Effectivity of Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Protoxin, Beauveria bassiana Conidia, and Their Mixtures to Spodoptera litura F Armyworm.

EFEKTIVITAS PROTOKSIN Bacillus thuringiensis subsp.
aizawai, KONIDIA Beauveria bassiana DAN CAMPURANNYA
TERHADAP ULAT GRAYAK Spodoptera litura F.

EKA SUKMAWATY
G 351090191

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

 
 

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Efektivitas
protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, konidia Beauveria bassiana,dan
campurannnya terhadap ulat grayak Spodoptera litura F.” merupakan gagasan dan

karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis
ini.

Bogor, Mei 2012

Eka Sukmawaty
G351090191

ABSTRACT
EKA SUKMAWATY. Effectivity of Bacillus thuringiensis subsp. aizawai
Protoxin, Beauveria bassiana Conidia, and Their Mixtures to Spodoptera litura F
Armyworm. Supervised by NISA RACHMANIA MUBARIK and LISDAR A
MANAF.
Armyworm or (Lepidoptera:Noctuidae) is one of main pest in plant crop.
This pest might cause damage on the leaves and stems and reduce of crop
production. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai and Beauveria bassiana have
been known as biocontrol agent to this pest. This research was aimed to observe

the production time of B. thuringiensis subsp. aizawai toxin, measure the effect
of toxin against Be. bassiana conidia, to test the activity of toxin, conidia and their
mixture against S. litura. B. thuringiensis subsp. aizawai was grown on specific
medium for B. thuringiensis. Toxin production of the isolate was measured every
4 hours up to 48 hours incubation. Be. bassiana was grown on the white rice
medium and its conidia was grown on the Potato Dextrose Agar medium
containing toxin. The activity test of toxin B. thuringiensis, Be. bassiana conidia,
and their mixture was done by spraying them to S. litura larvae. The stasionary
phase of B. thuringiensis was obtained at 16 hours incubation and the maximal
toxin production at 48 hours. The highest mortality of S. litura larvae caused by
toxin activity was 63.3% at 48 hours incubation. The highest mortality caused by
conidia infection activity was 80% at the concentration of 108 conida ml-1. The
highest mortality caused by their mixture was 96,7%.
Key words:
Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, Beauveria bassiana, toxin, mortality,
Spodoptera litura.
 

RINGKASAN
EKA SUKMAWATY. Efektivitas protoksin Bacillus thuringiensis subsp.

aizawai, konidia Beauveria bassiana, dan campurannya terhadap larva grayak
(Spodoptera litura). Dibimbing oleh NISA RACHMANIA MUBARIK dan
LISDAR A MANAF.
Salah satu ancaman dalam peningkatan produksi tanaman palawija dan
sayuran ialah serangan hama ulat grayak (Spodoptera litura). Bacillus
thuringiensisdan Beauveria bassiana telah dikenal sebagai agen bioinsektisida
yang ramah lingkungan untuk mengendalikan beberapa jenis hama bahkan untuk
mengatasi serangan hama yang lebih kompleks. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahuiwaktu produksi toksin B. thuringiensissubsp. aizawai, dan
pengaruhnya terhadap pertumbuhan konidia Be. Bassiana, serta mengetahui
aktivitas toksin, konidia dan campurannya terhadap mortalitas larva ulat grayak.
Bacillus thuringiensis ditumbuhkan pada medium selektif dan dilakukan
pengukuran absorbansi kurva tumbuh serta konsentrasi toksin (protein Cry) setiap
4 jam dengan metode Bradford. Pengamatan kristal protein dilakukan melalui
pewarnaan morfologi kristal dengan larutan Commasie Brilliant Blue G250
menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop fase kontras. Be. bassiana
ditumbuhkan pada media kultur beras selama dua minggu. Pengujian toksin B.
thuringiensis terhadap konidia Be. bassiana dilakukan dengan menumbuhkan
konidia pada media Potato Dextrose Agar yang mengandung toksin. Pengamatan
jumlah koloni Be. bassiana yang tumbuh dilakukan setelah 3 hari dan konidia

yang dihasilkan dihitung setelah 15 hari perlakuan. Pengujian daya insektisida
dilakukan dengan penyemprotan dengan menggunakan masing-masing toksin B.
thuringiensis, konidia Be. Bassiana, dan campuran keduanya terhadap larva
grayak instar 3.
Pertumbuhan B. thuringiensis dengan mengunakan medium selektif
memperlihatkan fase logaritmik dimulai pada umur kultur 4 jam sampai 12 jam
dengan jumlah sel yang meningkat terus menerus. Pada umur kultur 16 jam
sampai 32 jam pertumbuhan menunjukkan fase stasioner, selanjutnya pada umur
kultur 36 jam jumlah sel cenderung menurun. Sejalan dengan pembentukan
protein Cry, B. thuringiensis membentuk endospora yang diamati pada umur
kultur 24 jam. Konsentrasi toksin memperlihatkan peningkatan dari 0,474 mg/ml
pada saat umur kultur 24 jam menjadi 1,05 mg/ml pada saat umur kultur 48 jam.
Hasil produksi konidia Be. bassiana yang didapatkan setelah masa inkubasi
selama dua minggu pada media beras 180 g yaitu 3,6 x 108 konidia/ml. Uji toksin
terhadap konidia Be. bassiana menunjukkan bahwa toksin berpengaruh pada
jumlah koloni yang tumbuh namun tidak berpengaruh pada jumlah konidia yang
dihasilkan dari koloni yang tumbuh tersebut, hasil ini dikuatkan dengan aktivitas
toksin terhadap konidia menggunakan metode cakram. Akan tetapi uji
antagonisme antara sel B. thuringiensis dan Be. bassiana menunjukkan bahwa
miselium Be. bassiana dapat tumbuh menutupi koloni bakteri B. thuringiensis.

Mortalitas total yang diamati pada hari ke-7 pada pengujian masingmasing toksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana yang dilakukan
menggunakan larva S. litura instar 3 menunjukkan bahwa perlakuan konidia Be.

bassiana menyebabkan kematian yang lebih tinggi sebesar 80% dibandingkan
dengan perlakuan toksin B. thuringiensis sebesar 63,3%. Sedangkan perlakuan
campuran toksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana menunjukkan bahwa
mortalitas tertinggi didapatkan pada campuran toksin yang diproduksi pada
umur kultur 48 jam dan jumlah konidia 108 konidia/ml sebesar 96,7%. Jadi
jumlah larva yang mati pada perlakuan campuran toksin dan konidia lebih
banyak dibandingkanmasing-masing perlakuan walaupun perlakuan toksin
memberikan waktu kematian yang lebih cepat.

Kata kunci: Bacillus thuringiensissubsp. aizawai, Beauveria bassiana, Spodoptera
litura, mortalitas.

@Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012
Hak cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
 
 

EFEKTIVITAS PROTOKSIN Bacillus thuringiensis subsp.
aizawai, KONIDIA Beauveria bassiana DAN CAMPURANNYA
TERHADAP ULAT GRAYAK Spodoptera litura F.

EKA SUKMAWATY
G 351090191

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Mikrobiologi


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir.Teguh Santoso, DEA.

Judul Tesis

: Efektivitas Protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai,
Konidia Beauveria bassiana, dan Campurannya terhadap Ulat
Grayak Spodoptera litura F.

Nama

: Eka Sukmawaty

NIM

: G351090191

Disetujui


Komisi Pembimbing

Dr. Lisdar A. Manaf
Anggota

Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si.
Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi Mikrobiologi

Dr. Gayuh Rahayu

Tanggal Ujian: 21 Mei 2012

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.


Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
berjudul “Efektivitas protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, konidia
Beauveria bassiana, dan campurannnya terhadap ulat grayak Spodoptera litura
F.”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Nisa Rachmania Mubarik,
M.Si dan Dr. Lisdar A Manaf selaku pembimbing atas kesabarannya dalam
memberikan saran, bimbingan, dukungan, serta kesempatan dalam pelaksanaan
penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga berterimahkasih kepada
Dr. Teguh Santoso, DEA sebagai penguji luar komisi dan Dr. Gayuh Rahayu
sebagai penjamin mutu di Program Studi Mikrobiologi atas saran dan koreksi
yang diberikan. Demikianpula penulis menyampaikan terimakasih kepada seluruh
laboran Departemen Biologi, teman-teman yang bekerja di Laboratorium
Mikrobiologi dan Mikologi atas kesabarannya membantu penulis dalam
pelaksanaan penelitian di laboratorium. Teman-teman Mikrobiologi serta semua
pihak yang telah yang senantiasa siap membantu dan memberi semangat untuk

berjuang menjadi lebih baik yang kesemuanya tidak dapat penulis sebutkan satupersatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Akhirnya ucapan terima kasih
disampaikan kepada orang tua, adik-adik penulis yang senantiasa memberi kasih
sayang, semangat, nasehat, motivasi, dan doa untuk penulis dalam menyelesaikan
tugas belajar di Sekolah Pascasarjana IPB.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat serta dapat memberikan informasi
untuk kepentingan dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor,

Mei 2012

Eka Sukmawaty

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Parepare, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 16
Juli 1986 sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak H.
Sukardi, S.Pd. dan ibu Hj. Salmah, S.Pd.
Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Soppeng Riaja dan pada
tahun yang sama melanjutkan studi di Jurusan Biologi UNHAS dan lulus pada
tahun 2009. Selanjutnya, penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB
Mayor Mikrobiologi pada tahun 2009. Sebagian hasil penelitian ini telah
disampaikan pada presentasi lisan di Seminar Nasional Pendidikan di Universitas
Pendidikan Indonesia, Bandung tanggal 1-2 Juli 2011.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................

xiv

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

xv

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................

xvi

PENDAHULUAN
Latar Belakang .....................................................................................
Tujuan ..................................................................................................
Manfaat ................................................................................................

1
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Grayak (Spodoptera litura) ..................................................................
Daya Rusak dan Kehilangan Hasil Akibat Ulat Grayak
(Spodoptera litura) ...............................................................................
Bacillus thuringiensis ...........................................................................
Karakteristik B. thuringiensis ..............................................................
Toksisitas B. thuringiensis ...................................................................
Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana ..................................
Proses Infeksi Be. bassiana ..................................................................

5
6
6
7
8
10
12

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ..............................................................
Bahan ...................................................................................................
Alat .......................................................................................................
Penentuan Kurva Tumbuh dan Produksi
Protoksin B. thuringiensis ....................................................................
Pewarnaan Morfologi Kristal ...............................................................
Produksi Protoksin B. thuringiensis .....................................................
Penyiapan Isolat Be. bassiana ..............................................................
Media Kultur Beras ..............................................................................
Produksi Konidia Be. bassiana ............................................................
Pengujian Protoksin B. thuringiensis terhadap konidia Be. Bassiana...
Pengujian Daya Insektisida ..................................................................

13
13
13
13
13
14
14
14
14
15
15

HASIL
Kurva Tumbuh dan Produksi Toksin ...................................................
Produksi Konidia Be. bassiana ............................................................
Pengujian Protoksin B. thuringiensis terhadap
Konidia Be. bassiana ...........................................................................
Uji Antagonis B. thuringiensis dan Be. Bassiana ...............................
Pengujian Protoksin B. thuringiensis dan Konidia Be. Bassiana
pada Spodoptera litura .........................................................................

17
18
19
19
20

Pengujian Campuran Protoksin B. thuringiensis dan Konidia
Be. bassiana .........................................................................................

22

PEMBAHASAN ..............................................................................................

29

SIMPULAN .....................................................................................................

37

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

39

LAMPIRAN .....................................................................................................

43

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Tipe dan bentuk kristal B. thuringiensis .......................................................

9

2 Pengaruh protoksin B. thuringiensisyang diproduksi pada umur kultur
24 jam dan umur kultur 48 jam terhadap konidia Be. Bassiana ...................

19

3 Mortalitas lava ulat grayak (S. litura) instar 3 hari ke-1 sampai ke-7 dengan
perlakuan tunggal toksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana............

21

4 Mortalitas lava ulat grayak (S. litura) instar 3 hari ke-1 sampai ke-7 dengan
perlakuan campuran protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. Bassiana .

23

5 Gejala Perhari yang ditimbulkan protoksin B. thuringiensis,
konidia Be. bassiana, dan campurannya .......................................................

25

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Morfologi grayak ....................................................................................

6

2 Sel Bacillus thuringiensis dan endosporanya..........................................

7

3 Miselia Beauveria bassiana ....................................................................

11

4 Beauveria bassiana pada larva................................................................

12

5 Kurva tumbuh dan produksi protoksin B. thuringiensis subsp. Aizawai

17

6 Sel B. thuringiensis subsp. aizawai .........................................................

18

7 Isolat Be. Bassiana ..................................................................................

18

8 Uji antagonis ...........................................................................................

20

9 Jumlah kumulatif larva yang mati dari hari-1 sampai ke-7....................

22

10 Perlakuan protoksin B. thuringiensis dan Konidia Be. bassiana pada
ulat grayak (S. litura) ............................................................................

