Patogenisitas Beauveria Bassiana Pada Spodoptera Litura Fabricius (Lepidoptera : Noctuidae) Pada Tanaman Kelapa Sawit

(1)

PATOGENISITAS Beauveria bassiana PADA Spodoptera litura Fabricius. (Lepidoptera : Noctuidae) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT

SKRIPSI

OLEH :

HENDRA SAMUEL SIBARANI 100301172

AGROEKOTEKNOLOGI/ HPT

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PATOGENISITAS Beauveria bassiana PADA Spodoptera litura Fabricius. (Lepidoptera : Noctuidae) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT

SKRIPSI

OLEH :

HENDRA SAMUEL SIBARANI 100301172

AGROEKOTEKNOLOGI/ HPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Skripsi : Patogenisitas Beauveria Bassiana Pada Spodoptera Litura Fabricius (Lepidoptera : Noctuidae) Pada Tanaman Kelapa Sawit

Nama : Hendra Samuel Sibarani

Nim : 100301172

Program Studi : Agroekoteknologi

Minat : Hama dan Penyakit Tumbuhan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Ir. Suzanna Fitriany Sitepu, Msi Prof. Dr. Dra. Maryani Cyccu Tobing, MS

Ketua Anggota

Mengetahui,

Prof. Dr. Ir. T. Sabrina, M.Sc Ketua Program Studi Agroekoteknologi


(4)

ABSTRACT

Hendra Samuel Sibarani “Pathogenicity Of Beauveria bassiana Against Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera : Noctuidae) on Oil Palm” guided by Ir. Suzanna Fitriany Sitepu, MSi. dan Prof. Dr. Dra. Maryani Cyccu Tobing, MS. Spodoptera litura is the new pest which attack oil palm. Beauveria bassiana is an entomopathogenic fungus who infects and caused death for various ordo of insect. The objective of this research was to find out pathogenicity of B. bassiana at various conidia density and time application against S. litura on oil palm. This research was held at research field Asian Agri Tebing Tinggi, North Sumatera from April until September 2015. This research used randomized block design with 2 factors and 4 replications. The first factor was conidia density of B. bassiana (control, 106, 107, 108 conidia/ml) and the second one was time

application (at 07.00 am and 05.00 pm). The result showed that B. bassiana has a significantly effect to all parameter observed. The highest larval mortality was found at 108 conidia/ml which was reach 63,75%. Time application at 07.00 am caused a higher larval mortality (46,25%) than at 05.00 pm (37,50%). The highest viability of B. bassiana (94,43%) was found at 24 hours incubation. Infected larvae had a slow movement, decreasing appetite even stopped, paralyzed and died. The dead body of larvae will harden and turn black.


(5)

ABSTRAK

Hendra Samuel Sibarani “Patogenisitas Beauveria bassiana pada Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera : Noctuidae) pada Tanaman Kelapa Sawit” di bawah bimbingan Ir. Suzanna Fitriany Sitepu, MSi. dan Prof. Dr. Dra. Maryani Cyccu Tobing, MS. Spodoptera litura merupakan hama baru yang menyerang tanaman kelapa sawit. Beauveria bassiana merupakan jamur entomopatogen yang dapat menginfeksi dan menyebabkan kematian pada berbagai ordo serangga. Penelitian bertujuan untuk mengetahui patogenisitas B. bassiana pada kerapatan konidia dan waktu aplikasi yang berbeda terhadap larva S. litura pada tanaman kelapa sawit. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Asian Agri Tebing Tinggi, Sumatera Utara pada April sampai September 2015. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 2 faktor dan 4 ulangan. Faktor pertama adalah kerapatan konidia B. bassiana (kontrol, 106, 107, 108 konidia/ml) dan faktor kedua adalah waktu aplikasi (pukul 07.00 WIB dan 17.00 WIB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan konidia dan waktu aplikasi B. bassiana berbeda nyata terhadap semua parameter pengamatan. Persentase mortalitas larva tertinggi terdapat pada kerapatan konidia 108/ml (63,75%). Mortalitas larva pada waktu aplikasi pukul 07.00 pagi (46,25%) lebih tinggi dibandingkan pukul 17.00 sore (37,50%). Viabilitas B. bassiana terbaik pada inkubasi selama 24 jam (94,43%). Gejala infeksi B. bassiana pada larva S. litura yaitu gerakannya lamban, nafsu makannya berkurang bahkan berhenti, lama-kelamaan diam dan mati. Larva yang mati tubuhnya akan mengeras dan berwarna kehitaman.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Hendra Samuel Sibarani, dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 03 Agustus 1992 dari pasangan Ayahanda Ir. H. Sibarani MS. Met. dan Ibunda B. Sidauruk. Penulis merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara. Tahun 2010 lulus dari Sekolah Menengah Atas Santo Thomas 1 Medan dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, Program Studi Agroekoteknologi melalui jalur SNMPTN.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Anggota HIMAGROTEK (Himpunan Mahasiswa Agroekoteknologi) USU, sebagai asisten Laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman di Fakultas Pertanian USU, Medan.

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT.

Perkebunan Nusantara IV (Persero) Kebun Gunung Bayu berada sekitar 48 Meter diatas permukaan laut, terletak di Kecamatan Bandar, Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara tahun 2013. Tahun 2015 penulis melaksanakan penelitian di Riset dan Pengembangan Asian Agri Kebun Bahilang.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNyalah penulis dapat menyelesaikan draft penelitian ini tepat pada waktunya.

Skripsi berjudul “ Uji Kerapatan Spora dan Waktu Aplikasi Beauveria bassiana Bals. untuk Mengendalikan Spodoptera litura F.

(Lepidoptera : Noctuidae) pada Tanaman Kelapa Sawit ” merupakan salah satu syarat untuk dapat meraih gelar Sarjana di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Komisi Pembimbing Ir. Suzanna Fitriany Sitepu MS.selaku Ketua dan Prof. Dr. Dra.Maryani Cyccu Tobing, MS selaku Anggota yang telah memberikan saran dan kritik dalam menyelesaikan skripsi ini dan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Balai Riset dan Penelitian Asian Agri Kebun Bahilang beserta staf yang telah

memberikan tempat dan fasilitas untuk penelitian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini di masa yang akan datang. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Oktober 2015


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Spodoptera litura ... 4

Biologi ... 4

Gejala Serangan ... 6

Beauveria bassiana ... 7

Mekanisme infeksi... 8

Gejala Infeksi... 9

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan B. bassiana ... 10

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

Bahan dan Alat Penelitian ... 11

Metode Penelitian ... 11

Persiapan Penelitian ... 13

Penyediaan Beauveria bassiana ... 13

Penyediaan Larva Spodoptera litura ... 13

Pengenceran Beauveria bassiana ... 13

Menghitung Kerapatan Spora ... 13

Pelaksanaan Penelitian ... 14

Aplikasi Beauveria bassiana ... 14

Peubah Amatan ... 14


(9)

Gejala Kematian Spodoptera litura ... 14 Viabilitas Spora Beauveria bassiana ... 14 HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Mortalitas Spodoptera litura ... 16 Gejala Kematian Spodoptera litura ... 20 Viabilitas Spora Beauveria bassiana ... 22 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 24 Saran ... 24 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

No. Keterangan Hal

1. Tabel 1. Rataan persentase mortalitas larva S. litura (%) terhadap kerapatan spora pada 1-7 hari setelah aplikasi (hsa) ... 16 2. Tabel 2. Rataan persentase mortalitas larva S. litura (%) terhadap waktu

aplikasi pada 1-7 hari setelah aplikasi (hsa) ... 19 3. Viabilitas spora B. bassiana ... 22


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Keterangan Hal

1. Telur Spodoptera litura ... 4

2. Larva Spodoptera litura ... 5

3. Pupa Spodoptera litura ... 5

4. Imago Spodoptera litura ... 6


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Keterangan Hal

1. Bagan Penelitian ... 29

2. Waktu Pengamatan mortalitas spodoptera litura 3HSA ... 30

3. Waktu Pengamatan mortalitas spodoptera litura 4HSA ... 33

4. Waktu Pengamatan mortalitas spodoptera litura 5HSA ... 36

5. Waktu Pengamatan mortalitas spodoptera litura 6HSA ... 39

8. Waktu Pengamatan mortalitas spodoptera litura 7HSA ... 42

9. Viabilitas Spora ... 45


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit merupakan tumbuhan industri penting penghasil Crude Palm Oil (CPO), minyak goreng, dan sebagai bahan bakar terbarukan (biodiesel). Kebutuhan produksi kelapa sawit meningkat tajam seiring dengan meningkatnya kebutuhan CPO dunia, seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini (Julyanda, 2011).

