Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung

i

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN TATANIAGA BUNCIS
ORGANIK DAN BUNCIS NON-ORGANIK DI DESA CISONDARI,
KECAMATAN PASIRJAMBU, KABUPATEN BANDUNG

RADEN INTAN WIYANTI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

iii

PERNYATAAN SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Pendapatan

Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Non-organik di Desa
Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung” adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013

Raden Intan Wiyanti
NIM H34090079

iv

ABSTRAK
RADEN INTAN WIYANTI. Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis
Organik dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten
Bandung. Dibimbing oleh TINTIN SARIANTI.

Pertanian organik adalah jawaban tepat dalam pola hidup pangan sehat dan
kelestarian lingkungan yang permintaannya cenderung meningkat dan harga jualnya
relatif lebih tinggi dari sayuran non-organik dengan buncis sebagai komoditas potensial.
Desa Cisondari merupakan salah satu Desa di Kabupaten Bandung yang
membudidayakan buncis secara organik dan non-organik, namun populasi jumlah petani
buncis organik lebih kecil daripada petani buncis non-organik. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menganalisis dan membandingkan keragaan, pendapatan usahatani dan rasio
R/C buncis organik dan buncis non-organik; menganalisis alur tataniaga, lembaga yang
terlibat, fungsi tataniaga, struktur dan perilaku pasar pada tataniaga buncis organik dan
konvesional,; serta menganalisis efisiensi tataniaga ditinjau dari margin tataniaga,
farmer’s share dan π/c rasio pada tataniaga buncis organik dan buncis non-organik. Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa keragaan buncis organik dan buncis non-organik
berbeda dari input, beberapa tahapan budidaya, dan output. Pendapatan usahatani dan
rasio R/C dari buncis non-organik lebih menguntungkan dari pada buncis organik karena
tproduktivitas yang rendah dan tingkat afkir yang tinggi. Terdapat satu saluran tataniaga
pada buncis organik dan enam saluran tataniaga pada buncis non-organik. Saluran yang
lebih efisien pada tataniaga buncis organik adalah saluran III, dan saluran VI pada
tataniaga buncis non-organik.
Kata kunci: analisis usahatani, analisis tataniaga, buncis, anorganik, organik
ABSTRACT

RADEN INTAN WIYANTI. Analysis of Farm Income and Marketing of Organic Fine
Bean and Anorganic Fine Bean (Case in Cisondari Village, Pasir Jambu, Bandung
District). Supervised by TINTIN SARIANTI
As one of the best alternative for healthy lifestyle and sustainable environment,
organic farming is increasingly demanded and the sell price is quite higher than anorganic
vegetables. Among the organic farming system vegetables in Indonesia, one of them is
fine beans produced in Cisondari Village. Cisondari Village is located in Bandung
District and cultivated with both organic and anorganic system, though the number of
anorganic farmers are higher than the organic one. The aims of this research are to
analyze and compare the variability, income of fine beans farming, and R/C ratio in both
organic and anorganic system; to analyze the flow of marketing channel and institutions
involved in the trading system; and to analyze the margin trading system, the farmer’s
share, and π/c ratio on organic and anorganic fine beans marketing. The result of this
research concluded that the variabilities of both organic and anorganic fine beans are
different in the input, output, and multiple stages of cultivation. Farm income and the
ratio of R/C on anorganic fine beans have more benefits than the organic one. There are 3
marketing channels in organic trading system and 6 marketing channels in anorganic. The
most efficient margin channel on organic fine beans trading system is the 3rd channel and
the 4thchannel in anorganic one.
Keywords: anorganic, farm income analysis,fine beans, marketing analysis, organic


v

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN TATANIAGA
BUNCIS ORGANIK DAN BUNCIS NON-ORGANIK
DI DESA CISONDARI, KECAMATAN PASIRJAMBU,
KABUPATEN BANDUNG

RADEN INTAN WIYANTI

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

vi

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik
dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan
Pasirjambu, Kabupaten Bandung
Raden Intan Wiyanti
Nama
H34090079
NIM

Disetujui oleh

Tintin Sarianti, SP, MM
Pembimbing

Diketahui oleh

MS


Tanggal Lulus:

3 1 JUL 2013

vii

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik
dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan
Pasirjambu, Kabupaten Bandung
Nama
: Raden Intan Wiyanti
NIM
: H34090079

Disetujui oleh

Tintin Sarianti, SP, MM
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

viii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan dengan judul
Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Nonorganik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
uswatun hasanah dan pemimpin terbaik bagi umat manusia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Tintin Sarianti selaku
pembimbing. Ibu Ratna Winandi selaku dosen penguji utama dan Ibu Juniar
Atmakusumah selaku komisi pendidikan atas saran dan masukannya. Di samping
itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu Wahyudin, Serta
Bapak Tohir sekeluarga dari Desa Cisondari, seluruh petani responden di Desa

Cisondari, dan seuluruh staff Kelurahan Cisondari yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda
(Suriswa Tirtakusumah), ibunda (Nenni Darniawati), seluruh keluarga (Ranu
Kusumah, Dewi Puspasari, Putri Pratiwi, Tante Ade Leliana, Viqi Aminazora) dan
seluruh sahabat (Tedi Aditia Lesmana, Nazar Alhaddad, Taufik Hidayat, Wiggo
Windi R, Khonsa Tsabita, Faathira Ajeng P, Chairun Nisa, Gitta Sestika F,
Fadhilla Ananda, Intan Mega Puspita, Asri Nurfitriani, Mega Pratiwi, Nurma
Yuliawati, Melisa A, Cynthia Mawarnita, Restu Rahmana P, Lintang Satrio, Nur
Cahaya, Lusi Dara Mega, Khoirunnisa Cahyamurti, Aisya Nadhira, Lutfhan
Hadhi, Indra Lasmana, Wahid Nurwahyudin, Achmad Fachruddin, Anindita Sita
Dewi, Wahyu Widjiwati, Rr Siti Marsha, Glerina, Mirna, Arya Panji W), keluarga
besar Agribisnis 46, Keluarga Besar BEM FEM IPB Kabinet Sinergi dan Kabinet
Progresif atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Raden Intan Wiyanti

ix


DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Pertanian Organik
Pertanian Non-organik
Gambaran Umum Buncis
Kajian Analisis Pendapatan Usahatani
Kajian Analisis Tataniaga
KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep Usahatani
Konsep Tataniaga

Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengolahan Data
Analisis Pendapatan Usahatani
Analisis Tataniaga Buncis Organik dan Konvensonal
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BUNCIS ORGANIK DAN
BUNCIS NON-ORGANIK
Keragaan Usahatani Buncis Organik dan Buncis Konvensonal
Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Buncis Organik dan Buncis
Non-organik
ANALISIS TATANIAGA BUNCIS ORGANIK
ANALISIS TATANIAGA BUNCIS NON-ORGANIK
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

RIWAYAT HIDUP

ix
x
xi
xi
11
1
4
5
6
6
6
8
8
11
13
14
14
19
25
28
28
28
28
29
29
30
32
40
40
53
58
67
81
81
83
84
96

x

DAFTAR TABEL
1. Nilai PDB hortikultura berdasarkan harga berlaku periode tahun 20072.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.

