iKajian Produksi Bersih pada Kawasan Industri Penyamakan iiKulit di Garut

STUDY ON CLEANER PRODUCTION STRATEGY IN GARUT LEATHER
TANNINGS INDUSTRIAL ESTATE
Anas Miftah Fauzi and Ocky Viddya Wardhana
Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural
University, IPB Darmaga Campus, PO Box 222, Bogor, West Java, Indonesia.

ABSTRACT
Leathers is one of livestock products that being expensive commodity today. Positively, leather
tanning industry gives benefit to the peoples around industry, however, improper handling of wastes
may pollutes the environment around tanning industrial estate. Cleaner production strategy is needed
to minimize the wastes. This research was directed to identify the opportunity implementation of
cleaner production strategy on leathers tanning industry at Sukagerang, Garut and to determine the
possible alternatives of cleaner production options to increase production efficiency while minimizing
the wastes. Analysis of Cleaner production conducted in three industries, PT ELCO Indonesia, PT
Karya Lestari Mandiri, and PD Putra Setra. Quick Scan method used to analyzed the cleaner
production. The results were then analyzed by using Exponential Method Comparison (MPE) and
method of Analytical Hierarchy Process (AHP) to determine the priority of cleaner production
application. Priority selection of cleaner production alternatives in leather tanning industry estate
was analyzed based on the environmental criteria, benefits, construction, operation, and cost. The
best alternative priority to be applied in leather tanning was controlling of water use then followed by
trimming process before chemical treatment, breeders assisting, retribution for waste treatment, and

the socialization of research results. In the case study of water use at PD Putra Setra, 87,800 Liters
water can be reduce. While in the case study of trimming process at PT ELCO Indonesia, this
alternative may result in the benefit to the company in the form of savings for the purchase of
chemicals of 16.82% or equivalent to Rp 197,103.
Keywords : cleaner production, industrial estate, leather tanning, AHP

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Teknologi penyamakan kulit di kawasan Sukaregang-Garut, mengalami perkembangan yang
cukup pesat seiring dengan penggunaan bahan-bahan kimia dalam proses penyamakan. Pada mulanya
penyamakan dilakukan secara tradisional dengan menggunakan bahan nabati dan peralatan yang
sederhana dan berkembang dengan menggunakan mesin yang lebih modern dan menggunakan bahanbahan kimiawi berupa kapur, natrium sulfida, ammonium sulfat, garan dapur, asam sulfat, dan krom.
Teknologi penyamakan yang ada memberikan dampak negatif terhadap pencemaran lingkungan
sekitarnya, terutama pencemaran terhadap air sungai. Menurut Wirasanti (2009) limbah industri
penyamakan kulit Sukaregang yang dibuang ke sungai, dinilai sudah melebihi batas maksimum, yaitu
pada kandungan logam krom yang telah mencapai 4.16 mg/L. Menurut keputusan Gubernur Jawa
Barat standar baku mutu limbah cair untuk industri penyamakan kulit dengan parameter logam krom

maksimum sebesar 0.60 mg/L.
Kandungan krom yang melebihi ambang batas ini terjadi dikarenakan industri penyamakan
kulit masih mengandalkan tiga IPAL yang tidak berfungsi optimal pada kawasan industri tersebut
untuk mengolah limbah hasil penyamakan kulit. Ketiga IPAL tersebut berfungsi hanya sebagai kolam
penampungan sebelum air limbah dibuang ke sungai, sedangkan untuk pengolahan logam berbahaya
dan senyawa berbahaya lainnya tidak dilaksanakan karena menurut Dinas Lingkungan setempat untuk
pengoperasian tiga IPAL ini membutuhkan dana yang relatif besar, yaitu mencapai 1.7 milyar per
tahun dan pemerintah setempat tidak dapat menganggarkan dana sebesar itu, sehingga pencemaran
terjadi di sungai sekitar kawasan industri penyamakan kulit.
Strategi pengolahan limbah yang telah diterapkan terlihat tidak menyelesaikan permasalahan
lingkungan yang ada pada kawasan industri penyamakan kulit Sukaregang. Untuk itulah perlunya
pengelolaan lingkungan yang secara sistematis yang dapat diterapkan oleh pemilik perusahaan yaitu
pollution prevention atau lebih dikenal dengan nama cleaner production (produksi bersih). Produksi
bersih merupakan suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif terpadu dan
diterapkan secara terus-menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu hingga ke hilir yang terkait
dengan proses produksi, produk, dan jasa untuk meningkatkan efesiensi penggunaan sumberdaya
alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan, dan mengurangi terbentuknya limbah pada
sumbernya sehingga dapat meminimisasi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta
kerusakan lingkungan.


1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengidentifikasi peluang penerapan produksi bersih pada kawasan industri penyamakan kulit di
Sukaregang, Garut.
2. Menentukan berbagai pilihan strategi produksi bersih.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Identifikasi peluang penerapan produksi bersih.
2. Analisa Proses produksi yang dipilih dan identifikasi kriteria lingkungan yang relevan melalui
metoda AHP.
3. Analisis strategi penerapan produksi bersih.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit
Kulit merupakan salah satu jenis hasil ternak yang sekarang ini telah dijadikan sebagai suatu
komoditi perdagangan dengan harga yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari data statistik nilai

ekspor kulit Indonesia, dimana pada tahun 2008 nilai ekspor kulit mencapai 7,600 kg dengan harga
jual US$ 100,000,000. Nilai ekspor yang tinggi ini dapat memberi keuntungan yang cukup baik bagi
industri kulit yang ada di Indonesia. Pada umumnya kulit dimanfaatkan sebagai bahan pembuat
sepatu, jaket, dompet, ikat pinggang serta masih ada beberapa produk-produk lain yang memanfaatkan
kulit sebagai bahan bakunya, seperti kerupuk kulit dan gelatin untuk bahan pangan.
Komoditas kulit digolongkan menjadi kulit mentah dan kulit samak (Purnomo, 1985). Menurut
Judoamidjojo (1974), kulit mentah adalah bahan baku kulit yang baru ditanggalkan dari tubuh hewan
sampai kulit yang mengalami proses-proses pengawetan atau siap samak. Kulit mentah dibedakan atas
kulit hewan besar (hides) seperti sapi, kerbau, steer, dan kuda, serta kelompok kulit yang berasal dari
hewan kecil (skins), seperti kambing, domba, calf , dan kelinci termasuk di dalamnya kulit hewan
besar yang belum dewasa seperti kulit anak sapi dan kuda (Purnomo, 1985) .

