Tingkat kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor

TINGKAT KEMANDIRIAN PETANI DALAM PENGAMBILAN
KEPUTUSAN USAHATANI TANAMAN PANGAN
DI KABUPATEN BOGOR

AMINUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tingkat Kemandirian
Petani dalam Pengambilan Keputusan Usahatani Tanaman Pangan di Kabupaten
Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Aminudin
NIM I351100101

RINGKASAN
AMINUDIN. Tingkat Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan
Usahatani Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh AMIRUDDIN
SALEH dan ANNA FATCHIYA.
Petani tanaman pangan adalah salah satu profesi yang melekat pada seorang
yang melakukan usahatani pangan (padi dan palawija). Memandirikan petani
adalah salah satu langkah penting dalam upaya revitalisasi pertanian dengan
berbasiskan sumber daya petani sebagai pelaku utamanya. Permasalahan pertanian
di Kabupaten Bogor seperti penguasaan lahan yang sempit, pendapatan petani
yang kecil, peralatan produksi yang sederhana, teknologi budidaya yang belum
banyak dipahami, adopsi inovasi yang masih minim, modal usahatani yang
rendah, pengolahan pascapanen dan pengetahuan pemasaran yang masih rendah
menjadi salah satu latar belakang pentingnya kemandirian petani tersebut.
Berdasarkan permasalahan di Kabupaten Bogor, tujuan penelitian adalah: (1)
mendeskripsikan tingkat kemandirian petani dalam pengambilan keputusan

usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor; (2) mendeskripsikan karakteristik
petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten
Bogor; (3) mendeskripsikan kegiatan penyuluhan usahatani tanaman pangan di
Kabupaten Bogor; dan (4) menganalisis faktor-faktor yang berkorelasi dengan
kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di
Kabupaten Bogor.
Pendekatan penelitian adalah kuantitatif, sebagai survei deskriptif
eksplanatori. Populasi penelitian berjumlah 12.838 orang yang berasal dari empat
kelompok tani di Kecamatan, Pamijahan, Cigudeg, Cariu dan Tanjung Sari.
Sampel penelitian ditetapkan menurut rumus Slovin sebanyak 154 orang dan
pengambilan sampel menggunakan metode proportionate simple random
sampling. Data penelitian meliputi data primer dan data sekunder dengan
menggunakan instrumen dan definisi operasional setiap peubah penelitian. Teknik
pengumpulan data secara primer dengan cara penyebaran kuisioner, wawancara,
observasi, dokumentasi dan catatan harian. Data sekunder diperoleh dari arsip
Pemerintah Kabupaten Bogor yaitu buku Kabupaten Bogor dalam angka dan
kecamatan dalam angka serta buku literatur lainnya. Analisis data mencakup
analisis statistik deskriptif berupa frekuensi, presentase, rataan, total rataan skor,
tabulasi silang, dan statistik inferensial berupa analisis koefisien korelasi rank
Spearman (rs). Pengolahan data menggunakan program SPSS for windows versi

19.00. Uji coba kuisioner dilakukan dengan 30 orang responden di luar sampel
penelitian namun memiliki karakteristik yang sama, uji validitas digunakan
product moment correlational Pearson dengan hasil 117 buah pertanyaan yang
valid (rhitung: 0.361> rtabel 0.3) dan uji reliabilitas dengan menggunakan metode
Cronbach Alpha dengan hasil reliabel (rhitung: 0.643;0.887;0.916;0.865 > rtabel 0.60).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tingkat kemandirian petani dalam
pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor dalam
pemenuhan sarana dan prasarana produksi, budidaya, pasca panen tergolong
tinggi kecuali pemasaran yang masih rendah; (2) petani tanaman pangan di
Kabupaten Bogor dicirikan oleh umur yang produktif (rata-rata 47.29 tahun),
tingkat pendidikan formal yang rendah (rata-rata 6.61 tahun), sering mengikuti

kegiatan pendidikan nonformal (penyuluhan) dengan jumlah keikutsertaan 3 kali
dalam tiga tahun terakhir, jumlah anggota keluarga yang sedikit (4 orang),
pengalaman berusahatani masih sebentar (17.10 tahun), penguasaan lahan yang
relatif sempit (4.352.87 m²), berpendapatan rendah (Rp 1.294.737.78/ bulan),
tingkat kekosmopolitan yang diukur dari total jarak tempuh dalam satu tahun
terakhir tergolong dekat (104.13 km) dan motivasi berusahatani yang cukup
tinggi. Adapun secara eksternal, karakteristik petani dicirikan oleh dukungan
kelompok tani, ketersediaan sarana dan prasarana produksi, dukungan lembaga

penyuluhan, dukungan kebijakan pemerintah, dan peran tokoh masyarakat yang
sudah baik, namun dukungan lembaga keuangan dan dukungan sumber informasi
masih rendah; (3) kegiatan penyuluhan petani di Kabupaten Bogor telah
dilaksanakan dengan baik, dicirikan oleh materi penyuluhan, metode penyuluhan,
kompetensi penyuluh, dan interaksi petani dengan penyuluh namun media
penyuluhan masih tergolong kurang baik; dan (4) faktor-faktor yang berhubungan
nyata dengan kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani
tanaman pangan di Kabupaten Bogor adalah: (a) faktor internal petani, yaitu:
pendidikan formal, pendidikan nonformal, pengalaman berusahatani, tingkat
kekosmopolitan, pendapatan petani dan motivasi berusahatani, (b) faktor eksternal
petani, yaitu: dukungan kelompok tani, ketersediaan sarana dan prasarana
produksi, dukungan lembaga keuangan, dukungan lembaga penyuluhan,
dukungan sumber informasi, dukungan kebijakan pemerintah dan peran tokoh
masyarakat, dan (c) faktor kegiatan penyuluhan, yaitu: materi, metode dan media
penyuluhan, kompetensi penyuluh dan interaksi petani dengan penyuluh.
Disarankan hal-hal sebagai berikut: (1) terkait dengan tingkat kemandirian
petani dalam pemasaran produk pertanian yang hasilnya tergolong rendah, maka
penting bagi Pemerintah Kabupaten Bogor untuk membentuk sebuah Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) pertanian guna menyerap, menampung dan
memasarkan hasil pertanian; (2) dukungan lembaga keuangan dan dukungan

sumber informasi pertanian masih rendah, untuk itu Pemerintah Kabupaten Bogor
perlu menginisiasi pembentukan lembaga simpan pinjam di tingkat desa.
Demikian juga diperlukan peningkatan intensitas penyebaran informasi pertanian
misalnya melalui siaran perdesaan di radio dan majalah inovasi pertanian
perdesaan; dan (3) media penyuluhan yang sudah ada, masih belum bervariasi,
perlu bagi penyuluh untuk meningkatkan penggunaan media penyuluhan yang
lebih variatif, misalnya dengan film, video, dan alat peraga lainnya. Terkait
dengan pengadaan alat tersebut, diperlukan anggaran baik melalui dana Anggaran
Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD) ataupun dari swasta.
Kata kunci: kemandirian, penyuluhan, usahatani