2010
Perkembangan konsumsi beberapa jenis pangan (gram/kap/hari) tahun
2005-2009
Data konsumsi sayuran per kapita tahun 2006-2008
Jumlah produksi tanaman pangan Desa Cisondari tahun 2012
Kandungan buncis berdasarkan DKBM
Karakteristik struktur pasar
Kondisi dan perilaku pasar berdasarkan struktur pasar
Komponen analisis pendapatan usahatani
Luas lahan berdasarkan pemanfaatan di Desa Cisondari
Jumlah penduduk menurut kelompok usia di Desa Cisondari
Tingkat pendidikan penduduk di Desa Cisondari
Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Cisondari
Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan
jenis kelamin (jiwa)
Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik responden
berdasarkan umur (jiwa)
Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan
pendidikan terahir (jiwa)
Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan
status bertani (jiwa)
Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan
lama pengalaman bertani (jiwa)
Sebaran petani buncis organik dan non-organik responden berdasarkan
status kepemilikan lahan (jiwa)
Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan
luas lahan garapan (jiwa)
Karakteristik responden pedagang perantara buncis non-organik
Jumlah penggunaan pupuk organik pada petani buncis organik
Jumlah penggunaan pupuk kandang pada petani buncis non-organik
Perbandingan biaya pupuk pada buncis organik dan non-organik
Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh petani responden buncis nonorganik untuk pestisida per 1000 m2 musim tanam
Rata-rata penggunaan tenaga kerja usahatani buncis organik dan buncis
non-organik dalam hok per 1000 m2 per musim tanam
Nilai rata-rata penyusutan perlatan dalam satu musim tanam budidaya
buncis organika
Nilai rata-rata penyusutan perlatan dalam satu musim tanam buncis nonorganik
Perbandingan komponen penerimaan buncis organik dan buncis nonorganik

2
3
3
4
11
22
22
30
33
33
34
34
35
36
36
37
37
38
38
39
41
42
43
45
46
48
48
54

xi

29. Komponen biaya buncis organik dan buncis non-organik
30. Perbandingan penerimaan, biaya, pendapatan, dan rasio R/C pada buncis
31.
32.
33.

organik dan buncis non-organik dalam 1000 m2/musim tanam
Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga buncis organik di
Desa Cisondari
Biaya, keuntungan, dan marjin lembaga tataniaga buncis organik di Desa
Cisondari (Rp/kg)
Farmer’s share yang didapatkan petani buncis organik di Desa Cisondari
Rasio Π/c lembaga tataniaga buncis organik pada masing-masing saluran

34.
35. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga buncis non-organik
36. Farmer's share buncis non-organik pada saluran I-VI

37. Marjin tataniaga, dan rasioa π/c

55
57
59
64
65
66
71
77

pada tataniaga buncis non-organik di Desa

Cisondari

79

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Kurva hubungan biaya dengan tingkat produksi
Marjin pemasaran
Kerangka pemikiran operasional
(a) foto pemakaian ajir di kebun buncis organik salah satu responden di
Desa cisondari (b) rincian gambar ajir
Gambar pola jarak tanam dan jarak bedeng buncis organik dan buncis
konvensinal di Desa Cisondari
Foto dokumentasi pemanenan buncis organik di Desa Cisondari yang
dilakukan oleh tenaga kerja perempuan
(a) dan (b) buncis afkir, (c) buncis lolos sortir
Saluran tataniaga buncis organik lolos sortir di Desa Cisondari
Saluran tataniaga I-VI buncis non-organik di Desa Cisondari

17
24
27
45
50
52
53
58
70

DAFTAR LAMPIRAN

1. Produksi sayuran tahun 2007 - 2011 kabupaten dan kota di Jawa Barat
menurut komoditi: buncis dalam ton
86
2. Resep pestisda alnami yang digunakan petani responden buncis organik 86
3. Analisis pendapatan usahatani dan R/C buncis organik di Desa Cisondari
(1000 m2/ musim tanam)
87
4. Analisis pendapatan usahatani dan R/C buncis non-organik di Desa Cisondari
(1000 m2/ musim tanam)
88
5. Biaya-biaya yang dikeluarkan lembaga tataniaga buncis organik (Rp/kg) 89
6. Biaya-biaya yang dikeluarkan lembaga tataniaga buncis non-organik
(Rp/kg)
91
7. Dokumentasi lapangan
93

xii
8. Data karakteristik responden petani buncis organik di Desa Cisondaria
94
9. Data karakteristik responden petani buncis non-organik di Desa Cisondari 95

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan zaman menuntut pola hidup masayarakat untuk semakin
peduli terhadap keamanan dan kesehatan pangan. Kepedulian tersebut salah
satunya ditunjukan dengan adanya perubahan gaya hidup dalam pemilihan
kualitas makanan. Gaya hidup masyarakat yang mengutamakan kesehatan dan
keamanan pangan salah satunya dibuktikan dengan memilih bahan pangan yang
memiliki residu kimia kecil bahkan produk yang alami. Pertanian organik adalah
salah satu jawaban tepat dalam pangan yang sehat dan aman karena secara prinsip
pertanian organik merupakan pertanian yang sistem budidayanya tidak
menggunakan input berbahan kimia sintetik seperti pupuk, pestisida, serta zat
penumbuh lainnya (Pracaya 2012). Pergesaran gaya hidup tersebut merupakan
sebuah peluang yang dimanfaatkan oleh unit bisnis dan sebagian petani di
Indonesia untuk berbudidaya secara organik.
Selain karena pergeseran gaya hidup yang lebih mengutamakan pangan
sehat, pertanian organik pun telah dicanangkan pemerintah sejak tahun 2001
melalui program Go Organic 2010. Tujuan program tersebut adalah untuk
mengahasilkan pangan aman, sehat, dan berkualitas, meningkatkan pendapatan
petani karena adanya efisiensi pemanfaatan sumber daya dan nilai tambah produk
(Deptan, 2007). Tujuan lainnya adalah Indonesia menjadi pemain penting di pasar
komoditas pertanian organik dunia karena permintaan dunia yang cenderung
meningkat terhadap produk pertanian organik. Menurut laporan FAO (Food and
Agriculture Organization) diacu dalam Scialabba (2005), selama tahun 1995-2004
sektor pertanian organik mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 15-20 persen
per tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan Sahota (2003) dan (2007) diacu
dalam Saragih (2010) menunjukan bahwa terjadi peningkatan pertumbuhan
penjualan pertanian organik tingkat internasional yang cukup signifikan. Rata-rata
pertumbuhan penjualan pada tahun 2002 sekitar 7-9 persen per tahun. Tahun
2004-2005 pertumbuhan penjualan mencapai 16% per tahun. Jika dibandingkan
setiap tahunnya maka dapat disimpulkan terjadi peningkatan penjualan dari tahun
2002 sampai tahun 2005. Total penjualan global pada tahun 2005 sebesar US$33
milyar. Kebijakan tersebut merupakan salah satu peluang besar untuk
mengembangkan pertanian organik di Indonesia
Di tingkat nasional, tren positif kegiatan pertanian organik terlihat dari
pertambahan luas areal pertanian organik di Indonesia. Menurut Purba dan Umar
(2011) pada tahun 2004, International Federation of Organic Agriculture
Movement (IFOAM) melansir, Indonesia baru memanfaatkan 40.000 ha (0,09
persen) lahan pertaniannya untuk pertanian organik. Namun pada 2010, Aliansi
Organis Indonesia (AOI) yang merupakan anggota dari IFOAM, mencatat luas
area pertanian organik Indonesia seluas 238.872,24 Ha. Hal ini berarti terjadi
peningkatan luas area pertanian organik hampir 600 persen selama kurun waktu 6
tahun. Selain itu di Indonesia permintaan akan produk pertanian organik tumbuh
sangat pesat. Pada tahun 2006, pertumbuhan permintaan domestik mencapai 600
persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Permintaan ini setara dengan US$
5-6 juta atau sekitar Rp 45-46 miliar. Jika pada tahun 2005 jumlah outlet atau

