Gambaran Penerimaan Diri dan Kondisi yang Mendukungnya pada Male-to-Female Transeksual

(1)

Gambaran Penerimaan Diri dan Kondisi yang Mendukungnya pada Male-to-Female Transeksual

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

RISMA ARYANTI PRATIWI 091301049

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

“Gambaran Penerimaan Diri dan Kondisi yang Mendukungnya pada Male-to-Female Transeksual”

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, September 2013

Risma Aryanti Pratiwi NIM 091301049


(3)

GAMBARAN PENERIMAAN DIRI DAN KONDISI YANG MENDUKUNGNYA PADA MALE-TO-FEMALE TRANSEKSUAL

Risma Aryanti Pratiwi dan Juliana Irmayanti Saragih

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus intrinsik. Data diperoleh dari wawancara mendalam yang dilakukan terhadap seorang male-to-female transeksual yang berdomisili di kota Medan. Penelitian ini menggunakan teori Penerimaan Diri yang di kemukakan oleh Germer (2009) untuk menjelaskan tahapan penerimaan diri yang dilalui partisipan, antara lain: dimulai dari aversion, kemudian curiousity, masuk ke

tolerance, selanjutnya allowing, dan berakhir dengan friendship. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan mampu menerima dirinya. Ia melalui masing-masing tahapan proses penerimaan diri yang telah dikemukakan oleh Germer (2009) dengan berbagai respon yang mengikutinya, baik yang bersifat pro maupun kontra. Tahap pertama ia lalui dengan merasakan penolakan pada dirinya, ditandai dengan perasaan jijik atas penisnya sendiri, tahap kedua ia lalui dengan mempelajari lebih lanjut permasalahan transeksualitasnya seorang diri, tahap

ketiga ia lalui dengan bertahan terhadap gender discomfortnya dengan

mengumpulkan uang untuk melakukan operasi, tahap keempat ia lalui dengan belajar beradaptasi dengan situasi baru yang ia miliki dan berakhir saat ia telah mampu merasa bersyukur atas apa yang telah ia hadapi sebelumnya. Proses tersebut sangat dipengaruhi oleh adanya penerimaan dan dukungan sosial yang diberikan oleh significant others, dimana hal ini membuat proses penerimaan dirinya menjadi lebih mudah untuk dilalui.


(4)

DESCRIPTION OF SELF ACCEPTANCE AND CONDITIONS FAVORABLE TO ACHIEVE IT ON MALE-TO-FEMALE TRANSSEXUAL

Risma Aryanti Pratiwi and Juliana Irmayanti Saragih

Psychology Faculty in University of North Sumatera

ABSTRACT

This research uses qualitative approach with an intrinsic case study as the research method. Data were obtained by conducting in-depth interview to one male-to-female transsexual that lives in Medan. This study used self acceptance theory which proposed by Germer (2009) to describe the process how participant accepted herself. According to Germer (2009), there are five stages of self acceptance, the stages are : start with Aversion, then Curiosity, follow Tolerance, Allowing, and end up with Friendship. The result of the research showed that participant is able to accept herself, she passed all of the self acceptance stages that proposed by Germer (2009) with various response follow, neither pros nor cons response she got because of her transsexuality. She through the first stage by rejected herself where she felt very displeasing with her own penis , and she enter the second stage by trying to figure out about her gender identity without anyone help, at the third stage, she endured her gender discomfort by saving money so she’ll be able to undergo sex reassignment surgery, she enter the forth stage by learns to adapt on her new situation, the self acceptance process she’s been through over when she enter the last stage where she feel very grateful and see hidden value in her predicament. These process highly affected by acceptance and social support which given by her significant others, while these things make herself a better self-acceptant person.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

berjudul “Gambaran Penerimaan Diri dan Kondisi yang Mendukungnya

pada Male-to-Female Transeksual” ini. Adapun salah satu tujuan pembuatan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka sangat sulit untuk menyelesaikan penelitian ini. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.si, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

2. Kakak Juliana. I. Saragih, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah meluangkan waktu, memberikan banyak bantuan, petunjuk, serta semangat pada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Makasih banyak kakak.

3. Ibu Meutia Nauly M.Si, psikolog dan Kakak Rahma Fauzia M.Psi,

psikolog selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan ilmu, saran dan masukan untuk perbaikan penulisan skripsi ini.

4. Bapak Ari Widyanta M.Si, psikolog yang telah memberikan masukan dan

saran tambahan terhadap tata tulis penelitian kualitatif pada skripsi ini.

5. Kakak Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing

akademik selama empat tahun ini.

6. Seluruh staff pengajar dan staff pegawai, serta keluarga besar Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah berbagi waktu dan pengalaman dengan penulis selama berkuliah. Satukan hati untuk Psikologi


(6)

7. Keluarga tercinta. Umi, Buya, Ida, Ita, Opi, Saad, Tante, Om Adi, dek Rasyid, makasih untuk semua doa dan dukungan yang telah diberikan. Penulis sangat bersyukur bisa berada dalam keluarga yang penuh kasih sayang ini. Mbakma loves you guys beyond words!

8. Para sahabat dan teman yang menjadi keluarga kedua penulis, My

Lovelies. Hafiz, Mirna, Indah, Qeny, Pipi, Nana, Aisyah, Yaya, Cecil, Magda, Vera, Jaja, dan teman lainnya. Terima kasih untuk semua waktu, bantuan, dukungan, doa, kebersamaan, dan apapun itu yang udah sama-sama kita laluin semuanya. Risma loves you much!

9. Bunda Reni yang sudah bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini, makasih banyak bun untuk waktu dan semuanya.

10.Keluarga besar stambuk 2009. Penulis bersyukur dan merasa senang bisa menjadi salah satu bagian dari keluarga besar ini.

11.Seluruh pihak yang terlibat dengan penulisan dan penyelesaian skripsi ini yang namanya mungkin tidak sengaja terlewatkan oleh penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna, oleh karena itu penulis sangat terbuka akan kritik dan saran untuk menjadikan skripsi ini lebih baik lagi di kemudian hari. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Medan, September 2013


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LANDASAN TEORI A. Penerimaan Diri 1. Definisi Penerimaan Diri ...16

2. Tahapan Penerimaan Diri ...17

3. Kondisi yang mendukung Proses Penerimaan Diri...18

4. Efek Penerimaan Diri ………...……….22

B. Transeksual 1. Definisi Transeksual …... 23

C. Penerimaan Diri Pada Male To Female Transeksual ... 26

D. Paradigma Teorits ... 30

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ... 31


(8)

C. Partisipan Penelitian ...……… 33

1. Karakteristik Partisipan ... 33

2. Jumlah Partisipan …………... 34

3. Prosedur Pengambilan Partisipan ………... 34

4. Lokasi Penelitian ………..… 35

D. Metode Pengumpulan Data ... 35

E. Alat Bantu Pengumpulan Data ………...…….37

F. Kredibilitas Penelitian ... 39

G. Prosedur Penelitian ………... 41

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 41

2. Tahap Pelaksanaan …………... 43

3. Tahap Pencatatan Data ... 46

H. Metode Analisis Data ... 46

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI A. Analisa Partisipan ... 49

A.1. Identitas Partisipan ... 49

A.2. Observasi ... 52

A.3. Analisa Data ... 59

A.3.1. Gambaran kehidupan partisipan di masa kecil ... 59

A.3.2. Gambaran kehidupan partisipan selama masa Transgender ... 68

A.3.3. Gambaran kehidupan partisipan setelah menjadi Transeksual ... 75

A.3.4. Tahapan Penerimaan Diri ... 84 A.3.5. Kondisi yang mendukung Penerimaan Diri 92


(9)

B. Analisa Significant Others ... 98

B.1. Identitas Diri SO ... 98

B.2. Observasi ... 99

C. Pembahasan ... 101

Rangkuman Hasil Penelitian ... 110

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 115

Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 121


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 ... 44

Tabel 2.1 ... 49

Tabel 2.2 ... 53

Tabel 2.3 ... 54

Tabel 2.4 ... 55

Tabel 2.5 ... 56

Tabel 2.6 ... 57

Tabel 3.1 ... 98

Tabel 3.2 ... 99

Tabel 4.1 ... 110

Tabel 4.2 ... 112


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Paradigma Teoritis ... 30

Gambar 2 Pohon Masalah 1 ... 139


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rekontruksi Data ... 125

Lampiran 2 Pedoman Wawancara ... 141

Lampiran 3 Lembar Observasi ... 143


(13)

GAMBARAN PENERIMAAN DIRI DAN KONDISI YANG MENDUKUNGNYA PADA MALE-TO-FEMALE TRANSEKSUAL

Risma Aryanti Pratiwi dan Juliana Irmayanti Saragih

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus intrinsik. Data diperoleh dari wawancara mendalam yang dilakukan terhadap seorang male-to-female transeksual yang berdomisili di kota Medan. Penelitian ini menggunakan teori Penerimaan Diri yang di kemukakan oleh Germer (2009) untuk menjelaskan tahapan penerimaan diri yang dilalui partisipan, antara lain: dimulai dari aversion, kemudian curiousity, masuk ke

tolerance, selanjutnya allowing, dan berakhir dengan friendship. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan mampu menerima dirinya. Ia melalui masing-masing tahapan proses penerimaan diri yang telah dikemukakan oleh Germer (2009) dengan berbagai respon yang mengikutinya, baik yang bersifat pro maupun kontra. Tahap pertama ia lalui dengan merasakan penolakan pada dirinya, ditandai dengan perasaan jijik atas penisnya sendiri, tahap kedua ia lalui dengan mempelajari lebih lanjut permasalahan transeksualitasnya seorang diri, tahap

ketiga ia lalui dengan bertahan terhadap gender discomfortnya dengan

mengumpulkan uang untuk melakukan operasi, tahap keempat ia lalui dengan belajar beradaptasi dengan situasi baru yang ia miliki dan berakhir saat ia telah mampu merasa bersyukur atas apa yang telah ia hadapi sebelumnya. Proses tersebut sangat dipengaruhi oleh adanya penerimaan dan dukungan sosial yang diberikan oleh significant others, dimana hal ini membuat proses penerimaan dirinya menjadi lebih mudah untuk dilalui.


