Penggunaan Limbah Pertanian Sebagai Biofumigan untuk Mengendalikan Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) pada Tanaman Kentang

TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Nematoda Puru Akar (Meloidogynespp.)
Adapun

Klasifikasi

nematoda

Meloidogyne

spp

menurut

(Lucet al., 1995) adalah sebagai berikut :
Filum

: Nemathelminthes

Kelas


: Nematoda

Sub Kelas : Secernenteae
Ordo

: Thylenchina

Famili

: Heteroderidae

Genus

: Meloidogyne

Spesies

: Meloidogyne spp.
Nematoda betina berwarna transparan, berbentuk seperti botol bersifat


endoparsit yang tidak terpisah (sedentary). Panjangnya lebih dari 0,5 mm dan
lebarnya antara 0,3-0,4 mm. Stiletnya lemah, panjang stilet 12-15 µm,
melengkung kearah dorsal. Memiliki pola yang jelas pada stiasi yang terdapat di
sekitas vulva dan anus disebut pola perineal yang dapat dipergunakan untuk
identifikasi jenisnya. Nematoda jantan dewasa berbentuk memanjang bergerak
lambat di dalam tanah. Panjangnya bervariasi maksimum 2 mm,

sedangkan

perbandingan antara panjang tubuh dan lebarnya mendekati 45. Kepalanya tidak
berlekuk, panjang stiletnya hampir dua kali panjang stilet
posterior

berputar

180º

memiliki

1-2


testis.

betina.

Morfologi

dan

Bagian
anatomi

nematodaMeloidogyne spp (Dropkin, 1996).
Kumpulan telur nematoda Meloidogyne dilindungi oleh cairan pekat.
Larva stadium kedua akan ke luar dari telur, berbentuk cacing dengan ukuran

Universitas Sumatera Utara

panjang 0,3-0,5 mm. Larva tersebut bergerak aktif melalui selaput air di antara
partikel-partikel tanah dan menyerang akar tanaman dengan cara melukai

epidermis ujung akar dengan stilet (alat penusuk dan pengisap pada mulutnya)
lalu masuk ke dalam jaringan sampai ke jaringan tengah. Larva tersebut mengisap
cairan sel akar. Cairan pencernaan yang dikeluarkan oleh nematoda ini
merangsang terjadinya pembelahan sel akar sehingga terjadi pembengkakan.
Keadaan ini dibutuhkan untuk perkembangan larva. Nematoda betina berbentuk
seperti buah per dengan ukuran panjang 0,5 - 1,2 mm. Nematoda jantan berbentuk
cacing memanjang dengan ukuran 1,0 - 2,0 mm. Saat ini telah banyak nematisida
untuk pengendalian nematoda Meloidogyne yang dapat digunakan. Pencegahan
penyakit ini dengan sterilisasi media tanam, penggunaan benih yang sehat, serta
sanitasi lingkungan pertanaman (Lucet al., 1995).
Siklus Hidup Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.)
Siklus hidup (Gambar 1) nematodabetina dewasa bertelur dalam
glikoprotein

gelatin.Glikoprotein

membungkus

telur


bersama-sama

dan

memberikan perlindungan terhadap stres fisik, predasi dan mikroba infeksi. Telur
yang terletak pada permukaan akar atau dalam galls. Hasil embriogenesis tahap
pertama (J1) yang terus berkembang di dalam telur. Ketika telah mencapai
perkembangan tahap kedua (J2) telur siap menetas. Telur menetas tergantung pada
berbagai faktor lingkungan seperti kelembaban, suhu dan konsentrasi eksudat
tanaman. Setelah menetas individu J2 merupakan tahap bergerak dalam akar
tumbuhan inang atau melalui tanah untuk menemukan tempat baru untuk
menginfeksi. Nematoda J2 menempatkan inang baru dari eksudat akar atau
reinfects tanaman inang di mana ia dilahirkan. Pada tahap J2 nematoda yang

Universitas Sumatera Utara

relatif terkena kondisi lingkungan danrentan terhadap predasi. Sebuah inang baru
harus ada secepat mungkin. Ketika tiba di akar inang yang cocok J2 akan
menembus akar. Setelah menembus epidermis akar, nematoda bergerak melalui
jaringan tanaman untuk menemukan tempat makan di proto-xilem atau

protophloem dari akar. Nematoda J2 mulai makan dan komponen kimia
diekskresikan oleh nematoda menyebabkan sel tumbuhan membesar dan menjadi
sel raksasa. Setelah makan J2 mulai berubah menjadi 'bentuk sosis' dan jika
kondisi benar berkembang menjadi J3-tahap dalam waktu sekitar dua minggu.
Pada tahap pengembangan J3 jantan dan betina sekarang menampilkan perbedaan
ciri-ciri morfologi.Nematoda J3 tidak lagi makan tapi terus mengembangkan
melalui tahap J4 menjadi dewasa, biasanya dalam 4-6 hari. Siklus hidup selesai
ketika nematoda betina bertelur sendiri dan proses ini diulang beberapa kali
selama periode tanam tergantung pada spesies inang, kondisi lingkungan, dan
teknik budidaya (Bengtsson, 2015).

