Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

TINGKAT PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING
SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERAH DI
KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

MIRA RAMALIA RIANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Tingkat Infeksi dan Derajat
Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan,
Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Mira Ramalia Rianti
NIM B04100184

ABSTRAK
MIRA RAMALIA RIANTI. Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing
Saluran Pencernaan pada Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan Kabupaten
Bandung. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan derajat
infeksi cacing saluran pencernaan pada peternakan sapi perah di Kecamatan
Pangalengan, Kabupaten Bandung. Sampel tinja diambil dari 120 ekor sapi yang
berasal dari 3 komda (komisaris daerah) dan diperiksa dengan metode modifikasi
Mc Master dan metode modifikasi filtrasi sedimentasi untuk mendeteksi
keberadaan telur cacing dan menentukan jumlah telur per gram tinja (TTGT).
Faktor resiko yang berkaitan dengan manajemen peternakan diperoleh dengan
kuesioner melalui wawancara langsung pada peternak. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari 120 sampel tinja yang diperiksa, sebanyak 34 sampel
tinja (28.3%) positif terinfeksi cacing. Sebanyak 30 sampel (25%) positif
Strongyle, dan 4 sampel (3.3%) positif Trichuris spp. Jumlah telur per gram tinja

Strongyle sebanyak 106.63±105.65 dan Trichuris spp. sebanyak 105±95.74 yang
termasuk infeksi ringan. Tingkat prevalensi Strongyle tertinggi pada sapi
kelompok umur 5 000 termasuk kategori infeksi berat. Derajat infeksi cacing
Strongyle memiliki jumlah TTGT lebih tinggi dibandingkan jumlah TTGT cacing
Trichuris spp. (Tabel 1). Menurut Tantri et al. (2012), kisaran infeksi ringan atau
rendah umumnya tidak mengganggu kesehatan namun mempengaruhi produktivitas
ternak.
Infeksi Trichuris spp. pada sapi berkaitan dengan kebersihan kandang.
Umumnya peternak membersihkan kandang setiap hari, hal ini dapat mengurangi
resiko sapi terinfeksi Trichuris spp. Infeksi Strongyle berkaitan dengan
pemeliharaan secara intensif, terutama pemberian pakan. Pakan yang diberikan
pada sapi di Kecamatan Pangalengan umumnya berupa rumput gajah. Pemberian
rumput gajah pada sapi beresiko menimbulkan infeksi Strongyle. Rendahnya nilai
TTGT dapat pula diakibatkan oleh pemberian anthelmintik. Sapi perah di
Kecamatan Pangalengan diberi anthelmintik apabila mengalami diare, kehilangan
nafsu makan dan terlihat kurus. Pemberian anthelmintik secara teratur dapat
mengurangi infeksi cacing dan membuat nilai TTGT semakin kecil.
Tingkat Prevalensi Berdasarkan Umur Sapi
Hasil penelitian menunjukkan tingkat infeksi Strongyle tertinggi pada sapi
umur 1-6 bulan dengan tingkat prevalensi 50.0%, diikuti pada sapi umur >12-36

bulan sebesar 25.7%, sapi umur >36 bulan sebesar 24.5%, dan sapi umur >6-12
bulan sebesar 12.5%. Tingkat infeksi Trichuris spp. paling tinggi ditemukan pada
sapi umur >6-12 bulan dengan tingkat prevalensi sebesar 12.5%, diikuti pada sapi
umur >12-36 bulan sebesar 2.9%, sapi umur >36 bulan sebesar 1.9%, dan sapi umur
1-6 bulan sebesar 0% (Tabel 2). Walaupun terdapat perbedaan tingkat prevalensi,
akan tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak signifikan (p>0.05).
Tabel 2 Prevalensi (%) infeksi Strongyle
berdasarkan umur sapi
Umur Sapi
Strongyle
(bulan)
Prevalensi
Nilai-p
(positif/n)
≤6
50.0 (4/8)
> 6-12
12.5 (2/16)
0.537
> 12-36

25.7 (9/35)
>36
24.5 (15/61)
Keterangan: n = total sampel

dan Trichuris spp. pada sapi perah
Trichuris spp.
Prevalensi
Nilai-p
(positif/n)
0.0 (0/8)
12.5 (2/16)
0.317
2.9 (1/35)
1.7 (1/61)