(14)

DESCRIPTION OF SELF ACCEPTANCE AND CONDITIONS FAVORABLE TO ACHIEVE IT ON MALE-TO-FEMALE TRANSSEXUAL

Risma Aryanti Pratiwi and Juliana Irmayanti Saragih

Psychology Faculty in University of North Sumatera

ABSTRACT

This research uses qualitative approach with an intrinsic case study as the research method. Data were obtained by conducting in-depth interview to one male-to-female transsexual that lives in Medan. This study used self acceptance theory which proposed by Germer (2009) to describe the process how participant accepted herself. According to Germer (2009), there are five stages of self acceptance, the stages are : start with Aversion, then Curiosity, follow Tolerance, Allowing, and end up with Friendship. The result of the research showed that participant is able to accept herself, she passed all of the self acceptance stages that proposed by Germer (2009) with various response follow, neither pros nor cons response she got because of her transsexuality. She through the first stage by rejected herself where she felt very displeasing with her own penis , and she enter the second stage by trying to figure out about her gender identity without anyone help, at the third stage, she endured her gender discomfort by saving money so she’ll be able to undergo sex reassignment surgery, she enter the forth stage by learns to adapt on her new situation, the self acceptance process she’s been through over when she enter the last stage where she feel very grateful and see hidden value in her predicament. These process highly affected by acceptance and social support which given by her significant others, while these things make herself a better self-acceptant person.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

“Born In The Wrong Body” merupakan suatu tema yang diangkat menjadi suatu tajuk permasalahan yang dibahas dalam acara talk show yang dipandu oleh Oprah Winfrey pada tanggal 28 September 2007. Dalam acara tersebut hadir 3 orang narasumber yang termasuk dalam kelompok orang-orang jenis ketiga, yaitu orang-orang yang jenis kelaminnya tidak teridentifikasi sebagai wanita maupun pria, yang selanjutnya akan disebut sebagai transeksual dalam tulisan ini.

Diantaranya adalah Angelika, seorang gadis berusia 21 tahun yang telah menjalani kehidupan 15 tahun pertamanya sebagai anak lelaki. Ia mulai merasakan konflik mengenai identitasnya saat ia masih berusia 3 tahun. Saat anak lelaki lain seusianya mulai tertarik dengan kegiatan olahraga, ia lebih memilih untuk bermain dengan boneka barbie. Saat ia memasuki masa remaja, ia mulai mengetahui mengenai homoseksual dan ia secara tidak sengaja mengira ia merupakan salah satu dari mereka.

Hal yang sama juga dirasakan oleh gadis kecil yang berasal dari California bernama Julia. Sejak kecil ia lebih suka bermain mobil-mobilan dan memakai pakaian anak lelaki. Semakin ia bertambah dewasa, ia menyadari ada sesuatu hal yang salah dari dalam dirinya. Selama 14 tahun, ia menjalani kehidupan menjadi seorang anak perempuan hingga suatu waktu ia mengetahui apa arti dari


(16)

transgender dan ia kemudian memulai perjalanan untuk mengganti identitas melalui beberapa perubahan fisik menjadi Jake.

Baik Angelika maupun Jake mengakui bahwa kehidupan yang mereka jalani tidaklah mudah. Keduanya sering kali mengalami beragam peristiwa yang tidak menyenangkan, mulai dari penolakan yang ditunjukkan oleh keluarga, dijauhi oleh teman-teman di sekolah, hingga usaha percobaan bunuh diri pun pernah mereka berdua lakukan.

Seorang narasumber lain yang hadir dalam acara talk show itu adalah seorang Dokter Spesialis Kandungan bernama Dr. Marci Bowers. Lima belas tahun yang lalu, ia bernama Mark Bowers, seorang dokter yang sukses, suami, dan ayah dari 3 orang anak. Ia mengakui bahwa berdasarkan pengalaman pribadinya untuk bertransisi dari seorang lelaki menjadi perempuan merupakan suatu permasalahan yang begitu sulit. Ia sebenarnya mulai merasakan keanehan saat ia berusia 4 tahun, namun ia lebih memilih untuk menarik diri dan “bersembunyi” dari kenyataan. Ia sengaja memilih jurusan ahli kandungan dan ginekologi, sehingga ia bisa menjadi salah satu bagian dari kehidupan para wanita.

Ia menjalani 40 tahun kehidupannya untuk berusaha denial dari apa yang

sebenarnya ia rasakan hingga sampai pada suatu waktu ia tidak sanggup untuk menahannya kembali. Awalnya ia merasa jika ia dapat hidup seperti lelaki lainnya dengan menikah dan membesarkan anak-anak, maka ia merasa hal itu akan cukup untuk membuatnya bahagia. Namun ternyata hal itu membuatnya merasa seolah-olah membohongi dirinya sendiri, ia merasa tertekan akan hal itu sampai akhirnya ia mulai membicarakan permasalahan itu kepada istrinya. Pada awalnya, istrinya


(17)

menyatakan penolakan atas permintaan suaminya yang meminta izin untuk berganti kelamin, tapi setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya ia menyetujui keinginan suaminya tersebut. Saat ini, setelah 11 tahun menjalani kehidupan menjadi seorang wanita, pernikahan Dr. Bowers dan istrinya masih berjalan dengan baik (dalam acara televisi The Oprah Winfrey Show, diakses secara online).

Fenomena orang-orang transeksual ini merupakan suatu permasalahan

nyata yang tidak dapat ditolak keberadaannya di masyarakat. Merupakan suatu hal yang sangat disayangkan bahwa belum banyak masyarakat yang memaknai seluk-beluk kehidupan kaum transeksual yang sesungguhnya. (Nadia, 2005).

Di Indonesia sendiri, penelitian yang menyinggung mengenai orang-orang transeksual masih minim, sehingga peneliti menemui kesulitan untuk menemukan pandangan budaya timur yang terkait dengan fenomena transeksual itu sendiri. Oleh karena itu, peneliti mencoba menggali data dengan mewawancarai beberapa orang untuk meminta pendapat mereka mengenai kaum transeksual di mata mereka. Adapun kutipan wawancaranya sebagai berikut:

mereka adalah orang-orang yang melanggar kodrat yang telah diberikan oleh Allah. Yang mereka kejar hanya kehidupan duniawai saja. Tapi kadang saya juga merasa kasihan sih sama mereka” – S, 41 tahun, Ibu Rumah Tangga.

Seseorang dikatakan laki-laki atau perempuan ditentukan hanya berdasarkan jenis kelamin, bukan dilihat dari fisiknya maupun psikis, bukan pula dari penampilan dan sebagainya. Ganti kelamin diperbolehkan dalam Islam sepanjang untuk melakukan penyempurnaan. Hukum bagi transeksual adalah haram.” – A, 39 tahun, Ustadz.

“menurut saya, transeksual merupakan orang yang cenderung tidak mensyukuri nikmat Tuhan, tapi dalam menyikapi mereka, kita sebagai manusia yang hidup bermasyarakat tidak perlu menjauhinya, karena


(18)

dalam beberapa point mereka jauh lebih baik daripada para pelaku kriminalitas.” – E, 21 tahun, Mahasiswa.

Berdasarkan beberapa kutipan wawancara diatas, ketiga responden secara umum menyatakan sikap yang cenderung negatif dikaitkan dengan nilai agama dan norma ketimuran. Hal ini semakin mempersulit kehidupan kaum transeksual untuk menjalani kehidupan mereka. Menurut Nadia (2005), negara relatif meletakkan posisi kaum transeksual secara paralel bersama individu yang memiliki penyakit sosial, seperti pelacuran dan kejahatan. Mereka diposisikan sebagai kelompok marjinal yang tidak memiliki atau menghambat pembangunan.

Untuk melihat budaya timur lainnya yang terkait dengan kehidupan transeksual, dalam budaya Malaysia, terdapat satu istilah yang disebut dengan

mak nyah, yaitu orang-orang yang terlahir sebagai pria, namun merasa dirinya adalah seorang wanita. Kehidupan mereka biasanya sangat dipengaruhi oleh budaya dan norma agama. Meskipun banyak dari mereka menyatakan bahwa mereka akan senang atau bahagia jika mereka menjalani operasi pergantian kelamin, namun mereka enggan untuk melakukannya. Mereka percaya jika mereka melakukannya, tak seorang pun akan melaksanakan upacara pemakaman bagi mereka ketika mereka mati, karena mereka tidak dianggap sebagai perempuan dan mereka juga tidak diterima sebagai laki-laki. Beberapa bahkan percaya bahwa jiwa mereka akan mengapung tanpa tujuan ketika mereka mati. Terlebih lagi perilaku cross-dressing di Malaysia dianggap sebagai perilaku yang tidak senonoh dan akan dikenakan sanksi tertentu, mulai dari membayar sejumlah denda, hukuman kurungan (imprisonment), atau keduanya (Teh, 2001).


(19)

Hal seperti itu terjadi dikarenakan kebanyakan dari masyarakat hanya melihat dari kulit luar semata, dan ketidaktahuan mereka atas fenomena tersebut bukannya membuat mereka mencoba belajar tentang apa, bagaimana, mengapa dan siapa melainkan justru melakukan penghukuman dan penghakiman yang sering kali menjurus pada tindakan yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan (Nadia, 2005).

