV Isolat Lemah Stabil .........................................
Pengujian Proteksi Silang .........................................................
Inokulasi TYLCV Isolat Lemah Protektif pada Bibit Tomat ......

15
15
15
15
15
16
16
17
18
19
19
19

HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
Penyakit Daun Keriting Kuning pada Tanaman Tomat .......................
Eksplorasi TYLCV Isolat Lemah .......................................................
TYLCV Isolat Lemah Sebagai Agens Pengendali Penyakit Daun
Keriting Kuning pada Tanaman Tomat ..............................................

21
21
23

KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................

30

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

31

27

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Kejadian penyakit daun keriting kuning pada tanaman tomat menurut
ketinggian tempat di daerah Bogor dan Cianjur ......................................

23

2 Koleksi tanaman tidak bergejala dari lapangan yang epidemi penyakit
keriting kuning di wilayah Bogor dan sekitarnya ....................................

25

3 Analisa sifat protektif isolat-isolat lemah TYLCV terhadap inokulasi
isolat ganas .............................................................................................

28

4 Tingkat penularan TYLCV isolat lemah protektif pada bibit tomat
melalui B. tabaci ....................................................................................

29

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Gejala penyakit daun keriting kuning pada tanaman tomat terinfeksi
Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) dan imago Bemisia tabaci ........

21

2 Penanaman stek pucuk tomat yang mengandung TYLCV isolat lemah
dalam media tumbuh dalam tray .............................................................

24

3 Pita hasil deteksi dengan PCR menggunakan primer spesifik TYLCV
terhadap sample stek no 105, 146, 122, 134, 33, 131, kontrol positif .......

26

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Geminivirus merupakan salah satu virus patogen tanaman yang sangat
merugikan yang banyak dijumpai pada pertanaman tomat (Sudiono et al. 2004).
Di Indonesia, telah dilaporkan bahwa serangan geminivirus pada tanaman tomat
di daerah Bogor dan sekitarnya dapat mencapai 50 – 70% (Aidawati & Hidayat
2002). Serangan virus patogen ini pada tanaman tomat menimbulkan penyakit
daun keriting kuning (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2008).
Gejala yang timbul karena infeksi geminivirus pada tanaman tomat sangat
bervariasi, bergantung pada strain virus, kultivar tomat, umur tanaman pada waktu
terinfeksi dan lingkungan yang mendukung terjadinya penyakit. Pada umumnya
gejala yang ditimbulkan akibat infeksi geminivirus yaitu adanya kombinasi
mosaik kuning pada daun, belang-belang klorotik, klorotik pada ujung daun, daun
berkerut, daun mengecil, bunga cepat rontok, dan secara keseluruhan tanaman
menjadi kerdil (Polston & Anderson 1997). Di Indonesia, infeksi geminivirus
pada tanaman tomat menimbulkan gejala yaitu berupa penebalan tulang daun,
lamina daun berkerut-kerut, daun menguning, tepi daun melengkung ke atas, daun
menjadi keriting, dan tanaman menjadi kerdil (Aidawati & Hidayat 2002).
Penyakit daun keriting kuning tidak dapat ditularkan melalui biji, tetapi dapat
menular melalui penyambungan dan melalui serangga vektor kutukebul
(Direktorat Perlindungan Hortikultura 2008).
Menurut Torres Pacheco et al. (1996), salah satu spesies virus dari
kelompok geminivirus yang menyebabkan penyakit daun keriting kuning pada
tanaman tomat adalah Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV). TYLCV sudah
banyak dilaporkan mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup besar pada
berbagai komoditas sayuran di banyak negara tropis dan subtropis di seluruh
dunia (Green et al. 2001; Varma & Malathi 2003).

Di Indonesia, serangan

penyakit daun keriting kuning yang terjadi terutama pada tanaman cabai
(Sumardiyono et al. 2003; Sudiono et al. 2005; Hidayat et al. 2006; Sulandari et
al. 2007) dan tomat (Sukamto 2005; Tsai et al. 2006; De Barro et al. 2008) sudah
dirasakan sejak tahun 2005.

2

Tingkat kejadian penyakit ini bervariasi bergantung kepada beberapa faktor
seperti misalnya ketersediaan sumber inokulum virus, tingkat populasi serangga
vektor dan tingkat kerentanan tanaman tomat.