Berdasarkan buku statistik komoditas kelapa sawit terbitan Ditjen Perkebunan, tahun 2014 luas areal kelapa sawit mencapai 10,9 juta ha dengan produksi 29,3 juta ton CPO. Luas areal menurut status pengusahaannya milik rakyat (Perkebunan Rakyat) seluas 4,55 juta ha atau 41,55% dari total luas areal, milik negara (PTPN) seluas 0,75 juta ha atau 6,83% dari total luas areal, milik swasta seluas 5,66 juta ha atau 51,62%, swasta terbagi menjadi 2 (dua) yaitu swasta asing seluas 0,17 juta ha atau 1,54% dan sisanya lokal (Ditjenbun, 2014).

Tanaman kelapa sawit tergolong tanaman yang kuat, tetapi tanaman ini tidak luput dari serangan hama dan penyakit. Sebagian besar hama yang menyerang adalah golongan insekta atau serangga (Yustina et al., 2012). Hama yang sering menyerang tanaman kelapa sawit diantaranya ulat api, ulat kantong, tikus, rayap, Apogonia sp., Oryctes rhinoceros (Sastrosayono, 2003).

Berdasarkan data dari PT. Hari Sawit Jaya, ulat grayak (Spodoptera litura) sudah menyerang tanaman kelapa sawit di Kebun Negeri Lama Selatan. Jumlah pohon terserang periode Januari sampai Oktober 2014 yaitu 33, 634, 274, 496, 281, 121, 314, 915, 453, 1686 pohon. Hal ini membuat S. litura mendapat


(14)

perhatian khusus dan perlu dilakukan tindakan pengendalian karena dapat menimbulkan kerugian.

Ulat grayak (S. litura) merupakan hama penting yang banyak menyerang tanaman budidaya. Ulat grayak bersifat polifag, dapat menyerang daun dan buah pada tanaman perkebunan, tanaman palawija serta tanaman pangan mulai dari fase vegetatif sampai fase generatif (Djamilah et al., 2010). Pada fase vegetatif larva memakan daun tanaman yang muda sehingga tinggal tulang daun saja dan fase generatif dengan memakan polong-polong muda. Hama ini tersebar luas di daerah subtropis sampai daerah tropis (Trizelia et al., 2011). Serangan ulat grayak mampu menurunkan hasil hingga 80% (Bedjo et al., 2011).

Pengendalian ulat grayak yang dilakukan oleh petani masih mengandalkan insektisida. Padahal, penggunaan insektisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan resistensi, resurjensi, dan musnahnya musuh alami (Prayogo et al., 2005).

Dalam beberapa tahun terakhir, usaha pengendalian hama dengan agens hayati seperti virus, bakteri, jamur dan nematoda telah diakui dalam pengelolaan hama (Ritu et al., 2012), karena penggunaannya makin meningkat dan penggunaannya tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan (Rodriguez et al., 2009). Cara aplikasi dan jenis produksi dengan pemahaman yang baik tentang jamur entomopatogen dan ekologi hama dapat menunjukkan bahwa pengendalian biologi dapat bersaing dengan pestisida kimia (Ghanbary et al., 2009).

Salah satu jamur entomopatogen yang sangat potensial dalam pengendalian beberapa spesies serangga hama adalah Beauveria bassiana.


(15)

B. bassiana merupakan jamur yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan sebagai agens hayati, karena dapat menginfeksi dan meyebabkan kematian beberapa larva dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, Hemiptera dan juga Orthoptera (Budi et al., 2013).

B. bassiana sangat efektif dalam menekan perkembangan larva Lepidoptera. B. bassiana merupakan jamur entomopatogen yang sampai saat ini belum pernah dilaporkan resisten terhadap serangga hama (Herlinda et al., 2005).

Tingkat kerapatan konidia dan perbedaan waktu aplikasi untuk mengendalikan serangga hama menunjukkan tingkat kematian yang berbeda. Kajian mengenai perbedaan kerapatan konidia dan perbedaan waktu aplikasi B. bassiana terhadap persentase kematian larva S. litura perlu dilakukan karena setiap isolat memiliki tingkat virulensi yang berbeda, oleh sebab itu dilakukan penelitian patogenisitas jamur B. bassiana pada larva S. litura pada tingkat kerapatan yang berbeda dan waktu aplikasi yang berbeda sehingga dapat diketahui tingkat kerapatan yang mampu mematikan larva S. litura dan waktu aplikasi yang efektif untuk mematikan larva S. litura. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui patogenisitas B. bassiana pada kerapatan kodinia dan waktu aplikasi yang berbeda terhadap larva S. litura pada tanaman kelapa sawit.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui patogenisitas Beauveria bassiana pada kerapatan konidia dan waktu aplikasi yang berbeda terhadap larva Spodoptera litura pada tanaman kelapa sawit.


(16)

Hipotesis Penelitian

Perbedaan kerapatan konidia Beauveria bassiana berpengaruh terhadap mortalitas Spodoptera litura. Perbedaan waktu aplikasi Beauveria Bassiana berpengaruh terhadap mortalitas Spodoptera litura.

Kegunaan Penelitian

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai bahan informasi dalam pengendalian Spodoptera litura pada tanaman kelapa sawit.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae)

Biologi

Siklus hidup S. litura berkisar antara 30 – 60 hari (lama stadium telur 2 – 4 hari, larva yang terdiri dari 6 instar : 20 – 26 hari, pupa 8 – 11 hari) (Tenrirawe dan Talanca, 2008).

Telur berbentuk bulat dengan bagian dasar melekat pada daun (kadang - kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, diletakkan berkelompok (Gambar 1). Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur bervariasi, kelompok telur tertutup bulu yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina (Marwoto dan Suharsono, 2008). Setelah telur menetas, larva tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan, beberapa hari kemudian larva berpencar (Prayogo et al., 2005).

Gambar 1. Telur Spodoptera litura

Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung (bulan sabit) berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning. Larva yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok (Gambar 2).


(18)

Beberapa hari setelah menetas (bergantung ketersediaan makanan), larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Biasanya larva berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar (Marwoto dan Suharsono, 2008).

Gambar 2. Larva Spodoptera litura

Larva instar akhir akan berkepompong dalam tanah, membentuk pupa berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm (Gambar 3) (Tenrirawe dan Talanca, 2008). Pupa berbentuk oval memanjang dan berwarna cokelat mengkilat (Cardona et al., 2007).

Gambar 3. Pupa Spodoptera litura

Setiap ekor ngengat betina dapat menghasilkan telur hingga 3.000 butir yang terdiri atas 11 kelompok dengan 350 butir tiap kelompok telur


(19)

(Prayogo et al., 2005). Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperakan, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam (Gambar 4). Kemampuan terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km (Marwoto dan Suharsono, 2008).

Gambar 4. Imago Spodoptera litura

Gejala Serangan

Larva yang masih kecil merusak daun, menyerang serentak secara berkelompok dengan meninggalkan sisa-sisa bagian atas epidermis daun, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja (Gambar 5). Biasanya larva berada di permukaan bawah daun (Tenrirawe dan Talanca, 2008).

Larva instar lanjut merusak tulang daun. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan larva. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat (Marwoto dan Suharsono, 2008).


