ANALISIS PELAKSANAAN UNIVERSAL PRECAUTION OLEH PERAWAT DI RUANG ICU RS PKU MUHAMMADIYAH BANTUL

(1)

ANALISIS PELAKSANAAN UNIVERSAL PRECAUTION OLEH PERAWAT DI RUANG ICU

RS PKU MUHAMMADIYAH BANTUL

TESIS

Oleh :

FEBRINA SAPUTRI PANDJAITAN 20131030057

PROGRAM STUDI MANAJEMEN RUMAH SAKIT PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

ANALISIS PELAKSANAAN UNIVERSAL PRECAUTION OLEH PERAWAT DI RUANG ICU

RS PKU MUHAMMADIYAH BANTUL

TESIS

Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata 2

Program Studi Manajemen Rumah Sakit

Oleh :

FEBRINA SAPUTRI PANDJAITAN 20131030057

PROGRAM STUDI MANAJEMEN RUMAH SAKIT PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

(4)

(5)

(6)

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Alhamdulillahirobbil’alamiin. Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Pelaksanaan Universal Precaution Oleh Perawat di Ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Bantul”. Penulisan tesis ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai derajat Sarjana Strata 2 pada Program Studi Magister Manajemen Rumah Sakit Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Proses penyusunan tesis ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari semua pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. dr. Arlina Dewi, M.Kes., AAK selaku Kaprodi MMR UMY.

2. Dr. Elsye Maria Rosa, M.Kep selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, dan mengarahkan sehingga penulis dapat meneyelesaikan tesis ini hingga tahap akhir.

3. Dr. dr. Wiwik Kusumawati, M.Kes. selaku penguji utama yang telah memberi masukan dalam penulisan tesis ini

4. Qurratul Aini, SKG., M.Kes selaku penguji (akademis) yang telah memberikan saran dan kritik dalam penulisan tesis ini

5. Seluruh dosen Prodi MMR UMY atas seluruh ilmu yang dicurahkan kepada penulis.

6. Bidal Tri Suheni, AMK selaku Kepala Ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Bantul yang memberikan ijin serta bantuan dalam proses penelitian ini.

7. Wahyu Priyono, S.Kep selaku sekretaris tim PPI RS PKU Muhammadiyah Bantul yang telah bersedia memberikan data, informasi dan membantu dalam proses penelitian ini.

8. Orang tua dan segenap keluarga besar tercinta yang selalu memberikan dukungan, doa dan nasehat.

9. Rekan-rekan seperjuangan Prodi MMR UMY angkatan 9B atas semangat dan kebersamaannya selama ini.

10.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah berjasa baik secara langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikannya tesis ini.


(7)

Besar harapan Penulis, tesis ini dapat memberikan manfaat seluas-luasnya kepada seluruh pihak. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun penulis harapkan demi kemajuan bersama.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Yogyakarta, 13 Juni 2016


(8)

MOTTO

“Ingatlah bahwa kesuksesan selalu disertai dengan kegagalan”

“Percayalah Allah SWT tak pernah salah dalam memberi rezeki”

“Kita akan sukses jika belajar dari kesalahan”

“The big or small the problem is, depends on how we handle it”

“Kegagalan adalah kesempatan untuk memulai kembali, belajar dari kegagalan adalah hal bijak”


(9)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ... I LEMBAR PERSETUJUAN ... II LEMBAR PENGESAHAN ... III PERNYATAAN... IV KATA PENGANTAR ... V MOTTO ... VII DAFTAR ISI... VIII DAFTAR GAMBAR ... X DAFTAR TABEL ... XI DAFTAR LAMPIRAN ... XII INTISARI ... XIII ABSTRACT ... XIV

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka ... 13

B. Penelitian Terdahulu ... 58

C. Kerangka Teori ... 61

D. Landasan Teori... 62

E. Kerangka Konsep ... 64

BAB III METODOLOGI PENELITIAAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 65

B. Waktu dan tempat Penelitian ... 65

C. Populasi dan Sampel ... 65

D. Sampling ... 66

E. Variabel Penelitian ... 67

F. Definisi Operasional ... 67

G. Instrumen Penelitian ... 69

H. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 69

I. Analisa Data ... 70

J. Keabsahan Data ... 72

K. Tahap-Tahap Penelitian ... 74


(10)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data ... 76

B. Hasil Penelitian ... 79

C. Pembahasan... 115

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 132

B. Implikasi ... 133

C. Saran ... 134

D. Keterbatasan Penelitian ... 136 DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Teori Health Belief Models ... 15

Gambar 2.2. Rantai penularan HAIs ... 24

Gambar 2.3. Langkah pertama cuci tangan ... 32

Gambar 2.4. Langkah kedua cuci tangan ... 32

Gambar 2.5. Langkah ketiga cuci tangan ... 33

Gambar 2.6. Langkah keempat cuci tangan ... 33

Gambar 2.7. Langkah kelima cuci tangan ... 33

Gambar 2.8. Langkah keenam cuci tangan ... 34

Gambar 2.9. Langkah ketujuh cuci tangan ... 34

Gambar 2.10. Kerangka Teori ... 61

Gambar 4.1. Poster 5 moment cuci tangan ... 91

Gambar 4.2. Poster 6 langkah cuci tangan di ruang tunggu ICU ... 92

Gambar 4.3. Fasilitas cuci tangan di ruang ICU ... 93

Gambar 4.4. Penggunaan alat pelindung diri oleh perawat ... 100

Gambar 4.5. Sepatu pelindung yang tertutup ... 101

Gambar 4.6. Penggunaan alat pelindung diri dengan sandal ... 102

Gambar 4.7. Penempatan bed pasien ... 109

Gambar 4.8. Peraturan jam kunjung ... 110

Gambar 4.9. Ruang ICU memakai AC split ... 111

Gambar 4.10. Grafik perubahan suhu ruangan ... 112

Gambar 4.11. Intisari Hasil Penelitian Pelaksanaan Universal Precaution ... 113


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Penelitian terdahulu ... 58

Tabel 4.1. Pelaksanaan Universal Precaution Hand Hygiene ... 80

Tabel 4.2. Hasil observasisaat hand hygiene ... 82

Tabel 4.3. Hasil observasi prosedur hand hygiene ... 85

Tabel 4.4. Hasil observasi prosedur alternatif cuci tangan ... 88

Tabel 4.5. Pelaksanaan Universal Precaution APD ... 94

Tabel 4.6. Hasil observasi APD ... 98

Tabel 4.7. Pelaksanaan Universal Precaution penempatan pasien ... 103


(13)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Curriculum Vitae

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian Lampiran 3. Informed Consent

Lampiran 4. Coding Hasil Wawancara Lampiran 5. Hasil Observasi


(14)

INTISARI

ANALISIS PELAKSANAAN UNIVERSAL PRECAUTION OLEH PERAWAT DI RUANG ICU

RS PKU MUHAMMADIYAH BANTUL

Febrina Saputri Pandjaitan, Elsye Maria Rosa

Program Studi Manajemen Rumah Sakit, Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Latar Belakang : Perawat yang bekerja di fasilitas kesehatan sangat berisiko terpapar Hais yang membahayakan jiwanya, karena perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien akan kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah pasien dan menjadi tempat bagi Hais dapat hidup dan berkembang biak yang kemudian menularkan Hais dari pasien satu ke pasien yang lainnya. Usaha pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi dapat dilakukan dengan meningkatkan perilaku Universal Precaution bagi perawat.

Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan Universal Precaution.

Metode : Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tehnik pengumpulan data trianggulasi yaitu observasi partisipasi moderat, wawancara in dept–interview dan dokumentasi. Subjek penelitian ini adalah kepala ruang, perawat senior, dan perawat junior.

Hasil dan Pembahasan : Pelaksanaan hand hygiene oleh perawat sudah dilakukan namun belum maksimal. Penggunaan alat pelindung diri oleh perawat sebagian sudah tersedia namun belum maksimal. Penempatan pasien belum terlaksana dengan optimal.

Simpulan dan Saran : Pelaksanaan Universal Precaution oleh perawat di ruang ICU sebagian telah sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan yaitu hand hygiene dan penggunaan APD. Sedangkan yang masih belum sesuai SOP yang telah ditetapkan yaitu penempatan pasien. Saran yang dapat diberikan agar dapat melaksanakan universal precaution untuk mencegah dan mengendalikan infeksi kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai rutinitas menjadi perilaku positif.


(15)

ABSTRACT

ANALYSIS ON THE IMPLEMENTATION OF UNIVERSAL PRECAUTION BY THE NURSES IN THE ICU OF PKU HOSPITAL

MUHAMMADIYAH BANTUL

Febrina Saputri Pandjaitan, Elsye Maria Rosa

Hospital Management Study Program, Post-Graduate Program, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Background: Nurses who work in a health facility are at risk of exposure to Hais which is potentially life-threatening. It happens because nurses in providing nursing care to patients will be in direct contact with blood or body fluids of patients and a place for an Hais agent to live and breed which then transmit Hais from one patient to another patient. Efforts on prevention and control of infectious diseases, among others, can be conducted by improving the behavior of Universal Precaution for nurses.

Purpose: The purpose of this study is to analyze the implementation of the Universal Precaution.

Methods: This study used a qualitative method with triangulation of data collection techniques such as moderate participant observation, in depth-interviews and documentations. The subject of the research was the head, senior nurses, and junior nurses.

Results and discussion: The implementation of hand hygiene by nurses has been conducted so far. However, it has not fulfilled the perfect standard yet. The use of Personal Protective Equipment by nurse mostly has been available although it is not perfectly implemented. In terms of patient placement, there are some nurses who keeps allowing oher patients without the same pathogen staying in the same room and ensure no passersby.

Conclusions and suggestions: The implementations of Universal Precaution by nurses in the ICU in some parts are in accordance with SOP, namely hand hygiene and the use of APD. While on some other parts still do not fit the SOP, namely the placement of the patients. Suggestions can be given in order to implement Universal Precaution to prevent and control infection and apply them in everyday life as a routine which leads to positive behaviors.