2
retailer organik hanya sekitar 10 buah maka pada tahun 2007 angka tersebut sudah
lebih dari 20 buah (Surono 2007, dalam Saragih 2008).
Produk pertanian organik yang dikembangkan di Indonesia diantaranya
sayuran, buah-buahan, dan padi. Salah satu komoditas yang jenisnya paling
banyak dikembangkan secara organik adalah sayuran. Di sisi lain sayuran
merupakan kelompok komoditi hortikultura yang menyumbangkan persentase
PDB kedua terbesar setelah komoditi buah-buahan. Berikut data nilai PDB
hortikultura tahun 2007-2010 pada Tabel 1.
Tabel 1 Nilai PDBa hortikultura berdasarkan harga berlaku periode tahun 20072010b
Nilai PDB (Milyar Rupiah)
Kelompok
komoditas
2007
2008
2009
2010
Buah-buahan
42.362
47.060
48.437
45.482
Sayuran
25.587
28.205
30.506
31.244
Tanaman Hias
4.741
5.085
5.494
6.174
Biofarmaka
4.105
3.853
3.897
3.665
Total Hortikultura
76.795
84.203
88.334
86.565
a

Produk Domestik Bruto.; bSumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

Tabel 1 menunjukan bahwa PDB yang dihasilkan sayuran merupakan PDB
kedua terbesar dalam hortikultura, selain itu terjadi peningkatan tiap tahunnya dari
tahun 2007 hingga tahun 2010. Peningkatan tersebut mengindikasikan bahwa
tanaman sayuran merupakan komoditi agribisnis yang potensial di kembangkan di
Indonesia.
Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan 2010 terdapat pertumbuhan
konsumsi sayuran (gram/kapita/hari), meskipun tahun 2009 mengalami penurunan
dari 2008 namun secara garis besar memiliki kecenderungan meningkat dengan
laju pertumbuhan konsumsi 0,59 persen dari 2005 sampai dengan 20091.

1

Badan Ketahanan Pangan (2010). Perkembangan konsumsi beberapa jenis pangan
(Gram/kap/hari) Tahun 2005-2009. Jakarta (ID)

3
Tabel 2 Perkembangan konsumsi beberapa jenis pangan (gram/kap/hari) tahun
2005-2009a
Jenis Pangan

2005

Sumber Energi
Beras
288.30
Jagung
9.09
Terigu
2303
Ubikayu
41.19
Ubijalar
10.87
Sagu & umbi
3.13
lainnya
Sumber Protein
Daging
16.10
Telur
16.76
Susu
3.86
Ikan
50.91
Kedelai
21.33
Sumber Vitamin/ Mineral
Sayur
139.13
Buah
86.96
a

2006

2007

2008

Laju
(%/th)

2009

285.04
8.34
22.6
34.65
8.71

274.03
11.55
31.07
37.09
6.84

287.26
8.02
30.72
35.32
7.60

280.06
6.07
28.28
26.21
6.56

-0.5
-7.38
6.86
-8.39
-11.99

2.86

3.33

3.15

2.64

-2.28

12.59
15.9
4.05
48.67
22.76

17.13
18.58
6.10
49.01
23.63

16.21
17.46
5.84
50.45
21.01

15.10
17.45
5.36
46.83
19.66

1.05
1.71
9.5
-1,3
-2.35

139.96
64.71

158.26
93.41

154.3
87.4

136.29
63.2

0.59
-3.14

Sumber: Badan Ketahanan Pangan (2010)

Meskipun terjadi peningkatan pada konsumsi sayur, namun jumlah
konsumsi sayuran belum sesuai dengan anjuran FAO yang diacu dalam Ariani
(2010) konsumsi sayuran ideal yaitu 75 kg/tahun/kapita atau setara 205.5
gram/kapita/hari, sedangkan konsumsi sayuran pada tahun 2009 masih 136.29
gram/kapita/hari. Angka tersebut menunjukan adanya kesenjangan antara
konsumsi ideal dan data aktual konsumsi sayuran di Indonesia. Sayuran termasuk
dalam komoditi 4 besar target pemerintahan untuk dikembangkan secara organik
(Deptan, 2007). Hal tersebut merupakan peluang bagi Indonesia untuk
mengembangkan komoditas sayuran secara organik.
Salah satu komoditi sayuran yang dikembangkan di Indonesia secara
organik adalah buncis. Berdasarkan data Kementan (2009) mengenai konsumsi
sayuran per kapita tahun 2006-2008 pada Tabel 3 pertumbuhan konsumsi buncis
menempati urutan ke tiga.
Tabel 3 Data konsumsi sayuran per kapita tahun 2006-2008a
Komoditi
Bayam
Kembang Kol
Kol
Buncis
Kacang Panjang
Tomat
Mentimun
Daun Singkong
Bawang Merah
Sayuran lain-lain
Jumlah
a

Sumber : Kementan (2009)

2006
4.38
5.01
1.83
0.94
4.02
1.17
1.98
4.33
2.09
20.99
46.74

kg/tahun
2007
2008
4.48
4.02
4.95
4.8
1.88
1.93
0.89
0.94
3.81
3.81
2.09
22.32
2.09
2.09
4.75
5.16
3.01
2.74
23.15
23.1
51.1
70.91