Di Sleman (Yogyakarta) dan

Magelang (Jawa Tengah), contohnya, tingkat infeksi TYLCV diestimasi berkisar
antara 20 – 100% (Rahayu 2004). Demikian juga kerugian yang ditimbulkan oleh
penyakit ini bervariasi dan tercatat dapat mencapai lebih dari 85% (Sumardiyono
et al. 2003).
TYLCV adalah virus yang memiliki partikel berbentuk ikosahedral kembar
berukuran 20 x 30 nanometer dan bergenom DNA utas tunggal sekitar 2,6-2,8 kb.
Virus ini merupakan salah satu anggota dari genus Begomovirus dari famili
Geminiviridae (Tsai et al. 2006) yang ditularkan oleh kutukebul, Bemisia tabaci
Genn. (Bedford et al. 1994; Harrison & Robinson 1999). Mobilitasnya yang
sangat tinggi dan inangnya yang banyak serta dapat menularkan virus (TYLCV)
secara persisten menyebabkan kutukebul memegang peranan penting dalam
epidemiologi penyakit daun keriting kuning (Nakhla & Maxwell 1998), mungkin
hal ini pula yang menyebabkan usaha pengendalian penyakit ini yang dilakukan
dengan cara menekan populasi serangga vektor menggunakan insektisida
(Denholm et al. 1998; Palumbo et al. 2001) kurang berhasil. Di samping itu, efek
samping penggunaan insektisida terhadap kesehatan lingkungan seperti residu
pada buah tomat dan matinya musuh alami hama dan patogen (Trabolsi 1994;
Elbert & Nauen 2000) sudah menjadi perhatian semua pihak. Cara lain yang
pernah diterapkan untuk mengendalikan penyakit daun keriting kuning yaitu
dengan menggabungkan pengendalian kutukebul dengan musuh alami (parasitoid,
predator, cendawan) dan varietas tomat tahan terhadap Begomovirus (Gerling et
al. 2001; Hiljie et al. 2001) juga belum dapat memberikan hasil yang diharapkan.
Salah satu alternatif pengendalian

yang cukup

memberi harapan

keberhasilan dan memenuhi persyaratan untuk kesehatan lingkungan adalah
dengan melakukan proteksi silang (cross protection).

Proteksi silang yang

dimaksud dalam penelitian ini, adalah penggunaan isolat lemah suatu virus
(TYLCV) untuk melindungi tanaman (tomat) dari kerusakan ekonomis yang
ditimbulkan oleh infeksi isolat ganas virus yang sama (TYLCV).

3

Keberhasilan pengendalian melalui proteksi silang sudah banyak dilaporkan
terhadap berbagai jenis virus pada berbagai komoditas tanaman (Costa & Muller
1980; Yeh et al. 1988; Lecoq et al. 1991; Van Vuuren et al. 1993; Yeh &
Gonsalves 1994; Mahmood & Rush 1999; Gal-On 2000; Sayama et al. 2001;
Sambade et al. 2002). Namun demikian, penelitian mengenai proteksi silang pada
interaksi TYLCV dengan tanaman tomat belum pernah dilakukan di Indonesia
maupun di negara lain.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi TYLCV isolat lemah dari
populasi alami dan menguji potensinya sebagai agens pengendali penyakit daun
keriting kuning pada tanaman tomat.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Tomat (Lycopersicon esculentum L.)
Lycopersicon esculentum L. atau

yang sinonim dengan Solanum

lycopersicum L. merupakan tanaman hortikultura dari famili Solanaceae. Tomat
merupakan tumbuhan asli berasal dari Amerika Tengah dan Selatan, dari Meksiko
sampai Peru. Tomat merupakan tumbuhan siklus hidup singkat (semusim), dapat
tumbuh setinggi 1 sampai 3 meter (Smith 1994), ditanam sebagai tanaman buah di
ladang, pekarangan, atau ditemukan liar pada ketinggian di antara 1-1600 meter di
atas permukaan laut (Anonim 2009).
Tomat termasuk tanaman yang tidak tahan hujan, sinar matahari terik, serta
menghendaki tanah yang gembur dan subur. Tanaman setahun ini tumbuh tegak
atau bersandar pada tanaman lain, bercabang banyak, berambut, dan berbau kuat.
Batang bulat, menebal pada buku-bukunya, berambut kasar warnanya hijau
keputihan.

Daun majemuk menyirip, letak berseling, bentuknya bulat telur

sampai memanjang, ujung runcing, pangkal membulat, helaian daun yang besar
tepinya berlekuk, helaian yang lebih kecil tepinya bergerigi, panjang 10 – 40 cm,
warnanya hijau muda.

Bunga majemuk, berkumpul dalam rangkaian berupa

tandan, bertangkai, mahkota berbentuk bintang, warnanya kuning. Buahnya buah
buni, berdaging, kulitnya tipis licin mengilap, beragam dalam bentuk maupun
ukurannya, warnanya kuning atau merah.

Bijinya banyak, pipih, warnanya

kuning kecokelatan (Anonim 2009).