SUMMARY
AMINUDIN. The Level of Farmer’s Self Reliance in Making Decision for
Business of Food Crops in Bogor District. Supervised by AMIRUDDIN SALEH
and ANNA FATCHYA.
Food crop farmers is a profession that is known to a person whom doing
food crops (rice and cash crops). Therefore, strengthening the farmer’s selfreliance is one of the important efforts in farmer-resource-based agricultural
revitalization. Problems of agribusiness that have been existed in Bogor District,
such as: small land owned farmers, low farmer income, utilization of simple tools
for crop cultivation, low ability of farmers in applying new agro-technology and

adopting innovation, farmers having low capital for carrying out agribusiness, and
very few knowledge of farmers about postharvest processing and marketing are
the reasons why farmer’s self-reliance in business of food crops is becoming very
important to be increased. Based on the problems in Bogor District, research
objectives are: (1) describing the level of farmers self-relience in making decision
for business of food crops in Bogor District, (2) describing the characteristics of
farmers in making decision for business of food crops in Bogor District, (3)
describing the agricultural extension activities food crops in Bogor District, and
(4) analyzing the factors that related to self-reliance of farmers in making decision
for business of food crops in Bogor District.
Research was carried out based on quantitative approach through descriptive
explanatory survey. Total population of the farmers in studied areas was 12.838
people which have been existed in four farmer groups settled in Sub-districts of
Pamijahan, Cigudeg, Cariu, and Tanjung Sari. Of 12.838 farmers, 154 people
were determined as a number of research samples (respondent) that chose by
using Slovin formula. Method of proportionate simple random sampling was used
for getting the samples. Primary and secondary data were collected by using the
instruments based on an operational definition of each research variable. Primary
data were collected through a survey technique using questionnaires, interviews,
observations and documentations, and some were directly recorded as daily notes.

Secondary data were mainly taken from Local Government of Bogor District, i.e.:
Statistics of Bogor District and of Pamijahan, Cigudeg, Cariu and Tanjung Sari
Sub-districts, and some were cited from several reports. Data analyses were
focused on descriptive statistical analysis consisting of frequency, percentage,
mean value, sum of mean score and cross tabulations and inferential statistical
analysis for determining the coefficient of Spearman rank correlation (rs). SPSS
program for Windows of 19.00 versions was used for data tabulations.
Questionnaire trial was conducted on 30 respondents excluding the determined
samples, but they have the same characteristics; whereas test of validity was
carried out by using the Pearson product moment correlation, from which 117
valid questions (rcalculation: 0.361 > rtable 0.3) were resulted, and test of reliability was
done by using the method of Cronbach Alpha with the reliable results of (rcalculation:
0.643; 0.887; 0.916; 0.865 > rtable 0.60).
Research results showed that: (1) the level of farmer’s self-reliance in
making decisions for business of food crops, particularly in providing

infrastructures and production inputs, food crop cultivation and post-harvest
processing, could be categorized as high, except in marketing which is still low;
(2) the food crop farmers in study areas have several characteristics, as follow: a
productive age with the mean value of 47.29 years, they have low level in formal

education with the mean value of 6.61 years, but they are eager to join with
nonformal education in food crop cultivation through agricultural extension, in
which they had three-times of participation during the last three years, small
family member with the mean value of 4 persons, has little experience in business
of food crops (mean value of 17.1 years), small land tenures (mean value of
4.352.87 m2); low farmer income (mean value of Rp. 1.294.737.78 month-1),
cosmopolitan levels measured from total distance where formerly the farmers
have closely traveled (mean value of 104.13 km), and high motivation in business
of food crops. Externally, characteristics of farmers were showed by the presence
of the support of farmer groups, the availability of infrastructures and production
inputs, the supports of government policies and of institution of agricultural
extensions, and a good role of society leaders but financial institutions and
information resources seems to have still low supports; (3) the activities of
agricultural extension as nonformal education for the farmers have been
implemented well, which are characterized by the presence of educational
materials and methods, educators with good competences, and interaction between
educators and farmers but extension media is relatively poor and it needs to be
improved; and (4) the factors that significantly related to the farmer’s selfreliance in making decisions for business of food crops are as follow: (a) internal
factors of farmers, namely: formal and nonformal educations, experiences in
business of food crops, cosmopolitan level, farmer’s income, and farmer’s

motivation in business of food crops, (b) external factors of farmers, that are:
supports of farmer groups, availabilities of infrastructure and production inputs,
supports of institutions of agricultural extensions and of information resources,
and supports of government policies and of the role of society leaders, (c) factors
of agricultural extension activities, such as: materials, methods, educational
media, educator’s competences, and interaction of educators and farmers.
It is suggested that: (1) related to the level of farmer’self-reliance in the
marketing of agricultural products with low result, it is important for Local
Government of Bogor District should establish agricultural enterprises owned
local government (BUMD) which has the function to absorb, market, and
accommodate agricultural products; (2) financial institutions and agricultural
resources support are low, so Bogor District Government needs to initiate of
savings and loan formation at the village level. Likewise, improvement needed in
the intensity of agricultural information dissemination in the rural areas, for
example through radio broadcasts and magazines rural agricultural innovation;
and (3) counseling of existing media, still varies, it is necessary for the conselour
to increase the use of media education more varied, for example film, video, and
other props. Related to the equipment procurement, either through the budget
funds needed Expenditure Budget and Expenditure (APBD) or from the private
sector.