2.2 Proses Penyamakan (Kurst)
Menurut Aten (1966), pengawetan dengan cara penggaraman terbagi menjadi penggaraman
kering (dry salting) dan penggaraman basah (wet salting). Stanley (1993), menambahkan bahwa penggaraman merupakan metoda pengawetan yang paling mudah dan efektif. Reaksi osmosis dari garam
mendesak air keluar dari kulit hingga tingkat kondisi yang tidak memungkinkan pertumbuhan bakteri.
Kulit mentah segar bersifat mudah busuk karena merupakan media yang baik untuk tumbuh dan
berkembangbiaknya organisme. Kulit mentah tersusun dari unsur kimiawi seperti: protein,
karbohidrat, lemak, dan mineral. Oleh sebab itu, perlu dilakukan proses pengwetan kulit sebelum kulit
diolah lebih lanjut. Teknik mengolah kulit mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan. Dengan

demikian, kulit hewan yang mudah busuk dapat menjadi tahan terhadap serangan mikroorganisme
(Judoamdjojo, 1981). Prinsip mekanisme penyamakan kulit adalah memasukkan bahan penyamak ke
dalam anyaman atau jaringan serat kulit sehingga menjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dan
serat kulit (Purnomo, 1985). Menurut Muslich (1999), teknik penyamakan kulit dikelompokkan
menjadi 3 tahapan, yaitu proses pra-penyamakan, penyamakan, dan pasca penyamakan.
Proses pra-penyamakan (beam open house operation) meliputi perendaman, pengapuran,
pembuatan daging, pembuangan kapur, pengikatan proten, pemucatan dan pengasaman (Purnomo,
1985). Perendaman (soaking) merupakan tahapan pertama dari proses penyamakan yang bertujuan
mengembalikan kadar air kulit yang hilang selama proses pengawetan sehingga kadar airnya
mendekati kadar air kulit segar. Tujuan perendaman adalah membuang zat padat seperti pasir, kerikil,
parasit, sisa darah, urin, dan kotoran. Pencegahan proses pembusukan dalam perendaman dapat
dilakukan dengan cara mengusahakan agar air perendaman tetap dingin, terutama di musim panas
perlu digunakan termometer dan penambahan sedikit bakterisida (Mann, 1980).
Tujuan pengapuran adalah menghilangkan epidermis dan bulu, kelenjar keringat dan lemak,
dan menghilangkan semua zat-zat yang bukan kolagen yang aktif menghadapi zat-zat penyamak. Oleh
karena semua proses penyamakan dapat dikatakan berlangsung dalam lingkungan asam maka kapur

di dalam kulit harus dibersihkan sama sekali. Kapur yang masih ketinggalan akan mengganggu proses
penyamakan.
Proses buang daging (fleshing) bertujuan menghilangkan sisa-sisa daging (subcutis) dan lemak

yang masih melekat pada kulit. Proses buang bulu (scudding) bertujuan menghilangkan sisa-sisa bulu
beserta akarnya yang masih tertinggal pada kulit (Muslich, 1999). Pembuangan kapur (deliming)
bertujuan untuk menurunkan pH yang disebabkan sisa kapur yang masuk masih terdapat pada kulit
(Purnomo, 1985). Proses buang kapur biasanya menggunakan garam ammonium sulfat (ZA). Garam
itu memudahkan proses pembuangan kapur karena tidak ada pengendapan-pengendapan dan tidak
terjadi pembengkakan kulit (Muslich, 1999).
Pelumatan (bating) bertujuan untuk membuka atau melemaskan kulit lebih sempurna secara
enzimatik. Bahan yang digunakan adalah oropon atau enzilen, yaitu bahan yang dibuat dari pankreas
dan garam-garam ammonium sebagai aktivator (Judoamidjojo, 1974). Menurut Purnomo (1985),
tujuan dari proses bating adalah menghilangkan sisa-sisa akar bulu dan pigmen, sisa lemak yang tidak
tersambungkan, dan menghilangkan sisa kapur yang masih tertinggal. Proses bating diperlukan
terutama untuk pembuatan kulit halus dan lemas, misalnya kulit box, pakaian, dan sarung tangan
(Muslich, 1999). Menurut Mann (1980), waktu bating yang berlebihan dapat menyebabkan kulit
menjadi lepas dan menipis karena banyak protein yang terhidrolisis sehingga mengakibatkan kekuatan
tarik menjadi rendah.
Menurut Purnomo (1985), pewarnaan dasar memiliki fungsi sebagai pemberian warna dasar
pada kulit tersamak seperti yang diinginkan. Pemberian warna disesuaikan dengan bentuk produk
akhir yang direncanakan. Warna coklat sering digunakan pada tahap pengecatan dasar. Peminyakan
(fat liquoring) bertujuan melicinkan serat kulit sehingga lebih tahan terhadap gaya tarikan, menjaga
serat kulit agar tidak lengket sehingga lebih lunak dan lemas, dan memperkecil daya serap agar kulit

menjadi lebih fleksibel atau lebih mudah dilekuk-lekukan dan tidak mudah sobek. Caranya dapat
dilakukan dengan meminyaki permukaan dengan pengulasan, pelemasan dengan tong berputar atau
pencelupan dalam lemak panas. Hal itu penting untuk menarik konsumen saat pemasaran produk.
Menurut Thorstensen (1985), jenis minyak yang umum digunakan dalam proses peminyakan adalah
trigliserida yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, ikan laut, dan hewan.
Menurut (Muslich, 1999), pasca penyamakan bertujuan membentuk sifat-sifat tertentu pada
kulit terutama berhubungan dengan kelemasan, kepadatan, dan warna kulit. Proses tersebut terdiri atas
netralisasi, pewarnaaan, peminyakan, pengecatan, pengeringan, pelembaban, dan pelemasan.
a. Penetralan bertujuan mengurangi kadar asam dari kulit yang disamak menggunakan krom agar
tidak menghambat proses pengecatan dasar dan peminyakan (Purnomo, 1985).
b. Pewarnaan dasar memiliki fungsi sebagai pemberian warna dasar pada kulit tersamak seperti yang
diinginkan.
c. Peminyakan bertujuan melicinkan serat kulit sehingga lebih tahan terhadap gaya tarikan, menjaga
serat kulit agar tidak lengket dan menjadi lebih lunak, lemas, memperkecil daya serap, serta
membuat kulit lebih fleksibel.
d. Pengecatan bertujuan untuk memenuhi selera konsumen. Pengecatan zat warna hanya melekat di
permukaan dalam media bahan perekat yang fungsinya melekatkan warna dan memperbaiki
permukaan kulit.
e. Pengeringan bertujuan untuk menghentikan semua reaksi kimia di dalam kulit.
f. Pelembaban biasanya dilakukan selama 1-3 hari pada udara biasa agar kulit menyesuaikan

kelembaban udara sekitarnya.
g. Pelemasan dilakukan dengan tujuan untuk melemaskan kulit dan mengembalikan luas kulit yang
hilang karena mengkerut selama proses pengeringan.

