Gambaran Optimsime Dalam Hubungan Romantis Pada Male To Female Transgender

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada umumnya, cinta merupakan kebutuhan mendasar setiap individu. Individu membutuhkan cinta di setiap rentang kehidupannya. Menurut Horney

  (dalam Hall, Loehlin & Manosevitz, 1985), semenjak lahir setiap orang sudah membutuhkan cinta, dan jika cinta ini tercukupi, maka pada masa dewasa individu tersebut akan dapat bertahan pada situasi yang sulit. Pada masa awal kehidupan, cinta yang diperoleh individu biasanya dari orang-orang terdekat misalnya ibu, tetapi ketika beranjak dewasa, cinta ini diperoleh dari orang-orang dalam pergaulannya misalnya pasangan (Erickson dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001).

  Erickson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001), menjelaskan pada masa dewasa muda, individu berada pada tahapan keintiman melawan isolasi, artinya seorang individu dewasa harus menemukan pasangan agar bisa melakukan kegiatan intim, bukan hanya intim secara seksual, tapi juga intim dalam berbagi sumber daya ekonomi, kegiatan rutin, tanggung jawab, dan tujuan masa depan.

  Pada masa dewasa, kebutuhan akan cinta dari pasangan didapatkan melalui hubungan romantis. Hubungan romantis atau berpacaran merupakan proses dimana ada dua orang bertemu dan beraktivitas bersama untuk saling mengenal satu sama lain dimana salah satu fungsinya adalah sebagai tempat para pasangan untuk melakukan peran gender (DeGennova, 2008).

  1 Pada dasarnya terdapat dua peran gender, maskulin dan feminim. Meskipun demikian, tidak semua orang memiliki gender yang kongruen dengan seks orang tersebut. (Lahey, 2007). Orang-orang ini biasanya disebut transgender, dan terdapat dua jenis transgender yang dikenal, yaitu Female to Male (FtM) transgender, dan Male to Female (MtF) Transgender (IOM,2011). Di Indonesia, biasanya Male to Female (MtF) transgender disebut waria. Menurut Departemen Kesehatan, diperkirakan terdapat sekitar 20.960 hingga 35.300 waria di Indonesia pada tahun 2006 (STBP, 2007).

  Male to Female Transgender merupakan pria yang memiliki identitas gender layaknya seorang wanita (Nadia, 2005). Male to female transgender tidak muncul begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang dimana ada dorongan dalam dirinya yang meyakini bahwa dia terjebak dalam tubuh yang salah (Koeswinarno, 2004). Cass (dalam Baker 2007) juga mengungkapkan bahwa seperti halnya homoseksual, kaum Male to female transgender melewati tahap- tahap yang panjang sebelum akhirnya meyakini bahwa dirinya adalah seorang male to female transgender. Setelah yakin, beberapa male to female transgender ini kemudian melakukan coming out.

  Banyak faktor yang kemudian menyebabkan individu untuk mejadi seorang male to female transgender. Nevid, Ratus, dan Greene (1994) menyebutkan bahwa faktor biologis seperti hormon, faktor behavioristik yang berkaitan dengan penguatan yang salah yang diberikan oleh keluarga atau orang lain mengenai identitas gender, serta faktor sosiokultural seperti budaya yang berlaku mempengaruhi perubahan identitas gender seorang pria sampai akhirnya dia menjadi male to female transgender.

  “kalo dari kecil aku udah biasa, maksudnya gini aku udah senang peralatan perempuan sejak kecil make-up gitu, dan orangtua, abang- abangku juga mendukung… keluarga dukung, tidak pernah terjadi kekerasan atau penekanan-penekanan ga pernah… masa kecil aku waktu aku TK, kelas 1-2 SD yang benar-benar aku itu pure perempuan, rambut panjang pake baju cewek dan itu ke sekolah…..orangtuaku menganggap aku adalah perempuan dan seperti itulah yang diajarkan, justru kalau aku main bermain mainan laki-laki itu dibilang jangan itu mainan laki-laki gitu.” (Komunikasi Personal, 25 Juni 2013)

  Secara orientasi seksual, seorang transgender bisa saja merupakan seorang heteroseksual, homoseksual, bahkan biseksual (IOM, 2011). Pada seorang male to female transgender yang merasa di dalam tubuhnya adalah jiwa seorang perempuan, mereka tidak membatasi ketertarikan seksual hanya pada pria saja.

