Keefektifan Limbah Brassica Sebagai Biofumigan Dalam Pengendalian Nematoda Puru Akar (Meloidogyne Sp) Pada Tanaman Tomat

KEEFEKTIFAN LIMBAH Brassica SEBAGAI BIOFUMIGAN
DALAM PENGENDALIAN NEMATODA PURU AKAR
(Meloidogyne sp.) PADA TANAMAN TOMAT

AMALLIA ROSYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keefektifan Limbah
Brassica sebagai Biofumigan dalam Pengendalian Nematoda Puru Akar
(Meloidogyne sp.) pada Tanaman Tomat adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Amallia Rosya
NIM A352120151

RINGKASAN
AMALLIA ROSYA. Keefektifan Limbah Brassica sebagai Biofumigan dalam
Pengendalian Nematoda Puru Akar (Meloidogyne sp.) pada Tanaman Tomat
Dibimbing oleh SUPRAMANA dan ABDUL MUNIF.
Nematoda puru akar (NPA), Meloidogyne sp., merupakan nematoda parasit
tanaman utama yang menyebabkan kehilangan hasil 5-20%. Di Indonesia
beberapa penelitian telah dilakukan hanya sebagai penelitian di rumah kaca.
Kekurangan data menyebabkan kehilangan hasil oleh nematoda parasit tanaman di
lapangan belum dapat diprediksi. Salah satu metode pengendalian yang potensial
terhadap NPA adalah penggunaan biofumigan. Biofumigan adalah senyawa yang
bersifat volatil dan dapat digunakan untuk pengendalian Meloidogyne sp.
Glukosinolat (GSL) dilaporkan telah banyak digunakan sebagai biofumigan.
Senyawa ini banyak ditemukan dari tanaman famili kubis-kubisan (Brassicaceae).
Beberapa penelitian melaporkan bahwa senyawa isotiosianat (ITS) sangat beracun
bagi patogen tular tanah, antara lain cendawan Gaeumanomyces graminis var.

tritici, Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani dan Pythium, bakteri Ralstonia
solanacearum. Senyawa ITS dilaporkan dapat mematikan nematoda Pratylenchus
dan Meloidogyne.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan berbagai limbah
Brassicaceae, yaitu kubis (Brassica oleracea var. capitata), kembang kol (B.
oleracea var. botrytis), brokoli (B. italica var. oleracea), kubis Cina (B. chinensis)
dan pakcoy (B. rapa var. parachinensis) dalam mengendalikan NPA
(Meloidogyne sp.) pada tanaman tomat. Tanah yang terinfestasi nematoda dan
limbah Brassica diambil dari Pasir Sarongge, Cianjur, Jawa Barat yang digunakan
sebagai bahan penelitian. Penelitian dilakukan di rumah kaca dan rancangan
percobaan yang digunakan adalah split-spit plot rancangan acak lengkap (RAL).
Limbah Brassicaceae, dosis limbah dan waktu inkubasi berturut-turut ditetapkan
sebagai petak utama, anak petak dan anak-anak petak. Pot yang diaplikasi
Carbofuran (Furadan 3G, 60kg/ha) sebagai kontrol positif, tanpa limbah Brassica
sebagai kontrol negatif dan tanaman tomat sebagai tanaman indikator. Percobaan
diulang 5 kali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi limbah kubis, kembang kol,
brokoli, kubis dan pakcoy efektif dalam menurunkan populasi NPA pada tanah
dengan tingkat keefektifan berturut-turut 93.77, 98.48, 98.18, 100 dan 100 %.
Jenis limbah brokoli, bunga kol, sawi putih dan pakcoy dengan dosis 0.5 kg/5 kg

tanah efektif menurunkan jumlah puru NPA 96-100%. Waktu inkubasi 1 minggu
pada semua jenis limbah yang diuji efektif menurunkan jumlah puru NPA 90100% pada tanaman tomat. Aplikasi limbah Brassica tidak menimbulkan
fitotoksis terhadap tanaman uji sampai dosis 1 kg/5 kg tanah, bahkan aplikasi
limbah kubis dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman.

SUMMARY
AMALLIA ROSYA. The Effectiveness of Brassica Remnant as Biofumigant to
Control Root Knot Nematodes (Meloidogyne sp.) on Tomatoes. Supervised by
SUPRAMANA and ABDUL MUNIF.
Root knot nematode (RKN), Meloidogyne sp., is a major plant parasitic
nematode causing 5-20% yield loss. In Indonesia, previous researches have been
conducted only as study of green house. Lack of data causes the yield losses of
plant-parasitic nematodes on farm cannot be predicted yet. One of potential
control methods against RKN is utilization of biofumigant. Biofumigants are
volatile compound that can be utilized to control Meloidogyne sp. Glucosinolates
(GSL) had been studied and used widely as biofumigants. This compound was
widely studied and found mostly in crucifereous plant (Brassicaceae). The
previous studies reported the isothiocyanate compound (ITS) was highly toxic to
soil-borne pathogens, such as fungi Gaeumanomyces graminis var. tritici,
Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani and Pythium, bacterium Ralstonia

solanacearum. ITS compounds were reported lethal nematode Pratylenchus and
Meloidogyne.
This research aimed to determine the effectiveness of various Brassicaceae
remnants, that were: cabbage (Brassica oleracea var.capitata), cauliflower (B.
oleracea var. botrytis), broccoli (B. oleracea var. italica), Chinese cabbage (B.
chinensis) and pakcoy (B. rapa var. parachinensis) to control root knot nematode
Meloidogyne sp. on tomato. Nematode infested soil and remnant of Brassica
taken from Pasir Sarongge Cianjur West Java had been used as research materials.
The experiment was conducted in the green house and arranged in a split-split plot
completely randomized design (CRD). Brassicaceae remnants, remnant dosage
and incubation periode were set as the mainplot, sub-plot and subsub-plot,
respectively. Carbofuran (Furadan 3G, 60 kg/ha) was used as positive control,
without Brassica remnant pot as negative control, and tomato as indicator plants.
The experiment was replicated 5 times.
Application of cabbage, cauliflower, broccoli, Chinese cabbage and pakcoy
remnants were effectively reduce the number of RKN root galls that were 93.77,
98.48, 98.18, 100 and 100 % on tomato. Application of 0.5 kg of 5 types Brassica
remnant per 5 kg soil reduced the number of RKN 96-100%, effectively.
Incubation periode of 1 week gave the effective result in reducing root knot
numbers 90-100%. In this research, treatment using 1 kg of Brassica remnant per

5 kg soil did not cause phytotoxic on plants. Moreover, the cabbage remnant
could increase plant growth.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

1

KEEFEKTIFAN LIMBAH Brassica SEBAGAI BIOFUMIGAN
DALAM PENGENDALIAN NEMATODA PURU AKAR
(Meloidogyne sp.) PADA TANAMAN TOMAT

