Gambaran Optimsime Dalam Hubungan Romantis Pada Male To Female Transgender

BAB II LANDASAN TEORI A. OPTIMISME

1. Definisi Optimisme

  Carver dan Scheier (dalam Snyder, 2003) menyatakan bahwa optimisme merupakan pandangan seseorang mengenai masa depannya.

  Pandangan ini tentu saja pandangan positif tentang hasil yang akan diperoleh di masa depan. Hal serupa juga dinyatakan oleh Carr (2005) yang mengungkapkan konsep mengenai dispositional optimism, yaitu sebuah harapan yang menyeluruh dimana akan terjadi lebih banyak hal-hal baik di masa depan dibandingkan hal yang buruk. Lebih lanjut Carver, Scheier & Weintraub (dalam Snyder,2002) menyatakan bahwa optimisme terkait dengan kecenderungan untuk berfokus pada pemecahan masalah ketika terjadi situasi dibawah tekanan, dan untuk tidak menghindar serta menolak dari masalah yang dihadapi.

  Selligman (2006) mengungkapkan konsep learned helplessness yaitu respon yang pasif dan kecenderungan untuk bereaksi menghindar serta meyakini bahwa apa yang diperbuat tidak berarti apa-apa pada situasi yang berat. Dan adanya konsep explanatory style mengenai bagaimana kita menjelaskan kepada diri kita sendiri kenapa situasi tersebut dapat terjadi. Maka, individu dengan explanatory style yang optimis akan meyakini dirinya bahwa dia mampu dan dapat bertahan agar tidak terjadi learned helplessness.

  11 Melalui penjabaran diatas dapat kita simpulkan bahwa optimisme merupakan keyakinan akan mendapatkan hasil yang baik di masa depan dan kemampuan untuk dapat bertahan menghadapi masalah yang ada.

2. Perkembangan Optimisme pada Individu

  Selligman (2006) mengungkapkan bahwa optimisme berkembang semenjak kecil melalui peran orang tua. Kesehatan mental orang tua, modelling dan reward yang diberikan orang tua saat anak mengembangkan sikap optimis akan membentuk optimisme pada anak.

  Saat anak mengalami kegagalan, peran orang tua untuk menanamkan nilai bahwa kegagalan tersebut dikarenakan faktor dari luar bukannya dari dalam diri anak sangat diperlukan. Saat anak mengalami kegagalan, orangtua harus mampu mendorong anak untuk tidak berputus asa dan tetap tekun dalam menggapai keinginannya. Individu optimis lebih mungkin muncul dari keluarga dimana orangtua tidak memiliki depresi.

  Pada keluarga yang memiliki trauma atau kesehatan mental yang buruk, anak cenderung tumbuh menjadi individu yang pesimis.

  Oangtua yang sering mengkritik kegagalan anak juga akan mengembangkan anak tersebut menjadi pesimis. Anak juga akan menjadi individu yang pesimis saat mengalami abuse atau penolakan dari orangtuanya. Anak yang sejak kecil sudah mengalami trauma akan tumbuh menjadi individu yang depresi. Hal ini bisa diatasi jika mereka memiliki hubungan yang dapat mendukung mereka (Selligman, 2006).

  Optimisme pada masa dewasa biasanya ditandai dengan pencapaian prestasi yang memuaskan, baik di sekolah maupun di tempat bekerja. Selain itu, individu dewasa yang optimis juga memiliki kehidupan keluarga yang baik. Orang-orang optimis juga memiliki ikatan sosial yang baik dengan orang lain, dan lebih toleransi dengan orang lain (Selligman, 2006).

  Carver, Scheier, dan Segerstrom (2010), menyatakan bahwa optimisme dalam diri seseorang juga dipengaruhi oleh kegagalan masa lalu. Biasanya individu yang melihat kegagalannya dalam sudut pandang negatif akan cenderung menghambat optimisme dalam dirinya.

  Lebih lanjut, Carver., dkk (2010) menyatakan bahwa dukungan sosial mampu mengembangkan optimisme dalam diri seorang individu. Saat individu dapat merasakan dukungan dari orang – orang, dia akan lebih yakin untuk dapat bertahan dalam situasi – situasi sulit.

