Bioetanol dari Daging Buah Aren

BIOETANOL DARI DAGING BUAH AREN

RAHMI NURHIDAYAH

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Bioetanol dari
Daging Buah Aren adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013

Rahmi Nurhidayah
NIM E24080014

ABSTRAK
RAHMI NURHIDAYAH. Bioetanol dari Daging Buah Aren. Dibimbing oleh I
Nyoman Jaya Wistara.
Daging buah aren tua dapat digunakan sebagai alternatif bioetanol karena
merupakan sumber karbohidrat yang bukan menjadi sumber makanan utama.
Serbuk daging buah aren dihidrolisis secara enzimatis dan asam dengan
pemanasan autoclave dan microwave. Fermentasi gula pereduksi menggunakan
Saccharomyces cerevisiae pada konsentrasi 3%, 10%, dan 17% selama 24 jam,
48 jam, dan 72 jam. Berdasarkan hasil penelitian, efisiensi hidrolisis tertinggi
diperoleh dari hidrolisis asam dengan autoclave (92.52%). Selain itu, efisiensi
fermentasi tertinggi diperoleh dari hidrolisis enzim dengan pemanasan autoclave
dan fermentasi dengan S. cerevisiae 17% selama 24 jam (97.36%), serta rendemen
etanol tertinggi dari hidrolisis asam dengan pemanasan autoclave dan fermentasi
menggunakan S. cerevisiae 17% selama 72 jam (76.49%).
Kata kunci: Bioetanol, daging buah aren, hidrolisis, fermentasi, S. cerevisiae.

ABSTRACT


RAHMI NURHIDAYAH. Bioethanol from the Kernel of Sugar Palm.Supervised
by Nyoman J. Wistara.

It is paramount to develop bioethanol production based on the utilization of
less important carbohydrate based feedstock such as the sugar palm kernel. In the
present works, the kernel powder of sugar palm was hydrolyzed by enzymatic and
acidic procedures heated either by autoclaving or microwaving. Fermentation of
the resulting reducing sugars was then carried out by Saccharomyces cerevisiae at
the concentration of 3%, 10%, and 17% for 24, 48, and 72 hours. It was found that
the highest hydrolysis efficiency was by autoclaved acid hydrolysis (92.52%). On
the other hand, the highest fermentation efficiency was obtained by 24 hours
fermentation with a 17% S. cerevisiae of the resulting sugar from autoclaved
enzymatic hydrolysis (97.36%), and the highest ethanol yield was obtained from
autoclaved acid hydrolysis fermented for 72 hours with 17 % S. cerevisiae
(76.49%).
Key words: Bioethanol, sugar palm kernel, hydrolysis, fermentation, S. cerevisiae.

BIOETANOL DARI DAGING BUAH AREN


RAHMI NURHIDAYAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Bioetanol dari Daging Buah Aren
Nama
: Rahmi Nurhidayah
NIM
: E24080014


Disetujui oleh

I Nyoman J. Wistara, Ph. D
Pembimbing

an Dannawan M. Sc
........===:::;&l',;,v ua Departemen

TanggaI Lulus:

JUL 201

Judul Skripsi : Bioetanol dari Daging Buah Aren
Nama
: Rahmi Nurhidayah
NIM
: E24080014

Disetujui oleh


I Nyoman J. Wistara, Ph. D
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M. Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga dapat
menyelesaikan penelitian dan menyusun karya ilmiah dengan judul “ Bioetanol
dari Daging Buah Aren” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutan Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2012 sampai Mei 2013 di
Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Laboratorium Analisis Makanan dan Kimia
Departemen Gizi Masyarakat, Laboratorium Bersama Hasil Hutan Fakultas
Kehutanan, dan Laboratorium Teknologi Kimia Departemen Teknologi Industri

Pertanian IPB.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak I Nyoman J. Wistara, Ph.D
yang selalu memberikan bimbingan serta masukan selama penelitian hingga
skripsi ini selesai, kepada kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberikan
doa dan dukungan selama penyelesaian tugas akhir ini, serta kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga segala kritik
dan saran yang membangun penulis harapkan dan terima dengan senang hati.
Semoga penyusunan skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.

Bogor, Juli 2013
Rahmi Nurhidayah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

PENDAHULUAN

1

METODE

2

Penelitian Pendahuluan

2

Perlakuan Awal Buah Aren

2

Pengukuran Aktivitas Enzim


3

Penentuan Konsentrasi Enzim

3

Proses Hidrolisis dan Fermentasi

3

Pengujian Hasil dan Perhitungan Rendemen

4

Prosedur Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN


5

Karakteristik Bahan

5

Karakteristik Enzim

6

Efisiensi Hidrolisis

7

Efisiensi Fermentasi

9

Rendemen Etanol
SIMPULAN DAN SARAN


11
12

Simpulan

12

Saran

13

DAFTAR PUSTAKA

13

RIWAYAT HIDUP

17


DAFTAR TABEL
1 Rendemen etanol berdasarkan hasil etanol terhadap kadar karbohidrat
kolang-kaling (%, w/w)

11

2 Rendemen etanol berdasarkan hasil etanol terhadap berat kering serbuk
kolang-kaling (%, w/w)

12

DAFTAR GAMBAR
1 Aktivitas enzim amilase dan glukoamilase optimum pada (a) variabel
suhu dan (b) variabel pH

6

2 Nilai efisiensi hidrolisis untuk (a) aktivitas enzim amylase dan (b)
aktivitas enzim glukoamylase pada serbuk kolang-kaling

7

3 Efisiensi konversi karbohidrat menjadi glukosa (efisiensi hidrolisis)
dengan katalis asam dan enzim serta menggunakan autoclave dan
microwave