27

11 Proses infeksi protoksin Cry pada membran usus serangga .................

33

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Jumlah sel Bacillus thuringiensis subsp. aizawai pada pengukuran
kurva tumbuh……………………………………………………………

43

2 Konsentrasi protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai…………….

43

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Serangan hama merupakan salah satu faktor penghambat dalam usaha
peningkatan produksi pertanian baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Grayak
(Spodoptera litura) merupakan salah satu jenis hama penting yang menyerang
tanaman palawija dan sayur-sayuran. Grayak bersifat polifag dan menyebabkan
defoliasi daun tanaman (Rao et al. 1993). Hama ini menyerang berbagai macam
tanaman penting yang bersifat ekonomis seperti beras, kentang, tembakau, tomat,
jagung, cabai, kubis, padi, tebu, buncis, jeruk, bawang merah, terung, kacangkacangan (kedelai, kacang tanah), kangkung, bayam, pisang, tanaman hias juga
gulma Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp., Cleome sp., Clibadium
sp., dan Trema sp. (Dirjen Perlindungan Tanaman Pangan 2012). Selain di
Indonesia, grayak ditemukan di India, Pakistan, Banglades, Sri Lanka, China,
Australia, Kepulauan Pasifik, Hawaii, dan Fiji (Hill 1993).
Hama S. litura menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif dan
generatif. Pada fase vegetatif larva memakan daun tanaman yang muda sehingga
tinggal tulang daun saja dan fase generatif dengan memakan polong-polong muda.
Serangan S. litura menyebabkan kerusakan sekitar 12,5% dan lebih dari 20% pada
tanaman umur lebih dari 20 hari setelah tanam. Serangan berat akan menyebabkan
tanaman mati (Hennie et al. 2003).
Usaha pengendalian oleh petani selama ini ialah dengan menggunakan
insektisida

kimia.

Pengendalian

hama

dengan

insektisida

kimia

dapat

menimbulkan banyak masalah lingkungan antara lain resistensi hama terhadap
insektisida kimia meningkat, ledakan populasi serangga hama sekunder, resiko
keracunan pada manusia dan hewan ternak, air tanah terkontaminasi, biodiversitas
menurun dan bahaya lain yang berkaitan dengan lingkungan (Soetopo &
Indrayani 2007). Masalah-masalah yang tersebut memicu penemuan alternatif
penanggulangan hama yang ramah lingkungan sehingga kerusakan lingkungan
secara umum dapat dihindari sehingga konsep pertanian ekologi atau pertanian
berkelanjutan dapat diwujudkan.



Hingga saat ini telah diketahui terdapat tiga sumber insektisida alami yang
memiliki prospek baik untuk dikembangkan yaitu tumbuhan, mikroorganisme
tanah, dan mikroorganisme laut. Jenis tumbuhan yang diketahui potensial sebagai
insektisida nabati diantaranya yaitu tembelekan (Lantanna camara). Penggunaan
ekstrak tumbuhan ini dengan konsentrasi 5 sampai 40% dapat menyebabkan
kematian sebesar lebih dari 55% pada Spodoptera litura (Deshmukhe et al.
2011). Balfas dan Wilis (2009) juga melaporkan bahwa minyak dari tumbuhan
babadotan

berpotensi

menjadi

bioinsektisida.

Minyak

babadotan

dapat

mengakibatkan kematian sebesar 100% pada grayak namun kendalanya pada
konsentrasi ini mengakibatkan fitotoksik pada tanaman. Kendala lain dari
penggunaan insektisida nabati yaitu masih membutuhkan upaya perbaikan bahan
dan cara penyulingan serta dukungan pemulia tanaman.
Salah satu bioinsektisida asal mikroorganisme yang telah digunakan di
beberapa negara yaitu Bacillus thuringiensis. Bakteri ini termasuk bakteri Gram
positif yang menghasilkan kristal inklusi pada saat bersporulasi yang terdiri atas
satu atau lebih protein insektisidal yang dikenal sebagai δ-toksin atau protein Cry
(Boncheva et al. 2006). Protein Cry mempunyai kisaran spektrum yang sempit
dan spesifik pada serangga dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, dan
Hymenoptera (Schenepf et al. 1998). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
melihat keefektifan B. thuringiensis sebagai bioinsektisida. Protein Cry B.
thuringiensis efektif digunakan dalam pengendalian larva Cydia Pomonella
(Lepidoptera: Totricidae) (Boncheva et al. 2006).

Huang et al. (2007)

melaporkan B. thuringiensis digunakan untuk mengendalikan hama lepidoptera di
Cina seperti: Helicoverpa armigera, Cnaphalocrocis medinalis, Parnara guttata
cabbage worm, Pieris rapae, Plutella xylostella, Homona coffearia dan
Adoxophyes orana. Penggunaan B. thuringiensis dalam pengendalian hama
mempunyai beberapa keuntungan di antaranya meningkatkan hasil pertanian,
mengurangi biaya produksi, hanya selektif dan spesifik pada serangga target,
menjaga keragaman hayati dan tidak membahayakan lingkungan dan kesehatan
manusia (Nester et al. 2002; James 2002 dalam Anna et al. 2003).
Salah satu alternatif pengendalian hama yang cukup potensial ialah
menggunakan patogen serangga seperti cendawan Beauveria bassiana yang

 
 

3
 

merupakan fase anamorf dari Cordyceps bassiana. Cendawan ini memiliki kisaran
inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan
Hemiptera. Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada serangga-serangga
Diptera maupun Hymenoptera (Soetopo & Inrayani 2007). Miselium Be. bassiana
mampu menembus kutikula serangga dan memasuki hemocoel kemudian tumbuh
dan menghasilkan senyawa toksik seperti beauverisin, bassianolide, dan oosporein
(Vey & Fargues 1977 dalam Ma et al. 2008) .
Penggunaan Be. bassiana di Cina telah dirintis sejak tahun 1990 untuk
mengendalikan serangga (Feng et al. 2004). Todorova et al. (2003) membuktikan
bahwa isolat-isolat Be. bassiana sangat efektif membunuh hama penggulung daun
Choristoneura rosaceana (Lepidoptera: Totricidae). Kematian pada larva dan
pupa mencapai lebih dari 85% pada dosis 107 konidia/ml hingga 60 hari setelah
perlakuan. Be. bassiana juga memperlihatkan patogenitasnya pada Scirpophaga
incertulas (Lepidoptera: Pyralidae) dengan konsentrasi 105 sampai 109 spora/ml
(Dhuyo & Naheed 2008). Hasil-hasil penelitian Be. bassiana di Indonesia juga
telah dipublikasikan untuk mengendalikan serangga hama kedelai, walang sangit
pada padi, Plutella xylostella pada sayuran, hama bubuk buah kopi Helopeltis
antoni, dan penggerek buah kakao Hypothenemus hampei (Soetopo & Indrayani
2007).
Kombinasi B. thuringiensis dan cendawan insektisida seperti Be. bassiana
dapat dijadikan strategi untuk mengatasi masalah hama yang lebih kompleks dan
meningkatkan aktivitas insektisida baik secara langsung maupun tidak langsung
(Navon 2003). Kerja sinergis keduanya dapat menekan populasi Colarado potato
bettle pada tanaman tomat, Ostrinia nubilalis, dan serangga Lepidoptera (Lewis et
al. 1996; Wright & Ramos 2005; Rukmini et al. 2000 dalam Ma et al. 2008).
Penelitian ini akan mempelajari daya insektisida dari B. thuringiensis, Be.
bassiana, serta campuran B.thuringiensis dan Be. bassiana.