  Saat dukungan sosial ini tidak dapat dirasakan oleh individu, maka hal ini akan menghambat perkembangan optimisme dalam diri individu.

  Optimisme yang berkembang dalam diri seseorang akan memengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka. Conversano, Rotondo, Lensi, Vista, Arpone, & Reda (2010) menemukan bahwa individu optimis lebih mampu untuk mengatasi distress dalam kehidupannya sehingga cenderung terbebas dari gangguan- gangguan mental. Bukan hanya gangguan mental, individu yang optimis juga cenderung lebih sehat secara fisik karena optimisme mampu meningkatkan kekebalan sistem imun sehingga individu lebih mampu untuk bertahan dari penyakit - penyakit fisik.

  Selain berpengaruh terhadap kesehatan mental dan kesehatan fisik, optimisme juga berpengaruh pada kehidupan sosial individu tersebut.

  Individu optimis kemudian mampu menjalin hubungan sosial yang sehat bukan hanya hubungan sosial secara umum, juga hubungan sosial yang lebih intim, misalnya dalam hubungan romantis (Carver, dkk., 2010) Intinya adalah, optimisme terbentuk melalui penilaian individu mengenai apakah dirinya bernilai atau tidak. Perasaan bernilai berasal dari pengakuan individu terhadap dirinya dan dukungan dan penghargaan dari orang lain (Selligman, 2006).

3. Karakteristik Individu Optimis dan Individu Pesimis

  Individu yang optimis dan individu pesimis biasanya menampilkan perbedaan baik dari cara berfikir maupun bertingkah laku. Perbedaan ini lebih lanjut dikemukakan oleh Carver dan Scheier (dalam Snyder, 2002) sebagai berikut :

  a. Individu yang optimis selalu mengharapkan hasil yang baik akan terjadi pada mereka meskipun keadaan terlihat sulit. Pada situasi yang sulit, individu yang optimis cenderung percaya diri dan bertekun walaupun kemajuan terasa lambat dan percaya bahwa kesulitan tersebut dapat diatasi, dan berfokus untuk perencanaan di masa depannya dan tidak mau terlarut pada masa lampau yang menyakitkan. Individu optimis juga biasanya memiliki perasaan- perasaan yang positif. Individu pesimis memperkirakan akan terjadi hal buruk pada mereka, selalu merasa ragu-ragu dan cenderung berfokus pada kejadian-kejadian tidak menyenangkan di masa lalu. Individu yang pesimis biasanya memiliki perasaan negatif terkait keyakinan tersebut misalnya cemas, marah, sedih, putus asa dan merasa bersalah.

  b. Saat menghadapi masalah, individu optimis menggunakan strategi problem-focused coping dimana mereka aktif dan berfokus untuk memecahkan masalah dan dapat mengontrol masalah dengan menggunakan berbagai cara, mampu hal-hal buruk yang terjadi pada mereka, melihat sisi baik dari peristiwa tersebut, dan mendapatkan pelajaran dari situasi yang buruk. Berbeda dengan individu optimis, saat dihadapkan dengan masalah individu pesimis menggunakan emotional-focused coping dimana mereka berfokus pada emosi mereka dan lebih memilih untuk menghindari masalah yang ada baik dengan tidur, makan, dan mabuk-mabukan, dan menyangkal kenyataan bahwa mereka sedang terlibat dalam situasi yang buruk.

4. Optimisme dalam Hubungan Romantis

  Carver, Scheier, dan Segerstrom (2010) menyatakan bahwa optimisme merupakan sumber daya yang baik dalam hubungan, baik hubungan secara luas maupun hubungan yang lebih intim misalnya hubungan romantis. Hal ini dikarenakan bahwa orang akan lebih menyukai orang lain yang dapat mengungkapkan harapan-harapan yang positif tentang masa depan, dan cenderung menolak orang yang memiliki keyakinan negatif. Selain itu, orang optimis cenderung melihat segala sesuatu dalam pandangan positif, sehingga akan lebih puas dalam hubungannya meskipun hubungan tersebut tidak sempurna.