Pre- and Mainsoaking

Siziing

Liming

Coating

Washing

Base-coating

Fleshing/
Trimming/ Splitting

Impregnation


Washing

Buffing

Deliming

Drying

Washing

Sammying

Pickling

Washing

TanningBasification

Fat Liquoring


Shaving

Dyeing

Washing

Retanning

Netralisation

Washing

Gambar.1
Proses
Penyamakan
Kulit
Gambar
1. Proses
Penyamakan

KulitMOdifikasi
(UNIDO, 2000b)

2.3 Kualitas Kulit
Mutu kulit samak (leather ) selain dipengaruhi oleh proses yang dilakukan di industri
penyamakan kulit, juga sangat bergantung pada mutu kulit mentah sebagai bahan dasarnya. Mutu kulit
mentah dipengaruhi oleh kerusakan kulit yang terjadi pada saat hewan hidup, pemotongan, dan
pengawetan (Willamson dan Payne, 1993). Menurut Mann (1980), sapi untuk produksi susu atau

domba untuk produksi wool mempunyai kulit yang tipis karena nutrisi makanan yang diserap tubuh
digunakan untuk memproduksi susu atau wool.
Kulit seperti itu juga dapat mempengaruhi kualitas kulit samak karena kekuatan tarik dan
kemuluran kulit samak menjadi rendah. Dikatakan pula pada setiap spesies terapat perbedaan antara
kulit hewan jantan dan betina. Perbedaan pokoknya adalah kulit hewan betina mempunyai rajah yang
lebih halus daripada kulit hewan jantan. Pada umumnya, kulit hewan betina mempunyai bobot ratarata lebih ringan dari kulit hewan jantan tetapi mempunyai daya tahan renggang yang lebih besar.
Namun demikian, karena permintaan kulit di pasar sangat besar maka perbedaan kedua jenis kelamin
dapat diabaikan dan tidak dianggap sebagai suatu defek. Perbedaan yang dipengaruhi oleh umur
hewan dapat menurunkan mutu setelah menjadi kulit samak. Kulit yang berasal dari hewan muda pada
umumnya mempunyai struktur yang halus tetapi kompak, berajah sangat halus tetapi kurang tahan
terhadap pengaruh dari luar dibandingkan kulit hewan yang lebih tua. Sebaliknya bila hewan semakin
tua, lapisan rajah makin kuat dan kasar. Disamping itu, akan semakin banyak yang mengalami lukaluka sehingga makin banyak tenunan parutnya, bekas luka oleh penyakit parasit, guratan, cap
bakar,dan lainnya.

2.4 Produksi Bersih
Produksi bersih atau cleaner production (CP) adalah salah satu teknik yang penting dalam
menunjang pengembangan berkelanjutan dengan menawarkan kesempatan-kesempatan baru untuk
optimasi dan penghematan dalam bisnis dan tentunya mengikuti peraturan lingkungan (Ontario
Ministry of Environment, 1993). Konsep produksi bersih dicetuskan oleh United Nation
Environmental Program (UNEP) pada bulan Mei 1989. UNEP menyatakan bahwa cleaner
production merupakan suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, terpadu dan
diterapkan secara kontinu pada proses produksi, produk dan jasa untuk meningkatkan eko-efisiensi
sehingga mengurangi resiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. (UNEP, 1991)
Produksi bersih didefinisikan sebagai strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif,
terpadu dan diterapkan secara terus-menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu ke hilir yang terkait
dengan proses produksi, produk dan jasa untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya
alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan mengurangi terbentuknya limbah pada
sumbernya sehingga dapat meminimisasi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta
kerusakan lingkungan (Purwanto, 2007). Menurut Weston dan Stuckey (1994), definisi teknologi
bersih secara universal sebetulnya belum ada persetujuannya, akan tetapi konsensus secara umum
bahwa tujuannya adalah untuk mereduksi tingkat emisi pencemar dan produksi limbah pada
sumbernya, membuat efesien dari penggunaan bahan baku, energi dan utilitas, sehingga pada akhirnya
dapat mereduksi dampak negatif terhadap lingkungan.
Limbah sering diartikan sebagai suatu zat (padat, cair atau gas) yang tidak dikehendaki yang
dihasilkan dari proses produksi, pengertian limbah bisa menjadi lebih luas, bahan baku yang belum
diproses dapat menjadi limbah jika bahan tersebut akan kadaluarsa sebelum digunakan. Air dapat
menjadi limbah jika penggunaannya tidak terkendali, proses produksi yang tak efisien dapat
menghasilkan limbah (Hadiyarto, 2004). Proses pengolahan limbah di industri memerlukan biaya
tambahan yang cukup besar, sehingga faktor biaya tersebut merupakan kendala bagi industri dalam
melakukan pengelolaan limbah, khususnya bagi industri-industri skala kecil dan mencegah.
Permasalahan inilah yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan yang
kondisinya akan semakin parah bila diikuti dengan lemahnya penegakan hukum.

Konsep end-of-pipe treatment− Konsep end-of-pipe treatment menitikberatkan pada
pengolahan dan pembuangan limbah. Konsep ini pada kenyataannya tidak dapat sepenuhnya
memecahkan permasalahan lingkungan yang ada, sehingga pencemaran dan perusakan masih terus
berlangsung. Hal ini disebabkan karena dalam prakteknya pelaksanaan konsep ini menimbulkan
banyak kendala. Masalah utama yang dihadapi adalah peraturan perundangan, masih rendahnya
compliance atau pentaatan dan penegakan hukum, masalah pembiayaan serta masih rendahnya tingkat
kesadaran. Kendala lain yang dihadapi oleh pendekatan end-of-pipe treatment adalah; pertama,
pendekatan ini bersifat reaktif, yaitu bereaksi setelah limbah terbentuk. Kedua, tidak efektif dalam
memecahkan permasalahan lingkungan, karena pengolahan limbah cair, padat atau gas memiliki
resiko pindahnya polutan dari satu media ke media lingkungan lainnya, dimana dapat menimbulkan
masalah lingkungan yang sama gawatnya, atau berakhir sebagai sumber pencemar secara tidak
langsung pada media yang sama. Ketiga, biaya investasi dan operasi tinggi, karena pengolahan
limbah memerlukan biaya tambahan pada proses produksi, sehingga biaya persatuan produk naik. Hal
ini menyebabkan para pengusaha enggan mengoperasikan peralatan pengolahan limbah yang telah
dimilikinya. Keempat, pendekatan pengendalian pencemaran memerlukan berbagai perangkat
peraturan, selain menuntut tersedianya biaya dan sumber daya manusia yang handal dalam jumlah
yang memadai untuk melaksanakan pemantauan, pengawasan dan penegakkan hukum. Lemahnya
kontrol sosial, terbatasnya sarana dan prasarana serta kurangnya jumlah dan kemampuan tenaga
pengawas menyebabkan hukum tidak bisa ditegakkan.
Oleh karena banyaknya kendala yang dihadapi dalam menerapkan konsep ini sehingga konsep
ini bukan cara yang efektif dalam mengelola lingkungan, maka strategi pengelolaan lingkungan telah
diubah ke arah pencegahan pencemaran yang mengurangi terbentuknya limbah dan memfasilitasi
semua pihak untuk mengelola lingkungan secara hemat biaya serta memberikan keuntungan baik
finansial maupun non finansial. Dari pengertian mengenai Produksi bersih maka terdapat kata kunci
yang dipakai untuk pengelolaan lingkungan, yaitu pencegahan pencemaran melalui jenis proses yang
akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis daur hidup, teknologi ramah lingkungan (produksi
bersih). Pencegahan pencemaran merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan strategi
dan teknologi produksi bersih yang tujuannya penghilangan atau pengurangan jumlah limbah.
Menurut Bishop (2000), sesuai dengan Environmental Protection Agency (EPA) pencegahan
pencemaran didefinisikan sebagai penggunaan material-material, proses-proses atau praktik-praktik
yang bisa mereduksi penggunaan bahan berbahaya, energi, air atau sumber daya alam melalui
penggunaan yang lebih efisien, termasuk didalamnya adalah strategi good house keeping (GHK) yang
bertujuan untuk meminimalkan limbah dan meningkatkan keuntungan melalui penghematan sumber
daya dan bahan baku.

