Keberhasilan Superovulasi pada Beberapa Bangsa Sapi dengan Preparat Hormon yang Berbeda

1

KEBERHASILAN SUPEROVULASI PADA BEBERAPA
BANGSA SAPI DENGAN PREPARAT
HORMON YANG BERBEDA

ANISA HASBY FAUZIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

2

3

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keberhasilan
Superovulasi pada Beberapa Bangsa Sapi dengan Preparat Hormon yang Berbeda

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Anisa Hasby Fauzia
NIM B04100081

4

ABSTRAK
ANISA HASBY FAUZIA. Keberhasilan Superovulasi pada Beberapa Bangsa
Sapi dengan Preparat Hormon yang Berbeda. Dibimbing oleh NI WAYAN
KURNIANI KARJA dan TRI HARSI.
Permintaan daging di Indonesia akan bertambah terus secara nyata dengan
bertambahnya penduduk. Upaya peningkatan dan pengembangan produksi daging
secara berkelanjutan dapat dilakukan dengan mengembangkan teknologi transfer

embrio (TE). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan
superovulasi pada beberapa bangsa sapi dengan menggunakan preparat hormon
yang berbeda antara follicle stimulating hormone (FSH) dan Prostalglandin F2α
(PGF2α). Penelitian dilaksanakan di Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang dengan
menggunakan data sekunder berupa catatan produksi embrio in vivo selama tahun
2008 sampai tahun 2013. Data yang didapatkan diolah dengan metode rancangan
acak lengkap (RAL) pola faktorial 4x4 dengan dua faktor yaitu bangsa sapi
(Simental, Limousin, Angus, Friesian Holstein) dan kombinasi FSH dan PGF2α
(FSH1-PGF2α1, FSH1-PGF2α2, FSH2-PGF2α1, FSH2-PGF2α2). Berdasarkan
hasil penelitian menunjukan bahwa bangsa sapi memberikan pengaruh nyata
(P0.05) terhadap jumlah corpus luteum
sebagai respon superovulasi.
Kata kunci: superovulasi, bangsa sapi, kombinasi hormon, corpus luteum

ABSTRACT
ANISA HASBY FAUZIA. Success of Superovulation in Some Cattle Breeds with
Different Combination Hormone. Supervised by NI WAYAN KURNIANI
KARJA and TRI HARSI.
Meat demand will increasing along with human population growth. The
efforts to increase meat production in a sustainable manner can be done by

developing embryo transfer technology (ET). The aim of this study was to
evaluate the success of superovulation in some cattle breeds with different
combination of follicle stimulating hormone (FSH) and prostalglandin F2α
(PGF2α). The study was conducted at the Balai Embrio Ternak (BET), using data
of embryos production obtained from BET Cipelang during 2008 to 2013. The
data obtained is processed by Randomized Block Design (RBD) 4x4 factorial
pattern method with two factors consisted of cattle breeds (Simental, Limosin,
Angus, Friesian Holstein) and combination of FSH dan PGF2α (FSH1-PGF2α1,
FSH1-PGF2α2, FSH2-PGF2α1, FSH2-PGF2α2). Based on the results, it is
showed that breeds of cattle affected significantly (p0.05)
to the total numbers of corpus luteum as a superovulation response.
Keywords : superovulation, cattle breeds, hormone combination, corpus luteum.

5

KEBERHASILAN SUPEROVULASI PADA BEBERAPA
BANGSA SAPI DENGAN PREPARAT
HORMON YANG BERBEDA

ANISA HASBY FAUZIA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

6

7

8

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 dan Februari 2014 ini
adalah Keberhasilan Superovulasi pada Beberapa Bangsa Sapi dengan Preparat
Hormon Berbeda.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Drh Ni Wayan Kurniani Karja,
MP, PhD sebagai dosen pembimbing utama dan Ir Triharsi, MP sebagai
pembimbing kedua yang banyak memberikan masukan, saran, dan pengarahan.
Terima kasih kepada Dr Dra Itje Wientarsih, Apt MSc selaku pembimbing
akademik. Terima kasih penulis ucapkan kepada ayah tersayang Yendi Ridwan
Fauzi, ibu tercinta Euis Mariam, adik saya Ardika Albi Fauzi dan Keisa Ayu
Fauzia atas dukungan, doa, kasih sayang, bantuan moril dan materil yang selalu
diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir. Terimakasih kepada
Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang dan staf (Bu Lela dan Pak Darlin) dan
teman penelitian Ika Septiana Anggun Puspita, G Andri Hermawan, Alief Iman
Fitrianto, dan Muhammad Faris Firdaus. Terima kasih kepada sahabat-sahabat
saya Gandha Bastian, Dwida Rahmadani, Gamma Prajnia, Mona Marliza, Arlita
Sariningrum, Dheanti Aprianti Arista, serta teman-teman Acromion 47 atas segala
doa, dukungan, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, September 2014
Anisa Hasby Fauzia