Geminivirus
Morfologi
Geminivirus merupakan golongan virus tumbuhan yang tergolong dalam
famili Geminiviridae. Bentuk partikel geminivirus yaitu isometrik ganda, yang
dalam keadaan tunggal umumnya berdiameter 18 – 20 nanometer dan sebagian
besar virus ini terdapat dalam keadaan berpasangan dengan ukuran 20x30
nanometer.

Kelompok

geminivirus

memiliki

genom

asam

nukleat

deoksiribonukleat dalam bentuk utas tunggal (single-stranded deoxyribosa nucleic

5

acid/ ss DNA) berukuran sekitar 2,6-2,8 kb (Tsai et al. 2006) dan terselubung
dalam virion ikosahedral kembar (geminate) (Bock 1982).

Gejala Infeksi Geminivirus pada Tanaman Tomat
Gejala penyakit yang timbul akibat infeksi geminivirus pada tanaman tomat
sangat bervariasi, tergantung kepada strain virus, kultivar inang, umur tanaman
pada saat terinfeksi, vektor, dan kondisi lingkungan yang mendukung
perkembangan vektor dan penyakit. Di Indonesia, tanaman tomat yang terinfeksi
geminivirus menunjukkan gejala yang berbeda-beda. Gejala umum yang terlihat
berupa daun berkerut, daun menjadi kecil, daun berkerut dan keriting, daun
menguning, daun mengecil dan cupping (daun arahnya melengkung ke atas),
penebalan tulang dan anak tulang daun, penguningan lamina daun, dan tanaman
menjadi kerdil (Aidawati 2006).
Menurut Direktorat Perlindungan Hortikultura (2008), gejala serangan
geminivirus pada tanaman tomat yaitu helai daun mengalami vein clearing,
dimulai dari daun-daun pucuk berkembang menjadi warna kuning yang jelas,
tulang daun menebal dan daun menggulung ke atas (cupping). Infeksi lanjut dari
geminivirus dapat menyebabkan daun-daun mengecil dan berwarna kuning terang,
tanaman menjadi kerdil, bahkan ada yang tidak mampu menghasilkan buah.
Butter & Rataul (1977) melaporkan bahwa tanaman tomat yang terinfeksi
tomato leaf curl virus (TLCV) menunjukkan gejala daun keriting, daun
menggulung (rolling), perubahan bentuk daun, daun menjadi berkerut
(puckering), dan terdapat enasi pada permukaan bawah daun. Gejala TLCV strain
Australia berupa daun keriting, kuning, daun menggulung ke atas. Tanaman yang
terinfeksi pada saat umur muda menjadi tidak berbuah dan kerdil (Conde &
Connelly 1994).
Infeksi TYLCV pada tanaman tomat menyebabkan daun-daun menjadi
kecil, keriting, keras, klorotik, bunga jatuh sebelum waktunya (prematur), tunas
menjadi kaku, internoda menjadi pendek, dan secara keseluruhan tanaman
menjadi kerdil (Cohen & Nitzany 1966).
penelitiannya

menjelaskan

bahwa

Jones et al. (1991) melalui hasil

tanaman

yang

terinfeksi

mengakibatkan bunga rontok dan kualitas buah rendah serta cepat masak.

TYLCV

6

Di Indonesia, infeksi geminivirus pada tanaman tomat menimbulkan gejala
berupa penebalan tulang daun, lamina daun berkerut-kerut, daun menguning, tepi
daun melengkung ke atas, daun menjadi keriting, dan tanaman menjadi kerdil
(Sugiarman & Hidayat 2000).
Menurut Matthews (1992) munculnya gejala pada tanaman tomat yang
terinfeksi geminivirus sangat dipengaruhi oleh konsentrasi virus, faktor
lingkungan, dan faktor genetik tanaman. Perbedaan waktu munculnya gejala pada
beberapa kultivar tomat yang berbeda yang terinfeksi geminivirus menyebabkan
munculnya gejala yang berbeda pada kultivar-kultivar tersebut. Tanaman yang
terinfeksi oleh geminivirus pada awal fase pertumbuhan cenderung mengalami
kerusakan lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang terinfeksi setelah fase
generatif (Brown & Bird 1992). Selain itu, kesuburan tanah dan iklim atau musim
juga berpengaruh terhadap keanekaragaman gejala dan pemencaran populasi
serangga vektor kutukebul di lapangan (Matthews 1992).