Pertumbuhan (%)
-10.47
-3.16
2.78
5.88
0
967.33
0
8.79
-9
-0.21
38.76

4
Tabel 3 menunjukan terjadi peningkatan konsumsi buncis dari tahun 20072008 sebesar 5.88 persen. Pertumbuhan konsumsi buncis tersebut menunjukan
salah satu peluang untuk dikembangkanya tanaman buncis.
Salah satu sentra sayuran yang memproduksi buncis di Jawa Barat adalah
Kabupaten Bandung, dapat dilihat dari ketersedian buncis daerah Jawa Barat pada
Lampiran 1. Lampiran 1 menunjukan bahwa Kabupeten Bandung merupakan
daerah penghasil buncis ke tiga terbesar setelah Cianjur dan Garut dengan ratarata sebesar 16.502 ton. Salah satu desa di Kabupaten Bandung yang
menghasilkan buncis adalah Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu Ciwidey
Kabupaten Bandung. Berdasarkan data dalam Masterplan Pemerintah Kabupaten
Bandung tahun 2007 buncis menjadi salah satu dari lima komoditas hortikultura
priotitas kawasan Agropolitan Ciwidey, salah satu desa penghasil buncis adalah
Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu.
Peluang akan pertumbuhan permintaan sayuran dan program pemerintah
mengenai “Go Organic 2010” tersebut disadari oleh sebagian petani di Desa
Cisondari Kecamatan Pasirjambu dengan melakukan budidaya buncis secara
organik, sehingga di Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu
buncis
dibudidayakan dengan dua sistem pertanian yaitu secara non-organik dan secara
organik. Oleh sebab itu peneliti merasa perlu dilakukannya perbandingan analisis
pendapatan usahatani untuk mengetahui perbedaaan tingkat pendapatan antara
petani buncis organik dan non-organik, serta perbandingan analisis tataniaga
buncis organik dan non-organik untuk mengetahui efisiensi operasional melalui
marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio π/c yang didapatkan baik oleh petani
buncis organik maupun petani buncis non-organik.
Perumusan Masalah
Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu merupakan desa yang salah satu
komoditi unggulannya adalah buncis. Komoditi buncis merupakan komoditi yang
menempati urutan keenam dalam jumlah produksi tanaman pangan dan
hortikultura tahun 2012 di Desa Cisondari, berikut data hasil produksi tanaman
pangan tahun 2012 pada Tabel 4. Pada Tabel 4 tercatat bahwa hasil produksi
buncis pada tahun 2012 sebanyak 180 ton atau 180000 kg.
Tabel 4 Jumlah produksi tanaman pangan Desa Cisondari tahun 2012a
Komoditas
Padi sawah
Ubi kayu
Tomat
Kentang
Sawi
Buncis
Jagung
Kubis
Ubi jalar
Padi lading
Cabe
Kacang panjang
a

Produksi (Ton)
856.00
580.00
432.00
396.00
225.00
180.00
153.00
105.00
60.00
55.20
40.50
32.50

Sumber: Diolah dari data Desa Cisondari (2012)

5
Seiring berkembangnya zaman, kesadaran konsumen akan kesehatan pangan
semakin meningkat, hal tersebut menyebabkan adanya permintaan terhadap
sayuran organik di beberapa ritel khususnya di Bandung. Selain permintaan yang
cenderung naik, harga komoditi organik dipasaran lebih tinggi dibandingkan
komoditi non-organik. Serta menurut Sutanto (2002) pertanian organik merupakan
pertanian yang tidak menggunakan input berbahan kimia, sehingga dapat terjadi
penghematan biaya input. Kondisi tersebut menjadi peluang yang dimanfaatkan
oleh sebagian kecil petani buncis Desa Cisondari dengan berbudidaya buncis
secara organik. Namun jumlah petani yang berbudidaya buncis secara organik di
Desa Cisondari masih tergolong rendah. Menurut beberapa petani yang
membudidayakan buncis di Desa Cisondari berbudidaya buncis secara organik
memang memiliki pendapatan yang lebih rendah dari berbudidaya buncis secara
non-organik, namun beberapa petani buncis organik bertahan karena harga buncis
organik cenderung tetap tidak berfluktuasi seperti pada buncis non-organik. Oleh
sebab itu perlu dikaji bagaimana pendapatan usahatani pada buncis organik dan
buncis non-organik.
Selain itu pada proses penyaluran buncis dari petani hingga konsumen
(pemasaran) terdapat perbedaan saluran tataniaga pada buncis organik dan buncis
non-organik. Perbedaan saluran tersebut menyebabkan kepuasan yang diterima
baik di pihak konsumen dan maupun di pihak petani berbeda. Selain itu lebagalembaga tataniaga yang terlibat pun berbeda. Oleh sebab itu perlu dikaji pula
bagaimana tataniaga buncis organik dan tataniaga buncis non-organik di Desa
Cisondari. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan:
1. Bagaimana keragaan usahatani buncis organik dan buncis non-organik di Desa
Cisodari Kecamatan Pasirjambu?
2. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani dan R/C buncis organik dan buncis
non-organik di Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu?
3. Bagaimana lembaga-lembaga yang terlibat, saluran tataniaga, fungsi tataniaga,
struktur pasar, serta perilaku pasar pada tataniaga buncis organik dan buncis
konvesional di kawasan Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu?
4. Bagaimana efisiensi operasional tataniaga buncis organik dan buncis nonorganik di kawasan Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu berdasarkan marjin
tataniaga, farmer’s share dan rasio π/c ?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis dan membandingkan keragaan usahatani buncis organik dan
buncis non-organik di Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu?
2. Menganalisis dan membandingkan tingkat pendapatan usahatani dan R/C
buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisodari Kecamatan
Pasirjambu?
3. Menganalisis lembaga-lembaga yang terlibat, saluran tataniaga, fungsi
tataniaga, struktur pasar, serta perilaku pasar pada tataniaga buncis organik dan
buncis konvesional di kawasan Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu?

6
4. Menganalisis efisiensi operasional tataniaga berdasarkan pendekatan marjin
tataniaga, farmer’s share, rasio π/c pada petani buncis organik dan buncis nonorganik di kawasan Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu?
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat bagi peneliti, mengetahui perkembangaan pertanian organik dan nonorganik khususnya sayuran buncis serta mengaplikasikan ilmu usahatani dan
tataniaga yang diberikan diperkuliaahan untuk menganalisis permasalahan
2. Manfaat bagi petani di lokasi penelitian mengetahui tingkat pendapatan
usahatani dan keadaan tataniaga buncis organik dan buncis non-organik
3. Manfaat bagi pembaca adalah menambah pengetahuan dan bisa menjadi
referensi bagi penelitian selanjutnya