(20)

Gambar 5. Gejala Serangan Spodoptera litura

Beauveria bassiana

Beauveria bassiana (Bals.) (Vuill.) (Deuteromycetes: Moniliaceae) adalah salah satu jamur entomopatogenik yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens pengendali hayati. B. bassiana sangat efektif dalam menekan perkembangan larva Lepidoptera. Jamur ini belum pernah dilaporkan resisten terhadap serangga hama, namun dalam perbanyakannya secara in vitro banyak kendala yang harus diatasi, seperti penurunan kualitas spora (kerapatan dan viabilitas) dan virulensi (Salim et al., 2008).

B. bassiana memiliki daya bunuh tinggi terhadap serangga hama terutama ordo Lepidoptera, Hemiptera dan Coleoptera. Pertumbuhan dalam media berbentuk koloni putih seperti kapas, konidiofor yang fertile bercabang-cabang secara zig-zag dan pada bagian ujungnya terbentuk konidia. Konidia bersel satu berbentuk bulat sampai oval, hialin, berukuran 2-3 mikron (Arsyiogi, 2014).

Lebih dari 700 spesies jamur entomopatogen yang telah diketahui menginfeksi serangga pada habitat tanah, tumbuhan dan perairan (Lacey et al., 2001). Keberadaan jamur entomopatogen tersebut di alam sangat penting sebagai faktor pengendali populasi hama (Harjaka et al., 2011).


(21)

Beberapa jenis cendawan entomopatogen yang telah dimanfaatkan untuk mengendalikan hama tanaman perkebunan dan sayuran adalah Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana, Paecilomyces sp., Verticillium sp., dan Spicaria sp. (Ladja et al., 2011).

Kelebihan penggunaan jamur entomopatogen sebagai pengendali populasi serangga hama adalah mempunyai kapasitas produksi yang tinggi, siklus hidup relatif pendek dan mampu membentuk spora yang tahan terhadap pengaruh lingkungan (Rosmayuningsih, 2014). Kelebihan lainnya yaitu relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan sangat kecil kemungkinan terjadi resistensi (Herlinda et al., 2008). Selain itu, jamur B. bassiana dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai tingkat perkembangan serangga hama mulai dari telur, larva, pupa dan imago (Trizelia et al., 2007).

Beberapa jenis jamur entomopatogen memiliki sifat khusus sehingga tidak bisa diaplikasikan dengan mudah. Kelemahan dari jamur entomopatogen adalah peka terhadap kelembaban dan sinat ultra violet (UV), sehingga teknik aplikasi dan penyimpanan diperlukan untuk tetap menjaga stabilitas, viabilitas dan virulensinya (Harjaka et al., 2011).

Mekanisme Infeksi

Ada empat tahapan etiologi penyakit serangga yang disebabkan oleh cendawan. Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga. Propagul cendawan M. anisopliae berupa konidia karena merupakan cendawan yang berkembang biak secara tidak sempurna. Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan pada integumen serangga. Kelembaban udara yang tinggi dan bahkan


(22)

kadang-kadang air diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Dalam melakukan penetrasi menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah (appresorium). Dalam hal ini titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen. Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya (Prayogo et al.,2005).

B. bassiana menginfeksi melalui integumen, dapat juga melalui saluran pencernaan, atau melalui spirakel (Toledo et al., 2006). B. bassiana mengadakan penetrasi ke dalam tubuh serangga melalui kulit luar di antara ruas-ruas. Mekanisme penetrasi dimulai dengan pertumbuhan konidia pada kutikula serangga dan mebentuk apresoria yang akhirnya membentuk hifa. Selanjutnya hifa cendawan tersebut mengeluarkan enzim kitinase, lipase, dan proteinase yang mampu menguraikan komponen menyusun kutikula serangga. Di samping itu cendawan ini juga memproduksi racun beauvericin yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan maupun organ haemocoel serangga seperti saluran pencernaan, otot, sistem syaraf, dan system pernafasan. Akibat dari keseluruhan system di atas maka akan berakhir dengan kematian serangga (Arsyiogi, 2014). Gejala Infeksi

B. bassiana menginfeksi serangga inang melalui kontak fisik, yaitu dengan menempelkan konidia pada integumen. Perkecambahan konidia terjadi dalam 1-2 hari kemudian dan menumbuhkan miselianya di dalam tubuh inang. Serangga yang terinfeksi biasanya akan berhenti makan sehingga menyebabkan imunitasnya


(23)

menurun, 3 - 5 hari kemudian mati dengan ditandai adanya pertumbuhan konidia pada integumen (Deciyanto, 2008).

Pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi. Tidak selalu cendawan tumbuh ke luar menembus integumen serangga. Apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung di dalam jasad serangga tanpa ke luar menembus integumen. Dalam hal ini cendawan membentuk struktur khusus untuk dapat bertahan, yaitu arthrospora (Prayogo et al., 2005).

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan B. bassiana

Efektivitas B. bassiana di lapangan diantaranya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban, curah hujan, dan sinar matahari. Curah hujan sangat potensial mengurangi jumlah konidia dari permukaan daun akibat hanyut terbawa air hujan. Cahaya melalui panjang gelombang sinar ultraviolet juga berpotensi merusak konidia (Yusuf et al., 2010).

Pada kelembaban yang semakin tinggi jamur semakin virulens. Virulensi jamur ini akan semakin menurun dengan semakin menurunnya kelembaban udara. (Bidochka et al., 2000). Viabilitas jamur sangat mempengaruhi pertumbuhan berikutnya. Semakin banyak konidia berkecambah, semakin cepat pertumbuhan jamur tersebut (Effendy, 2010).


(24)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan Asian Agri Tebing Tinggi, Provinsi Sumatera Utara (± 15 m dpl). Penelitian dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan September 2015.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain larva Spodoptera litura instar 3, bibit tanaman kelapa sawit (varietas tenera) umur 5 bulan, Beauveria bassianna, akuades.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat penyemprot, tabung reaksi, vortex mixer, mikropipet, haemocytometer, deck glass, jarum suntik mikroskop, wadah plastik, kuas, kain kasa dan kamera.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial terdiri dari 2 faktor yaitu :

Faktor 1 : Kerapatan Konidia P0 = Kontrol (akuades)

P1 = kerapatan konidia 106/ml

P2 = kerapatan konidia 107/ml

P3 = kerapatan konidia 108/ml

Faktor 2 : Waktu aplikasi I1 = pukul 07.00 wib


(25)

Adapun kombinasi perlakuannya adalah sebagai berikut: P0I1 P1I1 P2I1 P3I1

P0I2 P1I2 P2I2 P3I2

Kombinasi perlakuan : 4 x 2 = 8 Ulangan diperoleh dari :

(t – 1 ) ( r – 1 ) ≥ 15 (8 – 1) (r – 1 ) ≥ 15 7 (r – 1 ) ≥ 15

7r ≥ 22

r ≥ 3,1

r = 4

Jumlah ulangan : 4 Jumlah perlakuan : 32

Metode liniernya adalah sebagai berikut :

Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

dimana :

Yij : nilai pengamatan pada faktor A taraf ke- i faktor B taraf ke- j, dan ulangan ke- k

µ : nilai tengah umum

αi : pengaruh taraf ke- i dari faktor A

βj : pengaruh taraf ke- j dari faktor B

(αβ)ij : pengaruh taraf ke- i dari faktor A dan pengaruh taraf ke- j dari faktor B

εijk : pengaruh acak dari satuan percobaan ke- k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij.


(26)

Persiapan Penelitian 1. Penyediaan B. bassiana

B. bassiana diperoleh dari Balai Buah dan Sayuran Tongkoh, Brastagi yang tersedia dalam bentuk biakan murni di dalam petridish. B. bassiana kemudian diperbanyak pada media biakan beras jagung.

2. Penyediaan larva S. litura

Dikumpulkan kelompok telur S. litura dari lapangan, kemudian telur dimasukkan ke dalam wadah plastik (diameter 16cm, tinggi 15cm). Setelah telur menetas dipisahkan larva instar 1 S. litura ke wadah plastik lain dengan ukuran yang sama dan diberi pakan daun kelapa sawit. Makanan larva diganti setiap hari dan wadah plastik dibersihkan setiap hari. Setelah berganti kutikula sampai instar 3, larva diinokulasikan pada bibit kelapa sawit berumur 5 bulan sebanyak 10 ekor setiap tanaman.