AMALLIA ROSYA


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

1

Penguji Luar Komisi Ujian Tesis: Dr Ir Idham Sakti Harahap, MSc

1

1


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
pada tesis ini adalah Keefektifan Limbah Brassica Sebagai Biofumigan Dalam
Pengendalian Nematoda Puru Akar (Meloidogyne sp.) pada Tanaman Tomat.
Penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada
Bapak Dr Ir Supramana, MSi dan Dr Ir Abdul Munif, MSc Agr selaku dosen
pembimbing dengan kesabaran dan keikhlasan dalam membimbing sehingga
membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih serta
penghargaan sebesar-besarnya kepada kedua orang tua Ayahanda Syahrum dan
Ibunda Rosna Alam yang telah memberi dukungan moril dan materil serta sebagai
motivator terbesar dalam kehidupan penulis, semoga ketulusan hati beliau dalam
mendidik penulis mendapat balasan pahala dan limpahan rahmat dari Allah SWT.
Kepada saudara/i saya Fajri Syah, Anggi Ansyah dan Aulia Putri Rosya yang
senantiasa memberikan motivasi kepada penulis. Rekan-rekan seperjuangan
Fitopatologi 2012 yang sangat kompak dalam kebersamaannya, terima kasih atas
arahan serta nasehat yang bersifat membangun bagi penulis baik dalam hal
perkuliahan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Rekan-rekan Laboratorium
Nematologi Tumbuhan, khususnya Bapak Gatut Heru Bromo yang banyak

membantu penulis selama penelitian berlangsung. Terimakasih kepada Daniel
Ferryansyah yang selalu setia menemani dan memotivasi penulis selama
menyelesaikan tesis ini. Serta semua pihak yang namanya tidak tercantum yang
telah memberikan andil secara ikhlas membantu penulis dalam berbagai hal.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa hasil
dari karya ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritikan dan saran positif yang bersifat membangun dalam
mengembangkan karya ini, sehingga dapat berguna bagi kita semua, insya Allah,
Amin.
Bogor, Maret 2015
Amallia Rosya

1

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang

Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA
Nematoda Puru Akar
Fumigasi
Biofumigan
3. METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode
Penyiapan tanah
Penyiapan limbah Brassica dan tanaman indikator
Rancangan percobaan
Penghitungan populasi awal nematoda puru akar
Perlakuan biofumigasi
Pengamatan efek uji biofumigasi terhadap nematoda puru akar
Pengamatan mikroba tanah
Identifikasi spesies NPA dengan pola perinial (Perineal Pattern)
Analisis data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Pembahasan
5. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
2
3
3
3
3
7
8
11
11

11
11
11
11
11
12
12
12
13
13
13
13
19
22
22
37

1

DAFTAR TABEL
1. Jenis isotiosianat yang berperan sebagai biofumigan yang dihasilkan
famili Brassicaceae
2. Rata-rata jumlah puru dan keefektifan pengendalian Meloidogyne sp.
pada tanaman tomat di rumah kaca pada perlakuan limbah Brassica
3. Rata-rata keefektifan pengendalian perlakuan jenis, dosis dan waktu
inkubasi limbah Brassica terhadap penurunan jumlah puru
Meloidogyne sp. pada tanaman tomat
4. Rata-rata keefektifan pengendalian perlakuan jenis dan dosis limbah
Brassica terhadap penurunan jumlah puru Meloidogyne sp. pada
Tanaman Tomat
5. Rata-rata keefektifan pengendalian perlakuan jenis dan waktu inkubasi
limbah Brassica terhadap penurunan jumlah puru Meloidogyne sp.
pada tanaman tomat
6. Rata-rata keefektifan pengendalian perlakuan dosis dan waktu inkubasi
limbah Brassica terhadap penurunan jumlah puru Meloidogyne sp.
pada tanaman tomat
7. Pengaruh perlakuan limbah Brassica terhadap rata-rata tinggi dan
jumlah daun tanaman tomat di rumah kaca

10
13

14

15

15

15
17

DAFTAR GAMBAR
1. Siklus hidup nematoda puru akar
2. Puru yang terbentuk dengan perlakuan tanpa limbah Brassica (P0),
carbofuran dan perlakuan masing-masing limbah Brassica (J1, J2, J3,
J4 dan J5) pada tanaman tomat.
3. Pengamatan pertumbuhan tanaman tomat minggu pertama sampai
minggu keempat di rumah kaca
4. Pola perinial nematoda betina Meloidogyne incognita

4
16
17
18

DAFTAR LAMPIRAN
1. Rata-rata populasi nematoda pada tanah yang diberi perlakuan
limbah Brassica
2. Morfologi Melodogyne sp. dan nematoda non parasit pada tanaman
tomat
3. Populasi bakteri pada tanah yang diberi perlakuan limbah Brassica
4. Koloni bakteri pada tanah yang diberi perlakuan limbah Brassica
yang dibiakkan pada media NA

27
28
29
30

1

DAFTAR LAMPIRAN (lanjutan)
5. Rata-rata populasi cendawan pada tanah yang diberi perlakuan
limbah Brassica
6. Hasil isolasi cendawan tanah yang diberi perlakuan limbah Brassica
pada media PDA
7. Pengamatan suhu masing-masing sampel perlakuan limbah Brassica
8. Annova keefektifan perlakuan limbah Brassica dalam menurunkan
jumlah puru Meloidogyne sp.

31
32
34
35

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Nematoda merupakan salah satu jenis organisme pengganggu tanaman
(OPT) penting yang menyerang berbagai jenis tanaman pertanian utama di seluruh
Dunia. Kehilangan hasil pertanian akibat infestasi nematoda di seluruh Dunia
mencapai US$80 miliar/tahun (Price 2000). Di Indonesia, nematoda parasit
dilaporkan menginfeksi berbagai jenis tanaman, baik pangan, hortikultura maupun
perkebunan (Puskara 2000). Kerugian ekonomi akibat nematoda pada tanaman
pertanian di Indonesia belum dapat diperkirakan, mengingat data kerusakan yang
ada masih bersifat parsial, hanya berdasarkan hasil penelitian di rumah kaca dan
lapangan dalam luasan yang sangat terbatas. Gejala khas nematoda puru akar
(NPA) pada akar yaitu bintil-bintil yang sering disebut puru. Gejala lain yaitu
terjadinya nekrosis dan membentuk sel transfer makanan dalam bentuk giant cell
(sel raksasa) pada tempat infeksi. Bila terinfeksi berat, tanaman tumbuh kerdil
dengan daun yang mengalami klorosis atau pucat (Luc et al. 2005). Teknik
pengendalian nematoda pada beberapa tanaman penting antaranya adalah
pemanfaatan varietas tahan atau toleran, teknik pergiliran tanaman, pengendalian
hayati dengan menggunakan agen hayati dan pestisida nabati, pencegahan
penyebaran, pengendalian kimiawi, dan berbagai teknik budidaya lainnya.
Strategi pengendalian nematoda dilaksanakan dengan menerapkan sistem PHT,
yaitu dengan memadukan satu atau lebih teknik pengendalian yang kompatibel
(Mustika 2010). Pengendalian nematoda pada umumnya dilakukan secara
kimiawi dengan menggunakan nematisida sintetik. Nematisida yang sering
digunakan untuk mengendalikan NPA biasanya berupa fumigan dan non-fumigan
(Luc et al. 2005).
Fumigasi adalah cara perlakuan pengendalian organisme penggangu
tanaman termasuk patogen dengan menggunakan gas beracun, salah satunya
adalah metil bromida (CH3Br). Senyawa ini memiliki tingkat penetrasi yang
tinggi, keuntungan lain fumigasi adalah membunuh semua siklus hidup serangga
dan patogen tanpa mengotori bahan yang difumigasi (Hendrawan 2007). Metil
bromida banyak digunakan untuk fumigasi merupakan salah satu senyawa yang
dapat merusak ozon. Bahan perusak lapisan ozon tergolong senyawa kimia yang
berpotensi dapat bereaksi dengan molekul ozon di lapisan stratosfir (Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia 2006)
Metil bromida termasuk salah satu senyawa perusak ozon (ozon depleting
substances), di samping kloro fluoro karbon (CFC), karbon tetra klorida,
hidrokloro fluoro karbon dan hidrobrom fluoro karbon yang sudah dilarang
penggunaannya di Dunia berdasarkan kesepakatan Montreal Protocol tahun 2000,
dan harus dimusnahkan di seluruh Dunia pada tahun 2015 (Sarma dan Bankobeza
2000). Di Indonesia, pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.
24/M-Dag/PER/6/2006 memutuskan bahwa mulai tanggal 1 Januari 2008,
penggunaan metil bromida dilarang, kecuali untuk tujuan karantina dan
prapengapalan. Metil bromida yang diimpor oleh hanya boleh didistribusikan
sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian (Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia 2006). Tindakan fumigasi dengan menggunakan

