Gambaran Optimsime Dalam Hubungan Romantis Pada Male To Female Transgender

GAMBARAN OPTIMISME DALAM HUBUNGAN ROMANTIS PADA MALE TO FEMALE TRANSGENDER
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi Oleh
YOHANTI VIOMANNA SIMANJORANG 101301109
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GENAP, 2013/2014
i
Universitas Sumatera Utara

HALAMAN PENGESAHAN
ii
Universitas Sumatera Utara

LEMBAR PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan sesungguhnya skripsi saya yang berjudul : Gambaran Optimsime Dalam Hubungan Romantis Pada Male To Female
Transgender adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian – bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 29 April 2014,
Yohanti Viomanna Simanjorang 101301109
iii
Universitas Sumatera Utara


Gambaran Optimisme Dalam Hubungan Romantis Pada Male To Female Transgender
Yohanti Viomanna Simanjorang dan Juliana I Saragih, M.Psi, Psikolog
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran optimisme dalam hubungan romantis pada male to female transgender. Hambatan terbesar dalam hubungan romantis male to female transgender dan pria ini adalah tidak adanya legalitas pernikahan yang membuat tujuan akhir hubungan romantis mereka menjadi tidak jelas. Hal ini mengakibatkan para male to female transgender ini rentan sekali untuk tidak dapat mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya. Namun fenomena di lapangan menunjukkan ada waria yang memiliki optimisme dalam hubungan romantisnya. Optimisme dalam hubungan romantis akan menghasilkan kepuasan dalam hubungan, berkurangnya konflik, serta hubungan yang bertahan lama (Butler, Gross, McGonigal, Richards, & Srivastava, 2006)
Penelitian ini dilakukan terhadap 2 orang subjek. Prosedur pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik snow-ball sampling. Data diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada subjek yang semenjak kecil dibesarkan dengan dukungan dan kasih sayang orangtuanya mampu mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya. Subjek yang optimis juga menerima perceived support dari pasangannya yang semakin mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya. Optimisme subjek dalam hubungan romantisnya menghasilkan kepuasan dalam hubungan romantis, konflik yang berkurang, serta hubungan yang bertahan lama. Sebaliknya, subjek yang semenjak kecil mendapatkan physical dan sexual abuse serta neglect dari ayahnya sulit mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya, sehingga subjek merasa kurang puas terhadap hubungannya, dan tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan hubungan romantisnya.
Kata Kunci : Optimisme, Hubungan Romantis, Male to Female Transgender
iv
Universitas Sumatera Utara

Optimism In Romantic Relationship Of Male To Female Transgender Yohanti Viomanna Simanjorang and Juliana I Saragih, M.Psi, Psikolog
ABSTRACK
This research is a descriptive qualitative study aimed to look at the description of optimism in a romantic relationship of male to female transgender. The biggest hurdle in a romantic relationship between male to female transgender and men is no legalitation for their marriage, which is makes the final destination of their romantic relationship becomes unclear. It makes these transgenders are vulnerable to not be able to develop optimism in a romantic relationship. But there is a phenomenon in the field showed that some male to female transgenders have optimism in their romantic relationships. Optimism in a romantic relationship will result in relationship satisfaction, reduced conflict, and enduring relationships (Butler, Gross, McGonigal, Richards, & Srivastava, 2006)
The research was conducted on 2 subjects. The sampling procedure is done by using a snow-ball sampling technique. The data obtained through interviews using an interview guide. The results of this research indicate that the subject who was brought up as a child with her parents' support and affection was able to develop optimism in a romantic relationship. Subject who optimistic also received perceived support from her partner and develop optimism in her romantic relationship. Subject’s optimism in romantic relationship affected satisfaction in romantic relationships, reduce conflict, and enduring relationship. In contrast, subject who grown up with physical and sexual abuse and neglect of her father was difficult to develop optimism in her romantic relationship, so that the subject felt less satisfied with the relationship, and do not has the desire to maintain the romantic relationship.
Keyword : Optimism, Romantic Relationship, Male to Female Transgender
v
Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah senantiasa memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Optimisme Dalam Hubungan Romantis Pada Male To Female Transgender ini tepat pada waktunya.

Pada kesempatan yang baik ini, dengan segala kerendahan hati peneliti ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Dra. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
2. Kakak Juliana Irmayanti Saragih, M.Psi, Psikolog selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar telah membimbing peneliti hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Terimakasih buat waktu, saran dan kritik yang telah kakak berikan selama ini.
3. Ibu Eka Ervika, M.Si, Psikolog selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberi restu dan dukungan kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi penelitian ini, dan atas kesabaran beliau untuk memberikan bimbingan akademik selama peneliti menuntut ilmu di Fakultas Psikologi ini.
4. Kedua orang tuaku tercinta, yang telah memberikan segenap cinta kasih tak bersyarat dengan berbagai cara di sepanjang rentang kehidupanku, serta dukungan moril dan materil untuk menyelesaikan skripsi ini.
vi
Universitas Sumatera Utara

5. Alm.Amangboru dan Bou, untuk segala doa dan kasih sayang yang diberikan selama ini. Terima kasih untuk segalanya.
6. Saudara-saudaraku Yohanna Violita, Yohannes Viotua, Yohansens Viovaldi, dan Yohanson Vioriski. Terima kasih untuk cinta yang kalian tunjukkan dengan berbagai cara. Terima kasih untuk kehidupan yang lebih berwarna 
7. Segenap keluarga besar Op. D. Simanjorang dan Op. J. Silaban untuk doa, dukungan, dan perhatian yang tiada henti kepada peneliti. Peneliti diajarkan banyak hal tentang arti dan pentingnya keluarga. Terima kasih.
8. Angkatan duabelas PS. Sola Gratia SMAN 1 Medan, terimakasih telah menjadi saudara sekaligus sahabat dalam berbagai suasana. Terimakasih untuk kasih persaudaraan yang tak pernah terputus. Untuk kesekian kalinya, I love you, dubs!
9. Gadis-gadis setempe, Putri Mayritza, Vivian Felicia, dan Irene Anastasya yang entah kenapa Tuhan kirimkan padaku. Terimakasih untuk empat tahun yang penuh warna dan cerita. Semoga persahabatan ini tetap langgeng hingga empat kali empat puluh tahun berikutnya. Ayok, kemana lagi kita?
10. Angkatan 2010 Fakultas Psikologi USU, terima kasih untuk masa – masa kuliah yang penuh kebarbaran (terutama ibu-ibu komplek). Entah kenapa tiba-tiba kita sudah tua saja dan harus terdepak satu per satu dari kampus. Semoga kita semua cepat “bertobat” :D. Sukses untuk kita semua.
vii
Universitas Sumatera Utara