Keywords: self-reliance, extension, business of food crops

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

TINGKAT KEMANDIRIAN PETANI DALAM PENGAMBILAN
KEPUTUSAN USAHATANI TANAMAN PANGAN
DI KABUPATEN BOGOR

AMINUDIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Aida Vitayala S. Hubeis, MSc

2
Judul Tesis : Tingkat Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan
Usahatani Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor
Nama
: Aminudin
NIM
: I351100101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir H Amiruddin Saleh, MS
Ketua

Dr Ir Anna Fatchiya , MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Siti Amanah, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

3

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini ialah
kemandirian, dengan judul Tingkat Kemandirian Petani dalam Pengambilan
Keputusan Usahatani Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir H Amiruddin Saleh, MS
dan Ibu Dr Ir Anna Fatchiya, MSi selaku pembimbing, serta Prof Dr Aida
Vitayala S. Hubeis, MSc sebagai penguji luar komisi yang telah banyak memberi
saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ahmad
Bastari, Haji Atu, Madjid, Edih, A. Murji, Embay, Haji Qomeri dan anggota dari
kelompok tani Hurip, Cinta Tani, Saluyu, Suka Asih, Darma Bakti, Pringgondani,
Raharja, Subur Tani dan Jati Nunggal yang sudah bersedia menjadi responden dan
banyak memberikan informasi mengenai kehidupan bertaninya. Bapak Rachmat
Yasin (Bupati Kabupaten Bogor), Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan
(Distanhut) Kabupaten Bogor, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan
Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor, Kepala Badan Ketahanan Pangan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BKP5K) Kabupaten Bogor
beserta jajarannya yang sudah banyak membantu dalam menyediakan data-data
penting Kabupaten Bogor. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Istri
dan anak-anak tercinta (Fielda Aisyah, Alif Raihan, Salim Mawla Abi, dan
Abrisam Khairul Umam) yang selalu mendampingi tiap harinya serta seluruh
keluarga besar Bapak Memed dan Ibunda Euis Aminah di Tasikmalaya dan Bapak
Supiandi Sabiham dan Ibunda Lies Kholidah di Bogor yang turut membantu serta
mendoa’kan untuk kesuksesan dan kebahagiaan hidup.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014
Aminudin

xviii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

xvi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Petani dan Kemandirian Petani
Usahatani
Faktor Internal Petani
Umur
Pendidikan Formal
Pendidikan Nonformal
Jumlah Anggota Keluarga
Pengalaman Berusahatani
Penguasaan Lahan
Motivasi Berusahatani
Tingkat Kekosmopolitan
Pendapatan Petani
Faktor Eksternal Petani
Dukungan Kelompok Tani
Ketersediaan Sarana dan Prasarana Produksi
Dukungan Lembaga Keuangan dan Lembaga Penyuluhan
Dukungan Sumber Informasi
Dukungan Kebijakan Pemerintah
Peran Tokoh Masyarakat
Kegiatan Penyuluhan
Materi dan Media Penyuluhan
Metode dan Strategi Penyuluhan
Interaksi Petani dengan Penyuluh
Kompetensi Penyuluh

4
4
7
7
8
8
9
9
9
9
10
10
11
11
11
12
12
12
13
13
14
15
15
16
16

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
Kerangka Pemikiran
Hipotesis

17
17
19

METODE
Disain Penelitian
Populasi dan Sampel
Populasi
Sampel
Waktu dan Lokasi Penelitian
Waktu
Lokasi Penelitian
Data dan Instrumentasi

20
20
20
20
21
22
22
22
23

xix

Data
Instrumentasi
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Validitas Instrumen
Reliabilitas Instrumen
Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum dan Potensi Pengembangan Wilayah
Penelitian
Gambaran Khusus Wilayah Kecamatan
Kecamatan Pamijahan
Kecamatan Cigudeg
Kecamatan Cariu
Kecamatan Tanjungsari
Karakteristik Petani di Kabupaten Bogor
Faktor Internal Petani
Umur
Pendidikan Formal
Pendidikan Nonformal
Jumlah Anggota Keluarga
Pengalaman Berusahatani
Penguasaan Lahan
Tingkat Kekosmopolitan
Pendapatan Petani
Motivasi Berusahatani
Faktor Eksternal Petani
Dukungan Kelompok Tani
Ketersediaan Sarana dan Prasarana Produksi
Dukungan Lembaga Keuangan
Dukungan Lembaga Penyuluhan
Dukungan Sumber Informasi
Dukungan Kebijakan Pemerintah
Peran Tokoh Masyarakat
Kegiatan Penyuluhan
Materi Penyuluhan
Metode Penyuluhan
Media Penyuluhan
Kompetensi Penyuluh
Interaksi Petani dengan Penyuluh
Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan
Usahatani
Pemenuhan Sarana dan Prasarana Produksi
Budidaya
Pasca panen
Pemasaran

23
23
24
28
28
30
31
32
33
33
38
38
39
39
40
40
40
40
41
42
44
44
45
45
46
47
47
47
48
49
49
50
50
51
52
52
53
54
54
55
55
56
57
57
57

xx

Pengujian Hipotesis Penelitian
Hubungan Faktor Internal dengan Kemandirian
Petani dalam Pengambilan Keputusan Usahatani
Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor
Hubungan Faktor Eksternal dengan
Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan
Usahatani Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor
Hubungan Kegiatan Penyuluhan dengan Kemandirian
Petani dalam Pengambilan Keputusan Usahatani
Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor

58

58

61

67

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

70
70
71

DAFTAR PUSTAKA

71

LAMPIRAN

76

RIWAYAT HIDUP

82

xxi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

8
9
10
11
12
13
14

15

16

Populasi penelitian dan jumlah responden
Nama desa, Poktan, luas lahan dan tingkat
kemampuan kelompok
Lokasi penelitian
Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran
faktor internal petani
Indikator, definisi operasional dan parameter pengukuran
faktor eksternal petani
Indikator, definisi operasional dan paramater pengukuran
kegiatan penyuluhan
Indikator, definisi operasional dan parameter pengukuran
tingkat kemandirian petani dalam pengambilan keputusan
usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor
Nilai koefisien Cronbach Alpha hasil uji reliabilitas
Profil wilayah penelitian
Sebaran petani berdasarkan faktor internal
Rataan skor penilaian terhadap faktor eksternal petani
Rataan skor persepsi petani terhadap kegiatan penyuluhan
Rataan skor tingkat kemandirian petani dalam
pengambilan keputusan usahatani
Hubungan antara faktor internal petani dengan
kemandirian petani dalam pengambilan
keputusan usahatani
Hubungan antara faktor eksternal petani dengan
kemandirian petani dalam pengambilan
keputusan usahatani
Hubungan antara kegiatan penyuluhan dengan
kemandirian petani dalam pengambilan
keputusan usahatani