3. Penyediaan suspensi B. bassiana

Ditimbang bahan sediaan B. bassiana pada media biakan beras jagung sebanyak 1 gr. Kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yg terlebih dahulu diisi akuades sebanyak 9 ml. Kemudian diaduk larutan dengan menggunakan vortex mixer agar konidia terlepas dari media biakan. Selanjutnya diambil 1 ml larutan tersebut dengan menggunakan mikropipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi baru yg sudah diisi 9 ml akuades dan diaduk. Selanjutnya dilakukan hal sama sampai diperoleh kerapatan spora yang dibutuhkan.


(27)

C = t (n x 0,25) 4. Menghitung kerapatan spora

Larutan hasil pengenceran diambil menggunakan jarum suntik dan diteteskan di atas hemasitometer. Kemudian ditutup dengan deck glass. Kerapatan spora dihitung di bawah mikroskop dengan rumus Gabriel dan Riyatno (1989) sebagai berikut:

x 100%

Keterangan :

C = kerapatan spora per ml larutan

t = jumlah total spora dalam kotak sampel yang diamati N = jumlah kotak sampel (5 kotak besar x 16 kotak kecil) 0,25 = faktor koreksi penggunaan kotak sampel skala kecil pada

hemasitometer Pelaksanaan Penelitian Aplikasi Beauveria bassianna

B. bassiana disemprotkan ke seluruh bagian pelepah bibit kelapa sawit menggunakan handsprayer dan diaplikasikan di pagi dan sore hari dengan beberapa tingkat kerapatan konidia yaitu 106/ml, 107/ml, 108/ml. Pada perlakuan kontrol disemprotkan menggunakan akuades. Selama percobaan dilakukan dicatat setiap hari suhu dan kelembaban.


(28)

Peubah Amatan

1. Tingkat Mortalitas Spodoptera litura

Pengamatan mortalitas S. litura dilakukan setiap hari setelah aplikasi. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah larva yang mati. Persentase mortalitas larva dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

X 100% Keterangan :

P = Persentase mortalitas a = Jumlah larva yang mati b = Jumlah total larva 2. Gejala Kematian Spodoptera litura

Gejala kematian diamati sejak awal aplikasi hingga munculnya gejala infeksi dan berapa hari sampai kematian larva S. litura.

3. Viabilitas Spora Beauveria bassiana

Viabilitas spora ditentukan dengan cara suspensi spora diteteskan pada pda yang dipotong berbentuk persegi yang diletakkan di atas kaca preparat dan dimasukkan ke dalam petridish. Kemudian dilakukan pengamatan pada 12 jam, 16 jam, 20 jam, 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah spora-spora yang berkecambah dan tidak berkecambah di bawah mikroskop. Viabilitas spora dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan : P = a b

V = x 100 % g (g + u)


(29)

V = Perkecambahan spora (viabilitas) g = Jumlah spora yang berkecambah u = Jumlah spora yang tidak berkecambah


(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tingkat Mortalitas Spodoptera litura

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa kerapatan konidia Beauveria bassiana yang berbeda berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas larva (%) Spodoptera litura.

Tabel 1. Mortalitas larva S. litura pada berbagai tingkat kerapatan konidia B. bassiana (%) pada 1-7 hari setelah aplikasi (hsa).

Perlakuan

Mortalitas (%)

1 hsa 2 has 3 hsa 4 hsa 5 hsa 6 hsa 7 hsa Po 0 0 0,00 b 0,00 c 0,00 c 0,00 c 0,00 d P1 0 0 0,00 b 3,75 bc 12,50 b 26,25 b 45,00 c P2 0 0 3,5 ab 8,75 ab 21,75 a 37,50 a 58,75 b P3 0 0 6,25 a 13,75 a 23,75 a 41,25 a 63,75 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Duncan Multiple

Range Test. hsa: hari setelah aplikasi.

P0: Kontrol, P1: Kerapatan spora 106/ml, P2: : Kerapatan spora 107/ml, P3: : Kerapatan spora 108/ml.

Tabel 1 menunjukkan bahwa kematian larva terjadi pada 3 hsa (hari setelah aplikasi) pada kerapatan konidia 107/ml sebesar 3,75% dan pada kerapataan konidia 108/ml sebesar 6,25%. Hal ini erat kaitannya dengan viabilitas, jumlah konidia dan virulensi jamur B. bassiana. Semakin tinggi daya kecambah dan semakin meningkatnya konsentrasi jamur B. bassiana dan konidia semakin banyak akan membuat proses infeksi berlangsung cepat yang membuat sistem metabolisme tergangggu pada tubuh sehingga mempercepat kematian pada larva S. litura. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ummidi et al. (2013) yang menyatakan bahwa ada korelasi yang kuat antara tingkat perkecambahan dan virulensi B.


(31)

bassiana. Semakin tinggi daya kecambah maka semakin tinggi tingkat patogenisitas.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa larva yang terinfeksi jamur B. bassiana mengalami kematian mulai 3 hsa. Infeksi ini mulai terjadi setelah larva memakan daun kelapa sawit sekaligus tubuh larva bersentuhan dengan suspensi jamur tersebut. Hal ini sesuai pernyataan Mirhaghparast (2013) yang menyatakan bahwa ketika spora menempel pada kutikula serangga, kemudian spora berkecambah dan membentuk tabung kecambah dan akan masuk melalui integumen melalui proses mekanik dan enzimatik. Setelah mencapai haemocoel akan membentuk blastospora dan akan menginfeksi serangga inang.

Berdasarkan hasil sidik ragam perlakuan tingkat kerapatan konidia B. bassiana berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva S. litura. Pada akhir pengamatan (7 hsa) persentase mortalitas tertinggi terdapat pada perlakukan kerapatan konidia 108/ml sebesar 63,75%. Hal ini menunjukkan bahwa konidia yang berkembang dari aktivitas konidia yang melekat pada bagian tubuh inang telah melakukan penetrasi dan mengaktifkan berbagai enzim yang mendegradasi kutikula hingga serangga mati. Tingkat kematian larva S. litura tersebut akibat jamur B. bassiana tergolong dalam patogenesitas sedang. Hal ini sesuai dengan literatur Carolina et al. (2014) yang menyatakan bahwa konidia yang telah melekat pada bagian tubuh inang akan mengaktifkan enzim seperti lipase, protease, kitinase yang akan merusak dan mendegradasi kutikula lalu berkembang di dalam hemolift kemudian menyerang haemoceol dengan mengeluarkan destruksin sehingga menyebabkan penyakit dan kematian serangga. Thungrabeab et al. (2006) mengklasifikasikan tingkat patogenisitas menjadi tiga yaitu


(32)

patogenisitas tinggi dengan persentase kematian lebih dari 64,49 %, patogenisitas sedang dengan persentase kematian 64,49–30,99 % dan patogenisitas rendah dengan persentase kematian kurang dari 30,99 %.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada perlakuan kerapatan konidia 108/ml pada 3 hsa – 6 hsa tidak berbeda nyata dengan perlakuan kerapatan konidia 107/ml. Hal ini diduga karena kerapatan konidia yang optimal untuk menginfeksi dan membunuh larva S. litura terdapat pada kerapatan konidia 107/ml sehingga tidak berbeda nyata dengan kerapatan konidia 108/ml. Tetapi berbeda nyata pada pengamatan 7 hsa. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kerapatan spora yang berbeda. Semakin tinggi kerapatan spora pada jamur maka akan semakin tinggi tingkat mortalitas larva. Menurut Kaur et al. (2011) yang menyatakan bahwa secara signifikan ada korelasi yang positif antara konsentrasi spora dan mortalitas. Semakin tinggi konsentrasi spora maka semakin tinggi mortalitas.