11. Tidak lupa untuk segenap Dosen Pengajar Fakultas Psikologi USU, terima kasih untuk ilmu yang bapak, ibu, abang, dan kakak berikan. Terima kasih untuk segala pengetahuan yang peneliti dapatkan selama masa perkuliahan, semoga ilmu-ilmu tersebut dapat diterapkan untuk kesejahteraan orang banyak. Amin.
12. Last but not least, untuk kak Riri dan kak Carissa, terima kasih sudah mau berbagi, terimakasih sudah mau membantu. Semoga kehidupan semakin baik kedepannya, sukses untuk segala rencana yang kalian rancang. Akhir kata, peneliti ,menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saran dan kritik akan menjadi bahan masukan bagi peneliti. Semoga skripsi ini pada akhirnya dapat memberi manfaat pada semua pihak. Terimakasih.

Medan, April 2014,
Yohanti Viomanna Simanjorang Peneliti
viii
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI COVER.....................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN....................................................................................iii
ABSTRAK………………………………………………………………………..iv
ABSTRACK……................................................................………………………v
KATA PENGANTAR…………………………………………........………........vi
DAFTAR ISI..........................................................................................................ix DAFTAR TABEL...................................................................................................xi DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH ............................................................... 1 B. RUMUSAN MASALAH................................................................................ 8 C. TUJUAN PENELITIAN................................................................................. 9 D. MANFAAT PENELITIAN ............................................................................ 9
1. Manfaat Teoritis........................................................................................... 9 2. Manfaat Praktis ............................................................................................ 9 E. SISTEMATIKA PENULISAN....................................................................... 9 BAB II LANDASAN TEORI A. OPTIMISME ................................................................................................ 11 1. Definisi Optimisme.................................................................................... 11 2. Perkembangan Optimisme pada Individu.................................................. 12 3. Karakteristik Individu Optimis dan Individu Pesimis ............................... 14 4. Optimisme dalam Hubungan Romantis..................................................... 16 B. HUBUNGAN ROMANTIS.......................................................................... 18 1. Definisi Hubungan Romantis .................................................................... 18 2. Kepuasan dalam Hubungan Romantis....................................................... 19
ix
Universitas Sumatera Utara

C. TRANSGENDER ......................................................................................... 20 1. Definisi Transgender.................................................................................. 20 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Menjadi Transgender ........... 21 3. Ciri- Ciri Transgender................................................................................ 23
D. OPTIMISME DALAM HUBUNGAN ROMANTIS PADA TRANSGENDER.............................................................................................. 25 E. KERANGKA BERPIKIR ............................................................................. 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. PENDEKATAN KUALITATIF .................................................................. 29 B. SUBJEK PENELITIAN ............................................................................... 30
1. Karakteristik Subjek .................................................................................. 30 2. Jumlah Subjek............................................................................................ 30 3. Prosedur Pengambilan Subjek ................................................................... 30 4. Lokasi Penelitian........................................................................................ 31 C. METODE PENGAMBILAN DATA ........................................................... 31 D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA ................................................. 31 E. KREDIBILITAS PENELITIAN................................................................... 32 F. PROSEDUR PENELITIAN.......................................................................... 33 BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. ANALISA DATA ........................................................................................ 38 1. Subjek 1 ..................................................................................................... 38 2. Subjek 2 ..................................................................................................... 78 B. PEMBAHASAN......................................................................................... 122 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN .......................................................................................... 132 B. SARAN....................................................................................................... 134

DAFTAR PUSTAKA
x
Universitas Sumatera Utara

Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5

DAFTAR TABEL : Deskripsi Umum Subjek 1............................................................38 : Jadwal Wawancara Subjek 1........................................................39 : Deskripsi Umum Subjek 2...........................................................78 : Jadwal Wawancara Subjek 2.......................................................78 : Analisa Banding.........................................................................114

xi
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Pedoman Wawancara Lampiran 2 : Informed Consent
xii
Universitas Sumatera Utara

Gambaran Optimisme Dalam Hubungan Romantis Pada Male To Female Transgender
Yohanti Viomanna Simanjorang dan Juliana I Saragih, M.Psi, Psikolog
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran optimisme dalam hubungan romantis pada male to female transgender. Hambatan terbesar dalam hubungan romantis male to female transgender dan pria ini adalah tidak adanya legalitas pernikahan yang membuat tujuan akhir hubungan romantis mereka menjadi tidak jelas. Hal ini mengakibatkan para male to female transgender ini rentan sekali untuk tidak dapat mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya. Namun fenomena di lapangan menunjukkan ada waria yang memiliki optimisme dalam hubungan romantisnya. Optimisme dalam hubungan romantis akan menghasilkan kepuasan dalam hubungan, berkurangnya konflik, serta hubungan yang bertahan lama (Butler, Gross, McGonigal, Richards, & Srivastava, 2006)
Penelitian ini dilakukan terhadap 2 orang subjek. Prosedur pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik snow-ball sampling. Data diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada subjek yang semenjak kecil dibesarkan dengan dukungan dan kasih sayang orangtuanya mampu mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya. Subjek yang optimis juga menerima perceived support dari pasangannya yang semakin mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya. Optimisme subjek dalam hubungan romantisnya menghasilkan kepuasan dalam hubungan romantis, konflik yang berkurang, serta hubungan yang bertahan lama. Sebaliknya, subjek yang semenjak kecil mendapatkan physical dan sexual abuse serta neglect dari ayahnya sulit mengembangkan optimisme dalam hubungan romantisnya, sehingga subjek merasa kurang puas terhadap hubungannya, dan tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan hubungan romantisnya.