21
22
23
25
26
27

28
31
38
42
48
52
56

59

62

68

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Peta Kabupaten Bogor dan wilayah penelitian
Hasil uji validitas dan reliabilitas
Foto dokumentasi penelitian

77
78
81

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris, sebagian besar penduduknya hidup di
sektor pertanian dan di perdesaan (46%). Menurut Badan Pusat Statistika (BPS),
Tahun 2013 ini Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 115 juta orang.
Kondisi geografis perdesaan yang terdiri dari hamparan lahan-lahan pertanian
menjadi salah satu pendorong bagi warganya untuk hidup menjadi petani. Petani
tanaman pangan adalah salah satu profesi yang melekat pada seorang yang
melakukan usahatani pangan (padi dan palawija). Mereka adalah sekelompok
manusia yang menghabiskan banyak masa hidupnya dalam aktivitas bercocok
tanam dan terkadang menjadi mata pencaharian utama dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Para petani di perdesaan sangat rajin melakukan aktivitas
usahatani karena dengan cara inilah mereka bisa memertahankan hidupnya. Hasil
usahatani bisa dikonsumsi sendiri ataupun dijual untuk memenuhi kebutuhan di
luar pangan. Usaha yang sungguh-sungguh dari pelaku utama pertanian serta
adanya elemen penunjangnya dalam melakukan kegiatan usahatani, berimplikasi
kepada keberhasilan pada sektor pertanian di Indonesia dalam menyediakan
lumbung beras nasional. Terbukti pada tahun 1984 (orde baru), Indonesia dapat
mencapai swasembada beras, bahkan bisa mengekspornya ke luar negeri.
Keberhasilan tersebut bukan diperoleh dengan upaya yang biasa saja dan
tanpa risiko, akan tetapi harus mengorbankan unsur lainnya yaitu kebebasan
dalam menentukan dan berkehendak sendiri (mandiri). Berbagai upaya dilakukan
untuk meningkatkan produksi beras, antara lain melalui pembuatan dan perbaikan
sarana irigasi di berbagai daerah persawahan, pemberian modal bagi masyarakat
petani, penelitian dan penggunaan bibit unggul, serta modernisasi pertanian
melalui teknologi. Inti dari cara ini adalah instruksi presiden yang disalurkan
secara top down ke petani. Sebagai penyalur informasinya dibentuk organisasi
Bimbingan Massal (Bimas) yang melibatkan semua level pemerintahan dari pusat
sampai desa. Di tingkat petani, dibentuk kelompok-kelompok tani yang berfungsi
untuk menjalankan instruksi di lapangan. Peranannya, petani tidak boleh
mengambil keputusan soal produksi. Pemerintah akan memutuskan jenis benih
apa yang akan digunakan, berapa lama waktu tanam, jenis pupuk, pestisida, dan
lain-lain. Kemudian, petani tinggal melaksanakan apa yang diinstruksikan, setelah
diberikan penyuluhan oleh lembaga-lembaga penyuluhan yang dibentuk oleh
Departemen Pertanian.
Lembaga-lembaga penyuluhan bertugas untuk memastikan apakah petani
sudah menjalankan sesuai dengan yang diinstruksikan. Setiap penyuluh harus
memastikan semua petani bimbingannya menjalankan instruksi. Kalau ada petani
yang menentang instruksi pemerintah, misalnya menanam padi jenis lain, maka
aparat keamanan akan “mengamankan”nya. Instruksi ini kemudian tidak hanya
berhenti soal benih dan pupuk, melainkan juga berkenaan dengan pemasaran hasil
pertanian. Untuk mendekatkan petani ke pasar sarana dan hasil produksi
pemerintah mendirikan Koperasi Unit Desa (KUD). Koperasi Unit Desa nantinya
yang akan menyalurkan sarana produksi ke petani sekaligus membeli gabah dari
petani. Tidak hanya itu, ketersediaan sarana produksi serta akses bantuan modal
juga dijamin oleh pemerintah.
Hal inilah yang dilakukan oleh pemerintahan era orde baru untuk mencapai
target swasembada berasnya. Semuanya dikontrol secara ketat. Kegiatan