9

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan

2

Manfaat Penelitian


2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Siklus Estrus Sapi Betina

2

Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH)

3

Seleksi Induk Donor

3

Sinkronisasi Estrus


3

Superovulasi

4

Inseminasi Buatan

4

Corpus Luteum

4

METODE

5

Lokasi dan Waktu Penelitian


5

Materi

5

Prosedur Penelitian

5

Peubah yang Diamati

6

Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN


7

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

7

Tingkat Ovulasi

7

SIMPULAN DAN SARAN

9

Simpulan

9

Saran


9

DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

9
12

10

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produktivitas dan mutu genetik ternak yang masih rendah merupakan
permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia. Direktorat
Jendral Peternakan (2013) menyatakan bahwa populasi sapi di Indonesia sebanyak
14,3 juta ekor yang sebagian besar berupa usaha peternakan rakyat yang dikelola
secara tradisional dan relatif sedikit menggunakan inovasi teknologi. Sedangkan
kebutuhan manusia akan protein hewani khususnya daging semakin meningkat
seiring dengan jumlah penduduk yang terus bertambah. Hal ini menunjukan
peningkatan permintaan daging sapi tidak diimbangi dengan ketersediaan daging
sapi nasional yang mengakibatkan harga daging sapi menjadi relatif mahal. Solusi
yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut adalah melakukan impor
ternak hidup untuk meningkatkan produksi ternak. Namun, solusi tersebut dalam
jangka panjang dapat menyebabkan ketergantungan impor ternak kepada negara
lain. Oleh karena itu, teknologi transfer embrio (TE) menawarkan jalan untuk
meningkatkan dan mengembangkan produksi daging secara berkelanjutan melalui
peningkatan efektivitas reproduksi betina produktif.
Transfer embrio merupakan generasi kedua bioteknologi reproduksi
setelah inseminasi buatan (IB). Berbeda dengan IB yang meningkatkan mutu
genetik hanya melalui hewan jantan, aplikasi teknologi TE dapat meningkatkan
mutu genetik hewan betina (Herren 2000). Teknologi TE memungkinkan
diperoleh anak sapi unggul dalam jumlah yang banyak. Transfer embrio terdiri
dari beberapa proses penting, yaitu superovulasi, sinkronisasi estrus, inseminasi
buatan, pemanenan embrio, dan transfer embrio. Produksi embrio dapat dilakukan
secara in vitro maupun in vivo (Adriani et al. 2009).
Superovulasi dengan menggunakan hormon gonadotropin telah berhasil
diterapkan dalam program produksi embrio secara in vivo. Secara alamiah sapi
hanya mengovulasikan satu sel telur setiap periode estrus. Namun, jumlah ovulasi
ini dapat dipacu dengan program superovulasi (Adriani et al. 2009). Superovulasi
menginduksi ovulasi melalui pemberian hormon gonadotropin eksogen yang
berasal dari luar tubuh, misalnya pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) dan
follicle stimulating hormone (FSH) (Bo dan Mapleto 2014). Follicle stimulating
hormone merupakan hormon gonadotropin dengan unsur glikopeptida yang
memiliki reseptor pada sel granulosa folikel dan mempunyai waktu paruh (half
life) yang pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk
merangsang aktivitasnya (Kaiin dan Tappa 2006). Menurut Bo dan Mapleto
(2014), waktu paruh FSH sekitar lima jam bahkan kurang. Pemberian hormon
tersebut dengan dosis tertentu akan menstimulasi proses pertumbuhan,
perkembangan, pematangan dan ovulasi dari sejumlah besar folikel pada ternak
sapi (Herren 2000). Pemberian FSH dapat dilakukan secara intramuskular dan
intrauterin (Gonzales et al. 2004).
Superovulasi mempengaruhi jumlah folikel yang berkembang sehingga
jumlah ovum yang diovulasikan menjadi lebih banyak dan meningkatkan jumlah
corpus luteum (CL) (Duggavathi et al. 2005). Corpus luteum merupakan jaringan
yang terbentuk pada tempat ovum diovulasikan dan dijadikan patokan untuk