 
 



Tujuan
Tujuan penelitian ini ialah:
1. Mengamati waktu produksi toksin B. thuringiensis subsp. aizawai.
2. Mengetahui pengaruh toksin B. thuringiensis subsp. aizawai terhadap
pertumbuhan konidia Be. bassiana.
3. Menghitung efektivitas toksin B. thuringiensis subsp. aizawai, konidia Be.
bassiana, dan campurannya terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F).

Manfaat
Manfaat penelitian ini ialah mendapatkan informasi awal formulasi
bioinsektisida dalam pengendalian hama grayak (Spodoptera litura F.) secara
hayati dengan menggunakan mikroorganisme.

 
 

5
 

TINJAUAN PUSTAKA

Grayak (Spodoptera litura)
Grayak teramasuk dalam ordo Lepidoptera, famili Noctuidae. Sayap
ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperakan, dan sayap belakang
berwarna keputihan dengan bercak hitam. Telur berbentuk hampir bulat dengan
bagian dasar melekat pada daun, berwarna coklat kekuningan, diletakkan
berkelompok masing-masing 25-500 butir. Telur diletakkan pada bagian daun
atau bagian tanaman lainnya. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang
berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning
kecoklatan. Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung berwana
hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dorsal
terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi
coklat tua atau hitam kecoklatan dan hidup berkelompok (Gambar 1) (Marwoto &
Suharsono 2008).

Gambar 1 Morfologi grayak. a) Kelompok telur, b) ulat instar 3, c) imago ulat
grayak (Spodoptera litura) (www.pustaka-deptan.go.id 4 Januari 2010).
Setiap ekor ngengat betina dapat menghasilkan telur hingga 3.000 butir
yang terdiri atas 11 kelompok dengan 350 butir tiap kelompok telur. Setelah telur
menetas, ulat tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan, kemudian
beberapa hari setelah itu ulat berpencar. Stadium ulat terdiri atas lima instar dan
berlangsung selama 13-17 hari (Marwoto & Suharsono 2008).
Ulat grayak tersebar luas di beberapa negara seperti Jepang, Cina, Mesir,
India, Srilanka, Filipina, Thailand, dan Indonesia. Daerah penyebaran hama ini di


 

Indonesia meliputi Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera
Selatan (Marwoto et al. 2005).
Kisaran tanaman inang ulat grayak sangat beragam meliputi cabai, kubis,
padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk, tembakau, bawang merah, terung,
kentang, kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah), kangkung, bayam, pisang, dan
tanaman hias. Hama ini juga menyerang berbagai gulma seperti Limnocharis sp.,
Cleome sp., Clibadium sp., Passiflora foetida, Ageratum sp., dan Trema sp.
(Marwoto & Suharsono 2008).

Daya Rusak dan Kehilangan Hasil Akibat Ulat Grayak (S. litura)
Kerusakan akibat ulat grayak ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya
populasi hama, fase perkembangan serangga, fase pertumbuhan tanaman, dan
varietas kedelai. Serangan pada varietas rentan menyebabkan kerugian yang
sangat besar. Kerusakan yang diakibatkan lebih besar jika defoliasi daun karena
serangan ulat grayak terjadi pada saat pembungaan dan pada saat tanaman mulai
membentuk polong daripada serangan pada saat polong berisi dan saat
pertumbuhan biji penuh. Dirjen Perlindungan Tanaman pangan (2011)
melaporkan bahwa serangan ulat grayak di Indonesia mencapai 1.330 ha dan
pertambahan luas lahan yang terserang mencapai 343 ha.

Bacillus thuringiensis
Bacillus thuringiensis telah dikenal sebagai agen biokontrol sejak tahun
1950-an. Bakteri ini tersebar di hampir seluruh penjuru dunia. B. thuringiensis
pertama kali ditemukan di Jepang yang membunuh ulat sutera di tempat
pemeliharaan. Sepuluh tahun kemudian di Jerman ditemukan galur baru pada
larva yang menyerang serelia di gudang penyimpanan di Provinsi Thuringien
sehingga bakteri ini disebut B. thuringiensis. Bakteri ini pada awalnya hanya
diketahui menyerang larva dari serangga Lepidoptera kemudian ditemukan bahwa
bakteri ini juga menyerang Diptera dan Coleoptera (Bahagiawati 2002). Zayed
(2004) melaporkan bahwa B. thuringiensis dapat menyebabkan kematian sebesar
84% pada larva Cullex pipiens (Diptera: Culicidae) dan memperlihatkan efek
signifikan pada pupa. Lima et al. (2005) melaporkan toksisitas B. thuringiensis

7
 

pada ordo yang sama pada spesies Aedes aegypti mengakibatkan 95% kematian
setelah 45 hari setelah perlakuan. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa kristal
protein B. thuringiensis toksik terhadap Leptinotrasa decemlineata, Chyrsomela
scripta, Antomous grandis dari ordo Coleoptera (Frankenhuyzen 2009),
Macroshipum euphorbiae dari ordo Himeptera (Walters & English 1995), dan
Solenopsis invicta dari ordo Hymenoptera (Bulla et al. 2004).

Karakteristik B. thuringiensis
B. thuringiensis adalah bakteri yang mempunyai sel vegetatif berbentuk
batang dengan panjang 3 – 5 µm dan lebar 1,0 – 1,2 µm, mempunyai flagella
dan membentuk endospora. Sifat-sifat bakteri ini ialah Gram positif, aerob tetapi
umumnya anaerob fakultatif. Endospora B. thuringiensis berbentuk oval, letaknya
subterminal, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1,0 – 1,3 μm. Pembentukan
endospora terjadi dengan cepat pada suhu 35 - 37 °C. Endospora tersebut relatif
tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia (Bulla et al. 1977) (Gambar 2).

Gambar 2 Sel Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Keterangan: (c) protein
kristal dan (e) endospora (Bobrowski et al. 2002).
Perbedaan B. thuringiensis dengan spesies Bacillus lainnya yaitu produksi
protein kristalin yang bersifat toksik pada berbagai invertebrata khususnya pada
serangga. Protein ini sering disebut δ - endotoksin merupakan protoksin yang jika
larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek
dengan berat molekul berkisar dari 25 sampai 140 kDa (Bobrowski et al. 2002).