2.5 Manfaat Produksi Bersih
Menurut Bapedal (1998), ada beberapa manfaat dari penerapan produksi bersih, diantaranya
sebagai berikut:
1. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan bahan baku, energi dan sumber daya lainnya.
2. Meningkatkan efisiensi dalam proses produksi sehingga dapat mengurangi biaya pengolahan
limbah.
3. Mengurangi bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan kerja.
4. Mengurangi dampak pada keseluruhan siklus hidup produk mulai dari pengambilan bahan baku
sampai pembuangan akhir setelah produk tersebut digunakan.

5. Meningkatkan daya saing produk di pasaran dan mampu meningkatkan image yang baik bagi
perusahaan.
6. Menghindari biaya pemulihan lingkungan.
7. Mendorong dikembangkannya teknologi pengurangan limbah pada sumbernya dan produk ramah
lingkungan.
Dalam penerapannya Produksi bersih memberikan keuntungan seperti meningkatkan efisiensi,
mengurangi biaya pengolahan limbah, konservasi bahan baku dan energi, membantu akses kepada
lembaga finansial, memenuhi permintaan pasar, memperbaiki kualitas lingkungan, memenuhi
peraturan lingkungan, memperbaiki lingkungan kerja, dan meningkatkan persepsi masyarakat
(Sadinata, 2007). Saat ini para pelaku usaha sudah mulai menerapkan strategi produksi bersih di
dalam pengembangan bisnisnya karena dapat memperoleh manfaat, yaitu: pertama, meningkatkan
daya saing dan kegiatan usahanya juga dapat berkelanjutan, mengingat semakin besarnya peranan
lingkungan hidup dalam kebijakan perdagangan internasional. Kedua,dengan mempertimbangkan
aspek lingkungan dalam setiap kegiatan proses produksi secara berkesinambungan maka perusahaan
memperoleh keuntungan ekonomis dengan adanya peningkatan efektifitas dan efisiensi di segala
aspek. Ketiga, dengan menjalankan strategi produksi bersih perusahaan dapat menurunkan biaya
produksi dan biaya pengolahan limbah serta sekaligus mengurangi terjadinya kerusakan dan
pencemaran lingkungan.

2.6 Tindakan Produksi Bersih
Teknik Pelaksanaan Produksi Bersih ada beberapa teknik pelaksanaan produksi bersih
adalah (Afmar, 1999) pengurangan pada sumber, yaitu pengurangan pada sumber merupakan
pengurangan atau eliminasi limbah pada sumbernya. Perubahan produk, yaitu subsitusi produk,
konservasi produk, perubahan komposisi produk. Perubahan material input, perubahan material input
bermaksud untuk mengurangi atau menghilangkan bahan berbahaya dan beracun yang masuk
atau digunakan dalam proses produksi sehingga dapat menghindari terbentuknya limbah B3
dalam proses produksi. Volume buangan diperkecil, yaitu: pemisahan limbah dan mengkonsentrasikan limbah. Perubahan teknologi yang mencakup modifikasi proses dan peralatan. Teknik
terakhir adalah penerapan operasi yang baik (good house keeping) yang melibatkan unsur-unsur:
pengawasan terhadap prosedur- prosedur operasi, loss prevention, praktik manajemen, segregasi
limbah, perbaikan penanganan material, penjadwalan produk.

2.7 Metoda MPE
Metoda Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metoda yang digunakan
untuk pengambilan keputusan dari beberapa alternatif keputusan dengan kriteria majemuk
(Marimin,2004). Struktur model MPE adalah sebagai berikut:
=

NA i
= Nilai akhir dari alternatif ke-i
Nilai ij = Nilai akhir dari alternatif ke-I pada
iiiikriteria ke-j,

(

)

Krit j

i
j

= Tingkat kepentingan kriteria ke-j;
krit j > 0, bulat,
= 1, 2, 3, …, n ; n = jumlah alternatif
= 1, 2, 3, …, m ; m = jumlah alternatif

2.8 Metoda AHP
AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L.
Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria
yang kompleks menjadi suatu hirarki, menurut Saaty (1980), hirarki didefinisikan sebagai suatu
representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level
pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga
level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam
kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan
akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. AHP sering digunakan sebagai metode pemecahan
masalah dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan, yaitu pertama, struktur yang
berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih, sampai pada subkriteria yang paling dalam.
Kedua, memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan
alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan. Ketiga, memperhitungkan daya tahan output analisis
sensitivitas pengambilan keputusan.
Dalam metode AHP dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. Dalam tahap ini kita berusaha
menentukan masalah yang akan kita pecahkan secara jelas, detail dan mudah dipahami. Dari
masalah yang ada kita coba tentukan solusi yang mungkin cocok bagi masalah tersebut. Solusi dari
masalah mungkin berjumlah lebih dari satu. Solusi tersebut nantinya kita kembangkan lebih lanjut
dalam tahap berikutnya.
2. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama. Setelah menyusun tujuan utama
sebagai level teratas akan disusun level hirarki yang berada di bawahnya yaitu kriteria-kriteria
yang cocok untuk mempertimbangkan atau menilai alternatif yang kita berikan dan menentukan
alternatif tersebut. Tiap kriteria mempunyai intensitas yang berbeda-beda. Hirarki dilanjutkan
dengan subkriteria (jika mungkin diperlukan).
3. Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh
setiap elemen terhadap tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Matriks yang digunakan
bersifat sederhana, memiliki kedudukan kuat untuk kerangka konsistensi, mendapatkan informasi
lain yang mungkin dibutuhkan dengan semua perbandingan yang mungkin dan mampu
menganalisis kepekaan prioritas secara keseluruhan untuk perubahan pertimbangan. Pendekatan
dengan matriks mencerminkan aspek ganda dalam prioritas yaitu mendominasi dan didominasi.
Perbandingan dilakukan berdasarkan judgment dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat
kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. Untuk memulai proses perbandingan
berpasangan dipilih sebuah kriteria dari level paling atas hirarki misalnya K dan kemudian dari
level di bawahnya diambil elemen yang akan dibandingkan misalnya E1,E2,E3,E4,E5.
4. Mendefinisikan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah penilaian seluruhnya
sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. Hasil
perbandingan dari masing-masing elemen akan berupa angka dari 1 sampai 9 yang menunjukkan
perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen. Apabila suatu elemen dalam matriks
dibandingkan dengan dirinya sendiri maka hasil perbandingan diberi nilai 1. Skala 9 telah terbukti
dapat diterima dan bisa membedakan intensitas antar elemen. Hasil perbandingan tersebut diisikan
pada sel yang bersesuaian dengan elemen yang dibandingkan. Skala perbandingan perbandingan
berpasangan dan maknanya yang diperkenalkan oleh Saaty bisa dilihat di bawah. Intensitas
Kepentingan 1 = Kedua elemen sama pentingnya, Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama
besar 3 = Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yanga lainnya, Pengalaman dan
penilaian sedikit menyokong satu elemen dibandingkan elemen yang lainnya 5 = Elemen yang