2

bahan aktif metil bromida harus memenuhi syarat dari Badan Karantina
Tumbuhan. Petugas Karantina Tumbuhan adalah pejabat fungsional pengendali
organisme pengganggu tumbuhan yang bekerja pada Instansi Karantina Pertanian.
Perusahan fumigasi yang telah diregistrasi Badan Karantina Pertanian yang dapat
melakukan perlakuan fumigasi dengan fumigan metil bromida.
Biofumigan adalah senyawa yang mudah menguap (volatil) yang berasal
dari tanaman dan bersifat biosida terhadap serangga dan patogen. Banyak ragam
jenis senyawa biofumigan. Senyawa yang telah banyak diteliti dan dimanfaatkan
sebagai biofumigan adalah glukosinolat (GSL). Senyawa glukosinolat banyak
berasal dari famili kubis-kubisan (Brassicaceae) antara lain Raphanus sativus,
Brassica juncae, B. oleraceae dan B. oleraceae var. italica. Glukosinolat
merupakan senyawa yang mengandung nitrogen (N) dan belerang (S) hasil
metabolisme sekunder tanaman. Glukosinolat terdapat pada seluruh bagian
tanaman. Hasil proses hidrolisis glukosinolat berperan dalam berbagai fungsi
fisiologis patogen. Proses hidrolisis glukosinolat terjadi jika senyawa ini kontak
dengan enzim mirosinase dan tersedia air yang cukup. Kontak antara glukosinolat
dengan mirosinase terjadi jika jaringan tanaman robek. Hidrolisis glukosinolat
menghasilkan senyawa isothiosianat (ITS) yang merupakan senyawa toksik
sehingga dapat digunakan sebagai biofumigan (Litbang Departemen Pertanian
2009).
Faktor-faktor yang berperan penting dalam proses hidrolisis GSL
berlangsung optimum yaitu dosis limbah, ketersediaan air dan kecepatan rusaknya
jaringan tanaman (Kirkegaard et al. 2001). Brown dan Morra (2005) menyatakan
bahwa tingkat kelarutan ITS dalam air berpengaruh terhadap tingkat toksisitasnya
meskipun tidak mutlak. Penelitian Matthiessen (2002) sisa tanaman brokoli segar
3.4-4.0 kg/m2 kemudian dicacah dan ditutup dengan terpal plastik dapat
menurunkan viabilitas cendawan Rhizoctonia solani, Verticilium dahliae dan
Fusarium oxysporum secara drastis pada tanah
Beberapa penelitian melaporkan bahwa senyawa isotiosianat (ITS) sangat
beracun bagi patogen tular tanah, antara lain cendawan Gaeumanomyces graminis
var. tritici, Fusarium oxysporum (Sarwar et al. 1998), Rhizoctonia solani (Manici
et al. 2000) dan Pythium (Charron and Sams 1999), bakteri Ralstonia
solanacearum (Kirkegaard 2007). ITS dilaporkan dapat mematikan nematoda
Pratylenchus (Mazzola et al. 2007) dan Meloidogyne (Kirkegaard 2007).
Rumusan Masalah
Penggunaan metil bromida telah dilarang kecuali untuk tujuan perlakuan
karantina dan prapengapalan. Penelitian untuk mencari alternatif yang dapat
menggantikan metil bromida dalam pengendalian patogen tular tanah yang ramah
lingkungan perlu terus dilakukan. Tanaman dari famili Brassicaceae mengandung
glukosinolat menghasilkan isothiosianat yang bersifat biofumigan. Perlu
dilakukan penelitian terkait jenis, dosis dan waktu inkubasi limbah Brassica yang
tepat dalam mengendalikan patogen tular tanah khususnya Meloidogyne sp.

3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan beberapa limbah
tanaman kubis-kubisan, yaitu kubis (B. oleracea var. capitata), bunga kol (B.
oleracea var. botrytis), brokoli (B. oleracea var. italica), sawi putih (B. chinensis)
dan pakcoy (B. rapa var. parachinensis) dalam mengendalikan nematoda puru
akar (Meloidogyne sp.) pada tanaman tomat.
Manfaat Penelitian
Aplikasi limbah tanaman dari famili Brassicaceae dapat dikembangkan
lebih lanjut sebagai teknologi pengendalian nematoda yang efektif, murah, ramah
lingkungan dan aplikatif bagi petani. Pengendalian menggunakan limbah Brassica
dapat mengurangi kerugian secara ekonomi pada petani yang diakibatkan
penurunan produksi hasil pertanian yang disebabkan nematoda puru akar
(Meloidogyne sp.).

2

TINJAUAN PUSTAKA

Nematoda Puru Akar
Nematoda puru akar (NPA) Meloidogyne sp. merupakan salah satu patogen
yang dapat menurunkan produksi tanaman. Nematoda bersifat kosmopolit dan
memiliki kisaran inang yang sangat luas, yaitu hampir semua jenis tanaman dan
berbagai spesies gulma. Nematoda puru akar bersifat endoparasit menetap
(sedentary endoparasite), sehingga hubungan antara nematoda dengan tanaman
inangnya sangat spesifik dan kompleks (Mulyadi 2009).
Taksonomi
Nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) tergolong ke dalam kingdom
Animalia, filum Nematoda, ordo Tylenchida, super famili Heteroderoidea, famili
Meloidogynidae dan genus Meloidogyne (Dropkin 1996).
Morfologi
Juvenil 2 (J2) berbentuk silindris dengan panjang ± 450 μm. Stilet dan
kerangka kepala juvenil 2 mengalami sklerotinasi yang tipis dengan ekor
berbentuk kerucut hialin dimulai dekat ujung ekor (Luc et al. 2005). Tubuh
nematoda betina berbentuk seperti buah pir dengan leher yang pendek dan
posterior membulat. Betina dewasa memiliki ukuran panjang 430-921 μm yang
diukur dari leher hingga posterior (Eisenback et al. 2003). Stilet berukuran pendek
dan mengalami sklerotinasi sedang. Nematoda betina memiliki kerangka kepala
lembek dengan lubang ekskresi terletak agak anterior sampai pada lempeng klep
median bulbus dan sering terlihat pada dekat basal stilet. Vulva terletak
subterminal dekat anus, kutikula berwarna agak keputihan, tipis dan beranulasi
jelas (Luc et al. 2005).
Nematoda jantan berbentuk seperti cacing (vermiform). Stilet jantan lebih
panjang dibandingkan dengan stilet betina. Kerangka kepala nematoda jantan