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Pertanian Organik
Definisi pertanian organik berasal dari beberapa sudut pandang. Menurut
Saragih (2010) definisi pertanian organik dibagi menjadi empat sudut pandang
yaitu: (1) menurut regulasi (2) menurut organisasi masyarakat sipil internasional
(IFOAM) (3) Filosofis dan (4) Sebagai alat perjuangan. Definisi menurut regulasi
pertanian organik adalah proses budidaya yang tata caranya sesuai dengan
prosedur standar produksi organik yang telah disahkan oleh pihak-pihak yang
mendapat otoritas sertifikasi resmi baik tingkat nasional ataupun internasional
tentang pertanian organik yang tertuang dalam Codex Alimentarius Guidlines for
The Production, Processing, Labelling and Marketing of Organically Produced
Foods. Di Indonesia sendiri yang disebut dengan pertanian organik ditetapkan
dengan SNI (Standar Nasional Indoesia) melalui BSN SNI 01-6729-2002.
Menurut BSN (2002) Pertanian organik adalah sistem manajeman produksi
holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem,
termasuk keragaman hayati, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Pertanian
organik menekankan praktik manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan
masukan setempat dengan kesadaran bahwa keadaan regional setempat memang
memerlukan sistem adaptasi lokal. Hal tersebut dapat dicapai dengan
menggunakan (bila memungkinkan), cara-cara kultural, biologis, dan mekanis
yang merupakan kebalikan dari penggunaan bahan-bahan sintetik untuk
memenuhi fungsi spesifik dalam sistem. Menurut SNI suatu sistem produksi
pangan organik dirancang untuk tujuan sebagai berikut: (1) mengembangkan
keanekaragaman hayati dalam sistem secara keseluruhan, (2) Meningkatkan
aktivitas biologis tanah, (3) Menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang, (4)
Mendaur ulang limbah yang berasal dari tumbuhan dan hewan untuk
mengembalikan nutrisi ke lahan sehingga meminimalkan penggunaan sumber
daya yang tidak dapat diperbaharui, (5) Mengandalkan sumber daya yang dapat
diperbaharui pada sistem pertanian yang dikelola secara lokal, (6)

7
mempromosikan penggunaan tanah, air, dan udara secara sehat serta
meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan oleh praktik-praktik
pertanian, (7) Menangani produk pertanian dengan penekanan pada cara
pengolahan yang hati-hati untuk menjaga integritas organik dan mutu produk pada
seluruh tahapan, (8) Dapat diterapkan pada seluruh lahan pertanian yang ada
melalui suatu periode konversi yang lama waktunya ditentukan oleh faktor
spesifik lokasi, seperti sejarah lahan serta jenis tanaman dan hewan yang akan
diproduksi.
Pada awalnya menurut BSN (2002) dalam SNI 6792-2002 untuk mengklaim
sebagai produk organik lembaga sertifikasi SNI membedakan pertanian organik
kedalam empat jenis label yaitu label biru, label kuning, label hijau organik, dan
label hijau organically grown2. Label biru mengindikasikan bahwa proses
produksi yang dilakukan sudah bebas dari pestisida sintetik. Label kuning
mengindikasikan bahwa proses produksi sedang mengalami masa transisi dari
cara bertani yang selama ini menggunakan bahan kimia sintetik ke cara bertani
yang tidak menggunakan sama sekali bahan kimia sintetik. Label hijau organik
mengindikasikan bahwa proses produksi yang sudah setara dengan standar SNI.
Label hijau organically grown label ini mengindikasikan produk pertanian yang
tumbuh secara organik dengan sendirinya. Namun setelah mengalami refisi
menjadi SNI 6792-2010 pelabelan transisi dihilangkan sehingga yang disebut
dengan petanian organik adalah pertanian yang menggunakan input organik tanpa
input kimia sintetis yang telah ditentukan.3
Sudut pandang kedua yaitu menurut organisasi masyarakat sipil IFOAM
(International Federation of Organic Agriculture Movement) pertanian organik
adalah pertanian yang memiliki empat prinsip yaitu prinsip kesehatan, prinsip
ekologi,prinsip keadilan, dan prinsip perlindungan. Sudut pandang ketiga yaitu
definisi filosofis bahwa pertanian organik merupakan jalan harmonisasi. Sudut
pandang ketiga mendefinisikan pertanian organik dari arti kata “organ” (Inggris),
“organo” atau “ergon” (Yunani) yang berarti instrument atau alat untuk
menyelesaikan sesuatu atau “kerja yang menghasilkan kenyataan”. Dalam bahasa
Indonesia organ adalah bagian tubuh yang bekerja saling berhubungan dalam satu
tubuh dan bekerja menghasilkan kerja yang harmoni. Oleh sebab itu secara
filosofis organik adalah alat untuk mengharmonisasikan kerja semua komponen
ekologis. Sudut pandang keempat, pertanian organik adalah sebagai alat
perjuangan mengembalikan keseimbangan hayati dengan melawan sistem
pertanian intensif penggunaan kimia sintetik yang merusak keseimbagan
lingkungan (Saragih, 2010).
Pertanian organik (Organic Farming) adalah suatu sistem pertanian yang
mendorong tanaman dan tanah tetap sehat melalui cara pengelolaan tanah dan
tanaman yang disyaratkan dengan pemanfaatan bahan-bahan organik atau

2

) Sertifikasi Bertahap Menuju Pertanian Organik. Infomutu September 2002. Berita standardisasi
Mutu dan Keamanan Pangan. Buletin Standardisasi dan Akreditasi, Departemen Pertanian
3
) Ketentuan lebih lengkap tercantum pada SNI 6729-2010.pdf

8
alamiah sebagai input, dan menghindari penggunaan pupuk buatan dan pestisida
kecuali untuk bahan-bahan yang diperkenankan4.
Menurut IFOAM tujuan pertanian organik adalah:
1. Menghasilkan bahan pangan berkualitas dan bernutrisi tinggi dalam
jumlah yang cukup.
2. Melaksanakan interaksi yang efektif dengan sistem dan daur alami yang
mendukung semua bentuk kehidupan yang ada.
3. Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani
dangan mengaktiflkan kehidupan mikroba, tanah, tumbuhan, dan hewan.
4. Memelihara dan meningkatan kesuburan tanah secara berkelanjutan.
5. Membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang
mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian.
6. Mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat
tanaman dan hewan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian pertanian organik secara
umum adalah pertanian yang proses budidayanya (produksinya) memaksimalkan
input-input alami atau yang berada di sekitar lingkungan dan tidak meggunakan
input kimia sintetis untuk mengurangi residu baik dari input kimia ataupun dari
polusi air, tanah dan udara, demi menghasilkan produk yang sehat dan lingkungan
yang lestari, harmoni dan seimbang.
Pertanian Non-organik
Pertanian non-organik adalah pertanian yang menggunakan input kimia
serta aplikasi mesin dan alat pertanian modern untuk menghasilkan hasil panen
yang maksimal. Pertanian non-organik lahir pada saat Revolusi Hijau dengan
tujuan program intensifikasi pertanian agar hasil tanaman pangan khususnya padi
meningkat hingga menempuh swasembada, dengan menggunakan input-input
kimia sintetis Saragih (2010). Namun, hal tersebut merubah pola kebiasaan petani
dari traisional menjadi modern atau semi modern hingga saat ini, tidak hanya padi
tetapi untuk seluruh jenis tanaman pertanian pada umumnya. Perubahan tersebut
dicirikan dengan pemakaian input dan intensifnya eksploitasi lahan. Dampak
tersebut salah satunya disebabkan karena penanaman varietas unggul yang
responsif terhadap pemupukan dan resisten terhadap penggunaan pestisida dan
herbisida. Berubahnya pola pertanian ini diikuti oleh berubahnya kondisi lahan
pertanian yang menjadi kritis sebagai dampak negatif dari penggunaan pupuk
anorganik, pestisida, dan herbisida serta tindakan agronomi yang intensif dalam
jangka panjang.
Gambaran Umum Buncis
Buncis (Phaseolus vulgaris) berasal dari bahasa belanda yaitu “boontjes”.5
Buncis adalah tanaman sayuran yang dikonsumsi dalam bentuk polong. Buncis
4