8

4 Efisiensi fermentasi dari pemanfaatan glukosa oleh S. cerevisiae

10

PENDAHULUAN
Pemerintah mencanangkan 6.40 juta ha lahan disediakan untuk ditanami
tanaman penghasil biofuel pada tahun 2005-2015 (Efendi 2010). Aren adalah
salah satu tanaman biofuel potensial untuk dikembangkan. Tanaman aren
merupakan jenis tanaman palma yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia, dan
banyak tumbuh tersebar hampir di seluruh bagian wilayah Indonesia, diantaranya
Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Tanaman aren juga
dapat tumbuh di beberapa negara Asia Tenggara lainnya (Filipina, Malaysia, Laos,
Kamboja, Vietnam, dan Thailand) serta Asia Selatan (India dan Srilangka)
(Muhaemin 2012).
Hampir seluruh bagian tanaman aren dapat dimanfaatkan, misalnya
pemanfaatan ijuk untuk tali dan keperluan rumah tangga, nira untuk gula semut
dan arak, serta daging buah untuk dikonsumsi. Tanaman aren mulai berproduksi/
berbuah sejak umur 5 tahun, dan masa produktifnya sekitar 5-8 tahun (Dinas
Kehutanan Provinsi Jawa Tengah 2010). Selain memiliki nilai ekonomi, tanaman
aren juga memiliki nilai konservasi. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Jawa
Tengah (2010), sistem perakaran tanaman aren berfungsi untuk mencegah erosi
dan mengikat air.
Nira aren saat ini disukai untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol
karena telah berbentuk gula sederhana. Potensi nira aren sebagai sumber bahan
baku bioetanol dapat mendorong pengembangan budidaya aren, sehingga
menyebabkan ketersediaan kolang-kaling juga melimpah dan mungkin dapat
menjadi limbah karena pemanfaatannya yang hanya sebagai makanan pelengkap
dan terbatas. Ketersediaan yang melimpah ini menjadikan kolang-kaling
berpotensi sebagai sumber alternatif bioetanol. Sementara itu, kendala yang
dihadapi saat ini masih belum banyak dilakukannya budidaya aren. Pertumbuhan
tanaman aren masih secara liar, meskipun sudah dicanangkan pembudidayaan
tanaman penghasil biofuel.
Bioetanol merupakan salah satu bioenergi yang dapat dimanfaatkan untuk
bahan bakar, berbentuk senyawa alkohol, hasil fermentasi gula atau pemecahan
pati dan selulosa. Menurut Dodic et al. (2009), bioetanol memiliki bilangan oktan
tinggi dan menghasilkan panas lebih tinggi untuk penguapan, sehingga dapat
digunakan sebagai campuran bensin. Bioetanol sebagai bahan bakar bersifat lebih
ramah lingkungan dibandingkan bensin, karena emisi yang dihasilkan sangat kecil
(Demirbas T & Demirbas A 2010). Bioetanol juga dapat dimanfaatkan sebagai
bahan tambahan di industri minyak wangi dan kosmetik, serta pelarut beberapa
bahan kimia.
Pengembangan bioetanol saat ini sudah banyak dilakukan di beberapa
Negara, terlihat dari banyaknya penelitian untuk berbagai bahan dengan metode
yang berbeda-beda untuk memperoleh hasil dan proses optimum, termasuk di
Indonesia. Kelemahan yang hingga saat ini masih dimiliki bioetanol yaitu biaya
produksinya masih lebih tinggi dari biaya produksi bensin (Nguyen & Prince
1996). Optimalisasi proses pembentukan bioetanol perlu dilakukan untuk
mengatasi tingginya biaya produksi tersebut. Saifuddin dan Hussain (2011)
menyatakan bahwa tahapan hidrolisis merupakan faktor kunci dari proses
konversi pati menjadi etanol. Hal tersebut kemungkinan terjadi pula pada selulosa.

2
Shanavas et al. (2011) dalam penelitiannya juga mencari kondisi optimum
aktivitas enzim untuk produksi bioetanol dari pati singkong.
Sumber alternatif bioetanol dapat berbentuk pati, selulosa, atau gula
sederhana. Bahan yang berupa pati atau selulosa, sebelum difermentasi perlu
dikonversi menjadi gula sederhana, atau disebut hidrolisis. Proses hidrolisis sering
dimodifikasi dalam proses pemanasannya, untuk mendapatkan hasil dan proses
yang lebih optimum dibandingkan dengan proses konvensional. Menurut
Nitayavardhana et al. (2009), kelemahan proses konvensional yaitu diperlukannya
konsentrasi enzim yang tinggi, waktu fermentasi yang lama, dan kadar etanol
yang dihasilkan rendah. Adapun beberapa modifikasi prahidrolisis yang telah
digunakan yaitu pemanfaatan ultrasonik pada singkong (Nitayavardhana et al.
2009) dan biji jagung (Nikolic et al. 2010), penggunaan microwave pada pati sagu
(Saifuddin dan Hussain 2011) dan ampas sorgum (Choudhary et al. 2012), serta
penggunaan microwave pada kombinasi hidrolisis asam dan enzim untuk bahan
lignoselulosa (El-Zawawy et al. 2011).
Banyak jenis katalis yang dapat digunakan dalam proses hidrolisis, seperti
enzim, asam, dan basa. Pemilihan jenis enzim tergantung dari senyawa yang akan
dipecah karena kinerja enzim yang spesifik terhadap senyawa tertentu, sedangkan
untuk katalis asam tidak tergantung pada senyawa yang dipecahnya. Penggunaan
jenis asam tidak memberikan pengaruh nyata terhadap gula pereduksi yang
dihasilkan, karena asam memecah substrat secara acak (Putri dan Sukandar 2008).
Penelitian mengenai “Bioetanol dari Daging Buah Aren” bertujuan untuk
mengetahui potensi kolang-kaling sebagai sumber alternatif bioetanol. Potensi
tersebut dilihat dari nilai gula pereduksi dan etanol yang dihasilkan. Pemanfaatan
kolang-kaling sebagai alternatif bioetanol diharapkan dapat lebih meningkatkan
nilai ekonomi tanaman aren serta sumber bioetanol menjadi lebih beragam dan
dapat menjadi bahan substitusi apabila mengalami penurunan ketersediaan sumber
bioetanol. Keberagaman sumber bahan baku bioetanol ini dapat mencegah
pelonjakan harga bahan.

METODE
Penelitian Pendahuluan
Perlakuan Awal Buah Aren
Daging buah aren tua (kulit berwarna hijau kusam serta kolang-kaling
berwarna putih dan keras), sekitar umur 2 tahun, dipisahkan dari kulitnya
menggunakan golok. Kolang-kaling diiris halus menggunakan pisau dan dibuat
serbuk berukuran 40-60 mesh menggunakan blender dan willey mill.
Kandungan karbohidrat kolang-kaling dianalisis menggunakan metode Luff
Schrool. Larutan kolang-kaling dalam HCl 3% dipanaskan selama 3 jam.
Kemudian dinetralkan dengan NaOH 30% dan indikator PP. Larutan sebanyak 10
ml ditambahkan 25 ml larutan luff, 15 ml akuades, dan dipanaskan selama 10
menit. Setelah dingin larutan ditambahkan 15 ml KI 20%, 25 ml H2SO4 25%, dan
dititrasi menggunakan Na-thiosulfat 0.1 N. Pada titik akhir titrasi ditambahkan
indikator pati 0,5%. Perlakuan yang sama dilakukan untuk blanko, dan kadar
glukosa diketahui dengan melihat tabel konversi dari selisih volume Na-thiosulfat