Tabel 1 menunjukkan rataan mortalitas larva S. litura pada akhir pengamatan, kerapatan konidia 108/ml sebesar 63,75%, kerapatan konidia 107/ml sebesar 58,75% dan P1 kerapatan konidia 106/ml sebesar 45% berbeda nyata antara P3, P2 dan P1. Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan spora sangat berpengaruh terhadap keefektifan jamur entomopatogen dalam menginfeksi dan membunuh larva S. litura. Menurut Ahmed dan Katatny (2007) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi jamur entomopatogen yang diaplikasi, maka semakin tinggi kematian larva dan efektivitas jamur entomopatogen akan semakin tinggi.

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa terjadinya mortalitas dimulai dari 3 hsa, larva yang mati berubah berwarna hitam. Hal ini disebabkan oleh racun yang telah


(33)

masuk menggangu sistem saraf maupun metabolisme tubuh sehingga mempengaruhi morfologis larva dan jenis toksin yang dihasilkan oleh jamur entomopatogen tersebut. Menurut Kaur et al. (2011) yang menyatakan bahwa jamur entomopatogen menyebabkan kematian serangga inang dengan menyerap nutrisi dan menyebarkan racun pada hemolymph sehingga dapat mempengaruhi perkembangan serangga terutama reproduksi dan molting yang memiliki tuntutan energik tinggi. Terjadi juga perubahan fisiologis pada serangga setelah diaplikasikan jamur entomopatogen karena racun pada jamur entomopatogen menghancurkan keseimbangan pada sistem fisiologis serangga.

Tabel 2. Mortalitas larva S. litura pada waktu aplikasi yang berbeda (%) pada 1-7 hari setelah aplikasi (hsa).

Perlakuan Mortalitas (%)

1 hsa 2 has 3 hsa 4 hsa 5 hsa 6 hsa 7 hsa I1 0 0 3.13 8.75 a 16.88 a 29.38 a 46.25 a I2 0 0 1.88 4.38 b 11.88 b 23.13 b 37.50 b Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Duncan Multiple

Range Test. hsa: hari setelah aplikasi.

I1: Waktu aplikasi pukul 07.00 wib, I2: Waktu aplikasi pukul 17.00 wib

Tabel 2 menunjukkan bahwa aplikasi pukul 07.00 wib berbeda nyata dengan aplikasi pukul 17.00 wib. Dimana mulai dari 3 hsa – 7 hsa aplikasi B. bassiana pada pagi hari menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan aplikasi sore hari. Hal ini dapat dipengaruhi oleh daya kecambah konidia B. bassiana yang berkorelasi dengan patogenisitas dan virulensi B. bassiana terhadap mortalitas sehingga mortalitas larva lebih tinggi pada aplikasi pagi hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prayogo et al. (2005) yang menyatakan bahwa daya kecambah (viabilitas) cendawan entomopatogen merupakan awal dari stadia pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integument serangga. Oleh karena itu, persentase daya kecambah sangat menentukan keberhasilan


(34)

cendawan dalam pertumbuhan selanjutnya dan semakin cepat waktu yang dibutuhkan konidia untuk berkecambah akan sangat menentukan tingkat keberhasilan proses infeksi inang.

Persentase mortalitas pada aplikasi B. bassiana pagi hari lebih tinggi dibandingkan sore hari. Hal ini disebabkan karena pengaruh faktor lingkungan seperti cahaya matahari, kelembapan dan temperatur sehingga mempengaruhi keefektifan jamur entomopatogen. Menurut Abboud et al. (2012) biopestisida memiliki efektifitas membunuh yang tinggi ketika kelembaban diatas 95% dan ketika kelembaban berkisar antara 65-75% efektivitas biopestisida menurun dan menurut Prayogo et al. (2005) faktor lingkungan (sinar matahari, kelembapan, dan temperatur) sangat menentukan keberhasilan proses infeksi di samping faktor ganti kulit (moulting) dari serangga.

2. Gejala Kematian S. litura

Dari hasil pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa larva S. litura yang terinfeksi B. bassiana terjadi melalui integumen maupun tertelan bersama makanan yang merusak sistem pertahanan larva S. litura. Suspensi spora yang kontak dengan integument segera berkecambah membentuk hifa dan menyerap nutrisi yang ada di tubuh larva dan dengan toksin yang dihasilkannya, B. bassiana menghancurkan struktur dalam tubuh larva S. litura dan mengakibatkan kematian larva tersebut. Hal ini sesuai dengan literatur Mahr (2003) yang menyatakan B. bassiana masuk ketubuh serangga melalui kulit diantara ruas-ruas tubuh. Penetrasinya dimulai dengan pertumbuhan spora pada kutikula. Hifa fungi mengeluarkan enzim kitinase, lipase dan protenase yang mampu menguraikan komponen penyusun kutikula serangga. Di dalam tubuh serangga B. bassiana


(35)

memproduksi toksin yang disebut beauvericin yang melemahkan system imun serangga dan menyebabkan kematian serangga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva yang diuji sudah memperlihatkan adanya gejala infeksi seperti gerakannya lamban dan larva yang terinfeksi mulai menjauh dari daun kelapa sawit yang merupakan makanan larva tersebut. Setelah gejala infeksi ini terjadi, terlihat bahwa larva sudah ada yang mati. Menurut Kaur et al. (2011) yang menyatakan bahwa larva yang terinfeksi menunjukkan gerakan yang lebih lambat dan pada akhirnya akan mati, setelah mati larva menjadi keras dan kaku.

Gejala yang disebabkan B. bassiana adalah cendawan ini menyerang tubuh inangnya dan menyerap cairan dari tubuh inangnya. Berkembang tumbuh keluar dari tubuh inangnya dan menghasilkan spora. Tubuh inangnya menjadi keras (mumifikasi). Dari pengamatan diketahui bahwa larva yang mati berubah warna menjadi hitam. Disamping itu dapat dilihat tubuh larva menciut dan mengeras (mumifikasi). Hal ini diduga sebagai akibat dari mulai bekerjanya toksin yang diproduksi oleh cendawan. Toksin tersebut merusak jaringan dan menyerap cairan sel tubuh larva, sehingga menyebabkan larva mengering dan mati. Menurut Kherb (2014) yang menyatakan bahwa jamur hidup dan tumbuh dengan memanfaatkan cairan di dalam tubuh serangga dan menghasilkan racun yang dapat membunuh serangga. Setelah serangga mati, miselium akan tumbuh di tubuh serangga.


(36)

3. Viabilitas konidia Beauveria bassiana

Tabel 3. Viabilitas konidia B. bassiana pada waktu inkubasi yang berbeda (%)

Waktu inkubasi Viabilitas (%)

12 jam 17,23d

16 jam 30,86c

20 jam 59,80b

24 jam 94,43a

Tabel 3 menunjukkan bahwa pada perlakuan inkubasi selama 24 jam perkecambahan konidia tertinggi yaitu sebesar 94,43%. Semakin tinggi tingkat perkecambahan konidia maka akan semakin efektif untuk mengendalikan larva S. litura. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prayogo et al. (2005) yang menyatakan bahwa semakin tinggi daya kecambah konidia dan semakin cepat waktu yang dibutuhkan konidia untuk berkecambah akan sangat menentukan tingkat keberhasilan proses infeksi inang.

Penghitungan viabilitas konidia B. bassiana diambil dari jamur B. bassiana yang telah dibiakkan pada media beras jagung. Media perbanyakan jamur B. bassiana dapat mempengaruhi jumlah konidia, persentase daya kecambah dan virulensi jamur B. bassiana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prayogo (2006) yang menyatakan jamur entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang tinggi di samping protein. Media dengan kadar gula yang tinggi akan meningkatkan virulensi jamur entomopatogen. Media dari jagung manis atau jagung lokal + gula 1% menghasilkan jumlah konidia dan persentase daya kecambah konidia yang lebih tinggi dibandingkan media yang lain.