4

lebih kuat, dengan ekor pendek setengah melingkar. Jantan memiliki spikula yang
kuat dan tidak mempunyai bursa (Eisenback et al. 2003).
Biologi
Siklus hidup nematoda terdiri dari 3 stadia, dimulai dari telur, juvenil, dan
dewasa. Stadia juvenil dibagi menjadi 4 tahap, yaitu Juvenil 1 (J1), Juvenil 2 (J2),
Juvenil 3 (J3), dan Juvenil 4 (J4) (Dropkin 1996). Setiap stadia dalam siklus hidup
nematoda berada di tempat yang berbeda-beda. Siklus hidup nematoda dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Siklus hidup nematoda puru akar (NPA) (Mitkowski dan Abawi
2003)
Telur-telur yang dihasilkan nematoda betina dewasa diletakan berkelompok
pada massa gelatinus yang bertujuan untuk melindungi telur dari kekeringan dan
jasad renik (Roberts dan Mullens 2002). Telur yang baru diletakan mengandung
zigot set tunggal. Embrio berkembang menjadi juvenil 1 (J1) dan mengalami
pergantian kulit pertama menjadi juvenil 2 (J2). Juvenil 1 mengalami perubahan
menjadi juvenil 2 saat telur menetas, juvenil 2 keluar dari cangkang telur dan
masuk ke dalam tanah sebagai stadium infektif. Setelah menemukan tempat
infeksi yang cocok, juvenil 2 mengalami pertumbuhan dan pergantian kulit tiga

5

kali berturut-turut menjadi juvenil 3 (J3), juvenil 4 (J4), dan dewasa di dalam
jaringan inang (Dropkin 1996).
Nematoda jantan meninggalkan akar sedangkan nematoda betina hidup
menetap pada jaringan tanaman inang (Roberts dan Mullens 2002). Sistem
reproduksi betina terbentuk setelah fase dewasa dan pola parineal akan tampak
(Eisenback et al. 2003). Betina mengalami beberapa pergantian bentuk selama
masa perkembangannya, setelah ganti kulit terakhir betina tumbuh dengan cepat
dan bentuknya menjadi seperti buah pir (Franklin 1995).
Siklus hidup nematoda dari telur hingga menjadi juvenil 2 berlangsung
selama 7-10 hari. Di Filipina pada suhu 25-29 ºC Meloidogyne incognita
memerlukan waktu 15 hari untuk bertelur setelah inokulasi dari juvenil 2 pada
tanaman tomat. Umumnya M. incognita memproduksi massa telur setelah
inokulasi dalam waktu 18-20 hari. Pada temperatur antara 22-26 ºC sejumlah
besar juvenil Meloidogyne spp. memasuki perakaran dalam waktu 24 jam dan
menetap di dalam posisi memakan antara 2 atau 3 hari. Tubuh berkembang sekitar
6 hari setelah masuk dan perbedaan jenis kelamin tampak setelah 12 hari.
Pergantian kulit ke-2 dalam waktu 18 hari diikuti dengan pergantian kulit ke-3
dan ke-4 antara 18 sampai 24 hari. Nematoda betina tumbuh dengan cepat antara
hari ke 24 sampai hari ke 30. Massa telur tampak setelah hari ke-27 hingga hari
ke-30. Telur-telur ini mulai tersimpan pada hari ke-30 sampai pada hari ke-40
(Roberts dan Mullens 2002)
Temperatur optimum untuk pertumbuhan M. hapla, M. fallax dan M.
chitwoodi antara 15–25 ºC, sedangkan M. arenaria, M. incognita, dan M. javanica
antara 25–30 ºC. Sangat sedikit aktivitas nematoda pada suhu di atas 38 ºC dan di
bawah 5 ºC (Roberts dan Mullens 2002).
Mekanisme infeksi NPA
Juvenil 2 (J2) merupakan tahap nematoda untuk mengifeksi tanaman.
Juvenil 2 bergerak aktif di dalam tanah menuju akar yang sedang tumbuh. Juvenil
2 menginfeksi dengan melakukan penetrasi pada epidermis di sekitar tudung akar
dan melakukan pergerakan di antra sel-sel dekat slinder pusat. Selanjutnya
merusak sel-sel akar dengan menginjeksikan hasil sekresi kelenjar esofagus
(elisitor) menggunakan stilet ke dalam jaringan inang. Sekresi nematoda ini
menyebabkan perubahan fisiologis dalam sel-sel inang yang mengubah sel inang
menjadi sel raksasa (giant cells). Giant cells merupakan bentuk respon inang
terhadap infeksi nematoda, yang selanjutnya digunakan sebagai sumber nutrisi
bagi nematoda.
Nematoda memerlukan bantuan enzim untuk bergerak dan berkembangbiak
di dalam sel inang. Enzim yang digunakan adalah enzim selulase, enzim
endopektin metal transeliminase dan enzim proteolitik. Enzim-enzim tersebut
dapat menguraikan dinding sel tumbuhan yang mengandung protein dan
polisakarida menjadi bahan-bahan lain. Misalnya enzim selulase dapat
menghidrolisis selulosa dan enzim endopektin metal transeliminase dapat
menguraikan pektin. Sedangkan enzim proteolitik dapat mengurai protein.
Penguraian protein dapat melepaskan asam indol asetat yang merupakan
heteroauksin yang diduga membantu terbentuknya puru. Terurainya bahan-bahan
penyusun dinding sel ini menyebabkan dinding sel akan rusak dan terbentuk luka
(Mitkowski dan Abawi 2003).