Gambar 1 : Siklus Hidup Meloidogynespp. (Sumber : Bengtsson, 2015).

Universitas Sumatera Utara

Gejala Serangan Nematoda Puru Akar (Meloidogynespp.)
Tingkat serangan nematoda yang tinggi menyebabkan kerusakan
perakaran dan terganggunya penyerapan unsur hara, sehingga pertumbuhan
tanaman


terhambat.Faktor

lainnya

adalah

kemampuan

nematoda

untuk

mentransfer hara penting dari tajuk tanaman menuju ke akar tanaman, sehingga
mengganggu metabolisme dalam sel, karena menghambat fotosintesis pada
tanaman (Wardhianyet al., 2014).Kebanyakan spesies Meloidogyne mudah
didiagnosis oleh petani dengan kehadiran puru pada akar. Puru akar terbentuk
sebagai akibat dari gangguan fisiologis dalam jaringan akar yang disebabkan oleh
interaksi trofik nematoda betina (Collange et al., 2015).
Seperti pada Gambar 2 umbi kentang yang terinfeksi Meloidogyne spp.
memiliki gejala permukaan umbi tidak rata, bergelombang dan berbintil, dan

terkadang disertai dengan adanya serangan dari patogen lain sehingga umumnya
umbi cepat busuk. Bagian umbi yang terserang nematoda puru akar bila kulit
luarnya dikupas akan terlihat titik-titik berwarna krem kekuningan yang
merupakan nematoda betina bila dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran
rendah (Gambar 2A). Satu titik pada umbi tersebut berisi nematoda betina dengan
massa telur dari berbagai stadium (Aprilyaniet al., 2015). Selainterbentuknya puru
pada sistem perakarannya, tanaman yang terserang Meloidogyne spp. daunnya
juga mengalami klorosis, tanaman kerdil, daunnya layu dan banyak yang gugur,
lama-kelamaan tanaman akan mati (Diantariet al., 2015).

Universitas Sumatera Utara

A

B

Gambar 2: A.Gejala serangan nematoda puru akarpada umbi kentang
B.
Massa telur Meloidogyne spp.Pada jaringan umbi kentang (Sumber :
Aprilyani et al., 2015)

Pengendalian Nematoda Puru Akar (Meloidogynespp.)
Banyak cara yang dapat dilakukan dalam pengendalian nematoda puru
akar ini seperti penggunaan tanaman perangkap, pergiliran tanaman, pengendalian
secara hayati, fisik, penggenangan lahan dan lain-lain sebagainya. Penggenangan
lahan (flooding) sebelum tanam merupakan tindakan yang efektif untuk menekan
populasi nematoda dalam tanah,sehingga aktifitas dari nematoda didalam tanah
menurun (Diantariet al., 2015).
Nematisida kimia telah digunakan untuk mengendalikan nematoda ini
dengan hasil yang luar biasa,tetapi selanjutnya timbul kekhawatiran tentang residu
nematisida dalam makanan dan lingkungan, sehingga meningkatkan pencarian
cara alternatif pengendalian nematoda karena adanya masalah yang disebabkan
oleh pengendalian kimia. Efek tersebut terutama merusak terhadap kesehatan
manusia dan lingkungan, maka pengembangan metode pengendalian alternatif
memiliki arti yang sangat penting (Naserinasabet al., 2011) seperti menggunakan
biopestisida (Wardhianyet al., 2014).
Terdapat beberapacara pengendalian nematoda yang aman bagi
lingkungan adalah penggunaan jamur, bakteri ataupun penggunaan bahan
organik.Beberapa jamur dapat menjadi parasit nematoda baik menyerang telur
ataupun juvenil dengan membentuk struktur hifa khusus untuk memangsa


Universitas Sumatera Utara

nematoda yang bergerak. Jamur ini disebut jamur nematophagus yang hifanya
dapat menjebak dan merekat untuk menangkap nematoda. Salah satu contoh
spesies jamur ini adalah Arthrobotrytis spp. Beberapa jenis bakteri juga mampu
menjadi antagonis bagi nematoda puru akar terutama rhizobakter sepertiBacillus
subtilis, B. phaericus dan Pseudomonas fluorescens(Lamovsek et al., 2013).
Pengendalian