2

mendeteksi berapa jumlah ovum yang diovulasikan oleh seekor sapi (Adriani et
al. 2009). Perkembangan CL pada hari ke tiga sampai lima mulai meningkat
sampai maksimal disertai dengan peningkatan produksi progesteron sampai kadar
maksimal sekitar hari ke-10. Hormon yang berperan penting dalam lisis CL yaitu
hormon Prostalglandin 2α (PGF2α) yang dihasilkan endometrium uterus.
Pemberian PGF2α dilakukan tiga hari setelah pemberian hormon gonadotropin
berfungsi untuk meregresikan CL, sehingga dua sampai tiga hari setelah
penyuntikan PGF2α sapi akan estrus (Senger 1999).
Superovulasi merupakan kunci keberhasilan transfer embrio. Keberhasilan
superovulasi dapat ditentukan dengan tingginya laju ovulasi dan jumlah CL yang
diperoleh. Superovulasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keturunan,
nutrisi, musim, penyinaran, hormon gonadotropin, dan status ovarium (Chang et
al. 2006). Selain itu, respon superovulasi induk donor, fertilisasi dan viabilitas
embrio serta manajemen induk donor juga mempengaruhi keberhasilan
superovulasi (Kaiin dan Tappa 2006). Beberapa bangsa sapi yang digunakan
sebagai induk donor dalam program transfer embrio di Indonesia terdiri dari sapi
potong asli Indonesia yaitu sapi Bali, sapi lokal yaitu sapi Peranakan Ongole (PO)
serta beberapa bangsa sapi yang berasal dari Eropa dan India yang sudah cukup
popular dan banyak berkembang biak yaitu sapi Limousin, sapi Simental, sapi
Angus, sapi Friesian Holstein (FH), dan sapi Ongole (Hardjosubroto 1994).
Pemberian hormon gonadotropin dan luteolisis dalam program superovulasi
diberikan pada induk donor yang jenis dan kombinasinya bermacam-macam di
pasaran. Merek dagang yang mengandung preparat hormon FSH yang biasanya
digunakan untuk program superovulasi antara lain Ovagen, Folltropin V, Optistim, dan Pluset. Sedangkan preparat hormon untuk luteolisis antara lain Lutalyse,
Prostavet C, dan Reprodin yang mengandung prostalglandin F2α.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat keberhasilan
superovulasi pada beberapa jenis sapi dengan menggunakan preparat hormon
yang berbeda.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah data yang diperoleh
dapat digunakan sebagai pengetahuan terhadap tingkat keberhasilan pada
beberapa bangsa sapi dengan menggunakan preparat hormon yang berbeda untuk
meningkatkan efisiensi program superovulasi.

TINJAUAN PUSTAKA
Siklus Estrus Sapi Betina
Sapi merupakan hewan poliestrus setelah mencapai usia pubertas. Siklus
estrus berlangsung secara terus menerus sepanjang tahun kecuali pada saat hewan
bunting. Siklus estrus pada sapi berkisar antara 18-22 hari. Interval antara
timbulnya satu periode estrus ke permulaan periode berikutnya disebut sebagai