Kata Kunci : Optimisme, Hubungan Romantis, Male to Female Transgender
iv
Universitas Sumatera Utara

Optimism In Romantic Relationship Of Male To Female Transgender Yohanti Viomanna Simanjorang and Juliana I Saragih, M.Psi, Psikolog
ABSTRACK
This research is a descriptive qualitative study aimed to look at the description of optimism in a romantic relationship of male to female transgender. The biggest hurdle in a romantic relationship between male to female transgender and men is no legalitation for their marriage, which is makes the final destination of their romantic relationship becomes unclear. It makes these transgenders are vulnerable to not be able to develop optimism in a romantic relationship. But there is a phenomenon in the field showed that some male to female transgenders have optimism in their romantic relationships. Optimism in a romantic relationship will result in relationship satisfaction, reduced conflict, and enduring relationships (Butler, Gross, McGonigal, Richards, & Srivastava, 2006)
The research was conducted on 2 subjects. The sampling procedure is done by using a snow-ball sampling technique. The data obtained through interviews using an interview guide. The results of this research indicate that the subject who was brought up as a child with her parents' support and affection was able to develop optimism in a romantic relationship. Subject who optimistic also received perceived support from her partner and develop optimism in her romantic relationship. Subject’s optimism in romantic relationship affected satisfaction in romantic relationships, reduce conflict, and enduring relationship. In contrast, subject who grown up with physical and sexual abuse and neglect of her father was difficult to develop optimism in her romantic relationship, so that the subject felt less satisfied with the relationship, and do not has the desire to maintain the romantic relationship.
Keyword : Optimism, Romantic Relationship, Male to Female Transgender
v
Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada umumnya, cinta merupakan kebutuhan mendasar setiap individu. Individu membutuhkan cinta di setiap rentang kehidupannya. Menurut Horney (dalam Hall, Loehlin & Manosevitz, 1985), semenjak lahir setiap orang sudah membutuhkan cinta, dan jika cinta ini tercukupi, maka pada masa dewasa individu tersebut akan dapat bertahan pada situasi yang sulit. Pada masa awal kehidupan, cinta yang diperoleh individu biasanya dari orang-orang terdekat misalnya ibu, tetapi ketika beranjak dewasa, cinta ini diperoleh dari orang-orang dalam pergaulannya misalnya pasangan (Erickson dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001).
Erickson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001), menjelaskan pada masa dewasa muda, individu berada pada tahapan keintiman melawan isolasi, artinya seorang individu dewasa harus menemukan pasangan agar bisa melakukan kegiatan intim, bukan hanya intim secara seksual, tapi juga intim dalam berbagi sumber daya ekonomi, kegiatan rutin, tanggung jawab, dan tujuan masa depan.
Pada masa dewasa, kebutuhan akan cinta dari pasangan didapatkan melalui hubungan romantis. Hubungan romantis atau berpacaran merupakan proses dimana ada dua orang bertemu dan beraktivitas bersama untuk saling mengenal satu sama lain dimana salah satu fungsinya adalah sebagai tempat para pasangan untuk melakukan peran gender (DeGennova, 2008).
1
Universitas Sumatera Utara


2
Pada dasarnya terdapat dua peran gender, maskulin dan feminim. Meskipun demikian, tidak semua orang memiliki gender yang kongruen dengan seks orang tersebut. (Lahey, 2007). Orang-orang ini biasanya disebut transgender, dan terdapat dua jenis transgender yang dikenal, yaitu Female to Male (FtM) transgender, dan Male to Female (MtF) Transgender (IOM,2011). Di Indonesia, biasanya Male to Female (MtF) transgender disebut waria. Menurut Departemen Kesehatan, diperkirakan terdapat sekitar 20.960 hingga 35.300 waria di Indonesia pada tahun 2006 (STBP, 2007).
Male to Female Transgender merupakan pria yang memiliki identitas gender layaknya seorang wanita (Nadia, 2005). Male to female transgender tidak muncul begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang dimana ada dorongan dalam dirinya yang meyakini bahwa dia terjebak dalam tubuh yang salah (Koeswinarno, 2004). Cass (dalam Baker 2007) juga mengungkapkan bahwa seperti halnya homoseksual, kaum Male to female transgender melewati tahaptahap yang panjang sebelum akhirnya meyakini bahwa dirinya adalah seorang male to female transgender. Setelah yakin, beberapa male to female transgender ini kemudian melakukan coming out.
Banyak faktor yang kemudian menyebabkan individu untuk mejadi seorang male to female transgender. Nevid, Ratus, dan Greene (1994) menyebutkan bahwa faktor biologis seperti hormon, faktor behavioristik yang berkaitan dengan penguatan yang salah yang diberikan oleh keluarga atau orang lain mengenai identitas gender, serta faktor sosiokultural seperti budaya yang
Universitas Sumatera Utara