  Sebagian male to female transgender memiliki ketertarikan pada wanita (Bailey, 2003). Male to female transgender yang memiliki ketertarikan terhadap wanita ini secara pribadi menganggap bahwa mereka adalah pasangan lesbian bukan pasangan heteroseksual. Sementara pada male to female transgender yang memiliki ketertarikan seksual pada pria, menganggap mereka adalah pasangan heteroseksual bukan pasangan gay (IOM, 2011). Pada penelitian ini, peneliti berfokus pada male to female transgender yang memiliki ketertarikan seksual pada pria dikarenakan adanya stigma masyarakat terhadap pasangan ini, dan tidak adanya legalisasi terhadap pernikahan mereka yang kemudian menjadi masalah karena pernikahan merupakan tujuan akhir dari hubungan romantis.

  Seperti yang sudah dikemukakan diatas bahwa setiap individu dewasa membutuhkan cinta dari pasangannya. Umumnya, para male to female transgender tersebut juga memenuhi kebutuhannya akan cinta ini melalui hubungan romantis. Santore (dalam Muryani & Putra 2012) menyebutkan bahwa hubungan romantis merupakan hubungan yang di dalamnya harus perkembangan diri secara bersama-sama serta ikatan yang kuat satu sama lain. Hubungan romantis seperti ini terjadi tidak hanya pada pasangan heteroseksual secara gender, namun juga pada pasangan yang telah mengalami perubahan gender.

  Beck dan Beck-Gernsheim (dalam Muryani dan Putra, 2012) menyatakan bahwa hubungan romantis atau berpacaran merupakan bentuk dukungan sosial bagi individu. Jadi pada saat individu merasakan kecemasan, mereka dapat mencari perlindungan diri melalui komitmen dalam hubungan romantis.

  Hubungan romantis menjadi bentuk dukungan sosial pada male to female transgender karena seperti yang kita ketahui, di Indonesia waria masih mendapatkan diskriminasi dari berbagai aspek. Diskriminasi tersebut mencakup kebebasan mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan, mendapatkan dokumen kewarganegaraan, dan pekerjaan hingga akhirnya kebanyakan mereka menjadi pekerja seks yang mengakibatkan mereka sering terpapar dengan kekerasan dan eksploitasi seksual (Oetomo, dalam Unesco 2011).

  Jika ditinjau secara seksual, pasangan male to female transgender dan pria merupakan pasangan homoseksual. Sementara di Indonesia sendiri pasangan homoseksual masih dianggap tabu oleh masyarakat. Karena jika ditinjau dari norma agama dan norma sosial yang berkembang di Indonesia, pasangan normal pada dasarnya merujuk pada dua jenis kelamin yang berbeda. Sehingga pasangan homoseksual ini masih menjadi pasangan yang termarginalisasi dan sering mendapat stigma dari masyarakat. Sehingga saat mereka berpacaran, mereka tidak dapat secara bebas mengekspresikan kasih sayang mereka seperti pasangan heteroseksual (Oetomo, 2001).

  “dia laki-laki, aku waria yakan, jadi kalo di tempat umum akupun nutup- nutupin dirilah supaya dia jangan malu gitu supaya menjaga dia takutnya nanti orang bilang masa dia pacaran sama bencong kan. Dia nya sih gak masalah, akunya aja yang segan, gimana kan…” (Komunikasi Personal,

  25 Juni 2013) Menurut Rice dan DeGenova (2005), hubungan romantis merupakan proses pemilihan pasangan hidup, dimana tujuan akhir berpacaran tersebut adalah pernikahan. Pada kaum male to female transgender yang homoseksual, pernikahan tentu saja tidak bisa dicapai karena adanya hukum negara dan agama yang menentang pernikahan sejenis (Oetomo, 2001).