2

agroindustri hulu (sarana produksi), usahatani (on farm), agroindustri/bisnis hilir
(pengolahan/pemasaran), dan penunjang (penelitian, penyuluhan, pembiayaan)
diintegrasikan secara ketat dalam program Bimas. Secara tidak langsung ini
merupakan suatu konsep yang tidak memberdayakan petani, karena petani tidak
memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan usahataninya. Semuanya
serba diatur dan sangat tergantung kepada apa yang diinginkan oleh pemerintah
sehingga masa kejayaan tersebut tidak bisa dipertahankan sampai sekarang.
Ketika pemerintahan orde baru selesai, petani seperti kebingungan dalam
pengambilan keputusan usahataninya tersebut. Berbagai masalah pun muncul.
petani tidak terbiasa mandiri, akhirnya konsep asal tanam, asal benih, asal mupuk,
kemampuan dalam memasarkan yang kurang, kebingungan mencari tempat
pemasaran yang sesuai, nilai jual pertanian yang rendah dan sebagainya.
Permasalahan di nasional tidak jauh berbeda dengan di Kabupaten Bogor.
Menurut informasi yang disampaikan oleh beberapa narasumber Badan
Ketahanan Pangan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan
(BKP5K) dan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, masalah petani
saat ini di antaranya: (1) Banyaknya petani yang tidak memiliki lahan sendiri
karena sudah dijual dan kalaupun punya kepemilikan lahan di bawah 0.3 ha; (2)
Kesulitan dalam mengakses modal, teknologi, dan informasi; (3) Pemanfaatan
pupuk organik yang belum optimal; (4) Kelompok tani belum memahami
sepenuhnya mengenai teknologi budidaya, dan pemeliharaan tanaman; (5)
Pengolahan hasil-hasil pertanian yang kurang maksimal (on farm); (6) Petani
banyak yang menjual hasil panen ke tengkulak; (7) Sifat fatalistik yang kuat
terhadap profesi petani; (8) Belum optimalnya fasilitasi sarana produksi, finansial
dan kemitraan, serta jejaring pemasaran produk bagi pelaku utama dan pelaku
usaha; (9) Modal usaha tani masih rendah, sehingga ketergantungan terhadap
bantuan pemerintah masih tinggi; (10) belum optimalnya pemenuhan persyaratan
legalitas formal kelas kemampuan kelompok petani/peternak/ pembudidaya/petani
hutan; (11) belum optimalnya hubungan kerjasama dalam transfer inovasi
teknologi dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi, serta koordinasi
pembinaan kelembagaan bersama dengan pemerintahan tingkat kecamatan dan
desa; (12) Belum optimalnya tingkat pembiayaan penyelenggaraan penyuluhan,
khususnya dalam aplikasi metode penyuluhan bagi pelaku utama dan pelaku
usaha; dan (13) Tidak tercapainya beberapa target yang telah ditetapkan, yaitu
ketersediaan pangan utama, produksi ubi jalar, produksi talas, produksi ubi kayu,
produktivitas padi sawah, produktivitas padi gogo, dan produksi pisang.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan ini, Pemerintah Kabupaten Bogor
melakukan gerakan revitalisasi pertanian yang bertujuan untuk penyediaan bahan
pangan. Tujuan ini dicanangkan dalam program Revitalisasi Pertanian dan
Pembangunan Berbasis Perdesaan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor Tahun 2008-2013
khususnya pada misi ke-2 sebagai upaya meningkatkan perekonomian daerah.
Penelitian Mulyandari (2001) menyebutkan bahwa tingkat kemandirian
petani di wilayah Desa Ciherang, Kabupaten Bogor sudah tergolong cukup baik,
dengan beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu karakteristik petani, sistem
sosial dan kinerja penyuluhan. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Fatchiya
(2002) menyimpulkan bahwa tingkat kemandirian petani pada usaha ikan hias
dipengaruhi oleh umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, keterdedahan

3

media massa, berhubungan dengan sumber informasi dan skala usaha. Pada aspek
produksi dipengaruhi oleh keterdedahan dengan media massa, interaksi dengan
sumber informasi dan hubungan kemitraan, dan pada aspek pemasaran
dipengaruhi oleh sumber informasi.
Memandirikan petani adalah salah satu langkah penting dalam upaya
merevitalisasi petani sebagai pelaku utamanya. Sastraatmadja (2006) menyatakan
bahwa makna penting dari revitalisasi petani adalah pemberdayaan dan
pemartabatan, sikap masa lalu yang seolah-olah menyerah kepada nasib sudah
waktunya harus ditinggalkan, dan wawasan petani yang kurang berorientasi ke
masa datang harus pula beralih ke arah cara pandang yang futuristik dan lebih
egaliter. Salah satunya dengan melakukan gerakan-gerakan penyuluhan terhadap
para petani supaya mereka tersadar dan tercerahkan hingga mau berupaya mandiri
dalam segala hal. Hal ini bertujuan agar petani mampu menghasilkan produk
berkualitas yang mampu bersaing dengan produk yang sejenis yang datang dari
berbagai mancanegara. Agar dapat menghasilkan produk yang berkualitas, petani
harus mampu melaksanakan usahataninya secara efektif dan efisien.
Kemandirian petani adalah suatu hal yang penting untuk diteliti, karena
memandirikan petani adalah salah satu bentuk revitalisasi pertanian berbasis
sumber daya manusia (SDM) untuk mempersiapkan dirinya dalam usaha
memajukan sektor pertanian. Kemandirian merupakan sikap individu yang
diperoleh secara kumulatif selama perkembangannya, dimana individu akan terus
belajar untuk bersikap dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungannya,
sehingga individu tersebut pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak
sendiri (Mu’tadin 2002).
Tingkat kemandirian petani tanaman pangan pada level wilayah Kabupaten
Bogor terutama dalam hal kemandirian dalam pemenuhan sarana produksi,
kemandirian tentang budidaya tanaman yang diusahakan, kemandirian dalam
pengambilan keputusan pasca panen dan pengambilan keputusan pemasaran hasil
usahataninya belum banyak dilakukan bahkan mungkin belum ada. Atas dasar itu,
untuk mengetahui tingkat kemandirian petani dalam pengambilan keputusan
usahataninya perlu dilakukan penelitian.

Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan beberapa permasalahan di atas, maka
rumusan masalah di rumuskan dalam pertanyaan berikut:
1.
Bagaimana tingkat kemandirian petani dalam pengambilan keputusan
usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor?
2.
Bagaimana karakteristik internal dan eksternal petani dalam pengambilan
keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor?
3.
Sejauhmana kegiatan penyuluhan usahatani tanaman pangan di Kabupaten
Bogor?
4.
Sejauhmana faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemandirian petani
dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten
Bogor?
Tujuan Penelitian

4

Tujuan umum penelitian ini ialah untuk mengetahui kemandirian petani
tanaman pangan dalam pengambilan keputusan usahatani di Kabupaten Bogor.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:
1.
Mendeskripsikan tingkat kemandirian petani dalam pengambilan keputusan
usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor.
2.
Mendeskripsikan karakteristik petani dalam pengambilan keputusan
usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor.
3.
Mendeskripsikan kegiatan penyuluhan usahatani tanaman pangan di
Kabupaten Bogor.
4.
Menganalisis faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemandirian petani
dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten
Bogor.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pihak,
antara lain sebagai berikut:
1.
Manfaat bagi pembuat kebijakan atau pemerintah Kabupaten Bogor, sebagai
bahan masukan dalam merumuskan kebijakan pertanian ke depan dengan
berbasiskan sumber daya petani yang mandiri.
2.
Manfaat bagi petani, sebagai bahan informasi dan penyadaran terhadap
mereka bahwa kemandirian petani sangatlah penting dan lebih baik
dibandingkan dengan bertani yang serba ketergantungan dalam segala hal.
3.
Manfaat bagi pengembangan keilmuan, sebagai salah satu sumbangan
pengayaan konsep-konsep teoritis mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani.
4.
Manfaat bagi masyarakat, dapat memberikan informasi ilmiah bagi para
pihak yang berkepentingan terhadap konsep kemandirian dalam
pengambilan keputusan usahataninya.