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Rumah sakit sebagai tempat pengobatan, juga merupakan sarana pelayanan kesehatan yang dapat menjadi sumber infeksi dimana orang sakit dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Infeksi dapat terjadi pada penderita, tenaga kesehatan dan juga setiap orang yang datang ke rumah sakit. Infeksi yang ada di pusat pelayanan kesehatan ini dapat ditularkan atau diperoleh melalui petugas kesehatan, orang sakit, pengunjung yang berstatus karier atau karena kodisi rumah sakit (Darmadi, 2008).

Perawat yang bekerja di fasilitas kesehatan sangat berisiko terpapar infeksi yang secara potensial membahayakan jiwanya, karena perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien akan kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah pasien dan dapat menjadi tempat dimana agen infeksius dapat hidup dan berkembang biak yang kemudian menularkan infeksi dari pasien satu ke pasien yang lainnya.

Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan yang terjadi melalui kode transmisi kuman yang tertentu. Cara transmisi mikroorganisme dapat terjadi melalui darah, udara baik droplet maupun airbone, dan dengan kontak langsung. Infeksi di rumah sakit lebih dikenal sebagai infeksi nosokomial. Saat ini infeksi nosokomial lebih dikenal dengan Health-care Associated Infections (HAIs) (Muktianingrum, 2013).


(17)

Health-care Associated Infections (HAIs) adalah infeksi yang didapatkan selama atau sebagai akibat perawatan di rumah sakit yang bermanifestasi setelah 48 jam rawat inap (Costy, 2014). Health-care Associated Infections (HAIs) terjadi sekitar lima hingga 10 kali lebih sering di ruang ICU daripada di ruang non-ICU. Saat ini angka kejadian HAIs telah dijadikan salah satu tolak ukur mutu pelayanan rumah sakit. Berdasarkan Kepmenkes No. 129 tahun 2008, standar kejadian HAIs di

rumah sakit sebesar ≤1, 5 %. Izin operasional sebuah rumah sakit bisa dicabut

karena tingginya angka kejadian HAIs. Bahkan pihak asuransi tidak mau membayar biaya yang ditimbulkan oleh infeksi ini (Darmadi, 2008).

Kepmenkes No. 129 tahun 2008 ditetapkan suatu standar minimal pelayanan rumah sakit, termasuk didalamnya pelaporan kasus HAIs untuk melihat sejauh mana rumah sakit melakukan pengendalian terhadap infeksi ini. Data HAIs dari surveilans HAIs di setiap rumah sakit dapat digunakan sebagai acuan pencegahan infeksi guna meningkatkan pelayanan medis bagi pasien (Kepmenkes, 2008).

Penelitian yang dilakukan di 18 rumah sakit di Swiss menyebutkan bahwa prevalensi HAIs sebesar 10, 1 % dengan kejadian terbanyak pada ruang ICU sebesar 29, 7 % (Hugo, 2002). Sedangkan Angka Health-care Associated Infections (HAIs) tahun 2008 pada ruangan ICU sebesar 40% (Sukartik, 2009). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Bantul pada tanggal 31 Mei 2014 yaitu wawancara dengan sekretaris TIM PPI Wahyu Priyono S. Kep didapatkan sumber data dari indikator mutu keperawatan bahwa angka kejadian HAIs di ICU terbanyak jenis Plebitis 21,7 % pada bulan Februari dan Maret di tahun 2014.


(18)

Infeksi terkait sarana pelayanan kesehatan adalah tantangan yang serius bagi rumah sakit karena hal tersebut dapat menyebabkan kematian, baik langsung maupun tidak langsung serta menjadikan pasien dirawat lebih lama dan memakan biaya lebih mahal. Semakin tingginya kasus infeksi yang didapat dari rumah sakit, hendaknya pihak rumah sakit menyusun program upaya pengendalian infeksi yang serius (Darmadi, 2008).

Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul sudah membentuk TIM PPI (Pengendalian dan Pencegahan Infeksi) sejak tahun 2006 yang terdiri dari satu ketua TIM PPI, satu sekretaris TIM PPI dan empat anggota TIM PPI (Priyono, 2014). Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada tanggal 31 Mei 2014 dengan sekretaris TIM PPI RS PKU Muhammadiyah Bantul yaitu Wahyu Priyono S.Kep bahwa peran manajemen RS PKU Muhammadiyah Bantul terhadap pembentukan TIM PPI selalu mendukung semua kegiatan yang dilakukan oleh TIM PPI dan manajemen rumah sakit selalu menjadi penyedia dana bagi kegiatan yang dilakukan oleh TIM PPI.

Salah satu strategi yang bermanfaat dalam pengendalian Health-care Associated Infections (HAIs) adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam metode universal precautions (Depkes, 2010). Universal precautions merupakan suatu pedoman yang ditetapkan oleh the Centers for Desease Control and Prevention (CDC) dan the Occupational Safety and Health Administration (OSHA). Universal Precaution saat ini dikenal dengan kewaspadaan standar. Kewaspadaan standar tersebut dirancang untuk mengurangi resiko infeksi penyakit menular pada petugas kesehatan baik dari sumber infeksi yang diketahui maupun yang tidak diketahui (Depkes, 2008).


(19)

Universal precautions diharapkan akan mendapat perlindungan maksimal dari infeksi yang telah diagnosis maupun yang belum diketahui. Universal precautions juga berguna untuk menurunkan transmisi infeksi saluran kemih, infeksi luka operasi, pneumonia, sepsis, dan plebitis pada individu dan tenaga kesehatan, sehingga dapat diberlakukan di semua unit pelayanan kesehatan maupun perorangan (Nasronudin, 2007).

Komponen - komponen Universal Precaution terdiri dari : pelaksanaan kebersihan tangan (Hand Hygiene ), penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) (yang terdiri dari penggunaan sarung tangan, penggunaan pelindung wajah (masker, kacamata), penggunaan gaun pelindung, penggunaan penutup kepala, penggunaan sepatu pelindung), pencegahan luka tusukan jarum dan benda tajam lainnya, pengelolaan linen, pembuangan limbah, pengelolaan peralatan perawatan pasein, penempatan pasien, etika batuk dan praktek menyuntik aman.

Kewaspadaan universal dimaksudkan untuk melindungi petugas kesehatan dan pasien terhadap penularan berbagai infeksi dalam darah dan cairan tubuh lain. Universal precautions secara umum merupakan upaya yang sering dilakukan untuk melindungi diri dari resiko tertular penyakit dalam tindakan melindungi individu dimulai dengan menelaah riwayat medik pasien, pemakaian APD, cuci tangan, dan tindakan penempatan pasien. Oleh karena itu, tiga hal yang menjadi ukuran paling penting dalam Universal Precaution yaitu pelaksanaan hand hygiene, penggunaan alat pelindung diri, dan penempatan pasien setelah dilakukan diagnosis.


(20)

Pelaksanaan hand hygiene dengan melakukan cuci tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan dan alat pelindung diri lain. Prinsip-prinsip cuci tangan yang efektif dengan sabun atau handsrub yang berbasis alkohol menggunakan 6 langkah. Tindakan ini penting untuk mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran infeksi dapat dikurangi dan lingkungan kerja terjaga dari infeksi saat akan memeriksa (kontak langsung dengan pasien), saat akan memakai sarung tangan bersih maupun steril, saat akan melakukan injeksi dan pemasangan infus. Setelah memeriksa pasien, setelah memegang alat bekas pakai dan bahan yang terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa.

Penggunaan Alat pelindung diri untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta kulit yang tidah utuh dan selaput lendir pasien. Penggunaan alat pelindung diri yang sesuai untuk setiap tindakan. Penggunaan sarung tangan melindungi tangan dari bahan infeksius dan melindungi pasien dari mikroorganisme pada tangan petugas. Penggunaan pelindung wajah (masker, kacamata), pemakaian pelindung wajah ini dimaksudkan untuk melindungi selaput lendir hidung, mulut selama melakukan perawatan pasien yang memungkinkan terjadi percikan darah dan cairan tubuh lain. Penggunaan gaun pelindung merupakan salah satu jenis pakaian kerja. Pemakaian gaun pelindung untuk melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah atau cairan tubuh lain. Gaun pelindung harus dipakai apabila ada indikasi seperti halnya pada saat membersihkan luka. Penggunaan sepatu pelindung tertutup, dipakai pada saat memasuki daerah pasien tertutup sebatas mata kaki dan sepatu


(21)

booth tertutup yang biasa dipakai pada operasi yang memungkinkan terjadinya genangan percikan darah atau cairan.

Penempatan pasien Menurut Depkes tahun 2009 penempatan pasien harus sesuai standar, mengatur suhu ruang gunakan AC + filter HEPA, Pintu harus selalu tertutup rapat, Kohorting (menempatkan pasien terinfeksi atau kolonisasi patogen yang sama di ruang yang sama, pasien lain tanpa patogen yang sama dilarang masuk), Seharusnya kamar terpisah, terbukti mencegah transmisi, atau kohorting jarak >1 m.

Pelaksanaan hand hygiene penggunaan alat pelindung diri, dan penempatan pasien setelah dilakukan diagnosis sesuai prosedur tentunya dapat melindungi diri namun jika pelaksanaannya tidak dilakukan sesuai dengan standar oleh seluruh tenaga kesehatan dan pihak rumah sakit terkait dengan sarana prasana tentunya dapat berisiko tertular penyakit, disebabkan berinteraksi dengan petugas kesehatan yang tertular penyakit. Kesadaran dan tanggung jawab serta disiplin melaksanakan tugas tentunya sebagai tindakan untuk melindungi diri dalam universal precautions.

Universal precautions tidak hanya melindungi petugas dari risiko terpajan oleh infeksi namun juga melindungi klien yang mempunyai kecenderungan rentan terhadap segala infeksi yang mungkin terbawa oleh petugas (Kurniawati & Nursalam, 2007). Usaha pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan perilaku universal precautions bagi perawat. Tindakan universal precautions diperlukan kemampuan perawat untuk mencegah infeksi, ditunjang oleh sarana dan prasarana, serta Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mengatur langkah-langkah tindakan universal precautions (Kurniawati & Nursalam, 2007).