  “ yah artinya aku nyalahin negara, kalau kita lebih menyalahkan agama juga terkadang tidak, tidak fair gitu ya. Kenapa ya negara tidak apa ya tidak membuat warga negaranya lebih sejahtera, lebih bahagia, dan lain sebagainya seperti itu. Dengan keputusan warga negaranya gitu, contohnya kayak aku, izinkanlah aku menikah seperti ini walaupun catatan sipil gitu, tapi ya aku juga tidak mau apa dikatakan sebagai warga negara yang sangat egois mementingkan kepentinganku dengan aku yang notabene perempuan secara sosial bukan perempuan biologis, tapi ya itu tadi paling tidak kebahagiaan orang adalah kebahagiaanku ” (Komunikasi Personal, 25 Juni 2013) Saat menjalani proses pacaran, pasangan tidak dapat terlepas dari masalah- masalah yang mungkin dapat menghambat keberhasilan berpacaran. (DeGenova,

  2008) menyatakan beberapa masalah yang dihadapi oleh pasangan antara lain adalah kecemburuan dan ketidaksetiaan terhadap pasangan serta kekerasan dalam berpacaran. Pada pasangan homoseksual terutama pada male to female transgender yang berpacaran juga terdapat masalah yang tidak berbeda. Schifter

  (1998) mendapati bahwa pada male to female transgender, kecemburuan dan ketakutan akan ketidaksetiaan pasangan terhadap dirinya lebih dikarenakan keadaannya yang bukan perempuan secara utuh. Mereka memiliki kecemasan tersendiri bahwa pasangannya akan lebih tertarik pada wanita secara biologis, daripada mereka yang male to female transgender. Belum lagi masalah kekerasan yang mereka dapati saat berpacaran, beberapa male to female transgender malah dieksploitasi oleh pasangannya sendiri untuk menjadi penjaja seks agar dapat menghasilkan uang untuk pasangannya (Oetomo dalam Unesco, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Heintz & Melendez (dalam Eyler & Witten, 2012) juga menyatakan bahwa 41% dari respondennya yang merupakan pasangan gay dipaksa untuk melakukan hubungan seks oleh pasangannya, 21% menerima kekerasan fisik dan 32% menerima kekerasan verbal.

  Sementara itu, pasangan male to female transgender dan pria straight ini walaupun memiliki masalah-masalah seperti layaknya pasangan heteroseksual, mereka mengalami stress yang lebih berat karena harus menghadapi stigma sosial dan marjinalisasi terhadap hubungan romantis mereka (Green, 2004).

  Pasangan yang bukan pasangan heteroseksual biasanya mendapatkan diskriminasi. Tekanan yang mereka dapatkan dari masyarakat tersebut membuat pasangan ini biasanya gagal mempertahankan hubungan dalam jangka panjang (Mills,et al. 2004).

  Menjalin hubungan romantis menjadi wadah bagi individu untuk mengembangkan kepribadian (DeGenova, 2008). Hal ini bisa dicapai jika hubungan tersebut memuaskan. Salah satu hal yang mempengaruhi kepuasan dalam hubungan romantis yaitu adanya optimisme pada individu (Butler, Gross, McGonigal, Richard, dan Srivastava, 2006).

  Optimisme merupakan pandangan yang positif dalam diri seseorang mengenai masa depannya. Orang-orang yang optimis biasanya tidak menghindari keadaan atau masalah-masalah yang datang kepadanya. Dengan adanya optimisme, seseorang akan memiliki kecenderungan untuk bertahan di bawah situasi yang penuh tekanan dan berfokus untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Carver , Scheier & Weintraub, dalam Snyder,2002).