  Angelo & Srivasta (2009) menyatakan bahwa oprimisme bersifat global yang artinya optimisme dimanifestasikan dalam berbagai keyakinan, waktu, situasi dan domain kehidupan. Optimisme secara global juga dikaitkan dengan hasil interaksi sosial yang positif. Salah satunya adalah hubungan romantis atau berpacaran. Di dalam hubungan berpacaran, optimisme dibangun oleh adanya perceived support. Perceived support adalah keyakinan bahwa pasangan dapat memberikan bantuan dukungan dan kenyamanan saat diperlukan.

  Selain itu, perceived support juga merupakan keyakinan yang persisten dan stabil mengenai perilaku pasangan di masa depan.

  Di dalam hubungan romantis, optimisme mempengaruhi kualitas dukungan yang diberikan dan diterima seorang individu (Angelo & Srivastava, 2009). Orang yang optimis akan meyakini bahwa pasangannya dapat memberikan dukungan yang positif, dan mereka akan mampu menyelesaikan konflik mereka dengan baik. Maka jika individu merupakan individu yang optimis, maka hal itu akan terlihat dalam hubungan romantis, dan pasangan cenderung menunjukkan perceived support saat berpasangan dengan individu optimis, dan perceived support ini nantinya akan mengembangkan optimisme individu dalam hubungan romantis tersebut.

  Optmisme dalam hubungan romantis akan menghasilkan efek yang positif berupa kepuasan yang lebih baik dalam hubungan bukan hanya kepuasan pada individu, melainkan juga kepuasan pada pasangan. Selain itu optimisme juga mengurangi kecenderungan terjadinya konflik yang tak terselesaikan dalam hubungan. Guerrero, Andersen, and Afifi (2001) mendefinisikan konflik dalam hubungan romantis sebagai ketidak sesuaian antara dua orang yang meyakini bahwa mereka memiliki tujuan yang berbeda. Berkurangnya konflik dalam hubungan romantis terjadi karena individu optimis cenderung menggunakan problem-focused coping saat menghadapi masalah, sehingga individu optimis dan pasangannya dapat menyelesaikan konflik mereka dengan berdiskusi secara terbuka ( Carver, Scheier, dan Segerstrom, 2010). Pada akhirnya, karena adanya kepuasan dan kemampuan menangani konflik yang baik, hubungan dapat bertahan lebih lama (Srivastava, dkk., 2006).

B. HUBUNGAN ROMANTIS

1. Definisi Hubungan Romantis

  DeGenova (2008) mengungkapkan bahwa hubungan romantis atau berpacaran adalah proses dimana ada dua orang bertemu dan beraktivitas bersama untuk saling mengenal satu sama lain.

  Lebih lanjut, Hurlock (1998) menyatakan bahwa dalam hubungan romantis terjadi proses memilih pasangan hidup merupakan salah satu tugas perkembangan individu saat dia memasuki masa dewasa awal. Hal ini juga disebutkan oleh Erickson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001) bahwa individu yang memasuki masa dewasa akan berusaha untuk membangun keintiman dengan orang lain, sebab apabila individu gagal membangun keintiman, maka individu tersebut akan terisolasi dengan lingkungannya.

  Saxton (dalam Bowman & Spainer, 1978) menggambarkan hubungan romantis sebagai sebuah istilah yang digunakan masyarakat untuk menggambarkan sebuah perencanaan kegiatan, termasuk di dalamnya adalah melakukan aktifitas bersama antar dua orang yang biasanya belum menikah dan berjenis kelamin berbeda. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hubungan romantis adalah proses dimana dua orang individu beraktivitas dan berkomitmen untuk bersama dan membangun keintiman sebagai langkah dalam memilih pasangan hidup.

2. Kepuasan dalam Hubungan Romantis

  Kepuasan dalam hubungan romantis adalah evaluasi interpersonal mengenai sisi positif pasangan, dan apakah pasangan memberikan ketertarikan dalam hubungan (Bunk & Rusbult,1993). Myers & Diane (dalam Harvey & Pauwels,1999) menyatakan bahwa individu yang merasakan kepuasan dalam hubungan romantisnya akan lebih bahagia, lebih sehat dan dapat hidup lebih lama. Lebih lanjut, Miller dan Tedder (2011) mengemukakan beberapa indikator untuk melihat apakah kepuasan dalam hubungan romantis sudah tercapai, yaitu: a. Good quality of communication

  Di dalam hubungan yang pasangannya dapat saling berinteraksi secara santai dan menyenangkan serta saat pasangan tersebut dapat menjadi pendengar yang baik, maka hubungan tersebut akan memuaskan masing-masing pasangan komunikasi yang baik juga nantinya akan membuat mereka dapat menangani konflik dengan baik. b.Conflict resolution

  Pada hubungan yang memuaskan atau berhasil, konflik biasanya dihadapi dengan komunikasi yang terbuka dan membangun. Konflik akan diselesaikan dengan persetujuan dari kedua belah pihak dan memberikan pelajaran kepada pasangan.