IASA (1990) dalam Litbang Deptan
http://sulsel.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=688:prinsi
p-dasar-pengembangan-pertanian-organik&cataid=158:buletin-nomor-5-tahun-2011&Itemid=257

9
pertama kali berasal dari negara Meksiko Tengah dan Amerika Selatan. Buncis
yang dibudidayakan di Indonesia terdiri dari beberapa varietas yang secara umum
dibagi menjadi dua yaitu buncis dengan pohon yang melilit dan buncis dengan
pohon yang tegak. Taksonomi buncis (Rukmana, 1994):
Divisi
: Spermatophyta (tanaman berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (Biji berada di dalam buah)
Kelas : Dicotiledoneae
Ordo
: Leguminales
Famili
: Leguminoceae
Subfamili : Papilionaceae
Genus
: Phaseolus
Species
: Phaseolus vulgaris
Buncis memiliki akar yang tunggang dan serabut. Akar tunggang buncis
masuk ke dalam tanah hingga kedalaman 11-15 cm, sedangkan akar serabutnya
tumbuh menyebar horizontal dan tidak dalam. Perakaran buncis tidak tahan
terhadap genangan air (tanah becek).
Batang tanaman buncis berbengkok-bengkok, berbentuk bulat dengan
diameter hanya beberapa milimeter, berbulu atau berambut halus-halus, lunak
tetapi cukup kuat. Ruas-ruas batang mengalami penebalan, batang bercabang
menyebar merata sehingga tampak rimbun, warna batang berwarna hijau ada pula
yang berwarna ungu (Cahyono, 2003).
Daun tanaman buncis berbentuk bulat lonjong, ujung runcing, tepi daun rata,
berbulu atau berambut sangat halus, dan memiliki tulang-tulang menyirip.
Kedudukan daun tegak agak mendatar dan bertangkai pendek. Setiap cabang
tanaman terdapat tiga daun yang kedudukannya berhadapan. Ukuran daun buncis
bervariasi bergatung varietasnya dengan lebar berukuran 6-7.5 cm da panjang 7.59 cm. Sedangkan daun yang berukuran besar memiliki ukuran lebar 10-11 cm dan
panjang 11-13 cm (Cahyono, 2003).
Bunga tanaman buncis merupakan bunga sempurna (berkelamin ganda),
berbentuk bulat panjang (silindris) dengan ukuran panjang 1.3 cm dan lebar 0.4
cm, kelopak bunga berjumlah 2 buah pada bagian pangkal bunga berwarna hijau,
dan tangkai bunga sepanjang 1 cm. Mahkota bunga buncis memiliki warna
beragam ada yang kuning, ungu, hijau keputih-putihan, ungu muda dan ungu tua
bergantung varietasnya. Jumlah mahkota bunga sebnyak 3 buah dengan 1
mahkota berukuran lebih besar dari lainnya. Bunga buncis merupakan malai
(panicle) yang kemudian akan tumbuh tunas-tunas atau cabang (Cahyono, 2003).
Polong buncis memiliki bentuk dan ukuran bervariasi bergantung pada
varietasnya. Ada yang berbentuk pipih dan lebar yang panjangnya lebih dari 20
cm, bulat lurus dan pendek kurang dari 20 cm, serta berbentuk silindris agak
panjang 12-20 cm. Warna polong pun beragam ada yang berwarna hijau tua,
ungu, hijau keputih-puthan, hijau terang, hijau pucat dan hijau muda. Polong
buncis memilki struktur halus, tekstur renyah, ada yang berserat dan tidak, serta
ada yang bersulur pada ujung polong dan ada yang tidak. Polong tersusun
bersegmen-segmen, jumlah biji dalam satu polong bervariasi 4-14 butir per
polong bergantung panjang buncis.
5

http://majalahkesehatan.com/tag/nutrisi/?wpmp_switcher=mobile

10
Biji buncis memiliki warna yang bervariasi bergantung varietas, memiliki
rasa hambar dan akan mengeras jika umur buncis semakin tua. Biji buncis
berukuran lebih besar dari kacang pada umumnya dan berbentuk bulat, lonjong
dengan bagian tengah (mata biji) sedikit melengkung (cekung), berat biji buncis
berkisar antara 16-40.6 gram per 100 biji bergantung varietas.
Pada umumnya varietas buncis (benih buncis) yang kini beredar di pasaran
merupakan introduksi dari negara penghasil benih unggul seperti negara Taiwan,
Belanda, Australia, Hawai, dan negara lainnya. Buncis-buncis tersebut
diantaranya varietas green coat, purple coat, gypsy, Early Bush, lebat-1,
hawkesburu wonder, richgreen, monel, spurt, strike. Disamping varietas-varietas
tersebut terdapat varietas yang dapat menghasilkan buncis hingga 20 ton/ha
seperti varietas babud (varietas lokal bandung), varietas lokal Surakarta, varietas
Taipei No.2, Goldrush, flo,farmer early, green leaf dan masih banyak varietas
lainnya. Pada penelitian ini varietas yang digunakan petani responden pada
umumnya adalah varietas lokal Bandung (babud) petani biasanya menyebutnya
dengan sebutan varietas lokal (Cahyono, 2003).
Tanaman buncis dapat tumbuh dengan produktivitas baik pada keadaan suhu
20o-25oC, suhu lebih dari 25oC dapat menyembakan produktivitas rendah bahkan
polong tidak berisi karena suhu terlalu panas sehingga tanaman mudah kering
karena penguapan dan juga dapat menyebabkan bentuk polong pendek dan
bengkok. Sedangkan suhu rendah (atau dibawah 20oC) menghambat
pertumnbuhan bahkan dapat menyebabkan kematian tanaman. Tanaman buncis
dapat tumbuh maksimal dalam kelembaban udara dan kelembaban tanah sedang
(cukup kering) berkisar antar 50-60 persen. Keadaan angin untuk tanamana buncis
adalah angin yang tenang dan tidak sering terjadi angin kencang, karena angin
kencang dapat mempengaruhi laju transpirasi dan kesuburan tanah. (Cahyono,
2003)
Buncis tumbuh pada ketinggian 1000 – 1500 M dpl, jenis tanah andosol dan
regosol serta Ph tanah 5,5 – 6. Tanaman buncis menghendaki iklim dan musim
peralihan, tanaman ini dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik apabila ditanam
pada akhir musim hujan atau menjelang musim kemarau, di samping itu buncis
juga menghendaki cahaya matahari yang langsung (cukup terbuka)6.
Berdasarkan DKBM7 kandungan buncis dalam URT 1 buah kriteria sedang
dengan bobot 10 gram adalah pada Tabel 5 dibawah ini:

6
7

http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/1703
Direktorat Gizi. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Departemen Kesehatan RI

11
Tabel 5 Kandungan buncis berdasarkan DKBMa
Kandungan
BDD
Energi
Protein
Lemak
Karbohidrat
Kalsium
Fosfor
Besi
Vit A
Vit C
Air
a

Jumlah
90
35
24
0.2
7.7
6.5
4.4
1.1
95
19
88.9

Satuan
%
Kal
G
G
G
Mg
Mg
Mg
RE
mg
G

Sumber: DKBM7

Selain kandungan di atas buncis mengandung lutein, beta-karoten,
violaxanthin, dan neoxanthin dalam buncis, meskipun berwarna hijau, buncis
menyediakan sejumlah karotenoid yang biasanya hadir pada sayuran berwarna
seperti wortel dan tomat. Kandungan fitonutrien dalam buncis termasuk berbagai
karotenoid dan flavonoid yang memiliki efek antioksidan kuat. Serta Serat Buncis
juga baik untuk pencernaan dalam penyerapan nutrisi (Mari Makan Buncis 2012).
Menurut Andayani (2003) Buncis mengandung zat yang bersifat antihiperglikemik
berupa β-sistosterol dan stigmasterol dalam komposisi tertentu, kandungan
tersebut dapat menurunkan kadar gula dalam darah sehingga dapat dijadikan
sebagai herbal alternatif bagi penderita Diabetes terutama pada Diabetes tipe-2.
Menurut Askandar (1993) yang diacu dalam Andayani (2003) pengonsumsian
buncis 600 gram/hari selama 7 hari pada diet diabetes selain dapat menurunkan
gula darah juga menurunkan kolesterol dan trigliserida.
Kajian Analisis Pendapatan Usahatani
Tujuan utama dari kegiatan bisnis adalah mendapatkan keuntungan dari
penjualan hasil produksi, begitu juga kegiatan bisnis pada subsektor agribisnis
atau usahatani. Salah satu parameter keberhasilan suatu usahatani adalah
pendapatan usahatani yang pada umumnya digunakan untuk merepresentasikan
kesejahteraan petani dari usaha komoditi yang dijalankan.
Penelitian terdahulu yang membahas tentang analisis pendapatan usahatani
antara lain Sitanggang (2008), Suroso (2006), Hidayat (2010), dan Nafis (2011).
Pada umumnya peneliti-peneliti terdahulu dalam menganalisis usahatani
membandingkan pendapatan usahatani dari dua variabel berbeda untuk
mengetahui perbedaannya. Sitanggang (2008) menganalisis pendapatan usahatani
komoditi bawang daun dengan membandingkan antara pendapatan dari dua sistem
budidaya berbeda yaitu sistem budidaya bawang daun organik dan sistem
budidaya bawang daun anorganik. Suroso (2006) meneliti komoditas jagung
dengan membandingkan pendapatan berdasarkan luas lahan garapan jagung antara
lahan luas dan lahan sempit. Hidayat (2010) meneliti komoditas jambu getas
merah dengan membandingkan pendapatan usahatani berdasarkan status

12
kepemilikan lahan yaitu petani pemilik lahan dan petani penyewa lahan.
Sedangkan Nafis (2011) meneliti tentang padi organik dengan membandingkan
pendapatan usahatani padi berdasarkan kepemilikan sertifikasi yaitu petani padi
organik bersertifikasi dan petani padi non-sertifikasi.
Pendapatan usahatani merupakan selisih dari penerimaan usahatani dengan
biaya usahatani. Sehingga untuk mengetahui pendapatan usahatani perlu
mengidentifikasi penerimaan dan biaya-biaya dalam proses budidaya tersebut.
Pada Sitanggang (2008), Suroso (2006), Hidayat (2010), dan Nafis (2011)
komponen penerimaan merupakan hasil penjualan yaitu hasil produksi rata-rata
dikali dengan harga jual rata-rata, namun pada Sitanggang (2008) terdapat unsur
pengurang pada hasil produksi berupa tingkat kerusakan bawang daun sebesar 10
% dari total. Komponen biaya usahatani pada umumnya di bedakan menjadi dua
yaitu biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Pada penulis-penulis terdahulu biaya
tunai umumnya adalah input fisik yang digunakan dalam proses budidaya, tenaga
kerja luar keluarga dan sewa peralatan budidaya yang digunakan namun tidak
dimiliki sendiri (sewa), sedangkan untuk biaya yang diperhitungkan seperti input
fisik pertaian yang dapat dibuat sendiri, tenaga kerja dalam kluarga, dan
penyusutan peralatan pertanian yang dimiliki sendiri. Pada Hidayat (2010) bibit
jambu getas merah merupakan komponen biaya yang diperhitungkan karena bibit
dibuat sendiri oleh petani dari hasil cangkokan. Sedangkan pada Suroso (2006)
pupuk kandang yang digunakan sebagai pupuk dasar masuk ke dalam biaya yang
diperhiitungkan karena penggunaannya hanya satu tahun satu kali untuk tiga kali
musim tanam.
Ukuran efisiensi pendapatan usahatani dapat dilihat dari rasio R/C atau
penerimaan persatuan biaya. Penghitungan R/C dihitung pada pendapatan
usahatani terhadap biaya tunai dan pendapatan usaha tani terhadap biaya total.
Suatu usahatani dapat dikategorikan usahatani yang menguntungkan apabila nilai
R/C >1. Pada Sitanggang (2008), Suroso (2006), Hidayat (2010), dan Nafis (2011)
hasil R/C pada dua sampel pembanding baik R/C terhadap biaya tunai maupun
R/C pada biaya total bernilai diatas satu (R/C>1), sehingga hasil pada penelitianpenelitian terdahulu dapat disimpulkan kegiatan usahatani pada komoditi masingmasing sama-sama menguntungkan. Namun terjadi perbedaan besaran R/C seperti
pada Sitanggang (2008). Hasil penelitian Sitanggang (2008) menyatakan bahwa
R/C (tunai dan total) bawang daun organik lebih besar dari pada R/C bawang daun
anorganik baik pada luasan lahan 1 ha ataupun 0,3. Hasil Suroso (2006) R/C pada
petani jagung berlahan luas lebih besar dibandingkan dengan petani jagung
berlahan sempit karena biaya produksi pada lahan sempit lebih besar dari pada
lahan luas. Hasil penelitian Hidayat (2010) R/C petani jambu getas merah pemilik
lahan lebih besar dari pada R/C petani penyewa lahan. Nafis (2011) R/C pada
petani padi organik bersertifikasi lebih besar dari pada petani padi organik nonsertifikasi, hal terebut karena harga jual beras tersertifikasi lebih mahal dari pada
yang non-sertifikasi.
Pada penelitian ini akan menganalisis usahatani pada sayuran buncis dan
rasio R/C dengan membandingkan berdasarkan sistem budidayanya yaitu buncis
organik dan buncis non-organik. Persamaan penelitian ini dengan penelitianpenelitian terdahulu adalah sama-sama membandingkan analisis pendapatan dari
dua sampel petani berdasarkan perbedaan sistem budidayanya serupa dengan
Sitanggang (2008) pada komoditas bawang daunya. Sedangkan perbedaanya