TINJAUAN PUSTAKA
Petani dan Kemandirian Petani
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pasal 1 ayat 10 dinyatakan
bahwa:
“Petani adalah perorangan warga negara Indonesia beserta
keluarganya atau korporasi yang mengelola usaha di bidang pertanian,
wanatani, minatani, agropasture, penangkaran satwa dan tumbuhan, di
dalam dan di sekitar hutan, yang meliputi usaha hulu, usahatani,
agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang.”
Kemandirian setara dengan autonomy yang menurut asal usul bahasanya
berarti hak atau kemampuan individu untuk mengatur dirinya sendiri.
Kemandirian adalah perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan
potensi dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang dicirikan oleh
kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik (Hubeis 1992).

5

Kemandirian masyarakat hanya akan terwujud bila kualitas perilaku
masyarakat cukup tinggi untuk mendukung pembangunan. Kualitas perilaku yang
dimaksud di sini adalah kemampuan mengambil keputusan secara tepat dan dapat
melaksanakan keputusan secara konsisten (Sumardjo1999).
Berdasarkan hasil penelitian Sumardjo (1999), tingkat kemandirian petani di
Jawa Barat cenderung relatif masih rendah pada petani lapisan atas cenderung
menunjukkan tingkat kemandirian yang lebih tinggi dibanding dengan petani
lapisan bawah. Secara lebih lanjut dikemukakan bahwa kemandirian petani
berkaitan erat dan positif dengan kualitas sumber daya pribadi petani yang
bersangkutan. Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu
memilih dan mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya
sendiri, yang diyakini paling tinggi manfaatnya tetapi bukan berarti sikap
menutup diri melainkan dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan
aturan-aturan yang ada di dalamnya.
Kemandirian petani merupakan suatu kondisi yang dapat ditumbuhkan
melalui kegiatan pemberdayaan (empowerment), yaitu memberikan kekuatan atau
daya. Pemberdayaan petani ke arah kemandirian dalam berusahatani dapat
dilakukan melalui pendidikan, penyuluhan dalam bentuk perubahan perilaku
(Soebiyanto 1998).
Menurut Radi (1997), petani yang mampu mewujudkan pertanian mandiri
adalah petani yang memiliki karakter: (a) mampu memanfaatkan keanekaragaman
sumber daya pertanian secara optimal melalui kekuatan/ kemampuan sendiri; (b)
mampu memanfaatkan teknologi pertanian yang dirujuk lingkungan serta tidak
menutup diri terhadap berlangsungnya transformasi teknologi yang lebih
menguntungkan (integrasi teknologi lokal dengan teknologi dari luar secara
selektif); (c) mampu mengembangkan keunggulan kompetitif; (d) memiliki
kemampuan manajerial dan keterampilan mengelola usaha secara bisnis.
Slamet (2000) berpendapat, bahwa untuk menumbuhkan kemandiriannya,
petani perlu diarahkan agar dengan kekuatan dan kemampuannya berupaya untuk
bekerja sama dalam mencapai segala yang dibutuhkan dan diinginkan.
Kemandirian tidak berarti anti terhadap kerjasama atau menolak saling keterkaitan
dan saling ketergantungan.
Ngongu (1997) berpendapat bahwa ciri petani tangguh adalah: 1) memiliki
keterampilan dalam menerapkan inovasi, baik inovasi teknik maupun inovasi
sosial yang sesuai dengan perkembangan zaman; 2) memiliki kemampuan
memperoleh tingkat pendapatan yang layak; 3) memiliki kemampuan menghadapi
risiko usahatani, dan 5) memiliki kekutan mandiri baik secara perorangan maupun
kelompok dalam menghadapi pihak-pihak lain dalam dunia usaha.
Petani mandiri memiliki sejumlah karakteristik khas yang membedakannya
dengan petani yang lain. Menurut hasil penelitian yang disampaikan oleh Marliati
et al. (2010), karakteristik tersebut dapat diketahui dari enam elemen pokok yaitu
pertama kemandirian intelektual petani (kemampuan memanfaatkan lahan, waktu
dan peluang untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan, kemampuan
membuat keputusan yang rasional, kemampuan memecahkan masalah, dan lainlain). Kedua, kemandirian sikap dan mental (rajin, ulet, tekun, percaya diri dan
mampu bersikap dan bertindak yang terbaik bagi dirinya). Ketiga, kemandirian
manajemen (kemampuan membuat perencanaan, melaksanakan yang sesuai
rencana, mengevaluasi dan menerapkan prinsip efisiensi dalam berusahatani).