Orang-orang jenis ketiga dalam konteks psikologis termasuk dalam transeksualisme, yakni seseorang yang sejak lahir memiliki jenis kelamin yang jelas dan sempurna, namun secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenisnya (Koeswinarno, 2004).

Transeksual ini sendiri dibagi menjadi dua, yaitu male-to-female

transsexual (laki-laki yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang

perempuan) dan female-to-male transsexual (perempuan yang meyakini bahwa

dirinya sesungguhnya adalah seorang laki-laki). Fokus dalam penelitian kali ini adalah male-to-female transsexual.

Transeksual menurut Carroll (2005) merupakan individu dengan gangguan identitas gender yang umumnya dimulai sejak kecil dimana ia merasa dan meyakini bahwa dirinya adalah jenis kelamin yang berkebalikan dengan keadaannya yang sebenarnya. Perasaan ini terus berlanjut hingga masa dewasa. Hal ini dapat dilihat dari penyataan Angelika berikut :

“Ada suatu waktu saat aku masih kecil dan aku melihat diriku dicermin, aku hanya bisa berharap seandainya aku seorang perempuan, aku tidak mengerti mengapa wujudku lelaki tapi pikiranku mengatakan aku adalah perempuan. Aku merasa sangat bingung.”


(20)

Berdasarkan kutipan pernyataan diatas, Angelika mengalami kebingungan mengenai identitas dirinya sejak ia masih kecil dan ia mulai mempertanyakan siapakah dirinya yang sebenarnya. Menurut Diamond (1997), banyak transeksual yang mulai menerima diri mereka adalah saat ia mampu memasuki periode dimana mereka memiliki informasi yang cukup mengenai diri mereka sendiri, sehingga mereka meyakini hal tersebut dapat memberikan solusi yang tepat atas

ketidaknyamanan gender (gender discomfort) yang mereka rasakan. Dalam

periode ini, mereka terlibat dalam berbagai macam cara dan teknik untuk menguji kebenaran dan melihat apakah mereka dapat menerima sepenuhnya identitas mereka (dalam Devor, 2004).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ellen. D. Riggle dan rekan-rekannya pada tahun 2010 yang melibatkan 61 partisipan transgender dan transeksual menemukan bahwa sekitar 72% mengatakan merasakan perasaan yang amat sangat positif saat menampilkan identitas baru yang mereka miliki, dan 25% melaporkan mereka merasakan agak positif, 3% sisanya mengatakan tidak begitu positif dan tidak ada satupun partisipan yang menyatakan tidak merasakan perasaan positif sama sekali. Ditambahkan lagi oleh Ellen D. Riggle dan rekan-rekannya bahwa menampilkan identitas baru bagi mereka memberikan kesempatan untuk dapat menunjukkan kejujuran (honesty), kebenaran (truth), dan kesatuan dalam diri (unity within yourself).

Honesty dijelaskan oleh Seligman dan Peterson (2004) tidak hanya sebatas mengatakan sesuatu dengan jujur, namun mereka mengartikannya dalam cakupan yang lebih luas lagi. Hal ini merujuk kepada kebenaran yang juga berusaha


(21)

bertanggung jawab atas apa yang ia rasakan dan apa yang ia kerjakan. Hal itu juga mengacu kepada presentasi asli dari diri seseorang kepada orang lain (sering diistilahkan dengan authenticity/ sincerity), dan bagaimana perasaan internal bahwa diri adalah mahluk yang koheren secara moral (disebut dengan istilah

integrity/ unity).

Kejujuran itu sendiri pada dasarnya memiliki banyak dampak yang baik, mulai dari peningkatan perasaan positif karena tidak terbebani dengan kebohongan, dapat lebih terbuka dalam menjalin suatu relasi, dapat menampilkan dirinya secara apa adanya, dan hal baik lainnya (Vaughan, 2007). Namun pada sisi yang lain kejujuran itu sendiri belum tentu memberikan efek yang baik, pada kaum transeksual misalnya, pada saat mereka berusaha menampilkan jati dirinya yang seutuhnya ke hadapan masyarakat, belum tentu masyarakat itu bisa dengan

mudahnya menerima keberadaan mereka. Dalam DSM- IV-TR dikatakan bahwa

salah satu diagnosa penegak kriteria Gender Identity Disorder adalah

menyebabkan distress dan penurunan dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Angelika lainnya :

“Sekolah merupakan tempat yang paling menyengsarakan bagiku, aku dipandang begitu berbeda hanya karena aku lebih feminim dibandingkan anak lelaki lainnya. Aku mengalami ‘panic attack’ dan hal itu membuatku malas untuk bersekolah. Dalam setahun, aku mungkin memiliki sekitar 40 hingga 50 absen”.

Berdasarkan sebuah penelitian oleh Bryan Rodriguez Alegre pada tahun 2006 yang meneliti mengenai kaum transeksual di Filipina, ia menemukan bahwa para partisipan menunjukkan mereka sangat menghargai nilai hidup dan kebahagiannya, keluarga mereka, teman-teman dan bagaimana mereka


(22)

berhubungan. Sangat penting bagi mereka untuk menemukan kebahagiaan. Mereka menginginkan untuk dapat diterima secara terbuka dan tanpa syarat. Dan mereka juga menginginkan agar masyarakat mau melihat dirinya sebagai wanita secara seutuhnya dan tidak memperlakukan mereka secara berbeda hanya karena identitas baru yang mereka miliki.

Menjadi transeksual adalah suatu proses antara ia dengan ruang sosial di mana dirinya hidup dan dibesarkan. Proses ini dilalui dengan berbagai tekanan-tekanan sosial untuk kemudian direspon, sehingga pada akhirnya akan membentuk satu makna kehidupan. Pada kenyataannya, masyarakat tidak mudah menerima keberadaan mereka dan membentuk suatu hubungan sosial dengan orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok transeksual. Kebanyakan dari masyarakat menganggap bahwa kelompok tersebut merupakan suatu ketidaklaziman. Padahal tentunya mereka juga butuh untuk bergaul dan berhubungan dengan orang lain secara sosial. (Koeswinarno, 2004).

Melihat keadaan masyarakat yang seperti itu, pasti tidaklah mudah bagi seorang transeksual untuk membuka diri terhadap masyarakat dan lingkungannya. Kebanyakan dari masyarakat masih menganggap kelompok transeksual merupakan kelompok dari kelas rendah. Kecilnya penerimaan yang diberikan masyarakat cenderung memberikan perilaku diskriminatif di dunia kerja, sehingga para transeksual tidak dapat bekerja secara leluasa dalam sektor yang formal, sehingga banyak dari mereka yang menggantungkan kehidupannya pada sektor yang tidak formal seperti dunia hiburan dan salon (Koeswinarno, 2004).


(23)

Menurut Atmojo (dalam Damariyanti, 2007), kehadiran mereka di keliling kita masih belum sepenuhnya diterima. Tak jarang mereka diperlakukan bagaikan manusia ajaib yang pantas untuk ditertawakan, dihina, dipandang secara sinis dan beragam bentuk penolakan lainnya, bahkan ada sebagian orang yang menganggap mereka adalah “pendosa” yang patut disingkirkan. Selanjutnya bentuk penolakan yang muncul adalah sikap antipati masyarakat. Maka dampaknya adalah mempersempit ruang gerak pergaulan mereka sehari-hari bahkan pada hal-hal yang serius.

Minimnya jumlah komunitas transeksual yang bebas bersuara untuk mempresentasikan kepentingan-kepentingan kaumnya, mempersulit akses para transeksual untuk mendapatkan dukungan sosial, dan kalaupun ada, masyarakat tentu akan mengucilkan keberadaan mereka, padahal tujuan dibentuknya komunitas tersebut adalah untuk mengangkat derajat transeksual dan menghilangkan pandangan masyarakat bahwa mereka adalah manusia yang buruk (Damariyanti, 2007).

Mengingat beragam tekanan yang datang mulai dari dalam diri individu transeksual itu sendiri hingga ke orang-orang sekelilingnya pasti akan sulit bagi mereka untuk dapat menerima keadaan mereka secara seutuhnya. Penerimaan diri

(self-acceptance) sangatlah penting dimiliki oleh setiap individu dalam menjalani kehidupannya, agar dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Hal ini merujuk kepada sejauh mana seorang individu memiliki pandangan positif mengenai siapa dirinya yang sebenar-benarnya (Germer, 2009).


(24)

Menurut Jersild (dalam Hurlock, 1974) seseorang yang mampu menerima dirinya memiliki penilaian realistis dari sumber daya atau kelebihan-kelebihan yang ia miliki, dimana hal tersebut dikombinasikan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri tanpa memikirkan pendapat orang lain. Mereka akan mengakui kelebihan yang mereka miliki sebagaimana mereka mengakui kelemahan mereka namun tanpa menyalahkan dirinya sendiri. Hal ini juga merupakan tanda bahwa adanya proses yang terjadi dalam diri individu yang mengantarkan dirinya kepada suatu pengetahuan dan pemahaman akan dirinya sendiri sehingga ia mampu menerima dirinya secara utuh dan bahagia.

Penerimaan diri tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan harus dikembangkan oleh individu. Menurut Germer (2009), dalam proses perkembangannya, penerimaan diri terjadi dalam beberapa tahap, antara lain :

dimulai dari tahap penghindaran (aversion), kemudian tahap keingintahuan

(curiousity), masuk ke tahap toleransi (tolerance), selanjutnya tahap membiarkan begitu saja (allowing), dan berakhir saat individu mampu mencapai masa dimana ia dapat bersahabat dengan situasi yang dihadapinya, yang disebut dengan tahapan persahabatan (friendship).