3
berlaku mempengaruhi perubahan identitas gender seorang pria sampai akhirnya dia menjadi male to female transgender.
“kalo dari kecil aku udah biasa, maksudnya gini aku udah senang peralatan perempuan sejak kecil make-up gitu, dan orangtua, abangabangku juga mendukung… keluarga dukung, tidak pernah terjadi kekerasan atau penekanan-penekanan ga pernah… masa kecil aku waktu aku TK, kelas 1-2 SD yang benar-benar aku itu pure perempuan, rambut panjang pake baju cewek dan itu ke sekolah…..orangtuaku menganggap aku adalah perempuan dan seperti itulah yang diajarkan, justru kalau aku main bermain mainan laki-laki itu dibilang jangan itu mainan laki-laki gitu.” (Komunikasi Personal, 25 Juni 2013) Secara orientasi seksual, seorang transgender bisa saja merupakan seorang heteroseksual, homoseksual, bahkan biseksual (IOM, 2011). Pada seorang male to female transgender yang merasa di dalam tubuhnya adalah jiwa seorang perempuan, mereka tidak membatasi ketertarikan seksual hanya pada pria saja. Sebagian male to female transgender memiliki ketertarikan pada wanita (Bailey, 2003). Male to female transgender yang memiliki ketertarikan terhadap wanita ini secara pribadi menganggap bahwa mereka adalah pasangan lesbian bukan pasangan heteroseksual. Sementara pada male to female transgender yang memiliki ketertarikan seksual pada pria, menganggap mereka adalah pasangan heteroseksual bukan pasangan gay (IOM, 2011). Pada penelitian ini, peneliti berfokus pada male to female transgender yang memiliki ketertarikan seksual pada pria dikarenakan adanya stigma masyarakat terhadap pasangan ini, dan tidak adanya legalisasi terhadap pernikahan mereka yang kemudian menjadi masalah karena pernikahan merupakan tujuan akhir dari hubungan romantis. Seperti yang sudah dikemukakan diatas bahwa setiap individu dewasa membutuhkan cinta dari pasangannya. Umumnya, para male to female
Universitas Sumatera Utara

4
transgender tersebut juga memenuhi kebutuhannya akan cinta ini melalui hubungan romantis. Santore (dalam Muryani & Putra 2012) menyebutkan bahwa hubungan romantis merupakan hubungan yang di dalamnya harus perkembangan diri secara bersama-sama serta ikatan yang kuat satu sama lain. Hubungan romantis seperti ini terjadi tidak hanya pada pasangan heteroseksual secara gender, namun juga pada pasangan yang telah mengalami perubahan gender.
Beck dan Beck-Gernsheim (dalam Muryani dan Putra, 2012) menyatakan bahwa hubungan romantis atau berpacaran merupakan bentuk dukungan sosial bagi individu. Jadi pada saat individu merasakan kecemasan, mereka dapat mencari perlindungan diri melalui komitmen dalam hubungan romantis.
Hubungan romantis menjadi bentuk dukungan sosial pada male to female transgender karena seperti yang kita ketahui, di Indonesia waria masih mendapatkan diskriminasi dari berbagai aspek. Diskriminasi tersebut mencakup kebebasan mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan, mendapatkan dokumen kewarganegaraan, dan pekerjaan hingga akhirnya kebanyakan mereka menjadi pekerja seks yang mengakibatkan mereka sering terpapar dengan kekerasan dan eksploitasi seksual (Oetomo, dalam Unesco 2011).
Jika ditinjau secara seksual, pasangan male to female transgender dan pria merupakan pasangan homoseksual. Sementara di Indonesia sendiri pasangan homoseksual masih dianggap tabu oleh masyarakat. Karena jika ditinjau dari norma agama dan norma sosial yang berkembang di Indonesia, pasangan normal pada dasarnya merujuk pada dua jenis kelamin yang berbeda. Sehingga pasangan homoseksual ini masih menjadi pasangan yang termarginalisasi dan sering
Universitas Sumatera Utara

5
mendapat stigma dari masyarakat. Sehingga saat mereka berpacaran, mereka tidak dapat secara bebas mengekspresikan kasih sayang mereka seperti pasangan heteroseksual (Oetomo, 2001).

“dia laki-laki, aku waria yakan, jadi kalo di tempat umum akupun nutupnutupin dirilah supaya dia jangan malu gitu supaya menjaga dia takutnya nanti orang bilang masa dia pacaran sama bencong kan. Dia nya sih gak masalah, akunya aja yang segan, gimana kan…” (Komunikasi Personal, 25 Juni 2013) Menurut Rice dan DeGenova (2005), hubungan romantis merupakan proses pemilihan pasangan hidup, dimana tujuan akhir berpacaran tersebut adalah pernikahan. Pada kaum male to female transgender yang homoseksual, pernikahan tentu saja tidak bisa dicapai karena adanya hukum negara dan agama yang menentang pernikahan sejenis (Oetomo, 2001). “ yah artinya aku nyalahin negara, kalau kita lebih menyalahkan agama juga terkadang tidak, tidak fair gitu ya. Kenapa ya negara tidak apa ya tidak membuat warga negaranya lebih sejahtera, lebih bahagia, dan lain sebagainya seperti itu. Dengan keputusan warga negaranya gitu, contohnya kayak aku, izinkanlah aku menikah seperti ini walaupun catatan sipil gitu, tapi ya aku juga tidak mau apa dikatakan sebagai warga negara yang sangat egois mementingkan kepentinganku dengan aku yang notabene perempuan secara sosial bukan perempuan biologis, tapi ya itu tadi paling tidak kebahagiaan orang adalah kebahagiaanku ” (Komunikasi Personal, 25 Juni 2013)
Saat menjalani proses pacaran, pasangan tidak dapat terlepas dari masalahmasalah yang mungkin dapat menghambat keberhasilan berpacaran. (DeGenova, 2008) menyatakan beberapa masalah yang dihadapi oleh pasangan antara lain adalah kecemburuan dan ketidaksetiaan terhadap pasangan serta kekerasan dalam berpacaran. Pada pasangan homoseksual terutama pada male to female transgender yang berpacaran juga terdapat masalah yang tidak berbeda. Schifter
Universitas Sumatera Utara