 

Morfologi, ukuran dan jumlah protein kristal berbeda-beda di antara galur
B. thuringiensis. Gen protein insektisida ini telah diidentifikasi dan dibagi
menjadi dua jenis, gen cry untuk kristal dan gen cyt untuk sitolitik (Hofte &
Whitely 1989). Lereclus et al. (1993) mengusulkan suatu sistem tata nama dan
klasifikasi δ - endotoksin berdasarkan sifat insektisidalnya serta hubungan
molekulernya menjadi empat kelas utama δ - endotoksin (Cry I, II, III dan IV)
serta sitolisin (Cyt). Secara umum protein-protein tersebut bersifat toksik pada
jenis serangga tertentu. Cry I toksik terhadap Lepidoptera, Cry II toksik terhadap
Lepidoptera dan Diptera, Cry III toksik terhadap Coleoptera, Cry IV toksik
terhadap Diptera dan Cyt sitolitik terhadap serangga. Secara morfologi, protein
Cry dikelompokkan menjadi lima yaitu bentuk bipiramid ditemukan pada protein
Cry I, kuboid ditemukan pada protein Cry II, amorfus komposit pada protein Cry
IV dan Cyt dan bentuk batang ditemukan pada protein Cry III (Lopez & Ibarra
1996) (Tabel 1).
Beberapa subspesies B. thuringiensis telah ditemukan di antaranya
kurstaki, aizawai, sotto, entomocidus, berliner, san diego, tenebroid, morrisoni
dan israelensis. Masing-masing subspesies memiliki ciri endospora yang berbeda
(Tabel 1). Bobrowski et al (2002) menemukan dengan transmisi elektron bahwa
protein kristal B. thuringiensis subsp. kurstaki berbentuk kuboid dan B.
thuringiensis subsp. aizawai berbentuk bipiramid. Kristal berbentuk bipiramidal
diduga berhubungan dengan keberadaan protein Cry1 dan kristal kuboid
berkaitan dengan protein Cry2 yang menunjukkan aktivitas toksik pada
Lepidoptera dan Diptera (Silva et al. 2004).

Toksisitas B. thuringiensis
Mekanisme kerja insektisidal B. thuringiensis yaitu dengan cara
menginfeksi inang melalui mulut, setelah sampai di usus endosporanya akan
pecah dan menembus dinding sel. Endospora akan menembus hemosel dan
berkembang dalam hemolimfa dan tersebar ke seluruh tubuh inang. Daya toksin
B. thuringiensis disebabkan oleh larutnya elemen toksik yang terdapat di dalam
kristal. Proses pelarutan ini berlangsung di dalam mesentron (usus tengah)
dengan melibatkan enzim proteolitik. Pengaruh enzim proteolitik dan pH usus

9
 

yang alkalis menyebabkan kristal-kristal akan lepas dan mengeluarkan toksiknya.
Toksik ini meyebabkan terjadinya pembengkakan sel-sel epitel usus tengah.
Kerusakan struktur dan fungsi usus tengah ini menyebabkan keseimbangan pH
dan ion di dalam hemolimfe terganggu, akibatnya terjadi kelumpuhan yang
mengakibatkan kematian (Li et al. 2004).

Tabel 1 Tipe dan bentuk kristal B. thuringiensis
Tipe Kristal
Protein
CryI

Subsp B.
thuringiensis
kurstaki HD-1

Bentuk
Kristal

Kisaran
Inang

Bipiramid

Lepidoptera

Aizawai
Sotto
Entomocidus
berliner
CryII

kurstaki HD-263 Kuboid

Lepidoptera

kurstaki HD-1

Bipiramid

Diptera

CryIII

san diego

Flat

Coleoptera

CryIV

Israelensis
Morissoni

Sperikal

Diptera

Referensi
Hofte & Whiteley
(1989)
Bobrowsky et al.
(2002)

Hofte & Whiteley
(1989)
Bobrowsky et al.
(2002)
Hofte & Whiteley
(1989)
Hofte & Whiteley
(1989)

Chilcot et al. (1990) melaporkan bahwa infeksi toksin pada ultrastruktur
sel usus tengah serangga menyebabkan kerusakan setelah satu jam. Hal ini diikuti
dengan membengkaknya organel epitel. Jaringan usus tengah serangga juga
terganggu yang ditunjukkan dengan pembengkakan dan terpisahnya jaringan.
Enam jam setelah perlakuan dinding sel akan rusak dan membrane peritrofik
pecah. Kerusakan pada usus tengah serangga ini akan diikuti oleh berhentinya
kemampuan makan serangga tersebut.
Proses toksisitas sangat bervariasi tergantung pada spesies serangga serta
galur bakteri. Bohorova et al. (1997) menyebutkan bahwa protein Cry1Ab yang
dihasilkan oleh galur HD-1 lebih toksik pada S. frugiperda dibandingkan protein
Cry1Aa. Protein Cry1Aa bersifat paling toksik pada S. cosmioides sedangkan

10 
 

Cry2Aa paling toksik pada S. eridania. Efektivitas toksin sangat bergantung pada
kelarutan badan inklusi, proses proteolisis serta afinitas reseptor. Proses toksisitas
B. thuringiensis terhadap serangga tergantung dua faktor yaitu kespesifikan
bakteri serta kepekaan serangga yang terinfeksi (Bianchi et al. 2009).
Aktivitas toksin juga dipengaruhi oleh instristik dalam usus serangga
serta adanya endospora yang ikut tercerna oleh usus serangga bersama dengan
Kristal (Bianchi et al. 2009). Jika serangga tidak rentan pada aksi secara
langsung delta-endotoksin maka kematian akan dimulai setelah pertumbuhan
vegetatif B. thuringiensis di dalam pencernaan serangga. Endospora akan
berkecambah setelah membran pencernaan serangga tersebut rusak kemudian
bereproduksi dan menghasilkan endospora yang lebih banyak. Perluasan infeksi
ini seringkali menyebabkan kematian pada serangga (Swadener 1994).

Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana
Secara taksonomi Beauveria bassiana termasuk

dalam filum

Deuteromycota, kelas Hypomycetes, ordo Moniliales dari family Clavicipitaceae
(U.S Environmental Protection Agency 2006). Cendawan patogen penyebab
penyakit pada serangga ini pertama kali ditemukan oleh Agostino bassi di
Beauce Perancis yang kemudian mengujinya pada ulat sutera (Bombix mori).
Penelitian tersebut bukan hanya yang pertama pada serangga, tetapi juga
pertama untuk binatang, sebagai penghormatan kepada Agostino Bassi,
cendawan ini diberi nama Beauveria bassiana (Soetopo & Indrayani 2007).
Cendawan Be. bassiana juga dikenal sebagai white muscardine karena
miselia dan konidia (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval dan
tumbuh secara zig zag pada konidiofornya (Gambar 3). Cendawan ini
mempunyai kisaran inang serangga yang sangat luas meliputi ordo Lepidoptera,
Coleoptera dan Hemiptera.