Ditambahkan lagi oleh Hurlock (1974) bahwa cara bagaimana seseorang akan menerima maupun menolak dirinya dipengaruhi oleh lingkungan. Hal itu akan terbentuk jika didukung oleh kondisi-kondisi berikut : pemahaman diri yang baik, adanya harapan yang realtistis, tidak adanya hambatan lingkungan, sikap sosial yang menyenangkan, tidak adanya stress emosional, jumlah keberhasilan yang diraihnya, mampu mengidentifikasikan dirinya dengan well-adjusted people,


(25)

perspektif diri yang baik, pola asuh masa kecil yang baik, dan konsep diri yang stabil. Hurlock menegaskan kembali bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki

self-acceptance yang konsisten, dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan sikap orang-orang disekelilingnya.

Kemampuan untuk dapat menerima keadaan diri yang seutuhnya perlu dikembangkan oleh kaum transeksual, karena pada dasarnya transeksualisme itu saja sudah merupakan salah satu jenis gangguan psikologis. Terlebih lagi saat ia tidak dapat menerima dirinya, dikhawatirkan hal tersebut akan merujuk kepada gangguan psikologis lain yang akan semakin menghambat jalan kehidupannya. Peneliti menyadari bahwa untuk mengukur proses bagaimana seorang transeksual mampu menghadapi beragam respon-respon yang bermunculan dari lingkungannya dan melakukan proses penerimaan diri menjadi suatu hal yang jauh lebih kompleks dibandingkan hanya meminta individu itu untuk sekedar memberikan penilaian tentang bagaimana perasaan yang mereka rasakan tentang proses peralihan yang mereka alami tersebut.

Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan diatas membuat peneliti

ingin mengetahui lebih lanjut mengenai transeksual dalam melakukan

self-acceptance atau penerimaan diri atas identitas baru yang dimilikinya tersebut. Dengan kondisi realita masyarakat yang seperti memandang keberadaan mereka dengan sebelah mata, tentu akan mempersulit seorang transeksual untuk dapat mengaktualisasikan dirinya kepada masyarakat. Bagi seorang transgender saja, pasti akan merasakan kesulitan untuk dapat diterima di masyarakat, apalagi kemudian mereka memutuskan untuk berganti kelamin, karena hal itu


(26)

memerlukan pertimbangan dan pemikiran berulang-ulang untuk melakukan operasi pergantian kelamin, sebagaimana yang dikatakan oleh Jake, berikut :

“Saat kecil aku mengira aku adalah seorang Lesbian, hingga suatu waktu aku bertemu dengan seorang teman yang persis seperti diriku sehingga aku mulai menyadari bahwa aku adalah lelaki yang terperangkap dalam tubuh wanita. Aku tidak hanya ingin menjadi seorang pacar, namun menjadi seorang suami, ayah, dan ‘role model’ yang baik untuk kehidupan seseorang. Saat aku memasuki usia 13 aku sudah menyatakan keinginanku untuk menjadi seorang pria seutuhnya kepada orangtuaku dan saat aku berumur 15, aku memulai transisi fisik untuk menjadi seorang Jake, yang diawali dengan mengkonsumsi hormon. Sebelumnya aku selalu mengikat erat payudaraku agar tidak terlihat berbentuk, hingga akhirnya pada usiaku yang ke-16, aku menjalani operasi pengangkatan payudara.”

Selain itu peneliti juga begitu tertarik untuk meneliti mengenai transeksual karena kasus ini sendiri masih jarang sekali terjadi. Tentulah tidak mudah bagi individu yang tadinya adalah seorang pria untuk dapat menerima diri mereka dalam suatu kondisi dimana ia harus menjalani satu fase kehidupan baru menjadi seorang wanita dengan sepenuhnya.

Penelitian ini menjadi begitu penting mengingat masih minim sekali orang yang mau menyinggung soal dunia transeksual dan juga banyak orang yang tidak mengerti dan cenderung menghindari kaum yang tergolong transgender maupun transeksual.

B. Perumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Untuk itu, peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut :


(27)

1. Bagaimana gambaran proses penerimaan diri pada seorang male to female transeksual?

2. Kondisi apa saja yang membantu seorang male to female transeksual untuk menerima dirinya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses

penerimaan diri dan kondisi yang mendukungnya pada seorang male to female

transeksual.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik ditinjau secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, untuk selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat :

a. Memberikan informasi dari sudut pandang psikologis tentang

proses penerimaan diri pada kaum transeksual.

b. Memperkaya khasanah penelitian psikologi tentang kaum

transeksual dan kaitannya dengan kesadaran diri serta pengakuannya kepada orang lain mengenai identitas yang dimilikinya. Mengingat keberadaan mereka masih menjadi pertentangan bagi masyarakat Indonesia.


(28)

d. Memberi kontribusi terhadap pengembangan studi penerimaan diri pada kaum transeksual.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat :

a. Memberikan sumbangan informasi pada masyarakat, keluarga,

lembaga-lembaga, ataupun yayasan yang bergerak dalam bidang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman atas kaum transeksual.

b. Memberikan masukan atau inspirasi kepada kaum transeksual

untuk menyikapi kondisi dirinya dalam menjalani proses penerimaan diri.

c. Memberikan informasi mengenai masalah-masalah dalam proses

penerimaan diri yang sulit dihadapi oleh kaum transeksual, sehingga diharapkan hasil penelitian ini bisa dijadikan bahan intervensi ataupun solusi untuk membantu mereka melakukan proses penerimaan diri.

d. Memberikan informasi mengenai hal-hal apa saja yang dapat

membantu kaum transeksual dalam melakukan penerimaan diri.

E. Sistematika Penulisan


(29)

BAB I : Pendahuluan berisi penjelasan latar belakang permasalahan mengenai proses penerimaan diri pada seorang transeksual, perumusan masalah, tujuan penelitian, menfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori berisi teori-teori kepustakaan yang

digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain, definisi penerimaan diri, tahapan penerimaan diri, faktor-faktor yang mempengaruhi proses penerimaan diri, definisi transeksual dan literatur mengenai transeksual.

BAB III : Metode Penelitian berisi mengenai penjelasan metode

penelitian yang digunakan peneliti, mencakup tentang pendekatan kualitatif, partisipan penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, prosedur penelitian, dan metode analisa data.

BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data yang memuat tentang

pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data-data penelitian dari teori yang relevan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran berisi tentang kesimpulan yang

diperoleh dari penelitian, hasil penelitian serta saran-saran yang dibutuhkan baik untuk penyempurnaan penelitian maupun untuk penelitian-penelitian lanjutan.


(30)

BAB II LANDASAN TEORI

A. PENERIMAAN DIRI A.1. Definisi Penerimaan Diri

Germer (2009) mendefinisikan penerimaan diri sebagai kemampuan individu untuk dapat memiliki suatu pandangan positif mengenai siapa dirinya yang sebenar-benarnya, dan hal ini tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan harus dikembangkan oleh individu.

Sedangkan menurut Hurlock (1974) penerimaan diri adalah sejauh mana seorang individu mampu menyadari karakteristik kepribadian yang dimilikinya dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut. Menurut Jerslid (dalam Hurlock, 1974) seseorang yang mampu menerima dirinya memiliki penilaian realistis dari sumber daya atau kelebihan-kelebihan yang ia miliki, dimana hal tersebut dikombinasikan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri tanpa memikirkan pendapat orang lain. Orang-orang yang mengaku menerima kelebihan yang ia miliki bebas untuk menolak atas apa yang tidak sesuai dengan dirinya dan mengakui segala kekurangannya tanpa menyalahkan dirinya sendiri.

Ditambahkan lagi oleh Hurlock (1974), penerimaan diri menjadi salah satu faktor penting yang berperan terhadap kebahagiaan individu sehingga ia mampu memiliki penyesuaian diri yang baik.

Berdasarkan berbagai definisi yang diuraikan diatas, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa penerimaan diri adalah sikap seorang individu


(31)

yang menunjukkan perasaan mampu menerima dan bahagia atas segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya serta mampu dan bersedia untuk hidup dengan segala karakteristik yang ada dalam dirinya, tanpa merasakan ketidaknyaman terhadap dirinya sendiri.

A.2. Tahapan Penerimaan Diri

Proses seorang individu untuk dapat menerima dirinya tidak dapat muncul begitu saja, melainkan terjadi melalui serangkaian proses secara bertahap. Menurut Germer (2009), tahapan penerimaan diri terjadi dalam 5 fase, antara lain:

1. Penghindaran (Aversion)

Pertama-tama, reaksi naluriah seorang individu jika dihadapkan dengan perasaan tidak menyenangkan (uncomfortable feeling) adalah menghindar, contohnya kita selalu memalingkan pandangan kita saat kita melihat adanya pemandangan yang tidak menyenangkan. Bentuk penghindaran tersebut dapat terjadi dalam beberapa cara, dengan melakukan pertahanan, perlawanan, atau perenungan.

2. Keingintahuan (Curiosity)

Setelah melewati masa aversion, individu akan mengalami adanya rasa penasaran terhadap permasalahan dan situasi yang mereka hadapi sehingga mereka ingin mempelajari lebih lanjut mengenai permasalahannya tersebut walaupun hal tersebut membuat mereka merasa cemas.


(32)

Pada tahap ketiga ini, individu akan menahan perasaan tidak menyenangkan yang mereka rasakan sambil berharap hal tersebut akan hilang dengan sendirinya.

4. Membiarkan Begitu Saja (Allowing)

Setelah melalui proses bertahan akan perasaan tidak menyenangkan telah selesai, individu akan mulai membiarkan perasaan tersebut datang dan pergi begitu saja. Individu secara terbuka membiarkan perasaan itu mengalir dengan sendirinya.