Sapi dapat terinfeksi oleh cacing pada semua kategori umur. Umumnya sapi
muda lebih rentan terhadap infeksi cacing. Hal ini telihat dari hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa telur cacing Strongyle banyak ditemukan pada sapi umur 1-6
bulan, sedangkan telur cacing Trichuris spp. banyak ditemukan pada sapi umur >612 bulan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Zulfikar (2012) yang

menunjukkan bahwa infeksi cacing pada kelompok umur muda lebih tinggi dari
kelompok umur tua. Sapi umur muda dapat terinfeksi cacing karena faktor induk

10
dan lingkungan. Saat induk sapi diberikan pakan yang kekurangan vitamin A, B dan
B12, serta protein dan mineral, maka sapi akan lebih rentan terinfeksi cacing
(Zulfikar 2012). Wiryosuhanto dan Jacoeb (1994) menyatakan bahwa penyakit
endoparasit terutama cacing menyerang hewan pada usia muda (kurang dari 1
tahun). Ahmad (2008) berpendapat bahwa kekebalan sapi terhadap cacing saluran
pencernaan dipengaruhi oleh umur, genetik, pakan, dan preimunisasi.
Prevalensi Berdasarkan Komda
Tingkat infeksi cacing pada sapi perah di setiap komda berbeda-beda.
Prevalesi Strongyle di komda Mekar Mulya lebih tinggi dari komda lainnya (Tabel
4). Prevalensi Trichuris spp. di komda Padahurip lebih tinggi dibandingkan dengan
komda lainnya (Tabel 5). Tingginya prevalensi Trichuris spp. di komda Padahurip
juga dapat disebabkan oleh pakan. Rumput segar yang diberikan beresiko
menimbulkan kecacingan, karena larva cacing bisa menempel pada rumput segar
dan apabila tertelan dapat menimbulkan kecacingan. Secara statistik, tingkat
prevalensi pada semua komda tidak menunjukkan perbedaan nyata.
Tabel 3 Prevalensi (%) infeksi Strongyle dan Trichuris spp. pada sapi perah

berdasarkan lokasi peternakan
Komda
Strongyle
Trichuris spp.
Prevalensi
Nilai-p
Prevalensi
Nilai-p
(%)
(%)
(positif/n)
(positif/n)
Padahurip
27.5 (11/40)
7.5 (3/40)
Sukamenak
17.5 (7/40)
0.280
0.0 (0/40)
0.066

Mekar Mulya 36.0 (12/40)
2.5 (1/40)
Keterangan: n = total sampel
Perbedaan tingkat prevalensi ini dapat disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya pakan dan kondisi lingkungan. Pakan yang diberikan pada sapi di
komda Mekar Mulya adalah rumput segar dan jerami, sedangkan di komda lain
jerami hanya diberikan saat terjadi kemarau panjang. Jerami diberikan ¾ bagian
atas. Pemberian jerami ¾ bagian atas dapat menjadi penyebab timbulnya
kecacingan. Pakan jerami yang dianjurkan diberikan pada sapi adalah ½ bagian.
Jerami dapat menjadi sumber infeksi cacing hati pada ternak (Martindah et al.
2005).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sapi perah di kecamatan Pangalengan terinfeksi oleh cacing nematoda
dengan tingkat prevalensi 28.3 %. Jenis cacing nematoda yang menginfeksi sapi di
kecamatan Pangalengan adalah Trichuris spp. dan kelompok Strongyle dengan

11
tingkat prevalensi masing-masing 3.3% dan 25.0%. Tidak terdapat perbedaan

tingkat prevalensi cacing antara kelompok umur sapi dan lokasi peternakan
(komda).
Saran
Manajemen peternakan meliputi pemberian pakan dan kebersihan kandang
ternak harus lebih diperhatikan karena hal tersebut merupakan faktor penting
timbulnya kecacingan pada sapi. Selain itu pemberian anthelmintik juga harus lebih
diperhatikan dosis dan cara penggunaannya.

DAFTAR PUSTAKA
Aak. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Ahmad RZ. 2008. Beberapa penyakit parasitik dan mikotik pada sapi perah yang
harus diwaspadai. Di dalam: Kusuma D, Elizabeth W, Atien P, Lily N, Tati
H, Budi P. Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020;
2008 Apr 21 ; Jakarta, Indonesia. Bogor (ID: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. 316-321.
Anderson RC. 2000. Nematode Parasites of Vertebrates: Their Development and
Transmission. 2nd ed. Wallingford (GB): CAB Int.
Badan Pusat Statistik. 2013. Populasi Sapi Perah Menurut Provinsi. [internet].
[diunduh
2014