6

Gejala penyakit
Gejala penyakit NPA pada tajuk tanaman dicirikan dengan tanaman yang
mengerdil dan daun menguning (klorosis) yang menyebabkan berkurangnya vigor
tanaman. Infeksi nematoda juga menyebabkan kerusakan pada akar tanaman
karena nematoda mengisap sel-sel pada akar, jaringan pembuluh terganggu
sehingga translokasi air dan hara terhambat. Kerusakan akar tanaman juga akan
menyebabkan pasokan air ke daun menjadi berkurang sehingga stomata menutup
dan laju fotosintesis menurun. Akibatnya, pertumbuhan tanaman terhambat dan
produktivitas tanaman menurun (Mustika 2010).
Puru merupakan gejala khas dari infeksi NPA. Puru muncul sebagai tanda
awal terjadinya asosiasi antara tanaman dan betina NPA. Puru terjadi akibat
pembesaran dan pembelahan sel yang berlebihan pada perisikel, serta perubahan
bentuk jaringan pengangkut. Tanaman yang mengalami infeksi berat oleh NPA
sistem perakarannya mengalami pengurangan jumlah akar. Pembentukan akar
baru hampir tidak terjadi, sehingga fungsi perakaran dalam menyerap dan
menyalurkan air dan unsur hara ke seluruh bagian tanaman terhambat (Kurniawan
2010).
Bentuk puru akibat infeksi NPA berbeda-beda tergantung dari spesies
nematoda, misalnya M. hapla menyebabkan timbulnya puru seperti manik-manik
dan cenderung lebih kecil dibandingkan dengan puru yang diakibatkan oleh
spesies NPA lain, yang cenderung lebih besar dan menyatu (Roberts dan Mullens
2002). Puru yang disebabkan NPA terlihat bergabung dan berjajar di sepanjang
perakaran. Akar yang terinfeksi biasanya pendek dan mempunyai sedikit akar
lateral dan akar rambut (hairy root) (Agrios 2005). Malformasi merupakan salah
satu gejala infeksi NPA selain adanya puru. Infeksi NPA mengakibatkan tanaman
semakin rentan terhadap infeksi OPT lain. Infeksi cendawan patogen meningkat
apabila kandungan eksudat puru akar diubah dan jumlahnya lebih banyak,
sehingga cendawan pada stadium istirahat yang terjangkau oleh akar menjadi aktif
(Agrios 2005).
Pengendalian nematoda
Meloidogyne sp. cukup sulit dikendalikan karena mempunyai kisaran
inang yang luas. Beberapa pengendalian yang dilakukan yaitu varietas tahan,
pengendalian hayati, sistim pola tanam, penambahan bahan organik, tanaman
perangkap, biofumigan dan nematisida sintetik. Kehilangan hasil akibat serangan
nematoda dapat ditekan melalui pergiliran tanaman. Tanaman yang sangat peka
hanya boleh ditanam sekali dalam 2-8 tahun. Oleh karena itu untuk menekan
perkembangbiakan nematoda tertentu, kultivar tahan harus selalu tersedia.
Pengendalian hayati merupakan pengendalian yang ramah lingkungan
menggunakan cendawan dan bakteri sebagai agen antagonis (Pal dan McSpadden
2006). Perbaikan sistim pola tanam merupakan salah satu strategi pengendalian
nematoda. Menurut Sikora (1992), setiap jenis tanaman mengeluarkan eksudat
akar yang berbeda dan memberi pengaruh yang berbeda pula terhadap
pertumbuhan dan perkembangan agen pengendali hayati penghuni rizosfer.
Ekosistem tanaman yang sesuai akan meningkatkan aktivitas dan populasi agen
hayati yang diaplikasikan ke dalam tanah. Penambahan bahan organik menurut
Akhtar dan Malik (2000) mampu menstimulir aktivitas mikroorganisme yang
bersifat antagonis terhadap nematoda parasit. Dekomposisi bahan organik
menghasilkan metabolit yang bersifat nematisidal. Perbandingan C:N rasio yang

7

kecil dengan kandungan protein tinggi (kelompok amina) sangat efektif untuk
meningkatkan pengendalian. Beberapa jenis tanaman dapat berfungsi sebagai
tanaman perangkap (trap crop) yang diusahakan dalam bentuk pola tanam seperti
pergiliran tanaman atau tumpang sari, di antaranya adalah tagetes (Tagetes
patula), jarak (Ricinus communis) dan wijen (Sesamum indicum). Jarak dan wijen
digunakan sebagai tanaman perangkap dalam pola pergiliran tanaman kacang
tanah, kedele dan kapas untuk mengendalikan nematoda puru akar (Meloidogyne
sp.). Tanaman jarak dan wijen tersebut sangat efektif dalam menekan populasi
Meloidogyne sp. karena mengeluarkan eksudat akar yang toksik terhadap
nematoda (Kabana 1992).
Biofumigan terbukti dapat memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah, serta
mampu mereduksi infeksi OPT tular tanah seperti M. incognita dan R.
solanacearum (Johnson dan Shafer 2003). Penggunaan nematisida sintetis
merupakan alternatif terakhir apabila teknik pengendalian yang lain dinilai tidak
berhasil dan dilakukan secara bijaksana. Penggunaan nematisida secara bijaksana
adalah (1) nematisida yang digunakan adalah jenis yang terdaftar dan atau
diizinkan oleh Menteri Pertanian, (2) memenuhi kriteria tepat, yaitu tepat jenis,
mutu, waktu, sasaran (nematoda dan tanamannya), dosis dan konsentrasinya, serta
cara dan alat aplikasinya (3) tidak membahayakan manusia dan lingkungan
(Mustika 2010).
Fumigasi
Fumigasi merupakan salah satu metode kimia untuk pengendalian hama dan
penyakit. Senyawa fosfin dan metil bromida merupaka produk yang paling
banyak digunakan (Emekci 2010). Fumigasi merupakan tindakan perlakuan
terhadap media pembawa organisme pengganggu tumbuhan dengan menggunakan
fumigan ke dalam ruang yang kedap udara pada suhu dan tekanan tertentu
(Priyono 2005). Fumigan yang digunakan dalam fumigasi merupakan pestisida
yang dalam suhu dengan tekanan tertentu berbentuk uap dan dalam konsentrasi
serta waktu tertentu dapat membunuh Organisme Pengganggu Tanaman (Arinana
et al 2008).
Giler (2006) menyatakan bahwa fumigan adalah zat kimia atau campuran
dari bahan kimia meliputi semua bahan aktif dan tidak aktif (jika ada) yang
diformulasi untuk menghasilkan satu fumigan. Formulasi fumigan dapat berada
dalam tiga bentuk zat yaitu: padat, cair dan gas. Fumigan yang ideal memiliki ciriciri sebagai berikut: (a) memiliki tingkat racun yang tinggi terhadap hama yang
menjadi target; (b) toksisitas yang rendah terhadap tumbuhan, manusia dan
organisme lain yang bukan menjadi sasaran; (c) tersedia di pasaran dan hemat
dalam penggunaan; (d) tidak memberikan bahaya kepada komoditas; (e) tidak
terbakar, tidak merusak, dan tidak meledak dalam keadaan penggunaan normal;
(f) mudah menguap dengan penetrasi yang baik dan (g) tidak berakibat buruk
terhadap lingkungan. September tahun 2000, The California Department of
Pesticide Regulation mengeluarkan peraturan prosedural baru yang membuat
penggunaan fumigan metil bromida sangat tidak praktis dan mahal. Peraturan ini
pada dasarnya adalah untuk menghentikan penggunaan metil bromida sebagai
fumigan struktural di Negara Bagian California (Amerika Serikat) dikarenakan
dapat merusak lapisan ozon. Metil bromida yang sebagian besar telah dilarang