3
pada blanko dengan sampel. Kadar glukosa tersebut dapat digunakan untuk
menentukan kadar karbohidrat dalam kolang-kaling.
Pengukuran Aktivitas Enzim
Aktifitas enzim α-amilase dan glukoamilase ditentukan sebelum
dipergunakan untuk memecah molekul karbohidrat atau pati. Aktifitas enzim
ditentukan pada suhu 60-90oC dan pH 4-6. Variasi suhu dan pH dalam
menentukan aktifitas enzim ditujukan untuk mengetahui kondisi yang
menghasilkan aktifitas enzim optimum.
Penentuan Konsentrasi Enzim
Penggunaan konsentrasi enzim untuk setiap bahan berbeda, tergantung
kadar karbohidrat dan komposisinya pada bahan. Penentuan konsentrasi enzim
amilase yang optimum dilakukan dengan pembentukan larutan kolang-kaling
dalam buffer fosfat 50 mM pH 6. Larutan dipanaskan dengan autoclave pada suhu
121oC selama 30 menit. Enzim amilase ditambahkan pada konsentrasi 12, 48, 96,
dan 144 U/g serta dipanaskan dalam waterbath shaker pada suhu 80oC selama 3
jam. Hasil hidrolisis dengan amilase diukur glukosanya menggunakan 6505 UV/
Vis. Spectrophotometer dengan pereaksi DNS.
Konsentrasi amilase dengan glukosa tertinggi digunakan untuk menentukan
konsentrasi enzim glukoamilase. Larutan diatur hingga pH 5, ditambahkan
glukoamilase dan dipanaskan pada suhu 50oC selama 48 jam. Konsentrasi
glukoamilase yang digunakan yaitu 1.2, 6, 12, dan 18 U/g. Konsentrasi amilase
dan glukoamilase yang memberikan nilai glukosa tertinggi digunakan dalam
proses hidrolisis.
Proses Hidrolisis dan Fermentasi
Hidrolisis kolang-kaling dilakukan secara enzimatis dan asam. Serbuk
kolang-kaling ditambahkan buffer fosfat 50 mM sehingga terbentuk larutan pada
konsentrasi 10% w/v (berat kering serbuk) (Shanavas et al. 2011; Saifuddin &
Hussain 2011). Larutan ditepatkan pada pH 6 serta dipanaskan dengan autoclave
pada suhu 121oC selama 30 menit dan microwave SHARP tipe R-348 pada daya
50% (500 watt) selama 3 menit. Enzim amilase ditambahkan pada konsentrasi 144
U/g dan diinkubasi pada waterbath shaker dengan suhu 80oC selama 3 jam. Suhu
diturunkan hingga 50oC dan pH diatur hingga 5 untuk penambahan enzim
glukoamilase pada konsentrasi 6 U/g, kemudian diinkubasi kembali selama 48
jam. Proses hidrolisis asam menggunakan pelarut HCl 3% dengan pemanasan
autoclave dan microwave pada kondisi yang sama dengan hidrolisis enzim.
Semua perlakuan hidrolisis ini dibuat menjadi faktor metode hidrolisis, yaitu
hidrolisis asam-autoclave (AO), asam-microwave (AM), enzim- autoclave (EO),
dan enzim- microwave (EM)
Filtrat hasil hidrolisis diatur pada pH 5.5 menggunakan NaOH dan masingmasing sampel diambil 50 ml untuk difermentasi menggunakan inokulum
Saccharomyces cerevisiae. Pada filtrat ditambahkan NPK (0.04 %, w/v) dan ZA
(0.15 %, w/v) sebagai nutrisi pertumbuhan S. cerevisiae. Sebelum penambahan S.
cerevisiae, seluruh media fermentasi disterilkan dalam autoclave. Inokulum S.
cerevisiae ditambahkan pada konsentrasi 3%, 10%, dan 17% (v/v) yang dilakukan

4
dalam ruang laminar flow untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme lain.
Proses fermentasi dilakukan dengan variabel waktu 24, 48, dan 72 jam dalam
shaker pada suhu ruang. Setelah inkubasi, media dipanaskan dalam air mendidih
selama 5 menit untuk mendormankan kerja S. cerevisiae dan disimpan dalam
lemari pendingin pada suhu 0-4oC.
Pengujian Hasil dan Perhitungan Rendemen
Pengujian dilakukan untuk pengukuran kadar gula pereduksi dengan metode
3.5-dinitrosalisilat (DNS) menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 540 nm dan kadar etanol. Kadar etanol ditentukan dengan
memasukkan 1 µl sampel ke dalam GC-2014 Shimadzu AOC-20i (kromatografi
gas). GC tersebut menggunakan kolom RTX WAX pada suhu 150oC, suhu
injector 180oC, suhu detector 200oC, tekanan injeksi 84.6 kPa, colomn flow 0.65
ml/menit, dan total flow 55.5 ml/menit. Etanol akan terdeteksi pada waktu retensi
3.3-3.5 menit. Kadar etanol ditentukan menggunakan kurva standar sebagai
nisbah luas area kromatogram etanol dengan konsentrasi standar sampel yang
dimasukkan. Standar dibuat pada konsentrasi 0, 0.02, 0.04, 0.06, 0.1, 0.2, 0.5, 0.8,
dan 1.2 % (v/v).
Dari hasil analisis tersebut, maka dapat ditentukan efisiensi hidrolisis,
efisiensi fermentasi, dan rendemen etanol secara teoritis sebagai berikut:
Efisiensi hidrolisis (%) =

x 100

Ef. fermentasi (%) =

x100

Rendemen etanol (%) =



x 100



x 100

atau
Rendemen etanol (%) =

(Ket. 1.111 adalah faktor konversi menjadi glukosa, 0.51 merupakan faktor
konversi menjadi etanol dan BJ etanol dalam kondisi standar yaitu 0.789 g/mL).
Prosedur Analisis Data
Data hasil gula pereduksi, kadar etanol, rendemen etanol dan konversi pati
menjadi etanol diolah dengan menggunakan SPSS 16.0 for Windows dengan uji
lanjut Duncan. Adapun data rendemen etanol dianalisis menggunakan rancangan
faktorial berblok dengan 2 kali ulangan. Model matematisnya yaitu sebagai
berikut:
Yijkl = µ + ai + bj + ck + (bc)jk + εijkl

5
Keterangan
Yijkl = Nilai respon pada blok ke-i metode hidrolisis, taraf ke-j konsentrasi S.
cerevisiae, dan taraf ke-k waktu fermentasi pada ulangan ke-l
µ
= Nilai tengah populasi (rata-rata yang sebenarnya)
ai
= Pengaruh penggunaan blok-i dari metode hidrolisis (i = asam-autoclave,
asam-microwave, enzim- autoclave, enzim- microwave)
bj
= Pengaruh penambahan taraf ke-j dari konsentrasi S. cerevisiae ( j = 3%,
10%, dan 17%)
ck
= Pengaruh penambahan taraf ke-k dari waktu fermentasi ( k = 24 jam, 48
jam, dan 72 jam)
(bc)jk = Pengaruh interaksi konsentrsi S. cerevisiae dan waktu fermentasi antara
taraf ke-j dan taraf ke-k
εijk
= Pengaruh galat dari ulangan ke-l yang memperoleh perlakuan metode
hidrolisis ke-i, konsentrasi S. cerevisiae ke-j, dan waktu fermentasi ke-l

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu serbuk kolang-kaling dari
daging buah aren (Arenga pinnata Merr) tua. Pembuatan serbuk kolang-kaling
bertujuan memudahkan proses hidrolisis. Semakin kecil ukuran serbuk, luas
permukaan kontak dengan katalis (asam/ enzim) akan semakin besar. Jiping et al.
(2007) juga mengatakan bahwa granular pati yang kecil lebih cepat dihidrolisis
karena area permukaannya lebih luas.
Bahan yang berbentuk serbuk memiliki sifat kimia yang berbeda dengan
pati. Serbuk memiliki matriks yang lebih komplek dibandingkan pati. Dalam
serbuk banyak mengandung senyawa lain, misalnya serat, dan memiliki
kandungan amilosa yang lebih rendah (Adinoyl et al. 2012). Kolang-kaling
merupakan suatu bahan yang kaya akan karbohidrat, namun tidak hanya satu jenis,
yaitu ada bentuk pati dan serat (serat pangan dan serat kasar) (Yasni 1982; Alim
2002).
Kandungan karbohidrat total (pati, serat, dan gula sederhana) kolang-kaling
yang diperoleh yaitu 45.40% (b/b, kering tanur). Nilai ini lebih tinggi
dibandingkan hasil penelitian Yasni (1982) dengan metode Anthrone, yang yang
hanya mengandung pati dan gula sederhana sebesar 32.38% (b/b, kering tanur).
Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena perbedaan umur, tempat tumbuh, dan
metode pengujian.
Karakteristik kolang-kaling tua secara visual bentuknya sama dengan
kolang-kaling muda, tetapi lebih padat, warnanya lebih putih, sangat keras dan
kadar airnya lebih rendah dari kolang-kaling muda, yaitu 166.63% (terhadap berat
kering) atau sekitar 62.49% (terhadap berat awal). Kadar air kolang-kaling muda
sangat tinggi, yaitu sekitar 96.88 % (berat awal). Rendemen yang dihasilkan dari
buah menjadi kolang-kaling yaitu sekitar 13.54%.