Infeksi cendawan ini ditemukan pada serangga-

serangga Diptera maupun Hymenoptera (Soetopo & Indrayani 2007).

11
 

Gambar

3 Miselia dan konidia Be. bassiana (www.uoguelph.ca/gbarron/MISCELLANEOUS/nov01.htm 4 Januari 2010).

Beauveria bassiana dapat diisolasi dari bangkai serangga maupun tanah
karena tanah merupakan tempat terbaik untuk propagul infektif dan bertahan
hidup dalam bentuk kondia atau hifa saprofit. Cendawan ini akan melakukan
dormansi jika kondisi lingkungan tidak menguntungkan dan aktif apabila
mendapatkan inang yang cocok untuk diinfeksi (Dhuyo & Naheed 2008).
Serangga inang utama Be. bassiana antara lain kutu pengisap (aphid),
kutu putih (Whitefly), belalang, hama pengisap, lalat, kumbang, ulat, thrips,
tungau dan beberapa spesies uret. Habitat tanamannya mulai dari kedelai, sayurasayuran, kapas, jeruk, buah-buahan, tanaman hias, hingga tanaman hutan
(Soetopo & Indrayani 2007).
Perkembangan konidia memerlukan sumber karbon, seperti glukosa,
glukosamin, kitin, ragi serta sumber nitrogen untuk pertumbuhan hifa.
Perkembangan konidia dapat terjadi pada integumen serangga dengan melakukan
penempelan dan perkecambahan kutikula, kemudian melakukan penetrasi ke
dalam hemosel dan berkembang dalam tubuh serangga sehingga menyebabkan
kematian (Tanada & Kaya 1993).

Proses Infeksi Be. bassiana
Be. bassiana memproduksi toksin beauvericin yang menyebabkan
gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga. Spesies Be. bassiana
juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi pangan
(Soetopo & Indrayani 2007). Konidia yang telah berkecambah membentuk
tabung kecambah dengan mengambil makanan dari integumen serangga, setelah

12 
 

itu menembus integument dan masuk ke dalam hemosel. Cendawan membentuk
tubuh hifa yang kemudian ikut beredar dalam hemolimpfa dan membentuk hifa
sekunder untuk menerang jaringan lain seperti jaringan lemak, sistem syaraf,
trakea dan saluran pencernaan. Konidia berkembang dalam saluran penceranaan
dalam waktu 72 jam, setelah itu hifa melakukan penetrasi pada dinding usus
sekitar 60-72 jam. Kerusakan saluran pencernaan terjadi dengan hancurnya
pencernaan, kemudian masuk ke hemosel dan mengubah pH hemolimfa, setelah
itu serangga akan kehabisan nutrisi dan mati (Tanada & Kaya 1993). Tubuh
serangga yang terbunuh akan berwarna putih karena ditumbuhi konidia (Gambar
4). Jumlah konidia yang dihasilkan oleh satu serangga ditentukan oleh besar
kecilnya ukuran serangga tersebut. Setiap serangga terinfeksi akan efektif
menjadi sumber infeksi bagi serangga sehat di sekitarnya (Cheung & Grula
1982).

Gambar 4 Konidia putih pada berbagai stadium larva Helicoverpa armigera (kiri)
dan miselia putih pada larva H. armigera (kanan) (Soetopo &
Indrayani 2007).
Inglish et al. (1994) menambahkan bahwa selain akibat kehabisan nutrisi,
kematian serangga juga dapat diakibatkan oleh tekanan fisik akibat masuknya
hifa pada jaringan serangga, peracunan oleh mikotoksin Be. bassiana, serta aksi
kombinasi ketiganya.

 

13 
 

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan bulan September 2010 hinggaOktober 2011 di
Laboratorium Mikrobiologidan Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi,
FMIPA, Institut Pertanian Bogor (IPB)

Bahan
Mikroorganisme yang digunakan ialah B. thuringiensis subsp. aizawai
dengan kode isolat IPBCC.B.90 296 koleksi IPBCC, Institut Pertanian
Bogor.Cendawan Be. Bassiana diperoleh dari koleksi Laboratorium Bioteknologi
tanaman, Universitas Hasanuddin Makassar.Larva larva grayak dikumpulkan dari
kebun talas yang terserang larva tersebut

Alat
Alat yang digunakan berupa inkubator bergoyang, otoklaf, mikroskop,
spektrofotometer, haemositometer,dan peralatan laboratorium lainnya.

Penentuan Kurva Tumbuh dan Produksi Kristal ProtoksinB. thuringiensis
Isolat B. thuringiensis diinkubasi pada 250 ml medium pertumbuhan B.
thuringiensis (Atlas 1997) yang mengandung glukosa 3 g, (NH 4 ) 2 SO 4 2 g, ekstrak
khamir 2 g, K 2 HPO 4 .3H 2 O 0,5 g, Mg 2 SO 4 .7H 2 O 0,2 g, CaCl 2 .2H 2 O 0,08 g,
MnSO 4 .4H 2 O 0,05, pH 7,3 dalam 1000 ml akuades pada suhu 37 °C sambil
dikocok dengan kecepatan 120 rpm. Setiap 4 jam dilakukan pengambilan kultur
sebanyak 10 ml untuk dilakukan pengukuran absorbansi sel pada panjang
gelombang 600 nm yang berlangsung sampai 48 jam.

Pewarnaan Morfologi Kristal (Fadel et al. 1988)
Biakan bakteri dibuat preparat dengan cara mengoleskan satu ose biakan
pada objek gelas dan diwarnai dengan larutan Commasie Briliant Blue(0,25%
Commasie Briliant Blue, 50% ethanol, dan 7% asam asetat) selama tiga menit,

14
 

kemudian dibilas dengan air mengalir, dan diamati dibawah mikroskop cahaya
dengan minyak emersi tanpa gelas penutup.

Produksi ProtoksinBacillus thuringiensis (Ma et al. 2008)
Koloni B. thuringiensis diinokulasi ke dalam media pertumbuhan dan
diinkubasi pada suhu 28 °C selama waktu optimum pembentukan protoksin
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 8000 g 4 0C selama 10 menit.
Supernatan dibuang dan pelet dicuci empat kali dengan akuades steril. Pelet
disimpan dalam bufer alkalin (bufer Glisin - NaOH, pH 10,5) pada suhu 28 °C
selama 1 jam sampai protein kristal terlarut kemudian disentrifugasi 8000 g
selama 15 menit. Supernatan dikumpulkan dan pH diatur menjadi 5-6 dengan
penambahan 1 M HCl dan disimpan selama semalam pada suhu 4 °C untuk
mengendapkan

protoksin.