Tabel 3 menunjukkan bahwa pada inkubasi selama 24 jam viabilitas konidia B. bassiana berbeda nyata dengan perlakuan 20 jam, 16 jam dan 12 jam. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan perkecambahan konidia pada setiap


(37)

jam pengamatan. Viabilitas konidia menentukan kualitas konidia dan virulensinya. Kurangnya asupan protein pada media biakan dapat menurunkan kemampuan konidia berkecambah. Menurut Herlinda et al. (2006) nutrisi media biakan dapat menurunkan kualitas spora dan virulensi jamur entomopatogen. Kurangnya asupan protein dari media biakan dapat menurunkan kemampuan spora berkecambah.


(38)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Persentase mortalitas larva tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (kerapatan spora B. bassiana 108/ml) yaitu sebesar 63.75% dan terendah pada perlakuan P1 (kerapatan spora 106/ml) yaitu sebesar 45%.

2. Aplikasi B. bassiana yang paling efektif dilakukan yaitu pada pukul 07.00 wib.

3. Gejala infeksi B. Bassiana pada larva S. litura antara lain gerakannya lamban, nafsu makannya berkurang bahkan berhenti, lama-kelamaan diam dan mati.

4. B. bassiana menyerang tubuh inangnya dan menghisap seluruh cairan dari tubuh inangnya sehingga tubuh inangnya menjadi keras seperti mumifikasi dan larva yang mati berubah warna menjadi hitam.

5. Semakin tinggi viabilitas spora B. bassiana maka semakin tinggi tingkat perkecambahan spora dan akan berpengaruh terhadap keefektifan B. bassiana dalam mengendalikan larva S. litura.

6. Semakin tinggi kerapatan spora jamur yang diinfeksikan ke larva S. litura maka akan semakin besar mortalitas larva.

Saran

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan keganasan jamur B. bassiana sehingga lebih efektif dalam mengendalikan larva S. litura pada tanaman kelapa sawit.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Abboud, R., A. M. Mouhanna, E. Choueiri dan B. E. Rahbana. 2012. Assessment of the Effectiveness of Beauveria bassiana Fungus in Controlling Insects Under greenhouse, Field and Laboratory Conditions. Persian Gulf Crop Protection 1(1): 36-44.

Ahmed, A. M. dan M. H. E. Katatny. 2007. Entomopathogenic Fungi As Biopesticides Against The Egyptian Cotton Leaf Worm, Spodoptera Littoralis: Between Biocontrolpromise and Immune-Limitation. J. Egypt. Soc. Toxicol. 37:39-51.

Arsyiogi, B. 2014. Mortalitas Aphis Craccivora Koch. Pada Beberapa Konsentrasi Beauveria Bassiana Balsamo Pada Tanaman Kacang Panjang. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Bengkulu.

Bedjo, Sri W. I. dan Suharsono. 2011. Pengaruh Pestisida Nabati, NPV dan Galur Tahan Terhadap Aspek Biologi Ulat Grayak. Prosiding Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011. Hlm. 113-126.

Bidochka, M. J., Kamp A. M. dan Decroos J. N. A. 2000. Insect Pathogenic Fungi: From Genes to Populations. Fungal Pathol. 42:171-193.

Budi, A. S., A. Afhandi dan R. D. Puspitarini. 2013. Patogenisitas Jamur Entomopatogen Beauveria Bassiana Balsamo (Deuteromycetes: Moniliales) Pada Larva Spodoptera Litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). J. HPT. 1(1):57-65.

Cardona, E. V., C. S. Ligat dan M. P. Subang. 2007. Life History Of Common Cutworm, Spodoptera Litura Fabricius (Noctuidae ; Lepidoptera) In Benguet. Progress Report. BSU Research In- House Review.

Carolina Sanchez-Parez, L., Barranco-Florido, J. E., Rodríguez-Navarro, S., Cervantes-Mayagoitia, J. F. dan Ramos-López, M. Á. 2014. Enzymes of Entomopathogenic Fungi, Advances and Insights. Advances in Enzyme Research, 2, 65-76. http://dx.doi.org/10.4236/aer.2014.22007.

Deciyanto, S dan I. G. A. A. Indrayani. 2009. Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana : Potensi dan Prospeknya dalam Pengendalian Hama Tungau. J. Perspektif. 8(2):65-73.

Djamilah, Nadrawati dan M. Rosi. 2010. Isolasi Steinernema dari Tanah Pertanaman Jagung di Bengkulu Bagian Selatan dan Patogenesitasnya Terhadap Spodoptera litura F. J. Agric. Sci. Indon. 12(1):34-39.

Ditjenbun. 2014. Pertumbuhan Areal Kelapa Sawit Meningkat. Diunduh dari


(40)

Effendy. 2010. Uji Toksisitas Bioinsektisida Jamur Metarhizium sp. Berbahan Pembawa Bentuk Tepung untuk Mengendalikan Nilaparvata lugens (Stal.) (Homoptera: Delphacidae). Prosiding Seminar Nasional Unsri, Palembang 20-21 Oktober 2010. Hlm. 84-93.

Gabriel, B. P., Riyatno. 1989. Metarhizium anisopliae (Metch) Sor: Taksonomi, Patologi, Produksi dan Aplikasinya. Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Ghanbary, M. A. T., A. Asgharzadeh, A. R. Hadizadeh dan M. M. Sharif. 2009. A Quick Method for Metarhizium anisopliae Isolation from Cultural Soils. Americ. J. Agric. Biol. Sci. 4(2):152-155.

Harjaka, T., E. Martono, Witjaksono dan B. H. Sunarminto. 2011. Potensi Jamur Metarhizium anisopliae untuk Pengendalian Uret Perusak Akar Tebu. Prosiding Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011. Hlm. 91-102. Herlinda, S., E. M. Sari, Y. Pujiastuti, Suwandi, E. Nurnawati Dan A. Riyanta.

2005. Variasi Virulensi Strain-Strain Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Terhadap Larva Plutella Xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae). J. Agritop. 24(2):52-57.

Herlinda, S., M. D. Utama, Y. Pujiastuti, dan Suwandi. 2006. Kerapatan dan Viabilitas Spora Beauveria bassiana (Bals.) Akibat Subkultur dan Pengayaan Media, serta Virulensinya Terhadap Larva Plutella xylostella (Linn.). J. HPT Tropika. 6(2):70-78.

Herlinda, S., Hartono dan C. Irsan. 2008. Efikasi Bioinsektisida Formulasi Cair Berbahan Aktif Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. dan Metarhizium sp. pada Wereng Punggung Putih (Sogatella furcifera Horv.). Prosiding Seminar Nasional dan Kongres PATPI, Palembang 14-16 Oktober 2008. Hlm. 1-15.

Julyanda, M. 2011. Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kaur, S., Harminder P.K., Kirandeep K. dan Amarjeet K. 2011. Effect of different concentrations of Beauveria bassiana on development and reproductive potential of Spodoptera litura (Fabricius). J. Biopest. 4(2):161-168.

Kherb, W. A. A. 2014. Virulence Bio-Assay Efficiency of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae for the Biological Control of Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) Eggs and the 1st Instar Larvae. Aust. J. Basic & Appl. Sci. 8(3): 313-323.


(41)

Lacey, L. A., R. Frutos, H. K. Kaya dan P. Vails. 2001. Insect Pathogens as Biological Control Agents: Do They Have a Future?. Biol. Contr. 21:230-248.

Ladja, F. T., T. Santoso dan E. Nurhayati. 2011. Potensi Cendawan Entomopatogen Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana dalam Mengendalikan Wereng Hijau dan Menekan Intensitas Penyakit Tungro. J. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 30(2):114-120.

Mahr. S., 2003. The Entomophatogen Beauveria bassiana. University of Winconsin, Madison. Diakses dari http://www. Entomogy. Wisc. Edu/mbcn/kyF410.html. Tanggal 12 Oktober 2015.

Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (spodoptera litura) pada Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. J. Litbang Pertanian 27(4):131-136.

Mirhaghparast, S. K., A. Zibaee dan J. Hajizadeh. 2013. Effects of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae on cellular immunity and intermediary metabolism of Spodoptera littoralis Boisduval (Lepidoptera: Noctuidae). ISJ 10:110-119.