6
(1998) mendapati bahwa pada male to female transgender, kecemburuan dan ketakutan akan ketidaksetiaan pasangan terhadap dirinya lebih dikarenakan keadaannya yang bukan perempuan secara utuh. Mereka memiliki kecemasan tersendiri bahwa pasangannya akan lebih tertarik pada wanita secara biologis, daripada mereka yang male to female transgender. Belum lagi masalah kekerasan yang mereka dapati saat berpacaran, beberapa male to female transgender malah dieksploitasi oleh pasangannya sendiri untuk menjadi penjaja seks agar dapat menghasilkan uang untuk pasangannya (Oetomo dalam Unesco, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Heintz & Melendez (dalam Eyler & Witten, 2012) juga menyatakan bahwa 41% dari respondennya yang merupakan pasangan gay dipaksa untuk melakukan hubungan seks oleh pasangannya, 21% menerima kekerasan fisik dan 32% menerima kekerasan verbal.
Sementara itu, pasangan male to female transgender dan pria straight ini walaupun memiliki masalah-masalah seperti layaknya pasangan heteroseksual, mereka mengalami stress yang lebih berat karena harus menghadapi stigma sosial dan marjinalisasi terhadap hubungan romantis mereka (Green, 2004). Pasangan yang bukan pasangan heteroseksual biasanya mendapatkan diskriminasi. Tekanan yang mereka dapatkan dari masyarakat tersebut membuat pasangan ini biasanya gagal mempertahankan hubungan dalam jangka panjang (Mills,et al. 2004).
Menjalin hubungan romantis menjadi wadah bagi individu untuk mengembangkan kepribadian (DeGenova, 2008). Hal ini bisa dicapai jika hubungan tersebut memuaskan. Salah satu hal yang mempengaruhi kepuasan
Universitas Sumatera Utara

7
dalam hubungan romantis yaitu adanya optimisme pada individu (Butler, Gross, McGonigal, Richard, dan Srivastava, 2006).
Optimisme merupakan pandangan yang positif dalam diri seseorang mengenai masa depannya. Orang-orang yang optimis biasanya tidak menghindari keadaan atau masalah-masalah yang datang kepadanya. Dengan adanya optimisme, seseorang akan memiliki kecenderungan untuk bertahan di bawah situasi yang penuh tekanan dan berfokus untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Carver , Scheier & Weintraub, dalam Snyder,2002).
Selligman (2006) menyatakan bahwa pada dasarnya optimisme sudah berkembang semenjak kecil. Saat masih kecil, perkembangan optimisme sangat dipengaruhi oleh peran orangtua. Saat orangtua mampu mendorong anak untuk tidak mudah berputus asa dan selalu mengakui nilai-nilai positif pada anak, maka anak akan mengembangkan sikap yang optimis. Selain itu, pengakuan individu dan penilaian bahwa dirinya berharga juga akan mengembangkan sikap optimis pada dirinya.
Menurut Angelo & Srivastava (2009), optimisme bersifat global, yang berarti optimisme dimanifestasikan dalam berbagai situasi dan domain kehidupan manusia, salah satunya adalah hubungan romantis atau berpacaran.
Dalam hubungan romantis atau berpacaran, optimisme dianggap merupakan hasil dari proses saling menjaga dan meningkatkan dukungan, dan biasanya dimanifestasikan dalam bentuk perceived support. Perceived support adalah keyakinan bahwa pasangannya mampu dan dapat memberikan dukungan pada saat dibutuhkan (Srivastava, dkk., 2006).
Universitas Sumatera Utara

8
“ aku nganggap ini orang beda, ini orang lain daripada yang lain gitu kan, karena selama aku mengenal laki-laki selain dari dia menganggap bahwa biasa gitu kan waria ngapain eh..eh.. dipacarin gitu. Tapi sama dia aku menemukan kalau aku memang diperlakukan pure perempuan….. biasa kalo laki-laki ketemu transgender atau waria pasti pikirannya adalah jadi aset, aset bulanan gitulah ya, kalo dia enggak kita sama-sama support cari kerja untuk hidup kita” (Komunikasi Personal, 25 Juni 2013)

Optimisme dalam berpacaran akan membuat hubungan romantis menjadi lebih bahagia dan dapat bertahan dalam jangka panjang. Optimisme memberikan kepuasan dalam hubungan dan mengurangi adanya konflik tak terselesaikan dalam hubungan karena pasangan yakin bahwa konflik tersebut merupakan masalah yang memang harus mereka lewati untuk membuat hubungan mereka menjadi lebih matang yang kemudian akan menghasilkan hubungan yang lebih bertahan lama (Srivastava, dkk., 2006).
Melalui pemaparan diatas, dengan adanya diskriminasi yang didapatkan oleh male to female transgender tersebut dari lingkungannya, masalah dalam hubungan yang dihadapi oleh male to female transgender dan pasangannya, adanya stigma dan marjinalisasi dari masyarakat terhadap pasangan male to female transgender dan pria, serta adanya larangan untuk menikah pada pasangan tersebut, peneliti ingin melihat bagaimanakah gambaran optimisme dalam hubungan romantis pada waria yang berpacaran dengan pria tersebut?
B. RUMUSAN MASALAH Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran optimisme dalam hubungan romantis waria dengan pria?
Universitas Sumatera Utara

9
2. Bagaimana efek yang dihasilkan oleh optimisme dalam hubungan romantis waria?
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data yang dapat menjelaskan mengenai gambaran optimisme dalam hubungan romantis pada male to female transgender yang berpasangan dengan pria.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang psikologi klinis mengenai gambaran optimisme yang berkaitan dengan hubungan romantis atau berpacaran pada male to female transgender, serta untuk menambah pengetahuan dan menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan memberi pengetahuan baru bagi masyarakat terutama bagi para male to female transgender agar dapat mengembangkan optimisme dalam diri yang kemudian akan memberikan dampak positif dalam hubungan sosial terutama hubungan romantis.
E. SISTEMATIKA PENULISAN Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:
Universitas Sumatera Utara

10
BAB I : Pendahuluan Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori Bab ini menguraikan tentang tinjaun teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian, diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian. BAB III : Metodologi Penelitian Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, subjek penelitian, teknik pengambilan subjek, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur penelitian. BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data –data penelitian dari teori yang relevan BAB V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian serta saran-saran yang dibutuhkan, baik untuk penyempurnaan penelitian maupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara

BAB II LANDASAN TEORI A. OPTIMISME 1. Definisi Optimisme Carver dan Scheier (dalam Snyder, 2003) menyatakan bahwa optimisme merupakan pandangan seseorang mengenai masa depannya. Pandangan ini tentu saja pandangan positif tentang hasil yang akan diperoleh di masa depan. Hal serupa juga dinyatakan oleh Carr (2005) yang mengungkapkan konsep mengenai dispositional optimism, yaitu sebuah harapan yang menyeluruh dimana akan terjadi lebih banyak hal-hal baik di masa depan dibandingkan hal yang buruk. Lebih lanjut Carver, Scheier & Weintraub (dalam Snyder,2002) menyatakan bahwa optimisme terkait dengan kecenderungan untuk berfokus pada pemecahan masalah ketika terjadi situasi dibawah tekanan, dan untuk tidak menghindar serta menolak dari masalah yang dihadapi. Selligman (2006) mengungkapkan konsep learned helplessness yaitu respon yang pasif dan kecenderungan untuk bereaksi menghindar serta meyakini bahwa apa yang diperbuat tidak berarti apa-apa pada situasi yang berat. Dan adanya konsep explanatory style mengenai bagaimana kita menjelaskan kepada diri kita sendiri kenapa situasi tersebut dapat terjadi. Maka, individu dengan explanatory style yang optimis akan meyakini dirinya bahwa dia mampu dan dapat bertahan agar tidak terjadi learned helplessness.
11
Universitas Sumatera Utara


12
Melalui penjabaran diatas dapat kita simpulkan bahwa optimisme merupakan keyakinan akan mendapatkan hasil yang baik di masa depan dan kemampuan untuk dapat bertahan menghadapi masalah yang ada.
2. Perkembangan Optimisme pada Individu Selligman (2006) mengungkapkan bahwa optimisme berkembang
semenjak kecil melalui peran orang tua. Kesehatan mental orang tua, modelling dan reward yang diberikan orang tua saat anak mengembangkan sikap optimis akan membentuk optimisme pada anak. Saat anak mengalami kegagalan, peran orang tua untuk menanamkan nilai bahwa kegagalan tersebut dikarenakan faktor dari luar bukannya dari dalam diri anak sangat diperlukan. Saat anak mengalami kegagalan, orangtua harus mampu mendorong anak untuk tidak berputus asa dan tetap tekun dalam menggapai keinginannya. Individu optimis lebih mungkin muncul dari keluarga dimana orangtua tidak memiliki depresi.
Pada keluarga yang memiliki trauma atau kesehatan mental yang buruk, anak cenderung tumbuh menjadi individu yang pesimis. Oangtua yang sering mengkritik kegagalan anak juga akan mengembangkan anak tersebut menjadi pesimis. Anak juga akan menjadi individu yang pesimis saat mengalami abuse atau penolakan dari orangtuanya. Anak yang sejak kecil sudah mengalami trauma akan
Universitas Sumatera Utara

13
tumbuh menjadi individu yang depresi. Hal ini bisa diatasi jika mereka memiliki hubungan yang dapat mendukung mereka (Selligman, 2006).
Optimisme pada masa dewasa biasanya ditandai dengan pencapaian prestasi yang memuaskan, baik di sekolah maupun di tempat bekerja. Selain itu, individu dewasa yang optimis juga memiliki kehidupan keluarga yang baik. Orang-orang optimis juga memiliki ikatan sosial yang baik dengan orang lain, dan lebih toleransi dengan orang lain (Selligman, 2006).
Carver, Scheier, dan Segerstrom (2010), menyatakan bahwa optimisme dalam diri seseorang juga dipengaruhi oleh kegagalan masa lalu. Biasanya individu yang melihat kegagalannya dalam sudut pandang negatif akan cenderung menghambat optimisme dalam dirinya.
Lebih lanjut, Carver., dkk (2010) menyatakan bahwa dukungan sosial mampu mengembangkan optimisme dalam diri seorang individu. Saat individu dapat merasakan dukungan dari orang – orang, dia akan lebih yakin untuk dapat bertahan dalam situasi – situasi sulit. Saat dukungan sosial ini tidak dapat dirasakan oleh individu, maka hal ini akan menghambat perkembangan optimisme dalam diri individu.
Optimisme yang berkembang dalam diri seseorang akan memengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka. Conversano, Rotondo, Lensi, Vista, Arpone, & Reda (2010) menemukan bahwa individu optimis lebih mampu untuk mengatasi distress dalam
Universitas Sumatera Utara

14
kehidupannya sehingga cenderung terbebas dari gangguan- gangguan mental. Bukan hanya gangguan mental, individu yang optimis juga cenderung lebih sehat secara fisik karena optimisme mampu meningkatkan kekebalan sistem imun sehingga individu lebih mampu untuk bertahan dari penyakit - penyakit fisik.
Selain berpengaruh terhadap kesehatan mental dan kesehatan fisik, optimisme juga berpengaruh pada kehidupan sosial individu tersebut. Individu optimis kemudian mampu menjalin hubungan sosial yang sehat bukan hanya hubungan sosial secara umum, juga hubungan sosial yang lebih intim, misalnya dalam hubungan romantis (Carver, dkk., 2010)
Intinya adalah, optimisme terbentuk melalui penilaian individu mengenai apakah dirinya bernilai atau tidak. Perasaan bernilai berasal dari pengakuan individu terhadap dirinya dan dukungan dan penghargaan dari orang lain (Selligman, 2006).
3. Karakteristik Individu Optimis dan Individu Pesimis Individu yang optimis dan individu pesimis biasanya menampilkan

perbedaan baik dari cara berfikir maupun bertingkah laku. Perbedaan ini lebih lanjut dikemukakan oleh Carver dan Scheier (dalam Snyder, 2002) sebagai berikut : a. Individu yang optimis selalu mengharapkan hasil yang baik akan
terjadi pada mereka meskipun keadaan terlihat sulit. Pada situasi yang sulit, individu yang optimis cenderung percaya diri dan
Universitas Sumatera Utara