8

penggunaannya di negara-negara maju, dijadwalkan akan dihapus di seluruh
Dunia pada tahun 2015 (Graver 2004).
Metil bromida tidak berwarna, tidak mudah terbakar dan tidak berbau
kecuali pada konsentrasi tinggi. Metil bromida adalah fumigan yang berspektrum
luas yang dapat mengendalikan nematoda, jamur, bakteri, gulma dan serangga
tanah. Metil bromida sangat beracun pada semua stadia siklus hidup serangga dan
patogen. Diperkenalkan sebagai pestisida pada tahun 1932, metil bromida pertama
kali terdaftar di Amerika Negara pada tahun 1961. Environmental Protection
Agency (EPA) Amerika Serikat telah mengklasifikasikan metil bromida sebagai
"Pestisida yang dibatasi penggunaannya" yaitu pestisida yang dapat dibeli dan
digunakan hanya dengan orang yang bersertifikat. Klasifikasi ini disebabkan
toksisitas akut metil bromida. Metil bromida saat ini penggunaannya dilarang
karena dapat merusak lapisan ozon. Mulai 1 Januari 2005, produksi dan
penggunaan metil bromida akan berhenti di Amerika Serikat, kecuali darurat dan
kritis (Sarma dan Bankobeza 2000).
Sifat metil bromida sangat larut dalam air, tekanan uap tinggi, dan sulit
menyerap ke dalam tanah menyebabkan senyawa ini cepat menguap. Metil
bromida dapat mengendap di atmosfer pada suhu 8-25 oC dalam jangka waktu
yang lama, selama 4-18 bulan. Rendahnya fotolisis di troposfer mengakibatkan
bahan kimia ini pada akhirnya akan menyebar ke stratosfer. Fotolisis di stratosfer
dapat menghasilkan bromin aktif yang berhubungan dengan penipisan ozon.
Protokol Montreal menyatakan bahwa metil bromida dianggap sebagai perusak
ozon kelas 1 (Kells et al. 2000)
Biofumigan
Biofumigan adalah senyawa yang mudah menguap (volatil) yang berasal
dari tumbuhan, bersifat biosida terhadap serangga dan patogen tanaman
(Kirkegaard 2004). Mathiessen (2001), menyaktakan banyak ragam jenis senyawa
biofumigan, satu di antaranya adalah minyak atsiri (essential oils) yang dapat
diekstraksi dari daun, bunga, biji, atau kulit berbagai jenis tanaman di daerah
tropis maupun subtropis. Potensi minyak atsiri masih belum banyak digali untuk
digunakan sebagai biofumigan. Senyawa biofumigan lain yang telah banyak
diteliti berasal dari famili kubis-kubisan (Brassicaceae) yang mengandung
senyawa glukosinolat (GSL).
Sekitar 350 genera dan 2.500 spesies famili Brassicaceae yang diketahui
mengandung senyawa GSL. Kelompok tanaman lain yang juga mengandung
senyawa GSL adalah Capparaceae, Moringaceae, Resedaceae, dan Tovariaceae.
Kandungan GSL pada Brassicaceae paling tinggi dibandingkan pada tanaman
lainnya (Rosa dan Rodriguez 1999).
Biosintesis senyawa Glukosinolat
Glukosinolat (GSL) merupakan senyawa yang mengandung nitrogen dan
belerang hasil metabolisme sekunder tanaman (Harborne et al. 1999). Kandungan
belerang dan nitrogen tersebut berasal dari asam amino yang mengandung sulfat.
Menurut Fahey et al. (2001), ada dua tahap biosintesis GSL, pertama asam-asam
amino suatu protein mengalami pemanjangan dengan bantuan enzim gliosilat
amino-transferase membentuk asam 2-oxo sesuai dengan sumber asam aminonya.
Tahap kedua, glukon terinsersi sehingga rantai samping termodifikasi. Rantai

9

alifatik, misalnya alkil, alkenil, hidroksialkenil dan w-metiltioalkil berasal dari
metionin, rantai heterosiklik seperti indolil berasal dari fenilalanin dan rantai
aromatik misalnya bensil berasal dari triptofan.
Sampai saat ini, lebih dari 120 macam GSL, baik dari kelompok alifatik
aromatik maupun indolil, telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi (Fahey et al.
2001), sebanyak 30-40 jenis GSL dari famili Brassicaceae. GSL terdapat pada
seluruh bagian tanaman, mulai dari akar, batang, daun, bunga sampai biji. Satu
tanaman biasanya mengandung lebih dari satu macam GSL. Kandungan GSL
dalam tanaman bergantung pada jenis jaringan, umur, kesehatan dan tingkat
nutrisi tanaman. Produksi GSL pada suatu tanaman dipengaruhi oleh teknik budi
daya, iklim, tanah tempat tumbuh dan umur tanaman. Pupuk yang mengandung
belerang akan meningkatkan kandungan GSL, tetapi pupuk nitrat akan
menurunkannya. Hasil penelitian Kirkegaard et al. (2003) menunjukkan bahwa
jaringan tanaman yang diberikan pada saat masih berbunga, daya hambatnya
terhadap pertumbuhan cendawan Gaeumannomyces graminis, Rhizoctonia solani,
Fusarium graminearum, Pythium irregulare, dan Bipolaris sorokiniana lebih
tinggi dibandingkan dengan jaringan yang berasal dari tanaman yang sudah tua.
GSL bukanlah senyawa yang toksik terhadap mikroorganisme. Setelah
melalui proses hidrolisis, GSL akan membentuk senyawa-senyawa yang berperan
dalam berbagai fungsi fisiologis. Misalnya bau yang menyengat pada mustard,
bau spesifik sayuran golongan kubis/sawi, atau sebagai sistem pertahanan
tanaman terhadap serangan hama dan patogen (Bones dan Rossiter 1996).
Proses hirolisis senyawa biofumigan
Proses hidrolisis GSL terjadi jika senyawa tersebut kontak dengan enzim
mirosinase dan tersedia air. Enzim mirosinase (β-tioglukoside glukohidrolase)
tidak hanya dihasilkan oleh tanaman yang menghasilkan GSL. Pertanaman
penghasil GSL, enzim mirosinase dihasilkan oleh sel-sel mirosin yang letaknya
terpisah dari vakuola yang mengandung GSL. Hidrolisis GSL akan dimulai
apabila terjadi kontak antara GSL dengan mirosinase, biasanya melalui pelukaan
jaringan tanaman. Hasil hidrolisis senyawa GSL adalah senyawa-senyawa yang
bersifat volatil maupun tidak, misalnya isotiosianat (ITS), ion tiosianat (SCN+),
nitril, epitionitril, indolil alkohol, amin, sianid organik, dan oksazo-lidinetion.
Hidrolisis GSL pada tanah masam (pH rendah) cenderung menghasilkan nitril.
Smolinska (2000) melaporkan bahwa bungkil canola yang diperlakukan berbeda
akan menghasilkan senyawa yang berbeda pula. Hidrolisis GSL dari bungkil yang
dipanaskan dengan autoklaf menghasilkan nitril, sementara yang tidak diautoklaf
menghasilkan lebih banyak ITS. Di antara semua senyawa yang dihasilkan, ITS
merupakan senyawa yang paling toksik sehingga dapat digunakan sebagai
biofumigan.
Hidrolisis GSL yang menghasilkan ITS terjadi pada saat pembenaman sisasisa tanaman Brassicaceae. Namun, kandungan GSL yang tinggi dalam jaringan
tanaman belum menjamin tingginya kadar ITS yang dihasilkan selama proses
hidrolisis dalam tanah. Jenis-jenis kandungan ITS yang dihasilkan oleh beberapa
jenis Brassica dapat dilihat pada Tabel 1. Tsao et al. (2000) juga melaporkan
bahwa senyawa ITS yang terbentuk cenderung lebih stabil pada air yang berada
pada permukaan tanah.