Prayogo, Y.,W. Tengkano dan Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura pada Kedelai. J. Litbang Pertanian 24(1):19-26. Prayogo, Y. 2006. Upaya Mempertahankan Keefektifan Cendawan

Entomopatogen untuk Mengendalikan Hama Tanaman Pangan. J. Litbang Pertanian 24(1):19-26.

Ritu, A., C. Anjali, T. Nidhi, P. Sheetal dan B. Deepak. 2012. Biopesticidal Formulation of Beauveria Bassiana Effective against Larvae of Helicoverpa Armigera. J. Biofertil Biopestici. 3(3):1-3.

Rodriguez, M., M. Gerding, A. France dan R. Ceballos. 2009. Evaluation Of Metarhizium anisopliae Var. Anisopliae Qu-M845 Isolate to Control Varroa destructor (Acari: Varroidae) in Laboratory and Field Trials. Chilean J. Agric. Research. 69(4):541-547.

Rosmayuningsih, A., B. T. Rahardjo dan R. Rachmawati. 2014. Patogenisitas Jamur Metarhizium anisopliae Terhadap Hama Kepinding Tanah (Stibaropus molginus) (Hemiptera:Cydnidae) dari Beberapa Formulasi. J. HPT. 2(2):28-37.

Salim, A., R. Septiadi, Effendy T. A, S. Herlinda dan R. Thalib. 2008. Penurunan Kualitas Jamur Entomopatogen, Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill. Akibat


(42)

Subkultur Terhadap Nimfa Walang Sangit. Prosiding Seminar Nasional. Palembang 18 Oktober 2008. Hlm. 175-180.

Sapdi, 1999. Mortalitas Nimpha Nezara viridula pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Suspensi Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana Vuill. J. Agrista. 3 (1):72-77.

Sastrosayono, S. 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia. Jakarta.

Tenrirawe, A. dan A. H. Talanca. 2008. Bioekologi dan Pengendalian Hama dan Penyakit Utama Kacang Tanah. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX, Sulawesi Selatan 5 November 2008. Hlm. 464-471. Thungrabeab, M., Peter B., Cetin S. 2006. Possibilities for Biocontrol of The

Onion Thrips Thrips tabaci Lindeman (Thysanoptera: Thripitidae) Using Difference Entomopathogenic from Thailand. Mitt Dtach Ges Allg Angew Ent 15:299-304.

Toledo, J., P. Liedo, S.Flores, S. E. Campos, A. Villasenor dan P. Montoya. 2006. Use of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae for fruit fly control: a novel approach. Proceedings of the 7th International Symposium on Fruit Flies of Economic Importance, Salvador 10-15 September 2006. Hlm. 127-132.

Trizelia, M. Syahrawati dan A. Mardiah. 2011. Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen Metarhizium spp. terhadap Telur Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). J. Entomol. Indon. 8(1):45-54. Trizelia, T. Santoso, S. Sosromarsono, A. Rauf dan L. I. Sudirman. 2007.

Patogenisitas Jamur Entomopatogen Beauveria Bassiana (Deuteromycotina: Hyphomycetes) Terhadap Telur Crocidolomia Pavonana (Lepidoptera: Pyralidae). J. PIP. Agrin. 11(1):52-59.

Ummidi, V. R. S., U. Josyula dan P. Vadlamani. 2013. Germination rates of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae its possible correlation with virulence against Spodoptera litura larvae. International Journal of Advanced Research 2(1):625-630.

Yustina, Y. Fauziah dan R. Sofia. 2012. Struktur Populasi Kumbang Tanduk (Orycetes Rhinoceros) Di Area Perkebunan Kelapa Sawit Masyarakat Desa Kenantan Kabupaten Kampar-Riau. J. Biogenesis: 8(2):54-63.

Yusuf, S., W. Nuryani dan I. Djatnika. 2010. Pengaruh Bahan Pembawa Terhadap Efektivitas Beauveria Bassiana Dalam Mengendalikan Thrips Parvispinus Karny Pada Tanaman Krisan Di Rumah Plastik. J. Hort. 20(1):80-85.


(1)

jam pengamatan. Viabilitas konidia menentukan kualitas konidia dan virulensinya. Kurangnya asupan protein pada media biakan dapat menurunkan kemampuan konidia berkecambah. Menurut Herlinda et al. (2006) nutrisi media biakan dapat menurunkan kualitas spora dan virulensi jamur entomopatogen. Kurangnya asupan protein dari media biakan dapat menurunkan kemampuan spora berkecambah.


(2)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Persentase mortalitas larva tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (kerapatan spora B. bassiana 108/ml) yaitu sebesar 63.75% dan terendah pada perlakuan P1 (kerapatan spora 106/ml) yaitu sebesar 45%.

2. Aplikasi B. bassiana yang paling efektif dilakukan yaitu pada pukul 07.00 wib.

3. Gejala infeksi B. Bassiana pada larva S. litura antara lain gerakannya lamban, nafsu makannya berkurang bahkan berhenti, lama-kelamaan diam dan mati.

4. B. bassiana menyerang tubuh inangnya dan menghisap seluruh cairan dari tubuh inangnya sehingga tubuh inangnya menjadi keras seperti mumifikasi dan larva yang mati berubah warna menjadi hitam.

5. Semakin tinggi viabilitas spora B. bassiana maka semakin tinggi tingkat perkecambahan spora dan akan berpengaruh terhadap keefektifan B. bassiana dalam mengendalikan larva S. litura.

6. Semakin tinggi kerapatan spora jamur yang diinfeksikan ke larva S. litura maka akan semakin besar mortalitas larva.

Saran

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan keganasan jamur B. bassiana sehingga lebih efektif dalam mengendalikan larva S. litura pada tanaman kelapa sawit.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abboud, R., A. M. Mouhanna, E. Choueiri dan B. E. Rahbana. 2012. Assessment of the Effectiveness of Beauveria bassiana Fungus in Controlling Insects Under greenhouse, Field and Laboratory Conditions. Persian Gulf Crop Protection 1(1): 36-44.

Ahmed, A. M. dan M. H. E. Katatny. 2007. Entomopathogenic Fungi As Biopesticides Against The Egyptian Cotton Leaf Worm, Spodoptera Littoralis: Between Biocontrolpromise and Immune-Limitation. J. Egypt. Soc. Toxicol. 37:39-51.

Arsyiogi, B. 2014. Mortalitas Aphis Craccivora Koch. Pada Beberapa Konsentrasi Beauveria Bassiana Balsamo Pada Tanaman Kacang Panjang. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Bengkulu.

Bedjo, Sri W. I. dan Suharsono. 2011. Pengaruh Pestisida Nabati, NPV dan Galur Tahan Terhadap Aspek Biologi Ulat Grayak. Prosiding Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011. Hlm. 113-126.

Bidochka, M. J., Kamp A. M. dan Decroos J. N. A. 2000. Insect Pathogenic Fungi: From Genes to Populations. Fungal Pathol. 42:171-193.

Budi, A. S., A. Afhandi dan R. D. Puspitarini. 2013. Patogenisitas Jamur Entomopatogen Beauveria Bassiana Balsamo (Deuteromycetes: Moniliales) Pada Larva Spodoptera Litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). J. HPT. 1(1):57-65.

Cardona, E. V., C. S. Ligat dan M. P. Subang. 2007. Life History Of Common Cutworm, Spodoptera Litura Fabricius (Noctuidae ; Lepidoptera) In Benguet. Progress Report. BSU Research In- House Review.

Carolina Sanchez-Parez, L., Barranco-Florido, J. E., Rodríguez-Navarro, S., Cervantes-Mayagoitia, J. F. dan Ramos-López, M. Á. 2014. Enzymes of Entomopathogenic Fungi, Advances and Insights. Advances in Enzyme Research, 2, 65-76. http://dx.doi.org/10.4236/aer.2014.22007.

Deciyanto, S dan I. G. A. A. Indrayani. 2009. Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana : Potensi dan Prospeknya dalam Pengendalian Hama Tungau. J. Perspektif. 8(2):65-73.