5.
6.
7.

8.

satu lebih penting daripada yang lainnya, Pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu
elemen dibandingkan elemen yang lainnya 7 = Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada
elemen lainnya, Satu elemen yang kuat disokong dan dominan terlihat dalam praktek. 9 = Satu
elemen mutlak penting daripada elemen lainnya, Bukti yang mendukung elemen yang satu
terhadap elemen lain memeliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan. 2,4,6,8 =
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan, Nilai ini diberikan bila
ada dua kompromi di antara 2 pilihan Kebalikan = Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka
dibanding dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i.
Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten maka pengambilan data
diulangi.
Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.
Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan yang merupakan bobot
setiap elemen untuk penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai
mencapai tujuan. Penghitungan dilakukan lewat cara menjumlahkan nilai setiap kolom dari
matriks, membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang bersangkutan untuk
memperoleh normalisasi matriks, dan menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya
dengan jumlah elemen untuk mendapatkan rata-rata.
Memeriksa konsistensi hirarki. Yang diukur dalam AHP adalah rasio konsistensi dengan melihat
index konsistensi. Konsistensi yang diharapkan adalah yang mendekati sempurna agar
menghasilkan keputusan yang mendekati valid, walaupun sulit untuk mencapai yang sempurna,
rasio konsistensi diharapkan kurang dari atau sama dengan 10% atau 0.10.

III.

METODA PENELITIAN

3.1 Pengumpulan Data
Data diperoleh melalui tinjauan lapang di kawasan industri penyamakan kulit Sukaregang di
Garut pada bulan Mei - Agustus 2011. Berdasarkan rekomendasi pakar, pada kawasan industri
penyamakan kulit yang terdiri dari 330 industri kecil, tiga industri diambil untuk dijadikan bahan
kajian produksi bersih, yaitu PT ELCO Indonesia, PT Karya Lestari Mandiri, dan PD Putra Setra.
Data yang diperoleh berupa kebijakan perusahaan, sistem produksi perusahaan, keseimbangan massa,
dan aliran limbah. Pengumpulan data tentang nilai kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh dalam
hal pemilihan alternatif produksi bersih dilakukan dengan cara wawancara berkuesioner terhadap
enam responden, tiga responden yang berasal dari industri penyamakan kulit dan tiga orang pakar
yang berasal dari Dinas Pertamanan dan Lingkungan Hidup Kota Garut dan institusi pendidikan.

3.2 Tahapan Penelitian
Tiga industri penyamakan kulit yang telah disebutkan kemudian dikaji satu-persatu akan aspek
produksi bersih dan kemungkinan opsi penerapan strategi produksi bersihnya. Alur penelitian, dapat
dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Analisis Produksi Bersih

3.3 Penentuan Alternatif Produksi Bersih
Tujuan tahap penentuan alternatif produksi bersih adalah untuk merancang alternatif produksi
bersih dari hasil Quick scan di lapang. Menurut Walder (2002), Quick scan memeriksa kualitas suatu
proses untuk potensi produksi bersihnya dan mendefinisikan parameter penilaian produksi bersih.
Setelah proses Quick-Scan dilaksanakan pada keseluruhan proses produksi, data yang diperoleh
kemudian disusun berdasarkan proses produksinya dan data tersebut dirancang untuk menjadi
berbagai alternatif produksi bersih. Perancangan tersebut dilakukan bersama-sama dengan para pakar
sehingga menghasilkan berbagai alternatif produksi bersih. Setelah alternatif produksi bersih didapat,
alternatif tersebut kemudian dianalisis menggunakan Metoda Perbandingan Eksponensial (MPE)
untuk diperoleh alternatif produksi bersih yang dapat diterapkan pada unit industri tersebut.
Responden yang dipilih untuk analisis MPE, yaitu perwakilan tiga industri (kepala produksi) yang
dijadikan kajian dan satu pakar dari Dinas Lingkungan setempat.

3.4 Penentuan Strategi Produksi Bersih
Alternatif produksi bersih yang telah didapat dari hasil analisis MPE kemudian dianalisis
menggunakan metoda Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk didapatkan prioritas penerapan
alternatif produksi bersih pada kawasan industri penyamakan kulit. Penerapan produksi bersih
didasarkan pada lima kriteria, yaitu manfaat, biaya, lingkungan, operasi, dan konstruksi. Prioritas
alternatif produksi bersih dianalisis menggunakan AHP yang pengolahannya menggunakan program
Expert Choice 11. Metoda AHP atau Analytical Hierarchy Process merupakan teknik untuk
membantu menyelesaikan permasalahan pengambilan keputusan. Pada dasarnya, AHP adalah suatu
teori umum tentang pengukuran dan digunakan untuk menemukan skala rasio baik dari perbandingan
pasangan yang diskrit maupun kontinyu. Perbandingan-perbandingan ini dapat diambil dari ukuran
aktual atau dari suatu skala dasar yang mencerminkan kekuatan perasaan dan prefensi relatif. AHP
memiliki perhatian khusus tentang penyimpangan dari konsistensi, pengukuran dan pada
ketergantungan di dalam dan diantara kelompok elemen strukturnya. Menurut Mulyono (1996), dalam
pengambilan keputusan dengan metoda AHP langkah-langkah kegiatan yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
a. Mendefinisikan suatu kegiatan yang memerlukan pemilihan dalam pengambilan keputusannya.
b. Menentukan kriteria dari pilihan-pilihan tersebut terhadap identitas kegiatan membuat hirarkinya.
c. Membuat matriks pairwise comparison berdasarkan fokus kriteria dengan memperhatikan prinsipprinsip comparative judgment
d. Membuat matriks pairwise comparison dengan memperhatikan prinsip-prinsip comparative
judgment berdasarkan kriteria pada tingkat diatasnya.
Analisis AHP menggunakan lima responden, yang terdiri dari dua pakar lingkungan yang berasal dari
institusi dan tiga perwakilan dari industri, yakni kepala bagian produksi industri penyamakan kulit.