6
Karakteristik Enzim
Enzim merupakan salah satu katalis yang bersifat spesifik dalam
menguraikan bahan tertentu. Enzim yang digunakan dalam hidrolisis kolangkaling adalah enzim amilase dan glukoamilase. Amilase hanya dapat memecah
rantai lurus glukosa secara acak menjadi rantai glukosa yang lebih pendek,
sedangkan rantai cabang glukosa dan oligosakarida hasil pemecahan amilase
dipecah oleh glukoamilase dari ujung rantai oligosakarida menjadi glukosa.

Aktivitas enzim
(U/ml)

200
154,91

150
111,82

100

122,97

114,65

Amilase

35,11

50

31,12

Glukoamilase

30,62

0
0

20

40
60
o
Suhu ( C)

80

100

(a)

Aktivitas enzim
(U/ml)

200
152,58

150
100

101,33

106,83
100,50

Amilase

32,78

Glukoamilase

34,86 42,60

50

32,95

0
0

2

4

6

8

10

pH

(b)
Gambar 1 Aktivitas enzim amilase dan glukoamilase optimum pada (a)
variable suhu dan (b) variabel pH
Berdasarkan hasil pengujian aktivitas enzim terhadap pati standar, amilase
memiliki suhu optimum 80oC dan pH 6 dengan aktivitas enzim 152.58 U/ml.
Kondisi tersebut tidak berbeda jauh dengan penelitian Kolusheva dan Marinova
(2007) yang memiliki suhu optimum amilase 90oC dan pH 7. Sedangkan suhu
optimum glukoamilase yaitu 50oC dan pH 5 dengan aktivitas enzim 42.60 U/ml.
Suhu dan pH optimum glukoamilase ini sesuai dengan penelitian Naiola (2006)
dan Risnoyatiningsih (2011), yaitu memiliki suhu optimum 40-60oC dan pH 4-6.
Aktivitas kedua enzim tersebut terbilang kecil dibandingkan dengan enzim yang
biasa digunakan dalam beberapa penelitian, karena enzim yang digunakan adalah
enzim teknis.
Kinerja enzim terhadap setiap bahan berbeda, tergantung dari kadar
karbohidrat dan komposisi senyawa lain, sehingga perlu dilakukan penentuan
konsentrasi optimum enzim dalam pemecahan substrat pada kondisi suhu dan pH
optimum. Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi optimum untuk pemecahan
karbohidrat kolang-kaling yaitu 144 U/g untuk enzim amilase dan 6 U/g untuk

7
enzim glukoamilase (Gambar 2). Konsentrasi tersebut digunakan untuk proses
hidrolisis dengan tujuan menghasilkan glukosa maksimum.
30

10
5
0
12

48

96

144

Efisiensi Hidrolisis
(%)

Efisiensi Hidrolisis
(%)

15

28
26
24
22

Konsentrasi Enzim (U/g)

1,2
6
12
18
Konsentrasi Enzim (U/g)

(a)
(b)
Gambar 2 Nilai efisiensi hidrolisis untuk (a) aktivitas enzim amylase dan (b)
aktivitas enzim glukoamylase pada serbuk kolang-kaling

Efisiensi Hidrolisis
Pati dan selulosa merupakan jenis polisakarida yang tersusun atas rantai
glukosa. Pati dan selulosa memiliki banyak ikatan hidrogen, sehingga sulit larut
dalam pelarut organik, sulit memperpanjang processability, fusibility, serta fungsi
dari selulosa dan pati (Kadokawa et al. 2009). Oleh sebab itu perlu proses
hidrolisis untuk menguraikan rantai glukosa tersebut. Proses hidrolisis merupakan
proses yang sangat penting, terutama dalam menghasilkan glukosa yang akan
diuraikan oleh S. cerevisiae menjadi etanol. Muljadi et al. (2009) menyebutkan
bahwa hidrolisis dapat dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya hidrolisis
murni (hanya menggunakan air), hidrolisis enzim, hidrolisis asam, hidrolisis basa,
dan hidrolisis fusion (penggunaan suhu tinggi, baik menggunakan air ataupun
tidak). Akan tetapi metode hidrolisis yang paling umum digunakan dalam proses
bioetanol dari bahan pati atau selulosa adalah hidrolisis enzim dan asam.
Hidrolisis enzim dan asam masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan. Enzim lebih disukai untuk proses hidrolisis dibanding jenis hidrolisis
lainnya, karena kerja enzim lebih spesifik dan selektif pada senyawa tertentu
sehingga dapat meningkatkan produk etanol dan mengurangi terbentuknya
senyawa lain yang dapat menghambat proses fermentasi. Hidrolisis enzim juga
dapat bekerja pada suhu rendah dan pH netral (Muljadi et al. 2009). Proses enzim
juga memiliki kelemahan yaitu memerlukan waktu yang lama, bekerja aktif pada
kondisi tertentu, serta memerlukan jenis enzim yang beragam untuk bahan yang
mengandung senyawa lebih dari satu. Bahan dengan kandungan senyawa yang
beragam terkadang menggunakan hidrolisis asam, karena dapat memecah
beberapa jenis senyawa secara bersamaan, serta memerlukan waktu yang lebih
cepat. Kelemahan hidrolisis asam yaitu dapat menghasilkan senyawa lain selain
gula pereduksi yang dapat menghambat proses fermentasi seperti HMF
(hidroximetil furfural) dan furfural.
Senyawa pati tersusun atas amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan
rantai lurus glukosa dari pati pada ikatan glikosidik α-(1,4), sedangkan
amilopektin merupakan rantai cabang glukosa dari senyawa pati dengan cabang
pada ikatan glikosidik α-(1,6). Senyawa amilopektin lebih mudah diuraikan