Djamilah, Nadrawati dan M. Rosi. 2010. Isolasi Steinernema dari Tanah Pertanaman Jagung di Bengkulu Bagian Selatan dan Patogenesitasnya Terhadap Spodoptera litura F. J. Agric. Sci. Indon. 12(1):34-39.

Ditjenbun. 2014. Pertumbuhan Areal Kelapa Sawit Meningkat. Diunduh dari


(4)

Effendy. 2010. Uji Toksisitas Bioinsektisida Jamur Metarhizium sp. Berbahan Pembawa Bentuk Tepung untuk Mengendalikan Nilaparvata lugens (Stal.) (Homoptera: Delphacidae). Prosiding Seminar Nasional Unsri, Palembang 20-21 Oktober 2010. Hlm. 84-93.

Gabriel, B. P., Riyatno. 1989. Metarhizium anisopliae (Metch) Sor: Taksonomi, Patologi, Produksi dan Aplikasinya. Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Ghanbary, M. A. T., A. Asgharzadeh, A. R. Hadizadeh dan M. M. Sharif. 2009. A Quick Method for Metarhizium anisopliae Isolation from Cultural Soils. Americ. J. Agric. Biol. Sci. 4(2):152-155.

Harjaka, T., E. Martono, Witjaksono dan B. H. Sunarminto. 2011. Potensi Jamur Metarhizium anisopliae untuk Pengendalian Uret Perusak Akar Tebu. Prosiding Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011. Hlm. 91-102. Herlinda, S., E. M. Sari, Y. Pujiastuti, Suwandi, E. Nurnawati Dan A. Riyanta.

2005. Variasi Virulensi Strain-Strain Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Terhadap Larva Plutella Xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae). J. Agritop. 24(2):52-57.

Herlinda, S., M. D. Utama, Y. Pujiastuti, dan Suwandi. 2006. Kerapatan dan Viabilitas Spora Beauveria bassiana (Bals.) Akibat Subkultur dan Pengayaan Media, serta Virulensinya Terhadap Larva Plutella xylostella (Linn.). J. HPT Tropika. 6(2):70-78.

Herlinda, S., Hartono dan C. Irsan. 2008. Efikasi Bioinsektisida Formulasi Cair Berbahan Aktif Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. dan Metarhizium sp. pada Wereng Punggung Putih (Sogatella furcifera Horv.). Prosiding Seminar Nasional dan Kongres PATPI, Palembang 14-16 Oktober 2008. Hlm. 1-15.

Julyanda, M. 2011. Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kaur, S., Harminder P.K., Kirandeep K. dan Amarjeet K. 2011. Effect of different concentrations of Beauveria bassiana on development and reproductive potential of Spodoptera litura (Fabricius). J. Biopest. 4(2):161-168.

Kherb, W. A. A. 2014. Virulence Bio-Assay Efficiency of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae for the Biological Control of Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) Eggs and the 1st Instar Larvae. Aust. J. Basic & Appl. Sci. 8(3): 313-323.


(5)

Lacey, L. A., R. Frutos, H. K. Kaya dan P. Vails. 2001. Insect Pathogens as Biological Control Agents: Do They Have a Future?. Biol. Contr. 21:230-248.

Ladja, F. T., T. Santoso dan E. Nurhayati. 2011. Potensi Cendawan Entomopatogen Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana dalam Mengendalikan Wereng Hijau dan Menekan Intensitas Penyakit Tungro. J.

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 30(2):114-120.

Mahr. S., 2003. The Entomophatogen Beauveria bassiana. University of Winconsin, Madison. Diakses dari http://www. Entomogy. Wisc. Edu/mbcn/kyF410.html. Tanggal 12 Oktober 2015.

Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (spodoptera litura) pada Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. J. Litbang Pertanian 27(4):131-136.

Mirhaghparast, S. K., A. Zibaee dan J. Hajizadeh. 2013. Effects of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae on cellular immunity and intermediary metabolism of Spodoptera littoralis Boisduval (Lepidoptera: Noctuidae). ISJ 10:110-119.

Prayogo, Y.,W. Tengkano dan Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura pada Kedelai. J. Litbang Pertanian 24(1):19-26. Prayogo, Y. 2006. Upaya Mempertahankan Keefektifan Cendawan

Entomopatogen untuk Mengendalikan Hama Tanaman Pangan. J. Litbang Pertanian 24(1):19-26.

Ritu, A., C. Anjali, T. Nidhi, P. Sheetal dan B. Deepak. 2012. Biopesticidal Formulation of Beauveria Bassiana Effective against Larvae of Helicoverpa Armigera. J. Biofertil Biopestici. 3(3):1-3.

Rodriguez, M., M. Gerding, A. France dan R. Ceballos. 2009. Evaluation Of Metarhizium anisopliae Var. Anisopliae Qu-M845 Isolate to Control Varroa destructor (Acari: Varroidae) in Laboratory and Field Trials. Chilean J. Agric. Research. 69(4):541-547.

Rosmayuningsih, A., B. T. Rahardjo dan R. Rachmawati. 2014. Patogenisitas Jamur Metarhizium anisopliae Terhadap Hama Kepinding Tanah (Stibaropus molginus) (Hemiptera:Cydnidae) dari Beberapa Formulasi. J. HPT. 2(2):28-37.

Salim, A., R. Septiadi, Effendy T. A, S. Herlinda dan R. Thalib. 2008. Penurunan Kualitas Jamur Entomopatogen, Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill. Akibat


(6)

Subkultur Terhadap Nimfa Walang Sangit. Prosiding Seminar Nasional. Palembang 18 Oktober 2008. Hlm. 175-180.

Sapdi, 1999. Mortalitas Nimpha Nezara viridula pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Suspensi Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana Vuill. J. Agrista. 3 (1):72-77.

Sastrosayono, S. 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia. Jakarta.

Tenrirawe, A. dan A. H. Talanca. 2008. Bioekologi dan Pengendalian Hama dan Penyakit Utama Kacang Tanah. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX, Sulawesi Selatan 5 November 2008. Hlm. 464-471. Thungrabeab, M., Peter B., Cetin S. 2006. Possibilities for Biocontrol of The

Onion Thrips Thrips tabaci Lindeman (Thysanoptera: Thripitidae) Using Difference Entomopathogenic from Thailand. Mitt Dtach Ges Allg Angew Ent 15:299-304.

Toledo, J., P. Liedo, S.Flores, S. E. Campos, A. Villasenor dan P. Montoya. 2006. Use of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae for fruit fly control: a novel approach. Proceedings of the 7th International Symposium on Fruit Flies of Economic Importance, Salvador 10-15 September 2006. Hlm. 127-132.

Trizelia, M. Syahrawati dan A. Mardiah. 2011. Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen Metarhizium spp. terhadap Telur Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). J. Entomol. Indon. 8(1):45-54. Trizelia, T. Santoso, S. Sosromarsono, A. Rauf dan L. I. Sudirman. 2007.

Patogenisitas Jamur Entomopatogen Beauveria Bassiana (Deuteromycotina: Hyphomycetes) Terhadap Telur Crocidolomia Pavonana (Lepidoptera: Pyralidae). J. PIP. Agrin. 11(1):52-59.

Ummidi, V. R. S., U. Josyula dan P. Vadlamani. 2013. Germination rates of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae its possible correlation with virulence against Spodoptera litura larvae. International Journal of Advanced Research 2(1):625-630.

Yustina, Y. Fauziah dan R. Sofia. 2012. Struktur Populasi Kumbang Tanduk (Orycetes Rhinoceros) Di Area Perkebunan Kelapa Sawit Masyarakat Desa Kenantan Kabupaten Kampar-Riau. J. Biogenesis: 8(2):54-63.

Yusuf, S., W. Nuryani dan I. Djatnika. 2010. Pengaruh Bahan Pembawa Terhadap Efektivitas Beauveria Bassiana Dalam Mengendalikan Thrips Parvispinus Karny Pada Tanaman Krisan Di Rumah Plastik. J. Hort. 20(1):80-85.