6

Keempat, kemandirian sosial (kemampuan berinteraksi sosial dan menjalin
kerjasama saling menguntungkan sesama petani, antar kelompok tani dan dengan
kelembagaan usahatani lainnya). Kelima, kemandirian material (kemampuan
berinvestasi untuk pengembangan usaha dan mampu memenuhi kebutuhankebutuhan dasar melalui pendapatan usahataninya). Keenam, kemandirian
pengembangan diri (kemampuan memanfaatkan informasi, media, tenaga
penyuluh dan pelatihan serta kemampuan berbagi ilmu dengan orang lain).
Konsep kemandirian tidak hanya mencakup pengertian-pengertian
kecukupan diri (self sufficiency) di bidang ekonomi saja, tetapi juga meliputi
faktor manusia secara pribadi, yang di dalamnya mengandung unsur-unsur
penemuan diri (self discovery) berdasarkan kepercayaan diri (self confidence).
Oleh karena itu, kemandirian merupakan sikap yang mengutamakan kemampuan
diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa
menutup diri dengan pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling
menguntungkan. Artinya, bahwa dalam pengertian sosial, kemandirian juga
bermakna sebagai organisasi diri (self organization) atau manajemen diri (self
management) yang saling terkait dan saling melengkapi sehingga muncul suatu
keseimbangan yang akan menjadi landasan bagi perkembangan berikutnya
(Ismawan 2003).
Agussabti (2002) mengatakan bahwa ada tiga faktor penting yang
mempengaruhi tingkat kemandirian petani yaitu: tingkat kesadaran kebutuhannya,
karakteristik individu (motivasi berprestasi, persepsi terhadap inovasi, keberanian
mengambil risiko, kreativitas), dan akses petani terhadap informasi. Menurut
Soebiyanto (1998), faktor internal petani yaitu: pendidikan formal, motivasi
kelompok, dan pengalaman berusahatani, berpengaruh nyata terhadap
kemandirian petani, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap ketangguhan
berusahatani.
Hasil penelitian Mulyandari (2001) menunjukkan tingkat kemandirian
petani secara nyata dipengaruhi oleh kinerja penyuluhan, tingkat pendidikan
formal, status sosial, tingkat kekosmopolitan, penguasaan sumber daya pertanian
tetap, dukungan lembaga kelembagaan, dan keterikatan terhadap norma sosial
yang berlaku. Penelitian Fatchiya (2002) menyimpulkan bahwa tingkat
kemandirian petani pada usaha ikan hias dipengaruhi oleh umur, pendidikan
formal, pendidikan nonformal, keterdedahan media massa, berhubungan dengan
sumber informasi dan skala usaha. Pada aspek produksi dipengaruhi oleh
keterdedahan dengan media massa, interaksi dengan sumber informasi dan
hubungan kemitraan, dan pada aspek pemasaran dipengaruhi oleh sumber
informasi. Kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani di
Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan, dipengaruhi oleh etos kerja,
akses informasi, kapasitas diri petani dan kapasitas sumber daya pertanian (Farid
2008).

Usahatani
Mosher (1966) menyatakan bahwa usahatani bukanlah sekedar kegiatan
bertani yang menghasilkan sesuatu produk, tetapi merupakan suatu sistem
produksi yang memadukan unsur-unsur manusia (sebagai pribadi, pengelola dan
sekaligus juru tani), modal, tenaga kerja (termasuk pengetahuan dan

7

keterampilannya), sumber daya alam, kelembagaan dan didukung oleh sarana dan
prasarana yang memadai.
Menurut Ibrahim et al. (2003), pengelolaan usahatani membahas cara-cara
meningkatkan efisiensi usahatani, sebab dalam rumah tangga petani sulit
dipisahkan antara kegiatan produksi dengan konsumsi yang dilakukan.
Manajemen usahatani ini meliputi kegiatan inventarisasi sumber daya, penetapan
tujuan termasuk skala prioritas, membuat alternatif-alternatif usahatani dan
menentukan usahatani yang paling menguntungkan, perencanaan anggaran dan
evaluasi keberhasilan usaha tani.
Abbas (Soebiyanto 1998) menyebutkan beberapa ciri petani yang
mempunyai ketangguhan dalam berusahatani, yaitu : 1) mampu memanfaatkan
sumber daya secara optimal dan efisien, 2) mampu mengatasi segala hambatan
dan tantangan, 3) mampu menyesuaikan diri dalam pola dan struktur produksinya
terhadap perubahan musim, permintaan pasar maupun perkembangan teknologi,
4) berperan aktif dalam peningkatan produksi serta mampu menciptakan pasar
yang menguntungkan produksinya.
Keputusan yang diambil oleh setiap petani selaku pengelola antara lain
mencakup menentukan pilihan di antara berbagai tanaman yang sebaiknya
dipelihara dan menentukan cara membagi waktu kerja di antara berbagai tugas
teristimewa pada saat-saat berbagai pekerjaan ini dilakukan serentak. Termasuk
pula di dalamnya menentukan pilihan tentang jenis dan jumlah tenaga kerja yang
harus dipelihara untuk pekerjaan lapangan (Mosher 1983).
Proses pengambilan keputusan berusahatani oleh petani sangat dipengaruhi
oleh tingkat pengetahuan dan kekosmopolitannya. Tingkat pengetahuan secara
umum dapat dilihat dari jenjang tingkat pendidikan formal yang telah atau sedang
dicapai. Tingkat kekosmopolitan adalah kemampuan seseorang untuk
berhubungan dengan lingkungan yang sangat luas. Berkaitan dengan kegiatan
pengembangan kemandirian petani oleh penyuluh, kekosmopolitan petani adalah
kemampuan petani untuk membuka diri terhadap suatu pembaharuan dan atau
informasi yang berkaitan dengan unsur pembaharuan. Hal ini juga berkaitan
dengan perkembangan proses belajar mandiri, yang menuntut petani mampu
membuka wawasannya terhadap berbagai sumber informasi yang mendukung
kemandiriannya dalam berusahatani (Mulyandari 2001).
Faktor Internal Petani
Faktor internal petani adalah faktor dalam diri petani yang merupakan
karakteristik atau ciri yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan
lingkungannya. Faktor internal individu yang patut diperhatikan untuk
menerangkan komunikasi seseorang meliputi umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa, agama dan lain-lain (Newcomb et al.
1985).
Lionberger (1968), menyatakan bahwa faktor individu atau faktor internal
yang perlu diperhatikan ialah: umur, pendidikan, karakteristik psikologis.
Termasuk dalam psikologis ini ialah rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatis,
orientasi pada usahatani sebagai bisnis, dan kemudahan menerima inovasi.
Umur