(22)

Temuan hasil penelitian yang dilakukan Said Hafizullah Fayaz (2013) menunjukkan rendahnya tingkat praktek Universal Precautions antara petugas kesehatan di Kabul; hanya 19,0% dari responden yang melakukan praktik penuh dengan semua 11 item Universal Precautions. Petugas kesehatan di Kabul tidak selalu mengganti sarung tangan saat menangani pasien yang berbeda, dan 40,7% dari petugas kesehatan tidak selalu memakai perisai mata / kacamata ketika mereka terkena percikan darah debit / cairan.

Di negara-negara berkembang, kurangnya sumber daya dan kurangnya peraturan dan kontrol yang tepat adalah alasan utama untuk ketidaksesuaian pengelolaan limbah kesehatan. Rendahnya kesadaran petugas kesehatan akan standar yang dibutuhkan dapat membuat situasi lebih buruk (Alagoz AZ, Kocasoy G, 2008). Menurut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi nasional berperilaku benar dalam cuci tangan masih kurang yakni hanya 23,2% tahun 2007 sedangkan tahun 2013 meningkat sebesar 47% masih kurang dari 50%, sehingga perilaku cuci tangga dengan benar pelu ditingkatkan (Riskesdas, 2013). Keberhasilan praktek mencuci tangan pada perawat dan petugas kesehatan lainnya didukung oleh lama mencuci tangan, frekuensi mencuci tangan, efektifitas masing-masing bahan antimikroba dan juga kepatuhan perawat dalam mencuci tangan (Zuhriyah, 2004). Hasil ini menunjukkan bahwa perilaku perawat dalam mencuci tangan sebagai salah satu tindakan universal precaution sebagian besar masih kurang baik.


(23)

Hasil penelitian yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Bantul oleh Priyono (2013) tentang kepatuhan perawat dalam pemakaian alat pelindung diri (APD) dalam standar precaution mencapai 55% dalam kurun waktu enam bulan yaitu bulan Januari – Juni 2013. Badan Litbang Kesehatan (2006) tentang upaya perawat dalam mencegah infeksi nosokomial pneumonia telah meneliti perilaku yang cuci tangan aseptik. Hasil penelitian memberi gambaran bahwa pelaksanaan prosedur cuci tangan secara aseptik sebelum melakukan tindakan perawatan invasif hanya 25% kegiatan dilaksanakan dengan baik, 12,5% cukup baik dan 62,5% kurang baik.

Menurut Kusmiyati (2009), faktor yang mempengaruhi rendahnya perilaku perawat dalam tindakan universal precautions yaitu : Pengetahuan, sikap, ketersediaan sarana alat pelindung pribadi dan motivasi perawat. Ketidakpatuhan atau keengganan petugas untuk melakukan prosedur universal precautions adalah karena dianggap terlalu merepotkan dan tidak nyaman. Tugas perawat yang sangat banyak juga menjadi faktor lain menyebabkan perawat sulit untuk menerapkan universal precautions.

Penelitian yang dilakukan Zanele (2012) menunjukkan bahwa meskipun petugas kesehatan mengambil tindakan pencegahan untuk mencegah infeksi, mereka tidak mencapai kepatuhan penuh dengan kewaspadaan universal. Data kualitatif menunjukkan bahwa alasan ketidakpatuhan tersebut antara lain adalah kurangnya pengetahuan tentang kewaspadaan universal, faktor komunikasi, sumber daya, termasuk pemeliharaan peralatan, kurangnya pasokan dan kekurangan sumber daya manusia dan sikap petugas kesehatan.


(24)

Perawat yang mampu menjelaskan secara benar tentang tindakan pencegahan universal, maka perawat juga mampu melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi tentang tindakan pencegahan universal, dan diaplikasikan melalui tindakan pencegahan universal. Hal ini ditunjukan dengan penelitian Yusran (2010) tentang tingkat pengetahuan tentang universal precautions pada perawat di RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung sebanyak 67,5% masuk dalam kriteria pengetahuan baik dengan tingkat kepatuhan universal precautions hanya 66,5% yang masuk kategori kurang.

Tingkat kepatuhan perawat yang masih rendah ditunjukkan dengan tidak menutup kembali jarum suntik habis pakai dan tidak menggunakan alat pelindung diri (pelindung diri dan pelindung wajah) (Yusran, 2010). Sikap juga menjadi faktor yang berperan dalam menentukan kepatuhan perawat dalam menerapkan universal precautions. Berdasarkan penelitian Yusran (2010) perawat yang mempunyai sikap yang baik akan lebih patuh dalam dalam menerapkan universal precautions di rumah sakit.

Motivasi juga mempengaruhi penerapan universal precaution. Perawat yang mempunyai motivasi yang tinggi, muncul suatu keinginan untuk memenuhi kebutuhan pencegahan universal. Penelitian Kusmiyati (2009) menunjukkan ada hubungan antara motivasi perawat terhadap penerapan prosedur tindakan pencegahan universal dengan perilaku perawat dalam menjalankan prosedur tindakan pencegahan universal di ICU Rumah Sakit Telogorejo Semarang.


(25)

Berdasarkan permasalahan diatas peneliti menilai bahwa pelaksanaan Universal Precaution sangat penting untuk meningkatkan program pencegahan dan pengendalian infeksi di ruang ICU karena dapat mendeteksi terjadinya Health-care Associated Infections (HAIs). Pengetahuan tentang pencegahan infeksi sangat penting untuk petugas rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya, karena merupakan sarana umum yang sangat berbahaya dalam artiannya trasmisi infeksi di rumah sakit dan upaya pencegahan infeksi adalah tingkat pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu.

B. Rumusan masalah

Atas dasar latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan

masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah “ Bagaimanakah pelaksanaan

universal precaution oleh perawat di ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Bantul ?” C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk menganalisis pelaksanaan Universal Precaution oleh perawat di ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Bantul.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis pelaksanaan hand hygiene oleh perawat di ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Bantul.

b. Menganalisis penggunaan Alat pelindung Diri (APD) meliputi penggunaan sarung tangan, penggunaan pelindung wajah (masker, kacamata), penggunaan gaun pelindung, dan penggunaan sepatu pelindung oleh perawat di ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Bantul.


(26)

c. Menganalisis pelaksanaan penempatan pasien (kohorting) oleh perawat di ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Bantul.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi rumah sakit

a. Tenaga kesehatan

Hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan dapat diterapkan bagi tenaga kesehatan khususnya yang ada di Ruang ICU tentang pentingnya pelaksanaan universal precaution dalam pencegahan dan pengendalian infeksi.

b. Pasien

Hasil penelitian dapat memberikan pengetahuan baru bagi pasien akan pencegahan dan pengendalian infeksi khususnya bagi pasien yang dirawat di ruang ICU.

2. Bagi dunia akedemik

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi khususnya bidang kesehatan untuk pelaksanaan universal precaution dalam meningkatkan pencegahan dan pengendalian infeksi di ruang ICU.

3. Bagi peneliti

Hasil penelitian dapat menambah pengetahuan bagi peneliti lain yang ingin memperluas wawasan mengenai pelaksanaan universal precaution dalam meningkatkan pencegahan dan pengendalian infeksi di RS.


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Teori – teori perilaku manusia a. Definisi

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan, yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung (Sunaryo, 2004). Menurut Notoatmodjo (2005), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).

b. Macam-macam teori perilaku kesehatan

1) Theory Of Reason Action (TRA)“ Teori Tindakan Beralasan“

Teori ini masih relatif baru dan kurang banyak dikenal, diperkenalkan Oleh Fishbein Tahun 1967, dikembangkan Oleh Ajzen dan Fishbein Tahun 1970, 1975, 1980. Merupakan model yang memfokuskan pada variabel-variabel sosial-kognitif, sebagai determinan-determinan perilaku kesehatan. Teori ini menghubungkan Keyakinan (Belief),


(28)

(a) Keuntungan TRA

(1)Memberi Pegangan untuk menganalisa komponen perilaku dalam item yang operasional

(2)Memerhatikan pertimbangan tindakan (action), sasaran (target),

konteks (context), waktu (time)

(b) Kelemahan TRA

(1)Model Fishbein tidak mempertimbangkan pengalaman sebelumnya yang merupakan prediktor kuat untuk perilaku di masa mendatang. (Safarino, 1990)

(2)Model Fishbein kadang-kadang nampak meremehkan akibat yang jelas dari variabel eksternal terhadap pemenuhan intensi perilaku. (Shephard, 1986)

2) Theory Of Planned Behaviour (TPB) “Teori Perilaku Terencana”

Teori ini dikembangkan oleh Ajzen dan koleganya (Ajzen1985,1988, Ajzen dan Madden 1986). Merupakan pengembangan dari Teori Tindakan Beralasan / Theory of Reasoned Action (TRA). TPB menekankan niat perilaku sebagai akibat atau hasil kombinasi beberapa kepercayaan. Niat merupakan konsepsi dari tindakan terencana dalam mencapai tujuan berperilaku.

Perilaku manusia dipandu oleh tiga macam pertimbangan, yaitu keyakinan perilaku, keyakinan normatif, dan kenyakinan kontrol. Dalam agrerat masing-masing, keyakinan perilaku menghasilkan sikap


(29)

terhadap perilaku menguntungkan atau tidak menguntungkan ; keyakinan normatif mengakibatkan norma subjektif, dan keyakinan control menimbulkan control perilaku yang dirasakan.

3) Health Belief Models (HBM)

Health Belief Models dikembangkan olehpeneliti di Us Public Health Service pada tahun 1950, terinspirasi oleh sebuah studi tentang mengapa orang mencari pemeriksaan sinar X untuk Tuberculosis

(Kholid, 2012).

Tidak ada ancaman yang dirasakan (tidak ada respon)

Perbedaan individu Proses kontrol bahaya Proses kontrol ketakukan

Gambar 2.1. Teori Health Belief models

Komponen pesan : 1. Keberhasilan diri 2. Respon keberhasilan 3. Kelemahan 4. Kesulitan

Keberhasilan yang dirasakan

(keberhasilan diri, respon keberhasilan)

Dianggap ancaman (kelemahan, kesulitan) Motivasi perlindungan Perubahan adaptif takut Motivasi sikap bertahan Perubahan maladaptif


(30)

Health Belief Models (HBM) di dasarkan atas tiga faktor esensial : a) Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka

menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan b) Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang

membuatnya merubah perilaku c) Perilaku itu sendiri.