5. Persahabatan (Friendship)

Seiring dengan berjalannya waktu, individu akan mulai bangkit dari perasaan tidak menyenangkan tadi dan mencoba untuk dapat memberi penilaian atas kesulitan tersebut. Bukan berarti ia merasakan kemarahan, melainkan individu dapat merasa bersyukur atas manfaat yang didapatkan berdasarkan situasi ataupun emosi yang hadir.

A.3. Kondisi yang Mendukung Proses Penerimaan Diri

Tidak semua individu dapat menerima dirinya dikarenakan masing-masing orang memiliki ideal self yang lebih tinggi dibandingkan real self yang dimilikinya (Hurlock, 1974). Apabila ideal self itu tidak bersifat realistis dan sulit untuk diraih dalam kehidupan yang nyata, maka hal itu akan menyebabkan frustrasi dan perasaan kecewa (Hurlock, 1974). Lebih lanjut Hurlock (1974) menjelaskan beberapa kondisi yang mendukung seseorang untuk dapat menerima


(33)

diri seorang individu. Kondisi yang mendukung proses penerimaan diri tersebut, antara lain:

1. Pemahaman Diri (Self-Understanding)

Pemahaman diri adalah persepsi tentang dirinya sendiri yang dibuat secara jujur, tidak berpura-pura dan bersifat realistis. Persepsi atas diri yang ditandai dengan keaslian (genuineness); tidak berpura-pura tetapi apa adanya, tidak berkhayal tetapi nyata (benar adanya), tidak berbohong tetapi jujur, dan tidak menyimpang. Pemahaman diri bukan hanya terpaku pada mengenal atau mengakui fakta tetapi juga merasakan pentingnya fakta-fakta (Hurlock, 1974).

2. Harapan yang Realistis (Realistic Expectations)

Harapan yang realistis muncul jika individu menentukan sendiri harapannya yang disesuaikan dengan pemahaman mengenai kemampuan dirinya, bukan harapan yang ditentukan oleh orang lain. Hal tersebut dikatakan realistis jika individu memahami segala kelebihan dan kekurangan dirinya dalam mencapai harapan dan tujuannya (Hurlock,1974).

3. Tidak adanya Hambatan Lingkungan (Absence of Environmental

Obstacle)

Ketidakmampuan untuk meraih harapan realistis mungkin disebabkan oleh adanya berbagai hambatan dari lingkungan. Bila lingkungan sekitar tidak memberikan kesempatan atau bahkan malah menghambat individu untuk dapat mengekspresikan dirinya, maka


(34)

penerimaan diri akan sulit untuk dicapai. Namun jika lingkungan, dan

significant others turut memberikan dukungan, maka kondisi ini dapat mempermudah penerimaan diri seorang individu (Hurlock, 1974).

4. Sikap Sosial yang Menyenangkan (Favorable Social Attitudes)

Tiga kondisi utama yang menghasilkan evaluasi positif terhadap diri seseorang antara lain, tidak adanya prasangka terhadap seseorang, adanya penghargaan terhadap kemampuan-kemampuan sosial, dan kesediaan individu mengikuti tradisi suatu kelompok sosial. Individu yang memiliki hal tersebut diharapkan mampu menerima dirinya (Hurlock, 1974).

5. Tidak Adanya Stress Emosional (Absence of Severe Emotional Stress) Ketiadaan gangguan stress yang berat akan membuat individu dapat bekerja sebaik mungkin, merasa bahagia, rileks, dan tidak bersikap negatif terhadap dirinya. Kondisi positif ini diharapkan membuat individu mampu melakukan evaluasi diri sehingga penerimaan diri yang memuaskan dapat tercapai. (Hurlock, 1974).

6. Jumlah Keberhasilan (Preponderance of Successes)

Saat individu berhasil ataupun gagal, ia akan memperoleh penilaian sosial dari lingkungannya. Ketika seseorang memiliki aspirasi tinggi, maka ia tidak akan mudah terpengaruh oleh penilaian sosial tentang kesuksesan maupun kegagalan. Dia kemudian akan menjadi lebih mudah dalam menerima dirinya sendiri terkait dengan kondisi dimana ia telah


(35)

terpuaskan dengan keberhasilan yang telah dicapainya tanpa memikirkan pendapat lingkungan sosial. (Hurlock, 1974).

7. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik

(Identification with Well-Adjusted People)

Saat individu dapat mengidentifikasikan diri dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik, maka hal itu dapat membantu individu untuk mengembangkan sikap positif dan menumbuhkan penilaian diri yang baik. Lingkungan rumah dengan model identifikasi yang baik akan membentuk kepribadian sehat pada seseorang sehingga ia mampu memiliki penerimanaan diri yang baik pula (Hurlock, 1974).

8. Perspektif diri (Self-Persperctive)

Individu yang mampu melihat dirinya sebagaimana perspektif orang lain memandang dirinya, akan membuat individu tersebut menerima dirinya dengan baik. Dimana hal ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar. Usia dan tingkat pendidikan seseorang juga berpengaruh untuk dapat mengembangkan perspektif dirinya. Sebuah perspektif diri yang baik memudahkan akses terhadap penerimaan diri (Hurlock,1974).

9. Pola Asuh Masa Kecil Yang Baik (Good Childhood Training)

Meskipun penyesuaian diri pada seseorang dapat berubah secara radikal karena adanya peningkatan dan perubahan dalam hidupnya, hal tersebut dianggap dapat menentukan apakah penyesuaiannya dikatakan baik jika diarahkan oleh masa kecilnya. Konsep diri mulai terbentuk sejak masa kanak-kanak sehingga pengaruhnya terhadap penerimaan diri


(36)

seseorang tetap ada walaupun usia individu terus bertambah. Dengan demikian, pola asuh juga turut mempengaruhi bagaimana seseorang dapat mewujudkan penghayatan penerimaan diri. (Hurlock,1974).

10.Konsep Diri yang Stabil (Stable Self-concept)

Individu dianggap memiliki konsep diri yang stabil, jika dalam setiap waktu ia mampu melihat kondisinya dalam keadaan yang sama. Jika seseorang ingin mengembangkan kebiasaan penerimaan diri, ia harus melihat dirinya sendiri dalam suatu cara yang menyenangkan untuk menguatkan konsep dirinya, sehingga sikap penerimaan diri itu akan menjadi suatu kebiasaan (Hurlock, 1974).

A.4. Efek Penerimaan Diri

Hurlock (1974) membagi dampak penerimaan diri menjadi dua kategori: 1. Dalam Penyesuaian Diri (Effects on Self-Adjustment)

Orang yang memiliki penerimaan diri, mampu mengenali kelebihan dan kekurangannya. Ia biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence) dan harga diri (self esteem). Selain itu mereka juga lebih dapat menerima kritik demi perkembangan dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan adanya rasa aman untuk mengembangkan diri ini memungkinkan seseorang untuk menilai dirinya secara lebih realistis sehingga dapat menggunakan potensinya secara efektif.

Dengan penilaian yang realistis terhadap diri, seseorang akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura. Ia juga mampu membuat penilaian diri yang kritis (critical self-appraisals) yang membantunya mengenal dan


(37)

mengoreksi kekurangan yang ada pada dirinya. Selain itu yang paling penting adalah mereka juga merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain.

2. Dalam Penyesuaian Sosial (Effects on Social Adjustments)

Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan pada orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk menerima orang lain, memberikan perhatiannya pada orang lain, memiliki perasaan toleransi terhadap sesama yang dibarengi dengan rasa selalu ingin membantu orang lain, serta menaruh minat terhadap orang lain, seperti menunjukan rasa empati dan simpati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri. Ia dapat mengatasi keadaan emosionalnya tanpa mengganggu orang lain.

B. TRANSEKSUAL B.1. Definisi Transeksual

Transeksual merupakan individu dengan gangguan identitas gender yang umumnya dimulai sejak kecil dimana ia merasa dan meyakini bahwa dirinya adalah jenis kelamin yang berkebalikan dengan keadaannya yang sebenarnya. Kebanyakan dari transesksual mencoba untuk melakukan perubahan dalam

dirinya melalui berbagai macam usaha, mulai dari terapi hormon (hormon


(38)

reassignment surgery) (Koeswinarno, 2004. Carroll, 2005. Sajatovic & Loue, 2008. Reid, 2009)

Dalam Diagnotic and Statistic Manual of Mental Disorder IV-TR (2000) yang digunakan dalam menegakkan diagnosa berbagai gangguan mental, disebutkan ciri utama individu yang mengalami gangguan identitas gender (GIG) adalah mengalami identifikasi cross-gender yang kuat dan menetap, dan merasa bahwa peran gendernya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya. Transeksual ini sendiri dibagi menjadi dua, yaitu male-to-female transsexual (laki-laki yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang perempuan) dan female-to-male transsexual (perempuan yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang laki-laki).

Ditambahkan lagi oleh Carroll (2005) bahwa transeksual merupakan bagian dari kelompok transgender. Dimana kedua istilah itu tidak bisa disamakan. Transgender merujuk kepada orang-orang yang menjalani kehidupannya (sepenuhnya maupun separuh waktu) dalam peran gender yang berlawanan dengan apa yang dimilikinya dan mendapatkan kenyamanan psikososial dengan melakukan hal tersebut. Yang termasuk ke dalam kelompok transgender antara lain :

a. Transeksual : individu yang merasa terperangkap dalam tubuh yang

salah.

b. Transvestite : individu yang melakukan cross-dressing saat melakukan hubungan seksual dengan tujuan mendapatkan kenyamanan psikologis dengan melakukan hal tersebut.


(39)

c. Drag-queens : aktor profesional yang menggunakan pakaian wanita yang gemerlap untuk alasan tertentu. (biasanya mereka merupakan pria

gay)

d. Female impersonators : aktor profesional yang berpakaian seperti wanita untuk alasan hiburan.

