Ejaan Penyusun PEN D AH ULU AN

3 Ki Purbanagara, sebagai pengumpul bahan tulisan dari berbagai tempat di Nusantara 4 Ki Singhanagara, sebagai pengawal keamanan keraton selama pertemuan para mahakawi 5 Ki Anggadiprana, sebagai duta dan jurubicara 6 Ki Anggaraksa, sebagai pemimpin dapur dan perjamuan 7 Ki Nayapati, sebagai penyedia akomodasi dan transportasi. Teks PRRBN 2.3 disusun berdasarkan hasil pemilihan terhadap naskah-naskah kuna dari berbagai tempat di Nusantara lalu disusun lagi menjadi sebuah cerita yang runtut dan objektif serta hasilnya disetujui oleh para utusan dari ti ap kerajaan yang hadir dalam pertemuan di keraton Cirebon.

BAB I I RI N GKASAN I SI

2.1 M anggala Sastr a

Manggala sastra dari PRRBN 2.3 ini merupakan pembukaan terhadap isi cerita yang sesungguhnya. Bagian ini memuat laporan tentang nama-nama penyusun naskah. Tujuan dan pemrakarsa penyusunan PRRBN 2.3, dan peri stiwa-peristiwa yang terjadi selama penyusunan PRRBN 2.3 dari awal sampai selesai. Penyusun naskah PRRBN 2.3 sebagai mana telah dijelaskan pada bagian 1.3 adalah Pangeran Wangsakerta yang dibantu oleh tujuh orang jaksa. Pangeran Wangsakerta yang pada waktu itu menjadi Panembahan Cirebon mendapat perintah dari Sultan Banten Sultan Ageung Tirtayasa dan Sultan Sepuh Martawijaya untuk menyusun sebuah riwayat besar bhr etkatha yang nantinya dapat digunakan oleh masyarakat dan para peneli ti sejarah sebagai bahan rujukan sejarah. Dengan demikian, dapat didimpulkan bahwa pemrakarsa penyusunan PRRBN 2.3 adalah Sultan Ageung Tirtayasa atau Sultan Abdulfath Abdulfatah dan Sultan Sepuh Martawijaya. Selama penyusunan PRRBN 2.3 ini dijelaskan di dalam pembukaan bahwa terjadi perdebatan sengit di antara para utusan kerajaan dari seluruh Nusantara. Hal ini terjadi karena banyak para mahakawi dan utusan tersebut yang lebih mementingkan kisah secara subjektif untuk mengagungkan negerinya sehingga terjadi perbantahan dari utusan yang lain. Para utusan yang berbeda pendapat itu bahkan saling mencaci dan hampir saja terjadi perkelahian di dalam ruang pertemuan di keraton Cirebon pada saat itu. Namun karena kebijaksanaan dan pengetahuan Pangeran Wangsakerta yang sangat luas terhadap kisah-kisah timbul dan tenggelamnya sebuah kerajaan maka para utusan yang berbantahan itu akhirnya terdiam. Mer eka mengaku kalah dengan pengetahuan Pangeran Wangsakerta yang sangat luas akan riwayat-riwayat kuna dari berbagai pustaka di Nusantara. Selain itu, ada pesan dan nasihat dari Sultan Sepuh Martawijaya bagi para utusan yang datang ke Cirebon untuk keperluan penyusunan PRRBN 2.3 ini. I si dari nasihat itu antara lain adalah agar para utusan selalu berlapang dada dalam menemukan perbedaan pendapat, dan saling menghargai sesama duta kerajaan, sehingga penyusunan karya besar ini dapat terlaksana dengan baik dan sempurna. 2.2 Rangkuman I si Kisah dimulai dengan meriwayatkan kerajaan Kediri pada tahun 1103 Saka di bawah perintah Raja Sri Gandra yang bergelar Sri Kroncayyahanda Buwanapalaka Parakramani ndita Di gjayottunggadewa meperluas kerajaan untuk menjadi penguasa di Nusantara. Namun, cita- citanya tidak terlaksana karena di bagian barat Sumatera telah berdiri kerajaan Sriwijaya. Raja Sriwijaya mengirimkan duta kepada sahabatnya yaitu Maharaja Cina untuk meminta bantuan dari kemungkinan serangan Kedi ri. Maharaja Cina menyarankan agar kedua negeri i tu bersahabat saja dan harus mengadakan pertemuan yang bertempat di Sundapura. Pada tahun 1104 Saka dibuatlah kesepakatan antara Kediri dan Sriwijaya yang isinya menyatakan bahwa Sriwijaya menguasai negeri-negeri di wilayah barat, sedangkan Kediri menguasai wilayah timur Nusantara. Pada masa itu di Sumatera bagian utara telah berdiri kerajaan I slam Parlak dengan rajanya Sultan Alaiddin Syah 1083-1108 Saka. Di samping itu juga berdiri kerajaan I slam Paseh pada tahun 1050 Saka dengan raja pertama Sultan Abud Almalik. Kedua kerajaan ini sebenarnya berada di bawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya, namun pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Abdulmalik Syah 1189-1197 Saka, Sultan Parlak ini mencoba melepaskan diri dari Sriwijaya. Akan tetapi usaha ini sia-sia karena kerajaan Sriwijaya segera menyerang dan menghancurkan kerajaan Parlak pada tahun 1197 Saka.