  Namun, pada hubungan yang tidak sehat, pasangan cenderung menghindari atau mengurangi konflik. Padahal, penyelesaian konflik akan membuat masing-masing pasangan lebih dapat terbuka dan mengemukakan pendapat sehingga kebutuhan dan keinginan masing-masing dapat terpenuhi.

  c. Affection Dengan adanya afeksi dalam hubungan, masing-masing pasangan akan membuat berbagai cara agar pasangannya dapat tetap nyaman berada di dekatnya. Maka dengan membuat pasangan bahagia, afeksi tersebut dapat dirasakan oleh pasangan masing- masing.

  d. Relational certainty/security Di dalam hubungan yang memuaskan, pasangan akan saling berbagi pandangan mengenai masa depan mereka bersama, dan adanya keinginan masing-masing pasangan untuk tetap bersama di masa depan dan adanya ketidakinginan untuk berpisah sehingga hubungan biasanya bertahan lebih lama.

C. TRANSGENDER

1. Definisi Transgender

  Transgender adalah istilah yang merujuk pada orang-orang yang menampilkan identitas gender yang berbeda dengan jenis kelamin bawaan lahirnya ataupun orang- orang yang mengekspresikan peran gendernya berbeda secara signifikan dengan seperti apa gender tersebut diasosiasikan. Transgender terbagi atas dua jenis yaitu female to male transgender (FtM), dan male to female transgender (MtF) (IOM, 2011). Di Indonesia, male to female transgender ini lebih akrab disebut dengan waria (STBP,2007).

  Dalam DSM IV-TR (2004), gangguan identitas gender pada masa dewasa dimanifestasikan dengan adanya keinginan yang kuat untuk melakukan peran seks lain (dalam hal ini, pria memiliki keinginan untuk melakukan peran seks sebagai perempuan), atau mendapatkan penampilan seks yang berbeda dengan manipulasi hormon dan operasi. Perroto dan Culkin (1993) juga menungkapkan bahwa transgender adalah individu yang merasakan adanya ketidaksesuaian fisik dan gendernya. Biasanya orang-orang ini merasa adanya perbedaan persepsinya mengenai jenis kelaminnya pada masa kanak-kanak dan pada masa kini Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa male to female transgender adalah individu dengan seks sebagai seorang laki- laki, akan tetapi memiliki identitas gender sebagai seorang perempuan yang ditampilkan dengan melakukan peran gender sebagai seorang wanita.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Menjadi Transgender

  Banyak faktor yang berkaitan yang pada akhirnya membuat seorang laki-laki secara fisik merasakan dan meyakini bahwa dirinya adalah transgender. Money (dalam Nadia, 2005) menyatakan bahwa pada dasarnya abnormalitas seksual diperoleh semenjak orang tersebut dilahirkan atau dikenal dengan teori congenital dimana abnormalitas seksual seseorang bukan merupakan pengaruh dari luar. Nacke (dalam Nadia, 2005) menyatakan bahwa seseorang mengalami gejala keabnormalan seksualitas saat sudah menginjak usia dewasa, karenanya gejala abnormalitas ini tidak hanya terjadi karena pengaruh lingkungan (acquired) melainkan juga adanya faktor genetik (congenital) yang sudah ada sejak lama dalam diri seseorang. Sementara itu Davidson, Kring, dan Neale (2004) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memiliki gangguan identitas gender, seperti :