juga

dapat

dilakukan

dengan

aplikasi

bahan


organik.Penambahan bahan organik pada tanaman tomat yaitu penambahan sekam
padi, serbuk gergaji dan limbah dapat menurunkan serangan nematoda.Kompos
agro-industri dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian Meloidogyne spp.
Berdasarkan hasil penelitian dapat menurunkan serangan nematoda dari 87,9 %
menjadi 24,4 %, selain itu hal menguntungkan lainnya adalah dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman (Hassan et al., 2010).
Limbah Pertanian Sebagai Biofumigan
Biofumigasi adalah penggunaan senyawa volatil yang dihasilkan makhluk
hidup untuk mengendalikan hama, penyakit maupun gulma yang ada di dalam
tanah. Ada dua sumber biofumigan yang popular, yang pertama adalah jamur
Muscodor spp. Jamur ini banyak ditemukan di hutan tropis Indonesia, Malaysia,
Thailand, Peru, Bolivia, dan Australia. Jamur ini menghasilkan senyawa
volatilorganik kompleks yang sangat beracun bagi serangga dan patogen (jamur,
bakteri, dan nematoda) penyebab penyakit.Sumber biofumigan yang kedua adalah
tanaman dari keluarga Brassicaceae (kubis-kubisan).Biofumigan dari tanaman
kubis-kubisan lebih populer dan telah digunakan secara luas (Balai Penelitian
Tanaman Tembakau dan Serat, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Biofumigasi adalah penggunaan bahan kimia tanaman yang mudah
menguap untuk mengendalikan hama soilborne. Viabilitas biofumigasi untuk
mengendalikan patogen telah diteliti selama bertahun-tahun. Studidilakukan di
The University of Tennessee menunjukkan bahwa biji sawi memiliki konsentrasi
isothiocyanates (ITC) yang sangat tinggi juga merupakan sumber pupuk nitrogen
dannutrisi lainnya. Ketika dimasukkan ke dalam tanah, ITC bertindak efektif
sebagai biofumigasi, mengurangipopulasi spesies jamur patogen (Sclerotium,
Rhizoctonia, dan Phytium), nematoda,gulma, dan spesies serangga tertentu. Telah
ditemukan

bahwa

volatil

dari

beberapa

spesies

Brassica

menekan

pertumbuhanpatogen tomat Pythium ultimum, Rhizoctonia solani, dan Sclerotium
rolfsii. Aktivitas biosidal dari brassicaterhadap patogen jamur, nematoda, gulma,
dan serangga sering dikaitkan dengan ITC darijaringan Brassica. ITC efektif,
pestisida spektrum luas, dan jumlah besar dari merekadapat diproduksi untuk
aplikasi lapangan. Penelitian telah menunjukkan bahwa Black mustard (Brassica
nigra) dan sawi (B. juncea) menghasilkan ITC tinggi, dan bisadimanfaatkan
dalam sistem biofumigasi tanaman (Kopsellet al., 2005).
Beberapa tanaman dari famili Cruciferae atau Brassicaceae yang banyak
meninggalkan sisa tanaman setelah panen adalah kubis, lobak, brokoli dan
kembang kol, seperti sisa daun dan batang yang banyak dibiarkan berserakan di
lahan petani maupun di tempat pembuangan sampah.Sisa tanaman kubis, brokoli
dan lobak dapat dimanfaatkan sebagai biofumigan untuk mengendalikan
nematoda dan penyakit tular tanah lainnya.Biofumigasi dengan sisa tanaman
cruciferae efektif dalam menekan jumlah puru akar pada tanaman uji.Berdasarkan
hasil rata-rata persentase penekanan jumlah puru, biofumigasi dengan sisa

Universitas Sumatera Utara

tanaman lobak dan kubis memberikan hasil yang paling efektif, setara dengan
aplikasi nematisida sintetik (Furadan 3G). Biofumigasi sisa tanaman famili
Cruciferae menghasilkan senyawa GSL yang mengandung nitrogen dan balerang
hasil metabolit sekunder tanaman bersifat volatil sehingga tidak dapat bertahan
lama, pelepasan senyawa GSL dari jaringan tanaman yang kemudian diikuti
dengan hidrolisis untuk menghasilkan senyawa beracun sehingga dapat
mematikan nematoda (Daulay, 2013).
Biofumigasi mengacu pada penekanan hama, penyakit dan patogen oleh
senyawa biosidal yang berasal dari tumbuhan seperti isothiocyanates dan
poliphenols. Isothiocyanates berasal dari hidrolisis glukosinolat, proses dimediasi
oleh enzim myrosinase yang terjadi secara endogen di tanaman dari Brassicaceae.
Biofumigasi dianggap penting sebagai teknik perlindungan tanaman alternatif
saat ini di beberapa negara. Biofumigasi mungkin sangat berguna di daerah tanah
yang rendah bahan organik. Efek dari teknik ini pada kualitas tanah, produktivitas
tanaman dan lingkungan menunjukkan efek yang baik, terkhusus untuk efek
biofumigasi karena ini sangat terkait aktivitas biologis di dalam tanah (Trindade &
Aries, 2011).

Universitas Sumatera Utara