Gambar 3 menunjukan struktur AHP yang terdiri dari tiga level, yaitu level tujuan, level kriteria, dan
level alternatif.

Gambar 3. Struktur AHP

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Profil Kawasan Industri Penyamakan Kulit Di Garut
Secara geografis, industri penyamakan kulit terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Kabupaten Garut terletak di sebelah selatan Provinsi Jawa Barat pada koordinat 6056’49”-7045’00”
Lintang Selatan dan 107025’8”-108007’30” Bujur Timur, dengan luas wilayah sekitar 306,519 Ha
(3,065.19 km2). Batas-batas administrasi Kabupaten Garut adalah di sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera
Indonesia, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya, dan sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut,
2001).
Industri penyamakan kulit berada di suatu sentra bernama Sukaregang yang termasuk wilayah
Kecamatan Garut Kota. Luas wilayah sentra adalah 79.75 Ha (Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten Garut, 2001). Secara administrasi sentra Sukaregang ini dibatasi oleh 4 (empat) wilayah
kelurahan atau desa dengan batasan administrasi, dimana bagian utara dibatasi oleh Kelurahan Kota
Wetan RW 09, 07, 08, 18, dan 19. Bagian selatan dibatasi oleh Kelurahan Cimuncang, bagian timur
dibatasi oleh Desa Suci RW 01 dan RW 06. Dan bagian barat dibatasi oleh Kelurahan Regol (RW 13,
17, dan 18), Kelurahan Kota Kulon dan Kelurahan Ciwalen. Batasan fisik yang mudah dikenali adalah
bagian utara dilalui Jl. Jendral A. Yani, bagian selatan dilalui sungai irigasi Lampegan, bagian barat
dilalui oleh sungai Ciwalen, dan di bagian timur dilalui oleh sungai Cigulampeng.
Lahan Kawasan Sukaregang masih didominasi oleh penggunaan lahan non terbangun seluas
42.358 ha atau sekitar 53.21% dari total luas kawasan Sukaregang. Luas lahan yang terbangun yang
terdiri dari pemukiman dan kegiatan industri seluas 37,412 ha atau sekitar 46.79% dari luas Kawasan
Sukaregang. Kegiatan industri telah memanfaatkan 5.986%. Lokasi industri penyamakan tersebar dan
memiliki kecenderungan untuk mendekat pada sungai-sungai yang melintasi kawasan Sukaregang,
yaitu sungai Ciwalen dan Cigulampeng.
Ketersediaan air cukup melimpah dimana mata air di Kabupaten Garut terdiri dari mata air
yang mengalir sepanjang tahun, mengalir 6-9 bulan dalam setahun, dan mengalir kurang dari 6 bulan
dalam setahun. Disamping itu kawasan industri penyamakan kulit ini berada di sekitar Sungai Ciwalen
dan Cigulampeng yang termasuk ke dalam DAS Cimanuk. Kegiatan industri penyamakan umumnya
memakai air tanah dan air permukaan yang berasal dari Sungai Ciwalen dan Cigulampeng dan air
yang berasal dari PDAM hanya kurang dari 0.05%. (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut,
2001).
Dalam operasinya, industri di kawasan ini didukung oleh tenaga kerja yang jumlahnya
bervariasi tiap perusahaan penyamak kulit, dimana para penyamak skala usaha menengah memiliki
tenaga kerja sekitar 20-100. Penyamak skala usaha kecil memiliki tenaga kerja 2-5 orang. Sistem
perekrutan biasanya diperoleh dari mulut ke mulut atau ada yang juga yang datang langsung ke
perusahaan. Jam kerja rata-rata 8 jam/hari tetapi jika pesanan banyak maka dilakukan lembur.

Jumlah industri penyamakan kulit pada kawasan industri penyamakan kulit dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Daftar Sentra Industri Kecil dan Menengah Penyamakan Kulit Kabupaten Garut Tahun
2011
Nilai
Tenaga
Nilai
Kapasitas produksi
Produksi
ALAMAT
Unit
No
Kerja
Investasi
(Rp. 000)
(Rp. 000)
Usaha
(orang)
(Rp. 000)
Desa
Kecamatan
Jumlah
Satuan
1
Kota
Garut Kota 290
1,285
13,391,040 114,463
Sq.Feet 44,216,300
wetan
2
Suci
Karang40
210
1,847,040
122,708
Sq.Feet 6,098,800
pawitan
JUMLAH
330
1,495
15,238,080 237,171
50,315,100
Sumber: Dinas Industri dan Penanaman Modal Kota Garut (2011)
Bahan baku berupa kulit sapi, domba, dan kambing diperoleh di sekitar Garut dan luar Garut.
Untuk kulit sapi diperoleh (5-10%) dan luar Garut (90%) yang berasal dari luar Garut adalah daerah
Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sumatera (Padang dan Medan), Kalimantan dan
Sulawesi. Kulit domba sendiri diperoleh dari Garut (80%) dan sisanya dari luar Garut yaitu berasal
dari para penampung kulit di daerah Sumedang, Majalengka, Tasikmalaya. Berdasarkan hasil
pengamatan di lapangan, harga bahan baku kulit garam basah, yaitu jenis sapi jawa dan brahma kering
berkisar antara Rp 10,000 - 16,000 /kg, sapi sumatera berkisar antara Rp 8,500 - 9,500 /kg, dan kulit
domba berkisar antara Rp 30,000 – 50,000 /lembar.
Kawasan industri penyamakan kulit ini memiliki lembaga penanganan limbah yang berada di
bawah Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Garut yang diberi nama
UPK SIK (Unit Pengelola Khusus Sentra Industri Kecil Kulit). Unit ini dibentuk berdasarkan SK
Bupati Garut No. 536/Kep.411-BPLH/2001). Bertugas mengkoordinasikan dan merekomendasikan
dalam memberikan pelayanan masyarakat khususnya mengenai administrasi perijinan, meningkatkan
pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan terhadap
peningkatan hasil produksi dan pemasaran agar dapat meningkatkan daya saing dan pasaran melalui
kegiatan penanggulangan dampak limbah industri dan operasional IPAL.
Dampak adanya kawasan industri penyamakan kulit ini menyebabkan pencemaran berupa
limbah padat, cair, gas, dan kebisingan. Sebagian para penyamak membuang limbah cair langsung ke
sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga mencemari lingkungan di sekitarnya. Limbah padat
(serpihan atau potongan kulit) banyak tersebar di pinggir-pinggir jalan antara lain Jl. Sudirman dan Jl.
Cimuncang. Menurut Wirasanti (2009), hasil uji laboratorium terhadap air sungai tercemar krom,
kandungan total logam krom berkisar antara 0.46 mg/L - 4.16 mg/L. Padahal kadar maksimum total
krom pada limbah cair untuk industri penyamakan kulit menurut surat keputusan Gubernur Jawa Barat
adalah 0.6 mg/L. Kondisi ini perlu penanganan serius karena krom bersifat korosif pada kulit dan
selaput lendir. Kontak langsung dengan krom dan secara terus menerus kulit yang sensitif akan
menyebabkan koreng (ulcer) selebar ujung pensil di sekitar kuku maupun punggung tangan (Palar,
1994).