Penularan Geminivirus
Geminivirus pada umumnya dapat ditularkan dengan dua cara, yaitu melalui
penyambungan bagian tanaman yang terinfeksi dan melalui serangga vektor
kutukebul, akan tetapi virus ini tidak dapat ditularkan melalui biji maupun secara
mekanik dengan inokulasi cairan perasan tanaman sakit.
pemencaran geminivirus di

Penularan dan

lapangan sangat ditentukan oleh aktivitas dan

kemampuan terbang serangga vektornya B. tabaci (Harrison & Robinson 1999).
Kutukebul dapat menularkan geminivirus secara persisten (yaitu bila kutukebul
menghisap dari tanaman tomat yang mengandung geminivirus, maka selama
hidupnya serangga ini akan mampu menularkan virus tersebut ke tanaman tomat
lain) (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2008).
Tingginya persentase infeksi geminivirus pada tanaman tomat disebabkan
oleh adanya sumber inokulum dan vektor penyakit tersebut yang selalu ada di
areal pertanaman (Aidawati 2006).

Di dalam tanaman, partikel geminivirus

berada dalam jaringan floem dan terakumulasi di dalam inti sel jaringan floem
yang terinfeksi.

Berdasarkan strukur genom, serangga vektor, dan kisaran

7

tanaman inangnya, geminivirus dikelompokkan menjadi empat genus yaitu
Mastrevirus, Curtovirus, Begomovirus, dan Topocuvirus (Hull 2002).
Mastrevirus merupakan geminivirus dengan tanaman inang dari kelompok
monokotil, ditularkan oleh wereng daun dan memiliki genom monopartit.
Mastrevirus memiliki lebih dari 10 jenis virus yang sudah diketahui, dengan
tanaman inang dari famili Graminea, yaitu chlorosis striate mosaic virus
(CSMV), wheat dwarf virus (WDV), maize streak virus (MSV), dan digitaria
strak virus (DSV). Curtovirus adalah geminivirus dengan tanaman inang dikotil,
yang ditularkan oleh vektor wereng daun, dan genomnya monopartit. Anggota
Curtovirus di antaranya yaitu tobacco yellow dwarf virus (TYDV) dengan vektor
Orosius argentatus (Hemiptera: Cicadellidae) dan beet curly top virus (BCTV)
dengan vektor Circulifer tenellus (Hemiptera: Cicadellidae) (Hull 2002).
Kelompok lain dari geminivirus adalah Begomovirus. Virus ini menyerang
tanaman inang dikotil seperti tomat dan cabai yang ditularkan oleh vektor
kutukebul B. tabaci.

Begomovirus memiliki genom bipartit atau monopartit.

Berdasarkan daerah asal genus tersebut anggota Begomovirus terbagi menjadi
kelompok yang berasal dari Old World (benua Eropa, Asia, Afrika) dan kelompok
New World (benua Amerika).

Anggota Begomovirus yang memiliki genom

bipartit di antaranya african cassava mosaic virus (ACMV), bean dwarf mosaic
virus (BDMV), bean golden mosaic virus (BGMV), abutilon mosaic virus
(AbMV), cotton leaf crumple virus (CLCV), squash leaf curl virus (SLCV),
tomato golden mosaic virus (TGMV), potato yellow mosaic virus (PYMV),
mungbean yellow mosaic virus (MYMV), euphorbia mosaic virus (EuMV), dan
indian cassava mosaic virus (ICMV), sedangkan yang memiliki genom
monopartit yaitu tomato leaf curl virus dan tomato yellow leaf curl virus (NavasCastillo et al. 1999).
Topocuvirus adalah genus geminivirus yang memiliki genom yang mirip
dengan Curtovirus, tetapi ditularkan melalui wereng pohon Micrutalis malleifera.
Anggota Topocuvirus yaitu tomato pseudocurly top virus (Hull 2002).

8

Bemisia tabaci
Taksonomi
Bemisia

tabaci

termasuk

ke

dalam

ordo

Hemiptera,

subordo

Sternorrhyncha, superfamili Aleyrodoidea dan famili Aleyrodidae. Serangga ini
memiliki beberapa sebutan antara lain cotton whitefly, sweet potato whitefly, atau
tobacco whitefly (Martin 1999).

Sosromarsono et al. (2007) memberi nama

umum B. tabaci dengan sebutan kutukebul tembakau yang bersifat polifag.

Bioekologi
Kutukebul B. tabaci memiliki perkembangan siklus hidup dengan lama
waktu sekitar dua sampai tiga minggu. Serangga ini dapat bereproduksi secara
seksual atau partenogenetik. Siklus hidup dari serangga ini melalui beberapa fase
perkembangan, yaitu telur, nimfa, pupa, dan imago.