10

Tabel 1 Jenis isotiosianat yang
Brassicaceae
Asal tanaman
Brassica spp.
(terutama akar)
B. carrinata

berperan sebagai biofumigan yang dihasilkan famili
Jenis ITS
Penil etil

Sumber
Sarwar et al. (1998)

Propenil

Smolinska et al. (2003)
Sarwar et al. (1998)
Smolinska et al. (2003)
Sarwar et al. (1998)
Harvey et al. (2002)
Smolinska et al. (2003)
Yulianti et al. (2007)
Miyazawa et al. (2004)

B. juncea

Propenil

B. rapa

2-Profenil

B. napus

3-butenil, 4 pentenil, 2feniletil
3-butenil, 4-pentenil
3-butenil, 4-pentenil, 4metil tiobutil
Benzil
Benzil

B. campestris
Diplotaxis tanuifolia
Sinapsis spp
Lepidiun sativum

Sarwar et al. (1998)
Yulianti et al. (2007)
Sarwar et al. (1998)
Ishimoto et al. (2004)

Sampai saat ini, tanaman penghasil GSL yang paling banyak digunakan
adalah dari famili Brassicaceae. Di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia, para
pemulia tanaman sengaja menciptakan varietas baru yang mengandung GSL
tinggi dan dikomersialkan sebagai tanaman penutup tanah atau pupuk hijau. BQ
mulch™ merupakan campuran dari spesies B. napus dan B. rapa produksi
Australia dan produksi Amerika Serikat (McGuire 2003).
Selain tanaman tersebut, beberapa spesies sayuran banyak digunakan
sebagai sumber biofumigan karena produk ITS yang dihasilkan. Di beberapa
negara maju, tanaman-tanaman tersebut digunakan sebagai tanaman rotasi dan
sisa tanamannya digunakan sebagai pupuk hijau. Dengan demikian, selain
berperan sebagai sumber biofumigan bagi hama, patogen tanah dan gulma,
tanaman ini juga digunakan untuk menambah kandungan bahan organik di dalam
tanah. Ketika sisa-sisa tanaman dihancurkan kemudian dibenamkan, terjadilah
proses hidrolisis GSL dan terbentuk senyawa-senyawa yang beracun. Senyawa
inilah yang diharapkan berfungsi sebagai biofumigan untuk mengendalikan
populasi patogen tanah.
Biofumigan akan memperbaiki dekomposisi bahan organik dalam tanah
sehingga dapat meningkatkan kesuburan dan mikrooganisme dalam tanah
(McGuire 2003), menyediakan nitrogen bagi tanaman berikutnya (Kristensen et
al. 2003), melestarikan kualitas dan kesehatan tanah, mendukung produktivitas
tanah, serta menahan air, khususnya pada tanah berpasir (Magdoff dan Weil
2004). Ketika tanaman Brassicaceae digunakan sebagai tanaman rotasi, beberapa
patogen yang bertahan hidup di dalam tanah diharapkan mulai tertekan. Saat
tanaman tumbuh dan berkembang, GSL dan enzim mirosinase yang diproduksi
ada yang keluar jaringan bersama eksudat akar merembes ke dalam tanah
(Kirkegaard et al. 2001).

11

3 BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca dan Laboratorium Nematologi
Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor pada bulan Agustus 2013 sampai April 2014.
Metode
Penyiapan tanah
Tanah diambil dari lahan pertanaman sayuran yang sudah terinfestasi
nematoda puru akar di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Kecamatan Pacet,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Penyiapan limbah Brassica dan tanaman indikator
Limbah Brassica diperoleh dari sisa panen pada lahan petani di kebun
percobaan Pasir Sarongge Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
Limbah Brassica dicacah dengan ukuran ± 1 cm dan siap untuk diaplikasikan ke
tanah yang telah terinfestasi nematoda. Tanaman tomat varietas Permata
digunakan sebagai tanaman indikator untuk menghitung jumlah nematoda di
dalam tanah.
Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah split split
plot, rancangan acak lengkap (RAL). Petak utama adalah 5 jenis limbah Brassica,
yaitu kubis, bunga kol atau kembang kol, brokoli, sawi putih dan pakcoy. Anak
petak adalah dosis limbah Brassica per pot ukuran 5 kg/pot dengan dosis 0.5, 1,
1.5 dan 0 kg. Anak-anak petak adalah lama inkubasi limbah Brassica: 1, 2 dan 3
minggu. Penggunaan nematisida sintetik dengan bahan aktif carbofuran (Furadan
3G 60 kg/ha) dan pot tanpa limbah Brassica digunakan sebagai pembanding.
Percobaan dibuat dalam 5 ulangan.
Penghitungan populasi awal nematoda puru akar (NPA)
Penghitungan awal jumlah nematoda puru akar dilakukan pada 20 tanaman
indikator. Bibit tomat berumur 2 minggu dipindahkan ke pot berisi tanah
terinfestasi sebanyak 5 kg/pot dan dipelihara selama 30 hari. Tanaman tomat
dicabut selanjutnya jumlah puru dihitung menggunakan hand counter.

Perlakuan biofumigasi
Pengujian efek fumigan dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
peran biofumigan dari limbah Brassica dalam menurunkan jumlah nematoda puru
akar. Pengujian dilakukan pada pot dengan volume 5 kg/pot. Lima jenis limbah
Brassica yang telah dicacah dicampurkan ke dalam tanah sudah terifestasi
nematoda. Pot yang sudah diberi perlakuan diinkubasi selama 1, 2 dan 3 minggu

12

dengan dosis 0.5, 1 dan 1.5 kg per pot. Masing-masing pot perlakuan limbah
ditutup dan diikat rapat. Perlakuan carbofuran (Furadan 3G dan perlakuan yang
tanpa limbah Brassica (0 kg) sebagai pembanding. Tanah yang telah diberi
perlakuan ditanami bibit tomat varitas Permata berumur 2 minggu untuk
menghitung jumlah nematoda puru akar yang masih hidup. Percobaan dibuat
dalam 5 ulangan.
Pengamatan efek uji biofumigasi terhadap nematoda puru akan (NPA)
Tanah yang telah diinkubasi, dibiarkan terbuka selama 3 hari. Tanaman
tomat dipelihara selama 30 hari. Pengamatan efek biofumigan dilakukan dengan
cara penghitungan jumlah puru pada akar tomat. Selain pengamatan efek
biofumigan dilakukan juga pengamatan pertumbuhan tanaman. Pengamatan
pewarnaan jaringan juga dilakukan untuk membuktikan kebenaran bahwa puru
yang terbentuk pada akar disebabkan oleh nematoda. Metode yang digunakan
pada pewarnaan akar nematoda adalah metode Shurtleff dan Averre (2000).
Keefektifan pengendalian puru akar menggunakan Abbot (1925):

Keterangan:

P0 : jumlah puru sebelum perlakuan
Pt : jumlah puru setelah perlakuan

Pengamatan mikroba tanah
Nematoda parasit tumbuhan dan non-parasit diekstraksi dari sampel tanah
dengan metode corong Bearmann yang dimodifikasi. Tanah sebelum dan setelah
aplikasi limbah Brassica diambil sebanyak 30 g. Selanjutnya tanah dimasukkan
ke dalam saringan yang sudah dilapisi tissu. Wadah diisi dengan air sehingga
menyentuh bagian bawah saringan, diinkubasi selama 2x24 jam dan disaring
menggunakan saringan 500 mesh. Suspensi hasil saringan diamati di bawah
mikroskop stereo dan dihitung populasinya.
Tanah sebelum dan setelah aplikasi limbah Brassica diambil sebagai sampel
dan dilakukan isolasi dan pembiakan mikroba. Mikroba pada tanah sebelum dan
setelah aplikasi dalam penelitian ini ditumbuhkan dengan metode pencawanan
dalam media biakan PDA untuk cendawan dan NA untuk bakteri. Suspensi tanah
dibuat pengenceran berseri 10-4 dan 10-5 untuk isolasi bakteri dan 10-3 dan 10-5
untuk isolasi cendawan. Selanjutnya masing-masing suspensi dituang pada media
sebanyak 0.01 mL. Protokol isolasi bakteri dan cendawan dengan seri
pengenceran mengikuti metode yang disusun Schaad et al. (2001). Masingmasing sampel diulang sebanyak 3 ulangan. Tujuan pengenceran ini adalah untuk
memperoleh mikroorganisme utama dengan menyisihkan mikroorganisme lain.
Identifikasi spesies NPA dengan pola perinial (Perineal Pattern)
Identifikasi dilakukan untuk mengetahui spesies-spesies Meloidogyne sp.
yang terdapat pada tanah perlakuan. Metode identifikasi dilakukan dengan
pengamatan pola sidik pantat (perineal pattern) nematoda betina. Protokol
pembuatan pola perinial mengikuti metode yang disusun Eisenback et al.(2003).