3

suatu siklus estrus. Siklus estrus pada dasarnya dibagi menjadi empat fase atau
periode yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Berdasarkan perubahanperubahan dalam ovarium, siklus estrus dapat dibedakan pula menjadi dua fase,
yaitu fase folikel, meliputi proestrus, estrus serta awal metestrus, dan fase luteal,
meliputi akhir metestrus dan diestrus (Marawali et al.2001).
Lama siklus estrus pada sapi dikontrol oleh sekresi progesteron dari CL.
Konsentrasi progesteron akan meningkat setelah ovulasi dan mencapai
konsentrasi maksimum pada hari ke-8 sampai 11 dalam siklus estrus. Tingginya
konsentrasi progesteron akan menghambat sekresi gonadotropin releasing
hormone (GnRH). Pada ternak yang tidak bunting. Selama siklus estrus, CL
merupakan struktur yang penting dalam hal ukuran dan lama terjadinya. Muncul
dan hilangnya CL bertanggung jawab terhadap fenomena siklus estrus (Marawali
et al. 2001).
Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH)
Gonadotropin adalah kelompok hormon yang bekerja pada gonad,
misalnya FSH dan LH yang berperan dalam menginduksi perkembangan folikel
ovari dan stimulasi ovulasi (Triwulanningsih et al. 2002). Studi dasar tentang
perkembangan folikel telah menunjukkan bahwa FSH diperlukan untuk
perekrutan folikel dan pertumbuhan sampai folikel dominan (Sartorelli et al.
2005).
Follicle stimulating hormone merupakan hormon glikoprotein yang
mempunyai waktu paruh pendek sehingga memerlukan pemberian secara
berulang untuk merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Selain FSH dapat
pula digunakan hormon lain, yaitu PMSG yang mempunyai waktu paruh lebih
panjang sehingga hanya perlu dilakukan satu kali injeksi. Waktu paruh yang
panjang tersebut akan berdampak pada hasil superovulasi sangat bervariasi, sering
timbul folikel yang menetap dalam ovarium sehingga terjadi ketidakseimbangan
hormonal dan kualitas embrio yang kurang memenuhi klasifikasi yang telah
ditentukan (Kaiin dan Tappa 2006).
Seleksi Induk Donor
Seleksi induk sapi yang akan digunakan sebagai ternak donor dilakukan
dengan memeriksa keadaan alat reproduksi. Setelah itu sapi diprogram dengan
prosedur TE (Kaiin dan Tappa 2006). Sapi yang digunakan sebagai ternak donor
harus mempunyai kriteria antara lain adalah memiliki genetik unggul (genetic
superiority), memiliki kemampuan reproduksi (reproductive ability), dan
memiliki keturunan yang marketable atau memiliki nilai ekonomi yang tinggi
(Marawali et al.2001).
Sinkronisasi Estrus
Sinkronisasi estrus adalah memanipulasi fenomena siklus estrus, baik
dengan cara menghambat sekresi PGF2α ataupun memperpendek masa hidup dari
CL yang berujung pada estrus dan ovulasi. Keuntungan dari sinkronisasi estrus
adalah ketepatan waktu ovulasi sehingga mengurangi waktu yang diperlukan

4

untuk mendeteksi estrus sehingga tingkat keberhasilan dari IB dapat ditingkatkan.
Metode sinkronisasi estrus dapat dilakukan dengan menggunakan preparat
hormon seperti PGF2α dan progesterone (Marawali et al. 2001).
Prostaglandin F2α adalah senyawa C20 dengan satu cincin siklopenta yang
mirip derivat asam lemak tak jenuh seperti arakidonat (Solihati 2005). Preparat
prostaglandin F2α pertama kali digunakan dalam prosedur superovulasi sejak
tahun 1970an (Bo dan Mapleto 2014). Prostaglandin F2α bersifat luteolitik yang
berperan untuk meregresikan CL, mengakibatkan penghambatan yang dilakukan
hormon progesteron sehingga estrus terjadi 36 sampai 48 jam kemudian (Bo dan
Mapleto 2012).
Superovulasi
Superovulasi dengan menggunakan hormon gonadotropin telah berhasil
memproduksi embrio secara in vivo. Secara alamiah sapi hanya mengovulasikan
satu sel telur setiap periode estrus. Namun, jumlah ovulasi ini dapat dipacu
dengan program superovulasi (Adriani et al. 2009). Sampai saat ini superovulasi
secara komersial dilakukan pada ternak betina unggul (donor) dengan
menyuntikkan FSH atau PMSG. Melalui penyuntikan hormon-hormon tersebut
diharapkan akan meningkatkan jumlah oosit yang diovulasikan, sehingga oosit
yang dibuahi akan menjadi bertambah dan jumlah anak per kelahiran dapat
meningkat. Respon ovulasi akibat pemberian gonadotropin pada peristiwa
superovulasi dapat diindikasikan oleh beberapa parameter yaitu dengan tingginya
laju ovulasi dan jumlah embrio yang diperoleh (Chang et al. 2006). Parameter
keberhasilan induksi superovulasi lainnya adalah konsentrasi hormon steroid
yakni estrogen dan progesteron (Amiruddin et al. 2013).
Inseminasi Buatan
Setelah berhasil memilih hewan donor berkualitas tinggi, kunci
keberhasilan embrio transfer selanjutnya terletak pada inseminasi buatan dengan
semen yang berasal dari sapi jantan bibit unggul (Davis 2004). Inseminasi buatan
melibatkan koleksi semen dari sapi jantan unggul dan mentransferkan semen
tersebut ke dalam saluran reproduksi betina. Semen yang dapat digunakan untuk
IB dapat berupa semen segar ataupun beku. Setelah perlakuan superovulasi, perlu
dilakukan pengamatan terhadap tanda-tanda estrus pada sapi donor sehingga dapat
dijadikan acuan untuk menentukan waktu inseminasi yang tepat (Herren 2000).
Corpus luteum
Corpus luteum merupakan jaringan yang terbentuk pada tempat ovum
diovulasikan dan dijadikan patokan untuk mendeteksi berapa jumlah ovum yang
diovulasikan oleh seekor sapi (Adriani et al. 2009). Corpus luteum tersusun atas
sel-sel luteal yang berperan menghasilkan progesteron (Amiridis et al. 2006).
Kegagalan dalam memperlihatkan gejala estrus biasanya disebabkan karena sapi
dengan CL yang fungsional seperti saat sapi bunting, CL yang persisten atau
adanya kematian embrio dini.