Ketiga faktor di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kepribadian dan lingkungan individu, serta pengalaman berhubungan dengan sarana dan petugas kesehatan. Kesiapan individu dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti persepsi tentang kerentaan terhadap penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil kerentaan, dan adanya kepercayaan bahwa perubahan perilaku akan memberikan keuntungan. Faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku adalah perilaku itu sendiri yang dipengaruhi oleh karakteristik individu, penilaian individu terhadap perubahan yang ditawarkan, interaksi dengan petugas kesehatan yang merekomendasikan perubahan perilaku, dan pengalaman mencoba merubah perilaku yang serupa (Herqutanto, 2013).


(31)

Perilaku berobat dapat dijelaskan melalui model kepercayaan kesehatan (Health Belief Models), Notoadmojo 2004 menyatakan bahwa model kepercayaan kesehatan adalah suatu bentuk penjabaran dari model sosio-psikologis. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa masalah kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang dilakukan oleh petugas kesehatan.

Kegagalan ini akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (preventive health behavior), yang oleh Becker dikembangkan dari teori lapangan

(field theor lewin) menjadi model kepercayaan kesehatan (health belief models).

Lima komponen health belief models yang menentukan munculnya perilaku menurut Becker (Bennet & Murphy, 1997), yaitu : a) Perpepsi tentang kerentaan (Perceived Susceptibility)

Gagasan ini mengacu kepada suatu persepsi subjektif dari penyusutan kondisi kesehatan. Dimensi ini diformulasikan untuk penerimaan diagnosa, perkiraan kerentaan seseorang dan kerentaan terhadap semua penyakit. Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan terhadap penyakit tersebut. Suatu


(32)

tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul apabila sesorang telah merasakn ia atau keluarganya rentan terhadap penyakit tertentu.

b) Persepsi tentang keparahan (Perceived Severity)

Pandangan individu bahwa semakin berat penyakit tersebut, maka semakin besar ancaman yang harus dihadapi.

c) Motivasi kesehatan (Health Motivation)

Motivasi kesehatan yang timbul oleh adanya gejala-gejala penyakit, dan motivasi itu bervariasi pada masing-masing individu yang dipengaruhi oleh derajat kepeduliannya terhadap masalah kesehatan.

d) Persepsi tentang manfaat (Perceived Benefits)

Persepsi mengenai manfaat yang dirasakan apabila mengambil tindakan terhadap gejala yang dirasakan untuk mengurangi ancaman.

e) Persepsi tentang hambatan (Perceived Barriers)

Hambatan yang bertindak dapat berupa keadaan yang tidak menyenangkan atau rasa sakit yang ditimbulkan saat mendapatkan pengobatan, disamping itu hambatan dapat berupa biaya, baik bersifat monetary cost (biaya pengobatan) maupun time cost (waktu menunggu diruang tunggu, waktu


(33)

yang digunakan selama perawatan, dan waktu yang digunakan ke tempat pelayanan kesehatan).

Kelebihan

(a)Cocok digunakan untuk penelitian yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit (misanlnya screening, imunisasi/vaksinasi) dan pencarian pengobatan

(b)Digunakan dalam menganalisis perilaku yang berisiko terhadap kesehatan, dan peran sakit

Kekurangan

(a)HBM didasarkan pada beberapa asumsi yang diragukan seperti bahwa setiap pilihan perilaku berdasarkan pada pertimbangan rasional

(b)HBM tidak memberikan spesifikasi yang tepat terhadap kondisi orang dalam membuat pertimbangan tertentu

(c)HBM menganggap bahwa orang mencoba tetap sehat dan secara otomatis memperhatikan perilaku yang sehat hal ini tidak mencakup bahwa perilaku tidak sehat dapat memilik banyak keuntungan (semu sesaat) seperti kepuasan sementara pada pecandu obat

(d)HBM hanya memperhatikan keyakinan kesehatan, yang berarti ini dapat menyesatkan karena banyak pertimbangan perilaku


(34)

yang tidak ada kaitan dengan kesehatan tetapi dapat mempengaruhi kesehatan

(e)Masalah ukuran variabel HBM misalnya bagaimana mengukur kekebalan atau keseriusan yang dirasakanontoh stusi menggunakan konsep operasional dan pengenalan yang berbeda sehingga sulit dibandingkan (Misal hasil dari Heggenhougen dan Clement)

2. Health-care Associated Infections (HAIs) a.Definisi

Health-care Associated Infections (HAIs) adalah infeksi yang pertama muncul (penyakit infeksi yang tidak berasal dari pasien itu sendiri) dalam waktu antara 48 jam dan empat hari setelah pasien masuk rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya, atau dalam waktu 30 hari setelah pasien keluar dari rumah sakit. Dalam hal ini termasuk infeksi yang didapat dari rumah sakit tetapi muncul setelah pulang dan infeksi akibat kerja terhadap pekerja di fasilitas pelayanan kesehatan ( Depkes, 2009).

b. Etiologi

Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia dirawat di rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya HAIs.


(35)

Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada karakteristik mikroorganisme, resistensi terhadap zat-zat antibiotika, tingkat virulensi, dan banyaknya materi infeksius (Ducel, 2002).

Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal (Ducel, 2002) .

c.Penilaian yang digunakan untuk HAIs

HAIs disebut juga dengan “Hospital Acquired Infection apabila

memenuhi batasan atau kriteria sebagai berikut:

1)Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.

2)Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut.


(36)

3)Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul setelah 48 jam sejak mulai dirawat.

4)Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.

d. Faktor Risiko Terjadinya HAIs pada Pasien

1) Infeksi secara langsung atau secara tidak langsung

Infeksi boleh terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung. Penularan infeksi ini dapat tertular melalui tangan, kulit dan baju, yang disebabkan oleh golongan staphylococcus aureus. Cairan yang diberikan secara intravena dan jarum suntik, peralatan serta instrumen kedokteran boleh menyebabkan HAIs. Makanan yang tidak steril, tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya cross infection.

2) Resistensi Antibiotika

Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara tahun 1950-1970, kebanyakan penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan disembuhkan. Bagaimanapun, keberhasilan ini menyebabkan penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan antibiotika. Maka, banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten. Peningkatan


(37)

resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama pada pasien yang immunocompromised (Ducel, 2002).

Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini meningkatkan multiplikasi serta penyebaran strain yang resisten. Penyebab utamanya adalah penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol, dosis antibiotika yang tidak optimal, terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat serta kesalahan diagnosa (Ducel, 2002).

3) Faktor alat

Suatu penelitian klinis menujukkan infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Penggunaan peralatan non steril juga boleh menyebabkan infeksi nosokomial (Ducel, 2002).

e.Cara Penularan HAIs

Cara penularan HAIs bisa berupa infeksi silang (Cross infection) yaitu disebabkan oleh kuman yang didapat dari orang atau penderita lain di rumah sakit secara langsung atau tidak langsung. Infeksi sendiri (Self infection, Auto infection) yaitu disebabkan oleh kuman dari penderita itu sendiri yang berpindah tempat dari satu jaringan ke jaringan yang lain. Infeksi lingkungan (Environmental infection) yaitu disebabkan oleh kuman yang berasal dari benda atau


(38)

bahan yang tidak bernyawa yang berada di lingkungan rumah sakit. Misalnya lingkungan yang lembab dan lain-lain (Depkes RI, 2004).

Gambar 2.2. Rantai penularan HAIs

Menurut Jemes H,Hughes dkk, yang dikutip oleh Misnadiarli 2008, tentang model cara penularan, ada empat cara penularan HAIs yaitu kontak langsung antara pasien dan personil yang merawat atau menjaga pasien. Seterusnya, kontak tidak langsung ketika objek tidak bersemangat/kondisi lemah dalam lingkungan menjadi kontaminasi dan tidak didesinfeksi atau sterilkan, sebagai contoh perawatan luka paska operasi. Selain itu, penularan cara droplet infection dimana kuman dapat mencapai ke udara (air borne) dan penularan melalui vektor yaitu penularan melalui hewan/serangga yang membawa kuman (Depkes RI, 2004).


(39)

f.Pencegahan terjadinya HAIs

Pencegahan dari HAIs ini diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk :

1)Membatasi transmisi organisme dari atau antara pasien dengan cara mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan

2)Mengontrol resiko penularan dari lingkungan

3)Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi

4)Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur

invasive

5)Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya.

Terdapat berbagai pencegahan yang perlu dilakukan untuk mencegah HAIs. Antaranya adalah dikontaminasi tangan dimana transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga hygiene dari tangan. Tetapi pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya alasan seperti kurangnya peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai pentingnya hal ini, dan waktu mencuci tangan yang lama. Penggunaan sarung tangan sangat dianjurkan


(40)

apabila melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien dengan yang dirawat di rumah sakit (Louisiana, 2002).

Pembersihan yang rutin sangat penting untuk meyakinkan bahwa rumah sakit sangat bersih dan benar-benar bersih dari debu, minyak dan kotoran. Administrasi rumah sakit harus ada waktu yang teratur untuk membersihkan dinding, lantai, tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah dipakai berkali-kali. Usahakan pemakaian penyaring udara, terutama bagi penderita dengan status imun yang rendah atau bagi penderita yang dapat menyebarkan penyakit melalui udara.

Kamar dengan pengaturan udara yang baik boleh menurunkan resiko terjadinya penularan tuberkulosis. Selain itu, rumah sakit harus membangun suatu fasilitas penyaring air dan menjaga kebersihan pemprosesan serta filternya untuk mencegah terjadinya pertumbuhan bakteri. Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit perawatan pasien diare untuk mencegah terjadinya infeksi antar pasien. Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi disinfektan (Wenzel, 2002).

Penyebaran dari HAIs juga dapat dicegah dengan membuat suatu pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan terutama untuk penyakit yang penularannya melalui udara, contohnya tuberkulosis, dan SARS, yang mengakibatkan kontaminasi berat.


(41)

Penularan yang melibatkan virus, seperti HIV serta pasien yang mempunyai resistensi rendah seperti leukimia juga perlu diisolasi agar terhindar dari infeksi. Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan ventilasi udara yang menuju keluar (Babb. Liffe, 2005).