Imago serangga ini

merupakan serangga yang berukuran sangat kecil dengan aktifitas menghisap
cairan tanaman di saluran pembuluh floem (Kalshoven 1981).
Kutukebul tidak dapat diidentifikasi melalui karakter morfologi pada
imagonya, tetapi genus dan spesiesnya lebih mudah diketahui melalui struktur
nimfa instar akhir (prepupa) atau dapat diketahui juga melalui struktur kantung
pupa (pupal case) (Mound & Halsey 1978). Perbedaan bentuk dan ukuran pupa
antara B. tabaci dengan Trialeurodes vaporariorum dipengaruhi oleh kutikula
tanaman inangnya. Telur B. tabaci bentuknya lonjong (oval), berwarna putih
bening ketika baru diletakkan, kemudian menjadi kecoklatan menjelang akan
menetas (Hirano et al. 2002).
Nimfa dan pupa B. tabaci berwarna keputih-putihan dan bentuknya
bervariasi tergantung pada substratnya, memiliki panjang mencapai 0,7 mm
(Kalshoven 1981). B. tabaci memiliki tiga instar nimfa. Nimfa instar pertama
berbentuk bulat panjang, berwarna hijau cerah dengan bulu-bulu halus dan lapisan
lilin yang tipis pada bagian pinggir tubuhnya. Lama nimfa instar pertama adalah
3,14 ± 0,24 hari. Nimfa instar kedua berwarna hijau gelap, tungkainya tereduksi
dan sudah menetap tidak berpindah-pindah, lamanya sekitar 3,21± 0,16 hari.
Nimfa instar tiga tidak aktif bergerak, tungkainya tereduksi, lamanya sekitar 2,72

9

± 0,33 hari. Secara umum, nimfa menghisap cairan tanaman di saluran pembuluh
floem tanaman (Badri 1983).
Panjang pupa mencapai 0,7 mm, memiliki sepasang bintik merah yang
kemudian berfungsi sebagai mata setelah menjadi imago. Pupa berbentuk elips
dengan bagian toraks yang agak melebar dan cembung serta berwarna kuning.
Ruas abdomen pada pupa tampak jelas. Bagian pinggir pupa tidak rata. Pada
tahap pupa terdapat ornamen lilin di sisi tubuhnya (Badri 1983).
Imago B. tabaci berwarna kuning, disertai sayap yang ditutupi oleh sekresi
berupa tepung berwarna putih. Panjang tubuh imago berkisar antara 1-1,5 mm.
Lama hidup imago sekitar 6 hari. Sayapnya terdiri dari dua pasang dan bersifat
transparan.

Imago dapat terbang sampai beberapa ratus meter pada jarak

ketinggian ± 4 meter, dapat juga terbawa melalui angin (Kalshoven 1981).
Kutukebul B. tabaci merupakan kutu tanaman yang memiliki lebih dari
1.000 spesies inang yang banyak menimbulkan kerusakan di daerah tropis
maupun subtropis (Hill 1987).

Kutukebul ini pertama kali ditemukan pada

tanaman tembakau di Yunani pada tahun 1889 (Horowitz 1986). Kutukebul ini
memiliki daerah penyebaran yang cukup luas, antara lain terdapat di India, Afrika,
dan Amerika Selatan (Cock 1986). Kalshoven (1981) mencatat bahwa serangga
ini baru ditemukan di Indonesia pertama kali di Pulau Jawa dan Sumatera.
Daerah penyebaran lainnya, meliputi Hawaii, Meksiko, Columbia, Amerika Utara,
Amerika Tengah, dan Asia (Cock 1986).
Menurut Cock (1986) B. tabaci merupakan hama utama tanaman hias di
rumah kaca, walaupun tanaman utama yang diproduksi di rumah kaca seperti
tomat, cabai, buncis, terong, dan mentimun juga ikut terserang. Di Amerika
Serikat, pertama kali dilaporkan bahwa B. tabaci menyebabkan kerusakan pada
tanaman hias di rumah kaca. Serangga tersebut sangat cepat penyebarannya dan
sangat sulit untuk dikendalikan (Price et al. 1986).
Di Hawaii, hama ini ditemukan pada tanaman ubi jalar, sirsak, alpukat,
brokoli, kubis bunga, ketumbar, Dendrobium (anggrek), terong, kacang hijau,
jambu biji, hibiscus, labu kuning, melon, mawar, kedelai, tomat, semangka,
succini, kentang, kubis, bunga krisan, bunga matahari, kacang-kacangan, lada,
lobak, dan selada (Mau & Tsuda 1991). Kutukebul B. tabaci memiliki preferensi

10

lebih tinggi terhadap tanaman inang yang daunnya berbulu, seperti tomat dan
terong, dan kurang menyukai daun tanaman inang yang tidak berbulu (Butler &
Wilson 1984; Indrayani & Sulistyowati 2005).
Berkembangnya sistem tanam tumpang sari kapas dan palawija, kedelai dan
kacang hijau, terutama dengan tomat atau cabai, akan memberi peluang semakin
meluasnya penyebaran B. tabaci di berbagai sentra pertanian.