5

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Kegiatan lapang program Embrio Transfer serta pengumpulan data
sekunder dilaksanakan pada bulan Juli 2013 dan Februari 2014. Penelitian ini
bertempat di Balai Embrio Ternak (BET) yang terletak di Desa Cipelang,
Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor.
Materi
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder jumlah CL
yang diperoleh dari BET Cipelang pada program superovulasi tahun 2008-2013.
Data tersebut meliputi tanggal superovulasi, kode dan jenis ternak donor, kode
semen yang digunakan, jenis hormon superovulasi yang digunakan, dan jumlah
CL. Ternak sapi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 12 ekor sapi,
terdiri atas tiga ekor sapi Simental, tiga ekor FH, tiga ekor sapi Limousin, dan tiga
ekor sapi Angus.
Preparat hormon yang digunakan untuk superovulasi adalah FSH yang
terdiri atas dua jenis yaitu FSH1 yang mengandung 400 mg dalam 20 ml atau
setara dengan 20 mg/ml dan FSH2 yang mengandung 17,6 mg dalam 1 ml atau
352 mg dalam 20 ml. Prostalglandin F2α yang digunakan dalam melisiskan CL
dan memicu terjadinya estrus terdiri dari dua jenis, yaitu PGF2α1 5 mg/ml dan
PGF2α2 5 mg/ml.
Kombinasi hormon FSH dan PGF2α diberikan pada masing-masing
bangsa sapi. Kombinasi FSH1 dan PGF2α1 diberikan pada tiga ekor sapi
Simental, tiga ekor sapi Limousin, tiga ekor sapi Angus, dan tiga ekor sapi FH.
Kombinasi FSH1 dan PGF2α2 diberikan pada tiga ekor sapi Simental, tiga ekor
sapi Limosin, tiga ekor sapi Angus, dan tiga ekor sapi FH. Kombinasi FSH2 dan
PGF2α1 diberikan pada tiga ekor sapi Simental, tiga ekor sapi Limosin, tiga ekor
sapi Angus, dan tiga ekor sapi FH. Kombinasi FSH2 dan PGF2α2 diberikan pada
tiga ekor Simental, tiga ekor sapi Limosin, tiga ekor sapi Angus dan tiga ekor sapi
FH.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metoda mengumpulkan data dan
menyeleksi data produksi embrio di BET yang dilakukan secara rutin dan
mengikuti secara langsung seluruh program TE yang dilaksanakan di BET.
Prosedur superovulasi yang dilakukan di BET adalah sapi donor diseleksi
berdasarkan kemampuan genetik yang baik, sejarah reproduksi diketahui dan
memiliki siklus estrus normal. Sapi donor disinkronisasi dengan implan preparat
progesteron intravagina Controlled Internal Drug Release (CIDR) (Eazi-Breedtm
CIDR, Pharmacia Upjohn) yang mengandung 60 mg medroxy progesterone
acetate secara intravagina selama 11 hari. Hari pertama dilakukan implantasi
CIDR didefinisikan sebagai hari ke-0. Superovulasi dilakukan pada sapi donor
yang telah diseleksi dengan injeksi FSH selama empat hari yaitu pada hari ke-8