15
bertekun walaupun kemajuan terasa lambat dan percaya bahwa kesulitan tersebut dapat diatasi, dan berfokus untuk perencanaan di masa depannya dan tidak mau terlarut pada masa lampau yang menyakitkan. Individu optimis juga biasanya memiliki perasaanperasaan yang positif. Individu pesimis memperkirakan akan terjadi hal buruk pada mereka, selalu merasa ragu-ragu dan cenderung berfokus pada kejadian-kejadian tidak menyenangkan di masa lalu. Individu yang pesimis biasanya memiliki perasaan negatif terkait keyakinan tersebut misalnya cemas, marah, sedih, putus asa dan merasa bersalah. b. Saat menghadapi masalah, individu optimis menggunakan strategi problem-focused coping dimana mereka aktif dan berfokus untuk memecahkan masalah dan dapat mengontrol masalah dengan menggunakan berbagai cara, mampu hal-hal buruk yang terjadi pada mereka, melihat sisi baik dari peristiwa tersebut, dan mendapatkan pelajaran dari situasi yang buruk. Berbeda dengan individu optimis, saat dihadapkan dengan masalah individu pesimis menggunakan emotional-focused coping dimana mereka berfokus pada emosi mereka dan lebih memilih untuk menghindari masalah yang ada baik dengan tidur, makan, dan mabuk-mabukan, dan menyangkal kenyataan bahwa mereka sedang terlibat dalam situasi yang buruk.
Universitas Sumatera Utara

16
4. Optimisme dalam Hubungan Romantis Carver, Scheier, dan Segerstrom (2010) menyatakan bahwa
optimisme merupakan sumber daya yang baik dalam hubungan, baik hubungan secara luas maupun hubungan yang lebih intim misalnya hubungan romantis. Hal ini dikarenakan bahwa orang akan lebih menyukai orang lain yang dapat mengungkapkan harapan-harapan yang positif tentang masa depan, dan cenderung menolak orang yang memiliki keyakinan negatif. Selain itu, orang optimis cenderung melihat segala sesuatu dalam pandangan positif, sehingga akan lebih puas dalam hubungannya meskipun hubungan tersebut tidak sempurna.
Angelo & Srivasta (2009) menyatakan bahwa oprimisme bersifat global yang artinya optimisme dimanifestasikan dalam berbagai keyakinan, waktu, situasi dan domain kehidupan. Optimisme secara global juga dikaitkan dengan hasil interaksi sosial yang positif. Salah satunya adalah hubungan romantis atau berpacaran. Di dalam hubungan berpacaran, optimisme dibangun oleh adanya perceived support. Perceived support adalah keyakinan bahwa pasangan dapat memberikan bantuan dukungan dan kenyamanan saat diperlukan. Selain itu, perceived support juga merupakan keyakinan yang persisten dan stabil mengenai perilaku pasangan di masa depan.
Di dalam hubungan romantis, optimisme mempengaruhi kualitas dukungan yang diberikan dan diterima seorang individu (Angelo & Srivastava, 2009). Orang yang optimis akan meyakini bahwa
Universitas Sumatera Utara

17
pasangannya dapat memberikan dukungan yang positif, dan mereka akan mampu menyelesaikan konflik mereka dengan baik. Maka jika individu merupakan individu yang optimis, maka hal itu akan terlihat dalam hubungan romantis, dan pasangan cenderung menunjukkan perceived support saat berpasangan dengan individu optimis, dan perceived support ini nantinya akan mengembangkan optimisme individu dalam hubungan romantis tersebut.
Optmisme dalam hubungan romantis akan menghasilkan efek yang positif berupa kepuasan yang lebih baik dalam hubungan bukan hanya kepuasan pada individu, melainkan juga kepuasan pada pasangan. Selain itu optimisme juga mengurangi kecenderungan terjadinya konflik yang tak terselesaikan dalam hubungan. Guerrero, Andersen, and Afifi (2001) mendefinisikan konflik dalam hubungan romantis sebagai ketidak sesuaian antara dua orang yang meyakini bahwa mereka memiliki tujuan yang berbeda. Berkurangnya konflik dalam hubungan romantis terjadi karena individu optimis cenderung menggunakan problem-focused coping saat menghadapi masalah, sehingga individu optimis dan pasangannya dapat menyelesaikan konflik mereka dengan berdiskusi secara terbuka ( Carver, Scheier, dan Segerstrom, 2010). Pada akhirnya, karena adanya kepuasan dan kemampuan menangani konflik yang baik, hubungan dapat bertahan lebih lama (Srivastava, dkk., 2006).
Universitas Sumatera Utara


18
B. HUBUNGAN ROMANTIS 1. Definisi Hubungan Romantis DeGenova (2008) mengungkapkan bahwa hubungan romantis atau berpacaran adalah proses dimana ada dua orang bertemu dan beraktivitas bersama untuk saling mengenal satu sama lain. Lebih lanjut, Hurlock (1998) menyatakan bahwa dalam hubungan romantis terjadi proses memilih pasangan hidup merupakan salah satu tugas perkembangan individu saat dia memasuki masa dewasa awal. Hal ini juga disebutkan oleh Erickson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001) bahwa individu yang memasuki masa dewasa akan berusaha untuk membangun keintiman dengan orang lain, sebab apabila individu gagal membangun keintiman, maka individu tersebut akan terisolasi dengan lingkungannya. Saxton (dalam Bowman & Spainer, 1978) menggambarkan hubungan romantis sebagai sebuah istilah yang digunakan masyarakat untuk menggambarkan sebuah perencanaan kegiatan, termasuk di dalamnya adalah melakukan aktifitas bersama antar dua orang yang biasanya belum menikah dan berjenis kelamin berbeda. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hubungan romantis adalah proses dimana dua orang individu beraktivitas dan berkomitmen untuk bersama dan membangun keintiman sebagai langkah dalam memilih pasangan hidup.
Universitas Sumatera Utara