8
menjadi glukosa dibandingkan dengan amilosa (Sharma et al. 2010).
Kemungkinan hal tersebut karena amilopektin lebih bersifat amorf dibandingkan
amilosa, yang dapat dilihat dari seringnya penggunaan pati dengan kandungan
amilopektin tinggi untuk bahan yang memerlukan tingkat pengembangan
(swelling) yang tinggi. Pemecahan pati akan terjadi pada daerah amorf terlebih
dahulu sebelum memecah daerah kristalin (Jiping et al. 2007).
Proses hidrolisis umumnya dilakukan pada suhu tinggi, untuk lebih
memudahkan pemecahan pati. Dengan suhu tinggi, granula pati akan
mengembang atau tergelatinasi. Umumnya pati dapat tergelatinasi pada suhu
pemanasan sampai 95oC. Dengan adanya air, akan terjadi pembengkakan dan
pemecahan struktur granular pati (Zhang et al. 2012). Suhu gelatinasi pati dari
setiap bahan akan berbeda, tergantung dari senyawa lain dan komposisi antara
amilosa dengan amilopektin. Apabila bahan pati dipanaskan melebihi suhu
gelatinasinya, kemungkinan dapat merusak sebagian glukosa yang terbentuk.
Proses pemanasan dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya
secara konvensional (pemanasan langsung), autoclave, microwave, atau ultrasonik.
Penggunaan microwave dan ultrasonik memberikan hasil yang lebih baik pada
prahidrolisis untuk hidrolisis enzimatis, karena pemanasannya lebih merata,
dengan waktu lebih singkat. Penggunaan microwave, diantara keduanya,
memberikan peningkatan glukosa dan konsentrasi etanol lebih tinggi dibanding
ultrasonik (Nikolic et al. 2011). Microwave dapat membantu pelepasan pati dan
melarutkan bahan, sehingga menghasilkan gula yang lebih tinggi (Choudhary et al.
2012), serta dapat merusak struktur pati menjadi lebih amorf, dan lebih
memudahkan enzim memecah struktur pati (Saifuddin & Hussain 2011). Berbeda
dengan hasil penelitian, nilai kadar glukosa tertinggi justru diperoleh dengan
menggunakan autoclave (Gambar 3).
Konversi Karbohidrat
(%)

100

92,52
80

49,17

60
40
20

17,21

2,01

0
Asam - Otoklaf

Asam - Microwave

Enzim - Otoklaf Enzim - Microwave

Perlakuan

Gambar 3 Efisiensi konversi karbohidrat menjadi glukosa (efisiensi hidrolisis)
dengan katalis asam dan enzim serta pemanasan autoclave dan
microwave
Hidrolisis asam dengan pemanasan autoclave memberikan efisiensi
konversi menjadi glukosa (efisiensi hidrolisis) tertinggi yaitu 92.52%. Hidrolisis
asam dengan pemanasan microwave memiliki efisiensi hidrolisis terendah
(2.01%). Berdasarkan uji Anova pada tingkat kepercayaan 95% dan uji lanjut
Duncan, metode hidrolisis berpengaruh nyata terhadap efisiensi hidrolisis, dan
pengaruh metode hidrolisis berbeda nyata terhadap efisiensi hidrolisis untuk
semua metode.

9
Rendahnya konversi karbohidrat pada metode EO dan EM dimungkinkan
karena ada jenis karbohidrat lain selain pati, sedangkan rendahnya konversi
karbohidrat pada metode AM karena tidak ditentukannya waktu dan suhu yang
optimum. Waktu pemanasan microwave terlalu singkat, terutama untuk metode
AM, karena proses pemanasan berlangsung bersamaan dengan pemecahan
karbohidrat, sehingga struktur karbohidrat belum sempat terurai menjadi glukosa.
Peningkatan kondisi hidrolisis (konsentrasi asam, suhu, dan waktu) melebihi
kondisi optimum, dapat meningkatkan kandungan senyawa toxic, terutama pada
hidrolisis asam (Gupta et al. 2009). Konsentrasi asam terendah yang memberikan
kadar glukosa tertinggi digunakan, karena peningkatan konsentrasi asam tidak
berpengaruh nyata pada gula pereduksi yang dihasilkan (Hashem & Darwish
2010). Penggunaan asam pada konsentrasi tertentu juga akan berpengaruh pada
efektivitas biaya produksi gula (Iranmahboob et al. 2002).
Efisiensi Fermentasi
Bioetanol merupakan etanol atau etil alkohol yang diproduksi dari beberapa
biomassa yang mengandung sejumlah gula atau bahan yang dapat dikonversi
menjadi gula, seperti pati dan selulosa. Fermentasi adalah proses biokimia
berbentuk gula, seperti glukosa, fruktosa, dan sukrosa, dikonversi menjadi etanol
dan karbondioksida menggunakan khamir/ mikroorganisme. Glukosa dan fruktosa
adalah monosakarida dengan enam atom karbon (gula 6-C). Sukrosa termasuk
disakarida yang tersusun dari glukosa dan fruktosa yang saling berikatan,
sedangkan pati adalah polisakarida yang tersusun dari rantai panjang molekul
glukosa (Ruane et al. 2010).
Faktor pembatas utama dari aktivitas dan pertumbuhan S. cerevisiae yaitu
keterbatasan jumlah substrat (glukosa) yang tersedia (Shanavas et al. 2011). Jika
jumlah glukosa yang tersedia hingga akhir fermentasi mencukupi, pertumbuhan
sel akan kembali normal (Tibayrenc et al. 2011). Peningkatan konsentrasi S.
cerevisiae dapat meningkatkan konsentrasi etanol, selama jumlah kadar glukosa
mencukupi. Kinerja S. cerevisiae pada konsentrasi tertentu dengan waktu
fermentasi yang berbeda terhadap gula pereduksi dapat dilihat dari efisiensi
fermentasi. Efisiensi fermentasi yaitu banyaknya glukosa yang dimanfaatkan oleh
mikroorganisme untuk menghasilkan etanol dengan memperhitungkan kadar
glukosa sebelum dan setelah fermentasi (Su et al. 2010). Kadar glukosa sisa juga
dapat dihubungkan dengan pasokan ketersediaan nitrogen yang mempengaruhi
kapasitas konsumsi S. cerrevisiae (Gomez et al. 2011).
Metode hidrolisis EO dengan fermentasi S. cerevisiae 17% selama 24 jam
(EO1-S. cerevisiae 17%) memiliki efisiensi fermentasi tertinggi (97.36%). Waktu
fermentasi 24 jam merupakan waktu bagi S. cerevisiae untuk mulai menghasilkan
etanol, bahkan terkadang sudah dapat mencapai kadar etanol maksimum, dan
setelahnya peningkatan kadar etanol mengalami penurunan (Hashem & Darwish
2010).
Metode hidrolisis dan waktu fermentasi berpengaruh nyata terhadap
efisiensi fermentasi, sedangkan konsentrasi S. cerevisiae tidak berpengaruh nyata
(tingkat α = 95%). Interaksi antara konsentrasi S. cerevisiae dan waktu fermentasi
juga tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi fermentasi. Kombinasi masingmasing metode hidrolisis dan waktu yang sama tidak memberikan nilai efisiensi

10
120,00

Efisiensi Fermentasi
(%)

100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
Mikroba 3%

AO1

AO2

AO3

AM1

AM2

AM3

EO1

EO2

EO3

EM1

EM2

EM3

40,33 77,56 84,62 31,33 30,39 13,91 95,63 95,20 96,22 80,44 94,52 94,27

Mikroba 10% 33,39 78,74 84,86 37,49 37,03 17,01 97,23 95,19 95,40 82,47 94,27 96,09
Mikroba 17% 41,85 79,40 85,15 38,24 44,59 29,52 97,36 95,14 95,22 79,36 93,48 95,85

Keterangan: A = Hidrolisis asam, E = Hidrolisis enzim, O = Pemanasan autoclave, M =
pemanasan microwave, 1 = fermentasi 24 jam, 2 = 48 jam, 3 = 72 jam