Penanaman

tanaman sejenis dengan pola tanam monokultur yang dilakukan secara terusmenerus, serta penggunaan insektisida kimia sintetis golongan piretroid secara
intensif juga sangat potensial menyebabkan peningkatan populasi B. tabaci seperti
yang terjadi di daerah sentara penanaman kapas di Lamongan, Jawa Timur pada
tahun 2002 (Indrayani & Sulistyowati 2005).
Cohen & Berlinger (1986) menyatakan bahwa serendah apapun populasi B.
tabaci cukup efektif menyebabkan kerusakan langsung maupun tidak langsung.
Virus tanaman yang ditularkan oleh hama penusuk-pengisap ini dapat
menyebabkan lebih dari 40 penyakit pada tanaman sayuran di seluruh dunia.
Kutukebul B. tabaci dikenal sebagai vektor penyakit geminivirus pada
tanaman kapas, cabai, dan tomat (Cohen & Berlinger 1986; Byrne & Houck 1990;
Harrison 1999). Selain menyerang pada tanaman kapas, cabai, dan tomat, B.
tabaci juga dilaporkan mulai meningkat populasinya pada tanaman kedelai dan
kacang hijau di berbagai wilayah di dunia sejak tahun 1962 hingga 1982 (Kogan
& Turnipseed 1987, Samudra & Naito 1991, Tengkano et al. 1991).
Menurut Nakhla & Maxwell (1998) beberapa faktor yang mendukung
perkembangan dan penyebaran penyakit yang disebabkan oleh geminivirus adalah
populasi vektor B. tabaci yang tinggi, kultivar tomat yang rentan, penanaman
tomat secara terus-menerus, migrasi vektor dari tanaman yang ada di dekatnya,
dan infeksi tomat di persemaian yang tidak dilindungi. Berbagai macam gulma
juga dapat menjadi inang alternatif penularan geminivirus. Tanaman Babadotan
(Ageratum conyzoides) adalah gulma yang sering terdapat di pertanaman cabai
yang dapat menjadi inang alternatif geminivirus dan umumnya kutukebul B.
tabaci juga umum ditemukan pada gulma tersebut (Aidawati et al. 2001).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Butter & Rataul (1977) menunjukkan
bahwa periode makan akuisisi minimum B. tabaci untuk dapat menularkan tomato

11

leaf curl virus (ToLCV) yang merupakan spesies dari geminivirus adalah 31
menit dengan periode makan inokulasi selama 24 jam. Semakin lama periode
makan akuisisi penularan geminivirus semakin meningkat, sedangkan periode
makan inokulasi minimum kutukebul tersebut untuk dapat menularkan ToLCV
adalah 32 menit dengan periode makan akuisisi selama 24 jam. B. tabaci mampu
mengakuisisi virus dari kotiledon tanaman tomat yang terinfeksi, tetapi infeksi
tidak terjadi ketika serangga virulifer tersebut dipindahkan ke kotiledon tanaman
yang sehat.

B. tabaci mampu menularkan ToLCV dengan efisiensi tertinggi

apabila periode makan akuisisi dan periode makan inokulasi dilakukan pada daun
muda.

Kutukebul mampu menularkan ToLCV sebesar 38% apabila makan

akuisisi dilakukan pada sumber inokulum berumur 2 bulan, sedangkan akuisisi
yang dilakukan pada sumber inokulum yang berumur 11 bulan hanya
menyebabkan infeksi sebesar 8%.
Hasil penelitian Aidawati (2006) menunjukkan bahwa, B. tabaci yang
dikumpulkan dari beberapa daerah di Indonesia, akan semakin meningkat
kemampuannya dalam menularkan geminivirus pada tanaman tomat apabila
periode akuisisinya diperpanjang. Efektifitas penularan geminivirus Bogor yang
maksimum sebesar 100% dapat dicapai oleh B. tabaci biotipe non B Jawa Barat
melalui periode makan akuisisi minimum selama 180 menit.

Teknik Pengendalian
Pengendalian B. tabaci secara tepat dapat mengurangi resiko kehilangan
hasil. Akan tetapi, ada beberapa aktivitas manusia yang justru menyebabkan
peningkatan populasi serangga vektor ini, antara lain penanaman tanaman sejenis
secara terus-menerus (monokultur), keterlambatan waktu tanam, dan penggunaan
insektisida berbahan kimia sintetis yang kurang rasional (Christiansen 2002).
Kecepatan atau laju reproduksi yang tinggi dan banyaknya tanaman inang
yang tersedia di alam merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi
perkembangan populasi B. tabaci menyebabkan pengendalian serangga vektor ini
cukup sulit dilakukan, selain itu mortalitas telurnya juga sangat rendah sehingga
peningkatan populasinya sangat cepat (Indrayani & Sulistyowati 2005).

12

Pengendalian B. tabaci secara konvensional dengan menggunakan
insektisida kimia seringkali kurang efektif.