4.1.1 PT ELCO Indonesia
Salah satu perusahaan penyamakan kulit yang cukup besar di Garut, yaitu PT ELCO Indonesia.
Perusahaan ini terletak di jalan Gagaklumayung No.127 Kecamatan Sukaregang, Kota Garut. Pemilik
sekaligus direktur utama perusahaan ini adalah Bapak Yusuf, dan untuk kesehariannya Direktur
dibantu oleh Departemen Akunting, Marketing, dan Produksi. Perusahaan ini memiliki 100 orang
karyawan, dimana hari kerjanya 6 hari dan 8 jam kerja yang dimulai dari jam 7.00 – 15.00.
Perusahaan ini umumnya hanya melakukan proses penyamakan kulit domba dan kambing. Gambar 3
dan 4 berikut adalah Denah PT ELCO Indonesia.

Gambar 3. Denah Lt.1 PT ELCO INDONESIA

Gambar 4. Denah Lt.2 PT ELCO INDONESIA
Bangunan PT ELCO Indonesia terbagi menjadi dua lantai, lantai pertama merupakan tempat
proses basah (proses yang menggunakan air sebagai bahan prosesnya) dan lantai kedua merupakan
tempat proses kering (proses produksi tanpa bahan air). Kedua lantai dihubungi hanya melalui tangga
saja. Proses transportasi material atau barang hanya dilakukan melalui tangga tersebut, sehingga
waktu yang digunakan untuk memindahkan material atau barang memerlukan waktu yang lama
terlebih proses memindahkan barang tidak menggunakan alat bantu seperti gondola atau alat
pengangkat.

4.1.2 PT Karya Lestari Mandiri
Perusahaan kedua yang menjadi studi kasus penelitian ini, yaitu PT Karya Lestari Mandiri
yang dahulunya masih berbentuk CV (Persekutuan Komanditer). Perusahaan ini dimiliki oleh Bapak
Ridwan sekaligus menjabat sebagai Direktur Utama. Perusahaan terletak di jalan Jendral Sudirman
Km.1 No. 21 Garut.
Untuk aktifitas kesehariannya Direktur dibantu oleh Departemen Akunting, Marketing, dan
PPIC. Perusahaan ini memiliki 72 orang karyawan, dimana hari kerjanya 6 hari dan 8 jam kerja yang
dimulai dari jam 7.30 – 15.30, kadangkala jika terdapat pesanan yang mengharuskan pesanan segera
maka dilakukan lembur. Perusahaan ini umumnya hanya melakukan proses penyamakan kulit sapi
dengan kapasitas produksi per tahunnya 1.2 juta ft2/ tahun. Perusahaan ini tak hanya memproduksi
kulit samak, tetapi menyediakan pula jasa penyewaan peralatan penyamakan atau dikenal dengan
maklon, untuk harga jual kulit samaknya sendiri berkisar dari Rp 11,500- 20,000.

Gambar 5. Denah PT Karya Lestari Mandiri lt.1

Gambar 6. Denah PT Karya Lestari Mandiri lt.2
Bangunan PT Karya Lestari Mandiri terbagi menjadi dua lantai, lantai pertama merupakan
tempat proses basah (proses yang menggunakan air sebagai bahan prosesnya) dan lantai kedua adalah
mezanin yang merupakan tempat melakukan proses kering (proses produksi tanpa bahan air). Proses
transportasi material atau barang dilakukan melalui gondola, sehingga waktu yang digunakan untuk
memindahkan material atau barang memerlukan waktu yang lebih cepat dibandingkan PT ELCO
Indonesia, sedangkan untuk mobilitas pekerja menuju lantai dua disediakan pula tangga.

4.1.3 PD Putra Setra
Perusahaan penyamakan kulit yang masih berbentuk PD ini terletak di jalan Jendral Sudirman
No.26 kota Garut. Pemilik sekaligus direktur utama perusahaan ini adalah Bapak Jajang Hermawan,
dan untuk kesehariannya Direktur dibantu oleh Departemen Akunting, Marketing, dan Produksi.
Perusahaan ini memiliki 35 orang karyawan, dimana hari kerjanya 6 hari dan 8 jam kerja yang dimulai
dari jam 8.00 – 16.00, kadangkala jika terdapat pesanan yang mengharuskan pesanan segera maka
dilakukan lembur. Kapasitas produksi kulit sapi PD Putra Setra berkisar 20-30 ton/bulan, dimana
harga untuk kulit sapinya sendiri berkisar Rp 18,000 - 20,000 /sq.ft.

Keterangan:
1. Area Splitting
2. Gudang
Chemical
3. Toko Chemical
4. Mess Karyawan
5. Mushala
6. Vacuum Drying
7. WC
8. Bak Air

9. Bengkel
17. Drum Tanning
10. Gudang Kulit
18. Drum Liming
Jadi
19. Drum Liming
11. R. Mesin Ukur 20. Bak rendaman
12. Garasi Mobil
21. Lap Bola Volly
13. Kantor Pimpinan 22. Gudang Garam
14. Drum Tanning 23. R. Mesin Diesel
15. Drum Milling
24. Drum Tanning
16. Drum Tanning 25. Drum Tanning

26. Drum Tanning
27. Drum Tanning
28. Drum Tanning
29. WC Tamu
30. Drum Trial
31. R. Kepala
Produksi
32. Mesin Shaving
33. Mesin Shaving

34. Mesin Toggling
35. Mesin Emboss
36. Mesin Emboss
37. Mesin Stacking
38. Drum Tanning
39. Drum Tanning
40. Hanging area
41. Spraying area
42. Mesin Roll

Coating
43. Gudang Teknik
44. Gudang
Finishing
45. R. Spray
46. R. Buffing
47. Area jemur
48. IPAL
: Pos Satpam

Gambar 7. Denah PD Putra Setra

4.2 Proses produksi
4.2.1. Neraca Massa
Industri penyamakan kulit memiliki berbagai tahapan proses produksi yang berbeda-beda,
namun jika dilihat alur proses produksinya, proses produksi yang ada bisa digolongkan menjadi dua
tipe, yaitu: pertama, proses produksi menggunakan sistem maklon, contoh pada PT Karya Lestari
Mandiri dan PD Putra Setra. Proses produksi yang menggunakan sistem maklon yaitu menggunakan
jasa pihak ketiga guna menjalankan proses produksinya. Hal ini terjadi karena keterbatasan alat yang
dimiliki oleh perusahaan tersebut. Kedua, segala proses produksi di perusahaan ini ditangani sendiri,
artinya perusahaan ini memiliki semua alat yang dibutuhkan guna menunjang proses produksi
contohnya pada PT ELCO Indonesia.