19
2. Kepuasan dalam Hubungan Romantis Kepuasan dalam hubungan romantis adalah evaluasi interpersonal
mengenai sisi positif pasangan, dan apakah pasangan memberikan ketertarikan dalam hubungan (Bunk & Rusbult,1993). Myers & Diane (dalam Harvey & Pauwels,1999) menyatakan bahwa individu yang merasakan kepuasan dalam hubungan romantisnya akan lebih bahagia, lebih sehat dan dapat hidup lebih lama. Lebih lanjut, Miller dan Tedder (2011) mengemukakan beberapa indikator untuk melihat apakah kepuasan dalam hubungan romantis sudah tercapai, yaitu: a. Good quality of communication
Di dalam hubungan yang pasangannya dapat saling berinteraksi secara santai dan menyenangkan serta saat pasangan tersebut dapat menjadi pendengar yang baik, maka hubungan tersebut akan memuaskan masing-masing pasangan komunikasi yang baik juga nantinya akan membuat mereka dapat menangani konflik dengan baik. b.Conflict resolution
Pada hubungan yang memuaskan atau berhasil, konflik biasanya dihadapi dengan komunikasi yang terbuka dan membangun. Konflik akan diselesaikan dengan persetujuan dari kedua belah pihak dan memberikan pelajaran kepada pasangan. Namun, pada hubungan yang tidak sehat, pasangan cenderung menghindari atau mengurangi konflik. Padahal, penyelesaian
Universitas Sumatera Utara

20
konflik akan membuat masing-masing pasangan lebih dapat terbuka dan mengemukakan pendapat sehingga kebutuhan dan keinginan masing-masing dapat terpenuhi. c. Affection
Dengan adanya afeksi dalam hubungan, masing-masing pasangan akan membuat berbagai cara agar pasangannya dapat tetap nyaman berada di dekatnya. Maka dengan membuat pasangan bahagia, afeksi tersebut dapat dirasakan oleh pasangan masingmasing. d. Relational certainty/security
Di dalam hubungan yang memuaskan, pasangan akan saling berbagi pandangan mengenai masa depan mereka bersama, dan adanya keinginan masing-masing pasangan untuk tetap bersama di masa depan dan adanya ketidakinginan untuk berpisah sehingga hubungan biasanya bertahan lebih lama.
C. TRANSGENDER 1. Definisi Transgender Transgender adalah istilah yang merujuk pada orang-orang yang menampilkan identitas gender yang berbeda dengan jenis kelamin bawaan lahirnya ataupun orang- orang yang mengekspresikan peran gendernya berbeda secara signifikan dengan seperti apa gender tersebut diasosiasikan. Transgender terbagi atas dua jenis yaitu female
Universitas Sumatera Utara

21
to male transgender (FtM), dan male to female transgender (MtF) (IOM, 2011). Di Indonesia, male to female transgender ini lebih akrab disebut dengan waria (STBP,2007).
Dalam DSM IV-TR (2004), gangguan identitas gender pada masa dewasa dimanifestasikan dengan adanya keinginan yang kuat untuk melakukan peran seks lain (dalam hal ini, pria memiliki keinginan untuk melakukan peran seks sebagai perempuan), atau mendapatkan penampilan seks yang berbeda dengan manipulasi hormon dan operasi.
Perroto dan Culkin (1993) juga menungkapkan bahwa transgender adalah individu yang merasakan adanya ketidaksesuaian fisik dan gendernya. Biasanya orang-orang ini merasa adanya perbedaan persepsinya mengenai jenis kelaminnya pada masa kanak-kanak dan pada masa kini
Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa male to female transgender adalah individu dengan seks sebagai seorang lakilaki, akan tetapi memiliki identitas gender sebagai seorang perempuan yang ditampilkan dengan melakukan peran gender sebagai seorang wanita.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Menjadi Transgender Banyak faktor yang berkaitan yang pada akhirnya membuat
seorang laki-laki secara fisik merasakan dan meyakini bahwa dirinya adalah transgender. Money (dalam Nadia, 2005) menyatakan bahwa pada dasarnya abnormalitas seksual diperoleh semenjak orang tersebut
Universitas Sumatera Utara

22
dilahirkan atau dikenal dengan teori congenital dimana abnormalitas seksual seseorang bukan merupakan pengaruh dari luar. Nacke (dalam Nadia, 2005) menyatakan bahwa seseorang mengalami gejala keabnormalan seksualitas saat sudah menginjak usia dewasa, karenanya gejala abnormalitas ini tidak hanya terjadi karena pengaruh lingkungan (acquired) melainkan juga adanya faktor genetik (congenital) yang sudah ada sejak lama dalam diri seseorang.
Sementara itu Davidson, Kring, dan Neale (2004) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memiliki gangguan identitas gender, seperti : a. Faktor biologis
Gangguan identitas gender seperti yang dialami oleh para transgender ini dipengaruhi oleh hormon-hormon dalam tubuh mereka. Tubuh manusia menghasilkan hormon testosteron yang mempengaruhi neuron otak dan berkontribusi terhadap masukulinisasi otak yang terjadi pada area, seperti hipotalamus. Penelitian yang dilakukan oleh McGinley (dalam Davidson, Kring, & Neale, 2004) menemukan bahwa anak laki-laki yang pada masa perkembangan fetalnya tidak dapat menghasilkan hormon yang membentuk penis dan skrotum secara sempurna kemudian tumbuh sebagai perempuan. Yalom, Green, & Fisk (dalam Davidson, dkk., 2004) juga menemukan bahwa anak lelaki yang ibunya pada masa kehamilan menyuntikkan hormon perempuan, anak lelaki tersebut
Universitas Sumatera Utara

23
kemudian cenderung kurang atletis, tidak menyukai permainan yang keras atau berguling-guling diba