6

sampai hari ke-11 dengan pemberian dua kali sehari yaitu pagi dan sore dengan
dosis menurun 4 ml pada hari ke-1, 3 ml pada hari ke-2, 2 ml pada hari ke-3, dan
1 ml pada hari ke-4 secara intra muscular. Preparat hormon yang digunakan
antara lain FSH1 sebanyak 20 mg/ml dan FSH2 sebanyak 17,6 mg/ml. Injeksi
PGF2α dilakukan pada hari ke-10 pada pagi dan sore yang berfungsi untuk
meregresikan CL sehingga dua sampai tiga hari setelah penyuntikan hormon
PGF2α sapi akan estrus. Preparat hormon PGF2α yang digunakan adalah PGF2α1
dengan dosis 5 mg/ml dan PGF2α2 2,5 mg/ml. Pada hari ke-11 CIDR dicabut,
pada hari ke-12 dan ke-13 dilakukan inseminasi buatan pada sapi donor tiga kali,
yaitu antara pagi-sore-pagi atau sore-pagi-sore tergantung onset estrus. Palpasi
rektal dilakukan pada hari ke-7 setelah inseminasi buatan, sehingga diperoleh data
jumlah CL pada ovarium kanan dan kiri yang berfungsi sebagai parameter untuk
mendeteksi berapa jumlah ovum yang diovulasikan oleh seekor sapi.

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Keterangan:

Implan CIDR selama 11 hari
Injeksi FSH selama 4 hari
IB selama dua hari
Pemanenan embrio

Gambar 1 Superovulasi dalam satu siklus estrus sapi
Peubah yang diamati
Peubah yang diamati dari respon superovulasi ternak donor adalah total
jumlah corpus luteum yang terbentuk.
Analisis Data
Data yang diperoleh dinyatakan dalam rataan dan simpangan baku. Data
diolah menggunakan IBM SPSS Statistic 16.0. Jumlah corpus luteum dianalisis
menggunakan analisis ragam (Analysis of Variant/ ANOVA), kemudian
dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.\

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Embrio Ternak (BET) yang terletak di
Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Topografi lokasi ini berada
di punggung sebelah timur gunung Salak dengan kemiringan 8-40 derajat dan
ketinggian 600-1350 m dpl. Lingkungan lokasi penelitian ini mempunyai
temperatur 18-22 oC dan kelembaban 70-80%. Menurut Abidin (2006),
lingkungan yang baik untuk sapi adalah temperatur optimal dengan kisaran suhu
10-27 oC dan curah hujan 800-1500 mm pertahun, sehingga lokasi penelitian ini
cocok untuk pertumbuhan dan reproduksi sapi.
Tingkat Ovulasi
Tingkat ovulasi dapat diketahui berdasarkan jumlah CL yang dihasilkan
pada ovarium kanan dan ovarium kiri. Corpus luteum merupakan jaringan yang
terbentuk pada tempat ovum diovulasikan dan dijadikan parameter untuk
mendeteksi berapa jumlah ovum yang diovulasikan oleh seekor sapi (Adriani et
al. 2009). Menurut Baruselli et al. (2011), ukuran CL pada sapi-sapi yang
termasuk ke dalam ras Bos taurus adalah 20-30 mm. Rataan jumlah total CL pada
masing-masing jenis sapi dan kombinasi hormon hasil superovulasi disajikan pada
Tabel 1. Jumlah total CL yang terbentuk pada ovarium dapat menunjukan tingkat
keberhasilan program superovulasi.
Tabel 1 Rataan Jumlah Corpus Luteum Hasil Superovulasi
Bangsa
Kombinasi
Jumlah
Jumlah
Rataan CL* ± SD
Sapi
Hormon
Sapi
CL*
Simental
FSH1- PGF2α1
3
46
15.33±9.50a
Simental
FSH1- PGF2α2
3
32
10.67±7.76a
Simental
FSH2- PGF2α1
3
24
8.00±7,81a
Simental
FSH2- PGF2α2
3
39
13.00±1.00 a
Limousin
FSH1- PGF2α1
3
27
9.00±7.54ab
Limousin
FSH1- PGF2α2
3
17
5.67±3.78ab
Limousin
FSH2- PGF2α1
3
23
7.67±4.93ab
Limousin
FSH2- PGF2α2
3
48
16.00±1.00ab
Angus
FSH1- PGF2α1
3
8
2.67±3.06b
Angus
FSH1- PGF2α2
3
33
11.0±1,00b
Angus
FSH2- PGF2α1
3
11
3.67±1,53b
Angus
FSH2- PGF2α2
3
20
6.67±2.08b
FH
FSH1- PGF2α1
3
38
12.67±3,51b
FH
FSH1- PGF2α2
3
5
1.67±0,57b
FH
FSH2- PGF2α1
3
12
4.00±2.00b
FH
FSH2- PGF2α2
3
18
6.00±6.92b
Superskrip yang berbeda (a,ab,b) pada kolom yang sama menunjukkan berbeda
nyata (P