Gambar 4 Efisiensi fermentasi dari pemanfaatan glukosa oleh S. cerevisiae
yang berbeda pada konsentrasi S. cerevisiae 3%, 10%, dan 17%, sehingga
konsentrasi 3% dapat menjadi konsentrasi terbaik (Singh & Bishnoi 2012), karena
memerlukan S. cerevisiae yang lebih sedikit. Uji lanjut Duncan untuk metode
hidrolisis memberikan hasil bahwa metode hidrolisis asam-autoclave berbeda
untuk semua metode hidrolisis lainnya, tetapi untuk hidrolisis enzim-microwave
tidak berbeda nyata dengan enzim-autoclave. Pengaruh waktu fermentasi 24 jam
berbeda nyata dengan 48 jam dan 72 jam, tetapi pengaruh waktu 48 jam tidak
berbeda nyata dengan 72 jam.
Hidrolisis AO dengan kadar glukosa tertinggi, tidak menghasilkan efisiensi
fermentasi tertinggi. Kemungkinan pada konsentrasi etanol tersebut aktivitas
S.cerevisiae sudah terganggu atau terhambat. Aktivitas S. cerevisiae dapat
terganggu oleh penumpukan etanol hingga konsentrasi tertentu (Stanley et al.
2010; Kasavi et al. 2012). Selain itu pada hidrolisis asam dapat terbentuk senyawa
lain yang menjadi inhibitor bagi pertumbuhan S. cerevisiae, seperti HMF, furfural,
dan asam asetik, terutama apabila waktunya terlalu lama. Senyawa-senyawa
tersebut yang kemungkinan terbaca pada saat pembacaan etanol dengan GC.
Senyawa-senyawa inhibitor tersebut sebagian terdapat pula pada hidrolisis EO,
tetapi tidak untuk hidrolisis EM.
Proses fermentasi terkadang dapat digabungkan dengan hidrolisis (secara
enzimatis), disebut metode Simultaneous Saccharification and Fermentation
(SSF), sehingga lebih mengefisiensikan waktu. Kelebihan metode SSF juga dapat
mengurangi penumpukan gula, terbentuknya pengotor, dan produk lain yang dapat
menghambat proses fermentasi (Santos et al. 2012). Pada proses SSF terkadang
ada perbedaan suhu dan pH optimum antara enzim untuk sakarifikasi dengan
mikroorganisme untuk fermentasi. S. cerevisiae memerlukan suhu antara 27-42oC
(suhu ruang) dan pH 5.5-7 untuk dapat bekerja dalam tahap fermentasi (Jamai et
al. 2007), sementara suhu optimum untuk tahapan sakarifikasi umumnya sekitar
55 – 60oC (Nikolic et al. 2010).

11
Rendemen Etanol
Secara keseluruhan proses bioetanol dapat dinilai dari rendemen etanol, baik
terhadap kadar karbohidrat maupun terhadap berat kolang-kaling. Rendemen
etanol yaitu efisiensi produksi total secara teoritis dengan memperhitungkan
etanol yang dihasilkan terhadap bahan. Rendemen etanol tertinggi terhadap kadar
karbohidrat dalam kolang-kaling yaitu pada metode hidrolisis AO dengan
fermentasi S. cerevisiae 17% selama 72 jam (76.49%). Metode hidrolisis dan
waktu fermentasi berpengaruh nyata terhadap rendemen etanol, tetapi tidak untuk
konsentrasi S. cerevisiae (tingkat α = 95%) dan interaksi antara konsentrasi S.
cerevisiae dan waktu fermentasi. Dengan uji lanjut Duncan, metode hidrolisis
memberikan hasil bahwa metode hidrolisis asam-autoclave berbeda untuk semua
metode hidrolisis lainnya, tetapi untuk hidrolisis enzim-microwave tidak berbeda
nyata dengan enzim-autoclave. Pengaruh waktu fermentasi 24 jam berbeda nyata
dengan 48 jam dan 72 jam, tetapi pengaruh waktu 48 jam tidak berbeda nyata
dengan 72 jam.
Tabel 1 Rendemen etanol berdasarkan hasil etanol terhadap kadar karbohidrat
kolang-kaling (%, w/w)
S. cerevisiae
(%)
3

10

Fermentasi
(jam)

Perlakuan
AO

AM

EO

EM

24

13.34

0.76

31.61

22.35

48

42.50

0.95

26.49

22.73

72

67.74

0.62

21.16

24.82

24

24.67

3.72

31.86

24.53

48

59.19

2.79

28.54

23.32

72

67.54

3.04

25.75

26.77

24

28.76

6.16

35.33

26.52

17

48
61.30
4.83
29.36
26.03
72
5.48
30.10
28.01
76.49
Keterangan: AO = Hidrolisis asam-autoclave, AM = Hidrolisis asam-microwave, EO =
Hidrolisis enzim- autoclave, dan EM = Hidrolisis enzim-microwave

Rendemen etanol terhadap berat serbuk kolang-kaling dihitung karena
selama proses penelitian digunakan serbuk kolang-kaling, tanpa adanya ekstraksi
pati. Dengan proses ekstraksi, hanya pati yang dipecah menjadi glukosa,
sementara diperkirakan ada jenis karbohidrat lain yang dapat menghasilkan
glukosa. Selain itu, pada penelitian pendahuluan, nilai kadar glukosa untuk
ekstraksi pati lebih rendah dibandingkan kadar glukosa dari serbuk kolang-kaling.
Peningkatan konsentrasi S. cerevisiae dan waktu fermentasi untuk hidrolisis
AO cenderung meningkatkan rendemen etanol, meskipun peningkatan konsentrasi
S. cerevisiae tidak berpengaruh nyata, yang bererbeda dengan hidrolisis lainnya.
Hal tersebut dimungkinkan karena jumlah kadar glukosa yang tersedia dari
hidrolisis asam-autoclave mencukupi. Perlakuan dengan nilai efisiensi fermentasi
tertinggi di sini berbeda dengan perlakuan yang memiliki rendemen etanol
tertinggi. Perbedaan proses perhitungan dapat mempengaruhi nilai-nilai tersebut,
karena untuk efisiensi fermentasi memperhitungkan glukosa yang dimanfaatkan,
sedangkan rendemen etanol memperhitungkan etanol yang dihasilkan.
Kemungkinan lainnya untuk efisiensi fermentasi tertinggi, tidak semua glukosa

12
Tabel 2 Rendemen etanol berdasarkan hasil etanol terhadap berat kering serbuk
kolang-kaling (%, w/w)
S. cerevisiae
(%)
3

10

Fermentasi
(jam)