Protoksin

yang

telah

mengendap

kemudian

dikumpulkan dengan sentrifugasi dan dicuci tiga kali dengan akuades. Protoksin
yang dipakai untuk pengujian diproduksi pada jam ke-24 dan-48. Kadar protoksin
diukur dengan metode Bradford dan menggunakan bovine serum albumin sebagai
standar (Bobrowski et al. 2002).

Penyiapan Isolat Be. bassiana
Cendawan Be. bassiana ditumbuhkan pada media Potato Dextrose
Agar(PDA) yang mengandung kloramfenikol dengan konsentrasi 250 mg dalam
500 ml media dan diinkubasi selama 14 hari pada suhu ruang untuk bersporulasi.

Media Kultur Beras
Media kultur beras (MKB) disiapkan dengan cara merendam beras yang
telah dicuci selama 6 jam, ditiriskan kemudian dimasukkan dalam kantong plastik
dan ditutup dengan sumbat kapas. Selanjutnya, MKB disterilisasi selama 15
menit.

Produksi Konidia Be. bassiana
Inokulum cendawan ditambahkan ke dalam MKB yang telah disiapkan.
Selanjutnya MKB diinkubasi selama 14 hari pada suhu ruang untuk memproduksi

15 
 

konidia. Inokulum diperiksa setiap dua hari sekali sambil diaduk-aduk dengan
menggoyang-goyangkannya. Suspensi konidia dibuat dengan mengambil konidia
dari permukaan media dengan cara digoyang dengan pelan dalam larutan Tween
80 0,2% dalam akuades steril dan dihomogenkan. Suspensi konidia dibuat berseri
107 dan 108 konidia ml-1 (Hasyim et al. 2005).

Pengujian ProtoksinB. thuringiensis terhadap Konida Be. bassiana.
Pengujian

protoksin

mencampurkan 1 ml

terhadap

konidia

dilakukan

dengan

dengan

protoksin kedalam 20 ml PDA yang mengandung

kloramfenikol dengan konsentrasi 250 mg dalam 500 ml PDA.Kemudian
sebanyak 1 ml suspensi cendawan Be. bassianadiinokulasikan di atas media
tersebut. Perhitungan

jumlah koloni dan konidia yang dihasilkan dilakukan

setelah 15 hari perlakuan.

Uji Antagonis B. thuringiensisdan Protoksin terhadap Be. bassiana
Uji antagonis B. thuringiensis terhadap Be. bassiana dilakukan dengan uji
antagonis koloni B. thuringiensis terhadap koloni Be. Bassiana. Uji protoksin
dengan metode difusi cakram kertas terhadap koloni Be. bassiana.
Uji antagonis koloni tunggal dilakukan dengan menggoreskan isolat B.
thuringiensis pada cawan yang berisi media PDA. Kemudian inokulum Be.
bassiana diinokulasikan disamping goresan isolat B. thuringiensis dengan jarak 1
cm. Pengamatan antagonisme dilakukan setelah masa inkubasi 2 minggu.
Uji difusi cakram kertas dilakukan dengan meneteskan protoksin sebanyak
0,1 ml pada kertas cakram kosong dan ditunggu sampai kering. Kemudian kertas
cakram diletakkan diatas media PDA yang telah diinokulasikan 0,1 ml konidia Be.
bassiana. Pengamatan dilakukan setelah 2 minggu masa inkubasi.

Pengujian Efektivitas Insektisida
Efektivitas insektisida dari isolat B. thuringiensis, Be. bassiana dan
kombinasi B. thuringiensis dan Be. bassiana terhadap larva grayak dilakukan
dengan cara pengamatan langsung. Aplikasi insektisida dalam bentuk cair
dilakukan pada larva grayak instar 3 dengan cara penyemprotan pada pakan

16
 

berupa daun talas dan pada ulat yang dilakukan setiap hari. Sebanyak 10 ekor
larva grayak dimasukkan dalam wadah yang berbeda kemudian disemprotkan
dengan protoksin B. thuringiensis yang diproduksi pada jam ke-24 dan 48 dan
konidia Be. bassiana dengan jumlah konidia 107 dan 108 konidia/ml serta akuades
sebagai kontrol. Insektisida kombinasi B. thuringiensis dan Be. bassiana dibuat
dengan perbandingan yang sama, yaitu 50 ml protoksin dicampurkan dengan 50
ml suspensi Be. bassiana. Setiap insektisida disemprotkan sebanyak 5 kali
semprot untuk setiap larva.
Perlakuan dibagi menjadi 7 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri
atas 3 wadah berisi 10 larva. Kelompok pertama disemprotkan dengan protoksinB.
thuringiensis. Kelompok kedua disemprotkan dengan konidia B. bassiana.
Kelompok

ketiga disemprotkan dengan campuran insektisida

protoksin B.

Thuringiensis yang diproduksi pada jam 24 dan konidia Be. bassiana 107.
Kelompok keempat disemprotkan dengan campuran insektisida

protoksin B.

Thuringiensis yang diproduksi pada jam 48dan konidia Be. bassiana 107,
Kelompok kelima disemprotkan dengan campuran insektisida

protoksin B.

Thuringiensis yang diproduksi pada jam 24dan konidia Be. bassiana 108,
Kelompok keenam disemprotkan dengan campuran insektisida

protoksin B.

Thuringiensis yang diproduksi pada jam 48dan konidia Be. bassiana 108,
kelompok ketujuh sebagai kontrol dan disemprot dengan akuades. Efektivitas
kedua bioinsektisida tersebut dilihat dari waktu yang diperlukan untuk
menyebabkan mortalitas serta banyaknya mortalitas yang ditimbulkan pada larva
grayak.
 

27
 

HASIL
Pertumbuhan dan Produksi Protoksin B. thuringiensis subsp. aizawai.
Ciri-ciri morfologi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai berdasarkan hasil
pengamatan mikroskop yaitu berbentuk basil dengan panjang sekitar 5 μm,
membentuk endospora yang terletak subterminal, kristal protein terletak
berdampingan dengan endospora dan berukuran lebih kecil dari endospora
(Gambar 5).
a

b
3
2
3

1
2
10µm

10µm

Gambar 5 Sel B. thuringiensis subsp. aizawai. (a) Pengamatan dengan pewarnaan
kristal, (b) pengamatan dengan mikroskop fase kontras dengan
perbesaran 1000 x. Keterangan: (1) endospora yang terlepas, (2)
endospora dalam sel, dan (3) kristal protein.

Kurva pertumbuhan B. thuringiensis dengan mengunakan medium selektif
memperlihatkan fase logaritmik mulai pada umur kultur 4 jam sampai jam 12 jam
dengan jumlah sel yang meningkat terus menerus. Memasuki umur kultur 16 jam
sampai 32 jam kurva pertumbuhan menunjukkan fase stasioner selanjutnya pada
umur kultur 36 jam jumlah sel cenderung menurun hingga umur kultur 48 jam
pengamatan. Pembentukan protein protoksin memperlihatkan peningkatan pada
umur kultur 48 jam pengamatan sebesar 1,05 mg/ml (Gambar 6).