Hal ini disebabkan karena fase

pradewasa dan dewasa serangga kutukebul ini hidup pada permukaan bawah daun
sehingga sulit terjangkau oleh insektisida, dan mulai terjadi resistensi terhadap
insektisida tertentu. Di Hawaii, penggunaan beberapa macam insektisida kimia,
seperti asefat, carbaryl, diazinon, endosulfan, kinoprene, malathion, methomyl,
oxamyl, phosdrin, dan telstar dilaporkan telah menyebabkan resistensi pada B.
tabaci (Johnson et al. 1992). Hasil penelitian menunjukkan bahwa imago B.
tabaci sudah mulai resisten terhadap pengaruh insektisida kimia dan pengendalian
secara intensif dengan insektisida kimia mengakibatkan resurgensi hama yang lain
(Naranjo et al. 2002).
Menurut Kalshoven (1981), salah satu predator B. tabaci yang dijumpai di
Indonesia adalah dari famili Coccinellidae (Scymnus sp.).

Kelembaban

lingkungan yang tinggi dan pelepasan predator cukup efektif menyebabkan
kematian pada nimfa B. tabaci instar pertama, tetapi tidak demikian terhadap
instar berikutnya (Indrayani & Sulistyowati 2005).

Proteksi Silang
Istilah proteksi silang (cross protection) secara spesifik berlaku untuk
perlindungan tumbuhan dengan virus strain lemah terhadap infeksi oleh virus
yang sama dengan strain yang lebih virulen yang menyebabkan gejala lebih berat.
Proteksi silang merupakan fenomena yang terjadi di antara strain-strain virus.
Proteksi silang dengan menggunakan Tobacco mosaic virus strain lemah dan
Citrus tristeza virus strain lemah telah berhasil diterapkan dalam mengendalikan
penyakit mosaik dan vein clearing pada tanaman tembakau dan jeruk (Agrios
2004).
Pada prinsipnya, proteksi silang adalah preinokulasi tanaman dengan virus
strain lemah (mild) dan bersifat hipovirulen, atau disebut sebagai virus penantang
yang akan menghalangi atau melindungi tanaman dari infeksi virus kedua yang
lebih ganas (disebut sebagai virus yang ditantang). Strain virus disebut lemah jika
hanya mereduksi 5 – 10% produk tanaman tanpa mengubah kualitasnya, sehingga
tidak mempengaruhi nilai pasarnya (Hull 2002).

13

Agens pengendali penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus dapat
diperoleh dengan cara pseudorekombinasi genetik dan rekombinasi genetik.
Pseudorekombinasi atau reassortment genetik adalah pertukaran fragmen RNA
antara dua atau tiga macam strain/ ras patogen yang sudah diketahui sifatnya.
Pseudorekombinasi dapat terjadi secara alami atau buatan. Fragmen RNA yang
dipertukarkan adalah fragmen yang berperan antara lain dalam menentukan (a)
macam gejala yang diinduksi pada inang tertentu; (b) kemampuannya ditularkan
oleh serangga vektor; atau (c) jenis dan kisaran inang (Wahyuni 2005).
Rekombinasi genetik yaitu proses alami penggantian (penambahan atau
pengurangan) fragmen DNA atau RNA dari dan antarmolekul DNA/RNA yang
berbeda, dapat terjadi pada virus, prokariota atau eukariota. Rekombinasi DNA
juga dapat direkayasa in vitro dengan cara mengurangi atau menambah sekuensi
nukleotida dari fragmen–fragmen DNA/RNA suatu jenis virus. DNA target
dirakit dengan pendekatan kloning DNA rekombinan dan restriksi endonuklease
melalui vektor plasmid DNA dari eukariota (Wahyuni 2005).
Karakteristik yang dipersyaratkan agar suatu virus dapat dimanfaatkan
sebagai agens pengendali yaitu (a) gejala yang diinduksi oleh mild virus harus
bersifat sistemik, sangat lemah dan tidak mengubah kualitas produk; (b)
mempunyai sifat genetik yang stabil sehingga tidak berubah menjadi strain yang
ganas; (c) tidak dengan sangat mudah disebarkan oleh vektor; (d) sifat protektif
tidak hanya ditujukan kepada satu macam virus sekerabat, tetapi juga satu sampai
tiga virus sekaligus, meskipun tidak selalu sekerabat; (e) inokulum virus protektif
harus mudah diproduksi, tetap murni dan stabil dalam tanaman dan vektor (Hull
2002).
Teknik aplikasi proteksi silang dapat dilakukan dengan (1) spray gun
bertekanan tinggi pada bibit, tetapi cara ini tidak efektif untuk tanaman semusim,
(2) penyambungan untuk propagasi vegetatif tanaman berkayu (Wahyuni 2005).
Mekanisme terjadinya proteksi silang yaitu adanya: (a) kompetisi dalam
replication sites karena melibatkan kombinasi subunit-subunit sandi antara inang
dan virus (misalnya dalam proses sintesis replikasi), karena semua replication
sites sudah ditempati oleh virus pelindung (mild virus); (b) precursor exhaustion
yaitu terjadinya kompetisi metabolit esensial.