  a. Faktor biologis Gangguan identitas gender seperti yang dialami oleh para transgender ini dipengaruhi oleh hormon-hormon dalam tubuh mereka. Tubuh manusia menghasilkan hormon testosteron yang mempengaruhi neuron otak dan berkontribusi terhadap masukulinisasi otak yang terjadi pada area, seperti hipotalamus. Penelitian yang dilakukan oleh McGinley (dalam Davidson, Kring, & Neale, 2004) menemukan bahwa anak laki-laki yang pada masa perkembangan fetalnya tidak dapat menghasilkan hormon yang membentuk penis dan skrotum secara sempurna kemudian tumbuh sebagai perempuan. Yalom, Green, & Fisk (dalam Davidson, dkk., 2004) juga menemukan bahwa anak lelaki yang ibunya pada masa kehamilan menyuntikkan hormon perempuan, anak lelaki tersebut kemudian cenderung kurang atletis, tidak menyukai permainan yang keras atau berguling-guling dibandingkan teman-teman laki- lakinya.

  b. Faktor sosial dan psikologis.

  Reinforcement selama masa pertumbuhan yang diberikan oleh pengasuh dan orangtua akan mempengaruhi perkembangan identitas gender anak. Misalnya ibu yang sering mendandani anak lelakinya dengan pakaian perempuan dan memuji anaknya bahwa anaknya terlihat lebih lucu dan menggemaskan. Reinforcement yang salah yang diberikan oleh lingkungan terhadap anak memberikan kontribusi yang besar terhadap konflik antara anatomi seks dan identitas gender mereka (Zuckerman & Green, dalam Davidson, dkk., 2004).

3. Ciri- Ciri Transgender

  Dalam DSM IV TR, gangguan identitas gender biasanya dapat dilihat melalui ciri-ciri sebagai berikut : a. Adanya identitas yang kuat dan menetap terhadap gender lawan jenis.

  Pada anak-anak, terdapat beberapa ciri, yaitu :

  1. Berulangkali menyatakan keinginan untuk menjadi atau memaksakan dirinya sebagai lawan jenis

  2. Lebih suka memakai pakaian lawan jenis;

  3. Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau terus-menerus berfantasi menjadi lawan jenis;

  4. Lebih suka melakukan permainan yang merupakan stereotip lawan jenis;

  5. Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis Pada remaja dan orang dewasa, simtom-simtom seperti, keinginan untuk menjadi lawan jenis, berpindah ke kelompok lawan jenis, ingin diperlakukan sebagai lawan jenis, keyakinan bahwa emosinya adalah tipikal lawan jenis.

  b. Adanya ketidaknyamanan terhadap seks atau adanya rasa ketidaksesuaian terhadap peran gender seks tersebut

  1. Pada anak-anak, terwujud dalam salah satu hal di antaranya :

  • Pada laki-laki, merasa jijik dengan penisnya dan yakin bahwa penisnya akan hilang seiring berjalannya waktu; tidak menyukai permainan yang biasanya dimainkan anak laki-laki.
  • Pada anak perempuan, menolak untuk membuang air kecil dengan cara duduk; memiliki keyakinan bahwa penis akan tumbuh; merasa tidak suka dengan payudara yang membesar dan menstruasi; merasa benci atau tidak suka terhadap pakaian perempuan yang konvensional.

  2. Pada remaja dan orang dewasa, terwujud dalam salah satu hal diantaranya : keinginan kuat untuk menghilangkan karakteristik jenis kelamin sekunder melalui pemberian hormon dan/atau operasi; yakin bahwa ia dilahirkan dengan jenis kelamin yang salah.

  c. Gangguan ini tidak bersamaan dengan kondisi fisik interseks

  d. Gangguan ini secara klinis menyebabkan distress yang signifikan atau kekurangan dalam hubungan sosial, pekerjaan, atau area keberfungsian yang penting lainnya.

  D. OPTIMISME DALAM HUBUNGAN ROMANTIS PADA MALE TO FEMALE TRANSGENDER Optimisme merupakan keyakinan seorang individu untuk mendapatkan hasil yang positif mengenai sesuatu tujuan di masa depan, dimana individu tersebut dapat bertahan menghadapi masalah yang terjadi dan meyakini bahwa akan ada hasil positif yang didapatkan melalui masalah tersebut (Carver &Scheier, 1985).