8

Hanafiah dan Saefudin (1983) menulis bahwa umur seseorang merupakan
salah satu karakteristik individu yang semakin lama semakin meningkat sehingga
berpengaruh terhadap fungsi biologis dan psikologis individu tersebut. Secara
kronologis, umur dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat
perkembangan individu karena relatif lebih mudah dan akurat untuk ditentukan.
Menurut Mardikanto (1993), umur akan berpengaruh kepada tingkat
kematangan seseorang baik fisik maupun emosional yang sangat menentukan
kesiapan untuk belajar. Dalam penelitian ini, umur yang di pelajari adalah usia
seorang petani tersebut sampai saat ini sejak ia lahir sampai dengan sekarang
ketika ia masih melakukan kegiatan usahatani.
Pendidikan Formal
Pendidikan merupakan faktor penting pembentuk kualitas sumber daya
manusia. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta
didik melalui kegiatan bimbingan dan atau latihan bagi peranannya di masa yang
akan datang. Pada hakikatnya pendidikan berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia baik individu
maupun sosial (Prijono dan Pranaka 1996).
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, menyatakan bahwa:
“Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang
yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.”
Winkel (1996) mengemukakan sekolah merupakan lingkungan pendidikan
formal karena di sekolah terlaksana serangkaian kegiatan yang terencana dan
terorganisir, termasuk kegiatan belajar mengajar yang bertujuan menghasilkan
perubahan positif dalam diri seseorang di samping itu pula dengan sekolah maka
akan tercapai kedewasaan. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pendidikan ada dua,
yaitu: (1) pendidikan dalam keluarga (pendidikan informal), dan (2) pendidikan
sekolah (pendidikan formal). Pendidikan formal menunjukkan tingkat intelegensia
yang berhubungan dengan daya pikir seseorang.
Mosher (1983) menambahkan bahwa pendidikan merupakan salah satu
faktor pelancar dalam pembangunan pertanian, faktor pendidikan merupakan
salah satu faktor yang dapat mempercepat perubahan sikap manusia tradisional
menjadi manusia modern, atau dari sikap tradisional ke mentalis komersil. Istilah
pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan
dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya,
pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok
orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan
yang lebih tinggi dalam arti mental (Soedjianto 1994).
Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal adalah kegiatan pendidikan di luar sistem pendidikan
formal dan bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat dalam arti luas.
Pendidikan nonformal diselenggarakan oleh masyarakat guna meningkatkan
kemampuan, menerapkan ilmu pengetahuan yang selalu diperoleh peserta didik
dari lingkungan pendidikan formal ke dalam lingkungan pekerjaan praktis

9

dimasyarakat. Sasaran pendidikan nonformal mencakup semua kelompok umur
dan semua sektor masyarakat (Prijono dan Pranarka 1996). Pendidikan nonformal
ini bisa berupa penyuluhan, penataran, kursus-kursus, maupun bentuk
keterampilan teknis lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan
keterampilan kaum petani (Supriatna 1997).
Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga dimaksudkan sebagai banyaknya anggota keluarga
yang ditanggung kehidupannya. Besar kecilnya tanggungan keluarga sangat
terkait dengan tingkat pendapatan seseorang. Jumlah keluarga yang sekian besar
menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengeluaran atau kebutuhan
penghasilan yang lebih tinggi untuk membiayai kehidupannya.
Hafsah (2003) mengatakan bahwa besarnya jumlah anggota keluarga
berakibat pada rendahnya tingkat konsumsi, produktivitas kerja, kecerdasan dan
menurunnya kemampuan berinvestasi.
Soekartawi (1986), berpendapat bahwa banyaknya tanggungan keluarga
akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan keluarga. Jumlah keluarga yang
semakin besar menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengeluaran atau
kebutuhan penghasilan yang tinggi untuk membiayai kehidupannya. Dengan
demikian, besarnya jumlah tanggungan keluarga akan meningkatkan motivasi
seseorang dalam mencari nafkah sebagai bagian dari tanggungjawab moral dalam
memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pengalaman Berusahatani
Secara harfiah, pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah dialami
(dijalani, dirasai, ditanggung dan sebagainya). Adapun usaha adalah kegiatan
dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud.
Jadi pengalaman usaha dalam kaitannya dengan petani adalah sesuatu yang
pernah dialami, dijalani, dirasakan, dan ditanggung oleh petani dalam
menjalankan kegiatan usahataninya dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau
badan, untuk mencapai tujuan usahataninya yaitu memperoleh produksi yang
tinggi.
Mardikanto (1993), mengemukakan bahwa proses belajar dipengaruhi oleh
pengalaman. Artinya, pengalaman yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi
semangat seseorang untuk belajar, hal ini dikarenakan pengalaman masa lalu akan
mempengaruhi kecenderungannya untuk merasa memerlukan dan siap menerima
pengetahuan baru.
Penguasaan Lahan
Lahan merupakan area yang menjadi tempat dimana petani dapat bercocok
tanam serta hidup menetap untuk bermasyarakat. Dengan adanya lahan ini pula,
petani dapat menggantungkan hidupnya dari menjual hasil panennya tersebut di
samping untuk keperluan konsumsi sehari-hari.
Menurut Scott (1994), situasi yang khas dan keluarga petani yang sebagian
besar masih berorientasi subsistensi merupakan satu unit konsumsi dan unit
produksi. Oleh karena itu, pengembangan kemandirian petani sangat penting
pada besar kecilnya jumlah anggota keluarga dan keterbatasan sumber daya
pertanian yang dimilikinya.

10

Sumber daya pertanian yang dimiliki oleh petani yang sangat berpengaruh
terhadap kemandiriannya dalam berusahatani adalah yang berkaitan dengan
kepemilikan sumber daya pertanian tetap. Penguasaan tanah perorangan di
pedesaan sangat berarti bagi petani yang memberikan konsekuensi terhadap
dirinya sebagai seorang petani. Apakah ia sebagai petani pemilik penggarap,
penyewa, penyakap (bagi hasil) atau hanya sekedar sebagai buruh tani.
Motivasi Berusahatani
Soedjianto (1994) mengemukakan bahwa, motif ada dalam tubuh manusia
yang hanya terlihat dengan tindakan, motif mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan. Memotivasi dan membangkitkan kesadaran merupakan
bagian dari upaya pemberdayaan, upaya tersebut terkait dengan peran penyuluh
pembangunan sebagai encourager dan stimulator.
Rohwer (Mangkunegara 2000), mengemukakan dua jenis motivasi,
yaitu: Motivasi instrinsik, adalah motivasi yang tercakup dalam situasi
belajar yang bersumber dari kebutuhan dan tujuan-tujuan warga belajarnya
sendiri. Motivasi ini sering disebut "motivasi mumi" atau motivasi yang
sebenarnya, yang timbul dari dalam diri peserta didik . Misalnya, keinginan
untuk mendapat keterampilan tertentu, memperoleh informasi dan pemahaman, mengembangkan sikap