  Selligman (2006) menyatakan bahwa pada dasarnya optimisme sudah berkembang semenjak kecil. Saat masih kecil, perkembangan optimisme sangat dipengaruhi oleh peran orangtua. Saat orangtua mampu mendorong anak untuk tidak mudah berputus asa dan selalu mengakui nilai-nilai positif pada anak, maka anak akan mengembangkan sikap yang optimis. Selain itu, pengakuan individu dan penilaian bahwa dirinya berharga juga akan mengembangkan sikap optimis pada dirinya.

  Menurut Angelo & Srivastava (2009), optimisme bersifat global, yang berarti optimisme dimanifestasikan dalam berbagai situasi dan domain kehidupan manusia, salah satunya adalah hubungan romantis atau berpacaran.

  Dalam hubungan romantis atau berpacaran, optimisme dianggap merupakan hasil dari proses saling menjaga dan meningkatkan dukungan, dan biasanya dimanifestasikan dalam bentuk perceived support. Perceived support adalah keyakinan bahwa pasangannya mampu dan dapat memberikan dukungan pada saat dibutuhkan (Srivastava, dkk., 2006).

  “ aku nganggap ini orang beda, ini orang lain daripada yang lain gitu kan, karena selama aku mengenal laki-laki selain dari dia menganggap bahwa biasa gitu kan waria ngapain eh..eh.. dipacarin gitu. Tapi sama dia aku menemukan kalau aku memang diperlakukan pure perempuan….. biasa kalo laki-laki ketemu transgender atau waria pasti pikirannya adalah jadi aset, aset bulanan gitulah ya, kalo dia enggak kita sama-sama support cari kerja untuk hidup kita” (Komunikasi Personal, 25 Juni 2013)

  Optimisme dalam berpacaran akan membuat hubungan romantis menjadi lebih bahagia dan dapat bertahan dalam jangka panjang. Optimisme memberikan kepuasan dalam hubungan dan mengurangi adanya konflik tak terselesaikan dalam hubungan karena pasangan yakin bahwa konflik tersebut merupakan masalah yang memang harus mereka lewati untuk membuat hubungan mereka menjadi lebih matang yang kemudian akan menghasilkan hubungan yang lebih bertahan lama (Srivastava, dkk., 2006).

  Melalui pemaparan diatas, dengan adanya diskriminasi yang didapatkan oleh male to female transgender tersebut dari lingkungannya, masalah dalam hubungan yang dihadapi oleh male to female transgender dan pasangannya, adanya stigma dan marjinalisasi dari masyarakat terhadap pasangan male to female transgender dan pria, serta adanya larangan untuk menikah pada pasangan tersebut, peneliti ingin melihat bagaimanakah gambaran optimisme dalam hubungan romantis pada waria yang berpacaran dengan pria tersebut?

B. RUMUSAN MASALAH

  Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana gambaran optimisme dalam hubungan romantis waria dengan pria?

  2. Bagaimana efek yang dihasilkan oleh optimisme dalam hubungan romantis waria? C. TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data yang dapat menjelaskan mengenai gambaran optimisme dalam hubungan romantis pada male to female transgender yang berpasangan dengan pria.

  D. MANFAAT PENELITIAN

  1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang psikologi klinis mengenai gambaran optimisme yang berkaitan dengan hubungan romantis atau berpacaran pada male to female transgender, serta untuk menambah pengetahuan dan menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

  2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan memberi pengetahuan baru bagi masyarakat terutama bagi para male to female transgender agar dapat mengembangkan optimisme dalam diri yang kemudian akan memberikan dampak positif dalam hubungan sosial terutama hubungan romantis.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

  Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:

  BAB I : Pendahuluan Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori Bab ini menguraikan tentang tinjaun teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian, diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian.

  BAB III : Metodologi Penelitian Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, subjek penelitian, teknik pengambilan subjek, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur penelitian.

  BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data –data penelitian dari teori yang relevan

  BAB V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian serta saran-saran yang dibutuhkan, baik untuk penyempurnaan penelitian maupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.