Gambar 8. Neraca Massa Penyamakan Kulit PT ELCO Indonesia

Gambar 9. Neraca Massa Penyamakan Kulit PD Putra Setra

4.2.2 Proses Liming
Proses liming atau proses pengapuran bertujuan untuk menghilangkan lapisan epidermis,
mengilangkan kelenjar keringat, dan kelenjar lemak. Perendaman dalam larutan kapur menyebabkan
sebagian bulu kulit lepas. Sisa daging yang masih melekat pada kulit dibuang dengan pisau buang
daging sampai bersih kemudian dikerok lagi pada bagian rajahnya dengan pisau buang bulu halus
untuk mengeluarkan kelenjar-kelenjar yang telah dipecahkan oleh kapur.

Gambar 10. Liming drum PT ELCO Indonesia
Alat yang digunakan pada proses ini adalah drum besar yang berputar pada porosnya dan
digerakan oleh mesin bertenaga listrik. Mesin ini dirawat tiap satu tahun sekali, namun jika terjadi
kerusakan makan mesin segera diperbaiki. Limbah yang dihasilkan pada proses ini umumnya berupa
cairan dan padatan tersuspensi yang merupakan sisa daging, lemak, dan bulu. Pada kasus PT ELCO
Indonesia dan PT KLM, limbah yang dihasilkan langsung dialirkan ke IPAL dan tidak mengalami
perlakuan pemisahan limbah baik padat maupun cair. Pada PD Putra Setra, limbah cair dan padat
dipisahkan terpisah sehingga kinerja IPAL tidak terbebani.

4.2.3 Proses Fleshing atau splitting
Pembuangan sisa daging setelah proses liming tetap dilanjutkan pada proses fleshing,
umumnya perusahaan sudah menggunakan alat untuk proses fleshing ini. Pada proses ini limbah yang
dihasilkan
umumnya berupa padatan yang merupakan sisa daging dan lemak. Pada kasus PT ELCO dan PT
KLM, limbah yang dihasilkan langsung dialirkan ke IPAL dan tidak mengalami perlakuan pemisahan
limbah baik padat maupun cair.

Gambar 11. Mesin fleshing PT ELCO
Indonesia

Di perusahaan PD Putra Setra, untuk limbah hasil splitting dikumpulkan pada suatu tempat dan
limbah ini dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk dijadikan kerupuk ‘drokdok’.

4.2.4 Proses Deliming
Semua proses penyamakan berlangsung dalam lingkungan asam. Oleh karena itu, kapur di
dalam kulit harus dihilangkan. Kapur yang masih berada di dalam kulit akan mengganggu prosesproses penyamakan selanjutnya. Sisa kapur yang masih tertinggal dapata terlihat pada penampang
kulit bagian tengah berwarna merah jika ditetesi indicator phenolphthalein. Sisa kapur ini dapat
dihilangkan pada proses selanjutnya.

Gambar 12. Deliming drum PT ELCO
Indonesia
Drum yang digunakan pada proses ini memiliki prinsip yang sama dengan proses liming. Mesin ini
dirawat tiap satu tahun sekali, namun jika terjadi kerusakan maka mesin segera diperbaiki. Pada
proses deliming limbah yang dihasilkan umumnya berupa cairan yang memiliki campuran senyawa
kimia yang dapat merusak lingkungan. Pada semua industri, limbah yang dihasilkan langsung
dialirkan ke IPAL dan tidak mengalami proses pengolahan.

4.2.5 Proses Bating dan Pickling
Proses ini menggunakan enzim protease untuk melanjutkan pembuangan semua zat-zat bukan
kolagen yang belum terhilangkan dalam proses pengapuran antara lain sisa-sisa akar bulu dan pigmen,
sisa-sisa akar lemak yang tak tersabunkan dan sisa kapur yang masih tertinggal. Proses pickling atau
proses pengasaman ini dilakukan untuk menghilangkan sisa kapur yang masih tertinggal,
menghilangkan noda-noda besi selama proses pengapuran, kulit menjadi putih bersih dan menyiapkan
kulit pada kondisi asam.
Alat yang digunakan pada proses ini adalah drum yang sama pada proses deliming dan
chroming. Mesin ini dirawat tiap 1 tahun sekali, namun jika terjadi kerusakan maka mesin ini segera
diperbaiki. Pada proses ini limbah yang dihasilkan adalah cairan yang merupakan cairan bersenyawa
kimia. Umumnya keseluruhan perusahaan, limbah yang dihasilkan langsung dialirkan ke IPAL dan
tidak mengalami perlakuan terlebih dahulu.

Gambar 13. drum Bating dan pickling PT ELCO Indonesia

Gambar 14. Drum kroming PT ELCO
Indonesia

4.2.6 Proses Penyamakan Chroming
Proses penyamakan sebagian besar menggunakan bahan kimia krom yang bertujuan untuk
mengubah kulit mentah yang mempunyai sifat tidak stabil yaitu mudah rusak oleh aktivitas
mikroorganisme, kerusakan sifat fisik maupun kimia menjadi kulit tersamak yang bersifat stabil dan
lebih tahan terhadapt berbagai kerusakan. Umumnya zat penyamak komersial yang banyak digunakan
mempunyai basisitas 33.3%. dalam penyamakan diperlukan 2.5%-3% Cr2O3. Proses pengerjaannya
terlebih dahulu melarutkan bahan penyamak (misalnya cromosal B) selama 24 jam.
Kulit yang telah diasamkan diputar dalam tanning drum dengan 80-100% air, 3-4% garam
dapur (NaCl). Drum yang digunakan pada proses ini adalah drum yang sama digunakan dalam proses
deliming dan pickling. Mesin ini dirawat tiap 1 (satu) tahun sekali, namun jika terjadi kerusakan maka
mesin segera diperbaiki. Pada proses chroming, limbah yang dihasilkan berupa cairan yang memiliki
campuran senyawa kimia, yaitu zat asam dan zat krom yang berbahaya bagi lingkungan. Pada Semua
industri, limbah yang dihasilkan langsung dialirkan ke IPAL dan tidak mengalami proses pengolahan
in situ. Jumlah kulit yang akan diolah pada proses ini mempengaruhi jumlah bahan kimia yang
digunakan. Maka tingkat pencemaran lingkungan dapat dicegah pada proses ini.

4.2.7 Proses Samying
Proses samying atau proses pemekaran bertujuan untuk mengurangi air sampai dengan 45-50%
sehingga memuda