Hal yang perlu diperhatikan dalam pencegahan HAIs luka operasi adalah harus melakukan pemeriksaan terhadap pasien operasi sebelum pasien masuk/dirawat di rumah sakit yaitu dengan memperbaikan keadaan pasien, misalnya gizi. Sebelum operasi, pasien operasi dilakukan dengan benar sesuai dengan prosedur, misalnya pasien harus puasa, desinfeksi daerah operasi dan lain-lain. Semua petugas harus mematuhi peraturan kamar operasi yaitu bekerja sesuai SOP (standard operating procedure) yaitu dengan perhatikan waktu/lama operasi. Seterusnya, pasca operasi harus diperhatikan perawatan alat-alat bantu yang terpasang sesudah operasi seperti kateter, infus dan lain-lain (Farida Betty, 2005).

3. Universal Precaution

a.Definisi

Universal Precaution adalah tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan


(42)

cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2007).

Universal Precautions (UPs) adalah seperangkat tindakan pencegahan atau tindakan yang dirancang untuk mencegah petugas kesehatan agar tidak terkena darah dan tubuh dalam cairan dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar pengendalian infeksi melalui cuci tangan, pemanfaatan hambatan pelindung yang tepat seperti sarung tangan, masker, gaun, dan perisai mata, penanganan yang aman dan pembuangan jarum, dan dekontaminasi aman dari instrumen dan peralatan yang terkontaminasi (Fayaz, 2013).

b. Tujuan

Kurniawati dan Nursalam (2007), menyebutkan bahwa Universal precautions perlu diterapkan dengan tujuan :

1)Mengendalikan infeksi secara konsisten.

Universal precautions merupakan upaya pengendalian infeksi yang harus diterapkan dalam pelayanan kesehatan kepada semua pasien, setiap waktu, untuk mengurangi risiko infeksi yang ditularkan melalui darah.

2)Memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak didiagnosis atau tidak terlihat seperti berisiko.

Prinsip universal precautions diharapkan akan mendapat perlindungan maksimal dari infeksi yang ditularkan melalui darah


(43)

maupun cairan tubuh yang lain baik infeksi yang telah diagnosis maupun yang belum diketahui.

3)Mengurangi risiko bagi petugas kesehatan dan pasien.

Universal precautions tersebut bertujuan tidak hanya melindungi petugas dari risiko terpajan oleh infeksi HIV namun juga melindungi klien yang mempunyai kecenderungan rentan terhadap segala infeksi yang mungkin terbawa oleh petugas.

4)Asumsi bahwa risiko atau infeksi berbahaya.

Universal precautions ini juga sangat diperlukan untuk mencegah infeksi lain yang bersifat nosokomial terutama untuk infeksi yang ditularkan melalui darah / cairan tubuh.

c.Pelaksanaan Universal Precaution

Pelaksanaan Universal Precaution merupakan bagian dari upaya pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan yang tidak terlepas dari peran masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya yaitu pimpinan termasuk staff administrasi, staff pelaksana pelayanan termasuk staff penunjangnya dan juga pengguna yaitu pasien dan pengunjung sarana kesehatan tersebut. Pelaksanaan Universal Precaution didasarkan pada kenyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit baik yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan ( Nursalam, 2007).


(44)

Menurut pusat informasi penyakit infeksi nosokomial, (2009) pasien terinfeksi atau tidak, setiap petugas layanan kesehatan harus menerapkan universal Precaution secara penuh dalam hubungan dengan semua pasien. Prosedur Universal Precaution ini juga dapat dianggap sebagai pendukung program K3 bagi petugas kesehatan (Nursalam, 2007). Tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1)Cuci tangan selama 10-15 detik (pastikan sela-sela jari, punggung

tangan, ujung jari dan ibu jari digosok menyeluruh) dengan sabun di air mengalir setelah bersentuhan dengan pasien.

2)Pakai sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu yang basah atau terkontaminasi dengan cairan tubuh.

3)Pakai masker dan kacamata pelindung bila mungkin ada percikan cairan tubuh dan darah.

4)Tangani dan buang jarum suntik dan alat kesehatan tajam sekali pakai.

5)Bersihkan dan disinfeksikan tumpahan cairan tubuh pasien dengan

disinfektan.

6)Penanganan alat medis harus sesuai dengan standar disinfeksi dan

sterilisasi.

7)Tangani semua bahan yang telah tercemar cairan tubuh pasien dengan cara sterilisasi atau disinfeksi.


(45)

8)Pembuangan limbah sesuai dengan prosedur pembuangan limbah RS.

d. Alasan Universal Precaution sering diabaikan

Ada banyak alasan mengapa Universal Precaution tidak diterapkan, diantaranya :

1)Petugas layanan kesehatan kurang pengetahuan

2)Kurang dana untuk menyediakan pasokan yang dibutuhkan, misalnya sarung tangan dan masker.

3)Penyediaan pasokan tersebut kurang.

4)Petugas layanan kesehatan ‘terlalu sibuk’.

5)Dianggap Odha harus ‘mengaku’ bahwa dirinya HIV-positif agar

kewaspadaan dapat dilakukan. e.Komponen Universal Precaution

1)Pelaksanaan kebersihan tangan ( Hand Hygiene )

Cuci tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan dan alat pelindung diri lain. Tindakan ini penting untuk mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran infeksi dapat dikurangi dan lingkungan kerja terjaga dari infeksi (Kurniawati & Nursalam, 2007).


(46)

Indikator mencuci tangan digunakan dan harus dilakukan untuk antisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan yaitu: a) Sebelum melakukan tindakan, misalnya saat akan memeriksa

(kontak langsung dengan klien), saat akan memakai sarung tangan bersih maupun steril, saat akan melakukan injeksi dan pemasangan infus.

b) Setelah melakukan tindakan, misalnya setelah memeriksa pasien, setelah memegang alat bekas pakai dan bahan yang terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa.

Prinsip-prinsip cuci tangan yang efektif dengan sabun atau handsrub yang berbasis alkohol menggunakan 7 langkah menurut WHO :

(1) Basahi kedua telapak anda dengan air mengalir, lalu beri sabun ke telapak usap dan gosok dengan lembut pada kedua telapak tangan

Gambar 2.3. Langkah pertama cuci tangan


(47)

Gambar 2.4. Langkah kedua cuci tangan

(3) Jari jemari saling masuk untuk membersihkan sela-sela jari

Gambar 2.5. Langkah ketiga cuci tangan

(4) Gosokan ujung jari (buku-buku) dengan mengatupkan jari tangan kanan terus gosokan ke telapak tangan kiri bergantian


(48)

(5) Gosok dan putar ibu jari secara bergantian

Gambar 2.7. Langkah kelima cuci tangan (6) Gosokkan ujung kuku pada telapak tangan secara

bergantian

Gambar 2.8. Langkah keenam cuci tangan (7) Menggosok kedua pergelangan tangan dengan

cara diputar dengan telapak tangan bergantian setelah itu bilas dengan menggunakan air bersih dan mengalir, lalu keringkan.


(49)

2)Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Alat pelindung diri digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta kulit yang tidah utuh dan selaput lendir pasien. Penggunaan alat pelindung diri yang sesuai untuk setiap tindakan seperti :

a) Penggunaan Sarung Tangan

Melindungi tangan dari bahan infeksius dan melindungi pasien dari mikroorganisme pada tangan petugas. Alat ini merupakan pembatas fisik terpenting untuk mencegah penyebaran infeksi dan harus selalu diganti untuk mecegah infeksi silang. Menurut Tiedjen (2004), ada tiga jenis sarung tangan yaitu:

(1) Sarung tangan bedah, dipakai sewaktu melakukan tindakan infasif atau pembedahan

(2) Sarung tangan pemeriksaan, dipakai untuk melindungi petugas kesehatan sewaktu malakukan pemeriksaan atau pekerjaan rutin

(3) Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses peralatan, menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan sewaktu membersihkan permukaan yang terkontaminasi.


(50)

Prosedur pemakaian sarung tangan steril (DepKes RI, 2003 : 22) adalah sebagai berikut:

(a) Cuci tangan

(b) Siapkan area yang cukup luas, bersih dan kering untuk membuka paket sarung tangan. Perhatikan tempat menaruhnya (steril atau minimal DTT)

(c) Buka pembungkus sarung tangan, minta bantuan petugas lain untuk membuka pembungkus sarung tangan. Letakan sarung tangan dengan bagian telapak tangan menghadap keatas.

(d) Ambil salah satu sarung tangan dengan memegang pada sisi sebelah dalam lipatannya, yaitu bagian yang akan bersentuhan dengan kulit tangan saat dipakai (e) Posisikan sarung tangan setinggi pinggang dan

menggantung ke lantai, sehingga bagian lubang jari-jari tangannya terbuka. Masukan tangan (jaga sarung tangan supaya tidak menyentuh permukaan)

(f) Ambil sarung tangan kedua dengan cara menyelipkan jari-jari tangan yang sudah memakai sarung tangan ke bagian lipatannya, yaitu bagian yang tidak akan bersentuhan dengan kulit tangan saat dipakai


(51)

(g) Pasang sarung tangan yang kedua dengan cara memasukan jari-jari tangan yang belum memakai sarung tangan, kemudian luruskan lipatan, dan atur posisi sarung tangan sehingga terasa pas dan enak ditangan.

b) Penggunaan pelindung wajah (masker, kacamata)

Pemakaian pelindung wajah ini dimaksudkan untuk melindungi selaput lendir hidung, mulut selama melakukan perawatan pasien yang memungkinkan terjadi percikan darah dan cairan tubuh lain. Masker tanpa kaca mata hanya digunakan pada saat tertentu misalnya merawat pasien tuberkulosa terbuka tanpa luka bagian kulit atau perdarahan.

Masker kacamata dan pelindung wajah secara bersamaan digunakan petugas yang melaksanakan atau membantu melaksanakan tindakan beresiko tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya antara lain pembersihan luka, membalut luka, mengganti kateter atau dekontaminasi alat bekas pakai. Bila ada indikasi untuk memakai ketiga macam alat pelindung tersebut, maka masker selalu dipasang dahulu sebelum memakai gaun pelindung atau sarung tangan, bahkan sebelum melakukan cuci tangan bedah.