Berdasarkan definisi mengenai transeksual diatas, peneliti menyimpulkan bahwa transeksual merupakan individu yang meyakini bahwa dirinya memiliki jenis kelamin yang berkebalikan dengan keadaannya yang sebenarnya dan melakukan usaha-usaha tertentu untuk berubah kepada jenis kelamin yang diinginkannya.

C. PENERIMAAN DIRI PADA MALE TO FEMALE TRANSEKSUAL.

Pada hakikatnya, manusia yang terlahir ke dunia ini hanya diciptakan untuk terbagi ke dalam dua jenis kelamin yang berbeda, yaitu pria dan wanita. Namun ternyata dalam perjalanan hidupnya, sebagian kecil manusia tidak termasuk ke dalam dua kategori tersebut. Mereka disebut sebagai orang-orang jenis ketiga, yaitu orang-orang yaitu jenis kelaminnya tidak teridentifikasi sebagai wanita maupun pria. Menurut Walen dan Roth (dalam Carroll, 2005), organ seksual terpenting berada diantara kedua telinga, yaitu otak. Jadi menurut mereka, jenis kelamin seseorang itu bergantung pada apa yang mereka persepsikan secara pribadi. Jadi bersyukurlah kita jika otak kita mengatakan kita adalah perempuan dan jenis kelamin biologis yang diberikan Tuhan sejalan dengan apa yang kita


(40)

pikirkan. Namun hal tersebut tidaklah terjadi pada orang-orang jenis ketiga tadi. Mereka merasa terperangkap dalam tubuh yang salah.

Orang-orang jenis ketiga itu dalam konteks psikologis termasuk dalam transeksualisme. Transeksual menurut Carroll (2005) merupakan individu dengan gangguan identitas gender yang umumnya dimulai sejak kecil dimana ia merasa dan meyakini bahwa dirinya adalah jenis kelamin yang berkebalikan dengan keadaannya yang sebenarnya, dimana mereka mulai menelusuri mengenai identitas diri mereka sendiri dan perasaan ini terus berlanjut hingga masa dewasa. Transeksual itu sendiri terbagi menjadi dua, yaitu male-to-female transsexual dan

female-to-male transsexual. Fokus penelitian ini merujuk pada male-to-female

transeksual.

Bukanlah perkara yang mudah bagi individu untuk memutuskan hidup menjadi seorang transeksual dimana hal itu memerlukan banyak pertimbangan, baik dari dalam diri sendiri maupun pertimbangan dari orang-orang disekelilingnya. Hal ini dikarenakan merubah sesuatu menjadi hal yang baru bukanlah permasalahan yang mudah, terlebih lagi jika perubahan itu merujuk kepada identitas gender yang sifatnya adalah kodrat yang telah diberikan oleh Tuhan. Hal tersebut akan memicu munculnya respon dari lingkungan sekitar, ada yang pro dan ada pula yang kontra. Kedua respon tersebut akan menyebabkan

distress dan penurunan dalam fungsi sosial dan pekerjaan pada seorang transeksual yang akan berujung kepada penghayatan akan penerimaan diri atas identitas baru yang dimilikinya. Apakah ia dapat menerima atau tidak menerima dirinya dengan seutuhnya.


(41)

Penerimaan diri (self-acceptance) sangatlah penting dimiliki oleh setiap individu dalam menjalani kehidupannya. Hal ini merujuk kepada sejauh mana seorang individu memiliki pandangan positif yang mengenai siapa dirinya yang sebenar-benarnya, dan hal ini tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan harus dikembangkan oleh individu (Germer, 2009).

Penerimaan diri pada male to female transeksual adalah sikap seorang individu yang merupakan seorang transeksual yang berganti kelamin dari seorang pria menjadi seorang wanita, dimana ia menunjukkan perasaan mampu menerima dan bahagia atas segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya serta mampu dan bersedia untuk hidup dengan segala karakteristik yang ada dalam dirinya, tanpa merasakan ketidaknyaman terhadap dirinya sendiri.

Jika dikaitkan dengan kehidupan transeksual, pada fase dimana mereka dapat menerima dirinya dengan apa adanya, hal tersebut diharapkan dapat

memberikan outcome yang baik bagi kehidupan mereka. Mereka pasti dapat

berfungsi dengan baik dan memiliki kesehatan mental yang baik pula. Namun jika mereka tidak dapat menerima dirinya yang telah “terlanjur” beralih ke identitas baru tersebut, maka ia akan mulai mempertanyakan kembali keputusannya untuk merubah jenis kelaminnya itu. Hal itu akan menghasilkan banyak dampak yang tidak baik bagi kesehatan mental individu itu sendiri.

Menurut Germer (2009) seseorang akan melakukan serangkaian tahapan sebagai usaha penerimaan diri melalui 5 tahapan, antara lain : dimulai dari tahap penghindaran (aversion), kemudian tahap keingintahuan (curiousity), masuk ke tahap toleransi (tolerance), selanjutnya tahap membiarkan begitu saja (allowing),


(42)

dan berakhir saat individu mampu mencapai masa dimana ia dapat bersahabat dengan situasi yang dihadapinya, yang disebut dengan tahapan persahabatan (friendship).

Ditambahkan lagi oleh Hurlock (1974) bahwa cara bagaimana seseorang akan menerima maupun menolak dirinya dipengaruhi oleh lingkungan. Hal itu akan terbentuk jika didukung oleh kondisi-kondisi berikut : pemahaman diri yang baik, adanya harapan yang realtistis, tidak adanya hambatan lingkungan, sikap sosial yang menyenangkan, tidak adanya stress emosional, jumlah keberhasilan yang diraihnya, mampu mengidentifikasikan dirinya dengan well-adjusted people,

perspektif diri yang baik, pola asuh masa kecil yang baik, dan konsep diri yang stabil. Hurlock (1974) menegaskan kembali bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki self-acceptance yang konsisten, dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan sikap orang-orang disekelilingnya.

Penerimaan diri sangatlah penting untuk dimiliki dan dikembangkan oleh seorang transeksual mengingat, transeksualisme sendiri sudah merupakan suatu permasalahan psikologis, dikhawatirkan saat seorang transeksual tidak bisa menerima dirinya akan merujuk kepada gangguan psikologis lain yang dapat mempersulit jalan kehidupannya.

Efek penerimaan diri pada seorang transeksual akan membawa pemahaman bahwa ia merasa terpuaskan dengan segala karakteristik yang ada pada dirinya tanpa keinginan untuk menjadi orang lain. Penghayatan penerimaan diri juga akan menuntun kepada kejujuran (honesty), kebenaran (truth), dan


(43)

khawatir saat ingin mengaktualisasikan dirinya ke hadapan masyarakat (Ellen, 2010). Dalam penyesuaian sosial pun, saat seorang transeksual telah mampu menerima dirinya, maka ia akan memiliki kemampuan untuk berfungsi secara sosial dengan lebih baik.


(44)

PARADIGMA TEORITIS

didukung

Tahapan:

1.Aversion

(menghindari situasi transeksualitas)

2.Curiosity

(memperlajari lebis lanjut situasi transeksualitas)

3. Tolerance

(bertahan & berharap gender discomfort segera hilang)

4.Allowing

(membiarkan gender discomfort datang & pergi begitu saja)

5. Friendship

(merasa bersyukur atas situasi transeksualitas)

1.Pemahaman Diri 2.Harapan Realistis 3.Tiada hambatan

lingkungan

4.Sikap sosial yang

menyenangkan

5.Tidak adanya stress berat 6.Memperhitungkan jumlah

keberhasilan

7.Mengidentifikasi model

yang telah menerima dirinya

8.Perspektif diri 9.Pola asuh yang baik 10. Konsep diri yang stabil

Memicu timbulnya respon disekelilingnya MtF FtM Transeksualisme Memutuskan menjadi transeksual

Menerima Tidak

Menerima Penghayatan penerimaan diri?

Pro

Kontra

Menyebabkan distress dan penurunan dalam fungsi

sosial dan pekerjaan

Menyesali keputusannya telah melakukan operasi pergantian kelamin

Dapat berfungsi secara sosial dengan baik


(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam berkaitan dengan gambaran proses penerimaan diri pada seorang male to female

transeksual.

Menurut Poerwandari (2007) penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto rekaman video dan lain-lain. Ditambahkan kembali oleh Poerwandari, bahwa penelitian kualitatif cocok digunakan jika peneliti tertarik untuk memahami manusia dalam segala kompleksitasnya sebagai mahluk subjektif. Maksudnya, melalui pendekatan ini, keunikan partisipan sebagai seorang individu yang berbeda dengan individu yang lain dapat lebih dipahami. Penelitian ini juga bersifat terbuka dan luwes serta berfokus pada kedalaman dan prosesnya, penelitian ini juga cenderung dilakukan dengan jumlah kasus yang sedikit.

Dalam penelitian kualitatif perlu menekankan pada pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata ( Patton dalam Poerwandari, 2007).


(46)

Penelitian ini juga memungkinkan peneliti untuk dapat memahami dan mengerti gejala sebagaimana subjek mengalaminya, memahami proses-proses yang terjadi pada diri individu dan memandang individu dan lingkungannya sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, diharapkan bahwa penelitian ini bisa mendapatkan gambaran utuh dari penghayatan partisipan terhadap situasi yang dialaminya. Penelitian yang menggunakan pendekatan ini mempunyai tujuan untuk mengembangkan pemahaman dan membantu untuk memahami dan mengintepretasikan apa yang ada dibalik suatu kejadian, bagaimana latar belakang pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya dan bagaimana manusia meletakkan makna pada peristiwa yang terjadi. (Poerwandari, 2007).