Januari
16].
Tersedia
pada:
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=24&n
otab=12.
Boray JC. 1966. Studies on the relatives susceptible of some lymnaeids to infection
with F. hepatica and F. gigantica on the adaptation of Fasciola spp.
American Journal of Tropical Medicine and Parasitology . 60(1): 114-124.
Bowman DD. 2014. Georgis’ Parasitology For Veterinerians. 10th edition. St.
Louis (US): Elsevier.
Chandra B. 1995. Pengantar Statistik Kesehatan. Jakarta (ID): ECG.
Corwin RM, Randle RF. 1993. Common Internal Parasites of Cattle. Columbia
(US): University of Missouri.
Estuningsih SE. 2005. Toxocariasis pada hewan dan bahayanya pada manusia.
Wartazoa 15(3): 136-142.
Komarudin. 2000. Studi karakteristik daerah perambahan hutan dengan
menggunakan sistem informasi geografi (studi kasus: Kecamatan
Pangalengan Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.

Martindah E, Widjajanti S, Estuningsih SE, Suhardono. 2005. Meningkatkan
kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap fasciolosis sebagai penyakit
infeksius. Wartazoa. 15(3):143-154.
Menzies P. 2010. Handbook of the Control of Internal Parasites of Sheep. Guelph
(CD): University of Guelph Pr.
Natadisastra D, R. Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari organ
tubuh yang diserang. Jakarta (ID): Penerbit buku kedokteran ECG.

12
Olsen OW. 1974. Animal Parasites. Texas (US): University Park Pr.
Respati E, et al. 2013. Buletin Konsumsi Pangan. Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian. Jakarta: Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 4(4): 37-45.
Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi cacing saluran
pencernaan (gastrointestinal) pada sapi bali melalui pemeriksaan tinja di
Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. 5(1): 10-21.
[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Buletin Bulanan.
Indikator Makro Sektor Pertanian. Jakarta: Kementrian Pertanian Republik
Indonesia. 7(9): 15.
Selvin S. 2004. Statistical Analysis of Epidemiology Data. London (GB): Oxford
University Pr.

Siregar SB. 1995. Sapi Perah, Jenis, Tekhnik Pemeliharaan dan Analisis Usaha.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Soetarno T, Adiarto. 2002. Pengendalian Mutu Konsentrat Sapi Perah Secara
Terpadu. Seminar Pengawasan Mutu Ternak; Surabaya, Indonesia. Surabaya
(ID): Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthhropos and Protozoa of Domesticated Animals.
7 b' . London (GB): Baillere, Tindall and Cassell Ltd.
Sudono A, Rosdiana F, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.
Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Suhardono S, Partoutomo, Knox MR. 1995. Pengaruh infeksi cacing nematoda pada
sapi perah laktasi di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Seminar Nasional
Tekhnologi Veteriner; 1994 Maret; Cisarua, Indonesia. Bogor (ID): Balai
Penelitian Veteriner. 250-255.
Tantri N, Tri RS, Siti K. 2013. Prevalensi dan intensitas cacing parasit pada feses
Sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak, Kalimantan
Barat. Protobiont 2(2): 102-106.
Thienpont, et al. 1995. Diagnosing Helminthiasis Through Coprological
Examination. America (US): Appleton-Century-Crofts.
Williamson G, Payne WJA. 1995. An Introduction To Animal Husbandary in The
Tropic. London (GB): Longman Group Limited.
Wiryosuhanto SD, Jacoeb TN. 1994. Prospek Budidaya Ternak sapi. Yogyakarta
(ID): Kanisius.
Yusdja Y, Ilham N. 2006. Arah kebijakan pembangunan peternakan rakyat.
Analisis Kebijakan Pertanian. 4(1): 18-38
Zulfikar, Hambal, Razali. 2012. Derajat infestasi parasit nematoda gastrointestinal
pada sapi di Aceh bagian tengah. Lentera 12(3): 1-7.

13

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 7 Maret 1993 dari ayah Selamet
Riyadi dan ibu Siti Teni Suryaningsih. Penulis merupakan anak kedua dari empat
bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun
2004 di SD Pangalengan 5 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikan ke SMP Negeri 1 Pangalengan hingga lulus pada tahun 2007.
Pendidikan sekolah menengah umum diselesaikan pada tahun 2010 di SMA Negeri
1 Pangalengan. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan untuk melanjutkan
pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB)
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tingi Negeri (SNMPTN). Semasa
menjadi mahasiswa FKH IPB penulis aktif dalam kegiatan internal kampus yaitu
sebagai anggota Himpunan Minat dan Profesi Ruminasia FKH IPB.