Perlakuan

24

AO
6.05

AM
0.35

EO
14.35

EM
10.15

48

19.30

0.43

12.03

10.32

72

30.75

0.28

9.61

11.27

24

11.20

1.69

14.46

11.14

48

26.87

1.27

12.96

10.59

72

30.66

1.38

11.69

12.16

24

13.06

2.80

16.04

12.04

17

48
27.83
2.19
13.33
11.82
72
2.49
13.67
12.72
34.73
Keterangan: AO = Hidrolisis asam-autoclave, AM = Hidrolisis asam-microwave, EO =
Hidrolisis enzim- autoclave, dan EM = Hidrolisis enzim-microwave

dikonversi menjadi etanol, tetapi lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan sel
S. cerevisiae.
Rendemen etanol yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga volume
etanol yang dihasilkan dari setiap pohon. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah
(2010) menyebutkan bahwa tanaman aren dapat memproduksi sekitar 50 kg
kolang-kaling dalam setiap panen. Massa kolang-kaling tersebut apabila dengan
memperhitungkan kadar air 62.38% (b/b, kering tanur), pada rendemen tertinggi
dapat menghasilkan etanol sekitar 8.28 l setiap pohon dalam sekali panen.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Daging buah aren atau kolang-kaling berpotensi sebagai alternatif sumber
bioetanol. Metode hidrolisis asam dengan pemanasan autoclave memberikan
kadar glukosa tertinggi. Sedangkan hidrolisis asam dengan pemanasan microwave
menghasilkan kadar glukosa terendah, karena waktu pemanasan microwave ini
terlalu singkat. Kadar glukosa yang dihasilkan tersebut mempengaruhi proses
fermentasi dan kadar etanol yang dihasilkan.
Hidrolisis asam dengan pemanasan autoclave merupakan perlakuan terbaik
dengan efisiensi hidrolisis tertinggi, sehingga menghasilkan rendemen etanol yang
tinggi. Metode yang memiliki efisiensi fermentasi tertinggi berbeda dengan
rendemen etanol tertinggi, karena efisiensi fermentasi diperhitungkan dari jumlah
glukosa yang dimanfaatkan S. cerevisiae sedangkan rendemen etanol dari jumlah
etanol yang dihasilkan. Kemungkinan untuk efisiensi fermentasi tertinggi, glukosa
yang dikonversi menjadi etanol lebih sedikit, tetapi lebih banyak digunakan untuk
pertumbuhan sel S. cerevisiae.

13
Saran
Penelitian mengenai bioetanol dari daging buah aren belum ada sebelumnya.
Penelitian ini masih perlu diadakan penelitian lanjutan, terutama untuk penentuan
waktu optimum dalam penggunaan microwave dan penggunaan jenis
mikroorganisme lain. Penggunaan parameter lain juga diperlukan untuk menilai
setiap proses, seperti pertimbangan limbah dan biaya.

DAFTAR PUSTAKA
Adinoyl EH, Oti E, Sanchez T, Majekodunmi OR, Solomon AO, Ikpeama A.
2012. Effect of variety and influence of starch-hydrolyzing enzyme and
yeast on the yield of ethanol generated from sweetpotato flour and starches.
Adv Appl Sci Res. 3(5):2774-2778.
Alim KY. 2002. Mempelajari pembuatan dan daya terima es krim kolang-kaling
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Choudhary R, Umagiliyage AL, Liang Y, Siddaramu T, Haddock J, Markevicius
G. 2012. Microwave pretreatment for enzymatic saccharification of sweet
sorghum
bagasse.
Biomass
and
Bioenergy.
39:218-226.
doi:10.1016/j.biombioe.2012.01.006.
Demirbas T, Demirbas AH. 2010. Bioenergy, green energy, biomass and biofuels.
Energy Sources. Part A. 32:1067-1075. doi: 10.1080/15567030903058600.
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. 2010. Budidaya dan pengembangan
tanaman Aren [Internet]. [diunduh 2012 Mei 12]. Tersedia pada:
http://epetani.deptan.go.id/budidaya/budidaya-dan-pengembangantanaman-aren-3703.
Dodic S, Popov S, Dodic J, Rankovic J, Zavargo Z, Mucibacic RJ. 2009.
Bioethanol production from thick juice as intermediate of sugar beet
processing.
Biomass
and
Bioenergy.
33:822-827.
doi:10.1016/j.biombioe.2009.01.002.
Efendi DS. 2010. Prospek pengembangan tanaman aren (Arenga pinnata Merr)
mendukung kebutuhan bioetanol di Indonesia. Perspektif. 9(1):36-46.
El-Zawawy WK, Ibrahim MM, Abdel-Fattah YR, Soliman NA, Mahmoud MM.
2011. Acid and enzymes hydrolysis to convert pretreated lignocellulosic
materials into glucose for ethanol production. Carbohydrate Polymers.
84:865-871. doi:10.1016/j.carbpol.2010.12.022.
Gomez FJD, Hernandez CC, Carrillo EP, Rooney WL, Saldivar SOS. 2011.
Evaluation of bioethanol production from five different varieties of sweet
and forage sorghums (Sorghum bicolor (L) Moench). Industrial Crops and
Products. 33:611-616. doi:10.1016/j.indcrop.2010.12.022.
Gupta R, Sharma KK, Kuhad RC. 2009. Separate hydrolysis and fermentation
(SHF) of Prosopis julifora, a wood substrate, for the production of
cellulosic ethanol by Saccharomyces cerevisiae and Pichia stipitis-NCIM
3498.
Bioresour
Technol.
100:1214-1220.
doi:10.1016/j.biortech.2008.08.033.

14
Hashem M, Darwish SMI. 2010. Production of bioethanol and associated byproducts from potato starch residue stream by Saccharomyces cerevisiae.
Biomass and Bioenergy. 34:953-959. doi:10.1016/j.biombioe.2010.02.003.
Iranmahboob J, Nadim F, Monemi S. 2002. Optimizing acid-hydrolysis: a critical
step for production of ethanol from mixed wood chips. Biomass and
Bioenergy. 22:401-404.
Jamai L, Ettayebi K, Yamani JE, Ettayebi M. 2007. Production of ethanol from
starch by free and immobilized Candida tropicalis in the presence of αamylase.
Bioresour
Technol.
98:2765-2770.
doi:10.1016/j.biortech.2006.09.057.
Jiping P, Shujun W, Jinglin Y, Hongyan L, Jiugao Y, Wenyuan G. 2007.
Comparative studies on morphological and crystalline properties of B-type
and C-type starches by acid hydrolysis. Food Chem. 105: 989-995.
doi:10.1016/j.foodchem.2007.04.053.
Kadokawa JI, Murakami MA, Takegawa A, Kaneko Y. 2009. Preparation of
cellulose – starch composite gel and fibrous material from a mixture of the
polysaccharides in ionic liquid. Carbohydrate Polymers. 75:180-183.
doi:10.1016/j.carbpol.2008.07.021.
Kasavi C, Finore I, Lama L, Nicolaus B, Oliver SG, Oner ET, Kirdar B. 2012.
Evaluation of industrial Saccharomyces cerevisiae strains for ethanol
production from biomass. Biomass and Bioenergy. 45:230-238.
Kolusheva T, Marinova A. 2007. A study the optimal conditions for starch
hydrolysis through thermostable α-amylase. Journal of the University of
Chemical Technology and Metallurgy. 42 (1):93-96.
Muhaemin. 2012. Budidaya aren (Arenga saccharifera Labill. Syn. A. Pinnata
(Wurmb.) Merr) [Internet]. [diunduh 2012 September 27]. Tersedia pada:
http://ditjenbun.deptan.go.id/budtanan/images/stories/pdf/budidaya_aren.p
df.
Muljadi E, Billah M, Karaman N. 2012. Proses produksi bioetanol berbasis
singkong. Di dalam: Muljadi E, Billah M, Karaman N, editor.
Implementasi Teknologi Informasi dalam pengembangan industri pangan,
kimia dan manufaktur; 2009 Nopember 25; Surabaya, Indonesia. Surabaya
(ID): Fakultas Teknik Industri & LPPM UPN “Veteran” Jawa Timur;
[diunduh
2012
Agustus
27].
Tersedia
pada:
http://eprints.upnjatim.ac.id/id/eprint/1358.
Naiola E. 2006. Karakterisasi enzim kasar glukoamilase dari Saccharomycopsis sp.
[Characterization of crude glucoamylase from Saccharomycopsis sp.].
Berita Biologi. 8 (3):187-192.
Nguyen MH, Prince RGH. 1996. A simple rule for bioenergy conversion plant
size optimisation: bioethanol from sugar cane and sweet sorghum. Biomass
and Bioenergy. 10(516):361-365.
Nikolic S, Mojovic L, Rakin M, Dusanka P, Pejin J. 2010. Ultrasound-assisted
production of bioethanol by simultaneous saccharification and
fermentation
of
corn
meal.
Food
Chem.
122:216-222.
doi:10.1016/j.foodchem.2010.02.063.
Nikolic S, Mojovic L, Rakin M, Dusanka P, Pejin J. 2011. Utilization of
microwave and ultrasound pretreatments in the production of bioethanol
from corn. Clean Techn Environ Policy. 13:587-594.