18 
 

4.5
5

4
3.5

4

log sel

3
2.5

3

2

2

1.5
1

1

0.5
0

0
0

4

8

12

16

20

24

28

32

36

40

44

48

waktu (jam)
log sel

konsentrasi toksin 

Gambar 6 Kurva tumbuh dan produksi protoksin B. thuringiensis subsp.
aizawai.

Produksi Konidia Be. bassiana
Produksi konidia Be. bassiana dilakukan pada media beras yang telah
disterilisasi setelah ditumbuhkan pada media PDA selama dua minggu (Gambar
7). Hasil produksi konidia yang didapatkan setelah masa inkubasi selama dua
a
minggu dengan berat media 180 g yaitu 3,6 x 108 konidia/ml.
a

b

Gambar 7 (a) Isolat Be. bassiana pada media PDA (b) spora dan hifa Be. bassiana
pada perbesaran 1000 x.

konsentrasi toksin (mg/ml)

5

6

19
27
 

Pengujian Protoksin B. thuringiensis terhadap Konida Be. bassiana
Hasil uji protoksin terhadap konidia Be. bassiana menunjukkan bahwa
protoksin menghambat pertumbuhan konidia Be. bassiana. Koloni yang tumbuh
pada medium yang mengandung protoksin yang diproduksi pada umur kultur 24
jam lebih sedikit dibandingkan dengan koloni yang tumbuh pada pada medium
yang mengandung protoksin yang diproduksi pada umur kultur 48 jam. Dari
konidia yang dihasilkan terlihat bahwa protoksin tidak berpengaruh pada spora
yang diproduksi, tetapi ada kecenderungan jumlah spora Be. Bassiana meningkat
dengan protoksin yang dipakai pada umur kultur 48 jam (Tabel 2).

Tabel 2 Pengaruh protoksin B. thuringiensis yang diproduksi pada umur kultur 24
jam dan umur kultur 48 jam terhadap konidia Be. bassiana
Produksi protoksin

Jumlah koloni
Be. bassiana
(koloni/ml)

B. thuringiensis jam ke
  

Jumlah spora
Be. bassiana
(spora/ml)
  

24
48

9
21

2,4 x 107
4,5 x 107

Kontrol Negatif

45

3,2 x 107

Uji Antagonis B. thuringiensis dan Protoksin terhadap Be. bassiana
Hasil uji antagonis koloni B. thuringiensis terhadap koloni Be. bassiana
menunjukkan bahwa miselium Be. bassiana dapat tumbuh menutupi koloni
bakteri B. thuringiensis setelah masa inkubasi selama 2 minggu. Hal yang berbeda
ditunjukkan pada uji cakram kertas yang menunjukkan bahwa protoksin B.
thuringiensis

mengurangi

jumlah

konidia

dibandingkan dengan kontrol (Gambar 8).

Be.

bassiana

yang

tumbuh

20 
 



b 1 

b 2 

Gambar 8 Uji antagonis (a) koloni B. thuringiensis terhadap koloni Be. bassiana
dan (b1) uji antagonis B. thuringiensis terhadap Be. Bassiana dengan
metode cakram kertas (b2) kontrol untuk metode cakram kertas.

Pengujian Masing-Masing Protoksin B. thuringiensis dan Konidia Be.
bassiana pada Spodoptera litura
Pengujian protoksin B. thuringiensis dan konidia Be.bassiana dilakukan
menggunakan larva S. litura instar 3. Sejalan dengan pertambahan waktu larva
instar 3 berkembang ke instar 4 dan instar 5. Hasil pengujian menunjukkan
adanya pengaruh protoksin yang mengakibatkan kematian pada larva. Aplikasi
protoksin setelah jam ke-24 dengan cara penyemprotan pada pakan terjadi
penurunan aktivitas makan dan bergerak dan mengalami kematian pada hari
ketiga. Protoksin yang diproduksi pada umur kultur 24 jam dengan kadar
protoksin 0,4395 mg/ml menyebabkan kematian grayak 50 % dan protoksin yang
diproduksi pada umur kultur 48 jam dengan kadar protoksin 1,05 mg/ml
menyebabkan kematian 63,3% . Konidia Be. bassiana 107

menyebabkan

kematian total sebesar 76,6% dan Be. bassiana 108 menyebabkan kematian
sebesar 80%. Mortalitas total yang diamati pada hari ke-7 menunjukkan bahwa
perlakuan konidia Be. bassiana menyebabkan kematian yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan protoksin B. thuringiensis (Tabel 3).

27
 

Tabel 3 Mortalitas larva ulat grayak (S. litura) instar 3 hari ke-1 sampai ke-7 dengan perlakuan tunggal masing-masing protoksin B.
thuringiensis dan konidia Be. bassiana

Perlakuan

Instar 3

Jumlah larva mati (% mortalitas)
Instar 4
Hari ke4
5
6
0
0
0

Protoksin Bt 24 jam

1
0

2
0

3
15 (50%)

Protoksin Bt 48 jam

0

0

19 (63,3%)

0

0

Konidia Bb 107

0

0

2 (6,6%)

0

Konidia Bb 108

0

0

3 (10%)

Kontrol akuades

0

0

0

Jumlah
total

Instar 5
7
0

larva mati
15 (50%)

0

0

19 (63,30%)

10 (33,30%)

6 (20%)

5 (16,6%)

23(76,60%)

0

11 (36,6%)

10(33,30%)

0

24 (80%)

0

0

0

0

0

Keterangan: Ulat yang digunakan sebanyak 30 ekor

21 

22 
 

Pengujian Campuran Protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana
Hasil uji pengujian daya insektisida kombinasi keduanya B. thuringiensis
dan konidia Be. bassiana menunjukkan bahwa campuran protoksin dan konidia
menyebabkan kematian pada larva S. litura instar 3. Aplikasi campuran protoksin
dan konidia pada pakan setelah 24 jam menunjukkan terjadinya penurunan
aktivitas makan dan bergerak. Pada perlakuan Bt 24 + Bb 107 dan Bt 48 + Bb 107
belum memperlihatkan terjadinya kematian pada hari pertama dan hari ke-2,
sementara pada perlakuan Bt 24 + Bb 108 dan Bt 48 + Bb 108 kematian sudah
mulai terjadi pada hari ke-2. Kematian total yang diamati pada hari ke-7 yang
disebabkan perlakuan Bt 24 + Bb 107 sebesar 76,7%, perlakuan Bt 48 + Bb 107
menyebabkan kematian total sebesar 80%,

perlakuan Bt 24 + Bb 108

menyebabkan kematian total sebesar 86