13
adalah pada komoditi yang diamati dan tempat penelitian yang berada yaitu di
Desa Cisondari Kecamatan Pasir Jambu Ciwiday Kabupaten Bandung.
Kajian Analisis Tataniaga
Tataniaga merupakan proses mengalirnya suatu produk agribisnis dari
produsen (petani) hingga konsumen melalui lembaga-lembaga tataniaga yang
terlibat. Analisis tataniaga merupakan salah satu cara untuk mengetahui
bagaimana aliran suatu komoditi dapat sampai di tangan konsumen. Penelitipeneliti terdahulu yang melakukan analisis tataniaga diantaranya adalah Nafis
(2011), Hidayat (2010), Meryani (2008), dan Prihatin (2012). Metode penelitian
tataniaga umumnya dilakukan secara snowball sampling yaitu teknik observasi
dengan mengikuti alur pertama untuk mengetahui responden berikutnya. Tahap
pertama yang teridentifikasi dalam analisis tataniaga adalah saluran tataniaga.
Jumlah saluran tataniaga beragam tergantung dari komoditi dan lembaga yang
terlibat. Nafis (2011) meneliti komoditi padi organik dengan membandingkan
antara padi tersertifikasi dan non-sertifikasi menemukan 6 saluran pada padi
organik tersertifikas dan 2 saluran pada padi non-sertifikasi. Hidayat (2010)
meneliti tataniaga jambu getas merah menemukan 4 saluran tataniaga. Ada pula
saluran yang berbeda akibat adanya grading sperti pada penelitian Meryani (2008)
yang meneliti tataniaga kedelai, terdapat 2 saluran tataniaga pada kedelai polong
muda dan 5 saluran pada kedelai polong tua. Sedangkan Prihatin (2012)
menemukn 5 saluran tataniaga pada komoditas kobis di daerah penelitianya.
Saluran tataniaga terbentuk dari lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat,
lembaga tataniaga adalah pelaku tataniaga yang melakukan fungsi tataniaga.
Umumya lembaga tataniaga terdiri dari petani sebagai produsen, kemudian
pedagang perantara seperti pengumpul, grosir, dan pengecer, serta agen. Pada
Hidayat (2010) pedagang pengumpul dibedakan menjadi dua jenis pengumpul
yaitu pengumpul lokal sebagai pengumpul I dan pengumpul non lokal sebagai
pengumpul II. Hal tersebut membuktikan bahwa saluran tataniaga dapat dibentuk
pula oleh wilayah jangkauan pemasaran.
Struktur pasar pada tataniaga dapat dibentuk oleh masing-masing lembaga
tataniaga berdasarkan jumlah pembeli,penjual, informasi, dan sulit mudahnya
keluar masuk pasar. Menurut Hidayat (2010) struktur pasar dapat menjelaskan
pengambilan keputusan oleh suatu lembaga. Struktur pasar dapat berbentuk
persaingan sempurna, oligopoli, bahkan monopoli. Pada hasil penelitian Hidayat
(2010) struktur pasar di tingkat pedagang grosir mengalami dua struktur pasar
yang berbeda ketika dihadapkan sebagai pembeli dan sebagai penjual. Ketika
dihadapkan sebagai pembeli pedagang grosir cenderung oligopoli sedangkan
ketika pedagang grosir sebagai penjual cenderung mengalami pasar persaingan
sempurna. Sedangkan pada Meryani (2008) dan Prihatin (2012)
pengidentifikasian struktur pasar di masing-masing lembaga tidak digolongkan
kepada kategori jenis struktur pasar hanya mengidentifikasi ciri-ciri pasar.
Prihatin (2012) mengamati perilaku pasar dari praktek penjualan dan
pembelian, sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama diantara
lembaga tataniaga. Menurut Nafis (2011) para pelaku tataniaga perlu mengetahui
perilaku pasar sehingga mampu merencanakan kegiatan tataniaga secara efisien
dan terkoordinasi.

14
Lembaga tataniaga melakukan fungsi tataniaga, fungsi tersebut diantaranya
fungsi fisik, fungsi pertukaran, dan fungsi fasilitas. Pada Nafis (2011), Hidayat
(2010) dan Prihatin (2012) fungsi fasilitas dan fungsi pertukaran yang dilakukan
petani adalah hanya penjualan karena petani merupakan produsen. Namun pada
Nafis (2011) dan Prihatin (2012) petani juga melakukan fungsi fisik berupa
penjemuran dan penggilinga pada Nafis (2011) dan pengangkutan dan
pengemasan pada Prihatin (2012). Sedangkan pada hidayat (2010) petani tidak
melakukan fungsi fisik. Pada umumnya fungsi fasilitas berupa sorting atau
grading dilakukan di tingkat pedagang perantara.
Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui penyebaran marjin, farmer’s share,
dan rasio B/C pada masing-masing saluran tataniaga yang teridentifikasi. Pada
Hidayat (2010) saluran yang dikatakan efisien adalah saluran III karena nilai
marjin terkecil, farmer’s share tertinggi meskipun rasio B/C buka merupakan
rasio terbesar namun penyebaran nilai rasionya lebih merata dibanding yang lain.
Sedangkan Prihatin (2012) memilih dua saluran yang lebih efisien dibandingkan
dengan saluran lainnya yaitu saluran I dan saluran III. Selain marjin tataniaga,
farmer’s share dan rasio B/C volume penjualan pun menjadi salah satu
pertimbangan untuk melihat potensi suatu saluran tataniaga seperti pada Nafis
(2011) meskipun saluran IV merupakan saluran yang efisien tetapi saluran I
berpotensi untuk dikembagkan karena volume penjualannya terbanyak.

KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep Usahatani
Pengertian usahatani
Pertanian merupakan kegiatan yang dapat didefinisikan dalam dua arti yaitu
arti sempit dan arti luas. Menurut Suratiyah (