(52)

Langkah – langkah pemakaian masker (Potter & Perry, 2005) sebagai berikut :

(1) Ambil bagian tepi atas masker (biasanya sepanjang tepi tersebut / metal yang tipis)

(2) Pegang masker pada dua tali atau ikatan bagian atas. Ikatan dua tali atas pada bagian atas belakang kepala dengan tali melewati atas telinga

(3) Ikatkan dua tali bagian bawah pas eratnya sekeliling leher dengan masker sampai kebawah dagu

(4) Dengan lembut jepitkan pita metal bagian atas pada batang hidung.

c) Penggunaan gaun pelindung

Gaun pelindung merupakan salah satu jenis pakaian kerja. Jenis bahan sedapat mungkin tidak tembus cairan. Tujuan pemakaian gaun pelindung adalah untuk melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah atau cairan tubuh lain. Gaun pelindung harus dipakai apabila ada indikasi seperti halnya pada saat membersihkan luka, melakukan irigasi, melakukan tindakan drainase, menuangkan cairan terkontaminasi ke dalam lubang wc, mengganti pembalut, menangani pasien dengan perdarahan masif.


(53)

Sebaiknya setiap kali dinas selalu memakai pakaian kerja yang bersih, termasuk gaun pelindung. Gaun pelindung harus segera diganti bila terkena kotoran, darah atau cairan tubuh. Cara menggunakan gaun pelindung (Anita, D, A, 2004) sebagai berikut :

(1) Hanya bagian luar saja yang terkontaminasi, karena tujuan pemakaian gaun untuk melindungi pemakai dari infeksi (2) Gaun dapat dipakai sendiri oleh pemakai atau dipakaikan

oleh orang lain.

d) Penggunaan sepatu pelindung

Sepatu tertutup, dipakai pada saat memasuki daerah ketat. Sepatu ini dapat berupa sepatu tertutup biasa sebatas mata kaki dan sepatu booth tertutup yang biasa dipakai pada operasi yang memungkinkan terjadinya genangan percikan darah atau cairan tubuh pasien, misalnya pada operasi sectio caesarea atau laparatomy.

3)Pencegahan luka tusukan jarum dan benda tajam lainnya

Penggunaan benda tajam memaparkan staff pada resiko cidera dan terpapar dengan agen infeksius yang menular melalui darah, termasuk virus Hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV (NHMRC, 2010). Cidera benda tajam dapat terjadi pada setiap setting pelayanan kesehatan, termasuk di luar rumah sakit.


(54)

Pedoman WHO (2004) dalam rangka mencegah cidera benda tajam adalah sebagai berikut :

a) Menggunakan benda tajam dengan hati-hati

b) Tempatkan jarum, spuit, scalpel, dan benda tajam lain pada container/ safety box yang tahan tusukan dengan penutup rapat dan di tempatkan dekat dengan area di mana benda tersebut biasa digunakan

c) Jika membersihkan benda tajam yang reusable harus selalu hati-hati

d) Jangan pernah menutup kembali jarum yang telah dibuka e) Benda tajam harus didesinfeksi dengan tepat dan atau di

hancurkan sesuai dengan aturan nasional atau rumah sakit. Untuk menghindari perlukaan atau kecelakaan kerja maka semua benda tajam harus digunakan sekali pakai, dengan demikian jarum suntik bekas tidak boleh digunakan lagi. Sterilitas jarum suntik dan alat kesehatan yang lain yang menembus kulit atau mukosa harus dapat dijamin. Keadaan steril tidak dapat dijamin jika alat-alat tersebut didaur ulang walaupun sudah di otoklaf.

Tidak dianjurkan untuk melakukan daur ulang atas pertimbangan penghematan karena 17% kecelakaan kerja disebabkan oleh luka tusukan sebelum atau selama pemakaian, 70% terjadi sesudah pemakaian dan sebelum pembuangan serta


(55)

13% sesudah pembuangan. Hampir 40% kecelakaan ini dapat dicegah dan kebanyakan kecelakaan kerja akibat melakukan penyarungan jarum suntik setelah penggunaannya.

Risiko kecelakaan sering terjadi pada saat memindahkan alat tajam dari satu orang ke orang lain, oleh karena itu tidak dianjurkan menyerahkan alat tajam secara langsung, melainkan menggunakan tehnik tanpa sentuh (hands free) yaitu menggunakan nampan atau alat perantara dan membiarkan petugas mengambil sendiri dari tempatnya, terutama pada prosedur bedah.

Risiko perlukaan dapat ditekan dengan mengupayakan situasi kerja dimana petugas kesehatan mendapat pandangan bebas tanpa halangan, dengan cara meletakkan pasien pada posisi yang mudah dilihat dan mengatur sumber pencahayaan yang baik. Pada dasarnya adalah menjalankan prosedur kerja yang legeartis, seperti pada penggunaan forsep atau pingset saat mengerjakan penjahitan.

Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan adalah pada saat petugas berusaha memasukkan kembali jarum suntik bekas pakai kedalam tutupnya, oleh karena itu sangat tidak dianjurkan untuk menutup kembali jarum suntik tersebut melainkan langsung buang ke penampungan sementara, tanpa menyentuh atau memanipulasinya seperti membengkokkannya. Jika jarum terpaksa ditutup kembali (recaping) gunakanlah dengan


(56)

cara penutupan dengan satu tangan untuk mencegah jari tertusuk jarum.

Sebelum dibuang ketempat pembuangan akhir atau tempat pemusnahan, maka diperlukan wadah penampungan sementara yang bersifat kedap air dan tidak mudah bocor serta kedap tusukan. Wadah penampung jarum suntik bekas pakai harus dapat digunakan dengan satu tangan agar pada saat memasukkan jarum tidak usah memeganginya dengan tangan yang lain. Wadah tersebut ditutup dan diganti setelah ¾ bagian terisi dengan limbah, dan setelah ditutup tidak dapat dibuka lagi sehingga tidak tumpah. Hal tersebut dimaksudkan agar menghindari perlukaan pada pengelolaan yang selanjutnya. Idealnya benda tajam dapat diinsinerasi, tetapi bila tidak mungkin dapat dikubur dan dikaporisasi bersama limbah lainnya.

4)Pengelolaan linen

Linen yang telah digunakan dan terkotori cairan tubuh harus ditampung dengan benar untuk memastikan tidak adanya kebocoran cairan. Linen tersebut kemudian harus dikelola dengan benar sesuai pedoman yang berlaku, baik RS maupun produsen (WHO, 2004).


(57)

Penanganan, transportasi, dan pemprosesan linen yang telah dipakai dengan cara mencegah penyebaran pathogen ke pasien lain dan lingkungan serta mencegah pajanan pada kulit dan membrane mukosa serta kontaminasi pada pakaian (WHO, 2008).

Standar Linen menurut DEPKES 2001, Prinsip dasar dalam pengadaan linen harus mempertimbangkan beberapa aspek sebagai berikut :

a) Bahan harus menyerap keringat / air b) Mudah dibersihkan

c) Ukuran memenuhi standarisasi yang telah ditetapkan d) Pemilihan warna memperhatikan aspek psikologis pasien e) Tidak berfungsi sebagai mediator kuman

f) Tidak menyebabkan iritasi / perlukaan kulit 5)Pelaksanaan pembuangan limbah

Penanganan limbah padat B3 (medis) yang dimulai sejak dari pewadahan dan pengumpulan hingga pengolahan dan penimbunan/pemusnahan. Limbah dari sarana kesehatan secara umum dibedakan atas :

a) Limbah rumah tangga atau limbah non medis, yaitu limbah yang tidak kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya sehingga resiko rendah. Yaitu seperti sampah-sampah yang dihasilkan dari kegiatan ruang tunggu pasien dan administrasi


(58)

b) Limbah medis bagian dari sampah rumah sakit yang berasal dari bahan yang mengalami kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya disebut sebagai limbah berisiko tinggi. Beberapa limbah medis dapat berupa : limbah klinis, limbah laboratorium, darah atau cairan tubuh yang lainnya, material yang mengandung darah sebagai perban, kassa dan benda-benda dari kamar bedah, sampah organik, misalnya potongan tubuh, plasenta, benda-benda tajam bekas pakai jarum suntik

c) Pemilahan

Pemilahan dilakukan dengan menyediakan sampah yang sesuai dengan jenis sampah medis. Wadah-wadah tersebut biasanya menggunakan kantong plastik berwarna misalnya kuning untuk infeksius, hitam untuk non medis atau wadah yang diberi label yang mudah dibaca

d) Penampungan sementara

Pewadahan sementara sangat diperlukan sebelum sampah dibuang. Syarat yang harus dipenuhi adalah :

(1) Ditempatkan pada daerah yang mudah dijangkau petugas, pasien dan pengunjung


(59)

(3) Hanya bersifat sementara dan tidak boleh lebih dari satu hari.

e) Pembuangan benda tajam

(1) Wadah benda tajam merupakan limbah medis yang harus dimasukkan kedalam kantong sebelum insinerasi

(2) Idealnya semua benda tajam dapat diinsinerasi tetapi bila tidak mungkin dapat dikubur dan dikapurisasi limbah lain (3) Apapun metode yang dilakukan haruslah tidak memberikan

perlukaan.

6)Pengelolaan peralatan perawatan pasien

Peralatan perawatan pasien yang sudah ternodai oleh darah, cairan tubuh, sekret, dan ekskresi harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga pajanan pada kulit dan membran mukosa, kontaminasi pakaian, dan penyebaran patogen ke pasien lain atau lingkungan dapat dicegah. Jika ingin memakai kembali peralatan perawatan pasien maka jangan lupa untuk membersihkan, disinfeksi, dan memproses kembali perlengkapan yang digunakan ulang dengan benar sebelum digunakan pada pasien lain (WHO, 2008).