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti berpendapat bahwa pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang sesuai untuk mengkaji permasalahan penelitian yang dikemukakan sebelumnya, karena penelitian ini mengacu pada penghayatan akan fenomena-fenomena kehidupan subjek dan mengacu pada tujuan penelitian, yaitu untuk mendapatkan gambaran proses penerimaan diri pada seorang male to female transeksual.

Dengan melakukan penelitian kualitatif akan memungkinkan bagi peneliti untuk mendapatkan pemahaman lebih medalam dan memahami bagaimana seorang male to female transeksual menghayati penerimaan dirinya berkaitan

dengan kehidupan bermasyarakatnya. Peneliti juga berharap dengan

menggunakan metode ini, maka peneliti akan mendapatkan pengalaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sehingga dapat menggali


(47)

informasi yang lebih kaya dan mendalam mengenai gambaran proses penerimaan diri pada seorang male to female transeksual.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah studi kasus. Poerwandari (2007) mendefinisikan kasus sebagai fenomena yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi, meskipun batas-batas tersebut tidak terlalu jelas. Kasus antara lain dapat berupa individu, peran, kelompok, bahkan bangsa, keputusan, atau proses. Ia juga menyatakan bahwa dengan menggunakan pendekatan studi kasus, peneliti dapat memperoleh pemahaman yang utuh dan terintegrasi mengenai interelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut.

Secara lebih spesifik, studi kasus pada penelitian ini tergolong studi kasus intrinsik, dimana penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian untuk memahami secara utuh mengenai gambaran proses penerimaan diri pada seorang

male to female transeksual, tanpa dimaksudkan untuk menggeneralisasi ataupun menghasilkan teori atau konsep-konsep tertentu.

C. Partisipan Penelitian 1. Karakteristik Partisipan

Partisipan yang akan digunakan dalam penelitian ini mempunyai kriteria: - Merupakan male to female transeksual.


(48)

2. Jumlah Partisipan

Miles dan Huberman (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa penelitian kualitatif sedikit banyaknya dapat dianalogikan dengan proses penyelidikan (investigasi), tidak banyak berbeda dengan kerja detektif yang harus mendapat gambaran tentang fenomena yang dimilikinya.

Menurut Banister dkk (dalam Poerwandari, 2007), dengan fokusnya pada kedalaman dan proses, penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah partisipan yang besar dan banyak, tetapi pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Pada dasarnya, menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007) jumlah partisipan pada penelitian kualitatif diarahkan kepada kecocokan konteks dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Pada penelitian kali ini, jumlah pastisipan adalah 1 orang saja.

3.Prosedur Pengambilan Partisipan

Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah tehnik sampling ekstrim atau menyimpang. Tehnik sampling ini berfokus pada kasus-kasus yang kaya akan informasi, karena memiliki perbedan dan menampilkan karakteristik khusus dalam aspek-aspek tertentu. Kasus yang tidak biasa atau khusus dianggap menampilkan ciri-ciri ekstrim, dimana dalam penelitian kali ini yang dianggap sebagai kasus unik adalah transeksualisme dari partisipan penelitian. (Poerwandari, 2007).


(49)

4. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di kota Medan dan sekitarnya, sesuai dengan tempat tinggal partisipan penelitian. Pengambilan data dilakukan di rumah partisipan penelitian atau bisa juga berada dimana saja tergantung pada kenyamanan dan keinginan partisipan.

D. Metode Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2007), metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti. Metode pengumpulan data yang utama dipakai oleh peneliti adalah menggunakan teknik wawancara, sedangkankan teknik observasi diperlukan sebagai teknik pelengkap untuk keakuratan jawaban dan kroscek antara verbal dengan ekspresi atau gesture.

• Metode Wawancara

Wawancara adalah percakapan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan yang lain (Banister dkk. dalam Poerwandari, 2007).

Patton (dalam Poerwandari, 2007) membedakan tiga pendekatan dasar wawancara dalam memperoleh data kualitatif yaitu wawancara informal,


(50)

wawancara dengan pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar terbuka.

Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara dengan

pedoman umum yang merupakan bentuk dari in-deep interview untuk

mendapatkan gambaran mendalam mengenai topik yang sedang diteliti. Peneliti membuat pedoman wawancara dengan meliputi pertanyaan-pertanyaan dan

probing yang diharapkan dapat mengarahkan partisipan memberikan informasi yang menghasilkan penemuan-penemuan baru dalam penelitian. Metode ini juga berguna untuk mencegah percakapan tidak terlalu jauh melebar, namun juga tidak menjadi wawancara yang kaku.

Selain menggunakan teknik wawancara, peneliti juga melakukan kegiatan observasi sebagai pendamping wawancara. Tujuan observasi adalah menggambarkan setting yang dipelajari, kegiatan-kegiatan yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Penjelasan itu harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi hal lain yang tidak relevan (Poerwandari, 2007).

Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan secara teliti dan sistematis atas suatu gejala. Observasi perlu dilakukan agar mendapatkan informasi yang bukan berasal dari bahasa verbal partisipan, dan membantu peneliti bersikap introspektif pada penelitian, oleh karena itu, selain menggunakan metode wawancara, metode observasi juga dipakai sebagai pendamping pengumpulan data dalam penelitian ini. Peneliti mengharapkan dapat menangkap


(51)

bahasa non verbal partisipan yang dapat membantu pemahaman lebih mengenai fenomena yang diteliti melalui observasi.

E. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2007) bahwa yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape recorder), pedoman wawancara, pedoman observasi dan alat-alat tulis. Berikut dijabarkan instrumen yang dapat dipakai dalam pengambilan data partisipan dari metode pengambilan data yang telah dipaparkan sebelumnya.

1. Alat Perekam

Poerwandari (2001) menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripsnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulangi kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subjek.

Faktor penunjang terpenting adalah alat perekam itu sendiri, dimana ia dapat berfungsi dengan baik ketika dan setelah proses wawancara agar proses wawancara itu dapat berjalan dengan lancar.


(52)

Peneliti dapat lebih memusatkan perhatian pada partisipan dan data-data yang didapatkan telah tersimpan utuh sehingga memudahkan peneliti untuk menganalisisnya kemudian.

2. Pedoman Wawancara

Peneliti sebelumnya telah menyusun pedoman ataupun panduan wawancara sebelum melakukan pengambilan data melalui wawancara. Pedoman wawancara penting digunakan untuk membuat peneliti fokus pada informasi yang ingin digali dari partisipan. Pedoman wawancara disini disusun berdasarkan teori penerimaan diri.

Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi

daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan telah

dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2007).

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman wawancara ini disusun tidak hanya berdasarkan pada tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai


(53)

teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2007).

3. Lembar Observasi

Lembar observasi diperlukan untuk memudahkan peneliti mengamati bahasa non verbal partisipan yang mengungkapkan informasi yang tidak didapatkan saat percakapan berlangsung. Lembar observasi berisi informasi yang dapat melaporkan segala bentuk bahasa tubuh yang terlihat dari partisipan. Dimana hal ini akan sangat membantu pemahaman analisis data.

4. Alat Tulis dan Kertas untuk Mencatat

Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui perekam dan kertas untuk mencatat berfungsi sebagai data kontrol dan jalannya wawancara dan observasi.

F. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif.

Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif juga terdapat pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan


(54)

mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.

Patton (dalam Poerwandari, 2007) mengungkapkan bahwa langkah-langkah yang digunakan untuk meningkatkan kredibilitas penelitian dapat dilakukan dengan cara :

a. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup pengamatan

objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal lain yang terkait dengan data. Catatan ini sangat penting dalam memudahkan mengembangkan analisis dan interpretasi.

b. Mendokumentasikan data yang terkumpul, proses pengumpulan data

maupun strategi analisisnya secara lengkap.

c. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan penelitian dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk penelitiannya sendiri.

d. Menyertakan partner atau orang-orang yang dapat berperan sebagai

pengkritik yang memberikan saran-saran pembelaan yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti.

e. Melakukan upaya konstan untuk menemukan kasus-kasus negatif:

pemahaman tentang pola dan kecenderungan yang telah diidentifikasi akan meningkat apabila peneliti memberikan perhatian pada kasus-kasus yang tidak sesuai dengan pola umum.


(55)

f. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali data (checking and rechecking) dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berlainan. Peneliti perlu mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis dan mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data.

Pada penelitian ini, hal-hal yang digunakan untuk meningkatkan kredibilitas penelitian yaitu berupa mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup pengamatan objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal lain yang terkait. Peneliti juga mendokumentasikan semua data-data yang terkumpul selama penelitian berlangsung. Selain itu peneliti juga menyertakan partner sebagai pengkritik terhadap analisa yang dilakukan terkait dengan hasil penelitian, dalam hal ini dosen pembimbing berperan sebagai pengkritik. Dan upaya terakhir untuk meningkatkan kredibilitas adalah dengan melakukan

checking-rechecking data saat membuat analisis hasil penelitian.

G. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti mengemukakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, antara lain :

a. Mengumpulkan berbagai fenomena dan informasi yang terjadi di


(56)

Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena dan informasi yang berhubungan dengan penerimaan diri pada male to female transeksual, baik melalui orang-orang sekitar, teman- teman, dosen, artikel, dan internet untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai aspek-aspek psikologi dan hal-hal yang saling berkaitan. Setelah itu peneliti merumuskan masalah yang ingin diteliti sesuai dengan fenomena yang telah diperoleh.

b. Mempersiapkan landasan teori.

Peneliti mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan penerimaan diri, kondisi yang mendukung penerimaan diri dan literatur mengenai male to female transeksual.

c. Menyusun pedoman wawancara.

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

d. Persiapan untuk mengumpulkan data.