13

Analisis data
Data hasil pengamatan dianalisis secara statistika dengan menggunakan
prosedur General Linear Model (GLM) dilanjutkan dengan uji Duncan’s pada
program SAS 9.1.3 for Window dengan p-value 0.05.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Lima jenis limbah Brassica pada dosis dan waktu inkubasi yang diuji sangat
efektif menurunkan populasi nematoda puru akar. Jumlah puru akar pada pot
perlakuan lebih rendah dibandingkan pot yang tidak diberi limbah Brassica dan
pot perlakuan carbofuran (Furadan 3G 60 kg/ha). Percobaan tanpa limbah
Brassica rata-rata persentase keefektifannya 48.21% sedangkan perlakuan limbah
Brassica persentase keefektifannya dari 93-100%.
Tabel 2 Rata-rata jumlah puru dan keefektifan pengendalian Meloidogyne sp. pada
tanaman tomat di rumah kaca pada perlakuan limbah Brassica
Perlakuan
Jenis limbah Brassica
Kubis
Bunga kol
Brokoli
Sawi putih
Pakcoy
Dosis (kg/5 kg tanah)
0 kg
0.5 kg
1 kg
1.5 kg
Waktu inkubasi (minggu)
1 minggu
2 minggu
3 minggu
Carbofuran (Furadan 3G)
P0 (tanpa limbah Brassica)

Jumlah puru

Keefektifan pengendalian(%)

10.95c*
2.66d
3.20d
2.48d
2.33d

93.77b
98.48a
98.18a
100.00a
100.00a

56.90a
6.76b
5.6b
0.54c

67.88b
96.91a
97.41a
99.93a

5.64a
6.66b
0.68c

97.60b
96.97b
99.69a

22.60b
91.20a

87.16c
48.21d

*) Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada p-value
0.05 (uji selang berganda Duncan)

Interaksi antar perlakuan jenis limbah, dosis dan waktu inkubasi
memperlihatkan hasil yang lebih efektif dalam menurunkan jumlah puru NPA
dibanding carbofuran (Furadan 3G) dan tanpa perlakuan limbah Brassica. Jenis
limbah brokoli, bunga kol, sawi putih dan pakcoy pada dosis 0.5 kg/5 kg tanah
efektif menurunkan jumlah puru NPA 96-100%. Jenis limbah brokoli, bunga kol,
sawi putih dan pakcoy, dosis 0.5 kg/5 kg tanah dengan waktu inkubasi 1 minggu
efektif menurunkan jumlah puru NPA. Limbah kubis jika dilakukan penambahan

14

dosis dan waktu inkubasi dapat meningkatkan persentase keefektifannya dari
85.00-100% (Tabel 3).
Tabel 3 Rata-rata keefektifan pengendalian perlakuan jenis, dosis dan waktu inkubasi
limbah Brassica terhadap penurunan jumlah puru Meloidogyne sp. pada tanaman
tomat
Jenis limbah Brassica
Dosis (kg/5kg tanah)*
0.5
1
1.5
Waktu inkubasi 1 minggu
Kubis
89.89a
85.00b
99.09a
Bunga kol
94.66a
99.31a
100.00a
Brokoli
97.27a
98.86a
100.00a
Sawi putih
100.00a
100.00a
100.00a
Pakcoy
100.00a
100.00a
100.00a
Waktu inkubasi 2 minggu
Kubis
85.21b
86.48b
100.00a
Bunga kol
94.66a
100.00a
100.00a
Brokoli
94.88a
94.32a
100.00a
Sawi putih
100.00a
100.00a
100.00a
Pakcoy
100.00a
100.00a
100.00a
Waktu inkubasi 3 minggu
Kubis
86.48b
99.54a
100.00a
Bunga kol
100.0a
97.72a
100.00a
Brokoli
98.29a
100.00a
100.00a
Sawi putih
100.00a
100.00a
100.00a
Pakcoy
100.00a
100.00a
100.00a
*) Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada p-value
0.05 (uji selang berganda Duncan)

Limbah kubis dengan dosis 0.5 kg/5 kg tanah keefektifannya 91.29% ketika
dosis ditingkatkan menjadi 1.5 kg/5 kg keefektifan meningkat menjadi 99.69%
(Tabel 4). Waktu inkubasi 1 minggu pada semua jenis limbah yang diuji efektif
menurunkan jumlah puru NPA 90-100%. Jika waktu inkubasi diperpanjang
sampai 3 minggu keefektifan limbah kubis meningkat 99.77% (Tabel 5). Pada
semua tingkatan dosis dan waktu inkubasi, aplikasi limbah Brassica lebih efektif
dalam menurunkan jumlah puru NPA yang disebabkan Meloidogyne sp. (Tabel 6).

Tabel 4 Rata-rata keefektifan pengendalian perlakuan jenis dan dosis limbah Brassica
terhadap penurunan jumlah puru Meloidogyne sp. pada tanaman tomat
Jenis limbah
Dosis (kg/5kg tanah)*
0.5
1
1.5
Kubis
91.29b
90.34b
99.69a
Bunga kol
96.41a
99.01a
100.00a
Brokoli
96.82a
97.72a
100.00a
Sawi putih
100.00a
100.00a
100.00a
Pakcoy
100.00a
100.00a
100.00a

15

*) Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada p-value
0.05 (uji selang berganda Duncan)

Tabel 5 Rata-rata keefektifan pengendalian perlakuan jenis dan waktu inkubasi limbah
Brassica terhadap penurunan jumlah puru Meloidogyne sp. pada tanaman tomat
Jenis limbah
Brassica
Waktu Inkubasi *
1 minggu
2 minggu
3 minggu
91.33b
90.23b
99.77a
Kubis
97.99a
98.22a
99.24a
Bunga kol
98.71a
96.40a
99.43a
Brokoli
100.00a
100.00a
100.00a
Sawi putih
100.00a
100.00a
100.00a
Pakcoy
*) Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada p-value
0.05 (uji selang berganda Duncan)

Tabel 6 Rata-rata keefektifan pengendalian perlakuan dosis dan waktu inkubasi limbah
Brassica terhadap penurunan jumlah puru Meloidogyne sp. pada tanaman tomat
Dosis (kg/5kg)
0.5
1
1.5

Waktu inkubasi*
1
96.36a
96.63a
99.81a

2
94.75a
96.16a
100.00a

3
99.61a
99.45a
100.00a

*) Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama ti