(60)

Pengelolaan peralatan perawatan pasien bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan atau untuk menjamin alat tersebut dalam kondisi steril dan siap pakai. Semua alat, bahan dan obat yang akan dimasukkan ke dalam jaringan di bawah kulit harus dalam keadaan steril. Proses penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui empat tahap kegiatan yaitu dekontaminasi, pencucian, sterilisasi atau DDT dan penyimpanan. Pemilihan cara pengelolaan peralatan perawatan pasien tergantung pada kegunaan alat tersebut dan berhubungan dengan tingkat penyebaran infeksi.

a) Dekontaminasi

Dekontaminasi adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya dan dilakukan sebagai langkah pertama bagi pengelolaan pencemaran lingkungan, seperti misalnya tumpahan darah atau cairan tubuh pasien, juga sebagai langkah pertama pengelolaan limbah yang tidak dimusnahkan dengan cara insinerasi atau pembakaran

b) Pencucian alat

Setelah dekontaminasi dilakukan pembersihan yang merupakan langkah penting yang harus dilakukan, tanpa pembersihan yang memadai maka pada umumnya proses


(61)

disenfeksi atau selanjutnya menjadi tidak efektif, pencucian menggunakan detergen dan air.

Pencucian harus dilakukan dengan teliti sehingga darah atau cairan tubuh pasien betul-betul hilang dari permukaan tersebut. Pencucian yang hanya menggunakan air tidak dapat menghilangkan minyak, protein dan partikel-partikel. Tidak dianjurkan mencuci tangan dengan menggunakan sabun biasa untuk membersihkan peralatan, karena sabun yang bereaksi dengan air akan menimbulkan residu yang sulit untuk dihilangkan.

7)Penempatan pasien

Menurut Depkes tahun 2009 penempatan pasien harus sesuai standar berikut :

a) Pertukaran udara > 6-12 x/jam,aliran udara yang terkontrol b) Jangan menggunakan AC sentral, bila memungkinkan gunakan

AC + filter HEPA

c) Pintu harus selalu tertutup rapat

d) Kohorting (menempatkan pasien terinfeksi atau kolonisasi patogen yang sama di ruang yang sama, pasien lain tanpa patogen yang sama dilarang masuk)

e) Seharusnya kamar terpisah, terbukti mencegah transmisi, atau kohorting jarak >1 m


(62)

f) Perawatan tekanan negatif sulit, tidak membuktikan lebih efektif mencegah penyebaran

g) Ventilasi airlock ventilated anteroom terutama pada varicella

(lebih mahal)

h) Terpisah jendela terbuka (TBC ), tak ada orang yang lalu lalang Sedangkan menurut Peraturan Mentri Kesehatan tahun 2009 tentang Perizinan Rumah sakit bahwa area pasien harus memenuhi syarat sebagai berikut :

(1)Unit terbuka 12 – 16 m2/ tempat tidur (2)Unit tertutup 16 – 20 m2/ tempat tidur

(3)Jarak antara tempat tidur : 2 m 8)Etika batuk

Menurut WHO 2008 hal-hal yang harus diperhatikan oleh pelayanan kesehatan adalah :

(a)Seseorang dengan gejala gangguan pernafasan harus menutup hidung dan mulut saat batuk/bersin dengan tisu atau masker, serta membersihkan tangan setelah kontak dengan secret saluran nafas

(b)Menempatkan pasien dengan gejala gangguan pernapasan akut setidaknya 1 meter dari pasien lain saat berada di ruang umum jika memungkinkan


(63)

(c)Meletakkan tanda peringatan untuk melakukan kebersihan pernapasan dan etika batuk pada pintu masuk fasilitas pelayanan kesehatan

(d)Mempertimbangkan untuk meletakkan perlengkapan/ fasilitas kebersihan tangan di tempat umum dan area evaluasi pasien dengan gangguan pernapasan.

Melaksanakan Etika Batuk dan Bersin tentu tidak berarti Anda tidak boleh untuk batuk ataupun bersin. Karena batuk maupun bersin (yang tunggal) merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap masuknya zat asing ataupun bahan iritan ke dalam saluran nafas. Tetapi pada orang-orang yang sakit, batuk dan bersin (yang berulang-ulang) merupakan gejala adanya infeksi kuman (bakteri atau virus) seperti pada penyakit TBC Paru, influenza dan lain-lain yang biasanya disertai keluarnya sekret/cairan tubuh/lendir atau dahak.

Para ilmuwan telah menemukan bahwa bila seseorang batuk/bersin, maka dalam sekali batuk/bersin tersebut keluar ribuan percikan dahak berukuran sangat kecil, yang disebut ‘Droplets’, ke udara bebas. Droplets tersebut dapat mengandung kuman infeksius yang berpotensi menular ke orang lain disekitarnya melalui udara pernafasan. Penularan penyakit melalui media udara pernafasan disebut “air borne disease”.


(64)

Tim Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) RSUD Bandung berbagi informasi untuk melaksanakan Etika Batuk/Bersin, yaitu : (a)Bila Anda merasa akan batuk atau bersin, segeralah

berpaling/menjauh sedikit dari orang-orang disekitar Anda (b)Kemudian tutuplah hidung dan mulut anda dengan menggunaka

tissue/saputangan atau lengan dalam baju anda

(c)Segera buang tissue yang sudah dipakai ke dalam tempat sampah (d)Cucilah tangan dengan menggunakan air bersih dan sabun atau

gel pembersih tangan (e)Bila perlu gunakan masker. 9)Praktek menyuntik aman

Hal hal yang harus diperhatikan sebelum menyuntik pasien adalah, sebagai berikut :

(a)Jelaskan pada pasien resiko pemberian injeksi dengan alat yang kotor, yakinkan pada pasien bahwa pemberian oral lebih aman dan efektifitasnya sama

(b)Jarum dan alat injeksi keduanya dapat terinfeksi

(c)Jangan menggunakan lagi jarum dan alat injeksi yang tidak steril (d)Jangan mengemas kembali jarum alat injeksi sekali pakai, alat

ini harus langsung dirusak dan dibuang

(e)Sterilkan jarum dan alat injeksi pakai ulang selama 20 menit (f) Gunakan indikator TST untuk menuju proses sterilisasi


(65)

(g)Suntik di tempat yang benar, resiko kerusakan syaraf, bila anak atau orang dewasa disuntik di pantat terlalu dalam

Untuk meminimalkan risiko injeksi, para petugas kesehatan seharusnya mendapat pelatihan pemberian injeksi yang aman dan menggunakan alat injeksi sekali pakai. Dari hasil pengamatan WHO penggunaan alat injeksi berulangkali pakai yang hanya diganti jarumnya saja ternyata di daerah endemik HIV masih menularkan HIV. Demi menjaga keamanan petugas harus mengganti alat suntiknya setiap ganti pasien.

Cara sterilisasi jarum suntik

(a)Masukkan alat suntik dengan pingset ke dalam air mendidih dan didihkan selama 20 menit

(b)Tuangkan air tanpa menyentuh alat suntik dan jarum

(c)Gunakan pingset untuk memasang jarum ke dalam alat suntik (d)Bersihkan ampul dengan air suling dan pecahkan ampul

(e)Isi alat suntik dengan obatnya, hati-hati jangan sampai jarum menyentuh bagian luar ampul

(f) Bila obat berupa serbuk dalam vial, bersihkan tutup karet dengan kapas yang dibasahi alkohol atau air suling

(g)Suntik vial dengan air suling dan kocok sampai obat larut (h)Isi jarum suntik dengan obat


(66)

Injeksi dapat dilakukan di beberapa anggota tubuh dan kepada semua kalangan, diantaranya :

(a)Sebaiknya disuntik di atas pinggul

(b)Jangan menyuntik pada kulit yang terinfeksi atau ruam

(c)Jangan menyuntik anak yang berumur di bawah 2 tahun diatas pinggul.

(d)Suntiklah anak di paha atas bagian luar. Cara menyuntik yang benar :

(a)Bersihkan kulit dengan sabun dan air atau alkohol, untuk menghindari rasa sakit pastikan benar bahwa alkoholnya sudah kering

(b)Tusukkan jarum, kerjakan dengan gerakan cepat untuk mengurangi rasa sakit

(c)Setelah jarum ditusukkan, pompa ditarik untuk melihat apakah jarum masuk ke pembuluh darah, bila masuk ke pembuluh darah pindahkan

(d)Bila tidak ada darah masuk, muntahkan obat pelan-pelan (e)Cabut jarum dan bersihkan kulit kembali

(f) Setelah selesai cuci alat suntik dengan air, sterilkan alat suntik sebelum digunakan kembali

(g)Sebaiknya menggunakan alat suntik sekali pakai karena lebih aman.


(67)

Komponen Universal Precaution menurut WHO (2008) diantaranya:

1)Hand hygiene

Hand Hygiene sangat penting untuk mencegah penularan infeksi. Hal ini harus dilakukan pada saat proses perawatan pasien sesuai dengan WHO Lima Moments Kebersihan Tangan. Teknik mencuci tangan adalah : Hand washing (40–60 detik): basahi tangan dan gunakan sabun; gosok semua permukaan; bilas tangan hingga kering secara menyeluruh dengan menggunakan handuk tunggal; gunakan handuk untuk mematikan kran. Hand rubbing (20–30 detik): gunakan produk secukupnya untuk mencuci semua bagian di tangan; gosok tangan sampai kering.

Ringkasan indikasi:

a) Sebelum dan sesudah kontak langsung dengan pasien dan antara pasien, apakah atau tidak menggunakan sarung tangan. b) Segera setelah sarung tangan dilepas.

c) Sebelum menangani perangkat invasif.

d) Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, kulit yang tidak utuh, dan barang-barang yang terkontaminasi, bahkan menggunakan sarung tangan.

e) Selama perawatan pasien, ketika bergerak dari yang terkontaminasi ke situs tubuh bersih dari pasien.


(68)

f) Setelah kontak dengan benda mati di sekitar langsung dari pasien

2)Menggunakan Sarung tangan

Penggunaan sarung tangan tunggal, dan dapat mengurangi risiko tertular infeksi melalui kontak kulit langsung antara petugas kesehatan dan pasien. Ini bukan pengganti kebersihan tangan yang tepat, penggunaan sembarangan dan berkepanjangan dapat menyebabkan iritasi kulit.