Peneliti mencari beberapa orang partisipan yang sesuai dengan kriteria partisipan penelitian yang telah ditentukan, kemudian meminta kesediannya (informed concern) untuk menjadi partisipan.

Alat-alat juga dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data antara lain seperti tape recorder, alat pencatat (kertas dan alat tulis) serta pedoman wawancara dan observasi yang telah disusun.


(57)

Setelah memperoleh kesediaan dari partisipan penelitian, peneliti membuat janji bertemu dengan partisipan dan berusaha membangun rapport yang baik dengan partisipan. Setelah itu, peneliti dan partisipan penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa proses pelaksanaan penelitian, antara lain:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan partisipan. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan maksud memastikan partisipan benar-benar bisa menghadiri sesi wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta partisipan untuk menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa partisipan mengerti dan menyetujui jalannya penelitian, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu, serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian saja.


(58)

Setelah itu, peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.

Adapun jadwal proses tanya-jawab antar peneliti dan partisipan, adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1 Jadwal Kegiatan Wawancara

No Hari/Tanggal Waktu Tempat Kegiatan

1 Jumat/ 8-02-13 15.25 –

16.00

Salon tempat partisipan bekerja

Rapport dengan partisipan

2 Minggu/ 17-02-13 13.00 –

14.00 Salon tempat partisipan bekerja Rapport, penjadwalan, informed concern

3 Selasa/ 5-03-13 11.00 –

12.55

Rumah partisipan

Pertanyaan utama, probing

4 Jumat/ 29-03-13 10.10 –

12.00

Rumah partisipan

Pertanyaan utama, probing,

dan kredibilitas data

4 Sabtu/ 18-05-13 10.20 –

12.40

Rumah partisipan

Pertanyaan utama, probing,


(59)

dan kredibilitas data

5 Rabu/ 22-05-13 19.50 –

20.40

Rumah makan dekat rumah partisipan

Wawancara terhadap

significant others

6 Minggu/ 25-08-13 15.00 –

16.25

Rumah partisipan

Closing

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip

verbatim.

Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan menuliskan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dibuat dengan tujuan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi


(60)

yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan partisipan penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam kaset rekaman yang dipindahkan ke dalam bentuk tulisan di atas kertas.

H. Metode Analisis Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), antara lain :

a. Koding

Koding adalah proses membubuhkan pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasi data secara


(61)

lengkap dan mendetail sehingga dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari.

Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhir penelitilah yang berhak dan bertanggung jawab memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya.

b. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari,2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk:

- memperoleh data yang baik,

- mendokumentasikan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian.

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisaskan adalah data mentah (data lapangan dan hasil rekaman), data yang sudah selesai diproses, data yang sudah ditandai/dibrikan kode-kode khusus dan dokumentasi umum kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

c. Analisis Tematik.

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait


(62)

dengan tema itu atau hal-hal diantara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena, dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

d. Tahapan Interpretasi

Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Proses interpretasi memerlukan distansi (upaya mengambil jarak) dari data, melalui langkah-langkah metodis dan teoritis yang jelas serta memasukkan data ke dalam konteks konseptual yang khusus.


(63)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada Bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi untuk mempermudah pembaca dalam memahami gambaran proses

penerimaan diri pada male-to-female transeksual, maka data akan

dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per subjek. Analisa data akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara.

Pada bab ini juga akan ditemui kode-kode tertentu, seperti “(P.W1.11-17)” yang dimaksudkan bahwa pernyataan tersebut dapat dilihat dan dijumpai pada verbatim partisipan, wawancara pertama, di line 11 sampai 17 di bagian lampiran.

A. ANALISA PARTISIPAN A.1. Identitas Diri Partisipan Tabel 2.1. Identitas Partisipan

Keterangan Partisipan

Nama samaran Bunda Reni

Usia 44 tahun

Pendidikan SMA

Pekerjaan Hair Stylish


(1)

Langkah 4

Dinamika yang dialami Partisipan

1. Gambaran Penerimaan Diri merasa

Friendship

Merasa bersyukur & bahagia telah menjadi

PR seutuhnya

Berhasil memenuhi ideal selfnya sejak kecil

Penerimaan & duksos dari SO bantu proses PD

Berfungsi secara sosial dgn baik Masa

Transeksual

Allowing

Massive pain pasca operasi Belum terbiasa dgn vagina Sempat meragukan

keputusan melakukan operasi

Tidak berlangsung lama karena keinginan yg begitu kuat utk jadi PR

Masa Transgender

Tolerance

Berharap gender discomfort yang dirasakan akan

segera hilang

Bertahan dgn real self

karena blm punya cukup

resources utk operasi

Mulai mengumpulkan sedikit demi sedikit dana utk operasi

Mengalami ambivalesi perasaan

Mulai berteman dgn TrasnGender Mencari info utk

operasi kelamin

Cari duksos diluar rumah

- bertanya pada transG senior - baca buku kedokteran

Senantiasa mendapatkan penolakan dari ayahnya

Self-concept: Real self : Ideal self :

-Frustrasi -Kecewa Menolak dirinya

Jijik dgn penisnya Merasa terjebak ditubuh yg salah

Mempelajari lebih lanjut transeksualitasnya

Tahapan

Penerimaan Diri

Masa Kecil Aversion Curiosity


(2)

2. Kondisi Pendukung Penerimaan Diri

Hanya bermain permainan anak PR Hanya bermain dengan anak PR

Keyakinan diperkuat dgn mimpi akhil baligh Berperilaku feminim

Ibu = sumber duksos terbesar sejak kecil Selama ini hanya bekerja pada org lain

Sejak kecil sudah berminat & bakat di tata rias

Stressor : berkisar dunia pekerjaan Dipandang sbg pembelajaran utk > baik

Kondisi

pendukung

PD

Self-Understanding

Realistic Expectation

Absence of Severe Emotional Stress

Absence of Severe Environmentak Obstacle

Sejak kecil meyakini dirinya adalah PR

Membahagiakan ibu Buka salon sendiri Sejauh ini belum pernah

merasakan stress berat

Sejauh ini belum pernah mengalami reaksi -

Banyakya penerimaan dan duksos dari keluarga, pasangan, lingkungan bantu PD > baik

Terkadang memperhitungkan kembali

kesuksesan yg diraihnya

Jarang dilakukan Tidak ingin terjebak dgn keberhasilan di masa lalu

Mampu menjaga sikap & perilaku layaknya wanita

Penolakan ayah

Punishment atas perilaku feminim Dipindahkan ke luar kota

Terobati dgn adanya pembelaan, perlindungan, & pengertian ibu

Preponderance of Success

Good Childhood Training

Stable Self-Concept

Merasa dapat menerima dirinya dgn stabil

Senantiasa berdoa untuk diberikan ketetapan hati agar tidak menyesali


(3)

PEDOMAN WAWANCARA

Nama samaran

:

Data Demografis

Usia

:

Pendidikan terakhir

:

Pekerjaan

:

Status pernikahan

:

Mulai menyadari identitas gendernya :

Lama hidup menjadi transeksual

:

Adapun pedoman wawancara yang peneliti gunakan dalam penelitin ini, antara lain:

I.

Masa sebelum menjadi seorang Transeksual:

1.

Apa peristiwa khusus yang membuat responden menyadari akan identitas

gender

nya?

2.

Saat responden menyadari identitas

gender

nya, pada siapa saja ia berani terbuka

untuk mengutarakan isi hati?

3.

Bagaimana respon dari orang yang responden percayai sebagai tempat

mengutarakan isi hatinya tersebut?

4.

Bagaimana pengalaman responden dalam mengambil keputusan untuk

berubah menjadi seorang transeksual?

II.

Masa setelah menjadi seorang Transeksual :

1.

Apa saja permasalahan ataupun kendala yang dialami dalam menjalani hidup

sebagai seorang transeksual?


(4)

2.

Bagaimana cara responden menyikapi dan menyelesaikan setiap permasalahan

yang terjadi dalam kehidupan barunya menjadi transeksual?

3.

Bagaimana hubungan responden dengan orang-orang di sekelilingnya di masa

awal “perubahannya”?

4.

Bagaimana respon orang-orang disekelilingnya saat responden mulai

menjalani hidup baru menjadi seorang transeksual?

5.

Bagaimana proses responden menjalani masa penghindaran (

aversion)

terkait

dengan tahapan penerimaan dirinya?

6.

Bagaimana proses responden menjalani masa keingintahuan (

curiousity)

terkait

dengan tahapan penerimaan dirinya?

7.

Bagaimana proses responden menjalani masa toleransi (

tolerance)

terkait

dengan tahapan penerimaan dirinya?

8.

Bagaimana proses responden menjalani masa membiarkan (

allowing)

terkait

dengan tahapan penerimaan dirinya?

9.

Bagaimana proses responden menjalani masa persahabatan (

friendship)

terkait

dengan tahapan penerimaan dirinya?


(5)

LEMBAR OBSERVASI

Partisipan/

Significant Others

Hari/ Tanggal wawancara :

Waktu wawancara

:

Tempat Wawancara

:

Wawancara ke

:

No

Hal yang diobservasi

Keterangan

1.

Penampilan fisik

2.

Setting

wawancara

3.

Sikap selama wawancara

4.

Hal yang mengganggu

jalannya wawancara

5.

Hal yang sering dilakukan


(6)

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Partisipan

Judul Penelitian

: Penerimaan diri pada

male-to-female transsexual

Peneliti

: Risma Aryanti Pratiwi

NIM

: 091301049

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tanpa unsur

paksaan dari siapapun, bersedia untuk berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam

penelitian mengenai penerimaan diri pada

male-to-female transsexual

.

Peneliti telah menjelaskan tentang tujuan dan manfaat dari penelitiannya.

Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi

informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan

dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, Februari 2013