  Optimisme pada seseorang terbentuk dari dukungan dan penghargaan orang lain dan keyakinan individu itu sendiri bahwa dirinya bernilai (Selligman, 2006). Optimisme memberikan dampat positif dalam berbagai domain kehidupan seseorang, salah satunya dalam hubungan romantis (Angelo & Srivastava, 2009). Dalam hubungan romantis, optimisme merupakan salah satu sumber daya yang penting (Carver, Scheier, & Segerstorm, 2010), dan berkembang saat individu mendapatkan perceived support dari pasangannya. Individu merasakan perceived support saat dia meyakini bahwa pasangannya dapat memberikan dukungan pada saat dibutuhkan, dan yakin bahwa perilaku pasangannya ini akan persisten di masa depan (Srivastava, dkk., 2006).

  Hubungan romantis merupakan salah satu tugas perkembangan individu yang telah memasuki masa dewasa awal (Hurlock, 1998), tak terkecuali pada male to female transgender. Male to female transgender yang memasuki masa dewasa awal akan membina hubungan romantis sebagai salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan akan cinta seperti individu dewasa lainnya.

  Male to female transgender yang menjalin hubungan romantis dengan pria secara seksual merupakan pasangan homoseksual. Di Indonesia, hal tersebut dianggap melanggar norma agama, sehingga biasanya pasangan tersebut dimarjinalkan dan diberi stigma oleh masyarakat (Oetomo, 2001). Peraturan negara dan agama juga tidak memperbolehkan pasangan ini untuk menikah. Padahal hubungan romantis atau berpacaran adalah proses seseorang menyeleksi pasangan hidupnya sebelum akhirnya menikah (DeGenova, 2008) dan menikah adalah tugas perkembangan yang harus dilalui oleh tiap individu yang sudah mencapai tahap dewasa awal (Hurlock, 1980). Hal ini menjadi stress dan masalah tersendiri bagi transgender tersebut (Green, 2004). Tidak adanya dukungan sosial terhadap hubungan romantis mereka akan memengaruhi optimisme dalam hubungan romantis male to female transgender dan pria ini.

  Pada hubungan romantis, optimisme diasosiasikan dengan hasil yang positif dari hubungannya secara umum, dimana akan menghasilkan hubungan yang dapat bertahan lama, berkurangnya konflik yang tak terselesaikan, dan kemudian menghasilkan hubungan yang memuaskan (Srivasta, dkk., 2006). Ada beberapa indikator yang menunjukkan kepuasan dalam hubungan romantis. Miller dan Tedder (2011) mengungkapkan bahwa komunikasi yang baik dengan pasangan, penanganan konflik yang baik, adanya afeksi yang dapat dirasakan masing-masing pasangan, serta keinginan untuk terus bersama dan mencapai tujuan di masa depan juga akan membuat hubungan terasa lebih memuaskan.

  Menurut Miller dan Tedder (2011) hubungan yang memuaskan juga akan terlihat jika adanya tujuan bersama mengenai masa depan pada pasangan. Dan biasanya tujuan akhir dari pasangan yang menjalin hubungan romantis adalah menikah. Sementara di Indonesia tidak ada legalisasi pernikahan terhadap pasangan male to female transgender dan pria ini. Fenomena ini memunculkan pertanyaan peneliti bagaimana gambaran optimisme seorang male to female transgender terhadap hubungan romantisnya sementara hubungan tersebut mendapatkan stigma dan marjinalisasi dari masyarakat dan adanya tentangan hukum negara dan norma agama mengenai hubungan sejenis antara male to female transgender dan pria tersebut.

E. KERANGKA BERPIKIR

  MEMPENGARUHI : WARIA

  OPTIMISME

  Kebutuhan akan Masalah yang dihadapi : Definisi : kasih sayang

  Efek dalam hubungan Stigma masyarakat -

  Keyakinan positif Tidak bisa menikah romantis - terhadap hasil di masa (Oetomo, 2001) - depan

  Hubungan Romantis (Srivastava, dkk., 2006)

  (Carver & Scheier, dalam Snyder 2002) Wanita Waria Pria

  Kepuasan dalam hubungan, Hubungan yang

  Berkurangnya ditandai dengan: bertahan lama konflik a. Good quality of communication b. Conflict resolution

  c. Affection

  d. Relational certainty/ security (Miller & Teddar, 2011)

  Universitas Sumatera Utara