Kenakan saat menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, membran mukosa, kulit non utuh. Ubah antara tugas-tugas dan prosedur pada pasien yang sama setelah kontak dengan bahan infeksius. Buang sarung tangan setelah digunakan, sebelum menyentuh barang dan permukaan yang tidak terkontaminasi, dan sebelum pergi ke pasien lain. Bersihkan tangan segera setelah melepas.

3)Menggunakan Pelindung Wajah (mata, hidung, dan mulut)

Membrane mukosa pada mata dan mulut harus dilindungi ketika ada risiko percikan, tetesan dan aerosol dari darah atau cairan tubuh. Pelindung mata dapat dilakukan dengan menggunakan kacamata. Mereka harus nyaman dipakai, cocok dengan benar dan memungkinkan untuk visi yang jelas.


(69)

Gunakan masker dan pelindung mata atau pelindung wajah untuk melindungi selaput lendir mata, hidung, dan mulut selama kegiatan yang mungkin menimbulkan percikan darah , cairan tubuh, sekresi, dan ekskresi.

4)Menggunakan Gaun Pelindung

Ketika melakukan perawatan pasien langsung atau membersihkan lingkungan sekitar pasien dan peralatan, ada potensi untuk transmisi pathogen. Penggunaan disposable apron plastik tunggal harus dipakai untuk mengurangi kontaminasi seragam pakaian dan melindungi pasien dan tenaga kesehatan.

Pakai untuk melindungi kulit dan mencegah kotor pada pakaian selama kegiatan yang mungkin menimbulkan percikan darah, cairan tubuh, sekresi, atau ekskresi. Buang gaun kotor secepat mungkin, dan segera bersihkan tangan.

5)Pencegahan terhadap tusukan jarum dan luka dari benda tajam lainnya

Berhati-hatilah saat menggunakan jarum, pisau bedah, dan instrumen tajam lainnya atau perangkat. Segera bersihkan jarum yang sudah digunakan. Segera buang jarum yang digunakan dan alat tajam lainnya.


(1)

Universal Precaution yang dilakukan sesuai prosedur melalui tindakan hand hygiene , pengunaaan alat pelindung diri dan penempatan pasien dapat menjaga diri perawat sendiri dari tertularnya infeksi dan virus yang ada disekitar lokasi tempat kerja dan berasal dari pasien, sehingga jika terdapat berberapa kendala harus dilaporkan untuk ditindak lanjuti terkait dengan resiko terjadinya infeksi. C. Saran

Mengacu dari hasil penelitian analisis data dan berdasarkan kesimpulan yang telah diambil, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1.Bagi rumah sakit

Hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan dapat diterapkan bagi tenaga kesehatan khususnya yang ada di Ruang ICU tentang pentingnya pelaksanaan universal precaution dalam pencegahan dan pengendalian infeksi. Pelaksanaan Universal Precaution yang dilakukan sesuai prosedur melaui tindakan hand hygiene, pengunaaan alat pelindung diri dan penempatan pasien.

a. Pihak rumah sakit dapat menerapkan peraturan yang ketat terhadap tindakan hand hygiene, pengunaaan alat pelindung diri dan penempatan pasien.

b. Seluruh perawat perlu diberikan pelatihan tentang Universal Precaution sehingga dapat melaksanakan hand hygiene dengan benar dan tepat dan lebih disiplin.

c. Pihak rumah sakit juga bertanggung jawab tersedianya sarana prasana bagi pasien maupun perawat sesuai dengan prosedur yaitu kacamata pelindung dan penutup kepala pelindung.


(2)

d. Monitoring oleh tim dari Rumah Sakit perlu diadakan secara berkala berkaitan dengan pelaksanaan Universal Precaution.

e. Prasarana rumah sakit yang perlu dilengkapi dan ditambah yaitu ruang penempatan pasien yang ada ventilator. Selain itu jarak tempat tidur juga harus diperhatikan.

2.Bagi dunia akedemik

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi khususnya bidang kesehatan untuk pelaksanaan universal precaution dalam meningkatkan pencegahan dan pengendalian infeksi di ruang ICU, dengan pelaksanakan tindakan sesuai prosedur hand hygiene, pengunaaan alat pelindung diri dan penempatan pasien.

3.Bagi peneliti

Hasil penelitian dapat menambah pengetahuan bagi peneliti lain yang ingin memperluas wawasan mengenai pelaksanaan universal precaution dalam meningkatkan pencegahan dan pengendalian infeksi di RS meliputi hand hygiene, pengunaaan alat pelindung diri dan penempatan pasien.

D. Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini dilakukan hanya pada ruang ICU di RS PKU Muhammadiyah Bantul, sehingga penelitian ini baru memberikan implikasi terbatas pada ruang ICU di RS PKU Muhammadiyah Bantul.

2. Pada saat peneliti melakukan wawancara, ada beberapa informan yang kesulitan mengeksplor lebih dalam tentang pelaksanaan universal precaution di ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Bantul


(3)

3. Peneliti tidak mengikut sertakan pasien, keluarga pasien dan unit lain seperti bagian manajemen dan sanitasi untuk menjadi informan dalam pelaksanaan universal precaution di ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Bantul.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alagoz AZ, Kocasoy G.2008. Determination of the best appropriate management methods for the health-care wastes in Istanbul. Waste Manag 28: 1227-1235 Anita, D, A. 2004. Penatalaksanaan Kasus HIV / AIDS di Kamar Bersalin. Bagian

Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Perjan Hasan Sadikin . Bandung.

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Darmadi., 2008. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya, salemba Medika, Jakarta.

Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan RI bekerjasama dengan Perdalin. 2009. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasiltas Pelayanan Kesehatan Lainnya. SK Menkes No 382/Menkes/2007. Jakarta: Kemenkes RI

Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan RI., 2003. Pedoman Pelaksaanaan

Kewaspadaan Universal di Pelayanan Kesehatan. Jakarta.

Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan RI., 2010 Pedoman Penatalaksanaan

Infeksi di Tempat Pelayanan Kesehatan, Jakarta.

Depkes RI. 2010. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah sakit dan Fasilitas Pelayanan Pelayanan Kesehatan Lainnya. Jakarta. Perhimpunaan Pengendali Infeksi. Indonesia.

Fahmi, I., 2010 ‘Gambaran Penerapan Universal Precaution pada Perawat di

Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta’, Skripsi tidak diterbitkan,

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta

Fayaz. 2013. Knowledge And Practice Of Universal Precautions Among Health Care Workers In Four National Hospitals In Kabul, Afghanistan. Journal: Nagoya University Graduate School of Medicine, Nagoya, Japan

Geneva., 2014 Good hand hygiene by health workers protects patients from drug

resistant infections dalam

http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2014/hand-hygiene/en/ diakses tanggal 4 Juni 2014


(5)

Gunawan. 2012. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Universal Precautions Pada Perawat Pelaksana Di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang. Jurnal: Universitas Muhammadiyah Semarang

Hermina, MK., 2014 Infeksi Nosokomial di Lingkungan Rumah Sakit dalam

http://herminahospitalgroup.com/homeen/article/76 diakses tanggal 5 Juni 2014 Hidayat, A. Aziz Alimul., 2008. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Salemba

Medika, Jakarta

http://who.int/csr/resources/publications/AMStandardPrecautions_bahasa.pdf diakses tanggal 27 Mei 2014

Kholid, A, 2012. Promosi Kesehatan : Dengan Pendekatan Teori Perilaku, Media, dan Aplikasinya, Rajawali Pers. Jakarta.

Maria, E., Arini, M., 2014. Buku Panduan Tesis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

Mashuri, 2013 ‘Pengaruh Penerapan Universal precaution (Hand Hygiene dan APD)

dalam Mencegah Insiden Hepatitis C pada Pasien Hemodialisa Di RSU PKU

Muhammadiyah Yogyakarta’, Tesis tidak diterbitkan, Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

Massinga Zanele E. 2012. Compliance With Universal Precautions In Northern Kwa-Zulu Natal Operating Theatres. Journal: North-West University

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: Remaja Rosdakarya

Muktianingrum, N., 2013 ‘Analisis Pelaksanaan Universal Precaution Di RSGMP

UMY’, Tesis tidak diterbitkan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

Yogyakarta.

Nderitu Esther W. 2010. The Experience of Ugandan Nurses in the Practice of Universal Precautions. Journal: University of Alberta

Notoatmodjo., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

Nursalam., 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan,

Salemba Medika, Jakarta.

Nursalam., Ninuk., 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi, Salemba Medika, Jakarta.


(6)

Perry & Potter. 2005. Buku Ajar fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktek. Edisi ke 4. Jakarta. EGC.

Pramatasari, L., 2012 Kewaspadaan Universal Infeksi HIV/AIDS dalam Pelayanan Kesehatan Masyarakat, makalah, Stikes Muhammadiyah Pekalongan.

Rajinder Kaur. 2008. Knowledge, Attitude and Practice Regarding Universal Precautions among Nursing Students Esther . Nursing and Midwifery Research Journal, Vol-4, No. 4, October 2008

Rayndi Chenko. 2013. Gambaran Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di

Puskesmas Tanawangko. Jurnal: Universitas Sam Ratulangi

Riskesdas, 2013 Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Sharma BK. 2014. Role Of Knowledge In Practicing Universal Precautions Among Staff Nurses. International Journal of Medical Science Research and Practice. ISSN: 2349-3178 Online ISSN: 2349-3186

Slevin (2012). Standard Precaution Guidelines. Journal: HSE West Mid-Western Regional Hospitals

Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Manajemen, Alfabeta, Bandung. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Manajemen. Bandung: Alfabeta

WHO. 2008. Penerapan Kewaspadaan Standar di fasilitas pelayanan kesehatan. World Health Organization.

WHO., 2008. Penerapan Kewaspadaan Standar di Fasilitas Kesehatan, Indonesia. Yayasan Spiritia. 2004. Kewaspadan Universal. http://www.spiritia.org. ( diakses

tanggal 25 April 2014).

Yusran, M., 2008 Kepatuhan Penerapan Prinsip-Prinsip Pencegahan Infeksi

(Universal Precaution) pada Perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Muluk Bandar Lampung. http://www.lemlit.unila.ac.id. diakses tanggal 25 April 2014.

Zuhriyah, L. 2004. Gambaran Bakteriologis Tangan Perawat Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Jurnal: Universitas Brawijaya