15
Nitayavardhana S, Shrestha P, Rasmussen ML, Lamsal BP, Leeuwen JHV,
Khanal SK. 2009. Ultrasound improved ethanol fermentation from cassava
chips in cassava-based ethanol plants. Bioresour Technol. 101:2741-2747.
doi:10.1016/j.biortech.2009.10.075.
Putri LS, Sukandar D. 2008. Konversi pati ganyong (Canna edulis Ker.) menjadi
bioetanol melalui hidrolisis asam dan fermentasi. Biodiversitas. 9 (2): 112116.
Puturuhu F, Riry J, Ngingi AJ. 2011. Kondisi fisik lahan tanaman Aren (Arenga
pinnata L.) di Desa Tuhaha Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku
Tengah. Jurnal Budidaya Pertanian. 7 (2):94-99.
Risnoyatiningsih S. 2011. Hydrolysis of starch Saccharides from sweet potatoes
using enzyme (Hidrolisis pati ubi jalar kuning menjadi glukosa secara
enzimatis). Jurnal Teknik Kimia. 5 (2):417-424.
Ruane J, Sonnino A, Agostini A. 2010. Bioenergy and the potential contribution
of agricultural biotechnologies in developing countries. Biomass and
Bioenergy. 34:1427-1439. doi:10.1016/j.biombioe.2010.04.011.
Saifuddin N, Hussain R. 2011. Microwave assisted bioethanol production from
sago starch by co-culturing of ragi tapai and saccharomyces cerevisiae. J
Math & Stat. 7(3):198-206.
Santos JRA, Lucena MS, Gusmao NB, Gouveia ER. 2012. Optimization of
ethanol production by Saccharomyces cerevisiae UFPEDA 1238 in
simultaneous saccharification and fermentation of delignified sugarcane
bagasse.
Industrial
Crops
and
Products.
36:584-588.
doi:10.1016/j.indcrop.2011.10.002.
Shanavas S, Padmaja G, Moorthy SN, Sajeev MS, Sheriff JT. 2011. Process
optimization for bioethanol production from cassava starch using novel
eco-friendly enzymes. Biomass and Bioenergy. 35:901-909.
doi:10.1016/j.biombioe.2010.11.004.
Sharma V, Rausch KD, Graeber JV, Schmidt SJ, Buriak P, Tumbleson ME, Singh
V. 2010. Effect of resistant starch on hydrolysis and fermentation of corn
starch for ethanol. Appl Biochem Biotechnol. 160:800-811. doi
10.1007/s12010.009.8651.7.
Singh A, Bishnoi NR. 2012. Optimization of ethanol production from microwave
alkali pretreated rice straw using statistical experimental designs by
Saccharomyces cerevisiae. Industrial Crops and Products. 37:334-341.
doi:10.1016/j.indcrop.2011.12.033.
Stanley D, Bandara A, Fraser S, Chambers PJ, Stanley GA. 2010. The ethanol
stress response and ethanol tolerance of Sacchaomyces cerevisiae. J Appl
Microbiol. 109:13-14. doi:10.1111/j.1365-2672.2009.04657.x.
Su MY, Tzeng WS, Shyu YT. 2010. An analysis of feasibility of bioethanol from
Taiwan sorghum liquor waste. Bioresour Technol 101: 6669-6675.
doi:10.1016/j.biortech.2010.03.105.
Tibayrenc P, Belloy LP, Ghommidh C. 2011. Single-cell analysis of S. cerevisiae
growth recovery after a sublethal heat-stress applied during an alcoholic
fermentation.
J
Ind
Microbiol
Biotechnol.
38:687-696.
doi:10.1007/s10295-010-0814-6.
Yasni S. 1982. Pembuatan manisan kolang-kaling (Arenga pinnata Merr) dengan
kemasan dalam botol [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

16
Zhang B. Dhital S. Haque E. Gidley MJ. 2012. Preparation and characterization of
gelatinized granular starches from aqueous ethanol treatments.
Carbohydrate Polymers. 90:1587-1594.

17

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 12 Juli 1989 sebagai anak ketiga
dari tiga bersaudara dalam keluarga Bapak Oom Daryono dan Ibu Entin Kartini.
Jenjang pendidikan formal yang telah dilalui penulis adalah TK Aisyiah,
kemudian dilanjutkan di SD Negeri XI Banjarsari pada tahun 1996-2002, SMP
Negeri 1 Banjarsari pada tahun 2002-2005, serta SMA Negeri 1 Banjarsari dan
lulus pada tahun 2008.
Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan mendapatkan
mayor Teknologi Hasil Hutan. Selanjutnya pada tahun 2011 penulis memilih
Bagian Kimia Hasil Hutan sebagai bidang keahlian.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis telah mengikuti beberapa kegiatan
praktek lapang, antar lain Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada
bulan Juli 2010 jalur Cilacap dan Baturraden, Jawa Tengah, serta pada bulan Juli
2011 penulis melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Gunung Walat,
Sukabumi. Penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang di PT. Pindo Deli Pulp
and Paper Mills, Karawang, Jawa Barat pada tanggal 12 April-12 Mei 2012.
Penulis pernah mengikuti sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni anggota
Paguyuban Mahasiswa Galuh Ciamis (PMGC) tahun 2008-2012, pengurus PC
Sylva IPB tahun 2009-2010, pengurus Himpunan Profesi Departemen Hasil Hutan
(Himasiltan) tahun 2009-2011, serta menjadi panitia Kompak THH tahun 2010.
Penulis juga pernah mengikuti lomba karya tulis ilmiah di bidang penelitian yang
didanai oleh Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementrian Nasional dan pernah juga
mendapatkan beasiswa PPA tahun 2009-2012.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan
penelitian dan menyusun skripsi dengan judul Bioetanol dari Daging Buah Aren,
di bawah bimbingan Bapak I Nyoman J. Wistara, Ph.D.