Kompetisi dalam komposisi

14

nukleotida penyandi milik inang dan virus yang berfungsi sebagai pensintesis
DNA/ RNA dari virus pelindung (virus strain lemah) dan virus yang ditantang
(virus strain ganas), macam-macam metabolit esensial yang diperebutkan berbeda
antar virus yang sekerabat dan tidak sekerabat; (c) coat protein sequestration yaitu
protein mantel mild virus akan mengenkapsidasi RNA/ DNA virus lain yang
masih sejenis, sehingga RNA/ DNA virion yang dirakit dalam sel inang tidak
mampu menginisiasi untuk melakukan replikasi; (d) perubahan metabolisme
inang yaitu mild virus lebih dulu berhasil mengubah metabolisme inang untuk
keperluan dirinya; (e) spesific inhibitor yaitu mild virus menghasilkan substansi
yang mampu menghambat secara spesifik keberadaan virus lain yang masih
sejenis, tetapi tidak demikian terhadap virus yang tidak sejenis, (f) terjadinya
kompetisi translasi RNA antara virus strain lemah dan virus strain ganas, akan
tetapi

fenomena

ini

tidak

berlaku

untuk

tanaman

transgenik

yang

mengekspresikan gen protein mantel (Wahyuni 2005).
Proteksi silang telah berhasil diterapkan untuk mengendalikan CMV pada
Capsicum sp. di Cina dalam skala percobaan lapangan, dan pada tomat di Italia
Selatan.

Inokulum pertama yang digunakan adalah CMV strain lemah yang

dipseudorekombinasi dengan sat-RNA asal strain lain, akibatnya Capsicum
(tanaman tomat) dapat menahan serangan virus kedua yang lebih ganas (virus
yang ditantang). Biaya operasionalnya agak relatif mahal, akan tetapi tekhnik
proteksi silang telah berhasil diterapkan dengan baik untuk mengendalikan Citrus
tristeza virus di Brazil pada tahun 1980 (Hull 2002).

15

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian berlangsung sejak Agustus 2008 sampai Desember 2009.
Dilaksanakan di Saung Mirwan, kabupaten Bogor; Lahan pertanian milik petani
daerah

Pacet,

kabupaten

Cianjur;

Laboratorium

Virologi

Tumbuhan;

Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.

Metode Penelitian
Survei Kejadian Penyakit Daun Keriting Kuning pada Pertanaman Tomat
Sebelum dilakukan eksplorasi TYLCV isolat lemah, maka terlebih dahulu
dilakukan survei pemetaan kejadian penyakit daun keriting kuning pada
pertanaman tomat untuk menentukan daerah eksplorasi.

Kegiatan survei

dilakukan di daerah Bogor dan Cianjur yang mempunyai degradasi ketinggian
tempat mulai dari 176 meter di atas permukaan laut (m dpl) sampai lebih dari
1300 m dpl. Pada setiap rentang ketinggian tempat diamati empat sampai enam
kebun tomat petani. Pada setiap kebun diamati jenis varietas tomat yang ditanam
dan gejala penyakit daun keriting kuning dan kejadian penyakitnya dihitung
dengan membagi jumlah tanaman contoh yang memperlihatkan gejala dengan
jumlah tanaman yang diamati. Di samping itu, diamati juga kutukebul yang
mengkoloni pertanaman tomat setempat dan kemudian diidentifikasi melalui
morfologi kantung pupa mengikuti prosedur Martin (1999).

Pemeliharaan Kutukebul Bemisia tabaci
Untuk mendapatkan imago kutukebul yang bebas virus yang akan
digunakan dalam pengujian penularan virus, maka terlebih dahulu dilakukan
pengambilan pupa kutukebul dari pertanaman tomat di daerah Bogor dan Cianjur.
Setelah sebagian pupa diidentifikasi dan dinyatakan bahwa pupa tersebut adalah
pupa B. tabaci, kemudian dilakukan pemeliharaan pupa hingga menjadi imago.
Imago-imago yang muncul kemudian dibiarkan hidup pada tanaman tomat sehat
yang diletakkan di dalam kurungan berkasa berukuran 50 x 50 x 50 cm. Imago-

16

imago hasil pemeliharaan ini merupakan kutukebul yang sudah bebas virus dan
siap digunakan untuk pengujian selanjutny